Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

CANAL STENOSIS LUMBAL

A. KONSEP DASAR TEORI

1. Definisi

Stenosis kanal lumbal merupakan penyempitan osteoligamentous kanalis

vertebralis dan atau foramen intervertebralis yang menghasilkan penekanan pada

akar saraf sumsum tulang belakang. Penyempitan kanal tulang belakang atau sisi

kanal yang melindungi saraf sering mengakibatkan penekanan dari akar saraf

sumsum tulang belakang. Saraf menjadi semakin terdesak karena diameter kanal

menjadi lebih sempit. Stenosis tulang belakang lumbal (penyempitan pada ruang

saraf) terjadi akibat penyempitan kanal spinal secara perlahan, mulai dari

gangguan akibat penebalan ligamen kuning, sendi faset yang membesar, dan

diskus yang menonjol. Biasanya seseorang dengan stenosis tulang belakang

memiliki keluhan khas nyeri yang luar biasa pada tungkai atau betis dan

punggung bagian bawah jika berjalan.


2. Anatomi Spinal Canal Stenosis

Vertebra dari berbagai regio berbeda dalam ukuran dan sifat khas lainnya,

vertebra dalam satu daerah pun memiliki sedikit perbedan. Vertebra terdiri dari

corpus vertebra dan arkus vertebra. Corpus vertebra adalah bagian awal yang

memberi kekuatan pada columna vertebralis dan menanggung berat tubuh.

Corpus vertebra, terutama dari vertebra thoracica IV ke caudal, berangsur

bertambah besar supaya dapat memikul beban yang makin berat. Arkus vertebra

adalah bagian dorsal vertebra yang terdiri dari pediculus arcus vertebra dan

lamina arkus vertebra.

Pediculus arcus vertebra adalah taju pendek yang kokoh dan

menghubungkan lengkung pada corpus vertebra, insisura vertebralis merupakan

torehan pada pediculus arcus vertebra. Insisura vertebralis superior dan incisura

vertebralis inferior pada vertebra-vertebra yang bertangga membentuk sebuah

foramen intervetebrale. Pediculus arcus vertebrae menjorok ke arah dorsal untuk


bertemu dengan dua lempeng tulang yang lebar dan gepeng yakni lamina

arcus vertebrae. Arcus vertebrae dan permukaan dorsal corpus vertebrae

membatasi foramen vertebrale. Foramen vertebrale berurutan pada columna

vertebrale yang utuh, membentuk canalis vertebralis yang berisi medulla

spinalis, meningens, jaringan lemak,akar saraf dan pembuluh darah.

Vertebrae lumbalis I-V memiliki ciri khas, corpus vertebrae pejal, jika dilihat

dari cranial berbentuk ginjal, foramen vertebrale berbentuk segitiga, lebih besar

dari daerah servical dan thoracal, prosesus transversus panjang dan ramping,

prosesus accesorius pada permukaan dorsal pangkal setiap prosesus, prosesus

articularis facies superior mengarah ke dorsomedial, facies inferior mengarah ke

ventrolateral, prosesus mamiliaris pada permukaan dorsal setiap prosesus

articularis, prosesus spinosus pendek dan kokoh. Struktur lain yang tidak kalah

penting dan menjadi istimewa adalah sendi lengkung vertebra articulation

zygapophysealis (facet joint), letaknya sangat berdekatan dengan foramen

intervertebrale yang dilalui saraf spinal untuk meninggalkan canalis vertebralis.

Sendi ini adalah sendi sinovial datar antara prosesus articularis (zygoapophysis)

vertebra berdekatan. Sendi ini memungkinkan gerak luncur antara vertebra. Jika

sendi ini mengalami cedera atau terserang penyakit, saraf spinal dapat ikut

terlibat. Gangguan ini dapat mengakibatkan rasa sakit sesuai dengan pola

susunan dermatom, dan kejang pada otot-otot yang berasal dari miotom yang

sesuai.
3. Klasifikasi Spinal Canal Stenosis

Klasifikasi lumbar spinal canal stenosis dapat dibagi berdasarkan etiologi dan

anatomi. Berdasarkan etiologi lumbar spinal canal stenosis dapat dibagi menjadi

stenosis primer dan sekunder. Stenosis primer dibagi menjadi defek kongenital dan

perkembangan.

a. Defek kongenital dibagi menjadi:

1) Disrapismus spinalis

2) Segmentasi vertebra yang mengalami kegagalan

3) Stenosis intermiten (d’Anquin syndrome)

b. Perkembangan dibagi menjadi:

1) Kegagalan pertumbuhan tulang

a) Akondroplasia

b) Morculo disease

c) Osteopetrosis

d) Eksostosis herediter multipel

2) Idiopatik yaitu hipertrofi tulang pada arkus vertebralis.

Stenosis sekunder menurut sifatnya dibagi menjadi (1) Degeneratif yaitu

degeneratif spondilolistesis; (2) Iatrogenik yaitu post-laminektomi, post-artrodesis,

post-disektomi; (3) Akibat kumpulan penyakit yaitu akromegali, paget diseases,

fluorosis, ankylosing spondylitis; (4) Post-fraktur; (5) Penyakit tulang sisitemik; (6)

Tumor baik primer maupun sekunder


4. Etiologi

Penyebab terjadinya spinal canal stenosis, antara lain:

1) Pertumbuhan berlebih pada tulang

2) Ligamentum flavum hipertrofi

3) Prolaps diskus

4) Pertumbuhan berlebihan jaringan lunak dari arthritis

5) Kongenital: kanal spinal yang sempit

6) Usia 50 tahun atau lebih (osteofit atau tonjolan tulang berkaitan dengan

pertambahan usia)

7) Pernah mengalami cedera tulang belakang sebelumnya

5. Patofisiologi

Tiga komponen biokimia utama diskus intervertebralis adalah air, kolagen,

dan proteoglikan sebanyak 90-95% total volume diskus. Kolagen tersusun dalam

lamina, membuat diskus mampu berekstensi dan membuat ikatan intervertebra.

Proteoglikan berperan sebagai komponen hidrodinamik dan elektrostatik dan

mengontrol turgor jaringan dengan mengatur pertukaran cairan pada matriks

diskus. Komponen air memiliki porsi sangat besar pada berat diskus, jumlahnya

bervariasi tergantung beban mekanis yang diberikan pada segment tersebut.

Sejalan dengan pertambahan usia cairan tersebut berkurang, akibatnya nukleus

pulposus mengalami dehidrasi dan kemampuannya mendistribusikan tekanan

berkurang, memicu robekan pada annulus.

Kolagen memberikan kemampuan peregangan pada diskus. Nukleus tersusus

secara eksklusif oleh kolagen tipe-II yang membantu menyediakan level hidrasi

yang lebih tinggi dengan memelihara cairan, membuat nukleus mampu melawan
beban tekan dan deformitas. Annulus terdiri dari kolagen tipe-II dan kolagen

tipe-I dalam jumlah yang sama, namun pada orang yang memasuki usia 50 tahun

atau lebih tua dari 50 tahun kolagen tipe-I meningkat jumlahnya pada diskus.

Proteoglikan pada diskus intervertebralis jumlahnya lebih kecil dibanding

pada sendi kartilago, proteinnya lebih pendek dan jumlah rantai kerarin sulfat

dan kondroitin sulfat yang berbeda. Kemampatan diskus berkaitan dengan

proteoglikan menurun dan sintesisnya juga menurun. Annulus tersusun atas serat

kolagen yang kurang padat dan kurang terorganisasi pada tepi perbatasannya

dengan nukleus dan membentuk jaringan yang renggang dengan nukleus

pulposus.
Patofisiologi nyeri tidak semata-mata diakibatkan oleh kompresi akar saraf

spinalis atau cauda equina, beberapa penelitian menyebutkan bahwa nyeri

diakibatkan oleh klaudikasi neurogenik. Ilarus ada inflamasi dan iritasi pada akar

saraf agar gejala muncul pada ekstremitas bawah. Kompresi pada akar saraf

normal memunculkan gejala paraestesia, defisit sensoris, penurunan motorik,

dan reflek hormonal, tapi nyeri biasanya tidak timbul. Iritasi dan inflamasi bisa

juga terjadi selama pergerakan ekstremitas bawah atau spina saat saraf dipaksa

untuk memanjang dan menyimpang dari posisi istirahatnya.


6. Pathway

Pertumbuhan berlebih pada tulang


Ligamentum flavum hipertrofi
Prolaps diskus
Pertumbuhan berlebihan jaringan lunak dari arthritis
Kongenital: kanal spinal yang sempit
Usia 50 tahun atau lebih
Riwayat cedera tulang belakang

nukleus pulposus mengalami dehidrasi

kemampuannya mendistribusikan tekanan berkurang

memicu robekan pada annulus

kolagen memberikan kemampuan peregangan pada diskus

kolagen tipe-II membantu menyediakan level hidrasi yang lebih tinggi

lama kelamaan nukleus tidak mampu melawan beban

terjadi stenosis pada canal

sintesis proteoglikan semakin menurun

klaudikasi neurogenik

inflamasi ilarus dan iritasi pada akar saraf

gejala muncul pada ekstremitas bawah


nyeri pada tulang belakang kompresi pada akar saraf

NYERI AKUT penurunan sensorik-motorik

gerakan terbatas pada tulang belakang

Ekstremitas bawah ikut mengalami kelemahan/kelumpuhan

HAMBATAN MOBILITAS FISIK

Cemas akan kondisi Terapi konservatif dan operatif

ANSIETAS
Tindakan Operatif Efek pemberian anastesi

port the entry RESIKO CEDERA

RESIKO INFEKSI

Metabolisme meningkat Post operasi

Kompensasi tubuh Efek anastesi hilang


Penekanan Sistem saraf

Suhu meningkat Terasa nyeri pda tulang belakang


Penurunan
Kerja
HIPERTERMI NYERI AKUT
Akumulasi sekret

KETIDAKEFEKTIFAN
BERSIHAN JALAN
NAFAS
7. Manifestasi Klinis

Gejala yang dirasakan tiap pasien berbeda tergantung pola dan distribusi

stenosis. Gejala bisa berhubungan dengan satu akar saraf pada satu level.

Adapun manifestasi kliniknya adalah:

1) Nyeri pinggang bawah

2) Nyeri pada ekstremitas bawah berupa rasa terbakar yang sifatnya timbul,

kesemutan, berat, geli di posterior atau posterolateral tungkai

3) Kelemahan yang menjalar ke ekstremitas bawah memburuk dengan berdiri

lama, beraktivitas atau ekstensi lumbal yang biasanya berkurang pada saat

duduk, berbaring dan posisi fleksi lumbal.

8. Komplikasi

Lumbar stenosis lebih banyak mengenai populasi lanjut usia maka

kemungkinan terjadi komplikasi pasca operasi lebih tinggi daripada orang yang

lebih muda. Selain itu juga lebih banyak penyakit penyerta pada orang lanjut

usia yang akan mempengaruhi proses pemulihan pasca operasi. Komplikasi

dibagi menjadi empat yaitu, infeksi, vaskuler, kardiorespirasi, dan kematian.

Kematian berkolerasi dengan usia dan penyakit komorbid. Peningkatan

resiko komplikasi yang berkaitan dengan fusi meliputi infeksi luka, DVT (Deep

Vein Thrombosis) atau emboli paru, kerusakan saraf. Komplikasi pada graft dan

kegagalan pada instrumen. Komplikasi laminektomi bisa terjadi fraktur pada

facet lumbar dan spondilolistesis postoperatif.


9. Pemeriksaan Penunjang

1) Foto polos x-ray Lumbosacral

Pemeriksaan diibuat dalam posisi AP lateral dan obliq, dengan tampak

gambaran kerucut lumbosacral junction, dan spinal dalam posisi fleksi dan

ekstensi. Pemeriksaan ini diharapkan untuk mendapat informasi

ketidakstabilan segmen maupun deformitas dan kecurigaan pada lumbal

stenosis degeneratif. Misalnya pada keadaan spondilolistesis degeneratif dan

skoliosis degeneratif.

Pasien dengan spondilolistesis degeneratif foto polos posisi

lateral dibuat dengan pasien dalam posisi berbaring dan spina dalam keadaan

fleksi dan ekstensi, bending kanan kiri, bertujuan untuk melihat pergeseran

abnormal pada segmen yang terlibat. Untuk skoliosis degenerative foto polos

AP/lateral dibuat pada plat yang panjang, pasien dalam posisi berdiri,

bertujuan untuk menentukan rentangan kurva S dan keseimbangan antara

bidang coronal dan sagital, karena ketidakseimbangan di tiap segmen

menjadi tujuan terapi operatif.

2) CT Scan

CT Scan untuk mengevaluasi tulang, khususnya di aspek resesus

lateralis.

Selain itu dia bisa juga membedakan mana diskus dan mana ligamentum

flavum dari kantongan tekal (thecal sac). Memberikan visualisasi

abnormalitas facet, abnormalitas diskus lateralis yang mengarahkan

kecurigaan kita kepada lumbar stenosis, serta membedakan stenosis sekunder


akibat fraktur. Harus dilakukan potongan 3 mm dari L3 sampai sambungan

L5-S1. Derajat stenosis sering tidak bisa ditentukan karena tidak bisa melihat

jaringan lunak secara detail.

3) MRI

MRI adalah pemeriksaan standar diagnosis lumbar stenosis dan

perencanaan operasi. Kelebihannya adalah bisa mengakses jumlah segmen

yang terkena, serta mengevaluasi bila ada tumor, infeksi bila dicurigai.

Selain itu bisa membedakan dengan baik kondisi central stenosis dan lateral

stenosis. Bisa mendefinisikan flavopathy, penebalan kapsuler, abnormalitas

sendi facet, osteofit, herniasi diskus atau protrusi. Ada atau tidaknya lemak

epidural, dan kompresi teka dan akar saraf juga bisa dilihat dengan baik.

Potongan sagital juga menyediakan porsi spina yang panjang untuk mencari

kemungkinan tumor metastase ke spinal. Kombinasi potongan axial dan

sagital bisa mengevaluasi secara komplit central canal dan neural foramen.

Namun untuk mengevaluasi resesus lateralis diperlukan pemeriksaan

tambahan myelografi lumbar dikombinasi dengan CT scan tanpa kontras.

10. Pentalaksanaan

1) Terapi konservatif

Terapi konservatif dilakukan apabila gejalanya ringan dan durasinya

pendek selain itu kondisi umum pasien tidak mendukung dilakukan terapi

operatif (misalnya pasien dengan hipertensi atau diabetes melitus). Modalitas

utama meliputi edukasi, penentraman hati, modifikasi aktivitas termasuk


mengurangi mengangkat beban, membengkokan badan, memelintir badan,

latihan fisioterapi harus menghindari hiperekstensi dan tujuannya adalah

untuk menguatkan otot abdominal fleksor untuk memelihara posisi fleksi,

penggunaan lumbar corset-type brace dalam jangka pendek,

analgesik sederhana (misal acetaminofen), NSAIDs, kalsitonin nasal untuk

nyeri sedang, injeksi steroid epidural untuk mengurangi inflamasi, golongan

narkotika bila diperlukan, penggunaan akupuntur dan TENS masih

kontroversi.

Latihan juga sangat penting antara lain bersepeda, treadmill, hidroterapi

misalnya berenang dapat memicu pengeluaran endorphin dan meningkatkan

suplai darah ke elemen saraf, serta membantu memperbaiki fungsi

kardiorespirasi.

2) Terapi operatif

Indikasi operasi adalah gejala neurologis yang bertambah berat, defisit

neurologis yang progresif, ketidakamampuan melakukan aktivitas sehari-hari

dan menyebabkan penurunan kualitas hidup, serta terapi konservatif yang

gagal. Prosedur yang paling standar dilakukan adalah laminektomi

dekompresi. Tindakan operasi bertujuan untuk dekompresi akar saraf dengan

berbagai tekhnik sehingga diharapkan bisa mengurangi gejala pada tungkai

bawah dan bukan untuk mengurangi Low Back Pain (LBP).

Prosedur pembedahan yang sering dikerjakan adalah laminektomi

dekompresi. Standar laminektomi dekompresi adalah membuang lamina dan

ligamentum flavum dari tepi lateral satu resesus lateralis sampai melibatkan
level transversal spina. Semua resesus lateralis yang membuat akar saraf

terperangkap harus didekompresi. Pasien diposisikan dalam posisi pronasi

dengan abdomen bebas, melalui garis tengah tentukan prosesus spinosus.

Untuk mengkonfirmasi level yang kita temukan sudah benar setengah cranial

dari spinosus caudal dan setengah caudal dari cranial prosesus spinosus

dipotong dengan pemotong ganda. Kanal dimasukkan ke dalam garis tengah

dan proses dekompresi secara bertahap diambil dari caudal ke cranial

menggunakan Kerrison rongeurs.

Jika tulang terlalu tebal gunakan osteotome atau drill berkecepatan tinggi.

Dekompresi dibawa lebih ke lateral dari pedicle. Facetotomy dilakukan

dengan osteotome untuk dekompresi akar saraf di resesus lateralis.

Dekompresi komplit saat pulsasi dural sac kembali dan venous refilling akar

saraf terlihat di foramen dan akar saraf kembali mobile. Ruang pada jalan

keluar kanal bisa juga diakses menggunakan kanula tumpul atau bila ada

lebih baik menggunakan umbilical catheter. Laser kanula. Doppler berguna

untuk menilai kembalinya aliran darah ke akar saraf. Diskus harus dibiarkan

intak walaupun bisa menyebabkan penekanan pada akar saraf yang menetap

yang diikuti juga penekanan oleh tulang dan jaringan lunak, karena resiko

terjadinya instabilitas pasca operasi dan pengambilan diskus juga lebih sulit

dikerjakan.

Tekhnik alternatif lain yang bisa dikerjakan adalah laminektomi sudut

dengan reseksi sudut hanya pada porsi anterior aspek lateral lamina,

laminektomi selektif single atau multiple unilateral atau bilateral, dan


laminoplasti lumbar. Multiple laminotomi dikerjakan pada level sendi facet

dengan memotong lebih sedikit pada seperempat sampai setengah facet

dilanjutkan dengan membuang porsi lateral ligementum flavum.

Selective spinal decompression juga dapat dipilh dengan

mempertahankan

struktur garis tengah. Kebanyakan kasus spinal stenosis melibatkan segmen

pergerakan seperti diksus dan sendi facet dan bukan segmen yang kokoh

(corpus vertebrae, pedicle dan lamina). Hal ini membuat kemungkinan

melakukan dekompresi segmen yang mengalami stenosis dengan tetap

mempertahankan struktur arkus vertebrae. Keuntungannya adalah proses

penyembuhan menjadi lebih singkat, mempertahankan ketinggian canal dan

mengurangi insiden back pain post operatif, mengurangi imobilisasi terlalu

lama dan tidak membutuhklan fusi.

Tujuan dilakukan fusi adalah untuk mengkoreksi instabilitas pada

segmen yang dilakukan dekompresi, mengurangi nyeri pada segmen yang

bergerak dan mencegah spondylolisthesis dan scoliosis kedepannya. Indikasi

fusi tergantung pada keadaan pada keadaan spina sebelum dan setelah

dilakukan operasi, bila dekompresi mengakibatkan segmen tersebut menjadi

tidak stabil maka diperlukan fusi dengan intrumentasi, misalnya pada

pengambilan 50% kedua sendi facet atau 100% pada satu sendi facet saja

(facetectomy) dan ligamen longitudinal posterior atau diskus mengalami

kerusakan (discectomy), maka fusi harus dipertimbangkan untuk dikerjakan.

Pada prosedur laminectomy yang deformitasnya stabil dan pada pasien.


LAPORAN PENDAHULUAN KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
CANAL STENOSIS LUMBAL DI RUANG 17
RSUD Dr. SAYFUL ANWAR MALANG

Di Susun Oleh :

Ahmad Saputra
NIM : 19640934

PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS KADIRI
TAHUN 2019
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian Keperawatan

a. Anamnesis

1) Identitas pasien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,

pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam

MRS, nomor register, dan diagnosis medis. Spinal Canal Stenosis

insidensinya meningkat pada usia yang lebih tua terkait dengan

osteoporosis.

b. Keluhan utama

Sering menjadi alasan pasien untuk meminta pertolongan kesehatan adalah

sebagai berikut.

1) Nyeri

Sifat dari nyeri antara lain:

a) lokasi setempat/meluas/menjalar;

b) ada trauma riwayat atau tidak;

c) sejak kapan dan apa sudah mendapat pertolongan;

d) bagaimana sifatnya: pegal/seperti ditusuk-tusuk/rasa panas/ditarik-

tarik, terus-menerus atau hanya waktu bergerak/istirahat dan

seterusnya;

e) apa yang memperberat/mengurangi nyeri;

f) nyeri sepanjang waktu atau pada malam hari;

g) apakah keluhan ini untuk pertama kali atau sering hilang timbul.
2) Kelainan bentuk/pembengkokan tulang belakang saat duduk atau berdiri

3) Kekakuan/kelemahan pada umumnya ektremitas bawah dan area

pinggang

c. Riwayat penyakit sekarang

Pengumpulan data dilakukan untuk menentukan penyebab dari nyeri pada

tulang belakang yang dapat membantu dalam membuat rencana tindakan

terhadap pasien berupa kronologi terjadinya penyakit.

d. Riwayat penyakit dahulu

Pada pengkajian dilakukan untuk menemukan penyebab adanya riwayat

jatuh atau cedera pada tulang belakang. Penyakit-penyakit tertentu seperti

kanker tulang, kongenital: menyempitnya kanal spinal.

e. Riwayat penyakit keluarga

Penyakit keluarga berhubungan dgn penyakit tulang adalah salah satu faktor

predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis sering terjadi

pada beberapa keturunan, dan kanker tulang cenderung diturunkan secara

genetik.

f. Pola-pola fungsi kesehatan

1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat

2) Pola nutrisi dan metabolisme

3) Pola eliminasi

4) Pola aktivitas dan latihan

5) Pola tidur dan istirahat

6) Pola hubungan dan peran


7) Pola persepsi dan konsep diri

8) Pola sensori dan kognitif

9) Pola reproduksi seksual

10) Pola penanggulangan stress

11) Pola tata nilai dan kepercayaan

g. Pemeriksaan fisik

h. Keadaan umum

Meliputi kesadaran, tanda-tanda vital, pemeriksaan secara sitemik, kekakuan

pada ekstremitas bawah dan pinggang.

i. Pemeriksaan lokal

1) Look

Terdapat perubahan asimetris bentuk tulang belakang, fraktur atau cedera

pada tulang belakang.

2) Feel

Terdapat nyeri pada tulang belakang. Hal yang perlu diperhatikan:

a) temperatur setempat yang meningkat;

b) nyeri tekan, bersifat superfisial biasanya disebabkan oleh kerusakan

jaringan lunak yang dalam akibat fraktur tulang;

c) krepitasi;

d) pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi

bagian terkena. Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit

pada bagian ekstremitas dan daerah trauma, temperatur kulit.


3) Move

Setelah melakukan pemeriksaan palpasi, kemudian diteruskan dengan

menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri dan

kelemahan pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar

dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi

dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0

(posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan

apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak.

2. Diagnosa Keperawatan
Post Op:

1) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan efek anastesi

ditandai dengan pasien mengeluhkan sesak dan susah mengeluarkan dahak

(00031)

2) Hipertermia berhubungan dengan proses inflamasi ditandai dengan pasien

mengalami peningkatan suhu diatas 37,5oC dan teraba panas (00007)

3) Nyeri akut berhubungan dengan hipoksia jaringan ditandai dengan adanya

luka bekas operasi di bagian punggung dan pinggang, pasien melaporkan

adanya nyeri dan tampak meringis


3. Intervensi Keperawatan

NO DIAGNOSA TUJUAN DAN KRITERIA INTERVENSI


KEPERAWATAN HASIL
1 Ketidakefektifan NOC : NIC:
bersihan jalan nafas - Respiratory status : Airway Management (3140)
berhubungan ventilation (0403) 1. Kaji kepatenan jalan nafas
dengan efek anastesi klien dan irama pernafasan,
ditandai dengan Kriteria Hasil: suara nafas tambahan tiap 1
pasien mengeluhkan a. Tidak terdapat pernafasan jam sekali
sesak dan susah cuping hidung 2. Observasi tanda-tanda vital
mengeluarkan dahak b. tidak terdapat terutama RR tiap 1 jam
(00031) penggunaan otot bantu sekali
pernafasan intercostalis 3. Posisikan klien semi fowler
c. Tanda-tanda vital 30-45 derajat
RR: 16-20x/menit 4. Kolaborasi dalam pemberian
d. Irama pernafasan reguler terapi O2
e. Ronchi (-) 5. Lakukan suction tiap 8 jam
f. Hipersaliva (-) 6. Berikan nebulizer ventolin
tiap 8 jam

2 Hipertermia NOC: Perawatan demam (3740)


berhubungan Thermoregulasi (0800) 1. Observasi tanda-tanda vital,
dengan proses terutama suhu tiap 1 jam
inflamasi ditandai Kriteria hasil: sekali
dengan pasien a. Suhu tubuh dalam batas 2. Monitor kelembaban
mengalami normal (36,5-37,5 C) membran mukosa, warna
peningkatan suhu b. Tidak terjadi perubahan kulit dan suhu tiap 2 jam
diatas 37,5oC dan warna kulit (tidak sekali
teraba panas kemerahan) 3. Beri air putih 100 ml/ jam
(00007) c. Akral hangat (-) 4. Lakukan oral hygiene
d. Membran mukosa dengan air putih tiap 2 jam
lembab sekali
5. Kolaborasikan pemberian
obat penurun demam
paracetamol
3 Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan NIC:
berhubungan keperawatan selama 3x24 Monitor Tanda Vital (6680)
dengan hipoksia jam nyeri akut teratasi
jaringan ditandai dengan kriteria hasil: 1. Monitor tekanan darah, nadi,
dengan adanya luka suhu dan RR
bekas operasi di NOC Manajemen Nyeri (1400)
bagian punggung 2. Kaji nyeri secara
dan pinggang, 1. Kontrol nyeri (1605) komprehensif (PORST)
pasien melaporkan a. Melaporkan perubahan 3. Observasi petunjuk verbal
adanya nyeri dan gejala nyeri dan nonverbal
tampak meringis b. Melaporkan nyeri yang 4. Posisikan pasien senyaman
terkontrol mungkin
c. Menggunakan tindakan 5. Berikan informasi mengenai
pengurangan nyeri nyeri, penyebab, berapa
2. Tingkat nyeri (2102) lama, dan tindakan yang
a. Ekpresi wajah tidak dapat dilakukan
meringis Terapi relaksasi (6040)
b. Fokus meluas 6. Instruksikan pasien untuk
melakukan tehnik relaksasi
nafas dalam
Manajemen Pengobatan (2300)
7. Kolaborasi pemberian
analgesik
DAFTAR PUSTAKA

Anthony J. Caputy, M.D., Caple A. Spence. 2010. The role of spinal fusion in surgery for
lumbar spinal stenosis: a review. Neurosurg Focus 3 Article 3.

D. Fahy and J. E. 2014. Lumbar spinal stenosis Current Orthopaedics. Nixon Harcourt
Publishers Ltd.

Eberhard Siebert, Harald Prüss, Randolf Klingebiel, et al. 2013. Lumbar spinal stenosis:
syndrome, diagnostics and treatment. Nat. Rev. Neurol.

Franco Postacchini. 2009. Management of Lumbar stenosis. Vol. 78-B, No. 1

Jefferey M. Spivak. 2010. Current Concepts Review - Degenerative Lumbar Spinal


Stenosis. Journal Bone Joint Surg Am.

Joseph D. Fortin, DO, and Michael T. Wheeler. 2014. Imaging in Lumbar Spinal Stenosis Pain
Physician.

Justin F. Fraser, B.A., Russel C. Huang, M.D. 2013. Pathogenesis, presentation, and
treatment of lumbar spinal stenosis associated with coronal or sagittal spinal
deformities. Neurosurg. Focus. Volume 14: article 6.

Keith L. Moore, Anne M R. Agur. 2012. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta:Hipokrates.

McRae, Ronald. 2014. Clinical Orthopaedic examination. Fifth Edition: 151-152.

Steven R. Garfin, Harry N. Herkowitz and Srdjan Mirkovic. Spinal Stenosis.


Journal Bone Joint Surg Am.

Anda mungkin juga menyukai