www.b in a o ku aa s i.co m
DAFTAR ISI
BAB I
KEBIJAKAN, PERATURAN
PERUNDANGAN DALAM ...................................................................................... 1
BIDANGHIPERKES DAN
KESELAMATAN KERJA
BAB II
SISTEM MANAJEMEN
KESELAMATAN DAN ...................................................................................... 13
KESEHATAN KERJA
BAB III
KESELAMATAN KERJA UMUM ...................................................................................... 33
BAB IV
TEORI DASAR KECELAKAAN ...................................................................................... 41
KERJA DAN APD
BAB V
PENERANGAN DI TEMPAT ...................................................................................... 53
KERJA
BAB VI
IKLIM KERJA PANAS ...................................................................................... 59
BAB VII
RADIASI MENGION DAN TIDAK ...................................................................................... 63
MENGION
BAB VIII
KEBISINGAN DAN VIBRASI ...................................................................................... 73
BAB IX
FAKTOR KIMIA DI TEMPAT ...................................................................................... 85
KERJA
BAB X
FAKTOR BIOLOGI DI TEMPAT ...................................................................................... 100
KERJA
BAB XI
SANITASI INDUSTRI DAN ...................................................................................... 105
PENGELOLAAN LIMBAH
BAB XII
TOKSIKOLOGI INDUSTRI ...................................................................................... 111
BAB XIII
TUGAS DAN FUNGSI DOKTER ...................................................................................... 121
PERUSAHAAN
BAB XIV
ERGONOMI DAN FISIOLOGI ...................................................................................... 126
KERJA
BAB XV
PRINSIP DAN FILOSOFI
KESEHATAN KERJA ...................................................................................... 134
DAN PEMERIKSAAN
KESEHATAN TENAGA KERJA
BAB XVI
GIZI KERJA ...................................................................................... 145
BAB XVII
PROMOSI KESEHATAN KERJA
DAN ...................................................................................... 168
PENCEGAHAN HIV/ AIDS DI
TEMPAT KERJA
BAB XVIII
PROGRAM REHABILITASI DI ...................................................................................... 181
TEMPAT KERJA
BAB XIX
PSIKOLOGI INDUSTRI ...................................................................................... 190
BAB XX
PAK DAN SISTEM ...................................................................................... 202
PELAPORAN
BAB XXI
PROGRAM BPJS
KETENAGAKERJAAN DAN ...................................................................................... 212
KESEHATAN
BAB XXII
EPIDEMIOLOGI HIPERKES ...................................................................................... 223
DAN KESELAMATAN KERJA
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
KEBIJAKAN, PERATURAN PERUNDANGAN DALAM BIDANG
HIPERKES DAN KESELAMATAN KERJA
VISI K3 NASIONAL
Terwujudnya budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Indonesia. Untuk
mencapai visi sebagaimana tersebut diatas, maka visi K3 nasional adalah:
1. Meningkatkan penerapan SMK3
2. Meningkatkan pelaksanaan pembinaan dan pengawasan K3
3. Meningkatkan peran serta pengusaha, tenaga kerja, masyarakat untuk
mewujudkan kemandirian dalam pelaksanaan K3.
STRATEGI
Sesuai dengan visi, misi dan kebijakan K3 nasional, maka telah disusun rencana strategi
dan program kerja utama K3 yaitu:
1. Menyusun dan meningkatkan kebijakan K3
2. Meningkatkan sumber daya manusia di bidang k3
3. Meningkatkan pembinaan penerapan SMK3
4. Meningkatkan sarana dan prasarana pengawasan K3
5. Meningkatkan jejaring dan peran serta instansi, lembaga, personil dan pihak-
pihak terkait.
1.6. Peraturan Perundangan Keselamatan Dan Kesehatan Kerja
Dewasa ini Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) sudah mulai memasyarakat,
khususnya di lingkungan perusahaan besar dan menengah di berbagai sektor kegiatan dan
wilayah. Pengusaha, pengurus dan tenaga kerja sudah sangat banyak yang memahami dan
menyadari arti pentingnya K3. Dari kalangan ini dinilai adanya kebutuhan-kebutuhan untuk
lebih mendalami peraturan, ketentuan-ketentuan dan materi-materi K3. Hal tersebut terlihat
dari semakin banyaknya pelatihan-pelatihan K3 yang diselenggarakan secara mandiri di
perusahaan-perusahaan.
Di lain pihak, untuk perusahaan kecil dan beberapa perusahaan menengah baik
pengusaha, pengurus dan tenaga kerjanya belum mengenal dan memahami peraturan
perundang-undangan K3.
Dari uraian tersebut di atas dapat dimaklumi bahwa upaya pembinaan termasuk
penyuluhan, pelatihan, dan upaya persuasif lainnya merupakan prioritas untuk dilakukan
dan sangat strategis dalam rangka pencegahan kemungkinan terjadinya kecelakaan di
tempat kerja secara dini.
Setiap Peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia harus dapat
dikembalikan atau bersumber pada Hukum dasar tertulis yang tertinggi, yaituUndang-
Undang Dasar 1945. danPeraturan Perundang-undangan K3 terkait dengan UUd 1945
pasal 27 ayat (2).
Setiap ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945 masih bersifat sangat umum, oleh
karena itu untuk mewujudkan cita-cita tersebut khususnya di bidang ketenagakerjaan
dijabarkan lebih lanjut dengan Undang-undang No.14 tahun 1969 tentang pokok-pokok
mengenai tenaga kerja.
Dalam UU.No.14 tahun 1969 pasal 9 dan 10 mengatur tentang pembinaan dan
perlindungan tenaga kerja termasuk K3. Maka berdasarkan tersebut di atas Undang-undang
No.1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja disyahkan oleh Presiden RI pada tanggal 12
Januari 1970 atas persetujuan DPR RI, dan sejak saat itulah VR 1910 Stbl. 406 dicabut.
UU.No.14 tahun 1969 telah dicabut dan kini berlaku UU. No.13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, namun K3 tetap menjadi perhatian dimana tertera pada pasal 86 dan 87.
Ayat (1),
Pengertian tempat kerja harus benar-benar dapat dipahami, oleh karena merupakan ruang
lingkup UU.No.1 tahun 1970, dimana pada tempat tersebut harus diberlakukan ketentuan-
ketentuan tentang K3.
Tempat kerja tidak sama dengan tempat bekerja. Tempat kerja pada dasarnya adalah
tempat bekerja yang dimana terdapat 3 unsur pokok, yaitu adanya tenaga kerja, bahaya
kerja dan usaha.
Bunyi ayat tersebut berikut;
“Tempat kerja” ialah tiap ruangan atau lapangan tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap
dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya sebagaimana diperinci dalam pasal 2.
Termasuk tempat kerja ialah semua ruangan, lapangan, halaman dan sekelilingnya yang
merupakan bagian-bagian atau yang berhubungan dengan tempat kerja tersebut.
Ayat (2),
Pengertian Pengurus juga harus benar-benar dimengerti oleh karena penguruslah yang
berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan semua ketentuan K3 ditempat
kerja. Pengurus dalam pengertian seseorang pimpinan suatu tempat kerja.
Bunyi ayat tersebut sebagai berikut;
“Pengurus” ialah orang yang mempunyai tugas memimpin langsung sesuatu tempat kerja
atau bagiannya yang berdiri sendiri.
Ayat (3)
Pengertian dari “Pengusaha” tidak sama dengan “Pengurus”.
Pengurus adalah pimpinan sesuatu tempat kerja, sedangkan “Pengusaha” adalah orang
atau badan hukum yang memiliki atau mewakili pemilik suatu tempat kerja. Bisa saja
pengusaha dan pengurus suatu tempat kerja adalah satu orang, yaitu terutama pada
perusahaan-perusahaan berskala kecil.
Bunyi pasal tersebut sebagai berikut;
Pengusaha ialah;
a. Orang atau badan hukum yang menjalankan sesuatu usaha milik sendiri dan untuk
keperluan itu mempergunakan tempat kerja.
b. Orang atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan sesuatu usaha
bukan miliknya dan untuk keperluan itu mempergunakan tempat kerja.
c. Orang atau badan hukum yang di Indonesia mewakili orang atau badan hukum
termaksud pada (a) dan (b) , jika yang diwakili berkedudukan di luar Indonesia.
Ayat (4),
Pengertian “Direktur” cukup jelas seperti tertulis pada ayat ini. Perlu dijelaskan bahwa dalam
prekteknya yang disebut Direktur adalah Dirjen Binwasnaker (sekarang Dirjen PPK dan K3)
sesuai dengan Permenaker No.Kep.79/Men/1977 (sekarang Permenaker No.13/Men/2015)
Bunyi ayat tersebut sebagai berikut:
Direktur ialah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja (sekarang Kementerian
Ketenagakerjaan) untuk melaksanakan Undang undang ini.
Ayat (5),
Dalam pengertian “Pegawai Pengawas” perlu dijelaskan pengertian “pegawai berkeahlian
khusus” yaitu artinya bahwa pegawai Kemnakertrans atau Dinas di Propinsi/ Kota/
Kabupaten yang membidangi pengawasan ketenagakerjaan untuk dapat ditunjuk sebagai
Pengawas harus memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana tertuang pada Permenaker
No:Per.03 tahun 1978 dan Permenaker No.Per.03/Men/1984 tentang pengawasan
ketenagakerjaan terpadu.
Bunyi ayat tersebut sebagai berikut ;
Pegawai Pengawas ialah pegawai teknis berkeahlian khusus dari Depnaker yang ditunjuk
oleh Menteri tenaga Kerja.
Ayat (6),
Rumusan pengertian Ahli Keselamatan Kerja pada ayat ini cukup jelas. Dari rumusan
tersebut dimengerti bahwa untuk pengawasan terhadap pelaksanaan UU.No.1 tahun 1970,
Kemnakertans melibatkan tenaga teknis dari luar Kemnakertrans dari luar Dinas yang
membidangi pengawasan ketenagakerjaan di daerah, baik instansi/ lembaga pemerintah
maupun swasta yang memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan di dalam
Permenakertrans No.Per.04/Men/1987 dan Permenaker No.Per.02/Men/1992.
Latar belakang dari pemikiran/ konsep ini adalah bahwa Kemnakertrans tidak mungkin
mampu membentuk pegawai pengawas dalam jumlah maupun kemampuan dalam berbagai
bidang keahlian sesuai dengan perkembangan teknologi.
Walaupun persyaratan terhadap pelaksanaan UU.No.1 tahun 1970 dapat dilakukan oleh ahli
keselamatan kerja tersebut, namun kebijakan nasional K3 tetap berada pada Menakertrans.
Walaupun di dalam ayat (5) dan (6) disebutkan bahwa yang mengangkat pegawai
pengawas maupun Ahli keselamatan Kerja adalah Menakertrans, akan tetapi dalam
pelaksanaannya adalah diangkat oleh Dirjen Binwasnaker sesuai keputusan
Menakertranskop No.Kep.599/Men/SJ/D/1979.
Ayat (2),
Ayat ini memperinci tempat-tempat bekerja yang termasuk tempat kerja sebagaimana
dimaksud ayat(1) yaitu huruf a sampai dengan r, dimana terdapat bahaya kerja yang
bertalian dengan;
a. Keadaan mesin, pesawat, alat kerja, bahan dan lain sebagainya.
b. Lingkungan.
c. Cara kerja.
d. Proses produksi.
Bunyi ayat tersebut sebagai berikut;
Ketentuan-ketentuan dalam ayat (1) tersebut berlaku dalam tempat kerja dimana;
a. Dibuat, dicoba, dipakai atau dipergunakan mesin, pesawat, alat, perkakas, peralatan
atau instalasi yang berbahaya atau dapat menimbulkan kecelakaan, kebakaran atau
peledakan.
b. Dibuat, diolah, dipakai, dipergunakan, diperdagangkan, diangkut atau disimpan bahan
atau barang yang dapat meledak, mudah terbakar, menggigit, beracun, menimbulkan
infeksi, bersuhu tinggi.
c. Dikerjakan pembangunan, perbaikan, perawatan, pembersihan atau pembongkaran
rumah, gedung atau bangunan lainnya termasuk bangunan pengairan, saluran, atau
terowongan di bawah tanah dan sebagainya, atau dimana dilakukan pekerjaan
persiapan. Dan seterusnya sampai dengan huruf r.
Ayat (3),
Ayat ini merupakan escape clausal dalam penataan ruang lingkup UU.No.1 tahun 1970,
sebab kemungkinan untuk waktu yang akan datang ditemukan tempat kerja baru selain yang
terperinci pada ayat (2) sehubungan dengan perkembangan teknik dan teknologi.
Bunyi ayat tersebut sebagai berikut;
Dengan peraturan perundangan dapat ditunjuk sebagai tempat kerja ruangan-ruangan atau
lapangan lainnya yang dapat membahayakan keselamatan atau kesehatan yang bekerja
dan atau yang berada di ruangan atau lapangan itu dan dapat diubah perincian tersebut
dalam ayat (2).
Dalam penjelasan pasal 2 di isyaratkan bahwa peraturan organik sebagai peraturan
pelaksanaan UU.No.1 tahun 1970 digolongkan dalam pembidangan teknis dan sektor/
industri.
Pasal 4;
Ayat (1),
Menjelaskan sejak tahap apa atau kapan syarat/ ketentuan K3 diterapkan yaitu sejak tahap
perencanaan dan seterusnya.
Bunyi ayat tersebut sebagai berikut;
Dengan peraturan perundangan ditetapkan syarat-syarat keselamatan kerja dalam
perencanaan, pembuatan, pengangkutan, peredaran, perdagangan, pemasangan,
pemakaian, penggunaan, pemeliharaan dan penyimpanan bahan, barang, produk teknis dan
aparat produksi yang mengandung dan dapat menimbulkan bahaya kecelakaan.
Ayat (2),
Ayat ini menjelaskan isi dari setiap ketentuan/ syarat K3, yaitu akan mengatur tentang
konstruksi, bahan dan lain sebagainya dari bahan, barang produk teknis dan aparat
produksi.
Bunyi ayat tersebut sebagai berikut;
Syarat-syarat tersebut memuat prinsip-prinsip teknis ilmiah menjadi suatu kumpulan
ketentuan yang disusun secara teratur, jelas dan praktis yang mencakup bidang konstruksi,
bahan, pengolahan dan pembuatan, perlengkapan alat-alat perlindungan, pengujian, dan
pengecekan, pengepakan atau pembungkusan, pemberian tanda-tanda pengenal atas
bahan barang, produk teknis dan aparat produksi guna menjamin keselamatan barang-
barang itu sendiri, keselamatan tenaga kerja yang melakukannya dan keselamatan umum.
Ayat (3),
Merupakan escape clausal ayat (1) dan (2).
Catatan: Pasal 4 tersebut diatas mencerminkan salah satu sifat preventif dari UU. No.1
tahun 1970.
Ayat (2)
Dalam menjelaskan ayat ini dapat dijelaskan wewenang dan kewajiban Direktur
sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
No.Kep.79/Men/1977. Disamping itu dijelaskan wewenang dan kewajiban pegawai
pengawas dan ahli K3 sesuai Permenaker No.03/Men/1978 untuk ahli K3.
Dalam hal ini perlu diutarakan bahwa perbedaan kewenangan antara pegawai pengawas
dan ahli keselamatan kerja yaitu dalam hal penyidikan.
Bunyi ayat tersebut sebagai berikut;
Wewenang dan kewajiban Direktur, pegawai pengawas dan ahli keselamatan kerja dalam
melaksanakan Undang-undang ini diatur dalam peraturan perundangan. Pasal 6;
Pasal ini mengatur tentang Panitia Banding, yaitu sebagai sarana dan mekanisme
penyelesaian banding apabila pengurus tempat kerja tidak dapat menerima putusan Direktur
dimana putusan Panitia Banding ini tidak dapat dibanding lagi, artinya keputusannya
mengikat.
Pasal 7;
Pasal ini mengatur kewajiban pengusaha untuk membayar retribusi, yaitu sejumlah uang
sebagai imbalan jasa pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam hal ini perlu
dikemukakan bahwa peraturan pelaksanaan pasal ini adalah Permenaker No.06/Men/1986
tetapi Permenaker ini telah dicabut.
Bunyi pasal tersebut sebagai berikut;
Untuk pengawasan berdasarkan Undang-undang ini, pengusaha harus membayar retribusi
menurut ketentuan-ketentuan yang akan diatur dengan peraturan perundangan.
Pasal 8;
Pasal ini menetapkan kewajiban pengurus untuk memeriksakan kesehatan badan, kondisi
mental dan kemampuan fisik baik secara awal bagi tenaga kerja yang baru diterima ataupun
dipindahkan. Disamping itu pada ayat (2) mewajibkan Pengurus untuk memeriksanakan
kesehatan seperti tersebut di atas secara berkala pada semua tenaga kerjanya.
Pemeriksaan kesehatan tersebut diatas ditetapkan dilakukan oleh dokter penguji kesehatan
badan tenaga kerja dan sesuai dengan Permenaker No.Per.02/Men/1982.
Ayat (2),
Inti dari ayat ini adalah Pengurus tidak dapat mempekerjakan tenaga kerja yang baru
diterima sebelum tenaga kerja yang bersangkutan memahami 4 hal/ pokok dimaksud ayat 1.
Ayat (3),
Pengurus juga wajib melakukan pembinaan bagi tenaga kerjanya secara berkala tentang;
a. Pencegahan kecelakaan.
b. Pemberantasan kebakaran.
c. Pertolongan pertama pada kecelakaan.
d. Hal-hal lain dalam rangka meningkatkan K3 di tempat kerjanya.
Pelaksanan pembinaan K3 berupa pelatihan dapat disesuaikan dengan Permenaker
No.Per.04/Men/1995 tentang Perusahaan Jasa K3 dan Surat Edaran Dirjen Binwasnakar
No.SE.01/DJPPK/VI/2009.
Ayat (4)
Pengurus diwajibkan memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan
yang berlaku bagi usaha dan tempat kerja yang diwajibkan.
Ayat (1),
Dimaklumi bahwa K3 adalah merupakan kepentingan dan kewajiban Pengurus Pengusaha
dan Tenaga Kerja, oleh karena itu mereka harus berkerja sama. Untuk mewadahi kerja
sama dimaksud Menakertrans berwenang membentuk P2K3 pada tempat-tempat kerja
tertentu.
Kebijaksanaan Menakertrans mengenai tempat kerja mana yang perlu dibentuk P2K3
termasuk mengenai Ahli K3 sebagaimana tertuang pada Permenaker No.Per.04/Men/1987
dan Permenaker No.Per.02/Men/1992.
Ayat (2),
Dalam ayat ini disebutkan bahwa susunan, tugas dan lain-lain yang berkaitan dengan P2K3
akan ditetapkan oleh Menaker.
Untuk ini telah diatur pada Permenaker sebagaimana tersebut diatas.
Mengatur kewajiban Pengurus untuk melaporkan kecelakaan yang terjadi di tempat kerja
yang dipimpinnya. Tata cara dan bentuk pelaporan sesuai dengan ketetapan sebagaimana
diatur dalam Surat Keputusan Menaker.
Ayat (1),
Pengurus diwajibkan tiap kecelakaan yang terjadi dalam tempat kerja yang dipimpinnya
pada pejabat yang ditunjuk oleh Menaker.
Ayat (2),
Tata cara pelaporan dan pemeriksaan kecelakaan dalam ayat (1) diatur dengan peraturan
perundangan.
Di dalam pasal ini secara jelas dan tegas diatur kewajiban dan hak tenaga kerja untuk ;
a. Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas dan atau ahli
K3.
b. Memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan.
c. Memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat K3 yang diwajibkan.
d. Meminta pengurus agar dilaksanakan semua syarat K3 yang diwajibkan.
e. Menyertakan keberatan kerja pada pekerjaan dimana syarat-syarat K3 serta alat-alat
perlindungan diri yang diwajibkan diragukan olehnya, kecuali dalam hal khusus
ditentukan lain oleh pegawai pengawas dalam batas-batas yang masih dapat
dipertanggungjawabkan.
Kewajiban Pengurus untuk secara tertulis menempatkan UU.No.1 tahun 1970 dan
peraturan-peraturan lain dan gambar-gambar K3 yang sesuai dengan jenis dan sifat
pekerjaan pada tempat kerja yang bersangkutan. Bahan-bahan tersebut dimaksud kan
sebagai bahan pembinaan dan peringatan bagi siapapun yang berada di tempat kerja
tersebut.
Disamping itu, Pengurus wajib menyediakan alat perlindungan diri secara cuma-cuma bagi
siapapun yang memasuki tempat kerja.
Ayat (1),
Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa sebagian besar ketentuan yang ada di dalam
UU.No.1 tahun 1970 masih bersifat umum dan perlu diatur lebih lanjut dengan peraturan
perundangan.
Ayat (2),
Menetapkan sanksi bagi pelanggaran terhadap UU.No.1 tahun 1970 dan peraturan
pelaksanaanya yaitu;
a. Hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan atau
b. Denda setinggi-tingginya Rp.100.000,- (Seratus ribu rupiah).
Ayat (3)
Adalah mengklasifikasikan pelanggaran dimaksud sebagai tindak pidana pelanggaran.
Pasal 16;
Pasal ini mewajibkan kepada Pengusaha untuk memenuhi ketentuan UU.No.1 Tahun 1970
paling lama 1 (satu) tahun setelah diundangkannya UU.No.1 tahun 1970.
Pasal 17;
Merupakan pasal yang mengatur tentang peralihan yaitu tetap memberlakukan semua
peraturan perundangan yang telah ada (kecuali VR) tetap berlaku selama tidak
bertentangan dengan UU.No.1 tahun 1970.
Pasal 18;
Menetapkan nama penyebutan dari UU.No.1 tahun 1970.
Peraturan pelaksanaan UU.No.1 Tahun 1970 pada saat ini sudah semakin lengkap yaitu
antara lain sebagai berikut;
1. Permenaker tentang Bejana Tekanan
2. Permenaker tentang Kualifikasi Juru Las,
3. Permenaker tentang Pesawat Tenaga dan Produksi.
4. Permenaker tentang Pesawat Angkat dan Angkut.
5. Permenaker tentang Petugas dan Operator Pesawat Angkat dan Angkut.
6. Kepmenaker tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik.
7. Permenaker tentang Penyalur Petir.
8. Permenaker tentang Lift
9. Permenaker tentang Alat Pemadam Api Ringan.
10. Permenaker tentang Instalasi Alarm Kebakaran Otomatik.
11. Kepmenaker tentang Penanggulangan Kebakaran di Tempat Kerja.
12. Permenaker tentang Konstruksi Bangunan.
13. SKB Menaker dan Menteri PU tentang K3 pada Konstruksi Bangunan.
14. Kepmenaker tentang Penggunaan Bahan Kimia di Tempat Kerja.
15. Permenaker tentang Nilai Amban Batas Faktor Fisik dan Faktor Kimia di Tempat Kerja.
16. Permenaker tentang Asbes di Tempat Kerja.
17. Permenaker tentang Pestisida di Tempat Kerja.
18. Permenaker tentang kewajiban pelatihan Hyperkes dan Keselamatan Kerja Bagi Dokter
Perusahaan.
19. Permenaker tentang Kewajiban Pelatihan Hyperkes dan Keselamatan Kerja bagi
Tenaga Paramedis Perusahaan.
20. Permenaker tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja.
21. Permenaker tentang Penyakit Akibat Kerja.
22. Kepres terkait dengan Penyakit yang Timbul dalam Hubungan Kerja.
23. Permenaker tentang Pelayanan Kesehatan Kerja.
24. Permenaker tentang Alat Pelindung Diri.
25. Permenaker tentang P3K.
26. Dan lain-lain.
Selain itu juga diterbitkan beberapa Instruksi Menaker, Surat Edaran Menaker dan
Surat Edaran Dirjen Binwasnaker.
1. Penetapan Kebijakan K3
Kebijakan K3 disusun dengan terlebih dahulu melalui proses tinjauan awal kondisi K3
dan proses konsultasi antara pengurus dan wakil tenaga kerja/ buruh. Pada tinjauan awal
dilakukan untuk mengetahui seluruh kondisi K3 antara lain keberadaan personil K3,
peralatan/ pesawat/ instalasi/ mesin, prosedur, proses kerja, sifat pekerjaan sampai kondisi
keuangan yang dipersiapkan untuk program K3.
Tinjauan awal kondisi K3 yang meliputi:
a. Identifikasi potensi bahaya, penilaian dan pengendalian risiko;
b. Perbandingan penerapan K3 dengan perusahaan dan sektor lain yang lebih baik;
c. Peninjauan sebab akibat kejadian yang membahayakan;
d. Kompensasi dan gangguan serta hasil penilaian sebelumnya yang berkaitan dengan
keselamatan; dan
e. Penilaian efisiensi dan efektivitas sumber daya yang disediakan.
2. Perencanaan K3
Perusahaan harus merencanakan untuk memenuhi kebijakan, sasaran dan tujuan
K3 yang telah ditetapkan. Dalam menyusun rencana K3 hendaknya dilakukan berdasarkan:
a. Hasil penelaahan awal
Hasil penelaahan awal merupakan tinjauan awal kondisi K3 perusahaan yang telah
dilakukan pada penyusunan kebijakan.
b. Identifikasi potensi bahaya, penilaian dan pengendalian risiko
Identifikasi potensi bahaya, penilaian dan penilaian risiko harus dipertimbangkan
pada saat merumuskan rencana.
c. Peraturan perundang-undangan dan persyaratan lainnya Peraturan
perundang-undangan dan persyaratan lainnya harus:
1) Ditetapkan, dipelihara, diinventarisasi dan diidentifikasi oleh perusahaan; dan
2) Disosialisasikan kepada seluruh tenaga kerja/ buruh.
d. Sumber daya yang dimiliki
3. Pelaksanaan Rencana K3
Pelaksanaan rencana K3 harus dilaksanakan oleh pengusaha dan/ atau pengurus
perusahaan atau tempat kerja dengan melaksanakan hal-hal sebagai berikut:
a. Menyediakan sumber daya manusia yang mempunyai kualifikasi; dan
b. Menyediakan prasarana dan sarana yang memadai.
Manfaat
yang terlihat Penerapan SMK3
Menghindari/
mencegahkerugian akibat kecelakaan
5 s/d 50 X
Kecelakaan ini dapat dicegah atau diminimalkan risikonya dengan menghilangkan salah satu
tahapannya yaitu tahapan yang ketiga dengan mengendalikan perbuatan dan kondisi yang
berbahaya sehingga pekerjaan dapat menjadi aman dan risiko kecelakaan dapat diminimalkan.
4.5.3. Jenis-jenis kecelakaan
Kecelakaan memiliki struktur sesuai jenis penyebab yaitu :
a. Penyebab utama atau Immediate causes
1) Aktivitas yang tidak aman (Unsafe Act)
Aktivitas yang tidak aman adalah semua pelaksanaan pekerjaan yang tidak sesuai
prosedur seperti:
a) Melaksanakan pekerjaan tanpa menggunakan alat pengaman,
b) Sikap dan cara kerja yang kurang baik,
c) Penggunaan peralatan yang tidak aman
d) Melakukan gerakan-gerakan berbahaya.
2) Kondisi yang tidak aman (Unsafe Condition)
Kondisi yang tidak aman adalah dimana tenaga kerja tidak menyadari bahwa dia
bekerja dalam situasi dan lingkungan yang tidak aman seperti:
a) Peralatan pengaman yang tidak layak
b) Kebersihan dan tata ruang tidak baik
c) Pakaian kerja yang tidak sesuai
d) Lingkungan kerja yang tidak memenuhi syarat
b. Penyebab pendukung atau Contributing causes
1) Pelaksanaan SMK3 yang kurang
Perusahaan masih belum menganggap K3 sebagai kebutuhan dalam aktivitas proses
produksi seperti:
a) Instruksi yang tidak jelas
b) Tidak taat peraturan K3
c) Tidak ada sosialisasi tentang K3
d) Tidak pernah melakukan pemantauan lingkungan kerja
2) Kondisi mental tenaga kerja yang kurang baik
Mental tenaga kerja masih labil sehingga masih melakukan perbuatan yang tidak baik
seperti:
a) Kesadaran K3 yang kurang
b) Tidak mau melakukan koordinasi dan kooperasi dalam pelaksanaan K3
c) Memiliki sikap dan kebiasaan-kebiasaan buruk
3) Kondisi fisik tenaga kerja
a) Kesehatan tenaga kerja yang tidak memenuhi syarat
b) Memiliki penyakit turunan
Ada beberapa elemen dasar yang harus diperhatikan dalam analisa risiko yaitu:
1. Potensi bahaya
Suatu situasi atau sifat-sifat alamiah dari sesuatu aktivitas yang berpotensi
menimbulkan kerusakan/ kerugian (ringan sampai dengan berat, kerusakan harta
benda, kematian dan luka permanen)
Contoh: Bahan-bahan (material) dan aktivitas kerja (proses kerja).
2. Risiko bahaya
Manifestasi/ perwujudan potensi bahaya yang mengakibatkan kerugian menjadi lebih
besar dengan mempertimbangkan kemungkinan (probabilitas) terjadinya suatu
kerusakan/ kecelakaan dalam suatu kurun waktu tertentu.
Meliputi frekuensi/ probabilitas, konsekuensi dan time frame (kurun waktu tertentu)
suatu kejadian.
Contoh: Seorang perokok berat memiliki risiko terkena kanker paru-paru dalam waktu
sepuluh tahun
3. Kebutuhan analisa sebab dan akibat kecelakaan
Ada beberapa aktivitas yang membutuhkan analisa risiko yaitu pada saat:
a. Perencanaan suatu proses
b. Proses operasi setelah berjalan (terjadwal)
c. Perawatan peralatan produksi
d. Penambahan peralatan baru
e. Adanya keluhan dari pemakai
f. Bila terjadi kecelakaan
4. Pembuatan daftar periksa (cheklist) analisa risiko
Daftar periksa dibuat untuk membantu mengidentifikasi berbagai kemungkinan atau
bahaya yang ada ditempat kerja. Untuk membuat daftar periksa harus dengan
perencanaan yang menyeluruh dan dibuat oleh orang yang mengerti tentang kondisi
yang menyeluruh dari proses produksi berdasar pedoman atau standar yang harus
dipenuhi.
Contoh daftar periksa:
RISIKO YANG MUNGKIN
NO SUMBER BAHAYA TERJADI
1 Mesin, alat mekanik atau peralatan tangan, Tergencet, terpotong, tergores,
misalnya gergaji, gerinda, bor yang tidak
dilindungi terjerat, terjepit, tertusuk, terkena
bagian-bagian berbahayanya. gerakan mesin, tertimpa
Bahan Kimia yang mudah terbakar,mudah
2 meledak Dermatitis, asma, terbakar,
dan beracun: tinner, bensin, solar, pelarut, keracunan, kebakaran,
spritus, peledakan
alcohol, dll yang berada dalam tidak terkendali.
Debu, asap, uap bahan kimia padat, cair, dll
Dataran kerja yang tidak rapi: lantai terbuka,
3 licin, Terjatuh, tersandung, terjepit,
ceceran oli, sisa-sisa bahan berserakan tertusuk, terantuk, terpeleset
4 Jaringan kabel listrik yang terbuka, steker yang Kesetrum, terbakar, kebakaran,
berlebihan, penggunaan peralatan listrik yang
tidak peledakan
standar
5 Lalu lalang kendaraan: forklift, truk, mobil yang Tertabrak, terlindas, terjepit dll
tidak teratur
Mesin atau proses yang mengeluarkan:
6 kebisingan Tuli sementara, tuli permanen,
tinggi, getaran yang tinggi, radiasi panas yang kesemutan, pingsan, gatal-gatal,
berlebihan stroke panas
Tabel. 4.1. Contoh Cheklis Analisa Risiko
c. Pelindung telinga;
1) Fungsi alat pelindung telinga adalah alat pelindung yang berfungsi untuk melindungi
alat pendengaran terhadap kebisingan atau tekanan.
2) Jenis-jenis alat pelindung telinga terdiri dari sumbat telinga (ear plug) dan penutup
telinga (ear muff).
f. Pelindung kaki.
1) Fungsi Alat pelindung kaki berfungsi untuk melindungi kaki dari tertimpa atau
berbenturan dengan benda-benda berat, tertusuk benda tajam, terkena cairan panas
atau dingin, uap panas, terpajan suhu yang ekstrim, terkena bahan kimia berbahaya
dan jasad renik, tergelincir.
2) Jenis-jenis pelindung kaki berupa sepatu keselamatan pada pekerjaan peleburan,
pengecoran logam, industri, kontruksi bangunan, pekerjaan yang berpotensi bahaya
peledakan, bahaya listrik, tempat kerja yang basah atau licin, bahan kimia dan jasad
renik, dan/ atau bahaya binatang dan lain-lain
c. Pelampung.
1) Fungsi pelampung berfungsi melindungi pengguna yang bekerja di atas air atau di
permukaan air agar terhindar dari bahaya tenggelam dan atau mengatur
keterapungan (buoyancy) pengguna agar dapat berada pada posisi tenggelam
(negative buoyant) atau melayang (neutral buoyant) di dalam air.
2) Jenis-jenis pelampung terdiri dari jaket keselamatan (life jacket), rompi keselamatan
(life vest), rompi pengatur keterapungan (Bouyancy Control Device).
BAB V
PENERANGAN DI TEMPAT KERJA
5.12. Pengendalian
Data hasil pengukuran intensitas pencahayaan di tempat kerja dicatat pada
lembar formulir berikut:
Formulir Data Pengukuran Intensitas
Pencahayaan
Nama Perusahaan :
Alamat :
Jenis Perusahaan :
Tanggal Pengukuran :
Alat yang digunakan :
Petugas :
Suhu kering (dry bulb temperature) adalah suhu udara yang diukur dengan temometer suhu
kering.
Suhu bola (globe temperature) adalah suhu yang diukur dengan menggunakan termometer
suhu bola.
Tekanan panas adalah efek fisiologi terhadap tubuh yang disebabkan oleh pemaparan
panas yang berlebih.
Panas konduksi adalah perpindahan panas tubuh dengan benda sekitar melalui kontak.
Panas konveksi adalah perpindahan panas tubuh dengan udara sekitar. Panas metabolisme
adalah panas (kalori) yang dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi tubuh. Besarnya panas
metabolisme tergantung pada aktifitas fisik.
Rumus ISBB,
ISBB = 0,7 SBA + 0,3 SG (untuk di dalam ruangan)
ISBB = 0,7 SBA + 0,2 SG + 0,1 SK (untuk di luar ruangan)
…. , ………………….. 20……
Petugas
( …………………. )
6.8.3. Penilaian
Dalam melakukan penilaian tingkat bahaya yang disebabkan oleh lingkungan kerja
panas, hasil ISBB dapat dibaca dengan tabel yang ditetapkan, sehingga dapat
direkomendasikan maksimum pemaparan yang diperkenankan (allowable exposuretime),
dan waktu minimum yang diperlukan untuk istirahat (minimum recovery time).
o
ISBB ( C)
Pengaturan waktu kerja Beban
Kerja
setiap jam
Ringan Sedang Berat
75 % - 100 % 31,0 28.0 -
50 % - 75 % 31,0 29,0 27,5
25 % - 50 % 32,0 30,0 29,0
0 % - 25 % 32,2 31,1 30,5
Tabel. 6.1. NAB Iklim Kerja ISBB yang diperkenankan
Besarnya
Paparan Waktu Timbulnya
Efek Kesehatan
(rem) Efek
Terjadi perubahan kimia
5-10 darah
Dalam beberapa
50 Mual jam
55 Kelelahan
70 Muntah
90 Diare
100 Perdarahan
400 Kematian dari dosis fatal Dalam 2 bulan
Gambar 7.7. Efek paparan radiasi oleh lr-192 (185 GBq) selama 2 jam
Gambar 7.8. Luka pada telapak tangan dan paha akibat kecelakaan radiasi
Cesium-137
Pemaparan radiasi dalam jaringan tubuh tergantung pada sifat fisik dan kimia dari
bahan radioaktif. Contoh:
- Radioaktif iodine, umumnya mempengaruhi/ terkonsentrasi pada kelenjar thyroid;
- Strontium-90, mengendap pada tulang;
- Cesium, pada jaringan lunak
Setelah terakumulasi dalam tubuh, konsentrasinya dapat menurun setelah beberapa
waktu melalui peluruhan atau proses biologi (lodine-131, waktu peluruhan 7 hr; plutonium-
th
239, 24 000 ; strontium-90, 28 tahun).
7.5.3. Pengendalian
Mengingat bahaya radiasi terhadap kesehatan maka terdapat persyaratan proteksi
radiasi yang berlaku umum, yaitu:
a. Justifikasi
Tidak menerapkan/ menggunakan radiasi, kecuali jika ada manfaat yang lebih besar
(positive net benefit)
b. Optimisasi
Tidak ada nilai/ kadar radiasi yang diasumsikan benar-benar aman atau tanpa risiko.
Sehingga dalam pengendalian sebaiknya menggunakan prinsip ALARA (Keep the
DoseAs Low As Reasonably Achievable), yaitu menekan pemaparan serendah mungkin.
c. Limitasi
Jika paparan radiasi tidak dapat dilaksanakan serendah mungkin maka perlu diterapkan
berdasarkan standar pemaparan/ dosis sesuai rekomendasi. Standar pemaparan atau
ambang batas yang direkomendasikan oleh ICRP berdasarkan pada dosis ekivalen yang
diterima oleh seluruh tubuh dalam pemajanan setahun, yaitu:
- 20 mSv untuk tenaga kerja; dan
- 1 mSv untuk masyarakat umum
Pemerintah Indonesia menerapkan standar tersebut melalui Peraturan Pemerintah
No.63/2000 tentang Keselamatan dan Kesehatan terhadap Pemanfaatan Radiasi Pengion.
Upaya pengendalian terhadap paparan radiasi yang dilakukan di tempat kerja adalah:
◻ Mengisolasi peralatan dan daerah radiasi dengan cara penyekatan.
◻ Maksimalisasi jarak dengan menjauhkan TK dari sumber radiasi
◻ Membatasi waktu pemajanan
◻ Pemasangan pagar, label dan tanda peringatan bahaya radiasi.
◻ Penggunaan alat pelindung diri (pakaian, kaca mata, dsb) ,
◻ Pelatihan dan pengawasan
◻ Emergency preparadness, yaitu kesiap-siagaan jika terjadi keadaan darurat.
Gambar.7.9. Personal Dosimeter
Gambar.7.10. Surveimeter
Radiasi UV umumnya berpenetrasi pada kulit dan mata sehingga efek kesehatan
yang ditimbulkannya adalah pada kulit dan mata, yang mana efek pada kulit antara lain:
- Kulit terbakar: kulit kemerahan, melepuh, meradang dan mengelupas.
- Keratosis: kulit kering, kasar dan timbul bintik-bintik pada kulit (sunspot), pada jangka
panjang dapat berkembang menjadi kanker.
- Kanker kulit: terjadi pertumbuhan yang abnormal dari sel kulit.
- Konjunctivitas: terjadi radang konjunctiva (selaput lendir mata).
- Keratitis: radang pada kornea mata
- Katarak: lensa mata menjadi kabur/ buram.
Konjunctivitas, keratitis, kulit terbakar, dan keratosis terjadi pada pemajanan jangka
pendek, sedangkan katarak dan kanker kulit merupakan pemajanan radiasi UV jangka
panjang.
7.6.3. Pengendalian
Pada prinsipnya pengendalian bahaya radiasi non pengion adalah melalui
pembatasan waktu paparan; penyekatan; dan menjauhkan dari sumber paparan. Secara
hukum (peraturan perundangan), Permenaker No.13/Men/2011 tentang Nilai Ambang Batas
(NAB) faktor fisika dan kimia di tempat kerja, membatasi paparan radiasi non pengion
sebagai salah satu upaya untuk mengendalikan bahaya radiasi non pengion di tempat kerja:
- Untuk radiasi gelombang mikro dengan frekuensi 3 - 300 GHz adalah 10 mW/cm2,
berlaku untuk pemaparan seluruh tubuh dari satu sumber paparan atau lebih untuk waktu
maksimum 6 menit.
- Untuk radiasi infra merah dengan panjang gelombang lebih dari 770 nm. Standar
2
pemajanan adalah 10 mW/cm
2
- Pemajanan radiasi sinar tampak dibatasi 10 mW/cm untuk 10.000 detik (atau 3 jam).
- Iradiasi efektif (Eef) ultra violet (panjang gelombang 180 - 400 nm) untuk waktu 8 jam
2
per hari adalah 0,1 (iW/Cm ).
8.5. Kebisingan
8.5.1. Pengertian Kebisingan
Kebisingan didefinisikan sebagai bunyi yang tidak dikehendaki. Pengertian ini sifatnya
subyektif, karena kebisingan ini tergantung dari persepsi masing-masing individu dan
keadaan. Kebisingan bisa menjadi suara yang dikehendaki bagi pecinta musik tertentu
(musik rock).
Bunyi atau suara adalah sesuatu yang dapat didengar. Bunyi merupakan energi yang
merambat melalui media (padat, cair, gas) yang kemudian diterima oleh telinga.
Kualitas bunyi ditentukan oleh intensitas suara, frekuensi dan kecepatan. Nilai
Ambang Batas Kebisingan adalah besarnya level suara dimana tenaga kerja masih berada
dalam batas aman untuk bekerja 8 jam/hari atau 40 jam/minggu. Nilai Ambang Dengar
adalah suara yang paling lemah yang masih dapat didengar telinga.
Agar pekerja dapat bekerja dengan cepat, nyaman dan aman, kebisingan dan vibrasi
tersebut dapat diatur sedemikian rupa yang disesuaikan dengan Nilai Ambang Batas agar
kesehatan dan kegairahan kerja para tenaga kerja meningkat dan membantu menciptakan
lingkungan kerja yang aman, nyaman sehingga dapat meningkatkan efisiensi kerja,
mengurangi risiko kecelakaan, meningkatkan produktifitas dan memperbaiki housekeeping.
a. Frekuensi
Frekuensi adalah jumlah fluktuasi yang terjadi pada satu waktu. Satuan yang biasa
digunakan adalah siklus per detik atau Hertz (Hz). Telinga manusia dapat merespon bunyi
paling rendah pada 20 Hz dan paling tinggi adalah 20.000 Hz, hal ini tergantung pada
kepekaan masing-masing individu dan juga dipengaruhi oleh proses penuaan, penyakit
dan karena terpapar kebisingan. Suara atau bunyi yang terjadi umumnya terdiri dari
berbagai frekuensi dari berbagai sumber. Telinga manusia umumnya memiliki sensitifitas
pada frekuensi antara 1000 Hz hingga 4000 Hz.
b. Intensitas bunyi
Intensitas bunyi adalah besarnya energi yang digetarkan partikel udara yang
ditangkap oleh telinga. Intensitas bunyi dinyatakan dalam besarnya energi per unit waktu
atau biasa dinyatakan dalam N/m2 (atau Pascal). Telinga manusia mempunyai ambang
dengar terendah 0,00002 N/m2 dan ambang dengar tertinggi adalah 200 N/m2 karena
kisaran ambang dengar tersebut sangat besar maka untuk mempermudah
penggunaannya maka digunakan skala logaritma yang disebut desibel (dB). Besarnya
intensitas bunyi adalah bunyi dari sumber dengan ambang dengar standar dimana orang
dapat mendengar.
Lp = 20 log P/Po ( dB)
Keterangan :
Lp : intensitas bunyi
P : intensitas bunyi pada titik pengukuran
Po : intensitas bunyi referensi (0,00002 N/m2 merupakan standar
internasional yang ditetapkan untuk ambang dengar terendah, nilai
2
tersebut ditetapkan sebagai rata ambang dengar terendah untuk
manusia dewasa muda ketika mendengar pada frekuensi 1000 Hz)
.
Intensitas
(N/m2 Intensitas Sumber bunyi
atau Pascal) (dB)
λ=c/f
0
Kecepatan suara di udara adalah 334 m/det, pada suhu 20 C.
Rumus kecepatan suara adalah:
V=f.λ
Petugas
( …………………………)
8.6. Getaran
8.6.1. Pengertian dan Ruang Lingkup
Getaran (vibrasi) adalah gerakan bolak balik linear (atas-bawah, maju-mundur,
kanan-kiri) yang berlangsung dengan cepat dari suatu objek terhadap suatu titik.
Getaran dapat terjadi karena adanya efek dinamis berupa gesekan antar bagian
mesin atau putaran mesin. Sumber pemaparan biasanya berasal dari peralatan kerja, mesin
kendaraan (forklift), mesin gergaji, mesin bor, gerinda dan lain-lain.
Getaran yang ditimbulkan oleh peralatan dan mesin yang bergetar dapat memapari
tubuh tenaga kerja. Getaran ini akan menjalar pada bagian tubuh yang terpapar, sehingga
bagian tubuh yang terpapar getaran dapat ikut bergetar.
…… , ………………… 2009
Petugas
( …………………. )
BAB IX
FAKTOR KIMIA DI TEMPAT KERJA
Contoh penyakit yang disebabkan kontaminan kimiawi debu di tempat kerja adalah
silikosis, antrakosilikosis.
Formulir Laporan
Praktikum Sampling Toluen di Udara secara Stasioner
1 Identifikasi
.....................................
Nama perusahaan :
....................................
....................................
Alamat Perusahaan :
....................................
....................................
Jenis Perusahaan :
....................................
.....................................
Tanggal Pengukuran :
....................................
.....................................
Tanggal Analisa :
....................................
.....................................
Lokasi Pengukuran : ....................................
Jumlah Tenaga Kerja : Pria: …………orang ; Wanita:..........Orang
Kondisi Pengukuran : - Cuaca : cerah/mendung/hujan
- RH : %
- Sk : ºC
- Sb : ºC
- Flowrate : L/menit
- Lama Sampling : menit
2 Material/Bahan :
Media Sampling : Charcoal Tube (arang aktif)
Material/Bahan :....................................mesh
Berat Charcoal :......................................mg
3 Peralatan
Pompa penghisap udara (Vacuum :..............................L/menit
pump),kapasitas
Kapasitas flowrate :..............................L/menit
Kondisi Desikator (RH) :..............................L/menit
Flowrate rata-rata sebelum :..............................L/menit
sampling
Flowrate rata-rata setelah sampling :..............................L/menit
4 Teknik Pengukuran
NIOSH Manual of
Analytical Methode, 1501
5 Penentuan Waktu Pengukuran
Ditentukan berdasarkan TLV –
Time Weighted Average (TLV-
TWA)
6. Lama sampling : Selama 8 jam kerja /hari
2) Sampling Toluen Secara Personal Pasive Sampling
a. Peralatan
- Holder dari bahan Polyethylene
- Heat Stress Monitoring
b. Bahan
- Collection tube mengandung arang aktif, dengan ukuran partikel 0,4-0,6
mm,dengan penutup dari bahan Polyethylene
- Kertas label
c. Prosedur Kerja
1. Tahap Persiapan
- Pasang Collection tube mengandung arang aktif pada holder dari bahan
polyethylene (personal sampling device).
- Collection tube blanko mengandung arang aktif dibawa ke lapangan
2. Tahap Pengembilan Contoh
- Pasang personal sampling device pada kerah baju tenaga kerja
(breathingzone area)
- Buka penutup collection tube pada kedua ujungmya.
- Pengambilan contoh dilakukan selama 8 jam kerja/hari
3. Tahap pelaporan.
- Isi laporan teknis pada formulir yang sudah disediakan
- Buat laporan kegiatan sampling
Formulir Laporan
Praktikum Sampling Toluen secara Personal
1. Identifikasi
Nama perusahaan : ……………………………………………
Alamat Perusahaan : …………………………………………...
Jenis Perusahaan : ……………………………………………
Tanggal Pengukuran : …………………………………………….
Tanggal Analisa : ……………………………………………….
Lokasi Pengukuran : ………………………………………………
Jumlah Tenaga Kerja : Pria: …………orang ; Wanita:.........Orang
Kondisi Pengukuran : - Cuaca : cerah/mendung/hujan
- RH : %
- Sk : oC
- Sb : oC
- Flowrate : L/menit
-WaktuPengukuran: menit
2. Material/Bahan
Media sampling : arang aktif
Ukuran Partikel : ………………mm
3. Peralatan : Passive sampling device
5) Sampling Pb di Udara
a. Peralatan
- Personal sampling pump kapasitas 1-4 L/menit dilengkapi dengan selang silikon
- Timbangan analitik
- Pinset
- Desikator
- Tripod
- Obeng kecil
- Termometer
- Flowmeter
- Hygrometer
- Kaset Holder
b. Bahan
- Filter: 0,8 um cellulose ester membrane
- Kertas label
c. Prosedur Kerja
1. Tahap Persiapan
- Filter yang diperlukan disimpan dalam desikator selama 24 jam agar mendapatkan
kondisi stabil
- Filter kosong ditimbang sampai diperoleh berat konstan, minimal 3 kali
penimbangan, sehingga diketahui berat filter sebelum pengambilan sampling. Catat
berat filter blanko dan filter contoh masing-masing.
- Masing-masing cellulose ester filter disimpan dalam cassette sampler holder dengan
menggunakan pinset dan diberi kode.
- Siapkan personal sampling pump, selang dari bahan silikon, flow
meter, celluloseester filter
- Rakit peralatan dengan cara menghubungkan personal sampling pump dengan
cellulose ester filter dalam cassette filter holder, dan hubungkan dengan
selangsilikon.
- Pompa penghisap udara di hidupkan dan kalibrasi dengan laju aliran udara 1-4
L/menit dengan menggunakan flowmeter.
- Kalibrasi harus dilakukan sebelum sampling dan pada saat akhir sampling. Catat
data kalibrasi masing-masing minimal 3 kali pembacaan.
- Catatan: Flowmeter harus dikalibrasi oleh laboratorium yang terkalibrasi
2. Tahap Pengambilan Contoh
- Lakukan sampling Pb pada lokasi pengukuran selama 50 menit (sesuai metode,
volume minimal 200 L dan maksimal 1500 L dengan laju aliran udara 1-4 L/menit.
- Setelah selesai sampling, matikan personal sampling pump, ambil filter sampel yang
telah dipakai sampling, kemudian disimpan dalam cassette filter, beri kode dan
kemudian simpan dalam kotak sampel sebelum dilakukan analisis di laboratorium.
3. Tahap Pelaporan.
- Isi laporan teknis pada formulir yang sudah disediakan
- Buat laporan kegiatan sampling
Formulir Laporan
Praktikum Teknik Sampling Debu Total Secara Stationer
1. Identifikasi
Nama perusahaan : ……………………………………………
Alamat Perusahaan : …………………………………………...
- RH : %
Jenis Perusahaan : ……………………………………………
- Sk :
Tanggal Pengukuran : …………………………………………….
- Sb :
Tanggal Analisa : ……………………………………………….
- Flowrate : L/menit
Lokasi Pengukuran : ………………………………………………
- Waktu Pengukuran : menit
Jumlah Tenaga Kerja : Pria: …………orang ; Wanita:..........Orang
Kondisi Pengukuran : -Cellulose
Cuaca ester filter : cerah/mendung/hujan
: ………………mm
: ………………um
2. Material/Bahan
Jenis Filter
Diameter filter
Ukuran Pori Filter
3. Peralatan
Pompa penghisap Udara (Vacuum Pump) :..............................L/menit
Sensitivitas Timbangan Analitik :.....................................mg
Kapasitas flowmeter :..............................L/menit
Kondisi Desikator (RH) :.....................................%
Flowrate rata-rata sebelum sampling :.............................L/menit
Flowrate rata-rata sesudah sampling.....................................................L/menit
Teknik Pengukuran
4. Berdasarkan Metode NIOSH 7082
BAB X
FAKTOR BIOLOGI DI TEMPAT KERJA
Mikro organisme
Mikro organisme adalah sekelompok organisme yang terdiri dari bermacam-macam
jenis, ada yang bersel tunggal dan ada pula yang berbentuk cluster. Sangat sedikit sekali
tempat di muka bumi yang tidak ditempati oleh mikroorganisme, karena mikroorganisme
mempunyai kemampuan yang menakjubkan dalam proses metabolik dan mampu
menghasilkan energi. Tetapi pada kondisi tertentu mikro organisme dapat menyebabkan
gangguan terhadap kesehatan dan bahkan kematian.
a. Bakteri
Bakteri merupakan hewan bersel tunggal yang dapat ditemukan di darat, laut dan udara.
Dapat berkembang biak secara vegetatif yaitu dengan membelah diri. Bakteri
mempunyai 3 bentuk yaitu, berbentuk bulat, batang dan spiral. Bakteri berbentuk bulat
mempunyai ukuran diameter 0,7-1,3 mikron, yang berbentuk batang mempunyai ukuran
lebar 0,2-2,0 mikron dan panjang 0,7-3,7 mikron.
c. Sanitasi Makanan
Sanitasi makanan bagi tenaga kerja di perusahaan perlu diperhatikan, karena sanitasi
yang kurang baik dapat menyebabkan terjadinya keracunan makanan.
Berdasarkan penyebabnya keracunan makanan pada tenaga kerja dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
◻ Keracunan akibat masuknya bibit penyakit atau bakteri patogen yang terdapat di
dalam makanan ke dalam tubuh. Biasanya kuman-kuman akan berkembang biak
o
selama penyimpanan makanan pada suhu 10-65 C.
◻ Keracunan akibat makanan yang mengandung racun, seperti makanan yang
terkontaminasi oleh staphylococcus yang sering terdapat pada penyakit kulit, penyakit
saluran pernapasan. Pengelola makanan yang terkontaminasi dapat mengkontaminasi
makanan.
◻ Keracunan akibat parasit, seperti cacing pita. Bahan makanan sebaiknya direbus
untuk membunuh organisme yang terkandung di dalamnya.
◻ Keracunan akibat bahan kimia beracun, kontaminasi makanan dengan bahan kimia
beracun dapat menyebabkan keracunan akut dengan indikasi gangguan tiba-tiba
dalam beberapa menit hingga 2 jam setelah mengkonsumsi makanan tersebut.
Keracunan seperti ini seringkali disebabkan oleh: Arsen (As), Cadmium (Cd), Lead
(Pb), Zinc (Zn) dan lain-lain.
Upaya pencegahan keracunan makanan dapat dilakukan dengan cara menyediakan
ruang makan khusus yang terpisah jauh dari tempat kerja dan bebas dari kontaminasi
bahan-bahan kimia beracun, pengontrolan bahan makanan yang akan diolah,
menggunakan air yang memenuhi syarat standar kesehatan dan memasak makanan
sebelum dikonsumsi, pengelola makanan mengerti tentang sanitasi makanan dan gizi
kerja.
d. Pemeliharaan Fasilitas Industri
Lantai, atap dinding ruangan, peralatan kerja, mesin-mesin, gang, gudang penyimpanan,
tempat beristirahat dan merokok harus dibersihkan dan dirawat dengan baik, bebas dari
debu dan sisa-sisa bahan produksi. Kebersihan lantai dan dinding dapat mencegah
pekerja dari bahaya terpeleset, terjatuh akibat ceceran minyak atau air. Disamping itu
dapat memperlancar lalu lintas barang dan tenaga kerja. Dinding yang bersih dan rapi
dapat menambah intensitas penerangan saat bekerja.
e. Pencegahan dan Pembasimian Vektor Penyakit
Serangga dapat memindahkan bibit penyakit kedalam tubuh manusia lewat kulit atau
selaput lendir dan menyebarkan penyakit. Serangga dan lalat sering
berkembang biak dalam sampah dan genangan air. Upaya pencegahan dapat dilakukan
dengan membuang sampah pada tempatnya dan membersihkan bak penampungan air.
Sedangkan ruangan yang lembab dan kotor dapat menjadi tempat bersarangnya tikus,
misalnya gudang penyimpanan dan penumpukan barang. Untuk itu perlu diperhatikan
kebersihan pada tempat seperti ini, serta melakukan upaya pencegahan berkembangnya
hewan ini.
f. Pembuangan Limbah Domestik dan Industri
Limbah padat dan limbah cair yang dihasilkan akibat proses produksi sebaiknya
ditempatkan pada bak sampah tersendiri yang telah dipilah-pilah berdasarkan jenisnya,
apakah bisa didaur ulang, atau bisa langsung dibakar atau dikubur. Limbah cair yang
dihasilkan industri harus diolah terlebih dahulu sesuai spesifikasinya. Kontainer tempat
menampung limbah yang termasuk kategori B3 tidak boleh bocor, sampah tidak boleh
tercecer pada waktu pengumpulan dan penyimpanan sementara sebelum dibawa ke
tempat pembuangan akhir B3.
g. Perlengkapan Fasilitas Higiene Perseorangan
Higiene perseorangan memegang peranan penting dalam menentukan tingkat kesehatan
tenaga kerja. Setiap tenaga kerja wajib untuk memelihara dan meningkatkan kebersihan
pribadinya dan pihak perusahaan wajib menyediakan fasilitas kebersihan tersebut sesuai
dengan yang dipersyaratkan. Fasilitas-fasilitas tersebut adalah sebagai berikut:
◻ WC (kakus)
Tiap tempat kerja harus menyediakan WC yang memenuhi syarat kesehatan dan
harus terpisah untuk tenaga kerja pria dan wanita. Letak WC harus mudah dicapai
dan tidak berhubungan langsung antara WC tenaga kerja pria dan WC tenaga kerja
wanita. Tersedia air yang cukup, kertas tisu serta terjaga kebersihannya, WC untuk
pekerja wanita harus tertutup rapat. Perbandingan jumlah WC dengan tenaga kerja
adalah: 1 WC untuk 1 s/d 15 orang tenaga kerja, 2 WC untuk 16 s/d 30 orang tenaga
kerja, 3 WC untuk 31 s/d 45 orang tenaga kerja, 4 WC untuk 46 s/d 60 tenaga kerja,
5 WC untuk 61 s/d 80 tenaga kerja. Tiap, 5 WC untuk 81 s/d 100 dan selanjutnya
untuk setiap 100 tenaga kerja harus menyediakan 6 WC dan dibersihkan 2-3 kali
sehari.
◻ Tempat cuci tangan, mandi dan ruang ganti.
Yang perlu diperhatikan adanya tempat cuci tangan, mandi dan ruang ganti,
pembuangan sampah dan tempat yang terpisah antara pekerja pria dan wanita.
Tempat cuci harus tersedia sesuai jumlah WC dan dibersihkan 2-3 kali sehari Ruang
makan dan kantin yang memenuhi syarat.
Ruang makan harus cukup luas, tenaga kerja dapat makan secara sekaligus atau
secara bergilir. Tenaga kerja dilarang makan, minum dan merokok di tempat kerja
terutama di tempat kerja yang banyak bahan berbahayanya,
h. Ketatarumah-tanggaan Perusahaan
Gedung perusahaan dijaga agar tetap bersih, dicat, mempunyai penerangan yang
cukup dan mempunyai sistem sirkulasi udara/ ventilasi yang baik.
Mesin-mesin, peralatan dan perkakas kerja diatur sehingga aman dan efisien untuk
melakukan pekerjaan serta mudah untuk dibersihkan.
Bahan-bahan disimpan secara aman.
Alat-alat perlengkapan kerja disimpan secara aman di dalam lemari atau rak.
Tempat pembuangan dan penyimpanan sampah harus tersedia, layak dan harus
sering dikosongkan dan diatur.
Tempat kerja harus terang, bersih, bebas dari kotoran dan gangguan.
Lantai harus dibersihkan, bebas dari hambatan, bebas dari bahan/ barang yang
dapat menyebabkan terjatuh atau terpeleset (air, minyak, dll).
Ruangan, tempat lalu lintas, jalan keluar dari tempat kerja harus bebas dari bahan
buangan.
Semua sudut ruangan tempat kerja harus dibersihkan, mempunyai penerangan yang
cukup dan bebas dari bahan buangan.
Bahan yang mudah terbakar harus dibuang di tempat yang telah ditentukan atau
disimpan di tempat yang tertutup.
Sisa-sisa produksi yang bersih disimpan di dalam wadah tertutup, kemudian
disimpan di suatu ruangan yang tahan api atau di dalam lemari.
Bahan-bahan yang berbahaya harus disimpan di luar bangunan utama.
Tempat penyimpanan bahan-bahan harus diberi tanda (label).
Bahan-bahan yang kelebihan tidak boleh ditinggalkan di tempat kerja.
Lantai, dinding, atap, jendela, pipa, lampu harus dibersihkan secara berkala.
◻ Alat kerja yang sudah tua atau tidak digunakan lagi harus dibuang atau dipindahkan
dari tempat kerja.
◻ Tenaga kerja harus bekerja sesuai prosedur kerja yang berlaku di tempat kerja dan
harus membersihkan tempat kerja sesuai prosedur.
◻ Inspeksi secara teratur untuk memastikan agar kondisi tempat kerja terjaga
kebersihannya.
111
- Toksikologi ialah ilmu yang mempelajari tentang mekanisme kerja dan efek yang tidak
diinginkan dari bahan kimia yang bersifat racun serta dosis yang berbahaya terhadap tubuh
manusia.
- Toksikologi Industri ialah salah satu cabang ilmu toksikologi yang menaruh perhatian pada
pengaruh paparan bahan-bahan yang dipakai dari sejak awal sebagai bahan baku, proses
produksi, hasil produksi beserta penanganannya terhadap tenaga kerja yang bekerja di unit
produksi tersebut.
- Toksin atau racun ialah suatu zat yang dalam jumlah relatif kecil dapat mengganggu kesehatan
manusia.
- Xenobiotik: sebutan untuk semua bahan yang asing bagi tubuh. Misalnya obat, bahan kimia dan
lain sebagainya.
- Toksisitas ialah kemampuan suatu zat untuk menimbulkan kerusakan pada organ tubuh suatu
organisme.
- Hazard adalah potensi bahaya suatu kondisi yang dapat meyebabkan gangguan terhadap
manusia.
- Risiko ialah besarnya kemungkinan suatu kondisi dapat menimbulkan keracunan.
- LD50 suatu zat ialah dosis (mg/Kg berat badan) yang dapat menyebabkan kematian pada 50%
binatang percobaan dalam spesies yang sama setelah terpapar suatu zat dalam waktu tertentu.
- LC50 suatu zat adalah kadar konsentrasi (ppm) yang dapat menyebabkan kematian pada 50%
binatang percobaan dalam spesies yang sama setelah terpapar suatu zat dalam waktu tertentu.
- Dosis ialah jumlah xenobiotik yang masuk ke dalam tubuh manusia.
- Hubungan dosis dan efek (dose-effect relationship): hubungan antara dosis dengan efek yang
terjadi pada manusia.
- Dose response relationship: hubungan antara dosis dan persentase individu yangmenunjukkan
gejala tertentu/ spesifik.
- Masa laten: waktu antara pemaparan pertama dengan timbulnya gejala/ respon.
- Efek sistemik ialah efek toksik pada jaringan seluruh tubuh.
- Target organ ialah organ yang paling sensitif terhadap pajanan yang terjadi.
- Efek akut ialah efek yang terjadi sesudah terpapar dalam waktu singkat (jam, hari),
- Efek kronis adalah efek yang terjadi setelah paparan yang lama (bulanan, tahunan).
Pusing kejang
5. Pestisida Organoklorin,Organofosfat, , , hilang
Karbamat,
Arsenik kesadaran, kematian
Tabel 12.2. Contoh Bahan Kimia Beracun
12.13. Pemantauan dan Pengendalian
a. Sistem Labeling
Untuk mencegah terjadinya penyakit/ kecelakaan akibat kerja maka perlu dilakukan tindakan
pencegahan antara lain dengan sistem labeling. Memberikan informasi yang jelas tentang bahan-
bahan berbahaya sangat diperlukan terutama kepada para supervisor dan para pekerja. Bagi yang
berpendidikan rendah diperlukan informasi yang mudah dikenal, sehingga dengan cepat pula dapat
bersikap hati-hati dalam penanganannya. Pemberian informasi tersebut dikenal dengan sistem
labeling atau pemberian etiket.
b. Pemantauan Lingkungan Kerja
Pemantauan kualitas lingkungan kerja amat diperlukan dalam keselamatan dan kesehatan
kerja untuk mencegah terjadinya penyakit akibat kerja. Dalam pemantauan ini dilakukan sampling
dan analisa untuk mengetahui:
◻ Jenis kontaminan misalnya H2S, SO2, NOx, CO)
3
◻ Jumlah/ konsentrasi kontaminan (ppm atau mg/m )
Data hasil pemantauan ini kemudian dibandingkan dengan NAB yang ada
dan merupakan salah satu fakta yang obyektif apakah kondisi lingkungan kerja memenuhi
persyaratan kesehatan kerja. Bila tidak memenuhi persyaratan kesehatan kerja, maka perlu
dilakukan pengendalian sumber bahaya. Apabila pengendalian sumber bahaya tidak berhasil
dengan baik, maka pekerja potensial terpapar bahan berbahaya, dan untuk mengetahui risiko
bahaya terhadap kesehatan tenaga kerja dapat dilakukan pemantauan biologis.
c. Pemantauan Biologis (Biological Monitoring)
Bahan kimia yang bersifat racun dapat menimbulkan efek lokal (ditempat masuk bahan
kimia) atau efek sistemik (ke seluruh tubuh atau ke organ tubuh). Tubuh akan terganggu dengan
masuknya zat racun tersebut dan dengan berbagai mekanisme tubuh berusaha melakukan
detoksifikasi terutama oleh organ hati. Ada beberapa cara detoksifikasi dan hasil metabolitnya
sebagian atau seluruhnya dikeluarkan/ diekskresikan melalui urine, tinja, keringat atau udara
pernafasan. Dapat pula bahan tersebut di timbun pada organ-organ tubuh seperti kuku, rambut
yang kadarnya sebanding dengan kadar dalam darah.
Untuk itu upaya pengendalian dan perlindungan dapat dilakukan dengan pemantauan
biologis terhadap tenaga kerja yaitu dengan melakukan pemeriksaan darah, urine, ataupun tinja,
atau bahkan kadang-kadang kuku, rambut sesuai dengan sifat bahan kimia yang dicurigai. Jadi
pemantauan biologis (biological monitoring) ialah suatu cara untuk menilai paparan dan risiko
terhadap kesehatan tenaga kerja dengan cara mengukur konsentrasi indikator bahan kimia
(determinan) pada spesimen biologis dan merupakan indikator uptake dari suatu bahan kimia
secara inhalasi. Nilai yang didapat dibandingkan dengan nilai Indeks Pajanan Biologis (Biological
Exposure Indices). Bila nilainya di bawah dari nilai Indeks Pajanan Biologis maka dapat dikatakan
tenaga kerja tidak akan terganggu kesehatannya.
Dengan demikian setiap kelainan yang menjurus pada penyakit akibat kerja dapat diketahui
secara dini. Contoh pada keracunan metil merkuri, karena rambut tumbuh relatif konstan maka
untuk mengetahui paparan merkuri selama waktu tertentu digunakan rambut sebagai indikator
biologis. Kadar methyl merkuri yang ditimbun pada rambut kurang lebih 250 kali dibandingkan kadar
dalam darah; 0.2 mikrogram/g dalam darah = 50 mikrogram/g di rambut.
Indeks Pajanan Biologis (Biological Exposure Indices) menunjukkan konsentrasi zat
indikator biologis (determinan) pada pemantauan biologis dari spesimen tenaga kerja yang dalam
kondisi sehat dan terpapar bahan kimia pada waktu bekerja dengan beban kerja dan aktivitas yang
normal sesuai ketentuan pada NAB:
Bahan Kimia Spesimen Indikator Biologis BEI
Anilin Urine p-aminophenol 50 mg/g (end of shift)
25 µg/g creatinine
Benzena Urine S-phenylmercapturic (end
acid of shift)
Kadmium urine Kadmium 5 µg/g creatinine
darah 5 µg/L
Karbon disulfida Urine 2-thioxothiazolidine-4- 0,5 mg/g creatinine
carboxylic acid (end of shift)
3.5% Hb (end of
Karbon darah carboxyhemoglobin shift)
monoksida nafas carbonmonoksida 20 ppm (end of shift)
25 µg /L (end of shift
Kromium Urine Kromium at
end of workweek)
Fluoride Urine Fluoride 2 mg/L (prior to shift)
3 mg/L (end of shift)
Lead Darah total lead 30 µg/100ml
Methanol Urine Methanol 15 mg/L (end of shift)
Pestisida Darah Cholinesterase 70 %
organopospat
250 mg/g (end of
Phenol Urine total phenol shift)
0,03 mg/L (end of
Toluen urine Toluen shift)
0.02 mg/L (prior to
last
darah Toluen shift of workweek
Xylen Urine Methyl hippuric acid 1,5g/g creatinin
Tabel 12.3. Beberapa Nilai BEI Bahan Kimia
Threshold Limit Values and Biological Exposure Indices (ACGIH 2013).
d. Pengendalian Teknis
Pengendalian teknis ditujukan untuk menjaga agar udara lingkungan kerja tidak
terkontaminasi oleh bahan-bahan yang berbahaya bagi kesehatan tenaga kerja atau kalaupun ada
kontaminasi diupayakan tidak melebihi Nilai Ambang Batas yang ada. Dengan demikian diharapkan
tenaga kerja dapat selalu terpelihara kesehatannya, dan meningkat produktivitasnya. Ada berbagai
cara pengendalian teknis ini, dan memerlukan pemilihan cara yang tepat terutama dalam
penggunaan jenis bahan baku, teknologi proses dan pemeliharaan peralatan produksi. Beberapa
cara pengendalian itu ialah:
◻ Substitusi:
Menggantikan bahan-bahan yang berbahaya yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit
dengan bahan yang lebih aman. Misalnya benzene diganti dengan toluene dan xylene,
methanol diganti dengan etanol.
◻ Isolasi
Suatu tindakan untuk melokalisir proses ataupun bahan-bahan yang dapat menimbulkan
bahaya, yang selanjutnya diharapkan kontaminasi tidak menyebar ketempat lain.
◻ Ventilasi
Untuk menggantikan udara yang terkontaminasi di lingkungan kerja dengan udara segar,
dengan cara mengalirkan udara yang bersih ketempat yang
terkontaminasi.
e. Pengendalian Administrasi
Pengendalian administrasi dilakukan apabila cara-cara pengendalian tersebut di atas tidak
atau belum dapat menjaga lingkungan kerja yang memenuhi persyaratan kesehatan kerja. Yang
dimaksud dengan pengendalian administrasi ialah pengendalian faktor bahaya di tempat kerja
dengan menyertakan sistem managemen. Beberapa cara pengendalian administrasi yang dapat
dilakukan ialah:
- Kebersihan umum dan higiene perorangan
- Pemeriksaan kesehatan awal, berkala, dan khusus
- Pelatihan dan Pendidikan
- Rotasi pekerjaan
- Pemahaman MSDS (Material Safety Data Sheet)
f. Penggunaan Alat Pelindung Diri. Bila semua upaya di atas tetap tidak dapat menjaga udara
lingkungan kerja atau konsentrasi polutan masih lebih tinggi dari NAB, maka sebagai langkah
berikutnya ialah pemberian alat pelindung diri yang sesuai dengan potensi bahaya yang ada.
BAB XIII
TUGAS DAN FUNGSI DOKTER PERUSAHAAN
Profesi lain yang dapat membantu pelayanan kesehatan dan keselamatan kerja antara lain
paramedis/ perawat kesehatan dan keselamatan kerja, ahli toksikologi, ahli audiologi, fisioterapis,
psikolog pengacara, pengurus rehabilitasi medis, dan para spesialis di bidang ilmu kedokteran
(dokter ahli bedah tulang, ahli paru, dokter ahli penyakit dalam, dan lain-lain).
Agar seseorang tenaga kerja berada dalam keserasian sebaik-baiknya yang berarti bahwa
yang bersangkutan dapat menjamin keadaan kesehatan dan produktivitas kerjanya secara optimal,
maka perlu adanya keseimbangan yang positif konstruktif, antar unsur-unsur:
1. Beban kerja
Setiap pekerjaan merupakan beban bagi pelakunya. Beban dimaksud mungkin fisik, mental,
dan atau sosial. Seseorang tenaga kerja yang secara fisik bekerja berat seperti halnya buruh
bongkar muat barang di pelabuhan, memikul lebih banyak beban fisik dari pada beban mental
ataupun sosial. Berlainan dari itu adalah beban kerja seorang pengusaha atau manajemen,
tanggung jawabnya, merupakan beban mental yang relatif jauh lebih besar dari pada beban
fisik yang dituntut pekerjaannya. Adapun petugas sosial misalnya penggerak lembaga sosial
masyarakat atau gerakan mengentaskan kemiskinan, mereka lebih menghadapi dan memikul
beban kerja sosial kemasyarakatan. Seseorang tenaga kerja memiliki kemampuan tersendiri
dalam hal kapasitas menanggung beban kerjanya. Mungkin diantara mereka lebih cocok untuk
beban fisik atau mental, atau sosial. Namun demikian, terdapat kesamaan yang berlaku umum
yaitu mereka memiliki keterbatasan, hanya mampu untuk memikul beban sampai tingkat
tertentu. Selain dari batas maksimal beban, bagi masing-masing tenaga kerja terdapat
pembebanan kerja yang paling optimal bagi tenaga kerja yang bersangkutan. Prinsip ini
sebenarnya yang mendasari maksud penempatan seorang tenaga kerja yang tepat pada
pekerjaan yang tepat pula. Atau dengan lebih tegas lagi pemilihan tenaga kerja tersehat untuk
pekerjaan yang tersehat pula. Derajat tepat untuk penempatan meliputi kecocokan
pengalaman, pengetahuan, keahlian, keterampilan, motivasi, sikap kerja dan lain sebagainya.
2. Beban tambahan akibat dari pekerjaan dan lingkungan kerja
Sebagai tambahan kepada beban kerja yang merupakan beban langsung akibat pekerjaan
atau beban pekerjaan yang sebenarnya, pekerjaan biasanya dilakukan dalam suatu lingkungan
atau situasi, yang menyebabkan adanya beban tambahan kepada tenaga kerja baik jasmani
maupun rohani. Terdapat 5 faktor yang menjadi beban tambahan dimaksud:
a. Faktor Fisik, meliputi faktor penerangan, suhu udara, kelembaban udara, tekanan udara,
kebisingan, vibrasi, radiasi gelombang elektromagnetik
b. Faktor kimiawi meliputi semua zat kimia organik dan anorganik yang mungkin wujud fisiknya
merupakan salah satu atau lebih dari bentuk gas, uap, debu, kabut, fumeltulic (uap logam),
asap, awan, cairan, dan atau zat padat.
c. Faktor biologis, yaitu semua mahluk hidup baik dari golongan tumbuhan maupun hewan dari
yang paling sederhana bersel tunggal, sampai dengan yang paling tinggi tingkatannya.
d. Faktor Fisiologis/ Ergonomis yaitu interaksi antara faal kerja manusia dengan pekerjaan dan
lingkungan kerjannya seperti konstruksi mesin yang disesuaikan dengan fungsi indera
manusia, postur dan cara kerja yang mempertimbangkan aspek antropometris dan fisiologi
manusia.
e. Faktor mental dan psikologis, meliputi reaksi mental dan kejiwaan terhadap suasana kerja,
hubungan antara pengusaha dan tenaga kerja struktur dan
prosedur organisasi pelaksanaan kerja dan lain-lain.
Faktor-faktor tersebut yang sifatnya negatif dan dalam kadar yang cukup dapat mengganggu
daya kerja serta kesehatan seseorang tenaga kerja.
3. Kapasitas kerja
Kemampuan kerja seseorang berbeda dari satu kepada yang lainnya dan sangat bergantung
kepada motivasi kerja, pengalaman, latar belakang pendidikan, keahlian, keterampilan,
kesesuaian, terhadap pekerjaan, kondisi kesehatan, keadaan gizi, jenis kelamin, usia, dan
ukuran antropometris tubuh serta reaksi kejiwaan.
C. Fungsi Administratif
Fungsi administratif adalah fungsi pendukung jalannya fungsi perlindungan dan pelayanan
kesehatan kerja. Sebagai profesional, pencatatan memberikan banyak manfaat terlaksananya
semua fungsi tersebut di atas. Dalam Permenaker 02 tahun 1980 dikatakan perlunya perencanaan
pemeriksaan kesehatan tenaga kerja, dan memang apabila perencanaan tersebut tidak dicatat dan
dilaporkan akan terjadi tenaga kerja meninggalkan tugasnya untuk pemeriksaan kesehatan atau
sebaliknya tanpa koordinasi atau mendadak sehingga salah satunya terbengkalai. Selain itu tenaga
kerja juga seakan dipaksakan untuk menerima pelayanan kesehatan sehingga hasil yang didapat
tidak menunjukkan keadaan kesehatan yang sesungguhnya. Pencatatan dan pelaporan bukan
hanya kepada internal perusahaan, tapi juga kepada eksternal perusahaan. Pencatatan kejadian
kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja adalah kewajiban perusahaan dan dokter perusahaan
untuk dapatnya kompensasi kepada tenaga kerja. Selain itu komunikasi kepada tenaga kerja dan
perusahaan adalah tujuan dari fungsi administratif. Pencatatan status kesehatan tenaga kerja
merupakan lembar indikator terhadap kejadian paparan lingkungan kepada tenaga kerja.
Fungsi dokter perusahaan tersebut di atas tentunya akan dapat dilaksanakan jika didukung
seluruh komponen perusahaan yaitu manajemen, serikat pekerja, pekerja bahkan pemerintah
melalui pengawas ketenagakerjaan. Pimpinan atau pengurus perusahaan sangat berkepentingan
dalam peningkatan keuntungan perusahaan, dan dokter perusahaan memastikan tersedianya
tenaga kerja yang sehat untuk mencapai produktivitas yang optimal. Memastikan juga bahwa
tenaga kerja bukan hanya mau tapi juga mampu untuk bekerja dengan prilaku dan lingkungan kerja
yang sehat.
14.6. Definisi
A. Ergonomi
Istilah Ergonomi berasal dari bahasa Latin yaitu “ergon” yang artinya kerja dan “nomos” yang
artinya aturan. Menurut International Ergonomic Association, Ergonomi didefinisikan sebagai studi
tentang aspek-aspek manusia dalam lingkungan kerjanya yang ditinjau secara anatomi, fisiologi,
psikologi, engineering, manajemen dan desain/ perancangan. Di dalam ergonomi dibutuhkan studi
tentang sistem dimana manusia, fasilitas kerja dan lingkungannya saling berinteraksi dengan tujuan
utama yaitu menyesuaikan suasana kerja dengan manusianya.
Penerapan ergonomi pada umumnya merupakan aktivitas desain ataupun re-desain sarana
dan lingkungan kerja. Ergonomi dapat pula berfungsi sebagai desain perangkat lunak dengan
semakin banyaknya pekerjaan yang berkaitan erat dengan komputer. Ergonomi dapat berperan
pula sebagai desain pekerjaan pada suatu organisasi, misalnya penentuan jumlah jam istirahat,
pemilihan jadwal kerja gilir, meningkatkan variasi pekerjaan dan lain-lain. Penerapan ergonomi
lainnya adalah desain dan evaluasi produk.
Disamping itu ergonomi juga memberikan peranan penting dalam meningkatkan faktor
keselamatan dan kesehatan kerja, misalnya seleksi karyawan, pemeriksaan kesegaran jasmani dan
desain suatu sistem kerja untuk mengurangi rasa nyeri dan ngilu pada sistem kerangka dan otot
manusia. Selain itu ergonomi juga berperan dalam menciptakan kenyamanan kerja dan mengurangi
kelelahan kerja.
Kelelahan kerja dapat diketahui dari hasil pengukuran sehingga dapat dilakukan koreksi
terhadap lingkungan dan perangkat kerja, sikap maupun cara kerja.
B. Fisiologi Kerja
Ilmu tentang faal yang dikhususkan untuk manusia yg bekerja disebut ilmu faal kerja/
fisiologi kerja. Secara faal, bekerja adalah hasil kerjasama dalam koordinasi yang sebaik-baiknya
dari indera mata, telinga, peraba, perasa dan lain-lain, otak dan susunan syaraf-syaraf di pusat dan
di perifer, serta otot-otot. Selanjutnya untuk pertukaran zat diperlukan peredaran darah ke dan dari
otot-otot, dalam hal ini, jantung, paru-paru dan lain-lain menunjang kelancaran proses pekerjaan.
Dalam keadaan otot kekurangan energi, timbunan glikogen di hati akan dimobilisasi ke otot.
Sedangkan ginjal merupakan alat pertukaran zat bagi bahan-bahan terlarut.
Otot-otot adalah salah satu organ yang terpenting terutama untuk pekerjaan fisik. Otot
bekerja dengan jalan kontraksi dan relaksasi. Terdapat 2 jenis kerja otot yaitu: kerja otot dinamis
yang ditandai dengan adanya proses berulang antara kontraksi dan relaksasi serta kerja otot statis
ditandai dengan proses kontraksi yang berkepanjangan. Selama kontraksi, darah diantara serat-
serat otot terjepit, sehingga mengganggu peredaran darah. Jadi pertukaran zat terganggu dan hal
demikian menjadi sebab kelelahan otot. Kelelahan otot secara fisik antara lain akibat zat-zat sisa
metabolisme seperti asam laktat, CO 2, dan sebagainya. Namun kelelahan, sesuai dengan
mekanisme kerja, tidak saja ditentukan oleh keadaan ototnya sendiri,
melainkan terdapat komponen mental psikologis dan lingkungan kerja yang sering juga besar
pengaruhnya.
Otot dan tulang merupakan dua alat yang sangat penting dalam bekerja. Maka
berkembanglah ilmu biomekanik, yaitu ilmu tentang gerakan otot dan tulang, yang dengan
penerapannya diharapkan agar dengan tenaga sekecil-kecilnya dapat dicapai hasil kerja sebesar-
besarnya. Otot dan tulang merupakan faktor-faktor terpenting bagi ukuran-ukuran tubuh. Ukuran-
ukuran ini menentukan pula kemampuan fisik tenaga kerja. Peralatan kerja dan mesin perlu serasi
dengan ukuran-ukuran tersebut. Maka berkembanglah ilmu yang disebut antropometri, yaitu ilmu
tentang ukuran-ukuran tubuh, baik dalam keadaan statis ataupun dinamis.
=
Jasmani 2 x (jumlah ketiga nadi)
Kriteria Indeks Kesegaran Jasmani adalah sebagai berikut :
Indeks Kesegaran Kriteria
Jasmani
>89 Amat Baik
80 s/d 89 Baik
65 s/d 79 Cukup
55 s/d 64 Sedang
< 55 Kurang
Tabel 14.2. Indeks Kesegaran Jasmani
D. Pengukuran Kelelahan
Kelelahan dapat diukur dengan reaction timer dan flicker fussion, yakni:
- Metode Pengukuran Kelelahan dengan reaction timer
◻ Catat angka pada penampil langsung yang menunjukkan waktu reaksi dengan satuan mili
detik
◻ Ulangi memberikan rangsang cahaya/ suara sampai 15 kali, data pertama sampai ke 5
dihapus, sedangkan data ke 6 sampai ke 15 dijumlah dan dibagi 10
- Metode Pengukuran Kelelahan dengan Flicker Fussion
◻ Kedipan dimulai dari frekuensi rendah, pelan-pelan ditingkatkan sampai pasien merasa
bukan kedipan melainkan cahaya kontinyu, catat frekuensi tersebut
◻ Ulangi pemeriksaan 5 kali dan dirata rata
Hasil pengukuran
1. Standar pengukuran dengan reaction timer: 150 -
240 Normal
241 - 410 Kelelahan Ringan
TENAGA
KERJA
KESEHAT KESELAMA
AN TAN
PROSES
BAHAN ALAT
LINGKUNGAN
Kondisi kesehatan tenaga kerja dapat berubah tergantung kondisi keseharian pekerja Pemeriksaan
kesehatan merupakan kondisi saat itu, sehingga perlu adanya evaluasi dan pemeriksaan berkala.
A. Persiapan pelaksanaan pemeriksaan kesehatan tenaga kerja
Persiapan yang perlu dilakukan untuk pelaksanaan pemeriksaan kesehatan adalah sebagai
berikut:
a. Pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja: perusahaan menetapkan rencana penempatan calon
tenaga kerja dengan melakukan identifikasi faktor bahaya tempat kerja, bahan yang digunakan
dan cara kerjanya.
b. Berdasarkan kondisi faktor bahaya kerja, ditetapkan jenis pemeriksaan yang akan dilakukan.
c. Sosialisasi pemeriksaan kesehatan perlu dilakukan kepada calon tenaga kerja agar mengetahui
hak dan kewajibannya serta pentingnya pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja dan berkala.
Tenaga kerja juga perlu dijelaskan persiapan yang perlu dilakukan sebelum pelaksanaan
pemeriksaan kesehatan, contoh: bila akan dilakukan audiometri maka tidak boleh terpapar bising
selama 8-16 jam sebelumnya.
d. Penanggung jawab pelaksanaan kegiatan pemeriksaan kesehatan adalah manajer perusahaan
yang bertanggung jawab terhadap kesehatan tenaga kerja.
B. Parameter Uji Kesehatan
Parameter uji kesehatan ditetapkan berdasarkan risiko kesehatan (health hazards) yang
bersumber dari lingkungan hidup seperti sanitasi lingkungan dan pencemaran, gaya hidup
masyarakat Indonesia yang sedang berubah (transisi demografi), maupun risiko khusus yang ada
dalam pekerjaan sehari-hari di perusahaan secara kimiawi, fisik, biologik dan ergonomik. Contoh
kategori kelompok risiko dapat dibagi dalam paket parameter uji yang berbeda sebagai berikut:
- Paket A: Pemeriksaan kesehatan untuk administrasi kantor
- Paket B: Pemeriksaan kesehatan untuk yang terpapar bahan kimia berbahaya
- Paket C: Pemeriksaan kesehatan untuk tenaga kerja yang terpapar panas melewati nilai ambang
batas
- Paket D : Pemeriksaan kesehatan untuk supir
- Paket E: Pemeriksaan kesehatan untuk tenaga kerja dengan aspek ergonomik (pekerjaan
repetitif pada tangan dan jari dan manual handling)
- Paket F: Pemeriksaan kesehatan untuk tenaga kerja yang bekerja di ketinggian
- Paket G: Pemeriksaan kesehatan untuk tenaga kerja yang terpapar bising
Selain contoh paket tersebut dapat pula dibuat jenis pemeriksaan dengan memperhatikan range
usia, misalnya < 30 tahun, 30-40 tahun, > 40 tahun.
Setiap calon tenaga kerja atau tenaga kerja yang akan diperiksa kesehatannya diminta
mengisi kuesioner dan mengikuti pemeriksaan kesehatan secara umum. Evaluasi kesehatan umum
minimal mencakup hal-hal berikut:
a. Informasi administratif (nama, alamat, tanggal lahir, departemen/ bagian yang dituju)
b. Informasi medis (wawancara oleh dokter)
- Riwayat penyakit terdahulu
- Riwayat pekerjaan
- Riwayat penyakit keluarga
- Keluhan medis saat ini
- Riwayat alergi
- Penggunaan obat-obatan saat ini
- Riwayat imunisasi (jenis, tanggal pemberian booster)
- Perilaku hidup (merokok, konsumsi alkohol, aktivitas fisik dan olahraga, pola makan)
c. Pemeriksaan klinis (pemeriksaan fisik oleh dokter)
- Tinggi dan berat badan (indeks massa tubuh)
- Tekanan darah
- Nadi
- Ketajaman penglihatan, buta warna
- Pemeriksaan gigi
d. Pemeriksaan penunjang
- Analisis urin (protein, glukosa, darah, sedimen)
- Foto toraks
- EKG
- Analisis darah rutin
Pemeriksaan spesifik sebagai tambahan harus dilakukan berdasarkan risiko pekerjaan,
misalnya audiometri (bagi tenaga kerja yang terpapar bising), spirometri/ tes fungsi paru (bagi
tenaga kerja yang menggunakan aparatus pernafasan), antibodi hepatitisB surface antigen (bagi
tenaga kerja kesehatan), pemeriksaan mikroskopik atau kultur feses(bagi pengelola makanan).
15.9.5. Sarana dan Prasarana Klinik Kesehatan Kerja untuk Pemeriksaan Kesehatan
Untuk melakukan pemeriksaan kesehatan sebaiknya minimal tersedia sarana sebagai
berikut:
a. Ruang pemeriksaan dan alat medis umum
b. Spirometer untuk tes faal paru (dengan interpretasi hasil berdasarkan normogram Indonesia)
c. Audiometer untuk tes pendengaran (dilengkapi ruang kedap suara atau dengan tingkat
kebisingan < 40 dB)
d. Treadmill dan EKG untuk deteksi penyakit jantung koroner
e. Ishihara chart untuk deteksi buta warna
f. Snellen chart untuk pemeriksaan visus
g. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah rutin dan urin rutin
h. Alat radiologi untuk foto rontgen paru dan alat pencuci foto
i. Laboratorium untuk pengukuran hazard lingkungan kerja
j. Laboratorium untuk bio monitoring paparan bahan kimia
k. Laboratorium pengukuran faktor risiko ergonomik
Bila sarana-sarana tersebut ada yang tidak tersedia, dapat dilakukan oleh laboratorium
jejaring atau provider lain sebagai pihak ketiga.
Untuk pengambilan darah, urin serta tindakan lain yang perlu menggunakan peralatan yang
steril (disposible). Alat-alat yang digunakan harus memenuhi standar pelayanan kesehatan dan
terkalibrasi.
Pemenuhan peraturan pemerintah mengenai legalitas pemeriksaan kesehatan adalah
sebagai berikut:
a. Izin operasional pelayanan medis, sesuai dengan tingkatannya (Klinik Laboratorium, Klinik
Dokter, Rumah Sakit) yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan setempat.
b. Izin operasional fasilitas medis, seperti: laboratorium, radiologi yang dikeluarkan oleh Dinas
Kesehatan setempat.
c. Mempunyai Surat Penunjukkan Jasa Pemeriksa Kesehatan Kerja dari Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi (bagi perusahaan yang menggunakan jasa penyedia dari luar perusahaan).
d. Mempunyai izin dan Dokter Pemeriksa Kesehatan Kerja yang diberikan oleh Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi khusus untuk Klinik/ Laboratorium Klinik/ Rumah Sakit.
e. Mengelola pembuangan limbah medis sesuai peraturan.
SDM untuk melakukan pemeriksaan kesehatan tenaga kerja di klinik perusahaan minimal
sebagai berikut:
a. Dokter pemeriksa kesehatan tenaga kerja atau dokter perusahaan
b. Paramedis perusahaan
16.5. Definisi
a. Ilmu gizi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang makanan dalam hubungannya
untuk mencapai tingkat kesehatan tubuh yang optimal (Almatsier, 2010).
b. Zat gizi adalah zat yang diperlukan tubuh untuk melakukan fungsinya, yaitu menghasilkan
energi, membangun dan memelihara jaringan, serta mengatur proses-proses kehidupan
(Almatsier, 2010).
c. Makanan adalah bahan selain obat yang mengandung zat-zat gizi dan atau unsur-unsur/ ikatan
kimia yang dapat diubah menjadi zat gizi oleh tubuh, yang berguna bila dimasukkan ke dalam
tubuh (Almatsier , 2010).
d. Gizi kerja adalah ilmu gizi yang mempelajari secara khusus tenaga kerja sebagai sumber daya
manusia dan faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi yang berkaitan dengan produktivitas
kerja serta faktor lingkungan kerja yang mempengaruhi gizi dan kesehatan tenaga kerja
(Kamal, 2011).
e. Angka kecukupan gizi adalah suatu kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari bagi semua orang
menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, aktifitas tubuh untuk mencapai derajat
kesehatan yang optimal (Permenkes No. 75 Tahun 2013).
f. Penyakit gizi kerja merupakan penyakit gizi sebagai akibat kerja ataupun ada hubungan
dengan kerja. Sebagai contoh: Penyakit anemi gizi dapat menyebabkan konsentrasi kerja
menurun dan daya ingat yang lambat, selanjutnya akan menurunkan produktivitas, sebaliknya
anemia juga dapat diakibatkan oleh lingkungan kerja. Contoh lain adalah defisiensi vitamin B1
dan kurang energi dan protein. Penyakit-penyakit lain yang tidak tergolong penyakit gizi, tetapi
dapat menyebabkan kurang gizi sehingga dapat menurunkan produktivitas kerja, antara lain
gastritis, diare, anoreksia, dan lain-lain.
Perempuan menyusui
Estimated Energy Requirement (Kal/hari) = EER tidak hamil + Energi air susu – Kehilangan BB
EER = EER tidak hamil
0–6 bulan postpartum + 500 – 170
EER = EER tidak hamil
7–12 bulan postpartum + 400 –0
Keterangan:
EER = Estimated Energy Requirement.
PA = Koefisien Physical Activity/ aktivitas fisik
BB = Berat badan
TB = Tinggi badan
Tabel 16.2. Koefisien Aktivitas Fisik yang Digunakan untuk Perhitungan EER
Sangat ringan Aktif ringan Aktif Sangat aktif
(PAL 1.0–1.39) (PAL 1.4–1.59) (PAL 1.6–1.89) (PAL 1.9–2.5)
Aktivitas Aktivita Aktivit Aktivitas
sehari- s sehari- as sehari- sehari-
hari (seperti hari ditambah ditamba
kerja 30- hari h hari ditambah
ruma tangga 60 aktivita tidak
palin tida
h , menit s paling 60g k 60
meni
berjalan ke bis) sedang (seperti menit aktivitas t aktivitas
berjala 5-7 sedan sedang
n g ditambah
km/ja 60 menit
m
) aktivitas
bera
t atau 120
meni
t aktivitas
sedang
Keterangan:
PAL = Physical Activity Level
Perhitungan Angka Kecukupan Energi (AKE) pada AKG 2013 didasarkan pada
model persamaan estimasi energi yang dibuat IOM 2006 dengan rumus TEE + 0,1 TEE.
Data BB dan TB didasarkan pada median berat badan dan tinggi badan normal penduduk
Indonesia menurut kelompok umur dan jenis kelamin berdasarkan data Riskesdas 2010
terhadap standar WHO. Tingkat aktivitas rata-rata masyarakat Indonesia masuk kategori
aktivitas ringan. Namun bila pada populasi tertentu diketahui berat badan dan tinggi badan
maka perhitungan AKG dapat disesuaikan.
Jenis kel
& BB TB Energi Protein Lemak Omega-6 Omega-3 Karbohidrat Serat Air
Usia (kg) (cm) (kkal) (g) (g) (g) (g) (g) (g) (mL)
Laki-laki
Tabel 16.3. Kecukupan energi, protein, lemak, karbohidrat, serat dan air
sesuai Angka Kecukupan Gizi (Kemenkes 2013)
Kecukupan protein
Protein adalah komponen struktural dan fungsional utama dari setiap sel tubuh.
Protein adalah bagian dari enzim, molekul pembawa pada membran, molekul transpor pada
darah, matriks intraseluler, rambut, kuku, serum albumin, keratin dan kolagen serta
berbagai hormon. Asam amino yang membentuk protein bertindak sebagai prekursor asam
nukleat, hormon, vitamin dan molekul penting lainnya.
Asam amino diklasifikasikan menjadi asam amino esensial, non esensial dan semi
esensial. Kualitas atau mutu makanan sumber protein tergantung pada kemampuan untuk
menyediakan kebutuhan nitrogen dan asama amino yang dibutuhkan untuk pertumbuhan,
perawatan dan perbaikan sel tubuh. Kebutuhan protein orang dewasa didasarkan terutama
pada studi keseimbangan nitrogen. (IOM, 2006)
Protein hewani seperti daging, unggas, ikan, telur, susu, keju dan yogurt menyediakan
seluruh 9 asam amino esensial dan disebut sebagai protein yang lengkap. Protein nabati,
biji-bijian, kacang-kacangan, dan buah-buahan cenderung memiliki kekurangan satu atau
lebih asam amino esensial, sehingga disebut protein yang tidak lengkap (IOM, 2006).
Kecukupan protein dipengaruhi oleh berat badan, usia dan mutu protein. Mutu
protein makanan ditentukan salah satunya komposisi dan jumlah asam amino esensial.
Pangan hewani mempunyai mutu protein lebih baik dibandingkan pangan nabati. Selain itu
mutu protein ditentukan oleh daya cerna protein tersebut, yang berbeda antar jenis
pangan. Semakin lengkap komposisi dan jumlah asam amino esensial dan semakin tinggi
daya cerna protein suatu jenis pangan, maka semakin tinggi mutu proteinnya. Semakin
rendah kandungan serat dan lembut tekstur suatu jenis pangan, semakin baik mutu
proteinnya (Gibney dkk, 2002 dalam Hardinsyah, dkk, 2012).
Anjuran kisaran sebaran gizi makro (average macronutrient distribution range/
AMDR) bagi penduduk Indonesia dalam estimasi kecukupan gizi adalah 5-15% energi
protein, 25-35% energi lemak, dan 40-60% energi karbohidrat, yang penerapannya
tergantung umur atau tahap pertumbuhan dan perkembangan (Hardinsyah dkk, 2012).
149
Kecukupan lemak
Lemak adalah sumber energi utama tubuh yang berperan dalam perkembangan
jaringan dan absorpsi vitamin larut lemak (A,D,E,K). Lemak makanan mengandung asam
lemak yang dapat dikategorikan menjadi:
- Asam lemak jenuh
- Asam lemak tidak jenuh
◻ Asam lemak tidak jenuh tunggal (monounsaturated fatty acid/ MUFA) dengan ikatan cis
◻ Asam lemak tidak jenuh ganda (polyunsaturated fatty acid/ PUFA)
Asam lemak jenuh memiliki efek yang kurang baik bagi kesehatan, namun
sebaliknya asam lemak tidak jenuh merupakan zat gizi yang baik untuk kesehatan.
Makanan yang merupakan sumber asam lemak jenuh contohnya adalah gajih, mentega,
lemak hewani, minyak kelapa sawit, susu whole fat.
Perbedaan antara lemak tak jenuh ganda dan lemak tak jenuh tunggal adalah
lemak tak jenuh ganda memiliki lebih dari satu ikatan rangkap yang terletak diantara asam
karboksilat dan gugus metil. Ikatan rangkap pertama bisa ditemukan baik pada posisi
ketiga, keenam, atau kesembilan dari kelompok metil. Letak ikatan ganda sebagai dasar
penamaan asam lemak tersebut. Omega-3 dan omega-6 adalah contoh asam lemak tak
jenuh ganda, sedangkan omega-9 adalah contoh asam lemak tak jenuh tunggal. Omega-3
dan omega-6 sebaiknya dalam jumlah yang mencukupi. Asam alfa-linolenat dan asam
linoleat adalah dua bentuk asam lemak tak jenuh ganda yang tidak dapat diproduksi tubuh
sehingga harus diperoleh dari makanan. Asam alfa-linolenat merupakan bentuk asam
lemak omega-3 dan bisa diperoleh dari makanan nabati seperti kacang-kacangan, biji-
bijian, kedelai, alpukat, dan sayuran hijau. Setelah berada dalam tubuh, asam alfa-
linolenat diubah menjadi dua bentuk omega-3 yang dikenal sebagai eicosapentaenoic acid
(EPA) dan docosahexaenoic acid (DHA). EPA dan DHA juga dapat diperoleh dari sumber
hewani seperti salmon, sarden, mackerel, dan udang. Dalam beberapa kasus, tubuh tidak
mampu menggunakan asam alfa-linolenat sehingga EPA dan DHA harus diperoleh dari
sumber hewani. Asam linoleat adalah bentuk omega-6 yang dapat diperoleh dari makanan
nabati seperti kacang-kacangan dan biji-bijian, alpukat, serta berbagai minyak nabati
seperti kedelai, bunga matahari, dan minyak jagung. Setelah berada dalam tubuh, asam
linoleat diubah menjadi dua bentuk omega-6 yang dikenal sebagai asam arakidonat (AA)
dan asam linolenat gamma (ALG). AA dan ALG juga dapat diperoleh dari sumber hewani,
seperti telur, unggas, daging, dan susu.
Asam lemak tak jenuh ganda memiliki berbagai manfaat kesehatan seperti
meningkatkan fungsi jantung, meningkatkan memori, serta perlindungan terhadap kanker,
arthritis, dan asma. Studi menunjukkan bahwa asam lemak ini memiliki kemampuan
menurunkan kadar kolesterol dan trigliserida serta mempertahankan irama jantung yang
sehat. Efek samping negatif dari asam lemak tak jenuh ganda juga dapat terjadi jika omega-
6 dikonsumsi dalam jumlah berlebih.
Pola makan tinggi lemak yang melebihi kebutuhan energi dapat menyebabkan
obesitas. Penelitian-penelitian menunjukkan hubungan antara asupan tinggi lemak dan
meningkatnya kejadian penyakit jantung koroner, kanker dan resistensi insulin (seperti
diabetes melitus tipe 2).
Kecukupan karbohidrat
Fungsi utama karbohidrat yang dapat dicerna bagi manusia adalah untuk
menyediakan energi bagi sel, termasuk sel-sel otak yang kerjanya tergantung pada suplai
karbohidrat berupa glukosa. Karbohidrat dapat dikelompokkan berdasarkan jumlah unit gula
(glukosa) yang dikandungnya. Bila mengandung satu unit gula disebut mono sakarida,
seperti glukosa dan fruktosa yang banyak terdapat dalam larutan gula dan buah-buahan.
Bila mengandung dua unit gula disebut disakarida, seperti sukrosa (dalam gula meja, buah
dan sayur), laktosa (dalam susu) dan maltosa (dalam karamel). Bila mengandung 3-10 unit
gula disebut oligosakarida, seperti rafinosa and stakiosa yang banyak dijumpai dalam
kacang-kacangan. Bila mengandung lebih dari sepuluh unit gula disebut polisakarida seperti
pati, glikogen dan selulosa.
Serat tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia. Serat pangan secara fisik
terdiri dari serat pangan yang larut air dan serat pangan yang tidak larut air. Kedua serat
pangan ini memperlama masa transit makanan dalam organ pencernaan (memperlama rasa
kenyang) dan sebagian difermentasi oleh mikroba usus menjadi asam lemak rantai pendek.
Serat pangan larut air yang umumnya terdapat dalam buah, kacang dan sereal berfungsi
untuk memperlambat penyerapan glukosa, kolesterol dan garam empedu di dalam usus
halus, sehingga menurunkan kadar gula dan kolesterol darah. Sedangkan serat pangan
yang tidak larut air berguna memperlambat pencernaan starch, membantu pergerakan usus
dan melancarkan buang air besar.
Kecukupan energi dan kecukupan karbohidrat seseorang dipengaruhi oleh ukuran
tubuh (berat badan), usia atau tahap pertumbuhan dan perkembangan, dan aktifitas fisik.
Ukuran tubuh dalam arti masa otot yang semakin besar dan aktifitas fisik yang semakin
tinggi berimplikasi pada kecukupan karbohidrat yang semakin tinggi.
Kecukupan vitamin
Vitamin adalah zat gizi mikro yang sangat diperlukan tubuh manusia meski dalam
jumlah sedikit. Berbagai masalah gizi di Indonesia banyak disebabkan oleh kurangnya
asupan zat gizi ini. Terdapat 13 vitamin yang telah diketahui esensial bagi kesehatan
manusia yang dapat dikelompokkan atas dua kelompok, yaitu vitamin yang larut di dalam
lemak, yaitu vitamin A, D, E dan K dan vitamin larut air, yaitu C, B1, B2, B6, B12, Folat,
Niacin, Pantotenat, dan Biotin. Vitamin larut lemak (A, D, E, dan K) umumnya terdapat
bersama-sama dalam bagian lemak atau minyak dari makanan.
Defisiensi dapat terjadi bila diet secara konsisten rendah vitamin ini atau secara
tanpa sengaja hilang dari saluran pencernaan atau terlarut dalam lemak yang tidak dicerna.
Tiap penyakit yang menyebabkan malabsorpsi lemak dapat menyebabkan defisiensi vitamin
larut lemak. Defisiensi juga dapat terjadi bila orang makan diet yang sangat rendah lemak
yang menyebabkan penyerapan vitamin ini terganggu. Kemampuan vitamin larut lemak
untuk disimpan selain dapat mencegah terjadinya defisiensi karena asupan dari makanan
yang sewaktu-waktu kurang, juga dapat memberi peluang untuk terjadinya keracunan bila
terjadi kelebihan konsumsi, terutama dalam bentuk suplemen. Berbeda dengan vitamin larut
lemak, vitamin larut air tidak dapat disimpan dalam tubuh sehingga harus selalu tersedia
dalam diet.
Fungsi dan sumber makanan dari beberapa vitamin adalah sebagai berikut:
- Vitamin A
Fungsi dari vitamin A yaitu untuk penglihatan, diferensiasi sel dan pembelahan sel,
kekebalan tubuh, pertumbuhan serta reproduksi. Sumber vitamin A yang didalam pangan
hewani adalah hati, telur, susu dan minyak ikan. Sedangkan dari pangan nabati
provitamin A dapat diperoleh dari sayuran berwarna hijau dan tumbuhan yang
mempunyai pigmen warna merah, orange atau kuning, misalnya: bayam, kangkung,
wortel, papaya, tomat dan lain-lain.
- Vitamin D
Penting untuk pembentukan skeleton dan homeostasis mineral, termasuk untuk
peningkatan absorpsi kalsium dan fosfor. Bila tubuh tidak mendapat cukup sinar
matahari, vitamin D perlu dipenuhi melalui makanan. Defisiensi vitamin D ditandai dengan
tidak maksimalnya proses mineralisasi tulang. Pada dewasa dapat meyebabkan
hipokalsemia dan pada tingkat lanjut dapat menyebabkan osteomalasia. Kelebihan
konsumsi vitamin D dapat menyebabkan penumpukan kalsium dalam jaringan,
penurunan fungsi ginjal dan gangguan jantung.
- Vitamin E
Fungsi utama vitamin E adalah sebagai antioksidan yang mencegah terjadinya oksidasi
lemak tidak jenuh dengan jalan menangkap radikal bebas peroksil. Sumber pangan
utama vitamin E adalah minyak nabati, kacang dan biji-bijian serta kecambah. Gejala
defisiensi vitamin E adalah turunnya fungsi reproduksi, distrofi muskular dan gangguan
saraf.
- Vitamin K
Fungsi vitamin K sangat penting untuk protrombin dan protein lain yang juga untuk
pengaturan pembekuan darah. Manusia jarang sekali mengalami kekurangan vitamin
K karena vitamin K dapat disintesa dari bakteri yang terdapat pada yeyunum maupun
duodenum. Vitamin ini hanya diberikan sebagai suplemen pada individu tertentu,
seperti saat setelah menjalani operasi.
- Vitamin C
Fungsi utama vitamin C adalah untuk pembentukan protein kolagen melalui proses
hidroksilasi. Fungsi lain adalah sebagai metaloenzim, untuk pembentukan norepinefrin,
karnitin, elastin dan nukleosida. Vitamin ini berfungsi juga sebagai agen pereduksi
yaitu meningkatkan absorpsi Fe non heme dan pereduksi komponen metal untuk
aktivitas katalitik enzim terkait serta menghambat pembentukan nitrosamin. Defisiensi
vitamin C dapat mengakibatkan scurvy, perdarahan gusi, rasa lelah letih lesu dan
melemahnya daya tahan tubuh terhadap infeksi. Sumber vitamin C diperoleh dari
buah-buahan, sayuran hijau dan serelia.
- Vitamin B1 (tiamin)
Tiamin diperoleh terutama dari serelia, biji-bijian, kacang-kacangan dan hewani (hati,
jantung, ginjal). Defisiensi tiamin akan menyebabkan menyebabkan abnormalitas
metabolisme karbohidrat, beri-beri secara awal ditandai dengan terganggunya sistem
saraf dan kardiovaskuler, anoreksia, lemah otot serta edema.
Perempuan
Tabel 16.4. Kecukupan Vitamin Sesuai Angka Kecukupan Gizi (Kemenkes 2013)
Kecukupan mineral
Mineral adalah zat inorganik, yang berarti zat itu tidak dibentuk oleh tubuh mahluk
hidup dan tidak mengandung karbon. Tubuh manusia memerlukan mineral secara terus
menerus walaupun hanya dalam jumlah yang relatif sedikit. Mineral terbagi menjadi dua:
1. Mineral makro
> 0,05 % BB.
2. Mineral mikro
<0,05% BB
Terdiri dari: zat besi, iodium, seng, selenium, dan lain-lain.
Beberapa mineral tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Kalsium
Dalam tubuh dewasa terdapat sekitar 1200 gr kalsium, 99% terdapat di skeleton. Proses
pembentukan masa tulang terjadi hingga usia 35-40 tahun. Proses turn over kalsium
tulang terjadi sepanjang hidup. Kecepatan formasi masa tulang pada anak relatif lebih
cepat dibanding dewasa, sedang pada manula proses yang terjadi lebih banyak pada
resorpsi tulang. Sisa 1% kalsium dalam tubuh terdapat pada cairan ekstraseluler, struktur
intraseluler dan membran sel. Kalsium di luar tulang berperan cukup penting yaitu untuk
sistem saraf, kontraksi otot, pembekuan darah dan permeabilitas membran. Sumber
utama kalsium adalah susu dan produk olahannya seperti keju, yogurt, es krim serta ikan
terutama ikan duri halus. Kekurangan kalsium dalam waktu lama akan meningkatkan
risiko osteoporosis. Konsumsi kalsium berlebih akan berakibat toksik dengan gejala
konstipasi, hiperkalsemia, hiperkalsiuria yang meningkatkan risiko batu ginjal dan dapat
menggangu absorpsi zat besi, seng dan mineral lain.
- Zat Besi (Fe)
Zat besi merupakan bagian penting dari hemoglobin, mioglobin dan enzim. Sumber
utama Fe adalah pangan hewani terutama berwarna merah yaitu hati dan daging,
sumber lain adalah sayuran berdaun hijau. Kekurangan Fe dapat menyebabkan anemia
mikrositik. Anemia ini terbanyak terdapat di dunia sekitar 60-70% disebabkan kekurangan
Fe. Gejala kekurangan Fe dapat mengakibatkan mudah pusing, lelah, letih, lesu dan
turunnya konsentrasi berpikir.
- Seng (Zn)
Fungsi utama Zn sebagai zat gizi yang membantu pertumbuhan balita. Zn mempunyai
kemampuan dalam sintesis DNA dan RNA. Sumber Zn diperoleh dari hewani terutama
daging, telur, kerang dan terdapat juga di serelia. Defisiensi Zn dapat menyebabkan
hilangnya nafsu makan, pertumbuhan terhambat, perubahan kulit dan turunnya
kekebalan.
- Iodium
Mineral iodium penting dalam pembentukan hormon tiroksin yang berperan dalam
metabolisme. Bila konsumsi sangat rendah kelenjar gondok akan membesar. Prevalensi
GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium) di Indonesia masih tinggi. Oleh karena itu
masyarakat dianjurkan mengkonsumsi garam beriodium.
- Selenium (Se)
Fungsi utama selenium adalah sebagai faktor penting dalam enzim glutation peroksidase.
Enzim ini merupakan salah satu faktor yang, mempengaruhi terjadinya berbagai penyakit
degeneratif.
- Tembaga
Tembaga berfungsi sangat penting dalam pembentukan hemoglobin dan sel darah
merah. Selain itu tembaga merupakan komponen enzim, berperan dalam penyembuhan
luka dan secara metabolisme dibutuhkan untuk melepas energi.
- Kromium
Mineral kromium sangat penting untuk menguatkan kerja insulin sehingga mempengaruhi
metabolisme kerja karbohidrat, protein dan lemak.
- Natrium
Natrium adalah kation yang dominan dalam mempertahankan volume cairan
ekstraselular. Volume cairan ekstraselular diatur dengan cara mengatur osmose cairan
yaitu mengatur kadar natrium (Na) dan klor (Cl).
- Kalium
Merupakan kation utama dalam sel. Berfungsi mempertahankan tekanan osmose dalam
cairan sel, setara dengan tekanan osmosis cairan ekstraselular. Penurunan kadar kalium
dalam sel mengakibatkan turunnya fungsi eksitasi sel, irama jantung abnormal,
kelemahan otot, gangguan syaraf.
Be Flu Fosf Iodiu Kaliu Kalsi Kromi Magne Man Natri Seleni Sen Temb
Jenis kel si or or m m um um sium gan um um g aga
19-29 th 13 3,0 700 150 4700 1100 35 350 2,3 1500 30 13 900
30-49 th 13 3,1 700 150 4700 1000 35 350 2,3 1500 30 13 900
50-64 th 13 3,1 700 150 4700 1000 30 350 2,3 1300 30 13 900
Perempu
an
19-29 th 26 2,5 700 150 4700 100 25 310 1,8 1500 30 10 900
30-49 th 26 2,7 700 150 4700 1000 25 320 1,8 1500 30 10 900
50-64 th 12 2,7 700 150 4700 1000 20 320 1,8 1300 30 10 900
3. Tinggi lemak
Satu satuan penukar mengandung:
7 gr protein 13 gr lemak 150 kalori
Baligo Lettuce S+
2. Sayuran B
Satu satuan penukar (dalam 100gr) mengandung:
5 gr karbohidrat 1 gr protein 25 kalori
3. Sayuran C
Satu satuan penukar (dalam 100gr) mengandung:
10 gr karbohidrat 3 gr protein 50 kalori
Duku 9 bh sdg 80 K+
Durian 2 bj bsr 35
Jambu air 2 bh bsr 110 S+
Kesemek ½ bh 65 S+
Kurma 3 bh 15
Kiwi 1 ½ bh 110 S+
Leci 10 bh 75
Mangga ¾ bh bsr 90
Menteng 4 bh sdg 75
Nenas ¼ bh sdg 95
Pisang kepok 1 bh 45 K+
Plum 2 ½ bh 140 S+
Rambutan 8 bh 75
Salak 2 bh sdg 65 S+
Sawo 1 bh sdg 55
Sirsak ½ gls 60 S+
Srikaya 2 bh bsr 50 S+
Gula 1 sdm 13
Madu 1 sdm 15
GOLONGAN VI (Susu)
Merupakan sumber protein, lemak, karbohidrat dan vitamin (terutama vitamin A dan
niasin), serta mineral (zat kapur dan fosfor). Menurut kandungan lemaknya, susu dibagi
menjadi 3 kelompok
1. Susu tanpa lemak
Satu satuan penukar mengandung:
10gr karbohidrat 7 gr protein 75 kalori
Kacang almond 7 bj 10 S+
Mayones 2 sdm 20
2. Lemak jenuh
Bahan makanan URT Gram Keterangan
Air mineral
Cuka
Gelatin
Kecap Na++
Kopi
Tauco Na++
Teh
Mayones 1 sdm
Wijen 2 sdm
Penyediaan makanan bagi tenaga kerja
Setelah mengetahui kebutuhan energi yang diperlukan tenaga kerja sesuai beban
aktivitas fisiknya, proses selanjutnya adalah memenuhi kebutuhan tersebut dalam menu
tenaga kerja sehari-hari. Karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral, serta zat-zat lain
dalam tubuh perlu diperhatikan proporsinya agar seimbang. Sesuai anjuran kisaran sebaran
energi gizi makro bagi penduduk Indonesia dalam estimasi kecukupan gizi, yaitu 5-15%
energi protein, 25-35% energi lemak, dan 40-60% energi karbohidrat. Penyediaan makanan
bagi suatu populasi tenaga kerja secara umum dapat menggunakan acuan AKG 2013.
Kebutuhan energi diterjemahkan ke dalam porsi bahan makanan menggunakan
daftar bahan makanan penukar. Kebutuhan energi selama bekerja (8 jam) adalah 40-50%
dari kebutuhan sehari. Bila diterjemahkan ke dalam menu menjadi kebutuhan untuk 1 kali
makan utama, yang pemberiannya dilakukan saat istirahat (4-5 jam setelah kerja) dan
pemberian 1 kali kudapan (makanan selingan).
Menu
Jumlah
660 - 760 kkal 800 – 960 kkal 1020 – 1040 kkal 1120 kkal
kalori
Selingan Teh manis 1 gls Teh manis 1 gls Kue mangkok 2 bh Pisang goreng
(jam 10.00) Teh manis1 gls coklat 1 bh
siang Telur balado 1 btr Ayam goreng 1 ptg Pepes ikan mas 1 Sambal goreng ati
(jam 12.00) Tumis tempe cabe sdg ptg 3 sdm
hijau 2 ptg sdg Perkedel tahu 2 ptg Tempe bacem 2 Tahu isi 1 bh
Sayur oyong 1 gls sdg ptg sdg Tumis kangkung1
17.5. Pengertian
Defenisi sehat yang tertera dalam UU No. 36 Tahun 2009 adalah keadaan sehat,
baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk
hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Promosi kesehatan didefinisikan sebagai ilmu dan seni yang membantu orang
merubah perilaku hidupnya untuk menuju kesehatan yang optimal. Kesehatan yang optimal
didefinisikan sebagai keseimbangan antara kesehatan fisik, emosi, sosial, spiritual dan
intelektual.
Promosi kesehatan di tempat kerja didefinisikan sebagai program kegiatan yang
direncanakan melalui proses peningkatan pengetahuan, sikap, perilaku dan keterampilan,
dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat di tempat kerja, sesuai kondisi-kondisi dan
potensi tempat kerja, agar mencapai kemampuan pengendalian tenaga kerja terhadap
kesehatannya, untuk mencapai peningkatan kesehatan dan produktivitas.
17.7. Manfaat
Manfaat PKDTK bagi pemberi kerja atau manajemen dan pekerja, antara
lain sebagai berikut:
1. Bagi pihak manajemen tempat kerja
− Meningkatkan dukungan terhadap program promosi kesehatan kerja di tempat kerja
− Citra perusahaan positif
− Meningkatnya moral tenaga kerja
− Menurunnya pemutusan hubungan kerja
− Menurunnya angka absensi
− Lingkungan kerja yang sehat, meningkatnya produktivitas
− Menurunnya biaya kesehatan atau biaya asuransi
2. Bagi tenaga kerja
− Meningkatnya percaya diri
− Meningkatnya poduktivitas
− Menurunnya risiko penyakit
− Menurunnya stress
− Meningkatnya kepuasan dan semangat kerja
− Meningkatnya kemampuan mengenali dan mencegah penyakit
− Meningkatnya kesehatan individu
Adapun keluaran yang diharapkan dalam penerapan promosi kesehatan kerja adalah
hidup sehat di tempat kerja yang ditandai dengan adanya:
a. Sehat fisik
b. Sehat mental
c. Sehat suasana kerja
d. Sehat peralatan kerja
e. Sehat lingkungan kerja
Komitmen
Manajemen
Keterlibatan pekerja
Gambar 17.3.
Tahapan dalam pelaksanaan promosi kesehatan di tempat kerja melalui delapan
langkah yaitu:
a. Komitmen Manajemen
Penting memobilisasi dan mendapatkan komitmen dari pemegang kebijakan dan
pemimpin di perusahaan dan masyarakat sebelum PKDTK dimulai. Bukti adanya
komitmen dari manajemen adalah adanya aspek pengembangan dan penerapan
kebijakan yang ditandatangani oleh pemegang kekuasaan tertinggi dan di
komunikasikan dengan seluruh pekerja dan perwakilannya. Bukti tambahannya adalah
dengan disediakannya tenaga, waktu, dan kebutuhan lainnya untuk PKDTK.
b. Koordinasi
Diperlukan adanya tim untuk mengimplementasikan PDKTK (misalnya tim keselamatan
dan kesehatan). Tim ini bekerja mengumpulkan sumber-sumber yang dibutuhkan,
memastikan waktu dan tempat untuk bertemu, membuat anggaran dan perlengkapan
yang akan dibutuhkan.
c. Penjajagan Kebutuhan
Tugas pertama tim yang telah dibentuk adalah melakukan penilaian terhadap kondisi
sekarang yang dibutuhkan tempat kerja dan tenaga kerja, dan kondisi yang akan
mungkin terjadi di tempat kerja dan pekerjanya.
Metode pengumpulan data: (WPRO’s Regional Guidelines for the Development
ofHealthy Workplaces)
Review dokumen-inspeksi laporan, kecelakaan dan cedera statistik, audit
keselamatan, data absensi, dan lain-lain;
Walk-through inspection-mengidentifikasi potensi bahaya dan risiko kesehatandalam
lingkungan kerja.
Monitoring lingkungan kerja dan surveilen kesehatan dengan tenaga ahli higiene
perusahaan dan kesehatan untuk memperoleh data tentang paparan faktor fisik,
kimia dan biologi yang terjadi terhadap tenaga kerja
Survei tertulis
Diskusi melalui pertemuan-pertemuan dengan pembahasan yang spesifik. Hal ini
juga berguna untuk validasi informasi yang diperoleh dari survei tertulis
c. Prioritas
Setelah data terkumpul, saatnya menentukan yang menjadi prioritas. Dalam menentukan
yang menjadi prioritas berdasarkan pentingnya dan urgensi. Metode lain dalam
menentukan prioritas berdasarkan tingkat kebutuhan pada hierarki Maslow. Dalam
banyak kasus, masalah yang berkaitan dengan keselamatan fisik dan kesehatan
merupakan kebutuhan yang lebih mendasar dan pengobatan segera lebih penting
daripada kesehatan mental dan kesejahteraan.
Gambar 17.4.
e. Perencanaan
Pada tahap perencanaan memiliki program pengembangan dan implementasi pada
meningkatkan aktivitas tenaga kerja. Perencanaan harus memiliki tujuan jangka panjang,
sehingga pada masa mendatang dapat ditentukan tingkat keberhasilannya.
f. Pelaksanaan
Pada tahap ini adalah implementasi dari perencanaan, dan penting melibatkan tenaga
kerja.
g. Evaluasi
Penilaian terhadap proses dan hasil kegiatan program yang telah dilaksanakan.
h. Perbaikan
Tahap terakhir atau tahap awal pada siklus baru adalah untuk membuat perubahan
berdasarkan evaluasi hasil, perbaikan program yang telah diimplementasikan, atau
menambah program. Pada tahap evaluasi memungkinkan ditemukannya kebutuhan
yang emergensi yang dapat direncanakan, sehingga diperlukan revisi program. Atau
beberapa teknik yang digunakan tidak maksimal dan diperlukan adanya perbaikan.
2. Pendidikan.
Pendidikan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS bagi pekerja/ buruh di
tempat kerja dilakukan dengan strategi:
a. Menyusun program pendidikan HIV/AIDS.
b. Melaksanakan pendidikan pekerja/ buruh secara berkesinambungan.
c. Memanfaatkan Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan atau Pelayanan
Kesehatan Kerja dalam pelaksanaan program pendidikan pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja.
Cakupan Pendidikan adalah:
a. Penjelasan tentang HIV/AIDS, cara penularan dan cara pencegahannya.
b. Penjelasan tentang Infeksi Menular Seksual (IMS) sebagai salah satu faktor risiko
terinfeksi HIV/AIDS.
c. Pemberian informasi tentang layanan pengobatan IMS, testing dan konseling sukarela
HIV/AIDS melalui Dinas Kesehatan dan pengobatan HIV/ AIDS melalui rujukan rumah
sakit setempat.
d. Penjelasaan peraturan perundang-undangan berkaitan dengan program HIV/ AIDS di
tempat keja dan kaidah ILO tentang HIV/AIDS di dunia kerja. Prinsip-prinsip kunci
darikaidah ILO tentang HIV/AIDS dan dunia kerja yang berlaku bagi semua aspek
pekerjaan dan semua tempat kerja, termasuk sektor kesehatan:
- Isu tempat kerja
HIV/AIDS adalah isu tempat kerja, karena dia mempengaruhi angkatan kerja, dan
karena tempat kerja dapat memainkan peran vital dalam membatasi penularan dan
dampak epideminya.
- Non diskriminasi
Tidak ada diskriminasi terhadap pekerja berdasarkan status HIV yang nyata atau
dicurigai.
- Kesetaraan gender
Hubungan gender yang lebih setara dan pemberdayaan wanita adalah penting untuk
mencegah penularan HIV dan membantu masyarakat mengelola dampaknya.
- Lingkungan kerja yang sehat
Tempat kerja harus meminimalkan risiko pekerjaan, dan disesuaikan dengan
kesehatan dan kemampuan tenaga kerja.
- Dialog Sosial
Kebijakan dan program HIV/AIDS yang sukses membutuhkan kerjasama dan saling
percaya antara pengusaha, pekerja dan pemerintah.
- Tidak boleh melakukan skrining untuk tujuan rekrutmen
Tes HIV di tempat kerja harus dilaksanakan secara sukarela dan rahasia, tidak boleh
digunakan untuk menskrining pelamar atau tenaga kerja.
- Kerahasiaan
Akses kepada data perseorangan, termasuk status HIV pekerja, harus dibatasi oleh
aturan dan kerahasiaan.
- Melanjutkan hubungan pekerjaan
Pekerja dengan penyakit yang berkaitan dengan HIV harus dibolehkan bekerja
dalam kondisi yang sesuai selama dia mampu secara medik.
- Pencegahan
Mitra sosial mempunyai posisi yang unik untuk mempromosikan upaya pencegahan
melalui informasi, pendidikan dan dukungan bagi perubahan perilaku.
- Kepedulian dan dukungan
Tenaga kerja berhak mendapat pelayanan kesehatan yang terjangkau.
e. Metode pendidikan yang digunakan bersifat interaktif dan partisipatif.
Pelaksanaan pendidikan dengan cara:
a. Pengusaha/ pengurus dapat membentuk subkomite dalam kepengurusan Panitia
Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja atau pelayanan kesehatan kerja yang ada
di perusahaan untuk bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan pencegahan
dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja bagi pekerja/ buruh.
b. Pengusaha/ pengurus mempersiapkan dan membekali anggota Panitia Pembina
Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan atau personil pelayanan kesehatan kerja serta
pekerja/ buruh yang dipilih sebagai penyuluh sesuai dengan pendidikan yang
dibutuhkan.
c. Anggota Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan atau Personil
Pelayanan Kesehatan Kerja serta pekerja/ buruh yamg dipilih dan sudah
mendapatkan pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan bagi pekerja/ buruh.
d. Pekerja/ buruh yang dipilih dan sudah mendapatkan pendidikan ditugaskan untuk
menyebarluaskan informasi, mempengaruhi dan memantau perilaku
pekerja/ buruh yang berisiko terhadap HIV/AIDS.
3. Perlindungan hak pekerja/ buruh yang berkaitan dengan HIV/AIDS.
a. Perjanjian Kerja Bersama
1) Dalam menyusun dan menetapkan kebijakan tentang pencegahan dan
penaggulangan HIV/AIDS di tempat kerja, pengusaha/ pengurus harus berkonsultasi
dengan wakil pekerja/ buruh dan/ atau serikat pekerja/ buruh.
2) Wakil pekerja/ buruh dan atau serikat pekerja dengan pengusaha/ pengurus
bersama-sama memasukan prinsip-prinsip tentang perlindungan dan pencegahan
HIV/AIDS
3) dalam Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama.
b. Konseling dan Testing Sukarela (Voluntary Counseling and Testing)
1) Pengusaha/pengurus di larang melakukan tes HIV untuk digunakan sebagai
prasyarat suatu proses rekrutmen atau kelanjutan status pekerja/buruh atau
kewajiban pemeriksaan kesehatan tenaga kerja serta untuk tujuan asuransi.
2) Tes HIV hanya dapat di lakukan terhadap pekerja/ buruh atas dasar kesukarelaan
dengan persetujuan tertulis dari pekerja/ buruh yang bersangkutan
3) Testing dapat dilakukan bagi pekerja yang dipekerjakan pada lingkungan kerja yang
mungkin menimbulkan pajanan terhadap HIV seperti; laboratorium, fasilitas
kesehatan dan terhadap pasien yang akan dilakukan tindakan medis oleh tenaga
medis dan yang dicurigai ada indikasi terinfeksi HIV.
4) Testing dapat di lakukan untuk tujuan survei pemantauan epidemiologi dengan
memenuhi berbagai syarat yaitu anonim mematuhi prinsip-prinsip etika riset, ilmiah
serta profesi dan tetap melindungi kerahasiaan dan hak-hak seseorang.
5) Dalam hal tes sebagaimana di maksud butir a, b, c di atas dilaksanakan maka
pekerja harus di berikan :
- Pra-konseling (konseling sebelum tes di lakukan).
- Persetujuan secara tertulis (informed consent).
- Pemberitahuan hasil tes langsung kepada si pekerja.
- Pasca konseling (konseling setelah hasil tes diberikan kepada yang
bersangkutan).
6) Bantuan konseling dapat diberikan oleh pelayanan kesehatan kerja yang ada di
perusahaan dan atau pelayanan kesehatan lainnya.
7) Tes HIV hanya boleh dilakukan oleh dokter yang mempunyai keahlian khusus sesuai
peraturan perundang-undangan.
c. Diskriminasi dan Stigmatisasi
1) Pengusaha/ pengurus dan pekerja/ buruh tidak dibolehkan melakukan tindak dan sikap
diskriminasi terhadap pekerja/ buruh dengan HIV/AIDS.
2) Pengusaha/ pengurus dan pekerja/ buruh harus melakukan upaya-upaya untuk
meniadakan stigma terhadap pekerja/ buruh dengan HIV/AIDS.
3) Pengusaha/ pengurus dan pekerja/ buruh harus menghormati hak asasi dan menjaga
martabat pekerja/buruh dengan HIV/AIDS.
4) Pengusaha/ pengurus dapat memberikan tindakan disiplin bagi pengusaha/ pengurus
lain dan pekerja/buruh yang mendiskriminasikan dan menstigma pekerja/buruh dengan
HIV/AIDS atau diduga sebagai pekerja/buruh dengan HIV/ AIDS.
5) Pekerja/ buruh dengan HIV/AIDS berhak untuk terus bekerja selama mereka mampu
bekerja dan tidak menimbulkan bahaya terhadap diri sendiri, pekerja/ buruh lainnya dan
orang lain di tempat kerja.
6) Pekerja/ buruh dengan HIV/AIDS hendaknya bertindak secara bertanggung jawab
dengan mengambil langkah-langkah sewajarnya untuk mencegah penularan HIV
kepada rekan sekerjanya.
7) Pekerja/ buruh dengan HIV/AIDS hendaknya didorong untuk menginformasikan
kepada pengusaha/ pengurus terhadap status HIV mereka jika pekerjaan yang akan
dilakukan menimbulkan potensi risiko terhadap penularan HIV.
d. Pelayanan Kesehatan Kerja Bagi Pekerja/ Buruh dengan HIV/ AIDS.
1) Pekerja/ buruh dengan HIV/AIDS berhak mendapatkan pelayanan kesehatan kerja
sama dengan pekerja/ buruh lainnya sesuai denganperaturan perundang-undangan
yang berlaku dengan ketentuan:
- Pekerja/buruh yang telah tertular HIV tetapi belum masuk pada stadium AIDS
yang mempunyai gejala penyakit umum berhak mendapatkan pelayanan
kesehatan baik di sarana kesehatan perusahaan maupun jaminan pemeliharaan
kesehatan tenaga kerja Jamsostek.
- Pekerja/ buruh dengan HIV/AIDS yang dikategorikan sebagai penyakit akibat
kerja berhak mendapatkan jaminan kecelakaan kerja sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
- Pekerja/ buruh yang telah tertular HIV pada stadium AIDS dan bukan termasuk
kategori penyakit akibat kerja, tidak berhak mendapatkan jaminan pemeliharaan
kesehatan tenaga kerja maupun jaminan kecelakaan kerja sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
- Pelayanan kesehatan kerja terhadap pekerja/ buruh dengan HIV/AIDS tidak wajib
menyediakan obat-obatan anti virus HIV.
2) Penetapan stadium HIV/AIDS dilakukan oleh dokter yang mempunyai keahlian
khusus sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan standar yang berlaku.
4. Prosedur keselamatan dan kesehatan kerja khusus untuk pencegahan dan
penangulangan HIV/AIDS
a. Langkah-langkah pencegahan dan pengendalian
1) Pengusaha/ pengurus berkewajiban untuk memastikan keselamatan dan kesehatan
lingkungan kerja, termasuk penerapan persyaratan dan ketentuan-ketentuan
keselamatan dan kesehatan kerja seperti ketentuan penyediaan dan penggunaan
alat pelindung diri dan perlengkapan pelindung lainnya serta dan pertolongan
pertama pada kecelakaan.
2) Pengusaha/ pengurus harus menunjukkan pekerja-pekerja atau aktivitas kerja di
tempat kerjanya yang menempatkan pekerja/ buruh pada tempat kerja yang berisiko
terhadap penularan HIV. Jika terdapat risiko penularan HIV, pengurus-pengurus
harus menetapkan program-program untuk pencegahan dan penanggulangan dalam
mengurangi risiko penularan. Program-program tersebut bersifat selektif dari
beberapa metode sebagai berikut:
- Meniadakan pekerjaan-pekerjaan yang dapat menimbulkan risiko penularan.
- Mengurangi risiko dengan mengganti, desain ulang proses atau memperbaiki
metode kerja misalnya: sistem intravena bebas jarum.
- Pemisahan proses untuk mengurangi jumlah pekerja/ buruh yang tertular,
contohnya: penanganan darah, sistem pembuangan limbah klinik.
- Penerapan cara-cara kerja yang aman.
- Pendidikan, pelatihan dan penyebarluasan informasi kepada pekerja/buruh.
- Ketatarumahtanggaan tempat kerja yang baik (good housekeeping).
- Manajemen pembuangan limbah.
- Alat perlindungan diri.
4) Setiap pekerja/ buruh harus mematuhi semua instruksi dan prosedur pencegahan
dan penanggulangan HIV/AIDS yang ditetapkan oleh pengusaha/ pengurus termasuk
pemakaian dan penggunaan APD untuk tujuan pencegahan penularan HIV.
5) Pada pekerja atau aktivitas kerja dimana terdapat risiko penularan HIV/AIDS
pengusaha/ pengurus harus menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan
yang bersifat khusus disamping menyediakan perlengkapan dan menjamin
penerapannya. Secara lebih rinci pengendalian tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a) Identifikasi bahaya
- Tujuan adalah untuk mengenal dan menentukan semua aktivitas kerja dan
tugas pekerja/buruh di tempat kerja yang kemungkinannya dapat tertular
HIV/AIDS.
- Identifikasi bahaya dapat dilakukan melalui:
◻ Konsultasi dengan pekerja/ buruh.
◻ Pengamatan secara langsung di tempat kerja.
◻ Analisa laporan pemajanan.
- Proses identifikasi bahaya merupakan upaya pengenalan dan penyusunan
prioritas terhadap kegiatan kerja dan tugas yang memerlukan tindakan untuk
mengurangi risiko penularan. Jika terdapat risiko terhadap keselamatan dan
kesehatan pekerja/ buruh teridentifikasi, selanjutnya dilakukan penilaian
risiko.
b) Penilaian risiko
- Tujuannya adalah untuk mengevaluasi risiko keselamatan dan kesehatan
pekerja/ buruh sebagai akibat dari pemajanan darah di tempat kerja dan
untuk menentukan kebutuhan pengukuran untuk meminimalkan risiko
penularan.
- Penilaian risiko harus meliputi pertimbangan sebagai berikut:
i. Sumber risiko dimana harus mempertimbangkan cara-cara penularan
HIV/AIDS yang terdapat di tempat kerja.
ii. Frekwensi pajanan terhadap darah.
iii. Bagaimana pekerja/ buruh dapat terpajan.
iv. Risiko pajanan terkait dengan tata letak dan kegiatan kerja.
v. Potensi efek kesehatan dari tiap risiko.
vi. Penilaian terhadap pengetahuan dan pelatihan untuk pekerja /buruh
tentang HIV/AIDS.
vii. Pemeriksaan kesehatan.
viii. Kecukupan dan keperluan persyaratan pengendalian.
ix. Penilaian kesesuaian terhadap tugas yang akan dilakukan, apakah
penggunaan peralatan dapat menyebabkan pemajanan darah. Penilaian
diperlukan untuk persyaratan pengendalian.
c) Pengendalian risiko
- Tujuan pengendalian risiko adalah untuk mencegah penularan HIV/ AIDS di
tempat kerja.
- Pengendalian risiko dapat dicapai dengan hirarki pengendalian risiko yang
meliputi beberapa hal sebagai berikut:
i. Eliminasi
Pelaksanaan kegiatan yang berpotensi menyebabkan pajanan terhadap
HIV/AIDS yang telah dilakukan penilaian harus dihilangkan, misalnya
larangan penggunaan jarum suntik bekas.
ii. Substitusi
Dalam kondisi di mana eliminasi tidak dapat dilaksanakan, maka
pengurus/ pengusaha hendaklah menggantikan pelaksanaan kerja
dengan yang berisiko rendah terhadap penularan HIV/ AIDS, misalnya
pemberian obat-obatan melalui suntik diganti dengan obat-obatan yang
diminum.
iii. Pengendalian teknis (engineering control)
Pengendalian teknis dapat berupa isolasi proses, proses tertutup,
penggunaan peralatan mekanis atau otomatisasi serta modifikasi alat
kerja dan perlengkapan kerja.
iv. Penerapan cara-cara kerja yang aman
pengusaha/ pengurus harus menjamin penerapan cara-cara kerja yang
aman di tempat kerja untuk meminimumkan pajanan terhadap darah,
misalkan higiene perorangan, tindakan steril (universal precaution) dan
program pengendalian infeksi. Jika kecelakaan terjadi di tempat kerja
pengurus/ pengusaha harus menetapkan prosedur Pertolongan Pertama
Pada Kecelakaan Kerja (P3K).
v. Pendidikan, pelatihan dan penyebarluasan informasi kepada
pekerja/buruh
vi. Alat pelindung diri
Alat pelindung diri yang sesuai wajib disediakan untuk melindungi
pekerja/ buruh dari pajanan HIV/ AIDS pada pekerjaan yang berisiko
terpajan HIV/ AIDS, misalnya pekerjaan yang berhubungan dengan darah
atau pada pemberian Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan.
d) Monitoring dan evaluasi
- Pengusaha secara reguler harus melakukan monitoring dan evaluasi
terhadap upaya pengendalian yang telah dilakukan dan mengambil tindakan
penyempurnaan
- apabila diperlukan.
- Dalam melakukan monitoring dan evaluasi perlu dipertimbangkan hal-hal
sebagai berikut:
i. Efektivitas kebijakan dan prosedur di tempat kerja.
ii. Tingkat pemenuhan persyaratan dan ketentuanketentuan yang berlaku.
iii. Efektivitas program penyebarluasan informasi dan program pendidikan.
iv. Sebab-sebab pemajanan terhadap risiko HIV/AIDS.
v. Evaluasi terhadap kasus kejadian yang berpotensi penularan HIV/AIDS.
vi. Efektivitas penanganan tindak lanjut setelah pemajanan
- Harus ada seorang/ sekelompok orang di tempat kerja yang ditunjuk untuk
melakukan monitoring dan evaluasi.
- Identitas orang atau kelompok orang yang ditunjuk harus diberitahukan
kepada semua pekerja/ buruh.
b. Pengawasan terhadap infeksi di tempat kerja
1) Kewaspadaan universal terhadap darah dan cairan tubuh.
Kewaspadaan universal terhadap darah atau cairan tubuh dikenal juga sebagai
Kewaspadaan Universal atau Kewaspadaan Baku. Pendekatan ini muncul sebagai
reaksi terhadap merebaknya wabah HIV/AIDS dan kesadaran akan pentingnya
strategi baru untuk melindungi pegawai rumah sakit dari berbagai infeksi melalui
darah. Untuk pertama kalinya, pendekatan ini menekankan penerapan kewaspadaan
terhadap darah dan cairan tubuh dan dilaksanakan secara universal terhadap semua
orang tanpa memandang status infeksi. Kewaspadaan Universal merupakan praktek
pengawasan baku dan sederhana terhadap infeksi yang diterapkan dalam
perawatan semua pasien, setiap saat, untuk mengurangi risiko terhadap berbagai
penyakit yang dibawa atau berkaitan dengan darah. Kewaspadaan ini mencakup:
- Penanganan hati-hati terhadap pengumpulan dan pembuangan berbagai benda
tajam (jarum suntik atau benda tajam lainnya), sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku.
- Cuci tangan sebelum dan sesudah setiap prosedur kegiatan di air mengalir
dengan memakai detergen atau sabun atau alkohol 70%.
- Penggunaan berbagai pelindung seperti sarung tangan, jubah, masker, setiap
kali kontak langsung dengan darah atau berbagai cairan tubuh.
- Membuang sisa darah atau sisa cairan tubuh yang tercemaraman.
- Semua peralatan yang tercemar dilakukan sterilisasi dengan menggunakan
disinfektan yang tepat secara khusus.
- Kain-kain kotor dilakukan pencucian dengan detergen dan bahan
disinfektan dengan temperatur 80°C. 2)
Penularan HIV/AIDS pada pekerja/ buruh.
- Risiko penularan
Seluruh penularan dapat melibatkan darah, cairan tubuh yang disertai darah, dan
didapatkan kasus penularan melalui kultur virus (pada 3 petugas lab.). Pajanan
dapat melalui perkutaneus (terbanyak), mucocutaneus, dan bisa keduanya.
Risiko penularan dipengaruhi oleh:
i. Dalamnya luka
ii. Darah terlihat pada jarum
iii. Penempatan jarum pada vena/ arteri pasien
iv. Sumber padanan terinfeksi HIV fase lanjut (berhubungan dengan tingginya
kadar virus pada sumber tersebut)
- Profilaksis HIV Pasca Pajanan/ Post Exposure Prophylaxis
i. Profilaksis Pasca Pajanan Untuk Luka Perkutaneus
ii. Profilaksis Pasca Pajanan Untuk Pajanan Melalui Membran Mukosa Dan
Kulit Yang Tidak Utuh (Dermatitis, Abrasi, Luka).
- Monitoring dan konseling
Tes serologi HIV harus dilakukan pada saat kejadian, dan diulang pada minggu
ke-6, 3 bulan dan 6 bulan. Hal ini penting karena dari penelitian didapatkan ada
sebagian pekerja/buruh yang baru terdeteksi positif setelah 6 bulan pasca
pajanan. Tes ini harus diulang pada bulan 12 untuk pekerja/ buruh menderita
hepatitis C karena dapat memperlambat pembentukan serokonversi HIV.
Pekerja/ buruh positif HIV biasanya akan mengalami sindrom simtomatik akut
HIV dalam 2-6 minggu pasca pajanan. Pekerja/ buruh harus mendapatkan
konseling untuk melakukan hubungan seks dengan aman atau tidak melakukan
hubungan seks sampai hasil tes serologi negatif setelah 6 bulan pasca pajanan.
Risiko terbesar adalah pada 6 sampai 12 minggu pertama. Pemberian
PostExposur Prophylaxis (PEP) harus dimulai secepat mungkin, bila dapat dalam
1–2 jam pajanan sampai 36 jam pasca pajanan. Pekerja/ buruh bidang
kesehatan dengan HIV positif berdasarkan United State Centre for Diseases
Control andPrevention (CDC) dapat tetap menangani pasien dengan prosedur
operasiselama:
i. Pasien mengetahui status HIV pekerja tersebut
ii. Ada persetujuan tindak medis tertulis dari pasien
18.4 Pengertian
Menurut The National Council on Rehabilitation, rehabilitasi didefinisikan
sebagai proses pemulihan dari ketidakmampuan/ kecacatan sehingga seseorang
dapat berfungsi kembali secara mental, sosial, ketrampilan bekerja dan ekonomi
(Hopkins, et.al 1983:135)
Program rehabilitasi di tempat kerja adalah proses pemulihan tenaga kerja yang
mengalami cedera karena kecelakaan atau penyakit akibat kerja, sehingga tenaga kerja
dapat berfungsi kembali secara fisik, mental, sosial, ketrampilan bekerja dan ekonomi.
Proses tersebut dimulai sesaat setelah terjadi kecelakaan atau penyakit akibat kerja dan
berlangsung hingga tenaga kerja pulih dan mampu bekerja kembali.
Program rehabilitasi di tempat kerja merupakan upaya komprehensif, terpadu, lintas
sektor dan melibatkan berbagai profesi (multidisiplin) baik medis maupun non medis, seperti:
dokter dan paramedis, tenaga pendidik, petugas sosial, pengurus perusahaan, organisasi
tenaga kerja, tenaga kerja bersangkutan dan keluarga. Dari pengertian tersebut diatas,
maka ruang lingkup program rehabilitasi di tempat kerja meliputi berbagai upaya:
a. Rehabilitasi medis
b. Rehabilitasi kerja
c. Rehabilitasi psikososial
Tujuan utama rehabilitasi adalah penderita cacat dapat berintegrasi dalam
masyarakat sehingga dapat mengembangkan kemampuannya secara optimal dengan
keterbatasan yang minimal. Tujuan lainnya adalah:
a. Cacat minimal sehingga dapat menurunkan beban panti cacat
b. Sisa kemampuan maksimal sehingga dapat mandiri kembali
c. Tenaga kerja kembali ke pekerjaan semula
Program rehabilitasi di tempat kerja dapat menguntungkan baik bagi pengusaha
maupun tenaga kerja yang bersangkutan. Keuntungan program rehabilitasi bagi pihak
pengusaha adalah:
a. Mengurangi biaya kompensasi
b. Mengurangi hilangnya waktu kerja
c. Mengurangi biaya dalam merekrut, menyeleksi, dan mengganti tenaga kerja
d. Memperbaiki hubungan industrial dan meningkatkan citra perusahaan
e. Terhindarnya dari pemutusan hubungan kerja
f. Hilangnya kecemasan dan meningkatkan percaya diri
g. Mengatasi dampak dalam kehidupan sosial
18.5 Perencanaan
Tiga unsur perencanaan yang utama dalam program rehabilitasi di tempat
kerja adalah:
a. Unsur sumber daya manusia
Hal terpenting pada perencanaan sumber daya manusia dalam program rehabilitasi
di tempat kerja adalah terbentuknya komite bersama/ tim antara tenaga kerja dan
manajemen yang meliputi wakil-wakil dari serikat pekerja, manajemen keselamatan dan
kesehatan kerja, bagian produksi dan keuangan. Setelah terbentuknya tim, baru kemudian
dilakukan penunjukan koordinator program rehabilitasi dan penyelenggara jasa rehabilitasi.
Peran dan tanggung jawab perusahaan:
a. Menjamin keselamatan dan kesehatan tenaga kerja-asuransi tenaga kerja-menghindari
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
b. Melaksanakan program rehabilitasi sehingga tenaga kerja dapat bekerja kembali, dan
sedapat mungkin menghindari PHK akibat kecelakaan atau penyakit
c. Memasang isi program rehabilitasi di tempat kerja
d. Menunjuk koordinator/ tim/ organisasi
e. Memberi keringanan sehubungan dengan keterbatasan medis
f. Monitoring program rehabilitasi
g. Memberikan keringanan dalam tugas dan jam kerja pada tenaga kerja yang mempunyai
keterbatasan secara medis
h. Membantu pembiayaan bagi tenaga kerja yang sedang dirawat termasuk penyelesaian
dengan pihak asuransi
Peran dan tanggung jawab tenaga kerja:
a. Berperilaku kerja aman (save action)-bagi diri sendiri dan orang lain
b. Melaporkan setiap kecelakaan kerja
c. Berpartisipasi dalam program rehabilitasi
d. Bekerja sama dengan anggota pelaksana program rehabilitasi
Komitmen 3 : penempatan tenaga kerja pada pekerjaan yang sesuai kemampuan Dasar
kesepakatan :
Perusahaan menyiapkan tugas/ kerja yang sesuai kemampuan tenaga kerja yang
mengalami kecelakaan sebagai bagian dari proses rehabilitasi
Prosedur:
a. Prioritas awal adalah dengan memodifikasi pekerjaan semula
b. Dilakukan konsultasi dengan koordinator, tenaga kerja, pengawas, dokter,
penyelenggara jasa rehabilitasi dan organisasi pekerja untuk menentukan pekerjaan
lain
c. Pekerjaan lain yang diusulkan harus mempertimbangkan kesesuaian dengan
kemampuan tenaga kerja, persetujuan dokter yang mengobati, berguna bagi rehabilitasi
tenaga kerja dan fleksibel dalam jam kerja, adanya pelatihan kerja yang sesuai
d. Usulan pekerjaan lain harus tertulis dengan rincian sebagai berikut: Jenis pekerjaan,
spesifikasi dan pembatasan tugas, jam kerja, perubahan metode kerja, tanggal mulai
bekerja, mekanisme tahapan bekerja termasuk waktu tinjauan ulang dan orang yang
memantau, petugas yang ditunjuk dilaporkan bila terjadi masalah, jumlah gaji tidak
boleh kurang dari jumlah yang diterima sebelum terjadi kecelakaan dan antisipasi
periode kerja
e. Dampak beban kerja pada tenaga kerja lain harus dikurangi.
f. Pekerja dan pengawas harus mengetahui seluruh pembatasan tugas
g. Seluruh prosedur dan hasil pemantauan program rehabilitasi harus didokumentasikan
h. Perusahaan melakukan modifikasi organisasi kerja termasuk tempat kerja dan
meningkatkan keterampilan tenaga kerja
i. Pekerjaan lain yang diusulkan tidak memberatkan dan mengganggu produktivitas
j. Seluruh posisi di tempat kerja yang fleksibel dengan modifikasi tempat/ kondisi kerja
dan membatasi jam kerja
c. Unsur Komunikasi
Unsur komunikasi dalam perencanaan program rehabilitasi di tempat kerja meliputi:
komunikasi internal antara tenaga kerja, manajer, supervisor dan serikat pekerja, dan
komunikasi eksternal dengan petugas kesehatan (dokter, perawat, psikolog, fisioterapi,
terapi wicara, terapi okupasi dan orthoprostetis), badan kompensasi dan masyarakat. Dalam
perencanaan unsur komunikasi juga diperlukan suatu komitmen/ kesepakatan komunikasi
yang kemudian dikembangkan prosedur/ kegiatan komunikasi berdasarkan kesepakatan
tersebut. Berikut ini contoh rincian komitmen dan prosedur komunikasi dalam program
rehabilitasi di tempat kerja.
Komitmen 1: Konsultasi dengan tenaga kerja dan atau organisasi pekerja
Dasar kesepakatan :
Perusahaan mencapai kesepakatan dengan organisasi tenaga kerja untuk menjamin
efektivitas program rehabilitasi.
Prosedur :
a. Perusahaan, tenaga kerja dan organisasi tenaga kerja melakukan kesepakatan dalam
pengembangan dan pelaksanaan program rehabilitasi. Efektifitas program akan ditinjau
dalam waktu 6 bulan sejak diberlakukan.
b. P2K3 memantau efektivitas program untuk menjamin pelaksanaan program
Komitmen 2: Komunikasi eksternal dengan tidak berburuk sangka pada tenaga kerja yang
cedera/ sakit
Dasar kesepakatan: Perusahaan menjamin komunikasi eksternal dalam program rehabilitasi
dengan tidak berburuk sangka pada tenaga kerja yang cedera/ sakit. Prosedur:
a. Tenaga kerja mendapat jaminan tertulis untuk bekerja kembali pada posisi lain sesuai
saran medis bila tidak dapat bekerja kembali pada pekerjaan semula.
b. Kesepakatan tertulis akan dilakukan konsultasi antara tenaga kerja, koordinator, dokter
perusahaan, penyelenggara jasa rehabilitasi dan organisasi pekerja bila terdapat
perubahan jenis pekerjaan.
c. Laporan kemajuan program akan dibuat oleh penyelenggara jasa rehabilitasi,
koordinator dan organisasi pekerja sesuai dengan kebijaksanaan administrasi dan
prosedur kerahasiaan. Laporan kemajuan tersebut tersedia bagi orang/ badan yang
menginginkannya dengan persetujuan (informed consent) pekerja yang cedera/ sakit.
d. Bila terdapat perselisihan klaim asuransi, pembiayaan rehabilitasi awal akan dibayar
oleh perusahaan terlebih dahulu.
e. Seluruh hak tenaga kerja akan diberikan selama proses rehabilitasi.
f. Tidak ada PHK bagi tenaga kerja yang cedera/ sakit tanpa suatu persetujuan/ saran
dari panel ahli K3, organisasi pekerja dan tenaga kerja.
Hal ini tidak bermaksud untuk menghilangkan unsur-unsur perencanaan lainnya
seperti: unsur peralatan, keuangan, sasaran, target, waktu dan lain-lain, tetapi modul ini
berfokus untuk membahas 3 unsur utama/ yang dianggap penting dalam perencanaan
program.
18.6 Pelaksanaan
Program rehabilitasi di tempat kerja ditujukan kepada tenaga kerja yang mengalami
kecelakaan/ sakit agar dapat pulih kembali untuk bekerja dan mempertahankan fungsinya
semula, atau paling tidak dapat melakukan fungsinya sesuai kemampuan yang dimilikinya
setelah mengalami kecelakaan/ sakit. Sebagaimana telah disebutkan terdahulu, bahwa
kegiatan, pelayanan dan intervensi dalam program rehabilitasi di tempat kerja dilaksanakan
dengan berbagai upaya yaitu:
A. Rehabilitasi Medis
Rehabilitasi medis berarti mengembalikan kemampuan fungsi alat dan organ/
anggota tubuh yang cedera/ sakit karena kecelakaan atau penyakit agar dapat berfungsi
kembali semaksimal mungkin sehingga seseorang dapat mandiri kembali. Tujuan
rehabilitasi medis adalah:
- Pemulihan cacat seperti ke kondisi semula
- Menghindari cacat sekunder dan memperpendek masa perawatan
- Mengupayakan penderita dapat melakukan pekerjaan yang dilakukan sebelum sakit
- Mengembangkan fungsi jasmani dan mental secara optimal
Kegiatan rehabilitasi medis:
- Diagnosa penyakit
- Perawatan dan pengobatan
- Penilaian kecacatan
- Rehabilitasi fisik dan psikis
- Pengawasan kemajuan
Kegiatan atau pelayanan diagnosis penyakit dan penilaian kecacatan dapat
dilakukan oleh dokter perusahaan. Sedangkan kegiatan rehabilitasi fisik dan psikis biasanya
dilakukan di RS atau klinik khusus rehabilitasi dengan memulai langkah awal memperbaiki
kejiwaan penderita cacat. Upaya selanjutnya berupa pelatihan motorik dan sensorik,
fisioterapi, terapi wicara dan sebagainya untuk mempercepat proses penyembuhan dan
mengurangi ketergantungan. Disamping itu dapat dilakukan bimbingan/ konseling mengenai
alat bantu seperti kursi roda, kaki palsu yang mungkin diperlukan bagi penderita cacat.
Seleksi penentuan alat bantu sebaiknya mempertimbangkan kondisi dan persyaratan kerja
di masa depan.
Penilaian cacat merupakan dasar pemberian kompensasi kecacatan. WHO tahun
1980 menetapkan tingkat kecacatan sebagai berikut:
a. Impairment (kelainan) misalnya hemiparesis
b. Disability (ketidakmampuan) misalnya: ketidakmampuan berjalan, membedakan
warna,dan mendengar
c. Handicap (kecacatan) misalnya tidak bisa bekerja kembali
B. Rehabilitasi Kerja
Konvensi ILO No. 159/1983 menetapkan rehabilitasi kerja (occupationalrehabilitation)
yang menekankan proses pemulihan dari aspek pekerjaan, yaitu prosespemulihan tenaga
kerja dari kecelakaan atau penyakit untuk dapat bekerja kembali
baik di tempat kerja semula atau di tempat kerja baru yang sesuai dengan kondisi dan
kemampuannya. Rehabilitasi kerja dilakukan dengan maksud untuk mengurangi biaya
kompensasi dan memperbaiki berfungsinya kembali tenaga kerja sehingga mengurangi
hilangnya waktu kerja.
Adapun proses pengaturan dalam rehabilitasi kerja meliputi: modifikasi pekerjaan,
pemulihan kerja bertahap, evaluasi dan analisis tempat kerja, dan penyediaan alat bantu.
Pada proses perubahaan (modifikasi) pekerjaan diusahakan kapasitas kerja seperti semula,
bertahap dan atau dengan pengurangan waktu kerja. Upaya yang perlu dilakukan dalam
rehabilitasi kerja meliputi beberapa kegiatan:
a. Evaluasi Prakerja
Setelah dinyatakan pulih kesehatannya (secara medis), maka perlu dilakukan evaluasi
untuk mengetahui sisa kemampuan, kecakapan, ketrampilan, potensi, dan motivasi dari
tenaga kerja yang bersangkutan. Sehingga akan memberikan kemudahan dalam
menempatkan tenaga kerja pada pekerjaan yang sesuai. Dalam hal ini dilakukan
pemeriksaan status mental, pemeriksaan fisik, kemampuan melakukan kegiatan harian
dan kualitas hidup. Penentuan pulihnya kondisi kesehatan (fit or unfit) ini dilakukan oleh
dokter melalui medical certificate yang menyatakan kondisi tenaga kerja untuk
melakukan: pekerjaan normal, atau dibatasi untuk pekerjaan tertentu, atau disarankan
suatu pekerjaan alternatif, atau dinyatakan belum pulih kondisinya (unfit).
Pelarangan bekerja dilakukan bila tenaga kerja menderita penyakit infeksi menular yang
terdaftar dalam undang-undang wabah atau menderita penyakit yang bertambah parah
bila bekerja berdasarkan pertimbangan medis.
b. Bimbingan/ Konseling Pekerjaan
Bimbingan ini bertujuan untuk memberikan arahan mengenai pekerjaan yang mungkin
dilakukan dan sesuai dengan kondisi tenaga kerja yang bersangkutan serta
kemungkinan kesempatan kerja yang tersedia. Bila tenaga kerja dirawat lebih dari
sebulan, perawat atau dokter perusahaan harus melakukan bimbingan segera dengan
mengunjungi atau membesuk. Membesuk tenaga kerja sakit mempunyai maksud untuk
mengetahui kondisi dan kemajuan pasien serta arahan mengenai pekerjaan.
c. Pelatihan Kerja
Pada tenaga kerja yang mengalami cacat/ ketidakmampuan akibat kecelakaan atau
penyakit, perlu diberikan pelatihan untuk mempersiapkan tenaga kerja tersebut
beradaptasi pada pekerjaan semula atau pada jenis pekerjaan lain yg memerlukan
ketrampilan khusus.
d. Penempatan Kerja
Penempatan tenaga kerja pada pekerjaan yang sesuai dengan kondisinya merupakan
hal penting dalam proses rehabilitasi kerja, karena hal tersebut juga mempengaruhi
keberhasilan tenaga kerja dalam melaksanakan tugasnya. Sebelum penempatan kerja
sebaiknya dilakukan studi perbandingan antara persyaratan kerja (secara medis)
dengan kemampuan penderita cacat sehingga didapatkan kondisi optimal.
Jika sudah tidak memungkinkan bagi tenaga kerja untuk bekerja di tempat semula,
maka perlu dilakukan mutasi sehingga dihindari terjadinya PHK, yaitu dengan memindahkan
tenaga kerja pada tempat kerja/ pekerjaan yang sesuai dengan persyaratan kerja (secara
medis). Contoh persyaratan kerja bagi penderita cacat:
- Hemiparesis: dapat melakukan kegiatan harian, mempunyai fungsi mental yg baik dan
dapat bekerja di atas meja (misalnya mengetik)
- Paraplegi: dapat melakukan kegiatan harian dan kondisi kerja dengan menggunakan
kursi roda
- Quadriplegi: dapat melakukan kegiatan harian dan pekerjaan dengan tempat dan
peralatan khusus
- Broca aphasia: dapat mengerti pembicaraan
C. Rehabilitasi Psikososial
Ketidakmampuan/ kecacatan adalah suatu keadaan komplek dengan beberapa
kendala yang saling terkait. Program rehabilitasi yang efektif tidak hanya berusaha untuk
meningkatkan sisa kemampuan, tetapi juga berupaya mengatasi masalah-masalah
ketidakmampuan yang timbul karena persepsi diri (psikis) dan persepsi masyarakat (sosial).
Contoh:
Tenaga kerja yang mengalami tuli akibat bising akan bertambah parah dengan terbentuknya
perasaan minder (negative self image) dan reaksi sosial yang buruk. Sehingga
menimbulkan kecacatan/ kendala untuk berintegrasi secara sosial dan kerja.
Untuk itu perlu program rehabilitasi yang efektif yang memerlukan intervensi rehabilitasi
psikososial dengan pendekatan situasi khusus baik di tempat kerja, masyarakat dan
keluarga.
Berikut ini diberikan contoh rehabilitasi psikososial dengan pendekatan situasi di tempat
kerja bagi penderita tuli akibat bising.
1) Perubahan tanda bahaya.
Alarm diganti dengan sinar lampu, kode warna dan sebagainya
2) Masalah komunikasi
Diatasi dengan:
- Berbicara menghadap ke arah penderita
- Berbicara dengan artikulasi jelas
- Mengulangi kesalahpahaman dengan kata yang lain
- Menghindari sumber bising sejauh mungkin
3) Kendala dalam integrasi sosial
Penderita tuli akibat bising akan terisolasi dari teman sekerja, tidak hanya pada waktu
kerja tetapi juga waktu istirahat. Pemecahan masalah kendala integrasi sosial ini dapat
berupa membatasi penggunjingan mengenai ketulian dan mengajaknya untuk
bersosialisasi.
4) Kendala peningkatan profesional
Penderita cacat mempunyai hak yang sama dibandingkan tenaga kerja normal untuk
mendapatkan peningkatan profesi. Dengan modifikasi kerja, para penderita cacat dapat
mempunyai kesempatan bekerja pada level yang lebih tinggi.
Lampiran A
KECELAKAAN/PENYAKIT
TUGAS KOORDINATOR
a. Membantu pengajuan klaim asuransi
b. Merujuk ke P3K, paramedis dan atau dokter (pekerja tetap berhak untuk memilih
orang/keahlian medis yang dibutuhkannya)
c. Menyiapkan formulir pengajuan klaim asuransi untuk diisi oleh
dokter
d. Menyiapkan pembayaran sementara
Bekerja kembali pada pekerjaan semula atau pekerjaan lain yang sesuai
kemampuan atau mengikuti pelatihan kerja yang dibutuhkan
BAB XIX
PSIKOLOGI INDUSTRI
Pengurangan Kegiatan/
Ketegangan Tujuan tercapai Perilaku
(kebutuhan telah
dipuaskan)
Gambar 19.1.
Menurut Maslow, individu dimotivasi oleh kebutuhan yang belum dipuaskan, yang
paling rendah, paling dasar dalam tata tingkat. Begitu tingkat kebutuhan ini dipuaskan, hal
tersebut tidak akan lagi memotivasi perilaku, tetapi kebutuhan pada tingkat berikutnya
menjadi lebih dominan.
Menurut Locke, dua unsur yang penting dalam menentukan kepuasan kerja adalah
nilai-nilai pekerjaan dan pemenuhan kebutuhan dasar, dimana nilai-nilai dasar pekerjaan
harus sesuai dalam pemenuhan kebutuhan dasar. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa kepuasan kerja merupakan hasil dari pekerjaan tenaga kerja yang berkaitan dengan
motivasi kerja.
Faktor-faktor yang menimbulkan kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja
(Hezberg):
1. Faktor Motivator
Faktor-faktor yang menimbulkan kepuasan kerja mencakup isi pekerjaan (faktor intrinsik)
yaitu:
− Tanggung jawab (responsibility): besar kecilnya tanggung jawab yang dirasakan yang
diberikan kepada tenaga kerja.
− Kemajuan (advancement): besar kecilnya kemungkinan tenaga kerja dapat
berkembang dalam pekerjaannya.
− Pekerjaan itu sendiri: besar kecilnya tantangan yang dirasakan tenaga kerja dari
pekerjaannya.
− Pencapaian (achievement): besar kecilnya kemungkinan tenaga kerja mencapai
prestasi kerja yang tinggi.
− Pengakuan (recognition): besar kecilnya pengakuan yang diberikan kepada tenaga
kerja atas unjuk-kerjanya.
2. Faktor Higiene
Faktor-faktor yang menimbulkan ketidakpuasan kerja (faktor ekstrinsik), yaitu:
− Administrasi dan kebijakan perusahaan, derajat kesesuaian yang dirasakan tenaga
kerja dari semua kebijakan dan peraturan yang berlaku dalam perusahaan
− Penyeliaan, derajat kewajaran penyeliaan yang dirasakan yang diterima oleh tenaga
kerja
− Gaji, derajat kewajaran dari gaji yang diterima sebagai imbalan unjuk-kerjanya
− Hubungan antar pribadi, derajat kesesuaian yang dirasakan dalam berinteraksi dengan
tenaga kerja lainnya
− Kondisi kerja, derajat kesesuaian kondisi kerja denga proses pelaksanaan tugas
pekerjaannya
Puas
Tidak lagi puas
Jika faktor motivator tidak dirasakan ada, maka tenaga kerja tidak lagi puas. Jika
faktor-faktor higiene dirasakan kurang atau tidak diberikan maka tenaga kerja merasa tidak
puas.
19.7.2. Seleksi dan Penempatan Tenaga Kerja
Proses seleksi dan penempatan tenaga kerja dilakukan untuk menilai atau
memperkirakan sejauh mana tenaga kerja memiliki ciri-ciri pribadi yang dipersyaratkan dan
memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan. Hal ini dapat diukur dengan
berbagai macam alat ukur, tes, kuesioner, wawancara, dan sebagainya. Berdasarkan hasil
pengukuran, calon tenaga kerja dapat diperkirakan keberhasilan dalam pekerjaannya jika
nanti diterima.
Sasaran proses seleksi adalah untuk merekomendasikan/ memutuskan, menerima
atau menolak seseorang calon tenaga kerja untuk ditempatkan di pekerjaan tertentu
berdasarkan suatu dugaan tentang kemungkinan calon tenaga kerja akan berhasil pada
pekerjaan tersebut. Tugas seleksi adalah menilai sebanyak mungkin calon tenaga kerja
untuk memilih seorang atau sejumlah orang (sesuai dengan jumlah orang yang diperlukan)
yang paling memenuhi persyaratan pekerjaan yang telah ditetapkan.
Sasaran penempatan adalah untuk merekomendasikan dalam pendistribusian calon
tenaga kerja pada pekerjaan yang berbeda-beda berdasarkan suatu dugaan tentang
kemungkinan calon tenaga kerja akan berhasil pada masing-masing pekerjaannya. Tugas
dari penempatan adalah untuk menilai para calon tenaga kerja dan mencocokkan kualifikasi
mereka dengan persyaratan yang telah ditetapkan dari setiap pekerjaan.
19.7.3. Pelatihan dan Pengembangan Tenaga kerja
Pengetahuan, sikap dan keterampilan tenaga kerja yang dimiliki masih perlu
disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan. Tenaga kerja dilatih dan dikembangkan agar
memperlihatkan perilaku sesuai yang diharapkan/ dituntut perusahaan.
Pelatihan adalah proses pendidikan jangka pendek yang mempergunakan prosedur
sistematis dan terorganisir, sehingga tenaga kerja nonmanajerial mempelajari pengetahuan
dan keterampilan teknis untuk tujuan tertentu. Sedangkan pengembangan adalah proses
pendidikan jangka panjang yang mempergunakan prosedur sistematis dan terorganisir,
sehingga tenaga kerja manajerial mempelajari
pengetahuan konseptual dan teoritis untuk tujuan umum.
Tujuan dari pelatihan dan pengembangan adalah:
Meningkatkan prestasi kerja/ produktivitas
Meningkatkan mutu hasil pekerjaan
Meningkatkan ketepatan dalam perencanaan sumber daya manusia
Meningkatkan semangat kerja
Meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja, menghindari timbulnya
kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja
Mempertahankan tenaga kerja yang berkualitas
Menunjang pertumbuhan pribadi
19.7.4. Produktivitas Kerja
Produktivitas adalah perbandingan antara hasil atau keluaran (output) dengan
masukan (input), dan dalam kaitannya dengan psikologi, produktivitas merupakan hasil dari
tingkah laku. Faktor yang mempengaruhi tingkah laku adalah kepribadian dan lingkungan
hidup.
Faktor yang mempengaruhi produktivitas adalah:
1. Pekerjaan yang menarik
2. Upah yang baik
3. Keamanan dan perlindungan dalam pekerjaan
4. Penghayatan atas maksud dan makna pekerjaan
5. Lingkungan dan suasana kerja yang baik
6. Promosi dan pengembangan diri
7. Keterlibatan dalam kegiatan organisasi
8. Pengertian dan simpati atas persoalan pribadi
9. Perhatian pimpinan kepada tenaga kerja
10. Disiplin kerja
Tuntutan Tugas Resiko terja dinya Kecelakaan dan penyakit akibat kerja
20.6. Pengertian
Di berbagai kepustakaan ataupun peraturan perundangan terdapat istilah
Penyakit yang Timbul Karena Hubungan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja, yang sebenarnya
mempunyai pengertian yang sama yaitu penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau
lingkungan kerja. Istilah Penyakit Akibat Kerja (PAK) dipakai di peraturan perundangan yang
dikeluarkan oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yaitu pada Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per 01/Men/1981 tentang Kewajiban Melapor
Penyakit Akibat Kerja dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP.333/MEN/1989
tentang Diagnosis dan Pelaporan Penyakit Akibat Kerja.
Penyakit Akibat Kerja menurut International Labour Organization (ILO) tahun 1998
adalah penyakit yang mempunyai penyebab yang spesifik atau asosiasi kuat dengan
pekerjaan, yang pada umumnya terdiri dari satu agen penyebab yang sudah diakui.
Sedangkan istilah Penyakit yang timbul karena hubungan kerja adalah istilah yang
digunakan erat kaitannya dengan kompensasi (ganti rugi) kecelakaan kerja seperti halnya
digunakan pada Keputusan Presiden Nomor 22 tahun 1993 tentang Penyakit Yang Timbul
Karena Hubungan Kerja.
Baik Penyakit Akibat Kerja maupun Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja
mempunyai pengertian yang sama yaitu penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau
lingkungan kerja.
Istilah lain dari gangguan kesehatan tenaga kerja adalah Penyakit Yang Bertalian
dengan Pekerjaan yang merupakan terjemahan dari work-related disease diartikan sebagai
penyakit yang penyebabnya multifaktor, sedangkan pekerjaan atau lingkungan adalah salah
satu dari penyebab penyakit tersebut, jadi tidak termasuk penyakit akibat kerja atau penyakit
yang timbul karena hubungan kerja.
Apabila dalam pemeriksaan kesehatan ditemukan Penyakit Akibat Kerja (PAK), pengurus
perusahaan wajib:
1. Dokter pemeriksa membuat laporan medis diagnosa PAK (lampiran 2,
Kepmenakertrans No. KEP.333/MEN/1989 tentang Diagnosa dan Pelaporan PAK).
2. Membuat dan melaporkan tertulis kepada Dinas Tenaga Kerja setempat dalam waktu
paling lama 2 x 24 jam setelah penyakit tersebut dibuat diagnosanya (lampiran 1,
Kepmenakertrans No. KEPT.333/MEN/1989 tentang Diagnosa dan Pelaporan PAK).
3. Membuat dan melaporkan tertulis kepada pihak BPJS Ketenagakerjaan dalam waktu
paling lama 2 x 24 jam setelah penyakit tersebut dibuat diagnosanya
4. Melakukan tindakan preventif agar Penyakit Akibat Kerja (PAK) yang sama tidak
terulang kembali.
5. Menyediakan secara cuma-cuma semua alat pelindung diri untuk pencegahan
PAK.
Apabila terdapat keragu-raguan dalam menegakkan diagnosis penyakit akibat kerja
oleh dokter pemeriksa kesehatan, dapat dikonsultasikan kepada dokter penasehat tenaga
kerja dan apabila diperlukan dapat pula dikonsultasikan kepada dokter ahli yang
bersangkutan (Pasal 3 ayat 1 dan 2).
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER-05/MEN/1993 mengatur
bahwa dalam hal terjadi perbedaan pendapat mengenai penetapan kecelakaan kerja dan
Penyakit Akibat Kerja, pengusaha atau tenaga kerja/ keluarga atau Badan Penyelenggara
Jamsostek (sekarang BPJS Ketenagakerjaan) dapat meminta penetapan kepada pegawai
pengawas ketenagakerjaan. Pegawai pengawas dan petugas Badan Penyelenggara
Jamsostek (BPJS Ketenagakerjaan) dapat mengadakan penelitian dan pemeriksaan atas
PAK dimaksud yang hasilnya dapat dijadikan dasar menetapkan PAK atau bukan PAK.
Apabila pegawai pengawas ketenagakerjaan seorang dokter, kewenangan untuk
menetapkan PAK tersebut tidak menimbulkan masalah atau kesulitan mengingat pegawai
pengawas yang dokter memiliki landasan profesi yang dipersyaratkan untuk menetapkan
diagnosis medis. Keadaan akan berbeda jika pegawai pengawas ketenagakerjaan bukan
seorang dokter. Dengan dikeluarkannya peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
No. PER-04/MEN/1998 yang dimaksudkan untuk mewujudkan kesamaan langkah dan
persepsi dalam menangani kasus kecelakaan kerja yang berkaitan dengan masalah medis,
dokter penasehat mempunyai fungsi memberikan pertimbangan medis kepada pegawai
pengawas ketenagakerjaan dan atau Badan Penyelenggara Jamsostek (BPJS
Ketenagakerjaan) dalam penetapan jaminan kecelakaan kerja atau Penyakit Akibat Kerja
(PAK). Selain itu dokter penasehat juga dapat menetapkan Penyakit Akibat Kerja (PAK) bila
terjadi perbedaan pendapat antara Badan Penyelenggara Jamsostek dengan pengusaha
dan atau tenaga kerja/ ahli warisnya, atau dalam hal belum diaturnya Penyakit Akibat Kerja
dalam peraturan-perundangan. Dalam hal terjadi ketidaksepakatan penetapan PAK banding
sehingga sampai tingkat tertinggi yaitu pada penetapan menteri, dokter penasehat dapat
memberikan pertimbangan medis kepada Menteri Tenaga Kerja untuk menetapkan PAK.
Dokter penasehat dibenarkan untuk melakukan rekam medis dan bila dipandang perlu
melakukan pemeriksaan ulang kepada tenaga kerja.
Baik dalam membuat diagnosis penyakit akibat kerja dan juga penilaian cacat karena
kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja, dokter wajib memegang teguh Kode Etik Dokter
pada umumnya dan Kode Etik Kedokteran Kerja (Kode Etik Hiperkes Medis) yang antara
lain menyatakan bahwa dokter melaksanakan tugas sebagai suatu amal ilmiah yang
obyektivitas dan terpadu dan hanya membuat sesuatu pernyataan dan atau persetujuan
atas dasar hasil pengamatan dan pandangan yang jujur.
Dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP
79/MEN/2003 tentang Pedoman Diagnosis dan Penilaian Cacat Karena Kecelakaan dan
Penyakit Akibat Kerja, terdapat informasi klinis/ medis tentang diagnosis dan juga penilaian
cacat karena kecelakaan dan penyakit akibat kerja menurut spesialisasi kedokteran.
Informasi klinis demikian harus digunakan dalam rangka pola metodologi diagnosis penyakit
akibat kerja dan cacat karena kecelakaan kerja atau cacat karena penyakit akibat kerja.
1. (silikosis,
antrakosilikosis,asbestosis) dan silikotuberkulosis yang silikosisnya merupakan faktor
utama
penyebab cacat dan kematian;
Penyakit paru dan saluran pernafasan (bronkopulmoner) yang disebabkan oleh debu
2. logam
keras;
Penyakit paru dan saluran pernafasan (bronkopulmoner) yang disebabkan oleh debu
3. kapas,
vlas, henep, dan sisal (bisinosis);
Asma akibat kerja yang disebabkan oleh penyebab sensitisasi dan zat perangsang
4. yang
dikenal yang berada dalam proses pekerjaan;
Alveolitis allergika yang disebabkan oleh faktor dari luar sebagai akibat penghirupan
5. debu organ;
6. Penyakit yang disebabkan oleh berillium atau persenyawaannya yang beracun;
7. Penyakit yang disebabkan oleh kadmium atau persenyawaannya yang beracun;
8. Penyakit yang disebabkan oleh fosfor atau persenyawaanya yang beracun;
9. Penyakit yang disebabkan oleh krom atau persenyawaannya yang beracun ;
10. Penyakit yang disebabkan oleh mangan atau persenyawaannya yang beracun;
11. Penyakit yang disebabkan oleh arsen atau persenyawaannya yang beracun;
12. Penyakit yang disebabkan oleh air raksa atau persenyawaannya yang beracun;
Penyakit yang disebabkan oleh timbal (Pb,timah hitam) atau persenyawaanya yang
13. beracun
14. Penyakit yang disebabkan oleh fluor atau persenyawaannya yang beracun;
15. Penyakit yang disebabkan oleh Karbon disulfide;
Penyakit yang disebabkan oleh derivat halogen dari persenyawaan hidrokarbon alifatis
16. atau aromatis yang beracun;
17. Penyakit yang disebabkan oleh Benzen atau homolognya yang beracun;
Penyakit yang disebabkan oleh derivat nitro dan amina dari benzen dan homolognya
18. Yang beracun
19. Penyakit yang disebabkan oleh nitrogliserin atau ester asam nitrat lainnya
20. Penyakit yang disebabkan oleh alcohol, glikol atau Keton
Penyakit yang disebabkan oleh gas atau uap penyebab asfiksia atau keracunan
21. seperti
karbon monoksida, hydrogen sianida, hidrogen sulfida atau derifat yang beracun,
amoniak,seng, braso dan nikel ;
22. Kelainan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan
Penyakit kulit yang disebabkan oleh getaran mekanis (kelainan-kelainan otot, urat,
23. tulang,
persendian, pembuluh darah tepi, atau saraf tepi);
24. Penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dalam udara yang bertekanan lebih;
25. Penyakit yang disebabkan oleh radiasi elektromagnetik dan radiasi yang mengion;
208
26. Penyakit kulit (dermatosis) yang disebabkan oleh penyebab fisik, kimiawi atau
biologic Penyakit kulit epitelioma primer yang disebabkan oleh ter, pic, bitumen,
minyak
27. mineral,
antrasena atau persenyawaan, produk atau residu dari zat tersebut;
28. Kanker paru atau mesitelioma yang disebabkan oleh asbes;
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri, atau parasit yang didapat dalam
29. suatu
pekerjaan yang memiliki risiko kontaminasi khusus;
Penyakit yang disebabkan oleh suhu tinggi atau rendah atau panas radiasi atau
30. kelembaban udara tinggi;
31. Penyakit yang disebabkan oleh kimia lainnya termasuk bahan obat.
Bila diperhatikan dengan seksama, 31 jenis penyakit akibat kerja menurut Kepres 22
tahun 1993 dapat pula dikelompokkan atas dasar 3 (tiga) kategori utama yaitu:
1. Penyakit akibat kerja yang tegas dinyatakan penyebabnya, yang dalam hal ini faktor
kimia, faktor fisika, dan faktor biologi
2. Penyakit akibat kerja yang mengenai sistem organ sasaran, yaitu sistem pernafasan,
kulit, dan musculoskeletal (otot rangka)
3. Kanker akibat kerja
Menurut International Classification of Disease 10-OH, penyakit akibat kerja secara
umum dibagi menjadi:
a. Penyakit yang disebabkan faktor bahaya,yaitu:
- Penyakit yang disebabkan faktor bahaya kimia,misalnya keracunan oleh air raksa
atau persenyawaan yang beracun
- Penyakit yang disebabkan faktor bahaya fisika, misalnya penyakit akibat kerja
disebabkan radiasi mengion
- Penyakit yang disebabkan faktor bahaya biologi, misalnya penyakit antraks akibat
kerja
b. Penyakit berdasarkan organ sasaran, yaitu:
- Penyakit pernafasan akibat kerja, misalnya asbestosis
- Penyakit kulit akibat kerja, misalnya vitiligo akibat kerja (kulit sebagai organ sasaran
- Penyakit muskoloskletal akibat kerja,misalnya dan kelainan otot rangka akibat kerja
yang disebabkan vibrasi mekanis
- Kanker akibat kerja, misalnya kanker oleh karena Vinil Klorida atau debu kayu keras
dari pekerjaan di tempat kerja
- Penyakit lainnya
20.9. Sistem Pelaporan Penyakit Akibat Kerja (PAK)
Peraturan Jaminan Sosial untuk Tenaga Kerja, Peraturan Menteri Tenaga Kerja
Nomor Per-01/Men/1981 tentang Kewajiban Melapor Penyakit Akibat Kerja dan Keputusan
Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor: KEP.333/MEN/1989 tentang Diagnosis
dan Pelaporan Penyakit Akibat Kerja telah memberi penegasan hukum untuk wajib
melaporkan dan mengikuti sistem pelaporan. Pada tahap awal atau pertama, pengusaha
wajib melaporkan PAK
tersebut 2 x 24 jam sejak menerima diagnosa dari dokter pemeriksa, dengan
menggunakan Formulir Jamsostek 3 (form dibuat lampiran).
Sesuai Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.
KEP.333/MEN/1989 tentang diagnosis dan Pelaporan Penyakit Akibat Kerja, pelaporan
dokter pemeriksa harus meliputi:
1. Identitas, yang meliputi; nama penderita; nomor induk pokok; umur; jenis kelamin;
jabatan; unit/ bagian kerja; lama kerja; nama perusahaan; jenis perusahaan dan
alamat perusahaan.
2. Anamnesis yang meliputi; riwayat pekerjaan; keluhan yang diderita; dan riwayat
penyakit.
209
3. Hasil pemeriksaan mental dan fisik (status present), yang meliputi:
JENIS
NO PEMERIKSAAN PEMERIKSAAN
Kesadaran, sikap dan tingkah laku; kontak psikis,
1 Pemeriksaan mental dan
perhatian, dan lain-lain
Tinggi badan dalam sentimeter; berat badan
2 Pemeriksaan fisik dalam
kilogram; tensi sistolik dan diastolik dalam
mmHg;
denyut nadi permenit dan kualitasnya lemah/
sedang/
cukup/ kuat serta regular atau irregular; suhu
aksiler;
kepala; dan muka (rambut; mata; strabismus;
reflek
pupil, kornea dan konjungtivita); telinga
(Meatus
acusticus, membrane tymphani); hidung
(mukosa,
penciuman, epistaksis) ; tenggorokan (tonsil,
suara);
rongga mulut (mukosa lidah, gigi); leher;
kelenjar
gondok; thoraks (bentuk, pergerakan, paru,
jantung);
abdomen (hati, limpa); genitalia; tulang
punggung;
ekstremitas; reflex; (fisiologis/ patologis);
koordinasi
otot (tremor, tonus, paresis,paralisis; dan lain-lain)
3 Pemeriksaan rontgent Paru-paru, Jantung
4 Pemeriksaan
elektrokardiogramm (EKG
atau
ECG);
5 Pemeriksaan laboratorium Darah, urine; tinja
6 Pemeriksaan Pengukuran kadar bahan kimia penyebab sakit
tambahan/monitoring didalam tubuh tenaga kerjamisalnya kadar
biologis dalam
urine,darah,dansebagainya danhasil
uji/pemeriksaan fungsi organ tubuh tertentu
akibat
pengaruh bahan kimia tersebut misalnya uji
fungsi
paru, dan sebagainya
Tabel. 20.3. Pemeriksaan Kesehatan
4. Hasil pemeriksaan lingkungan kerja dan cara kerja yang meliputi faktor lingkungan
kerja yang dapat berpengaruh terhadap sakit penderita (faktor fisika, kimia, biologi,
psikososial); faktor cara kerja yang berpengaruh terhadap sakit penderita (peralatan
kerja, proses produksi , ergonomi); waktu paparan (per hari, per minggu) dan alat
pelindung diri.
5. Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja, yang meliputi pemeriksaan kesehatan
sebelum bekerja, pemeriksaan kesehatan sebelum penempatan kerja, pemeriksaan
kesehatan berkala, pemeriksaan kesehatan khusus, (dilakukan/ tidak dilakukan;
kelainan yang ditemukan).
6. Resume, yang meliputi faktor-faktor yang mendukung diagnosis, penyakit akibat
kerja,dari anamnesis; pemeriksaan medis (mental, fisik, laboratorium, monitoring
biologis, rontgen, patologis anatomis) ; pemeriksaan lingkungan kerja dan cara kerja
tenaga kerja; dan waktu paparan nyata.
7. Kesimpulan, yaitu: penderita/ tenaga kerja yang bersangkutan menderita atau tidak
menderita penyakit akibat kerja; diagnosis; diagnosis menurut jenis penyakit akibat kerja
atas dasar Kepres No. 22 Th 1993 dan atau menurut klasifikasi Internasional Penyakit
(International Classification of Disease atau disingkat ICD).
Tahap kedua, pengusaha wajib melaporkan PAK dalam waktu 2 x 24 jam,
menggunakan formulir Jamsostek 3a sejak menerima surat keterangan dari dokter melalui
formulir 3c yang menerangkan;
a) Sementara Tidak Mampu Bekerja (STMB)
b) Keadaan cacat sebagian untuk selama-lamanya
c) Keadaan cacat total untuk selama-lamanya
d) Meninggal dunia
Tahap pertama maupun tahap kedua, hasil pelaporan tersebut disampaikan kepada
dinas tenaga kerja setempat dan kantor Jamsostek. Pada Undang-undang mengenai
Jamsostek disebutkan adanya sanksi bagi pengusaha yang tidak melaporkan PAK, yaitu
hukuman sekurang-kurangnya selama 6 bulan penjara atau denda setinggi-tingginya
50.000.000 (lima puluh juta rupiah).
BAB XXI
PROGRAM BPJS KETENAGAKERJAAN DAN KESEHATAN
21.3.Dasar Hukum
Peraturan perundang-undangan yang mendasari BPJS Ketenakerjaan dan
Kesehatan antara lain:
1. Undang-Undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
2. Undang-Undang No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
3. Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS
Berdasarkan undang-undang ini, PT. Jamsostek berubah menjadi BPJS
Ketenagakerjaan sejak tanggal 1 Januari 2014.
4. Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan
Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian.
5. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan
Pensiun.
6. Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2015 tentang Program Jaminan Hari Tua.
7. Peraturan Presiden R.I. No. 111 tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan
Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan.
8. Keputusan Presiden RI. Nomor 22 tahun 1993 tentang Penyakit yang Timbul Karena
Hubungan Kerja. pasal 1 menjelaskan pengertian penyakit yang timbul karena
hubungan kerja, yaitu penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja.
Keputusan Presiden ini melampirkan daftar penyakit yang tergolong penyakit akibat
hubungan kerja, sebanyak 33 jenis penyakit. Pasal 2 menyatakan bahwa mereka yang
menderita penyakit yang timbul karena hubungan kerja berhak memperoleh jaminan
kecelakaan kerja.
9. Permenaker No. 02/Men/1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja dalam
Penyelenggaraan Keselamatan Kerja.
10. Permenakertrans No. Per. 01/Men/1981 tentang Kewajiban Melapor Penyakit Akibat
Kerja.
Peraturan ini menyebutkan bahwa penyakit akibat kerja harus dilaporkan secara tertulis
dalam waktu paling lama 2 x 24 jam.
11. Permenakertrans No. Per. 03/Men/1982 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja
12. Peraturan Menteri Kesehatan No. 71 tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan Pada
Jaminan Kesehatan Nasional.
13. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan
Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua.
14. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 26 Tahun 2015 tentang Tata
CaraPenyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, dan
Jaminan Hari Tua Bagi Peserta Penerima Upah.
15. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 28 Tahun 2015 tentang Tata Cara
Pengangkatan dan Pemberhentian Dokter Penasehat.
16. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 29 Tahun 2015 tentang Tata Cara
Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran dan Penghentian Manfaat Jaminan Pensiun.
17. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 333 Tahun 1989 Tentang Diagnosa dan
Pelaporan Penyakit Akibat Kerja.
Diagnosa penyakit akibat kerja dapat ditemukan atau didiagnosa sewaktu
melaksanakan pemeriksaan kesehatan tenaga kerja dan sewaktu penyelenggaraan
pelayanan kesehatan kerja. Setelah penyakit akibat kerja didiagnosa harus dilaporkan
dalam waktu 2x24 jam.
18. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. No. 609 tahun 2012 tentang
Pedoman Penyelesaian Kasus Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja.
21.5. Pengertian
Penyelenggaraan program jaminan sosial merupakan bentuk tanggung jawab dan
kewajiban negara untuk memberikan perlindungan sosial ekonomi kepada masyarakat.
Indonesia mengembangkan program jaminan sosial berdasarkan funded social security,
yaitu jaminan sosial yang didanai oleh peserta dan masih terbatas pada masyarakat pekerja
di sektor formal.
Tonggak penting lahirnya jaminan sosial bagi tenaga kerja adalah keluarnya Undang-
Undang No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Program
Jamsostek memberikan perlindungan dasar melalui penyelenggaraan 4 (empat) program,
yang mencakup Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian
(JKM), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) bagi seluruh
tenaga kerja dan keluarganya.
Pada akhir tahun 2004, pemerintah menerbitkan Undang-undang Nomor 40 Tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang mengamanatkan bahwa jaminan sosial
wajib bagi seluruh penduduk termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui suatu
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Undang-undang tersebut berhubungan
dengan Amandemen UUD 1945 tentang perubahan pasal 34 ayat 2, yang kini berbunyi:
"Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan".
Tahun 2011 ditetapkanlah Undang-Undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial. BPJS adalah badan hukum publik yang dibentuk untuk
menyelenggarakan program jaminan sosial. BPJS terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan.
Sesuai dengan amanat UU tersebut, tanggal 1 Januari 2014 PT. Jamsostek berubah
menjadi Badan Hukum Publik dan dipercaya untuk menyelenggarakan program jaminan
sosial tenaga kerja, yang meliputi JKK, JKM, JHT dengan penambahan Jaminan Pensiun
mulai 1 Juli 2015. BPJS Kesehatan yang dahulu bernama Askes, bertugas mengelola
jaminan kesehatan.
21.6.2.BPJS Ketenagakerjaan
Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian Pasal 4 menyebutkan bahwa setiap
pemberi kerja selain penyelenggara negara wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya
sebagai peserta dalam program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian
(JKM) kepada BPJS Ketenagakerjaan.
Peserta program JKK dan JKM terdiri dari:
a. Peserta penerima upah yang bekerja pada pemberi kerja selain penyelenggara
negara, yang meliputi:
- Tenaga kerja pada perusahaan
- Tenaga kerja pada orang perseorangan
- Orang asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan.
b. Peserta bukan penerima upah:
- Pemberi kerja
- Tenaga kerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri
- Tenaga kerja yang tidak termasuk keduanya, yang bukan menerima upah Iuran JKK
bagi peserta penerima upah dikelompokkan dalam 5 (lima)
kelompok tingkat risiko lingkungan kerja, meliputi:
a. Tingkat risiko sangat rendah: 0,24% dari upah sebulan
b. Tingkat risiko rendah: 0,54% dari upah sebulan
c. Tingkat risiko sedang: 0,89% dari upah sebulan
d. Tingkat risiko tinggi: 1,27% dari upah sebulan
e. Tingkat risiko sangat tinggi : 1,74% dari upah sebulan
Iuran JKM bagi peserta penerima upah ditetapkan sebesar 0,30% dari upah
sebulan.
Selain JKK dan JKM, terdapat kewajiban pemberi kerja untuk mengikutsertakan
tenaga kerja dalam Jaminan Pensiun dan Jaminan Hari Tua (JHT) yang masing-masing
tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 45 dan 46 Tahun 2015.
JHT adalah manfaat uang tunai yang dibayarkan sekaligus pada saat peserta
memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap. Kepesertaan
JHT bersifat wajib dengan jenis kepersertaan sama dengan JKK dan JKM. Jika pengusaha
mempunyai lebih dari satu perusahaan, masing-masing wajib terdaftar. Jika peserta
bekerja di lebih dari satu perusahaan, masing-masing wajib didaftarkan sesuai penahapan
kepesertaan.
a. Epidemiologi deskriptif
Epidemiologi ini mempelajari frekuensi dan distribusi suatu masalah kesehatan dalam
masyarakat sehingga menunjukkan besarnya masalah itu di dalam masyarakat. Hasil
studi diharapkan mampu menjelaskan siapa yang terkena, di mana dan kapan
terjadinya masalah itu.
b. Epidemiologi analitik
Epidemiologi ini merupakan studi dalam upaya menganalisis faktor penyebab
(determinan) masalah kesehatan, sehingga diharapkan mampu menjawab pertanyaan
kenapa atau apa penyebab terjadinya masalah.
c. Epidemiologi eksperimental
Salah satu hal yang perlu dilakukan sebagai pembuktian bahwa suatu faktor sebagai
penyebab terjadinya penyakit adalah diuji kebenarannya dengan percobaan
(eksperimen)
Ketiga jenis epidemiologi ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain, saling berkaitan dan
mempunyai peranan masing-masing sesuai tingkat kedalaman pendekatan epidemiologi
yang dihadapi. Secara umum dapat dikatakan bahwa pengungkapan dan pemecahan
masalah epidemiologi dimulai dengan epidemiologi deskriptif, lalu diperdalam dengan
epidemiologi analitik dan dilanjutkan dengan melakukan epidemiologi eksperimental.
22.7. Rancangan penelitian
Salah satu tugas utama epidemiologi adalah untuk menentukan faktor kausa. Suatu
hubungan disebut bersifat kausal jika memenuhi kriteria tertentu. Sir Austin Bradford Hill
(1965) mengajukan 9 kriteria hubungan tersebut, yaitu:
1. Kuat (strength): ada hubungan kuat yang menunjukkan suatu faktor tertentu
menyebabkan penyakit. Misalnya asbestosis asosiasinya kuat dengan pajanan
asbestos sedangkan rematik asosiasinya lemah dengan pekerja shift malam.
2. Konsisten (consistency): hubungan dapat dikonfirmasikan bersifat konsisten pada
keadaan, populasi dan waktu yang berbeda. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat
hasil yang sama atau serupa dari berbagai penelitian terhadap suatu isu. Misalnya
asbestosis terjadi pada binatang percobaan, pekerja bangunan, pekerja pabrik semen,
pekerja pabrik cakram yang kesemuanya menggunakan asbes.
3. Spesifik (specificity): satu penyebab tertentu menyebabkan penyakit tersendiri. Misalnya
silikosis hanya terjadi pada pekerja yang terpapar silika bebas.
4. Runtut (temporality): faktor penyebab hendaknya mendahului akibat. Contoh: gigitan
nyamuk terjadi dan mengakibatkan demam berdarah, paparan asbestos selama 15
tahun baru terjadi asbestosis.
5. Tanggap biologi (biological gradient): dimana terjadi hubungan reaktif positif yang
menunjukkan adanya hubungan dose-response (makin tinggi dosis, makin tinggi
respon).
6. Layak (plausability): asosiasi yang terjadi dapat diterima oleh pengetahuan biologis atau
sesuai dengan fisiologi. Bukti dapat diperoleh dari percobaan pada binatang misalnya.
7. Bertalian (coherence): hubungan yang terjadi sesuai atau bertalian dengan logika dan
fakta mengenai penyakit itu sendiri, termasuk riwayat alamiahnya. Misalnya bising
menimbulkan gangguan pendengaran, tetapi tidak menimbulkan batuk pilek.
8. Terbukti (experiment): bukti yang ada harus dapat dibuktikan dengan percobaan baik
binatang, klinik maupun lapangan. Misalnya penggunaan alat pelindung telinga
menurunkan prevalensi noise induced hearing loss, dilakukan perbandingan antara
prevalensi pada kelompok terpapar bising yang menggunakan alat pelindung telinga
dan kelompok terpapar bising yang tidak menggunakan alat pelindung telinga.
9. Analogi (analogy): adanya asosiasi yang sama yang terbukti bersifat kausal maka dapat
dilakukan transfer ilmu sehingga hubungan tersebut dapat dievaluasi. Misalnya analogi
menilai hubungan sebab akibat antara penyakit paru pneumokoniosis yang ditimbulkan
oleh debu silika bebas dan debu batu bara.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam upaya mengetahui faktor risiko
terjadinya penyakit atau timbulnya masalah kesehatan di tempat kerja, yaitu:
a. Hubungan antara faktor okupasi dan timbulnya masalah kesehatan.
Ada dua unsur kausalitas, yaitu necessary cause dan sufficient cause. Necessary cause
adalah faktor risiko yang harus ada dan mendahului suatu akibat sehingga
menghasilkan suatu hubungan sebab-akibat, misalnya debu batu bara adalah
necessary cause dari penyakit coal worker’s pneumonoconiosis yang terjadi pada
penambang batu bara; debu batu bara terdapat di lingkungan kerjanya dan masuk ke
dalam paru pekerja sebelum terjadinya pneumonokoniosis. Sedangkan sufficient cause
mengacu pada konsep gangguan kesehatan yang multifaktor ataumultikausal. Misalnya
duduk dengan posisi janggal dalam waktu lama dapat menimbulkan nyeri pinggang
bawah pada pengemudi taksi, faktor risiko ini adalah sufficient cause karena ada faktor
risiko lain yang berkontribusi, seperti obesitas, kurangaktivitas fisik, jarang melakukan
peregangan otot selama mengemudi.
b. Hubungan paparan dan efek serta hubungan paparan dan respon.
Hubungan paparan dan efek (dose-effect relationship) menggambarkan hubungan
antara dosis paparan dan efek yang ditimbulkan; apabila intensitas paparan semakin
tinggi dan waktu paparan semakin panjang maka masalah kesehatan yang timbul
semakin berat. Sejalan dengan itu hubungan paparan dan respon (dose-
responserelationship) menggambarkan hubungan antara dosis paparan dan banyaknya
tenagakerja yang memberi respon sesuai efek yang diteliti; apabila intensitas paparan
semakin tinggi dan waktu paparan semakin panjang maka populasi pekerja yang
mengalami gangguan kesehatan akan semakin banyak.
c. Efek pada tenaga kerja yang sehat.
Tenaga kerja yang sakit atau cacat biasanya tidak bekerja lagi untuk sementara waktu
atau selamanya, hal ini akan mengacaukan hasil perhitungan prevalensi penyakit.
Selain itu hasil penelitian dapat terkecoh dengan pengakuan tenaga kerja yang
memperberat kondisi penyakitnya karena keinginan pindah tempat kerja atau menuntut
kompensasi; atau sebaliknya pekerja menutup-nutupi penyakitnya dalam rangka
menghindari pemecatan atau pemindahan ke tempat kerja yang tidak diinginkan.
d. Faktor perancu (confounding) lainnya.
Perancu dapat diartikan sebagai tercampurnya efek dari faktor risiko yang diteliti
terhadap kejadian penyakit oleh faktor ketiga. Studi dimana faktor A adalah faktor risiko
dari penyakit B, maka faktor X dikatakan sebagai faktor perancu bila diketahui faktor X
juga sebagai faktor risiko penyakit B, atau faktor X berhubungan dengan faktor A tapi
bukan sebagai akibat faktor A.
Metode ilmiah
Epidemiologi adalah salah satu metode penelitian yang bersifat ilmiah. Pertanyaan
hubungan sebab akibat antara faktor risiko dan efek kesehatan hanya dapat dijawab
dengan penelitian yang menggunakan metode ilmiah.
Metode ilmiah merupakan cara berpikir deduktif dan induktif, yaitu suatu kegiatan
yang sistematik dan obyektif untuk mengkaji suatu masalah dan merupakan proses
kelimuan untuk memperoleh pengetahuan secara sistematis berdasarkan bukti fisik. Metode
ilmiah terbuka untuk dikritik karena dapat dibantah atau ditolak jika terdapat fakta atau bukti
baru. Penelitian yang dilakukan berpedoman pada berbagai informasi (teori) yang telah
dihasilkan dari penelitian terdahulu. Hal ini bertujuan untuk menambah atau
menyempurnakan teori yang menjadi sasaran kajian.
Suatu penelitian ilmiah memerlukan suatu rencana kerja yang terdiri atas langkah-
langkah menurut pola tertentu dan disusun secara sistematis, yang terdiri atas:
1. Perumusan masalah dan tujuannya
2. Perumusan hipotesis
3. Penetapan metode kerja dan bahan penelitian
4. Pengumpulan data sebagai hasil penelitian
5. Pengolahan data dan diskusinya
6. Penyimpanan hasil penelitian
7. Publikasi hasil
Ukuran epidemiologi
Ada dua parameter yang biasa digunakan untuk mengukur frekuensi atau rate kejadian
penyakit atau masalah kesehatan, yaitu:
a. Insidensi
Insidensi menggambarkan banyaknya kasus baru yang timbul pada suatu populasi
berisiko selama periode waktu tertentu. Dalam kaitannya dengan pengukuran penyakit
di tempat kerja, perhitungan yang digunakan adalah Densitas Insiden (DI). Pengukuran
DI bertujuan untuk menghitung insidensi kasus baru yang terjadi pada suatu populasi
pekerja berisiko dengan berbagai periode pengamatan yang berbeda. Kalkukasi DI
adalah sebagai berikut:
Jumlah Kasus Baru
Densitas Insidensi =
Jumlah (orang x waktu pengamatan)
Dalam periode waktu tertentu
b. Prevalensi
Prevalensi menggambarkan jumlah kasus yang ada (kasus lama maupun baru) dalam
populasi pada suatu waktu atau periode tertentu. Kalkulasi dari prevalensi adalah
sebagai berikut:
Prevalensi = Jumlah Kasus Baru dan Lama
Jumlah orang dalam periode waktu tertentu
Insidensi dan atau prevalensi dapat digunakan untuk membandingkan risiko pada dua
atau lebih kelompok pekerja dengan karakteristik dan atau riwayat paparan faktor risiko
dan didapatkan angka risiko relatif (RR). Contoh insidensi katarak pada pekerja peniup
gelas adalah 12% dan tenaga kerja di kantor adalah 2%, risiko relatifnya adalah 6,
maka dikatakan bahwa tenaga kerja peniup gelas berisiko 6 kali lebih besar
dibandingkan dengan tenaga kerja di kantor. Pekerja peniup gelas terpapar api
pembakaran gelas, maka diduga sinar ultraviolet dari api pembakaran berhubungan
dengan kejadian katarak.
Insidensi pada kelompok terpajan
Risiko Relatif =
Insidensi pada kelompok yang tidak terpajan
D+ D- Jumlah
E+ A B a+b
E- C D c+d
Keterangan:
E = exposure (paparan)
D = disease (efek kesehatan)
Insidensi pada kelompok terpapar (E+) = a/(a+b)
Insidensi pada kelompok tidak terpapar (E-) = c/(c+d)
Risiko relatif (RR) = a/(a+b) : c/(c+d)
Attributable risk (AR) = a/(a+b) - c/(c+d)
D+ D- Jumlah
E+ A B a+b
E- C D c+d
Keterangan:
E = exposure (paparan)
D = disease (efek kesehatan)
Risiko relatif dinyatakan dengan odds ratio (OR) = ad :
bc Studi potong-lintang
Penelitian ini melakukan potongan melintang situasi yang ada dalam populasi
penelitian sehingga hasilnya hanya menggambarkan keadaan pada saat itu. Pengukuran
faktor risiko dan efek hanya satu kali pada satu saat secara simultan. Studi ini dapat bersifat
deskriptif, misalnya penentuan nilai normal antropometrik; atau dapat pula bersifat analitik,
misalnya pengukuran kadar asam urat pada kelompok usia lanjut yang berat badannya
normal dibandingkan dengan kelompok usia lanjut yang obes. Studi ini hanya dapat
mengukur prevalensi dan hasil yang didapat adalah prevalence ratio (PR) atau OR.
D+ D- Jumlah
E+ A B a+b
E- C D c+d
Keterangan:
E = exposure (paparan)
D = disease (efek kesehatan)
Risiko relatif dinyatakan dengan odds ratio (OR) = ad : bc atau
membandingkan prevalensi efek pada kelompok terpapar (E+) dengan kelompok tidak
terpapar (E-), dinyatakan sebagai Prevalence Ratio (PR) = a/(a+b) : c /(c+d)
Data yang diperlukan untuk surveilans kesehatan dan keselamatan kerja dapat
diperoleh dari bagian sumber daya manusia untuk data distribusi dan karakteristik tenaga
kerja; data kesehatan dapat diperoleh dari rekam medis, hasil pemeriksaan kesehatan dan
kunjungan klinik, kuesioner mengenai keluhan kesehatan; data hazard lingkungan kerja
diperoleh dari pengukuran oleh bagian higiene industri, data kecelakaan kerja, penilaian
risiko; data lainnya seperti absensi tenaga kerja, laporan pekerja mengenai kondisi atau
kejadian yang berhubungan dengan masalah kesehatan atau kecelakaan kerja.
Data yang diperoleh belum tentu selalu sesuai keinginan pihak yang memerlukan.
Masalah data selain memperolehnya juga mencakup cara membaca, menginterpretasi dan
menyebarluaskannya. Kemungkinan dalam menghadapi data dapat berupa:
- Tidak tersedianya atau kesulitan memperoleh data yang diinginkan.
- Ketidaklengkapan data. Antara data yang tersedia dan informasi yang dibutuhkan
terdapat kesenjangan, karena itu mungkin diperlukan usaha tambahan untuk menjajaki
berbagai sumber data dan bahkan mengumpulkan data sendiri.
- Ketidakserasian data yang diperoleh dari berbagai sumber.
- Kemungkinan bias/ terdapat kesalahan. Diperlukan teknik dan proses pengambilan
yang tepat untuk menghindari kemungkinan kesalahan, baik karena kesalahan sumber
atau cara pengambilan.
- Pola penyakit yang memungkinkan sulit mendapatkan kasus karena banyak kasus yang
sebenarnya tersembunyi (iceberg phenomenon).
Pengumpulan data yang akurat memerlukan desain dan metode pengumpulan
yang tepat. Pengumpulan data dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti:
a. Menurut cara pengumpulan
- Langsung: dengan wawancara, pengumpul data berhadapan langsung dengan
sumber informasi.
- Tidak langsung: melalui telepon, surat, atau media lain untuk mencapai responden.
b. Menurut sumber pengumpulan
- Data primer: data dikumpulkan langsung oleh pihak yang memerlukan dari
responden atau subyek penelitian.
- Data sekunder : data diperoleh dari pihak yang sudah mengumpulkan data itu
sebelumnya.
Agar informasi yang dikumpulkan sesuai dengan tujuan, maka manejemen data
harus dilakukan secara sistematis. Penggunaan format-format pengumpulan data dengan
format standar menjadi bagian penting yang harus secara otomatis tersedia dengan proses
pemasukan data yang biasanya dilakukan secara rutin.
Data yang dikumpulkan dapat dikonsultasikan kepada para ahli yang relevan dengan
permasalahan yang ada untuk konfirmasi akurasi informasi. Sistem manajemen data harus
bersifat lugas, dalam arti dapat diinterpretasi secara sama oleh petugas yang berbeda
sehingga proses coding dan pemasukan data harus semaksimal mungkin bebas kesalahan.
Sebelum data dianalisis maka manajemen data melalui proses sebagai berikut:
- Editing, terhadap kuesioner atau data mentah yang telah diisi. Apabila
ditemukankejanggalan segera dilakukan pengecekan ulang ke lapangan
- Entry data, dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak komputer
- Cleaning data, dilakukan dengan cara melihat frekuensi distribusi data mentah.
Apabila ditemukan kesalahan maka dilakukan pengecekan ulang lagi ke kuesioner/
formulir isian data.
Yang mendasar dari manajemen data adalah:
- Penyajian data kasar sulit dimengerti, sehingga perlu pengolahan lebih lanjut agar
menjadi data yang komunikatif
- Bentuk penyajian yang jelas berguna untuk pembanding dua atau lebih kelompok/
populasi
- Perlu penguasaan dasar data (diskrit dan kontinyu); ukuran tendensi sentral (mean,
median, modus); variabilitas (range, standar deviasi) dan ukuran frekuensi (rate, ratio,
proporsi)
Hopkins HL. Et. Al, 1983.Rehabilitasi Approach, in Occupational Therapy, 6th ed., H.L.
Hopkis & HD Smith, JB Lippincotf Co., Philadelphia.
Imamkhasani,S, et all,1987. Buku Pedoman Keselamatan Kerja Bidang Kimia, Departemen Tenaga Kerja,
UNDP/ILO-PIACT Project.
Que Hee, S. 1993.Biological Monitoring An Introduction, Van Nostrand Reinhold, div. of International Publishing
Thompson, New York.
Barbara A. Fog, MPH,CIH,CSP, “Fundamental of Industrial Hygiene”, National Safety Council, 1996.
The working environment body for Management and Labour, Stockholm, 1987
InternationalLabour Office, Encyclopaediaof Occupational Health and Safety Vol. III,
4th Edition, Geneva, 1997
Ison, TG., 1998. Works` Compensation System, in Encyclopaedia of Occupational Health and Safety, 4th ed., JM
Stelman, ILO. Geneva.
Abu Bakar Che Man dan David Gold, 1998. “Keselamatan dan Kesehatan padaPenggunaan Bahan Kimia di
tempat Kerja”, ILO.
Ellen, K, Silbergeld, 1998.Toxicology, in Encyclopaedia of Occupational Health and Safety, 4th ed, ILO, Geneva.
Nims Debra K , 1999. Basic of Industrial Hygiene, John Wiley & Sons Inc.
Hetu, R., 1998.Rehabilitasi and Noise Induced Hearing Loss. In Encyclopaedia Health and Safety, 4 th ed., J.M.
Stelman, ILO, Geneva.
Ichsan S, Siswati M. 2000. Program Rehabilitasi Kerja, Majalah Hiperkes dan Keselamatan Kerja Vol. XXXIII No.
1: 17-21.
ACGIH, 2002.TLVs and BEIs Based on the Documentation of the Threshold Limit Values forChemical
Substances and Physical Agents & Biological Exposure Indices.
Baker, J.L., Coleman, B.L., & Sormin, S. 2002. Workplace Health Promotion: AssessingEmployees’ Health-
Related Needs. St. Thomas, Ontario: Elgin-St. Thomas HealthUnit.
Budiono, A.M, et al. 2003. Bunga Rampai Hiperkes dan Keselamatan Kerja. Semarang :
Balai Penerbit Universitas Diponegoro.
Institute of Medicine of The National Academies, 2005. Dietary Reference Intakes ForEnergy, Carbohydrate,
Fiber, Fat, Fatty Acids, Cholesterol, Protein and Amino Acids.Washington, DC : The National Academies
Press.
Pedoman Bersama ILO/ WHO tentang Pelayanan Kesehatan dan HIV/ AIDS, 2005. Institute of Medicine of The
National Academies, 2006. Dietary Reference Intakes :
Bonita, R., et al. 2006. Basic Epidemiology 2nd edition. Geneva : WHO Press.
. 2008. Modul Epidemiologi Hiperkes dan Keselamatan Kerja. Jakarta : Pusat Keselamatan dan
Kesehatan Kerja.
Kurniawijaya, L.M. 2008. Teori dan Aplikasi Kesehatan Kerja. Jakarta : UI Press. Ashar Sunyoto Munandar.
Psikologi Industri dan Organisasi.Jakarta: UI Press. Grantham, David, 2009. Occupational Health and Hygiene,
Guide Book for the WHSO.
Sumakmur, P.K. 2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes). Jakarta : CV. Sagung Seto.
Almatsier, S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. DuPont Safety Resource,
bahan presentasi Program K3 PT. Tirta Investama, 2009 Himpunan peraturan perundang-undangan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Burton Joan.2010.WHOHealthy Workplace Framework and
Model:Background and Supporting Literature and Practise.WHO.
Kemenkes.2011. Gangguan Kesehatan Akibat Faktor Psikososial di Tempat Kerja. Merletti, F., et al. 2011.
Epidemiological Method Applied to Occupational Health and Safety. Geneva : ILO.
Kamal, K. 2011. Penerapan Kesehatan Kerja Praktis Bagi Dokter dan ManajemenPerusahaan. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI.
Hardinsyah, dkk. 2012. Kecukupan Energi, Protein, Lemak dan Karbohidrat dalam Widyakarya Nasional Pangan
dan Gizi X.
Kartono, D. & Soekatri, M. 2012. Angka Kecukupan Gizi (AKG) Yang Dianjurkan dan DaftarKomposisi Zat Gizi
Pangan (DKZGP) dalam Widyakarya Nasional Pangan dan GiziX.
Kartono, D. & Soekatri, M. 2012. Angka Kecukupan Gizi Mineral dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi X.
Sulaeman, A. dkk. 2012. Angka Kecukupan Vitamin dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi X.
kerja, kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Direktorat jenderal pembinaan Pengawasan
ketenagakerjaan, Direktorat Pengawasan Norma Keselamatan dan kesehatan Kerja.
Doull,J, Klaassen, C, Amdur, M, Casarett and Doull’s Toxicology, The Basic Science ofPoissons, 2nded,
Macmillan pusblishing Co., Inc, NewYork.
ACGIH, TLVs and BEIs Based on the Documentation of the Threshold Limit Values forChemical Substances and
Physical Agents & Biological Exposure Indices, 2013.
Kompasiana. 2013. Perlunya Budaya K3 Untuk Menekan Angka Kecelakaan Kerja. Diunduh dari
http://jakarta.kompasiana.com/layananpublik/2012/ 05/09/perlunya-budaya-k3-untuk-menekan-
angkakecelakaankerja461784. html pada tanggal 16 April 2013.
Kemnakertrans. 2013. Cegah Kecelakaan Kerja, Kemnakertrans Kerahkan 138 Mobil URC. Diunduh dari
http://menteri.depnakertrans.go.id/?show= news& news_id=118 padatanggal 16 April 2013.
Kemenkes. 2013. Buku Pegangan Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional dan Sistem Jaminan Sosial
Nasional. Diunduh dari http://www.depkes.go.id/pdf.php?pg=JKN-SOSIALISASI-ISI_FA_REV pada
tanggal 16 April 2014.
Keputusan Menteri Kesehatan RI. 2004. Angka Kecukupam Gizi Yang Dianjurkan bagi Bangsa Indonesia.
Frank C.L, Basic Toxicology, Fundamentals, Target Organs, and Risk Assessment, 2nd ed, Hemisphere
Publishing Corporation, Florida.
Managing Occupational Health and Safety, CCH International, Australia, 1997 KennyD., Occupational
Rehabilitation Assessed : the Verdict of Employer,
Safety-Health and Working Conditions, 1st Edition, Joint Industrial Safety Council,
LAMPIRAN