Anda di halaman 1dari 24

Economic Theory of Law

A. Pengertian Analisis Ekonomi terhadap Hukum (Economic Theory of

Law)

Economic Theory of Law atau lebih tepat disebut dengan analisis ekonomi

terhadap hukum (The Economic Analysis of Law). Analisis ekonomi terhadap

hukum (The Economic Analysis of Law) dalam hal ini dimaksudkan sebagai

sebuah pendekatan yaitu pendekatan ekonomi terhadap hukum atau dengan kata

lain studi kritis terhadap hukum melalui pendekatan ekonomi (Critical Legal

Studies with the antecedents of economic approach).1 The Economic Analysis of

Law  merupakan salah satu model intrepretasi yang ada pada aliran Modern

Interpretation of Law. Model yang lain pada aliran ini adalah Realisme Amerika

dan Realisme Scandinavia. Sedangkan Critical Legal Studies  merupakan salah

satu model yang ada pada aliran Postmodern Interpretation of Law. Jika ditinjau

dari segi pemikirannya,  kedua model tersebut yaitu  The Economic Analysis of

Law  dan Critical Legal Studies,  termasuk dalam kategori pemikiran hukum kritis

atau lebih lanjut disebut dengan Teori Hukum Kritis.

Analisis ekonomi terhadap hukum adalah suatu pendekatan teori

hukum yang menggunakan metode ekonomi dan hukum. Ini termasuk

penggunaan konsep-konsep ekonomi untuk menjelaskan efek hukum, untuk

menilai mana aturan-aturan hukum ekonomi yang efisien. Begitu banyaknya

perdebatan tentang hukum yang terjadi dalam periode masa peningkatan efisiensi

1
Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis (Paradigma Ketidak berdayaan Hukum), Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2003, hlm. 2.
ekonomi. Sebuah sekolah di Chicago menganggap teori ini memiliki aspek

normatif, sehingga terdapat penggunaan analisis ekonomi sebagai mediator dalam

mengevaluasi peraturan-peraturan baru, khususnya dalam pembuatan undang-

undang, tetapi sekolah inipun melontarkan opini bahwa tidak sesederhana itu

dalam mengevaluasi pembuatan undang-undang hanya dengan pendekatan

ekonomi semata, akan tetapi melalui seluruh proses yang menyangkut pembuatan

undang-undang yang berdasarkan asumsi: ”pembuat undang-undang adalah orang

yang benar-benar maksimal menggunakan rasionya”.  Hal ini menimbulkan suatu

kesimpulan yang agak depresi”; apakah mereka benar-benar melakukan sesuatu

demi kepentingan rakyat”?.2

Secara garis besar Analisis Ekonomi Atas Hukum menerapkan

pendekatannya untuk memberikan sumbangan pikiran atas dua permasalahan

dasar mengenai aturan-aturan hukum, yakni analisis yang bersifat ‘positive’ atau

‘descriptive’, berkenaan dengan pertanyaan apa pengaruh aturan-aturan hukum

terhadap tingkah laku orang yang bersangkutan (the identification of the effects of

a legal rule); dan analisis yang bersifat ‘normative’, berkenaan dengan pertanyaan

apakah pengaruh dari aturan-aturan hukum sesuai dengan keinginan masyarakat

(the social desirability of a legal rule). Pendekatan yang dipakai Analisis

Ekonomi Atas Hukum terhadap dua permasalahan dasar tersebut, adalah

pendekatan yang biasa dipakai dalam analisis ekonomi secara umum, yakni

menjelaskan tingkah laku, baik manusia secara perorangan maupun perusahaan-

perusahaan, yang berwawasan ke depan (forward looking) dan rasional, serta


2
David Friedman, Law and Economics, The New Palgrave: A Dictionary of Economics, v.
3, 1987, hlm. 144. Dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Law_and_economicsn diakses pada tanggal
21 Oktober 2018 pukul 20.31 WIB.
mengadopsi kerangka kesejahteraan ekonomi untuk menguji keinginan

masyarakat.3

Steven Shavell, professor di Harvard Law School, menjelaskan lebih

lanjut mengenai analisis yang bersifat deskriptif dan normatif dari Analisis

Ekonomi Atas Hukum dengan mengemukakan manfaat atau tujuan akhir dari

analisis dimaksud. Dengan analisis deskriptif dapat dikatakan rasional, bilamana

orang bertindak untuk memaksimalkan tujuan atau keuntungan yang

diharapkannya. Sebagai contoh adalah pertanyaan mengapa orang sangat berhati-

hati dalam mengendarai kendaraannya, walaupun misalnya orang tersebut

mempunyai asuransi, dapat dijawab dengan kemungkinan bahwa ia tidak mau

mengalami luka akibat kecelakaan, adanya ketentuan mengenai tanggung jawab

atau adanya resiko diajukan ke pengadilan. Sedangkan dengan analisis normatif

dapat diterangkan bahwa satu aturan hukum tertentu lebih baik dari aturan hukum

lain bilamana memberikan level tertinggi bagi ukuran kesejahteraan sosial.

Contoh yang dapat diberikan misalnya bilamana masyarakat menghendaki untuk

meminimalisasi jumlah kecelakaan lalu lintas, maka aturan hukum yang terbaik

adalah yang memberikan hukuman atau sanksi bagi penyebab-penyebab

kecelakaan.4

Louis Kaplow dan Steven Shavell, Economic Analysis of Law, National Bureau of
3

Economic Research, Cambridge, 1999, hlm. 1.


4
Steven Shavell, Economic Analysis of Law, Chapter 1, hlm. 1.
B. Sejarah, Perkembangan serta Kritikan terbentuknya Economic Theory

of Law / The Economic Analysis of Law

1. Sejarah terbentuknya Economic Theory of Law / The Economic Analysis

of Law.

Critical Legal Studies telah melahirkan generasi kedua yang lebih

menitikberatkan pemikiran dan perjuangannya dengan menggunakan hukum

untuk merekontruksi kembali realitas sosial yang baru. Mereka berusaha keras

untuk membuktikan bahwa di balik hukum dan tatanan sosial yang muncul di

permukaan sebagai sesuatu yang netral, di dalamnya penuh dengan bias terhadap

kultur, ras atau gender. Generasi kedua dari Critical Legal Studies sekarang

muncul dalam wujud Feminist Legal Theories, Critical Race Theoriest, Radical

Criminology dan juga Economic Theory of Law.

Fokus sentral pendekatan Critikal Legal Studies adalah untuk mendalami

dan menganalisis keberadaan doktrin-doktrin hukum, pendidikan hukum dan

praktek institusi hukum yang menopang dan mendukung sistem hubungan-

hubungan yang oppressive (menindas) dan tidak egaliter (sama/sederajat). Teori

kritis bekerja untuk mengembangkan alternatif lain  yang radikal, dan untuk

menjajaki peran hukum dalam menciptakan hubungan politik, ekonomi dan  dan

sosial yang dapat mendorong terciptanya emansipasi kemanusiaan.5

Economic Theory of Law atau lebih tepat disebut dengan analisis ekonomi

terhadap hukum (The Economic Analysis of Law). Analisis ekonomi terhadap

hukum (The Economic Analysis of Law) dalam hal ini dimaksudkan sebagai


5
Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis (Paradigma Ketidakberdayaan Hukum), Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2003, hlm. 2.
sebuah pendekatan yaitu pendekatan ekonomi terhadap hukum atau dengan kata

lain studi kritis terhadap hukum melalui pendekatan ekonomi (Critical Legal

Studies with the antecedents of economic approach).

Bidang Analisis Ekonomi Atas Hukum, atau yang umumnya dikenal

sebagai “Economic Analysis of Law” dianggap muncul pertama kali melalui

pemikiran utilitarianisme Jeremy Bentham (1789), yang menguji secara sistemik

bagaimana orang bertindak berhadapan dengan insentif-insentif hukum dan

mengevaluasi hasil-hasilnya menurut ukuran-ukuran kesejahteraan sosial (social

welfare). Pemikiran utilitarianisme hukum Bentham tersebut tersebar dalam

tulisan-tulisannya berupa analisis atas hukum pidana dan penegakannya, analisis

mengenai hak milik (hukum kepemilikan), dan ’substantial treatment’ atas proses-

proses hukum. Namun pemikiran ala Bentham tersebut mandeg sampai tahun

1960-an, dan baru berkembang pada awal tahun 1970-an, dengan dipelopori oleh

pemikiran-pemikiran dari Ronald Coasei (1960), dengan artikelnya yang

membahas permasalahan eksternalitas dan tanggung jawab hukum; Becker

(1968), dengan artikelnya yang membahas kejahatan dan penegakan hukum;

Calabresi (1970), dengan bukunya mengenai hukum kecelakaan; dan Posner

(1972), dengan buku teksnya yang berjudul Economic Analysis of Law dan

penerbitan Journal of Legal Studies.6

Secara garis besar Analisis Ekonomi atas Hukum menerapkan

pendekatannya untuk memberikan sumbangan pikiran atas dua permasalahan

dasar mengenai aturan-aturan hukum, yakni analisis yang bersifat ‘positive’ atau

‘descriptive’ dengan analisis yang bersifat ‘normative’. Dua metode analisis


6
Louis Kaplow dan Steven Shavell, op.cit., hlm.2.
tersebut, masing-masing memiliki pertanyaan yang berbeda tentang hukum.

Analisis positive berkenaan dengan pertanyaan apakah pengaruh aturan-aturan

hukum terhadap tingkah laku orang yang bersangkutan, sementara analisis

normative berkenaan dengan pertanyaan apakah pengaruh dari aturan-aturan

hukum sesuai dengan keinginan masyarakat. Pendekatan yang digunakan dalam

analisis ekonomi atas hukum terhadap dua permasalahan tersebut, adalah

pendekatan yang biasa digunakan dalam analisis ekonomi secara umum, yakni

menjelaskan tingkah laku, baik manusia secara perorangan maupun berkelompok,

yang berwawasan ke depan dan rasional, serta mengadopsi kerangka

kesejahteraan ekonomi untuk menguji keinginan masyarakat.

Pemikiran Jeremy Bentham tentang kemanfaatan, merupakan suatu

pemikiran yang hadir akibat adanya benturan tujuan hukum, yakni tujuan keadilan

(etis) dan kepastian hukum (yuridis dogmatif). Teori yang dikemukakan oleh

Jeremy Betham, pada dasarnya digunakan untuk memprediksi tingkat kepuasan

masyarakat dan menekan kesengsaraan akibat diberlakukannya suatu ketentuan

hukum. Efektifitas keberlakukan hukum dapat diukur dengan indikator nilai yang

terkandung dalam suatu ketentuan hukum (dapat ditegakkan), berdaya guana

(berfungsi sesuai dengan tujuan pembentukannya) dan efisien (pemberlakuannya

untuk kesejahteraan orang banyak). Dengan memprediksi keberlakuan hukum,

diharapkan dapat diketahui ketentuan-ketentuan hukum seperti apa dan bagaimana

yang patut diberlakukan.

Bentham mengemukakan bahwa hukum barulah dapat diakui sebagai

hukum apabila memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya kepada orang


banyak. Bagi Bentham, tujuan suatu peraturan hukum harus dapat memberikan

nafkah hidup, kebutuhan berlimpah, perlindungan, dan persamaan. Dalam Teori

Felcific Calculus yang dikemukakan oleh Bentham, dikembangkan beberapa

asumsi dasar bahwa:

1. Kebahagiaan setiap individu meningkat pada saat dimana jumlah total

kepuasannya lebih besar daripada kesedihannya;

2. Keuntungan secara umum dari suatu komunitas terdiri dari keuntungan

sekelompok individu; dan

3. Kebahagiaan dari suatu komunitas dapat ditingkatkan apabila jumlah total

seluruh kepuasan individu-individu dalam komunitas tersebut lebih besar

skalanya daripada kesedihan/kesengsaraan mereka.

Berdasar pada asumsi dasar tersebut, Bentham berkesimpulan bahwa

perasaan manusia/nurani yang mampu merasakan kepedihan/kesedihan/

kesengsaraan atau kebahagiaan/kepuasan merupakan suatu tolak ukur untuk

menilai tingkat kepuasan atau kekecewaan seseorang. Dalam konteks

pemberlakuan hukum, konsep ini dapat digunakan untuk mengetahui sejauhmana

tingkat penerimaan dan respon individu terhadap aturan hukum yang diberlakukan

kepadanya.

Menanggapi konsep pemikiran yang dikemukakan oleh Jeremy Betham

tentang analisis ke-ekonomian tentang hukum, Posner mengemukakan

konsepsinya sendiri tentang analisis ke-ekonomian hukum, namun tetap sedasar

dengan konsep inti Betham. Konsep analisis ke-ekonomian hukum oleh Posner,

beranjak pada pengertian dasar bahwa pada dasarnya manusia sebagai makhluk
hidup adalah homo economicus, artinya dalam mengambil tindakan selalu

diperuntukkan pada pemenuhan kebutuhan ekonomisnya. Manusia

mengedepankan nilai ekonomis dengan alasan-alasan dan pertimbangan

ekonomis. Dalam segala tindakannya, manusia selalu diberi pilihan untuk

mendapatkan kepuasan atau kebahagiaan ekonomis yang pada akhirnya ditujukan

kepada peningkatan kemakmuran, sehingga dapat dikatakan manusia merupakan

makhluk yang memiliki rasionalitas baik dari segi moneter atau non-moneter

untuk meningkatkan taraf hidup. Dengan rasionalitas tersebut, manusia akan

selalu memilih pilihan yang mereka rasa sebagai dan yakini akan memberikan

hasil yang memuaskan dan mensejahterakan mereka.

Untuk mengetahui tolak ukur suatu keinginan, Posner dalam pengkajian

analisis ke-ekonomian hukum mengemukakan bahwa setiap keinginan manusia

dapat diukur dengan mengetahui sejauh mana individu itu bersedia untuk

mendapatkannya, baik dengan uang, tindakan, maupun kontribusi lain yang dapat

dilakukannya. Jadi keinginan seseorang terhadap suatu hasil relatif sama dengan

kesediaannya dalam berupaya untuk mendapatkan hasil yang diinginkannya.

Parameter kesediaan manusia, dapat dilihat dari sejauhmana kesiapan manusia

dalam berkonstribusi untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya.

Posner menambahkan bahwa dalam penggunaan analisis ke-ekonomian

hukum dapat menjawab permasalahan hukum dengan mengutarakan defenisi

berbeda dan asumsi-asumsi hukum yang berbedapula untuk mendapatkan

gambaran tentang kepuasan dan peningkatan kebahagiaan. Pendekatan ini sangat

erat kaitannya dengan keadilan di dalam hukum. Untuk menggunakan metode


analisis ini, harus disusun dengan pertimbangan-pertimbangan ekonomi dengan

tidak menghilangkan unsur-unsur keadilan, sehingga keadilan dapat menjadi

economic standart yang didasari oleh tiga elemen dasar yaitu, Nilai (value)

kegunaan (utulity) dan efisiensi (efficiency) yang didasari oleh rasionalitas

manusia. Konsep dasar yang dikemukakan oleh Posner ini dikenal dengan istilah

the economic conception of justice dengan konsep utama adalah bahwa hukum

diciptakan dan diaplikasikan untuk tujuan utama meningkatkan kepentingan

umum seluas-luasnya. Setiap orang akan menaati ketentuan hukum, apabila

dalam pertimbangan rasionalitasnya, ia memprediksi akan mendapatkan

keuntungan lebih besar ketimbang jika ia melakukan pelanggaran hukum, dan

demikian pula sebaliknya.

2. Perkembangan Economic Theory of Law / The Economic Analysis of

Law.

Dalam perkembangannya, setelah di re-analysis oleh Ronald Coasei

(1960) dan Posner sendiri, ide analisis ekonomi dalam hukum berkembang

mencakup transaction cost of economy, economy institution, dan public choice.

Transaction cost of economy berkaitan dengan efisiensi peraturan hukum yang

sebagian besar berkenaan dengan hukum privat. Economy Institution berkaitan

dengan tindakan manusia termasuk peraturan hukum formal, kebiasaan informal,

tradisi dan aturan sosial. Dan Public Choice berkaitan dengan proses memutuskan

secara demokratis dengan mempertimbangkan metode microeconomy dan


perdagangannya.7 Melalui prinsip ekonomi, Posner berharap dapat meningkatkan

efisiensi hukum termasuk efesiensi dalam mingkatkan kesejahteraan sosial, yaitu:

a. Prinsip Efisiensi – Wealth Maximization     

Berkaitan dengan teori analisis ekonomi dalam hukum itu, Richard A

Posner menekankan Prinsip Efisiensi, Wealth Maximization. Posner

mendefenisikan efisiensi sebagai kondisi yang mana sumber dayanya

dialokasikan sehingga nilainya (value) dimaksimalkan. Dalam analisis

ekonomi, efisiensi dalam hal ini difokuskan kepada kriteria etis dalam rangka

pembuatan keputusan-keputusan sosial (social decision making) yang

menyangkut pengaturan kesejahteraan masyarakat.8 Efisiensi dalam kaca

mata Posner berkaitan dengan peningkatan kekayaan seseorang tanpa

mengakibatkan kerugian bagi pihak lain.

Berkaitan dengan hal itu, analisis ekonomi dalam hukum seperti ini

dikenal dengan ide wealth maximization atau dalam istilah Posner “Kaldor-

Hics” di mana perubahan aturan hukum dapat meningkatkan efisiensi jika

keuntungan pihak yang menang melebihi kerugian pihak yang kalah dan

pihak yang menang dapat memberikan kompesasi kerugian bagi pihak yang

kalah sehingga pihak yang kalah tersebut tetap menjadi lebih baik. Dalam

konteks ini, Posner menilik salah satu segi keadilan yang mencakup bukan

sekadar keadilan distributif dan korektif. Posner menekan

7
Muhammad Rustamaji, Menakar Pengawasan Pemberian Bantuan Hukum Dalam
Pandangan Richard A Ponser, Media Pembinaan Hukum Nasional, Jurnal Rechts Vinding Vol. 2
No. 1, April 2013, hlm. 98.
8
Ibid., hlm. 99.
“pareto improvement” di mana tujuan dari pengaturan hukum dapat memberi

masukan berharga bagi keadilan dan kesejahteraan sosial.9

b. Good law/ Liberal law – Future Consideration

Todd J. Zywicki dan Anthony B. Sanders, dalam tulisannya berjudul

“Posner, Hayek, and the Economic Analysis of Law” menekankan soal

aspek future yang sangat dipertimbangkan oleh Posner dalam teorinya

mengenai hukum. Posner yakin bahwa melalui sistem-sistem ekonomi,

pertimbangan akan suatu masa depan akan kesejahteraan sosial akan sangat

besar. Dengan begitu, aturan-aturan hukum termasuk teori-teori hukum harus

mampu dijabari/dimengerti oleh judge demi terselenggaranya suatu sistem

hukum yang baik.10

Oleh karena itu, di dalam dialog di Duke Law Class, ia memaparkan

bahwa seorang hakim harus rajin membaca dan mengupdate informasi

seputar hukum. Menjawab pertanyaan seorang mahasiswa tentang hakim

yang kurang profesional, dalam wawancara itu ia mengatakan: “I don’t think

that judges do much reading—at least, not much secondary reading. The

ordinary judicial job itself requires a great amount of reading. Most judges

probably figure that that is enough.”

Jadi, Posner pada dasarnya melihat suatu masa depan yang optimis

dan percaya bahwa para hakim dapat menciptakan good law atau pun liberal

law, jika ia rajin mengabsorbsi social change dan perubahan-perubahan

eksternal. Tujuannya jelas, yakni efisiensi putusan hakim.


9
Nicholas Mercuro dan Steven G Medumo, Economic and The Law: From Posner to Post-
modernism, New Jersey: Princenton University Press, 1999, hlm. 58-59.
10
Ibid., hlm. 59.
c. Behaviorial Law and Economy

Penggambaran sudut pandang ekonomi terhadap hukum dalam kaca

mata Posner kemudian melahirkan behaviorial law atau pun

behaviorial economy. Dua kebiasaan itu kemudian tersintesis hingga melebur

menjadi behaviorial of law and economy. Berkaitan dengan ini, Posner

memaparkan bahwa “This (judges as future-looking rule makers) includes

assessing what would be the most efficient outcome in circumstances where,

because of transaction costs, a transaction would not occur without judicial

intervention.11 Biaya transaksi kemudian diadopsi ke dalam aturan-aturan

legal. Biaya transaksi yang semula merupakan prinsip-prinsip ekonomi

kemudian dijadikan aturan-aturan hukum.

Prinsip behaviorial ini nampak jelas diaplikasikan dalam masyarakat

yang plural, yang tak mungkin terhindar dari biaya transaksi. Imbasnya,

aturan hukum adalah salah satu keharusan yang mampu memberikan

kepastian hukum serta menjaga rasa keadilan sosial dalam masyarakat.

Aturan-aturan itu bisa berupa kontrak maupun pengaturan soal batas

kepemilikan dan hak milik. Tentunya ini semua diarahkan demi

tercapainya social welfare.

Sehingga perkembangannya sekarang, Analisis Ekonomi atas Hukum

meluas pada setiap penggunaan prinsip-prinsip ekonomi terhadap permasalahan-

permasalahan hukum dan kebijakan publik. Hal ini dapat dilihat dari pengertian

Economic Analysis of Law yang diberikan oleh William and Mary School of

Law dalam ensiklopedia onlinenya sebagai berikut4:


11
Ibid.
“A study of many applications of economic reasoning to problems of law and

public policy including economic regulation of business; aint trust

enforcement; and more basic areas such as property rights, tort and contract

law and remedies, and civil or criminal procedures. No particular

background in economics is required; relevan economic concepts will

developed through analysis of various legal applications.”12

Artinya: “Sebuah studi tentang banyak aplikasi penalaran ekonomi untuk masalah

hukum dan kebijakan publik termasuk peraturan di bidang ekonomi bisnis; tidak

percaya penegakan hukum; dan bidang-bidang yang lebih mendasar seperti hak

milik (properti), cacat hukum dan kontrak dan perbaikannya, dan prosedur perdata

atau pidana. Tidak ada latar belakang khusus, ekonomi istimewa yang diperlukan;

konsep ekonomi yang relevan akan dikembangkan melalui analisis berbagai

aplikasi hukum.”

Posner menjadi motor penggerak Hukum dan Ekonomi sejak buku

Economic Analysis of Law yang kali pertama dipublikasikan pada tahun 1973.

Tidak jauh berbeda dengan para pakar Hukum dan Ekonomi lainnya, ia

mengembangkan ajaran-ajaran pasca-Coasian dan ilmu ekonomi. Salah satu hal

yang menarik di dalam karya-karyanya, Posner tidak pernah lepas untuk

mengembangkan analisisnya secara normatif dan empiris. Bobot pengkajian

hukum di dalam Economic Analysis of Law nya lebih menonjol dibandingkan

dengan analisis predeterminasi ekonomi. Selain memang pada hakikatnya

Economic Analysis of Law merupakan analisis hukum yang menggunakan

bantuan ilmu ekonomi dalam memperluas dimensi hukum, Posner tidak pernah
12
http://www.wm.edu/. Diakses pada tanggal 30 Oktober 2018 pukul 23.11 WIB.
secara formal mendapatkan pendidikan di ilmu ekonomi. Sejak 1983, ia menjabat

sebagai dosen senior di University of Chicago Law School dan sebagai hakim di

US Court of Appeals, Seventh Circuit.13’

“... economics is the science of rational choice in a world-our world-


in which resources are limited in relation to human wants. The task
of economics is to explore the implications of assuming that man is a
rational maximizer of his ends in life, his satisfactions-what we shall
call his “self interest. Law is basically a set of rules and sanctions
which are attended for the regulation of the bevaviour of persons
whose primary insticnt is to maximize the extent of their
satisfactions, as measured in economic terms. Law is, therefore,
created and applied primarily for the purpose of maximizing overall
social utility”.

Posner menambahkan bahwa konsepsi Economic Analysis of Law dapat

dijadikan suatu pendekatan untuk menjawab permasalahan hukum dengan

mengutarakan definisi berbeda dan asumsi-asumsi hukum yang berbeda pula

untuk mendapatkan gambaran tentang kepuasan (satifaction) dan peningkatan

kebahagiaan (maximization of happiness). Pendekatan ini erat kaintannya

dengan keadilan di dalam hukum. Untuk melakukannya, maka hukum dijadikan

economic tools untuk mencapai maximization of happiness.14 Pendekatan dan

penggunaan analisa ini harus disusun dengan pertimbangan-pertimbangan

ekonomi dengan tidak menghilangkan unsur keadilan, sehingga keadilan dapat

menjadi economic standard yang didasari oleh tiga elemen dasar, yaitu nilai

(value), kegunaan (utility), dan efisiensi (efficiency) yang didasari oleh

rasionalitas manusia. Berdasarkan konsep dasar ini, konsepsi yang

13
Fajar Sugianto, Butir-Butir Pemikiran Dalam Sejarah Intelektuil dan Perkembangan
Akademik Hukum dan Ekonomi, Jurnal Ilmu Hukum Februari 2014, Vol. 10, Nomor. 19, hlm.16.
14
Bushan J. Komadar, Journal: The Raise and Fall of a Major Financial Instrument,
University of Westminster, 2007, hlm.1.
dikembangkan oleh Posner kemudian dikenal dengan the economic conception

of justice, artinya hukum diciptakan dan diaplikasikan untuk tujuan utama

meningkatkan kepentingan umum seluas (maximizing overall social utility).15

Kontribusi Posner lebih fokus ke arah efisiensi ekonomi untuk

menjelaskan hukum (common law). Sehingga menurutnya, jika hukum itu lebih

diketahui maka akan lebih mudah mengkaji implikasi perkembangannya. Untuk

mempertahankan inti pendiriannya, Posner mengembangkan Hukum dan

Ekonomi melalui bukunya The Economics Justice (1981). Posner

mendefinisikan efisiensi sebagai “exploiting economic resources in such a way

than human satisfaction as measured by aggregate consumer willingness to pay

for goods and services is maximized”. Usaha efisiensi yang seperti ini

dikatakannya sebagai usaha peningkatan kesejahteraan (wealth maximization).

Walaupun definisi ini dikatakan sempit, Posner hingga sekarang terus

membangun analisisnya (bahkan memperluas konsep utilitas).

Utilitas adalah jumlah dari kesenangan atau kepuasan relatif (gratifikasi)

yang dicapai. Dengan jumlah ini, seseorang bisa menentukan meningkat atau

menurunnya utilitas, dan kemudian menjelaskan kebiasaan ekonomis dalam

koridor dari usaha untuk meningkatkan kepuasan seseorang. Unit teoritikal

untuk penjumlahan utilitas adalah util. Doktrin dari utilitarianisme melihat

maksimalisasi dari utilitas sebagai kriteria moral untuk organisasi dalam

masyarakat. Menurut para utilitarian, seperti Jeremy Bentham (1748-1832) dan

15
Richard A Posner, Economic Analysis of Law, 7th ed., Aspern Publishers, New York,
U.S.A., hlm. 3. Dikutip dalam Fajar Sugianto, Butir-Butir Pemikiran Dalam Sejarah Intelektuil
dan Perkembangan Akademik Hukum dan Ekonomi, Jurnal Ilmu Hukum Februari 2014, Vol. 10,
Nomor. 19, hlm.16.
John Stuart Mill (1806-1876), masyarakat harus bertujuan untuk

memaksimalisasikan jumlah utilitas dari individual, bertujuan untuk

‘kebahagiaan terbesar untuk jumlah terbesar’.

3. Kritikan terhadap Economic Theory of Law

Sampai 25 tahun yang lalu analisis ekonomi hukum hampir identik dengan

analisis ekonomi Undang-Undang Antimonopoli, walaupun terdapat tugas analisis

ekonomi yang penting untuk perpajakan (misalnya oleh Henry Simons),

perusahaan (misalnya oleh Henry Manne), dan utilitas publik dan peraturan

perusahaan umum (misalnya oleh Ronald Coase).16 Catatan-catatan dalam kasus

antimonopoli memberi banyak informasi tentang praktik bisnis dan para ekonom

mulai menemukan alasan dan konsekuensi ekonomi dari praktik semacam itu.

Penemuan mereka berimplikasi pada kebijakan hukum, tetapi pada dasarnya apa

yang mereka lakukan tidak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para ekonom

tradisional.

Richard Posner (1986) membawa analisis ekonomi hukum ke perhatian

akademisi hukum secara general. Pada akhir 1970-an, karyanya telah memicu

kontroversi yang kuat. Kontroversi ini bersifat umum dan bertumpu pada doktrin

yang spesifik. Posner mengklaim bahwa common law seharusnya bersifat efisien.

Pernyataan ini menimbulkan kontroversi luas mengenai evaluasi peraturan hukum

secara umum. Lebih khusus lagi, kontroversi terjadi setiap analis ekonomi hukum

membahas area lain. Analisis ekonomi mendominasi studi hukum privat di

16
Richard A Posner, Economic Analysis of Law, 7th ed., Aspern Publishers, New York,
U.S.A., hlm. 19
Amerika Serikat, meski kebangkitan ide moral dalam pembahasan hukum baru-

baru ini muncul untuk menantang analisis ekonomi hukum privat.

Analisis ekonomi hukum bukanlah praktik tunggal dan kesatuan tetapi

merupakan serangkaian proyek yang memiliki pendekatan metodologis. Analisis

ekonomi khas hukum tidak mengatur tugasnya dalam kerangka teori hukum

umum. Sebaliknya, analisis ini membahas pertanyaan spesifik tentang sebab atau

akibat atau nilai sosial dari peraturan hukum tertentu atau serangkaian peraturan

hukum. Dengan kata lain, analisis ekonomi khas hukum berusaha menyelidiki

peraturan atau institusi hukum tertentu daripada membuat klaim umum tentang

sifat hukum.

Posner membuat dua klaim yang mendefinisikan perdebatan seputar dasar

filosofis atas analisis ekonomi hukum.17 Klaim pertama, yang sering disebut klaim

positif, menyatakan bahwa peraturan hukum common law sebenarnya efisien.

Klaim kedua, disebut klaim normatif, menyatakan bahwa peraturan hukum

common law seharusnya efisien. Dalam kedua klaim tersebut, Posner

mendefinisikan “efisiensi” sebagai memaksimalkan kemauan sosial untuk

membayar atau dalam istilah ekonomi klasik disebut sebagai konsep “Efisiensi

Pareto”.

Analis ekonomi dapat menciptakan teori hukum dengan kekuatan

penjelasan lebih mutakhir dengan dukungan data-data empiris. Kendati ekonom

tidak dapat memberi penjelasan pada masyarakat apakah harus berusaha

membatasi pencurian, tetapi para ekonom dapat menunjukkan bahwa tidak efisien

membiarkan pencurian tak terbatas dan demikian memperjelas konflik nilai


17
Ibid., hlm. 21-22
dengan menunjukkan seberapa besar nilai “efisiensi” yang harus dikorbankan

untuk mencapai yang lain. Sebaliknya dengan mengambil tujuan membatasi

pencurian sebagai sesuatu yang terberi, ekonom mungkin berpendapat bahwa

upaya masyarakat mencapai tujuan tersebut tidaklah efisien yaitu bahwa

masyarakat dapat melakukan banyak pencegahan, dengan biaya lebih rendah,

dengan menggunakan metode yang berbeda. Jika metode yang lebih efisien tidak

mengganggu nilai-nilai lain, hal itu akan sangat diminati walaupun bernilai

efisiensi rendah pada akumulasi nilai sosial.

Teori efisiensi common law bukanlah terletak pada setiap doktrin dan

keputusan hukum umum tersebut bersifat efisien. Karena sulitnya problem

dilematis setiap undang-undang dan sifat insentif hakim, efisiensinya terletak

pada common law secara ontologis dijelaskan sebagai sebuah sistem untuk

memaksimalkan kekayaan masyarakat.18 Statuta atau konstitusional yang berbeda

dari bidang common law cenderung tidak mempromosikan efisiensi, namun hal

itu akan diposisikan sebagai konsentrasi ekonomi dan dijelaskan oleh analisis

ekonomi dalam hukum.

Ekonom serta pendukung analisis ekonomi hukum menggunakan

setidaknya empat pengertian efisiensi, seperti: (1) Efisiensi produktif, (2)

optimalitas Pareto, (3) superioritas Pareto, dan (4) efisiensi Kaldor-Hicks.19

Sumber daya dialokasikan secara optimal Pareto jika terdapat realokasi lebih

lanjut yang dapat meningkatkan kesejahteraan satu orang hanya dengan

mengorbankan orang lain. Alokasi sumber daya merupakan superior Pareto dari
18
Ibid.
19
Coleman Jules L, Efficiency, Utility, and Wealth Maximization. Faculty Scholarship
Series, Paper 4203, 1980, hlm. 509.
alokasi alternatif jika tidak ada yang dirugikan oleh distribusi dan setidaknya

kesejahteraan satu orang ditingkatkan. Kedua konsepsi efisiensi ini terkait secara

analitis karena distribusi optimal Pareto tidak memiliki distribusi supererior

Pareto. Kedua konsep Pareto ini mengungkapkan standar peringkat atau

menggambarkan state of affair.

Posner menawarkan sistem memaksimalkan kekayaan sebagai alternatif

teori moral utilitarian dan efisiensi Pareto. Posner mendefinisikan wealth dalam

keterkaitan sistem memaksimalkan kekayaan sebagai berikut:

The value in dollars or dollar equivalents …of everything in society.

It is measured by what people are willing to pay for something or, if they

already own it, what they demand in money to give it up. The only kind of

preference that counts in a system of wealth maximization is thus one that is

backed up by money-in other words, that is registered in a  market.20

 Selanjutnya, Posner menggunakan efisiensi Kaldor-Hicks dalam

merumuskan efisiensi untuk analisis ekonomi hukum. Kaldor-Hicks menyatakan

bahwa sebuah keputusan bisa lebih efisien jika setiap orang dapat diberi

kompensasi untuk mengimbangi semua biaya potensial. Dalam pendekatan

Kaldor-Hicks, prinsip utamanya adalah gagasan bahwa setiap orang dapat diberi

kompensasi. Kompensasi ini sebenarnya tidak harus terjadi sedangkan di bawah

efisiensi Pareto, kompensasi ini harus terjadi melalui kesepakatan sukarela antara

dua pihak.

20
Richard Posner, Utilitarianism, Economics, and Legal Theory. The Journal of Legal
Studies. Vol. 8. 1979, hlm. 119.
Pendekatan ekonomi dalam hukum baik aspek normatif dan positif telah

menjadi pertimbangan antagonistik bagi sebagian penganjur hukum yang tidak

sependapat dengan logika dibalik pendekatan ekonomi. Kritik yang paling utama

adalah dasar normatif dari pendekatan ekonomi tersebut memuakkan sehingga

tidak dapat dipungkiri bahwa sistem hukum mutlak merangkulnya. Kritik ini

mungkin tampak mengacaukan analisis positif dan normatif, tapi sebenarnya tidak

mengacaukan. Hukum mewujudkan dan menerapkan norma sosial yang mendasar

dan akan mengejutkan jika menemukan bahwa norma-norma tersebut tidak sesuai

dengan sistem etika masyarakat. Tapi apakah konsep efisiensi ekonomi benar-

benar begitu berbeda dengan sistem etika masyarakat? Kritik lain pendekatan

ekonomi terhadap hukum, pada penggunaannya yang secara positif, tidak dapat

menjelaskan setiap peraturan, doktrin, institusi, dan hasil sistem hukum yang

penting. Kritik ini menyerang karikatur komponen pendekatan positif yang mana

menjadi hipotesis bahwa variabel penjelasan eksklusif yang dominan

dari common law adalah maksimalisasi kekayaan. Selain itu, analisis ekonomi

hukum memiliki cabang deskriptif dan normatif. Hal ini menandai bahwa

juri common law, setidaknya, pada setiap pemutusan perkara ditujukan untuk

memaksimalkan kekayaan sosial dan mereka harus memutuskan perkara tersebut

pada jalur tersebut. Konsep memaksimalkan kekayaan terletak di tengah kedua

aspek deskriptif dan normatif dari analisis hukum ekonomi. “Maksimalisasi

kekayaan” merupakan terminologi mutakhir dalam teori dan tidak ditujukan untuk

menjelaskan perkara sebagaimana “Pareto efficiency”.


Selain itu, kedua klaim Posner dianggap bersifat ambigu. Klaim pertama

yang dipertimbangkan adalah klaim positif. Di satu sisi, hal tersebut dapat berarti

bahwa aturan hukum common law mendorong perilaku yang efisien. Di sisi lain,

hal tersebut berarti undang-undang itu efisien dan isi undang-undang

diidentifikasi oleh efisiensinya atau klaim tersebut mungkin berarti bahwa

efisiensi memberikan penalaran “hukum”  terbaik di beberapa ceruk doktrinal.

Dworkin mengaskan bahwa, maksimalisasi kekayaan, sebagaimana

definisinya, dapat tercapai ketika kebaikan dan sumberdaya berada pada mereka

yang paling mampu menilainya sedangkan seseorang menilai sebuah kebaikan

hanya bila ia bisa berkehendak dan mampu membayar lebih dalam uang untuk

memilikinya.21 Individu memaksimalkan kekayaannya ketika ia meningkatkan

nilai dari sumberdaya yang ia punya, kapanpun ia mampu, sebagai contohnya,

untuk membeli sesuatu yang ia nilai untuk kurang lebihnya daripada ia

berkehendak membayar pada hal itu. Nilai tersebut baginya merupakan sesuatu

yang diukur dengan uang dan dia akan membayar jika diperlukan. Jika ia mampu

membayar, katakanlah 4 dollar, dia akan membayar 5 dollar jika diperlukan,

kekayaannya akan menjadi meningkat 1 dollar.

Sementara itu, masyarakat memaksimalkan kekayaannya ketika semua

sumberdaya masyarakat tersebut terdistribusi pada keseluruhan valuasi individu

setinggi mungkin. Terdapat kesukaran konseptual antara gagasan memaksimalkan

kekayaan individu dan sosial. Kekayaan sosial akan menaik dengan transfer

beberapa properti dari A ke B, tetapi kemudian akan menaik dengan transfer

21
M. Ronald Dworkin, Is Wealth a Value?, The Journal of Legal Studies. Vol. 9 No. 2,
1980, hlm. 191-226.
kembali dari B ke A, dan seterusnya. Pada lingkaran semacam itu, kekayaan

sosial  merupakan sebuah siklus standar.

Konsep efisiensi pareto merupakan hal yang berbeda. Sebuah distribusi

sumberdaya menjadi efisiensi pareto jika tidak ada pertukaran pada distribusi,

yang dibuat, menghasilkan tiadanya seorangpun merugi dan setidaknya satu orang

menjadi lebih baik. Bahkan, jika menghendaki pertukaran yang menaikkan posisi

kedua partisipan boleh jadi mempengaruhi pihak ketiga, contoh, mengganti harga.

Dalam hal ini, akan menjadi absurd jika juri harus tidak membuat pilihan.

Analisis ekonomi berpendapat, pada sisi normatifnya, bahwa

memaksimalkan kekayaan sosial adalah tujuan yang layak sehingga keputusan

pengadilan harus mencoba memaksimalkan kekayaan sosial, misalnya dengan

memberikan hak kepada orang-orang yang akan membelinya  untuk biaya

transaksi, tetapi tidak jelas mengapa kekayaan sosial menjadi tujuan yang layak.

Siapa yang akan berpikir bahwa masyarakat yang memiliki kekayaan lebih

banyak, seperti yang didefinisikan, lebih baik daripada masyarakat yang memiliki

lebih sedikit, kecuali seseorang yang membuat kesalahan dengan

mempersonifikasikan masyarakat. Oleh karena itu, hal tersebut menganggap

bahwa masyarakat lebih baik dengan kekayaan lebih banyak seperti halnya setiap

individu.

Walaupun dikritik, pendekatan ekonomi terhadap hukum tetaplah menjadi

kajian yang diterima banyak pihak. Aturan hukum yang menjadi salah satu obyek

analisis economics analysis of law mempengaruhi banyak orang dengan berbagai

cara. Dalam masyarakat yang luas dan rumit, menghindari atau menolak undang-
undang akan membuat beberapa orang menjadi lebih buruk, termasuk beberapa

orang yang tidak melakukan apa-apa mereka layak untuk dirugikan, dan membuat

beberapa orang lebih baik, yang telah melakukan sesuatu yang pantas untuk

menjadi lebih baik. Berdasarkan hal tersebut, bagaimanakahseseorang

menentukan undang-undang yang seharusnya?

Jawaban terbaik adalah bahwa subyek hukum harus memiliki hukum apa

pun yang paling sesuai dengan kepentingan subyek hukum tersebut serta

merumuskan agar produk hukum dapat meningkatkan kebaikan yang subyek

hukum tersebut inginkan. Hal ini menimbulkan masalah yang jelas. Jika sebuah

hukum menguntungkan sebagian orang dan menyakiti orang lain, seperti yang

dilakukan kebanyakan orang, bagaimana seseorang bisa memutuskan apakah

hasilnya kekurangan atau kelebihan, kerugian atau keuntungan?

Pada titik inilah analisis ekonomi dapat digunakan dengan baik dalam

putusan hukum. Analisis ekonomi hukum dengan mudah mengakomodasi keragu-

raguan dalam problematika kewajiban. Analis di sini hanya digunakan untuk

mengurangi keraguan problematika keraguan untuk memaksimalkan preferensi-

preferensi. Pendekatan ini, berpegang pada anggapan bahwa  agen hukum tertarik

pada kepentingan diri sendiri dan bertujuan untuk memaksimalkan kekayaan

sosial. Paradigma ekonomi menawarkan fitur pengambilan keputusan individual

yang sangat abstrak. Sifat abstraknya membuat paradigma ini sangat fleksibel.

Dengan konsep rasionalitas instrumental, ia dapat mengakomodasi banyak objek

substantif dalam spesifikasi yang berbeda tentang apa yang rasional atau lebih

tepatnya apa pun yang diharapkan oleh agen hukum tersebut.Secara singkat,
paradigma ekonomi menyatakan bahwa agen memilih pilihan yang tepat dan

menurutnya yang paling tinggi menurut “preferensi”nya. 22 Preferensi adalah

istilah teknis, bukan konsep psikologis. Menurut definisi, preferensi adalah urutan

linier di beberapa domain objek. Urutan linier lengkap, asimetris, dan transitif.

Namun, diakui bahwa peraturan hukum dapat memberikan informasi yang relevan

kepada agen tersebut atau memberi valuasi pada tindakan tertentu. Valuasi yang

diatur dalam peraturan perundang-undangan akan bergantung pada formulasi

hukum karena akan menentukan mekanisme pemantauan dan beban pembuktian,

yang keduanya menentukan kemungkinan bahwa sanksi hukum tersebut akan

diberlakukan.

22
David D Fredman, Law’s OrderWhat Economics Has To Do With Law And Why It
Matters, Princenton University Press, New Jersey, 2000, hlm. 19.

Anda mungkin juga menyukai