Anda di halaman 1dari 41

CASE BASED DISCUSSION

Fraktur Tibia dan Fibula


Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Salah Satu Syarat dalam
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter
Bagian Bedah
RSUD RA Kartini Jepara

Disusun oleh:
Cheri Andayani
30101306901
Pembimbing:

dr. Dhanan Prastanika S., Sp. OT

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
2019

1
1. Identitas Pasien :

• Nama : An. G

• Usia : 17 tahun

• No RM : 000688197

• Jenis kelamin : Laki-laki

• Pendidikan : SMA

• Pekerjaan : Pelajar

• Agama : Islam

• Alamat : Watuaji 4/1 Jepara

• Masuk RS : 06 Maret 2019

• Dirawat di ruang : Melati 1

2. Keluhan Utama :

Nyeri pada kaki kanan post KLL

3. RPS :

Pasien datang ke IGD rumah sakit dengan keluhan habis kecelakaan.


Pasien jatuh saat akan berangkat kesekolah. Sejak ±1 jam SMRS, nyeri pada
kaki kanan, nyeri timbul saat di gerakkan.. Riwayat pingsan setelah kecelakaan
tidak ada. Pusing (-), Mual (-), Muntah (-)

4. RPD :
- Riwayat trauma di tempat yang sama : -
- Riwayat penyakit tulang :-
- Riwayat Penyakit Dahulu : DM(-), HT (-)
5. Riwayat Penyakit Keluarga : tidak ada
6. RPSos : Pasien adalah seorang pelajar
7. Pemeriksaan Fisik :

• Skor Nyeri :7

• Keadaan umum : Tampak sakit sedang

2
• Kesadaran : Compos mentis

• Tanda vital

• TD : 130/90 mmHg

• Nadi : 86 x/menit, reguler, isi cukup

• RR : 21 x/menit, reguler, abdominotorakal

• Suhu : 36,4 0C

• SpO2 : 98 %

Status Generalisata :

• Kepala : Dalam batas normal

• Mata : Konjungtiva anemis (-/-) , Sklera ikterik (-/-) ,


Palpebra superior superior et inferior cekung (-/-) ,
Pupil ODS bulat, isokor, diameter 3mm, reflex
cahaya (+/+)

• Telinga : Dalam batas normal

• Hidung : Dalam batas normal

• Tenggorokan : Faring dan tonsil dalam batas normal

• Leher : Pembesaran KGB (-)

• Mulut : Dalam batas normal

• Thorax

 Paru-paru

3
 Jantung

 Abdomen

 Tulang belakang : kifosis (-), skoliosis (-), lordosis (-)

4
8. Status Lokalis

NT
Regio Cruris Dextra

• Look : Bengkak (+) deformitas (-) tampak luka robek (-)


perdarahan aktif (-) tampak tulang (-), warna kulit sama seperti sekitar

• Feel : Nyeri tekan, perabaan hangat (+), sensorik distal (+),


pulsasi distal baik

• Movement : ROM aktif dan pasif terbatas, gerakan distal (+)

9. Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium darah lengkap
2. X foto Cruris Ap lateral

5
A. Laboratorium darah lengkap

B. Pemeriksaan X foto Cruris Dextra Ap lateral

Foto cruris dextra posisi AP/lateral

6
Hasil pemeriksaan :

o Tampak diskontinuitas komplit bentuk transversal disertai overiding dan


angulasi pada 1/3 tengah os tibia dextra.aposisi dan alligment tidak baik

o Tampak discontinuitas komplit bentuk transversal pada 1/3 os fibula


alligment dan aposisi baik

o Mineralisasi tulang baik

o Tidak tampak tanda-tanda osteomielitis

o Celah sendi yang tervisualisasi kesan baik

o Tampak lusesnsi soft tissue

Kesan :

o Fraktur komplit bentuk transversal pada 1/3 tengah os Tibia dextra


disertai overiding dan angulasi, alligment dan asposisi tidak baik.

o Fraktur komplit bentuk transversal pada 1/3 tengah os Fibula


dextra,alligment dan asposisi baik

10. Diagnosis :
closed fracture 1/3 tengah os tibia dextra komplit

closed fracture 1/3 tengah os fibula dextra komplit

11. Terapi :

Medikamentosa :

1. Inf RL 20 Tpm
2. Anbacim 2x1 gr
3. Ketorolac 3x1 gr
4. Ranitidin 3x1 gr

Operatif : ORIF (Open reduction internal fixation)

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pendahuluan
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang, tulang
rawan sendi, tulang rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun parsial.
Fraktur terjadi oleh kekerasan langsung atau tidak langsung. Yang disebut
kekerasan langsung terjadi bila tenaga traumatik diberikan langsung pada
tulang di tempat fraktur, apakah oleh suatu ledakan hebat atau oleh suatu
crushing force. Compound fracture lebih sering terjadi setelah kekerasan
langsung dan bisa transversal atau kominutif. Fraktur karenan kekerasan tidak
langsung biasanya setelah trauma rotasional dan fraktur berbentuk oblik atau
spiral (Aston 1996)
Fraktur cruris adalah terputusnya hubungan tibia dan fibula. Secara klinis
bisa berupa fraktur terbuka bila disertai kerusakan pada jaringan lunak (otot,
kulit, pembuluh darah) sehingga memungkinkan terjadinya hubungan antara
fragmen tulang yang patah dengan udara luar dan fraktur tertutup (Helmi,
2013).

B. Anatomi
Fraktur cruris merupakan akibat terbanyak dari kecelakaan lalu lintas. Hal ini
diakibatkan susunan anatomi cruris dimana permukaan medial tibia hanya
ditutupi jaringan subkutan, sehingga menyebabkan mudahnya terjadi fraktur
cruris terbuka yang menimbulkan masalah dalam pengobatan.
Secara anatomi terdapat 4 grup otot yang penting di cruris:
1. otot ekstensor
2. otot abductor
3. otot triceps surae
4. otot fleksor
Keempat grup otot tersebut membentuk 3 kompartemen

8
 Grup I : memebentuk kompartemen anterior
 Grup II : membentuk kompartemen lateral
 Grup III+IV : membentuk kompartemen posterior yang terdiri dari
kompartemen superficial dan kompartemen dalam.
Arteri:
1. arteri tibialis anterior
2. arteri tibialis posterior
3. arteri peroneus
Saraf:
1. n.tibialis anterior dan n.peroneus mempersarafi otot ekstensor dan
abductor
2. n.tibialis posterior dan n.poplitea untuk mempersarafi otot fleksor dan otot
triceps

Gambar 1. Anatomi cruris

C. Definisi Fraktur
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan
epifisis, baik yang bersifat total maupun parsial. Lebih dari sekedar hancur

9
atau pecahnya kortek tulang, patahan coplit lebih sering terjadi disertai
displacemen dari fragmen tulang yang fraktur.

D. Proses Terjadinya Fraktur


Untuk mengetahui mengapa dan bagaimana tulang mengalami fraktur,
harus mengetahui keadaan fisik tulang dan keadaan trauma yang dapat
menyebabkan tulang patah. Tulang kortikal mempunyai struktur yang dapat
menahan kompresi dan tekanan memuntir (shearing).
Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan
terutama tekanan membengkok, memutar, dan tarikan.
Trauma bisa bersifat :
 Trauma langsung  menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan
terjadi fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat
komunitif dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan.
 Trauma tidak langsung  apabila trauma dihantarkan ke daerah yang
lebih jauh dari daerah fraktur, misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat
menyebabkan fraktur pada klavikula. Pada keadaan ini biasanya jaringan
lunak tetap utuh.
Tekanan pada tulang dapat berupa :
 Tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral atau oblik
 Tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal
 Tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur impaksi,
dislokasi atau fraktur dislokasi
 Kompresi vertikal dapat menyebabkan fraktur komunitif atau memecah
misalnya pada badan vertebra, talus atau fraktur buckle pada anak-anak
 Trauma langsung disertai dengan resistensi pada satu jarak tertentu akan
menyebabkan fraktur oblik atau fraktur Z
 Fraktur oleh karena remuk
 Trauma karena tarikan pada ligamen atau tendo akan menarik sebagian
tulang

10
Trauma yang terjadi pada tulang dapat menyebabkan seseorang
mempunyai keterbatasan gerak dan ketidakseimbangan berat badan. Tekanan
yang kuat atau berlebihan dapat mengakibatkan fraktur terbuka karena dapat
menyebabkan fragmen tulang keluar menembus kulit sehingga akan
menjadikan luka terbuka dan akan menyebabkan peradangan dan
memungkinkan untuk terjadinya infeksi. Keluarnya darah dari luka terbuka
dapat mempercepat pertumbuhan bakteri. Tertariknya segmen tulang
disebabkan karena adanya kejang otot pada daerah fraktur menyebabkan
disposisi pada tulang, sebab tulang berada pada posisi yang kaku.

Gambar 2. Mekanisme injury, beberapa pola fraktur dan mekanisme penyebabnya


(a) Pola spiral (berputar); (b) pola oblik (kompresi); (c) triangular ‘butterfly’fragment
(membengkok); (d) pola transversal (tekanan langsung mengenai tulang).

E. Etiologi Fraktur
Fraktur terjadi bila ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana trauma
tersebut kekuatannya melebihi kekuatan tulang.  Dua faktor mempengaruhi
terjadinya fraktur:
 Ekstrinsik  meliputi kecepatan dan durasi trauma yang mengenai tulang,
arah dan kekuatan trauma.
 Intrinsik  meliputi kapasitas tulang mengasorbsi energi trauma,
kelenturan, kekuatan, dan densitas tulang.

11
12
Tulang cukup mudah patah, namun mempunyai kekuatan dan ketahanan untuk
menghadapi stress dengan kekuatan tertentu. Fraktur berasal dari:
1. Suatu trauma ruda paksa
2. Tekanan yang berulang (repetitive stress)
3. Kelemahan tulang yang abnormal yang dapat menyebabkan fraktur
paologis
1) Fraktur yang disebabkan oleh cedera1
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh tenaga berlebihan (ruda paksa)
yang tiba-tiba, dapat secara langsung ataupun tidak langsung.

Dengan tenaga langsung tulang patah pada titik kejadian; jaringan


lunak juga rusak. Pukulan langsung biasanya mematahkan tulang secara
transversal atau membengkokkan tulang melebihi titik tupunya sehingga
terjadi patahan dengan fragmen “butterfly”. Kerusakan pada kulit
diluarnya sering terjadi; jika crush injury terjadi, pola faktur dapat
kominutif dengan kerusakan jaringan lunak ekstensif.
Dengan tenaga tidak langsung, tulang patah jauh dari dimana
tenaga dierikan; kerusakan jaringan lunak pada tempat fraktur jarang
terjadi. Walaupun sebagian besar fraktur disebabkan oleh kombinasi
tenaga (perputaran, pembengkokkan, kompresi, atau tekanan), pola x-ray
menunjukkan mekanisme yang dominan:

13
 Terpelintir mengakibatkan fraktur spiral;
 Kompresi mengakibatkan fraktur oblique pendek;
 Pembengkokan mengakibatkan fraktur dengan fragmen triangular
“butterfly”;
 Tekanan cenderung mematahkan tulang kearah transversal; pada
beberapa situasi tulang dapat avulse menjadi fragmen kecil pada titik
insersi ligament atau tendon.
Deskripsi diatas merupakan deskripsi untuk tulang panjang. Tulang
kecil jika terkena gaya yang cukup, akan terbelah atau hancur menjadi
bentuk yang abnormal.
2) Fatigue atau stress fracture1
Fraktur ini terjadi pada tulang normal yang menjadi subjek
tumpuan berat berulang, seperti pada atlet, penari, atau anggota militer
yang menjalani program berat. Beban ini menciptakan perubahan bentuk
yang memicu proses normal remodeling—kombinasi dari esorpsi tulang
dan pembentukan tulang baru menurut hukum Wolff. Ketika pajanan
terjadap stress dan perubahan bentuk terjadi berulang dan dalam jangka
panjang, resorpsi terjadi lebih cepat dari pergantian tulang, mengakibatkan
daerah tersebut rentan terjadi fraktur. Masalah yang sama terjadi pada
individu dengan pengobatan yang mengganggu keseimbangan normal
resorpsi dan pergantian tulang; stress fracture meningkat pada penyakit
inflamasi kronik dan pasien dengan pengobatan steroid atau methotrexate.
3) Fraktur patologis1
Fraktur dapat terjadi pada tekanan normal jika tulang telah lemah
karena perubahan strukturnya (seperti pada osteoporosis, osteogenesis
imperfekta, atau Paget’s disease) atau melalui lesi litik (contoh: kista
tulang, atau metastasis).

F. Klasifikasi
Klasifikasi fraktur dapat sangat bervariasi, beberapa dibagi menjadi beberapa
kelompok, yaitu:

14
a. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
 Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit
masih utuh) tanpa komplikasi.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan
keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan
lunak sekitarnya.
2) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
3) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang
nyata dan ancaman sindroma kompartement.
 Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit. Fraktur terbuka terbagi atas 3 derajat (menurut
R.Gustilo), yaitu:
 Derajat I:
 Luka < 1cm.
 Kerusakan jaringan sedikit, tidak ada tanda luka remuk.
 Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau komunitif ringan.
 Kontaminasi minimal.
 Derajat II:
 Laserasi >1cm.
 kerusakan jaringan lunak. Tidak luas, falp/avulsi.
 Fraktur komunitif sedang.
 Kontaminasi sedang.
 Derajat III:

15
 Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat,
meskipun terdapat laserasi luas/falp/avulsi atau fraktur
segmental yang disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa
melihat besarnya ukuran luka.
 Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur yang terpapar atau
kontaminasi masif.
 Luka pada pembuluh darah arteri/saraf perifer yang harus
diperbaiki tanpa melihat kerusakan jaringan lunak.

Fraktur tertutup Fraktur terbuka


b. Berdasarkan komplit atau ketidak-klomplitan fraktur.
1) Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang
atau melalui kedua korteks tulang.

2) Fraktur Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang


tulang seperti:

16
a. Hair Line Fraktur.
b. Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks
dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
c. Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi
korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.

c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan


mekanisme trauma.
1) Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2) Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
4) Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5) Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada insersinya pada tulang.

17
d. Berdasarkan jumlah garis patah.
1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama.
e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
1) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap tetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
2) Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang
juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a. Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah
sumbu dan overlapping).
b. Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c. Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling
menjauh).
f. Berdasarkan posisi fraktur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
1) 1/3 proksimal
2) 1/3 medial

18
3) 1/3 distal
g. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.

G. Gambaran Klinis Fraktur3


a. Anamnesis
Biasanya pasien datang dengan suatu trauma, baik yang hebat maupun
trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan untuk menggunakan
anggota gerak. Pasien biasanya datang karena adanya nyeri yang
terlokalisir dimana nyeri tersebut bertambah bila digerakkan,
pembengkakan, gangguan fungsi anggota gerak, deformitas, kelainan
gerak, krepitasi atau dengan gejala-gejala lain.
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan awal pasien, perlu diperhatikan adanya :
a) Syok, anemia atau pendarahan
b) Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang
belakang atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul, dan
abdomen
c) Faktor predisposisi misalnya pada fraktur patologis
c. Pemeriksaan lokal
- Inspeksi (Look)
 Ekspresi wajah karena nyeri
 Bandingkan dengan bagian yang sehat
 Perhatikan posisi anggota gerak
 Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi, dan
kependekan
 Perhatikan adanya pembengkakan
 Perhatikan adanya gerakan yang abnormal
 Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk
membedakan fraktur tertutup atau terbuka

19
 Ekstravasasi darah subkutan (ekimosis) dalam beberapa jam
sampai beberapa hari
 Perhatikan keadaan vaskular
- Palpasi (Feel)
Palpasi dilakukan secara hati-hati dikarenakan pasien biasanya
mengeluh sangat nyeri. Hal-hal yang perlu diperhatikan :
 Temperatur setempat yang meningkat
 Nyeri tekan  nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya
disebabkan oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat
fraktur pada tulang
 Krepitasi  dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan
secara hati-hati
 Pemeriksaan vaskular pada daerah distal trauma berupa palpasi
arteri radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai
dengan anggota gerak yang terkena. Dinilai juga refilling
(pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian distal daerah
trauma, dan temperatur kulit.
 Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk
mengetahui adanya perbedaan panjang tungkai
- Pergerakan (Move)
Dilakukan dengan cara mengajak pasien untuk menggerakan secara
aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami
trauma. Pada pasien dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan
nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar,
disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak
seperti pembuluh darah dan saraf.
d. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris dan
motoris serta gradasi kelainan neurologis yaitu neuropraksia,
aksonotmesis, atau neurotmesis.
e. Pemeriksaan radiologis

20
Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi,
serta ekstensi fraktur. Untuk menghindari nyeri serta kerusakan jaringan
lunak sebelumnya, maka sebaiknya mempergunakan bidai yang bersifat
radiolusen untuk imobilisasi sementara sebelum dilakukan pemeriksaan
radiologis.
Tujuan pemeriksaan radiologis :
- Untuk mempelajari gambaran normal tulang dan sendi
- Untuk konfirmasi adanya fraktur
- Untuk melihat sejauh mana pergerakan dan konfigurasi fragmen serta
pergerakannya
- Untuk menentukan teknik pengobatan
- Untuk menentukan apakah fraktur itu baru atau tidak
- Untuk menentukan apakah fraktur intra-artikuler atau ekstra-artikuler
- Untuk melihat adanya keadaan patologis lain pada tulang
- Untuk melihat adanya benda asing, misalnya peluru
Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan yakni foto polos, CT-Scan,
MRI, tomografi, dan radioisotop scanning. Umumnya dengan foto polos
kita dapat mendiagnosis fraktur.

H. Tatalaksana Fraktur1,3,5
 Penatalaksanaan awal
Sebelum dilakukan pengobatan definitif pada satu fraktur, maka
diperlukan :
1. Pertolongan pertama
Pada pasien dengan fraktur yang penting dilakukan adalah
membersihkan jalan nafas, menutup luka dengan verban yang bersih,
dan imobilisasi fraktur pada anggota gerak yang terkena agar pasien
merasa nyaman dan mengurangi nyeri sebelum diangkut dengan
ambulans. Bila terdapat pendarahan dapat dilakukan pertolongan
dengan penekanan setempat.
2. Penilaian klinis

21
Sebelum menilai fraktur itu sendiri, perlu dilakukan penilaian klinis,
apakah luka itu luka tembus tulang, adakah trauma pembuluh darah/
saraf ataukah ada trauma alat-alat dalam yang lain.
3. Resusitasi
Kebanyakan pasien dengan fraktur multipel tiba di rumah sakit dengan
syok, sehingga diperlukan resusitasi sebelum diberikan terapi pada
frakturnya sendiri berupa pemberian transfusi darah dan cairan lainnya
serta obat-obat anti nyeri.

 Prinsip Umum Tatalaksana Fraktur


1. First, do no harm
Yakni dengan mencegah terjadinya komplikasi iatrogenik. Hal ini bisa
dilakukan dengan pertolongan pertama yang hati-hati, transportasi
pasien ke rumah sakit yang baik, dan mencegah terjadinya infeksi dan
kerusakan jaringan yang lebih parah.
2. Tatalaksana dasar berdasarkan diagnosis dan prognosis yang akurat
Keputusan pertama adalah menentukan apakah fraktur tersebut
membutuhkan reduksi dan bila iya maka tentukan tipe reduksi terbaik
apakah terbuka atau tertutup. Kemudian keputusan kedua yakni
mengenai tipe imobilisasi, apakah eksternal atau internal.
3. Pemilihan tatalaksana dengan tujuan yang spesifik
Tujuan spesifik dalam tatalaksana fraktur yaitu :
 Untuk mengurangi rasa nyeri
Dikarenakan tulang bersifat relatif tidak sensitif, rasa nyeri pada
fraktur berhubungan dengan kerusakan jaringan lunak termasuk
periosteum dan endosteum. Rasa nyeri ini dapat diperberat dengan
pergerakan fragmen fraktur yang berhubungan dengan spasme otot
dan pembengkakan yang progresif. Rasa nyeri pada fraktur dapat
berkurang dengan imobilisasi dan menghindari pembalutan yang
terlalu ketat. Beberapa hari pertama setelah terjadinya fraktur dapat
diberikan analgesik untuk mengurangi nyeri.

22
 Untuk memelihara posisi yang baik dari fragmen fraktur
Reduksi fraktur untuk mendapatkan posisi yang baik, yakni
diindikasikan hanya untuk memperbaiki fungsi dan mencegah
terjadinya artritis degeneratif. Pemeliharan posisi fragmen fraktur
biasanya membutuhkan beberapa derajat imobilisasi, dengan
beberapa metode, termasuk continuous traction, plaster-of-Paris
cast, fiksasi skeletal eksterna, dan fiksasi skeletal interna,
berdasarkan derajat dari kestabilan atau ketidakstabilan reduksi.
 Untuk mengusahakan terjadinya penyatuan tulang (union)
Pada kebanyakan fraktur, proses penyatuan tulang merupakan
proses penyembuhan yang terjadi secara alami. Namun pada
beberapa kasus, misalnya dengan robekan periosteum berat dan
jaringan lunak atau dengan nekrosis avaskular pada satu atau dua
fragmen, proses penyatuan tulang harus dengan autogenous bone
grafts, pada tahap penyembuhan awal atau lanjut.
 Untuk mengembalikan fungsi secara optimal
Saat periode imobilisasi dalam penyembuhan fraktur, diuse atrophy
pada otot regional harus dicegah dengan latihan aktif statik
(isometrik) pada otot tersebut dengan mengkontrol imobilisasi
sendi dan latihan aktif dinamik (isotonik) pada seluruh otot lainnya
di tubuh. Setelah periode imobilisasi, latihan aktif sebaiknya tetap
dilanjutkan.
4. Mengingat hukum-hukum penyembuhan secara alami
Jaringan muskuloskeletal bereaksi terhadap suatu fraktur sesuai
dengan hukum alami yang ada.
5. Bersifat realistik dan praktis dalam memilih jenis pengobatan
Dalam memilih pengobatan harus dipertimbangkan pengobatan yang
realistik dan praktis.
6. Seleksi pengobatan sesuai dengan pasien secara individual
Setiap fraktur memerlukan penilaian pengobatan yang sesuai, yaitu
dengan mempertimbangkan faktor umur, jenis fraktur, komplikasi

23
yang terjadi, dan perlu pula dipertimbangkan keadaan ekonomi pasien
secara individual.

Sebelum mengambil keputusan untuk melakukan pengobatan


definitif, prinsip pengobatan ada empat (4R), yaitu :
 Recognition; diagnosis dan penilaian fraktur
Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur
dengan anamnesis, pemeriksaan klinik, dan radiologis. Pada awal
pengobatan perlu diperhatikan lokalisasi fraktur, bentuk fraktur,
menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan, dan komplikasi
yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengobatan.
 Reduction; reduksi fraktur apabila perlu
Restorasi fragmen fraktur dilakukan untuk mendapatkan posisi
yang dapat diterima. Pada fraktur intra-artikuler diperlukan reduksi
anatomis dan sedapat mungkin mengembalikan fungsi normal dan
mencegah komplikasi seperti kekakuan, deformitas, serta
perubahan osteoartritis di kemudian hari.
Posisi yang baik adalah alignment yang sempurna dan aposisi yang
sempurna.
Fraktur seperti fraktur klavikula, iga, dan fraktur impaksi dari
humerus tidak memerlukan reduksi. Angulasi <5º pada tulang
panjang anggota gerak bawah dan lengan atas dan angulasi sampai
10º pada humerus dapat diterima. Terdapat kontak sekurang-
kurangnya 50%, dan over-riding tidak melebihi 0,5 inchi pada
fraktur femur. Adanya rotasi tidak dapat diterima dimanapun
lokalisasi fraktur.
 Retention; imobilisasi fraktur
 Rehabilitation; mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal
mungkin

24
Penatalaksanaan fraktur meliputi reposisi dan imobilisasi fraktur
dengan splint. Status neurologis dan vaskuler di bagian distal harus
diperiksa baik sebelum maupun sesudah reposisi dan imobilisasi. Pada
pasien dengan multipel trauma, sebaiknya dilakukan stabilisasi awal
fraktur tulang panjang setelah hemodinamis pasien stabil. Sedangkan
penatalaksanaan definitif fraktur adalah dengan menggunakan gips atau
dilakukan operasi dengan “ORIF” maupun “OREF”.
Tujuan pengobatan fraktur yaitu :
a. REPOSISI dengan tujuan mengembalikan fragmen keposisi anatomi.
Teknik reposisi terdiri dari reposisi tertutup dan terbuka. Reposisi
tertutup dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau traksi kulit dan
skeletal. Cara lain yaitu dengan reposisi terbuka yang dilakukan pada
pasien yang telah mengalami gagal reposisi tertutup, fragmen bergeser,
mobilisasi dini, fraktur multipel, dan fraktur patologis.
b. IMOBILISASI / FIKSASI dengan tujuan mempertahankan posisi
fragmen post reposisi sampai Union. Indikasi dilakukannya fiksasi
yaitu pada pemendekan (shortening), fraktur unstable serta kerusakan
hebat pada kulit dan jaringan sekitar.

Jenis Fiksasi :
a. Eksternal / OREF (Open Reduction External Fixation)
 Gips (plester cast)
 Traksi
Jenis traksi :
 Traksi Gravitasi : U- Slab pada fraktur humerus
 Skin traksi
Tujuan menarik otot dari jaringan sekitar fraktur sehingga
fragmen akan kembali ke posisi semula. Beban maksimal 4-5
kg karena bila kelebihan kulit akan lepas
 Sekeletal traksi : K-wire, Steinmann pin atau Denham pin.

25
Traksi ini dipasang pada distal tuberositas tibia (trauma sendi
koksea, femur, lutut), pada tibia atau kalkaneus ( fraktur
kruris). Adapun komplikasi yang dapat terjadi pada
pemasangan traksi yaitu gangguan sirkulasi darah pada beban
> 12 kg, trauma saraf peroneus (kruris) , sindroma
kompartemen, infeksi tempat masuknya pin.

Indikasi OREF :
 Fraktur terbuka derajat III
 Fraktur dengan kerusakan jaringan lunak yang luas
 Fraktur dengan gangguan neurovaskuler
 Fraktur Kominutif
 Fraktur Pelvis
 Fraktur infeksi yang kontraindikasi dengan ORIF
 Non Union
 Trauma multipel
b. Internal / ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
ORIF ini dapat menggunakan K-wire, plating, screw, k-nail.
Keuntungan cara ini adalah reposisi anatomis dan mobilisasi dini tanpa
fiksasi luar.
Indikasi ORIF :
 Fraktur yang tak bisa sembuh atau bahaya avascular nekrosis
tinggi, misalnya fraktur talus dan fraktur collum femur.
 Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup. Misalnya fraktur avulsi
dan fraktur dislokasi.
 Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan. Misalnya
fraktur Monteggia, fraktur Galeazzi, fraktur antebrachii, dan
fraktur pergelangan kaki.
 Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang lebih
baik dengan operasi, misalnya : fraktur femur.

26
I. Penyembuhan Fraktur
Proses penyembuhan fraktur pada tulang kortikal terdiri atas lima fase, yaitu :
1,3

1. Fase hematoma
Apabila terjadi fraktur pada tulang panjang, maka pembuluh darah
kecil yang melewati kanalikuli dalam sistem Haversian mengalami
robekan pada daerah fraktur dan akan membentuk hematoma diantara
kedua sisi fraktur. Hematoma yang besar diliputi oleh periosteum.
Periosteum akan terdorong dan dapat mengalami robekan akibat tekanan
hematoma yang terjadi sehingga dapat terjadi ekstravasasi darah ke dalam
jaringan lunak.
Osteosit dengan lakunanya yang terletak beberapa milimeter dari
daerah fraktur akan kehilangan darah dan mati, yang akan menimbulkan
suatu daerah cincin avaskuler tulang yang mati pada sisi-sisi fraktur segera
setelah trauma.
2. Fase proliferasi seluler subperiosteal dan endosteal
Pada fase ini terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur sebagai suatu
reaksi penyembuhan. Penyembuhan fraktur terjadi karena adanya sel-sel
osteogenik yang berproliferasi dari periosteum untuk membentuk kalus
eksterna serta pada daerah endosteum membentuk kalus interna sebagai
aktifitas seluler dalam kanalis medularis. Apabila terjadi robekan yang
hebat pada periosteum, maka penyembuhan sel berasal dari diferensiasi
sel-sel mesenkimal yang tidak berdiferensiasi ke dalam jaringan lunak.
Pada tahap awal dari penyembuhan fraktur ini terjadi pertambahan
jumlah dari sel-sel osteogenik yang memberi pertumbuhan yang cepat
pada jaringan osteogenik yang sifatnya lebih cepat dari tumor ganas.
Pembentukan jaringan seluler tidak terbentuk dari organisasi pembekuan
hematoma suatu daerah fraktur. Setelah beberapa minggu, kalus dari
fraktur akan membentuk suatu massa yang meliputi jaringan osteogenik.
Pada pemeriksaan radiologis kalus belum mengandung tulang sehingga
merupakan suatu daerah radiolusen.

27
3. Fase pembentukan kalus (fase union secara klinis)
Setelah pembentukan jaringan seluler yang bertumbuh dari setiap
fragmen sel dasar yang berasal dari osteoblas dan kemudian pada
kondroblas membentuk tulang rawan. Tempat osteoblast diduduki oleh
matriks interseluler kolagen dan perlengketan polisakarida oleh garam-
garam kalsium membentuk suatu tulang yang imatur. Bentuk tulang ini
disebut sebagai woven bone. Pada pemeriksaan radiologi kalus atau woven
bone sudah terlihat dan merupakan indikasi radiologik pertama terjadinya
penyembuhan fraktur.
4. Fase konsolidasi (fase union secara radiologik)
Woven bone akan membentuk kalus primer dan secara perlahan-
lahan diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas
yang menjadi struktur lamelar dan kelebihan kalus akan diresorpsi secara
bertahap.
5. Fase remodelling
Bilamana union telah lengkap, maka tulang yang baru membentuk
bagian yang menyerupai bulbus yang meliputi tulang tetapi tanpa kanalis
medularis. Pada fase remodelling ini, perlahan-lahan terjadi resorpsi secara
osteoklastik dan tetap terjadi proses osteoblastik pada tulang dan kalus
eksterna secara perlahan-lahan menghilang. Kalus intermediat berubah
menjadi tulang yang kompak dan berisi sistem Haversian dan kalus bagian
dalam akan mengalami peronggaan untuk membentuk ruang sumsum.

28
 Penilaian Penyembuhan Fraktur
Penilaian penyembuhan fraktur (union) didasarkan atas union
secara klinis dan union secara radiologis. Penilaian secara klinis
dilakukan dengan pemeriksaan daerah fraktur dengan melakukan
pembengkokan pada daerah fraktur, pemutaran dan kompresi untuk
mengetahui adanya gerakan atau perasaan nyeri pada penderita.
Keadaan ini dapat dirasakan oleh pemeriksa atau oleh penderita
sendiri. Apabila tidak ditemukan adanya gerakan, maka secara klinis
telah terjadi union dari fraktur.
Union secara radiologis dinilai dengan pemeriksaan rontgen pada
daerah fraktur dan dilihat adanya garis fraktur atau kalus dan mungkin
dapat ditemukan adanya trabekulasi yang sudah menyambung pada
kedua fragmen. Pada tingkat lanjut dapat dilihat adanya medulla atau
ruangan dalam daerah fraktur.
Salah satu tanda proses penyembuhan fraktur adalah dengan
terbentuknya kalus yang menyeberangi celah fraktur (bridging callus)
untuk menyatukan kembali fragmen-fragmen tulang yang fraktur).

29
Pembentukan bridging callus dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
jarak antara fragmen, stabilitas fraktur, vaskularisasi, keadaan umum
penderita, umur, lokasi fraktur, infeksi dan lain-lain. Vaskularisasi
daerah fraktur dapat berasal dari periosteum, endosteum dan medulla.

Penelitian tentang perubahan densitas kalus pernah dilakukan oleh


Siregar (1998, Bandung) dengan membandingkan pertumbuhan kalus
pada penderita paska operasi internal fiksasi dengan menggunakan
plate dan screw dengan K-nail pada pasien fraktur femur dan peneliti
ini melakukan kriteria penilaian gambaran radiologi serta membaginya
menjadi:
- Grade 0 : Kalus belum / tidak terbentuk / non union
- Grade 1+: Bintik-bintik radioopak pada daerah fraktur
- Grade 2+ : Bintik-bintik atau garis radioopak dengan lusensi
sama dengan lusensi medulla.

30
- Grade 3+: Bintik-bintik atau garis radioopak dengan lusensi
antara medulla dengan korteks.
- Grade 4+: Densitas kalus sama dengan atau lebih radioopak
dari pada korteks.
Pada penelitian berikut ini diamati proses pertumbuhan kalus pada
penderita fraktur tulang panjang Humerus, Radius, Ulna, Femur, Tibia,
dan Fibula. Sampai saat ini belum ditemukan data awal tentang
pertumbuhan kalus pada masing – masing tulang panjang tersebut.6

J. Komplikasi Fraktur
Komplikasi fraktur dapat diakibatkan oleh trauma itu sendiri atau akibat
penanganan fraktur yang disebut komplikasi iatrogenik.
a. Komplikasi umum1,2
Syok karena perdarahan ataupun oleh karena nyeri, koagulopati diffus dan
gangguan fungsi pernafasan.
Ketiga macam komplikasi tersebut diatas dapat terjadi dalam 24 jam
pertama pasca trauma dan setelah beberapa hari atau minggu akan terjadi
gangguan metabolisme, berupa peningkatan katabolisme. Komplikasi
umum lain dapat berupa emboli lemak, trombosis vena dalam (DVT),
tetanus atau gas gangren.
b. Komplikasi Lokal1
o Komplikasi dini
Komplikasi dini adalah kejadian komplikasi dalam satu minggu pasca
trauma, sedangkan apabila kejadiannya sesudah satu minggu pasca
trauma disebut komplikasi lanjut.
 Pada Tulang
1. Infeksi, terutama pada fraktur terbuka.
2. Osteomielitis dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau
tindakan operasi pada fraktur tertutup. Keadaan ini dapat
menimbulkan delayed union atau bahkan non union

31
3. Komplikasi sendi dan tulang dapat berupa artritis supuratif
yang sering terjadi pada fraktur terbuka atau pasca operasi yang
melibatkan sendi sehingga terjadi kerusakan kartilago sendi
dan berakhir dengan degenerasi.
 Pada Jaringan lunak
1. Lepuh , Kulit yang melepuh adalah akibat dari elevasi kulit
superfisial karena edema. Terapinya adalah dengan menutup
kasa steril kering dan melakukan pemasangan elastik.
2. Dekubitus. terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh
gips. Oleh karena itu perlu diberikan bantalan yang tebal pada
daerah-daerah yang menonjol.
 Pada Otot
Terputusnya serabut otot yang mengakibatkan gerakan aktif otot
tersebut terganggu. Hal ini terjadi karena serabut otot yang robek
melekat pada serabut yang utuh, kapsul sendi dan tulang.
Kehancuran otot akibat trauma dan terjepit dalam waktu cukup
lama akan menimbulkan sindroma crush atau thrombus.
 Pada pembuluh darah
Pada robekan arteri inkomplit akan terjadi perdarahan terus
menerus. Sedangkan pada robekan yang komplit ujung pembuluh
darah mengalami retraksi dan perdarahan berhenti spontan.
Pada jaringan distal dari lesi akan mengalami iskemi
bahkan nekrosis. Trauma atau manipulasi sewaktu melakukan
reposisi dapat menimbulkan tarikan mendadak pada pembuluh
darah sehingga dapat menimbulkan spasme. Lapisan intima
pembuluh darah tersebut terlepas dan terjadi trombus. Pada
kompresi arteri yang lama seperti pemasangan torniquet dapat
terjadi sindrome crush. Pembuluh vena yang putus perlu dilakukan
repair untuk mencegah kongesti bagian distal lesi.
Sindroma kompartemen terjadi akibat tekanan intra
kompartemen otot pada tungkai atas maupun tungkai bawah

32
sehingga terjadi penekanan neurovaskuler sekitarnya. Fenomena
ini disebut Iskhemi Volkmann. Ini dapat terjadi pada pemasangan
gips yang terlalu ketat sehingga dapat menggangu aliran darah dan
terjadi edema dalam otot.
Apabila iskemi dalam 6 jam pertama tidak mendapat
tindakan dapat menimbulkan kematian/nekrosis otot yang nantinya
akan diganti dengan jaringan fibrus yang secara periahan-lahan
menjadi pendek dan disebut dengan kontraktur volkmann. Gejala
klinisnya adalah 5 P yaitu Pain (nyeri), Parestesia, Pallor (pucat),
Pulseness (denyut nadi hilang) dan Paralisis
 Pada saraf
Berupa kompresi, neuropraksi, neurometsis (saraf putus),
aksonometsis (kerusakan akson). Setiap trauma terbuka dilakukan
eksplorasi dan identifikasi nervus.1

o Komplikasi lanjut1,2
Pada tulang dapat berupa malunion, delayed union atau non union.
Pada pemeriksaan terlihat deformitas berupa angulasi, rotasi,
perpendekan atau perpanjangan.
 Delayed union
Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan secara
normal. Pada pemeriksaan radiografi, tidak akan terlihat bayangan
sklerosis pada ujung-ujung fraktur.
Terapi konservatif selama 6 bulan bila gagal dilakukan
Osteotomi. Bila lebih 20 minggu dilakukan cancellus grafting
(12-16 minggu)
 Non union
Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan.
1. Tipe I (hypertrophic non union) tidak akan terjadi proses
penyembuhan fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh

33
jaringan fibrus yang masih mempunyai potensi untuk union
dengan melakukan koreksi fiksasi dan bone grafting.
2. Tipe II (atrophic non union) disebut juga sendi palsu
(pseudoartrosis) terdapat jaringan sinovial sebagai kapsul sendi
beserta rongga sinovial yang berisi cairan, proses union tidak
akan dicapai walaupun dilakukan imobilisasi lama.
Beberapa faktor yang menimbulkan non union seperti disrupsi
periosteum yang luas, hilangnya vaskularisasi fragmen-fragmen
fraktur, waktu imobilisasi yang tidak memadai, implant atau gips
yang tidak memadai, distraksi interposisi, infeksi dan penyakit
tulang (fraktur patologis)
 Mal union
Penyambungan fraktur tidak normal sehingga menimbukan
deformitas. Tindakan refraktur atau osteotomi koreksi.
 Osteomielitis
Osteomielitis kronis dapat terjadi pada fraktur terbuka atau
tindakan operasi pada fraktur tertutup sehingga dapat menimbulkan
delayed union sampai non union (infected non union). Imobilisasi
anggota gerak yang mengalami osteomielitis mengakibatkan
terjadinya atropi tulang berupa osteoporosis dan atropi otot.
 Kekakuan sendi
Kekakuan sendi baik sementara atau menetap dapat diakibatkan
imobilisasi lama, sehingga terjadi perlengketan peri artikuler,
perlengketan intraartikuler, perlengketan antara otot dan tendon.
Pencegahannya berupa memperpendek waktu imobilisasi dan
melakukan latihan aktif dan pasif pada sendi. Pembebasan
periengketan secara pembedahan hanya dilakukan pada penderita
dengan kekakuan sendi menetap.

34
K. Fraktur Tibia dan Fibula1,3
Fraktur tibia dan fibula dapat terjadi pada bagian proksimal (kondilus), diafisis
atau persendian pergelangan kaki.
 Fraktur Kondilus Tibia
Fraktur kondilus tibia lebih sering mengenai kondilus lateralis daripada
medialis serta fraktur pada kedua kondilus
- Mekanisme trauma
Fraktur kondilus lateralis terjadi karena adanya abduksi tibia terhadap
femur dimana kaki terfiksasi pada dasar, misalnya trauma sewaktu
mengendarai mobil
- Klasifikasi Sederhana (Adam)
1. Fraktur kompresi komunitif
2. Tipe depresi plateau
3. Fraktur oblik
- Klasifikasi kompleks (Rockwod)
1. Fraktur yang tidak bergeser
2. Kompresi lokal
3. Kompresi split
4. Depresi total kondiler
5. Fraktur aplit
6. Fraktur komunitif
Fraktur tidak bergeser apabila depresi kurang dari 4mm, sedangkan
yang bergeser apabila depresi melebihi 4mm
- Gambaran Klinis
Pada anamnesis terdapat riwayat trauma pada lutut, pembengkakan dan
nyeri serta hemartosi. Terdapat gangguan dalam pergerakan sendi
lutut.
- Pemeriksaan radiologis
Dengan foto rontgen posisi AP dan lateral dapat diketahui jenis
fraktur, tetapi kadang-kadang diperlukan pula foto oblik dan
pemeriksaan laminagram.

35
- Pengobatan
1. Konservatif
Pada fraktur yang tidak bergeser dimana depresi kurang dari 4mm
dapat dilakukan beberapa pilihan pengobatan, antara lain:
- Verban elastis
- Traksi
- Gips sirkuler
Prinsip pengobatan adalah mencegah bertambahnya depresi, tidak
menahan beban dan segera mobilisasi pada sendi lutus agar tidak
terjadi kekauan sendi
2. Operatif
Depresi yang lebih dari 4 mm dilakukan operasi mengangkat
bagian depresi dan ditopang dengan bone graft. Pada fraktur split
dapat dilakukan pemasangan screw atau kombinasi screw dan
plate untuk menahan bagian fragmen terhadap tibia.

- Komplikasi
1. Genu valgium ; terjadi oleh karena depresi yang tidak direduksi
dengan baik
2. Kekakuan lutut ; terjadi karena tidak dilakukan latihan lebih awal
3. Osteoartritis ; terjadi karena adanya kerusakan pada permukaan
sendi sehingga bersifat ireguler yang menyebabkan inkonkruensi
sendi lutut

 Fraktur Kondilus Medialis


Sama seperti fraktur kondilus lateralis tetapi lebih jarang ditemukan

 Fraktur Diafisis Tibia dan atau Fibula


Fraktur diafisis tibia dan fibula lebih sering ditemukan bersama-sama.
Fraktur dapat juga terjadi hanya pada tibia atau fibula saja.
- Mekanisme trauma

36
Fraktur diafisis tibia dan fibula terjadi karena adanya trauma angulasi
yang akan menimbulkan fraktur tipe transversal atau oblik pendek,
sedangkan trauma rotasi akan menimbulkan fraktur tipe spiral. Fraktur
tibia biasanya terjadi pada batas antara 1/3 bagian tengah dan 1/3
bagian distal sedangkan fraktur fibula pada batas 1/3 bagian tengah
dengan 1/3 bagian proksimal, sehingga fraktur tidak terjadi pada
ketinggian yang sama. Tungkai bawah bagian depan sangat sedikit
ditutupi otot sehingga fraktur pada daerah tibia sering bersifat terbuka.
Penyebab utama terjadinya fraktur adalah akibat kecelakaan lalu lintas.
- Gambaran klinis
Ditemukan gejala fraktur berupa pembengkakan, nyeri dan sering
ditemukan penonjolan tulang keluar kulut
- Pemeriksaan radiologis
Dengan pemeriksaan radiologis dapat ditentukan lokasi fraktur, jenis
fraktur, apakah fraktur pada tibia dan fibula atau hanya pada tibia saja
atau fibula saja. Juga dapat ditentukan apakah fraktur bersifat
segmental.
- Pengobatan
1. Konservatif
Pengobatan standar dengan cara konservatif berupa reduksi fraktur
dengan manipulasi tertutup dengan pembiusan umum. Pemasangan
gips sirkuler untuk imobilisasi, dipasang sampai di atas lutut.
Prinsip reposisi:
o Fraktur tertutup
o Ada kontak 70% atau lebih
o Tidak ada angulasi
o Tidak ada rotasi
Apabila ada angulasi, dapat dilakukan koreksi setelah 3 minggu
(union secara fibrosa). Pada fraktur oblik atau spiral imobilisasi
dengan gips biasanya sulit dipertahankan, sehingga mungkin
diperlukan tindakan operasi.

37
Cast bracing adalah teknik pemasangan gips sirkuler dengan
tumpuan pada tendo patella (gips Sarmiento) yang biasanya
dipergunakan setelah pembengkakan mereda atau telah terjadi
union secara fibrosa.
2. Operatif
Terapi operatif dilakukan pada:
o Fraktur terbuka
o Kegagalan dalam terapi konservatif
o Fraktur tidak stabil
o Adanya malunion
Metode pengobatan operatif:
o Pemasangan plate and screw
o Nail intermeduker
o Pemasangan screw semata-mata
o Pemasangan fiksasi eksterna
Indikasi pemasangan fiksasi eksterna pada fraktur tibia:
 Fraktur tibia terbuka grade II dan III terutama apabila
terbuka kerusakan jaringan yang hebat atau hilangnya
fragmen tulang
 Pseudoartrosis yang mengalami infeksi (infected
pseudoarthrosis)
- Komplikasi
1. Infeksi
2. Delayed union atau nonunion
3. Malunion
4. Kerusakan pembuluh darah (sindroma kompartemen anterior)
5. Trauma saraf terutama pada nervous peroneal komunis
6. Gangguan pergerakan sendi pergelangan kaki. Gangguan ini
biasanya disebabkan karena adanya adhesi pada otot-otot tungkai
bawah.

38
 Fraktur Tibia Semata-mata atau Fibula Semata-mata
Fraktur tibia dan fibula semata-mata perlu diwaspadai sebab sering
mengganggu terjadinya union hingga diperlukan osteotomi pada salah satu
tulang.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Aston J. N. Kapita Selekta Traumatologik dan Ortopedik. Jakarta: Penerbit


Buku Kedokteran EGC; 1996. p. 35.
2. Solomon L, et al (eds). Apley’s system of orthopaedics and fractures. 9 th
ed. London: Hodder Arnold; 2010.
3. Chapman MW. Chapman’s orthopaedic surgery. 3rd ed. Boston: Lippincott
Williams&wilkins; 2001. p 756-804.
4. Rasjad C. Pengantar ilmu bedah ortopedi. Jakarta: Yarsif Watampone;
2009. p. 325-6; 355-420.
5. Konowalchuk BK, editor. Tibia shaft fractures [online]. 2012. [cited 2012
Feb 28]. Available from:
http://www.emedicine.medscape.com/article/1249984
6. Salter RB. Textbook of disorders and injuries of the muesculoskeletal
system. USA: Williams & Wilkins; 1999. p. 436-8.
7. Universitas sumatera utara. Fraktur. Available at:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33107/5/Chapter%20I.pdf.
Accessed on January 4th, 2014.
8. Weissleder, R., Wittenberg, J., Harisinghani, Mukesh G., Musculoskeletal
Imaging in Primer of Diagnostic Imaging.4 th Edition. United States:
Mosby Elsevier; 2007.
9. Holmes, Erskin J., A-Z of Emergency Radiology. Cambridge University;
2004.
10. Sjamsuhidat. R., De Jong., Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah.. Edisi 2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran; 2003.

40
41

Anda mungkin juga menyukai