Anda di halaman 1dari 69

LAPORAN PENDAHULUANlDAN

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA


PASIEN DENGAN KEHILANGAN DAN BERDUKA

Oleh: Sofiyatil Kamilah


NIM:14901.06.19043

PROGRAM PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HAFSHAWATY PESANTREN ZAINUL HASAN

GENGGONG 2019
A. MASALAHUTAMA
Kehilangan dan berduka
B. PROSES TERJADINYA
MASALAH 1.Definisi
a. Kehilangan
Kehilangan (loss) adalah suatu situasi actual maupun potensial yangdapat dialami
individu ketika berpisah dengan sesuatu yang sebelumnyaada, baik sebagian atau
keseluruhan, atau terjadi perubahan dalam hidupsehingga terjadi perasaan kehilangan.
Kehilangan merupakanpengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu selama
rentangkehidupannya. Sejak lahir, individu sudah mengalami kehilangan dancenderung
akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yangberbeda. Setiap individu
akan berekasi terhadap kehilangan. Responsterakhir terhadap kehilangan sangat
dipengaruhi oleh respons individuterhadap kehilangan sebelumnya (Hidayat, 2009 :
243).
b. Berduka
Berduka (grieving) merupakan reaksi emosional terhadap kehilangan.
Hal ini diwujudkan dalam berbagai cara yang unik pada masing–masing orang dan
didasarkan pada pengalaman pribadi, ekspektasibudaya, dan keyakinan spiritual yang
dianutnya (Hidayat, 2009 :244).
2.Penyebab
1)Faktorpredisposisi
Faktor predisposisi yang mempengaruhi rentang respon kehilanganadalah:
1. Faktorgenetik
Individu yang dilahirkan dan dibesarkan didalam keluarga yangmempunyai
riwayatdepresi akan sulit mengembangkan sikapoptimis dalam menghadapi suatu
permasalahan termasuk dalammenghadapi perasaan kehilangan (Hidayat,2009 :246).
2. Kesehatanjasmani
Individu dengan keadaan fisik sehat, pola hidup yang teratur,cenderung mempunyai
kemampuan mengatasi stress yang lebihtinggi dibandingkan dengan individu yang
mengalami gangguanfisik (Prabowo, 2014 : 116).
3. Kesehatanmental
Individu yang mengalami gangguan jiwa terutama yang mempunyairiwayat depresi
yang ditandai dengan perasaan tidak berdayapesimis, selalu dibayangi oleh masa
depan yang suram, biasanyasangat peka dalam menghadapi situasi
kehilangan(Hidayat, 2009 :246).
4. Pengalaman kehilangan dimasalalu
Kehilangan atau perpisahan dengan orang yang berarti pada masakanak – kanakakan
mempengaruhi individu dalam mengatasiperasaan kehilangan pada masadewasa
(Hidayat, 2009 : 246).
5. Strukturkepribadian
Individu dengan konsep yang negative, perasaan rendah diri akanmenyebabkan rasa
percaya diri yang rendah yang tidak objektifterhadap stress yang dihadapi (Prabowo,
2014 : 116).
6. Faktorpresipitasi
Ada beberapa stressor yang dapat menimbulkan perasaan kehilangan.Kehilangan
kasih sayang secara nyata ataupun imajinasi individuseperti: kehilangan sifat
biopsiko-sosial antara lain meliputi :
1) Kehilangankesehatan
2) Kehilangan fungsiseksualitas
3) Kehilangan peran dalamkeluarga
4) Kehilangan posisidimasyarakat
5) Kehilangan harta benda atau orang yangdicintai
6) Kehilangan kewarganegaraan (Prabowo, 2014 :117).
3.Klalsifikasi
a.JenisKehilangan
1) Kehilangan objek eksternal (misalnya kecurian ataukehancuranakibatbencanaalam).
2) Kehilangan lingkungan yang dikenal (misalnya berpindah rumah,dirawatdirumahsakit,
atau berpindahpekerjaan).
3) Kehilangan sesuatu atau seseorang yang berarti (misalnyapekerjaan,kepergiananggota
keluarga dan teman dekat, perawatyang dipercaya, atau binatangpeliharaan).
4) Kehilangan suatu aspek diri (misalnya anggota tubuh dan fungsipsikologis ataufisik).
5) Kehilangan hidup (misalnya kematian anggota keluarga, temandekat, atau diri sendiri)
(Hidayat. 2009 :243).
b.JenisBerduka
Menurut hidayat ( 2009 : 244) berduka dibagi menjadi beberapa antaralain:
1) Berduka normal
Terdiri atas perasaan, perilaku, dan reaksi yang normal terhadapkehilangan.
Misalnya kesedihan, kemarahan, menangis, kesepian,dan menarik diri dariaktivitas
untuk sementara.
2) Berduka antisipatif
Yaitu proses melepaskan diri yang muncul sebelum kehilangan dankematian yang
sesungguhnya terjadi. Misalnya, ketika menerimadiagnosis terminal, seseorang
akan memulai proses perpisahan danmenyelesaikan berbagai urusan di dunia
sebelum ajalnya tiba.
3) Berduka yangrumit
Dialami oleh seseorang yang sulit untuk maju ke tahap berikutnya,
yaitu tahap kedukaan normal. Masa berkabung seolah – olah tidakkunjung berakhir
dan dapat mengancam hubungan orang yangbersangkutan dengan oranglain.
4) Berduka tertutup
Kedukaan akibat kehilangan yang tidak dapat diakui secara terbuka.Contohnya
kehilangan pasangan karena AIDS, anak mengalamikematian orang tua tiri, atau
ibu yang kehilangan anaknyadikandungan atau ketika bersalin.
4.Tanda dangejala
KehilanganMenurut Prabowo (2014 : 117) tanda dan gejala kehilangandiantaranya:
1) Perasaan sedih,menangis
2) Perasaan putus asa, kesepian
3) Mengingkarikehilangan
4) Kesulitan mengekspresikanperasaan
5) Konsentrasimenurun
6) Kemarahan yangberlebihan
7) Tidak berminat dalam berinteraksi dengan oranglain
8) Merenungkan perasaan bersalah secaraberlebihan
9) Reaksi emosional yang lambat
10) Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat
aktivitas (Eko prabowo, 2014 :117).
BerdukaMenurut Dalami (2009) tanda dan gejala berduka diantaranya :
1) Efekfisik
Kelelahan, kehilangan selera, masalah tidur, lemah,berat badan
menurun, sakit kepala, berat badan menurun, sakit kepala,pandangan kabur,
susah bernapas, palpitasi dan kenaikan berat ,susah bernapas.
2) Efekemosi
Mengingkari, bersalah , marah, kebencian, depresi,kesedihan,perasaan gagal,
perasaan gagal, sulit untuk berkonsentrasi, gagaldalam menerima kenyataan,
iritabilita, perhatian terhadap orangyang meninggal.
5.Mekanisme koping
Koping yang sering dipakai individu dengan kehilangan respon antara lain :
Denial, Represi, Intelektualisasi, Regresi, Disosiasi, Supresi dan proyeksi
yang digunakan untuk menghindari intensitas stress yang dirasakan sangat
menyakitkan. Regresi dan disosiasi sering ditemukan pada pasien depresi
yang dalam. Dalam keadaan patologis mekanisme koping tersebut sering
dipakai secara berlebihan dan tidak tepat (Prabowo, 2014 : 117 –118).
1.Denail
Dalam psikologi, terma “denail” artinya penyangkalan dikenakan pada
seseorang yang dengan kuat menyangkal dan menolak serta tak mau
melihat fakta-fakta yang menyakitkan atau tak sejalan dengan
keyakinan, pengharapan, dan pandangan-pandangannya. Denialisme
membuat seorang hidup dalam dunia ilusifnya sendiri, terpangkas dari
kehidupan dan nyaris tidak mampu keluar dari cengkeramannya.
Ketika seseorang hidup dalam denial “backfire effect” atau “efek
bumerang” sangat mungkin terjadi pada dirinya. Orang yang hidup
dalam denial tentu saja sangat ridak berbahagia. Dirinya sendiri tidak
berbahagia, dan juga membuat banyak orang lain tidak berbahagia
(Prabowo, 2014 :118).
2.Represi
Represi merupakan bentuk paling dasar diantara mekanisme lainnya.
Suatu cara pertahanan untuk menyingkirkan dari kesadaran pikiran dan
perasaan yang mengancam. Represi adalah mekanisme yang dipakai
untuk menyembuhkan hal-hal yang kurang baik pada diri kita kea lam
bawah sadar kita. Dengan mekanisme ini kita akan terhindar dari situasi
tanpa kehilangan wibawa kita (Prabowo, 2014 Intelektualisasi

Intelektualisasi adalah pengguna logikadan alasan yang berlebihan untuk


menghindari pengalaman yang menganggu perasaannya. Dengan intelektualisasi,
manusia dapat mengurangi hal-hal yang pengaruhnya tidak menyenangkan,
dan memberikan kesempatan untuk meninjau permasalahan secara objektif
(Prabowo, 2014 :118).
3.Regresi
Yaitu menghadapi stress dengan perilaku, perasaan dan cara berfikir
mundur kembali ke ciri tahap perkembangan sebelumnya (Prabowo,
2014 :118).
4.Disosiasi
Beban emosi dalam suatu keadaan yang menyakitkan diputus atau
diubah. Mekanisme dimana suatu kumpulan proses-proses mentaldipisahkan atau
diasingkan dari kesadaran dengan bekerja secaramerdeka atau otomatis, afek dan
emosi terpisah, dan terlepas dari ide,situasi, objek, misalnya pada selektif amnesia
(Prabowo, 2014 :118).
5.Supresi
Suatu proses yang digolongkan sebagai mekanisme pertahanan
tetapisebenarnya merupakan analog dari represi yang disadari. Perbedaansupresi
dengan represi yaitu pada supresi seseorang secara sadarmenolak pikirannya
keluar alam sadarnya dan memikirkan yang lain.Dengan demikian supresi tidak
begitu berbahaya terhadap kesehatanjiwa, Karena terjadinya dengan sengaja,
sehingga ia mengetahui apayang dibuatnya (Prabowo, 2014 : 118).
6.Penatalaksanaan
Menurut Dalami, dkk (2009) isolasi social termasuk dalam kelompok
penyakit skizofrenia tak tergolongkan maka jenis penatalaksanaan medisyang
bisa dilakukan adalah:
a. Electro Convulsive Therapy(ECT)
Electro Convulsive Therapy (ECT) adalah suatu jenis pengobatan
dimana arus listrik digunakan pada otak dengan menggunakan 2
elektrode yang ditempatkan dibagian temporal kepala (pelipis kiri dan
kanan). Arus tersebut menimbulkan kejang grand mall yang berlangsung
25 – 30 detik dengan tujuan terapeutik. Respon bangkitan listriknya di
otak menyebabkan terjadinya perubahan faal dan
biokimiadalamotak.Tujuan ECT adalah untuk mengembalikan fungsi
mental klien dan untuk meningkatkan ADL klien secara periodic (Prabowo,
2014 :118).
b. Psikoterapi
Membutuhkan waktu yang relative cukup lama dan merupakan bagian
penting dalam proses terapeutik, upaya dalam psikoterapi ini meliputi :
memberikan rasa aman dan tenang, menciptakan lingkungan yang
terapeutik, bersifat empati, menerima pasien apa adanya, memotivasi
pasien untuk dapat mengungkapkan perasaanya secara verbal, bersikap
ramah, sopan dan jujur kepadapasien.
c. Terapiokupasi
Adalah suatu ilmu dan seni untuk mengarahkan pasrtisipasi seseorang
dalam melaksanakan aktivitas atau tugas yang sengaja dipilih dengan
maksud untuk memperbaiki, memperkuat dan meningkatkan harga diri
seseorang. Tujuan terapi okupasi itu sendiri adalah untuk
mengembalikan fungsi penderita semaksimal mungkin, dan kondisi
abnormal ke normal yang dikerahkan pada kecacatan fisik maupun
mental, dengan memberikan aktivitas yang terencana dengan
memperhatikan kondisi penderita sehingga penderita diharapkan dapat
mandiri di dalam keluarga maupun masyarakat (Prabowo, 2014 :118).
Rencana Asuhan Keperawatan
a. Isolasi social Menarik diri
TUJUAN INTERVENSI
Tujuan Umum :
Klien dapat berinteraksi 1. Bina hubungan saling
dengan orang percaya
lain sehingga tidak terjadi dengan menggunakan
halusinasi. prinsip
TUK 1: komunikasi terapeutik
Klien dapat membina a. Sapa klien dengan ramah,
hubungan saling baik
percaya.

verbal maupun non verbal.


b. Perkenalkan diri dengan
sopan.
c. Tanyakan nama lengkap
dan
nama panggilan yang
disukai
klien.
d. Jelaskan tujuan
pertemuan.
e. Jujur dan tepatijanji.
f. Tunjukan sikap empati
dan
menerima klien apa adanya.
g. Beri perhatian pada klien
dan
perhatikan kebutuhan klien.
1. Kaji pengetahuan klien
tentang
perilaku menarik diri dan
tanda –
tandanya.
2. Berikan kesempatan pada
klien
TUK 2 :
untuk mengungkapkan
Klien dapat menyebutkan
perasaan
penyebab
penyebab menarik diri atau
menarik diri.
tidak
mau bergaul.
3. Diskusikan bersama klien
tentang
perilaku menarik diri, tanda
dan
gejala.
4. Berikan pujian terhadap
kemampuan
klien mengungkapkan
perasaannya.
TUK 3 :
Klien dapat menyebutkan 1. Kaji pengetahuan klien
keutungan tentang
berhubungan dengan orang keuntungan dan manfaat
lain dan bergaul
kerugian tidakberhubungan dengan orang lain.
dengan

2. Beri kesempatan pada


klien untuk
mengungkapkan
perasaannya tentang
keuntungan berhubungan
dengan
orang lain.
3. Diskusikan bersama klien
tentang
manfaat berhubungan
orang lain.
dengan orang
lain.
4. Kaji pengetahuan klien
tentang
kerugian bila tidak
berhubungan
dengan orang lain.
5. Diskusikan bersama klien
tentang
kerugian tidak berhubungan
5. Diskusikan jadwal harian
yang dapat
dilakukan bersama klien
dalam

dengan
orang lain.
6. Beri reinforcement positif
terhadap
kemampuan
mengungkapkan
perasaan tentang kerugian
tidak
berhubungan dengan orang
lain.
1. Kaji kemampuan klien
membina
hubungan dengan orang
lain.
2. Dorong dan bantu klien
dengan
TUK 4 : orang lain.
Klien dapat melaksanakan 3. Beri reinforcement
hubungan terhadap
social secara bertahap keberhasilan yang telah
dicapai
dirumah nanti.
4. Bantu klien mengevaluasi
manfaat
berhubungan dengan orang
lain.
mengisi waktuluang.
6.Motivasiklienuntuk
mengikuti kegiatan
kelompok. terapi aktivitas

3. Dengarkan ungkapan
klien

dengan empati
Adakah kontak sering dan singkatsecarabertahap
Tanyakan apa yangdi
dengar

dari halusinasinya.
3. Tanyakan kapan
halusinasinya datang
Tanyakanisi halusinasinya
Bantuklien mengenalhalusinasinya
Jikamenemukan klien sedan
halusinasinya, tanyakan apakah ada suara yang terdengar.
Jika klien menjawabada,
Tujuan khusus 2: klien dapat mengenali halusinasinya

lanjutkan apa yang


dikatakan.

c. Katakan bahwa perawat percaya klien mendengar mendengar suara itu, namun per
tidakmendengarnya(
dengan
nada bersahabat tanpa
menuduh tayumenghakimi)
d. Katakana bahwa klien
lain
juga ada yangseperti klien.
e. Katakan bahwa perawat
akan membantuklien.

6. Diskusikan dengan klien :


a. Situasi yang
menimbulkan
atau tidak menimbulkan
halusinasi
b. Waktu, frekuensi
terjadinya
halusinasi (pagi, siang,sore
dan malam atau jika sendiri,
jengkel atausedih)
7. Diskusikan dengan klien
apa
yang dirasakan jika terjadi
halusinasi (murah/takut,
sedih,
senang) beri kesempatan
mengngkapkan perasaan.
1. Identifikasi bersama klien
tindakan yang biasa di
Tujuan khusus 3: klien dapat
lakukan
mengontrol halusinasinya
bila terjadihalusinasi.
2. Diskusikan manfaatdan
cara
yang digunakan klien, jika
bermanfaat beri pujian.
3. Diskusikan cara baik
memutus
atau mengotrol timbulnya
halusinasi
a. Katakan saya tidak mau
dengar kamu
b. Temui orang lain
(perawat
atau teman atau anggota
keluarga) untuk bercakap
atau mengatakan halusinasi
yang di dengar.

20
i.
perawat menyapa klien jika tampak bicara sendiri , melamun atau kegiatan yang tidak terkontrol

melatihcara halusinasi memutus


secara

bertahap.
5. Beri kesempatan untuk
melakukan cara yang dilatih. Evaluasi hasilnya danberi
pujian jika berhasil.
6. Anjurkan klien mengikuti
terapi
aktifitas kelompok jenis
orientasi realita, atau
stimulasi
persepsi
1. Anjurkan klien untuk
memberi
tahu keluarga jika
mengalami
halusinasi.
Tujuan khusus 4 : klien 2. Diskusikan dengan
dapat keluarga
dukungan dari keluarga (pada saat keluarga
dalam berkunjung
mengontrol halusinasinya atau kunjungan rumah)
a. Gejala halusinasi yang
dialami klien.
b. Carayang dapat di
lakukan
klien dan keluarga untuk

21
halusinasi.
erawat anggota keluarga yang mengalami halusinasi di rumah: beri
jangan

biarkan
bersama, bersama.
sendiri,makan
berpegian

d.beriinformasiwaktu
follow
up atau kapan perlu
mendapat bantuan halusinasi
tidak terkontrol dan resiko
mencederai orang lain
3. diskusikan dengan
keluarga
dank lien tantang jenis,
dosis,
frekuensi dan frekuensi dan
manfaat obat.
4. Pastikan klien minum
obat
sesuai dengan progam
dokter.
1. Anjurkan klien bicara
dengan
dokter tentang manfaat dan
Tujuan khusus 5: klien dapat efek
menggunakan obat dengan samping yang dirasakan.
benar untuk 2. Diskusikan akibat
mengendalikan berhenti obat
halusinasinya tanpa yang dirasakan.
3. Bantu klien menggunakan
obat
dengan prinsip 5 benar
STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN (SP)
PADA KLIEN KEHILANGAN DAN BERDUKA
SP 3: Melatih pasien berinteraksi secara bertahap
(berkenalandenganorangkeduaseorang pasien)
1. ProsesKeperawatan
a. Kondisipasien
b. Diagnosa keperawatan
Isolasi menarik : menarikdiri
c. TujuanKhusus
1) Klien dapat membina hubungan salingpercaya.
2) Klien mampu mengungkapkan perasaan yangdialaminya.
3) Klien dapat berinteraksi dengan diri sendiri dan oranglain.
d. Tindakankeperawatan
1) bina hubungan saling percaya dengan cara menyapa klien dengan
ramah,memperkenalkan diri dengan sopan, menanyakan nama lengkap sertatujuan
pertemuan.
2) Memberikan kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan
perasaannya. Dengarkan dengan penuh perhatian, beri respon, tetapi
tidak bersifatmenghakimi.
3) Memberikan kepada pasien untuk bercerita mengenaimasalahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Azizah, L. M. (2011). Keperawatan Jiwa Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Dalami, E. (2009). Asuhan Keperawatan Jika Dengan Masalah Psikososial.
Jakarta:Trans InfoMedia.
Hidayat, A. A. (2009). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba Medika.
Prabowo, E. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha
Medika.
PROPOSAL KEGIATAN TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK (TAK)
PADA PASIEN BERDUKA

Untuk Memenuhi Tugas


Pendidikan Profesi Departemen Jiwa

Oleh :
Sofiyatil kamilah
(14901.06.19043)

PROFESI NESR SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HAFSHAWATY


PESANTREN ZAINUL HASAN GENGGONG PROBOLINGGO
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LatarBelakang
Kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi sehat emosional, psikologis,
dan social yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku
dan koping yang efektif, konsep diri yang positif, dan kestabilan emosional.
Gangguan jiwa adalah suatu sindrom atau pola psikologis atau perilaku yang
penting secara klinis yang terjadi pada seseorang dan dikaitkan dengan adanya
distress atau disabilitas (yaitu kerusakan pada satu atau lebih area fungsi yang
penting) atau di sertai peningkatan resiko kematian yang menyakitkan, nyeri,
disabilitas, atau sangat kehilangan kebebasan (Videbeck, 2008). Penyebab
terjadinya gangguan jiwa, Biologis: Stresor yang berhubungan dengan respon
neurobiologis, Lingkungan: Ambang toleransi terhadap stres yang ditentukan
secara biologis berinteraksi dengan stresor lingkungan untuk menentukan
gangguan perilaku, Sosial budaya: Stres yang menumpuk dapat menunjang
terjadinya skizorfenia dan gangguan psikotik lain (Stuart,2006).
Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) merupakan terapi modalitas yang
ditujukan pada kelompok klien dengan masalah yang sama, yang dalam hal ini
adalah isolasi sosial. Terapi modalitas ini merupakan terapi yang dikembangkan
pada kelompok klien yang merupakan tanda bahwa asuhan keperawatan jiwa
adalah asuhan keperawatan spesialistik namun tetap holistik.
Terapi aktivitas kelompok merupakan salah satu bentuk kegiatan terapi
psikologik yang dilakukan dalam sebuah aktivitas dan diselenggarakan secara
kolektif dalam rangka pencapaian penyesuaian psikologis, perilaku dan
pencapaian adaptasi optimal pasien. Dalam kegiatan aktivitas kelompok; tujuan
ditetapkan berdasarkan kebutuhan dan masalah yang dihadapi oleh sebagian
besar klien dan sedikit banyak dapat diatasi dengan pendekatan terapi aktivitas
kolektif.
Terapi aktivitas kelompok yang ditujukan untuk masalah dalam interaksi
sosial adalah Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi. Terapi aktivitas kelompok
(TAK) sosialisasi merupakan upaya memfasilitasi kemampuan sosialisasi klien
dengan masalah hubungan sosial. Sehingga klien diharapkan mampu
berinteraksi dan meningkatkan aspek positif dirinya. Berbagai penelitian telah
dilakukan terhadap TAK Sosialisasi, menunjukkan bahwa TAKsosialisasi
memberi dampak pada kemampuan klien dalam bersosialisasi. Sehingga pada
proposal ini kelompok berkeinginan mengajukan TAK sosialisasi untuk klien
dengan Isolasi Sosial sebagai terapi modalitas untuk mengurangi hambatan
interaksi sosial pada klien dengan Menarik Diri di Ruang Kenari.

1.2 Tujuan
Tujuan umum TAKsosialisasi yaitu klien dapat meningkatkan hubungan
sosial dalam kelompok secara bertahap. Sementara, tujuan khususnya adalah:
1. Klien mampu memperkenalkandiri
2. Klien mampu berkenalan dengan anggotakelompok
3. Klien mampu bercakap-cakap dengan anggotakelompok
4. Klien mampu menyampaikan dan membicarakan topikpercakapan
5. Klien mampu menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi
pada oranglain
6. Klien mampu bekerjasama dalam permainan sosialisasikelompok
7. Klien mampu menyampaikan pendapat tentang manfaat kegiatan
TAKS yang telahdilakukan

1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat BagiKlien
 Sebagai cara untuk meningkatkan kemampuan klien dengan
menarik diri untuk berinteraksi dengan orang lain dalam kelompok
secarabertahap
 Sebagai jembatan klien untuk mendapatkan teman dalam
memulaiinteraksi
1.3.2 Manfaat BagiTerapis
 Sebagai upaya untuk memberikan asuhan keperawatan jiwa
secaraholistik
 Sebagai terapi modalitas yang dapat dipilih untuk mengoptimalkan
Strategi Pelaksanaan dalam implementasi rencana tindakan
keperawatanklien
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 IsolasiSosial
2.1.1 Definisi
Manusia adalah makhluk sosial. Untuk mencapai kepuasan dalam
kehidupan harus membina hubungan interpersonal yang positif. Bila dalam
hubungan interpersonal yang dimiliki individu kurang maka seseorang akan
menarik dirinya dari lingkungan sekitar (Stuart dan Sundeen, 1998). Menarik
diri adalah suatu keadaan pasien yang mengalami ketidakmampuan untuk
mengadakan hubungan dengan orang lain atau dengan lingkungan
disekitarnya secara wajar dan hidup pada khayalan sendiri yang tidak
realistik. Pada pasien dengan perilaku menarik diri sering melakukan
kegiatan yang ditujukan untuk mencapai pemuasan diri, dimana pasien
melakukan usaha untuk melindungi diri sehingga ia jadi pasif dan
berkepribadian kaku, pasien menarik diri juga melakukan pembatasan
(isolasi diri), termasuk juga kehidupan emosionalnya, semakin sering pasien
menarik diri, semakin banyak kesulitan yang dialami dalam mengembangkan
hubungan sosial dan emosional dengan orang lain (Nasution,2004).

2.1.2 Karakteristik
Karakteristik pada klien dengan menarik diri adalah sikap yang
diperlihatkan kurang sopan, apatis, ekspresi wajah kurang berseri, afek
tumpul, tidak merawat dan memperhatikan kebersihan diri, komunikasi
verbal menurun atau tidak ada, mengisolasi diri, kurang sadar dengan
lingkungan sekitar, pemasukan makan dan minuman terganggu, aktivitas
menurun, kurang energik (tenaga), harga diri rendah, dan menolak
berhubungan dengan oranglain.
Menurut buku panduan diagnosa keperawatan NANDA (2005), isolasi
sosial memiliki batasan karakteristik meliputi:
Obyektif
a. Tidak ada dukungan dari orang yang penting (keluarga, teman,
kelompok).
b. Perilakubermusuhan.
c. Menarik diri.
d. Tidak komunikatif.
e. Menunjukkan perilaku tidak diterima oleh kelompok kulturaldominan.
f. Mencari kesendirian atau merasa diakui didalam subkultur.
g. Senang dengan pikirannyasendiri.
h. Kontak mata tidakada.
i. Aktivitas tidak sesuai dengan umurperkembangan.
j. Keterbatasan fisik, mental,atau perubahan keadaansejahtera.
k. Sedih, efektumpul.
Subyektif
a. Mengekpresikan perasaankesendirian.
b. Mengekpresikan perasaanpenolakan.
c. Minat tidak sesuai dengan umurperkembangan.
d. Tujuan hidup tidak ada atau tidakadekuat.
e. Tidak mampu memenuhi harapan oranglain.
f. Ekspresi permintaan tidak sesuai dengan umurperkembangan.
g. Perubahan penampilanfisik.
h. Tidak merasa amandimasyarakat.

2.1.3 ProsesKeperawatan
Pengkajian meliputi faktor predisposisi, faktor presipitasi, penilaian
terhadap kecemasan, sumber koping dan mekanisme koping. Pengkajian
meliputi:
a) FaktorPredisposisi
Faktor predisposisi merupakan sifat dasar dan faktor resiko yang akan
mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dibangkitkan oleh individu
dalam menghadapi stresor. Faktor-faktor tersebut dibagi dalam 3 aspek
yaitu biologis, psikologis dan sosial budaya. Berikut penjabaran masing-
masing aspek tersebut meliputi:
 Biologis
Faktor biologis merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya
gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang dapat
mempengaruhi terjadinya gangguan hubungan sosial adalah otak.
Misalnya pada klien skizofrenia yang mengalami masalah dalam
hubungan sosial, memiliki struktur yang abnormal pada otak serta
perubahan ukuran dan bentuk sel-sel dalam limbik dan daerah kortikal
(Fitria, 2009).
 Psikologis
Aspek psikologis yang perlu dikaji adalah Riwayat tahap tumbuh
kembang klien. Pada setiap tahap tumbuh kembang individu terdapat
tugas perkembangan yang harus dipenuhi agar tidak terjadi gangguan
dalam hubungan sosial. Bila tugas perkembangan ini tidak terpenuhi
maka akan menghambat fase perkembangan sosial yang nantinya
akan dapat menimbulkan masalah.
Tahap Perkembangan Tugas
Masa Bayi Menetapkan rasa percaya
Masa Bermain Mengembangkan otonomi dan awal
perilaku mandiri
Masa Prasekolah Belajar menunjukkan inisiatif, rasa
tanggung jawab dan hati nurani
Masa Sekolah Belajar berkompetisi, bekerjasama dan
berkompromi
Masa Praremaja Menjalin hubungan intim dengan
teman sesama jenis kelamin
Masa Remaja Menjadi intim dengan teman lawan
jenis atau bergantung pada orang tua
Masa Dewasa Muda Menjadi saling bergantung antara
orangtua dan teman, mencari
pasangan, menikah dan mempunyai
anak.
Masa Tengah Baya Belajar menerima hasil kehidupan
yang sudah dilalui
Masa Dewasa Tua Berduka karena kehilangan dan
mengembangkan perasaan keterikatan
dengan budaya
Sumber: Stuart & Sundeen (1995)
 SosialBudaya
Isolasi sosial atau menarik diri dari lingkungan sosial merupakan
suatu faktor pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial.
Hal ini disebabkan oleh norma-norma yang salah dan dianut keluarga,
dimana setiap anggota keluarga yang tidak produktif seperti lanjut usia,
berpenyakit kronis atau penyandang cacat akan diasingkan dari
lingkungannya.
Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor
pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Dalam teori
ini yang termasuk masalah dalam berkomunikasi sehingga
menimbulkan ketidakjelasan yaitu suatu keadaan dimana seseorang
anggota keluarga menerima pesan yang saling bertentangan dalam
waktu yang bersamaan atau ekspresi emosi yang tinggi dalam
keluarga yang menghambat untuk berhubungan dengan lingkungan di
luarkeluarga.

b) FaktorPresipitasi
Faktor presipitasi merupakan penyebab langsung yang dapat memicu
munculnya isolasi sosial, dengan rentang maksimal 3 bulan sebelum
masalah kesehatan muncul.
 Sifatstresor
Terdiri dari 4 aspek yaitu biologis, psikologis, sosial dan spiritual.
Isolasi sosial yang bersifat biologis misalnya isolasi sosial yang
diakibatkan adanya gangguan pada otak, misalnya pada klien dengan
skizofrenia. Isolasi sosial yang bersifat psikologis mungkin dapat
muncul akibat adanya gangguan pemenuhan tugas perkembangan
saat ini maupun sebelumnya. Isolasi sosial yang bersifat sosial berarti
ada keterkaitannya dengan hubungan klien dengan teman, keluarga,
dan masyarakat lain. Misalnya pada pasien HIV yang merasa tidak
akan diterima keluarga dan masyarakat, sehingga ia memilih untuk
mengasingkan diri dari lingkungan. Bersifat spritual dapat muncul pada
klien yang merasa Tuhan sedang melupakannya disaat klien mendapat
masalah yang berat (Fitria,2009).
 Asal stresor
o Eksternal : stressor sosialbudaya
o Internal : stressor psikologis, yaitu stress yang terjadi akibat
kecemasan yang berkepanjangan dan terjadi bersamaan dengan
keterbatasan kemampuan individu untuk mengatasinya.Ansietas
ini dapat terjadi akibat tuntutan untuk berpisah dengan orang
terdekat atau terpenuhinya kebutuhan individu.
 Waktu
Yang perlu dikaji antara lain lamanya klien mengalami isolasi
sosial dan frekwensi terjadinya isolasisosial.
 Jumlah
Pengkajian mengenai kuantitas isolasi sosial yang dialami klien
dalam satu periode.

c) Penilaian terhadapStresor
Penilaian stresor merupakan bagian dari pengkajian keperawatan
untuk mengidentifikasi tingkat stres. Komponen dalam penilaian stresor
ada lima, yaitu perilaku, sosial, kognitif, afektif, dan fisiologis.
 Perilaku
o Komunikasi verbal berkurang atau hilangsepenuhnya.
o Kurang sadar terhadap lingkungansekitarnya.
o Penurunanaktifitas.
o Perubahan posturtubuh.
 Sosial
o Menarikdiri
o Menghindar
 Kognitif
o Produktifitas menurun
o Bingung
o Obyektifitas menghilang
 Afektif
o Rendahdiri
o Apatis
 Fisiologis
o Terjadi penurunan reflek dan tidak spontan pada sistem
neuromuskuler.
o Penurunan nafsu makan, kurangnya nutrisi, serta retensi feses
pada sistemgastrointestinal.
o Terjadi retensi urine pada salurankemih.
d) Sumber Koping
Sumber koping dapat berasal dari kemampuan personal, aset
materi, keyakinan positif, dan dukungan sosial. Kemampuan personal
merupakan suatu keterampilan yang dimiliki klien. Aset materi dapat
dilihat dari ada tidaknya modal ekonomi yang dimiliki klien. Keyakinan
positif merupakan teknik pertahanan dan motivasi klien. Ini merupakan
faktor penting yang harus dikaji perawat yang dapat menentukan berhasil
atau tdaknya terapi yang akan diberikan. Yang terakhir adalah adanya
dukungan sosial, dukungan emosional dan bantuan yang didapatkan
untuk penyelesaiantugas.

e) MekanismeKoping
Mekanisme koping yang digunakan klien untuk mengatasi
stressor, baik yang berorientasi pada tugas maupun mekanisme
pertahananego.
 Reaksi yang berorientasi pada tugas (Task Oriented Reaction).
Merupakan pemecahan masalah secara sadar yang digunakan untuk
menanggulangi ancaman stressor yang ada secara realistis, yaitu:
perilaku menyerang, menarik diri dankompromi.
 Mekanisme pertahanan Ego (Ego OrientedReaction)
Mekanisme ini digunakan untuk melindungi diri dan dilakukan secara
sadar atau tidak sadar untuk mempertahankan keseimbangan.
Misalnya rasionalisasi, kompensasi, disosiasi, isolasi dan lain-lain.

2.1.4 DiagnosaKeperawatan
Berdasarkan penilaian stressor pada tahap pengkajian, didapatkan
data objektif dan subjektif mengenai tanda dan gejala yang menunjang
ditegakkannya diagnosa keperawatan sehingga diagnosa keperawatan yang
muncul pada klien Berduka,yaitu dilakukan SP3 berduka tentang
bersosialisasi (Fitria, 2009).
2.1.5 TindakanKeperawatan
1. Tindakan keperawatan untukpasien
a. Tujuan:
Setelah tindakan keperawatan, pasien mampu
1) Menyadari penyebab isolasisosial
2) Berinteraksi dengan oranglain
b. Tindakan:
1) Membantu pasien mengenal penyebab isolasisosial
Langkah-langkah untuk melaksanakan tindakan ini adalah sebagai
berikut:
 Menanyakan pendapat pasien tentang kebiasaan berinteraksi
dengan oranglain
 Menanyakan apa yang menyebabkan pasien tidak ingin
berinteraksi dengan oranglain
2) Membantu pasien mengenal keuntungan berhubungan dengan
oranglain
Dilakukan dengan cara mendiskusikan keuntungan bila pasien
memiliki banyak teman dan bergaul akrab dengan mereka
3) Membantu pasien mengenal kerugian tidak berhubungan dengan
orang
lain
Dilakukan dengan cara:
 Mendiskusikan kerugian bila pasien hanya mengurung diri dan
tidak bergaul dengan oranglain
 Menjelaskan pengaruh isolasi sosial terhadap kesehatan fisik
pasien
4) Membantu pasien untuk berinteraksi dengan orang lain secara
bertahap
Secara rinci tahapan melatih pasien berinteraksi sebagai berikut:
 Beri kesempatan pasien mempraktekkan cara berinteraksi
dengan orang lain yang dilakukan di hadapanperawat
 Mulai membantu pasien berinteraksi dengan satu orang
(pasien, perawat ataukeluarga)
 Bila pasien sudah menunjukkan kemajuan, meningkatkan
jumlah interaksi dengan dua, tiga, empat orang dan
seterusnya.
 Memberi pujian untuk setiap kemajuan interaksi yang telah
dilakukan olehpasien
 Mendengarkan ekspresi perasaan pasien setelah berinteraksi
dengan orang lain. Mungkin pasien akan mengungkapkan
keberhasilan atau kegagalannya. Memberi dorongan terus
menerus agar pasien tetap semangat meningkatkan
interaksinya.
2. Tindakan Keperawatan untukKeluarga
a. Tujuan:
Setelah tindakan keperawatan keluarga mampu merawat pasien
isolasi sosial
b. Tindakan:

Melatih Keluarga Merawat Pasien Isolasi sosial


Tahapan melatih keluarga agar mampu merawat pasien isolasi sosial
di rumah meliputi:
1) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat
pasien
2) Menjelaskantentang:
 Masalah isolasi sosial dan dampaknya padapasien
 Penyebab isolasisosial
 Cara-cara merawat pasien dengan isolasi sosial, antaralain:
- Membina hubungan saling percaya dengan pasien dengan
cara bersikap peduli dan tidak ingkarjanji
- Memberikan semangat dan dorongan kepada pasien untuk
bisa melakukan kegiatan bersama-sama dengan orang lain
yaitu dengan tidak mencela kondisi pasien dan
memberikan pujian yang wajar
- Tidak membiarkan pasien sendiri dirumah
- Membuat rencana atau jadwal bercakap-cakap dengan
pasien
3) Memperagakan cara merawat pasien dengan isolasisosial
4) Membantu keluarga mempraktekkan cara merawat yang telah
dipelajari, mendiskusikan yang dihadapi

2.2 Terapi AktivitasKelompok


a. Definisikelompok
Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan 1 dengan yang
lain, saling bergantung dan mempunyai norma yang sama (stuart dan Laraia,
2001). Anggota kelompok mungkin datang dari berbagai latar belakang yang
harus ditangani sesuai dengan keadaannya, seperti agresif, takut,
kebencian, kompetitif, kesamaan, ketidaksamaan, kesukaan, dan menarik
(Yolam, 1995 dalam stuart dan laraia, 2001). Semua kondisi ini akan
mempengaruhi dinamika kelompok, ketika anggota kelompok memberi dan
menerima umpan balik yang berarti dalam berbagai interaksi yang terjadi
dalamkelompok.
b. Tujuan dan FungsiKelompok
Tujuan kelompok adalah membantu anggotanya berhubungan dengan orang
lain serta mengubah perilaku yang destruktif dan maladaptif. Kekuatan
kelompok ada pada konstribusi dari setiap anggota dan pimpinan dalam
mencapai tujuannya.
Kelompok berfungsi sebagai tempat berbagi pengalaman dan saling
membantu satu sama lain, untuk menemukan cara menyelesaikan masalah.
Kelompok merupakan laboraturium tempat untuk mencoba dan menemukan
hubungan interpersonal yang baik, serta mengembangkan perilaku yang
adaptif. Anggota kelompok merasa dimiliki, diakui, dan dihargai eksistensi
nya oleh anggota kelompok yanglain.
c. Jenis TerapiKelompok
1. Terapikelompok
Terapi kelompok adalah metode pengobatan ketika klien ditemui dalam
rancangan waktu tertentu dengan tenaga yang memenuhi persyaratan
tertentu. Fokus terapi kelompok adalah membuat sadar diri (self-awareness),
peningkatan hubungan interpersonal, membuat perubahan, atau ketiganya.
2. kelompok terapeutik
Kelompok terapeutik membantu mengatasi stress emosi, penyakit fisik krisis,
tumbuh kembang, atau penyesuaian sosial, misalnya, kelompok wanita
hamil yang akan menjadi ibu, individu yang kehilangan,dan penyakit
terminal. Banyak kelompok terapeutik yang dikembangkan menjadi self-help-
group. Tujuan dari kelompok ini adalah sebagai berikut:
a. mencegah masalahkesehatan
b. mendidik dan mengembangkan potensi anggotakelompok
c. mengingatkan kualitas kelompok. Antara anggota kelompok saling
membantu dalam menyelesaikanmasalah.
3. Terapi AktivitasKelompok
Wilson dan Kneisl (1992), menyatakan bahwa TAK adalah manual,
rekreasi, dan teknik kreatif untik menfasilitasi pengalaman seseorang serta
meningkatkan respon sosial dan harga diri. Aktivitas yang digunakan
sebagai erapi didalam kelompok yaitu membaca puisi, seni, musik, menari,
dan literatur. Terapi aktivitas kelompok dibagi menjadi empat, yaitu terapi
aktivitas kelompok stimulasi kognitif/persepsi, terapi aktivitas kelompok
stimulasi sensori, terapi aktivitas kelompok stimulasi realita, dan terpi
aktivitas kelompoksosialisasi.
Terapi aktivitas kelompok stimulasi kognitif/persepsi melatih
mempersepsikan stimulus yang disediakan atau stimulud yang pernah
dialami, diharapkan respon klien terhadap berbagai stimulus dalam
kehidupan menjadi adaptif. Terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori
digunakan sebagai stimulus pada sensori klien. Terapi aktivitas kelompok
orientasi realita melatih klien mengorientasikan pada kenyataan yang ada
disekitar klien. Terapi aktivitas kelompok sosialisasi untuk membantu klien
melakukan sosialisasi dengan individu yang ada disekitar klien.
2.3 Terapi Aktivitas KelompokSosialisasi
Terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) adalah upaya memfasilitasi
kemampuan sosialisasi sejumlah klien dengan masalah hubungan sosial.
Tujuan :
Tujuan umum TAKS yaitu klien dapat meningkatkan hubungan sosial dalam
kelompok secara bertahap. Sementara tujuan khususnya adalah
1. Klien mampu memperkenalkandiri
2. Klien mampu berkenalan dengan anggotakelompok
3. Klien mampu bercakap-cakap dengan anggotakelompok
4. Klien mampu menyampaikan dan membicarakan topicpercakapan
5. Klien mampu menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi pada
oranglain
6. Klien mampu bekerja sama dalam permainan sosialisasikelompok
7. Klien mampu menyampaikan pendapat tentang manfaat kegiatan TAKS
yang telahdilakukan
BAB III
PELAKSANAAN TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK SOSIALISASI

3.1 AKTIVITAS DANINDIKASI


Aktivitas TAK sosialisasi dilakukan tujuh (7) aktivitas yang melatih
kemampuan klien dalam meningkatkan kemampuan klien dalam membina
hubungan sosial secara bertahap dalam 7 sesi. Klien yang mempunyai indikasi
TAK sosialisasi adalah klien dengan gangguan sebagai berikut berikut:
1. Klien menarik diri yang telah mulai melakukan interaksiinterpersonal
2. Klien kerusakan komunikasi verbal yang telah berespon sesuai dengan
stimulus

3.2 TUGAS DANWEWENANG


1. Tugas Leader danCo-Leader
- Memimpin acara; menjelaskan tujuan dan hasil yangdiharapkan.
- Menjelaskan peraturan dan membuat kontrak denganklien
- Memberikan motivasi kepadaklien
- Mengarahkan acara dalam pencapaiantujuan
- Memberikan reinforcemen positif terhadapklien
2. Tugas Fasilitator
- Ikut serta dalam kegiatankelompok
- Memastikan lingkungan dan situasi aman dan kondusif bagiklien
- Menghindarkan klien dari distraksi selama kegiatanberlangsung
- Memberikan stimulus/motivasi pada klien lain untuk berpartisipasiaktif
- Memberikan reinforcemen terhadap keberhasilan klienlainnya
- Membantu melakukan evaluasihasil
3. Tugas Observer
- Mengamati dan mencatat responklien
- Mencatat jalannya aktivitas terapi
- Melakukan evaluasihasil
- Melakukan evaluasi pada organisasi yang telah dibentuk (leader, co
leader, danfasilitator)
4. Tugas Klien
- Mengikuti seluruhkegiatan
- Berperan aktif dalamkegiatan
- Mengikuti prosesevaluasi

3.3 PERATURANKEGIATAN
1. Klien diharapkan mengikuti seluruh acara dari awal hingggaakhir
2. Klien tidak boleh berbicara bila belum diberi kesempatan; perserta tidak
boleh memotong pembicaraan oranglain
3. Klien dilarang meninggalkan ruangan bila acara belum selesai
dilaksanakan
4. Klien yang tidak mematuhi peraturan akan diberi sanksi:
- Peringatanlisan
- Dihukum : Menyanyi, Menari, atauMenggambar
- Diharapkan berdiri dibelakang pemimpin selama limamenit
- Dikeluarkan dariruangan/kelompok

3.4 TEKNIKPELAKSANAAN

Tema : Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi


Sasaran. :klien berduka

A. Tujuan

 Tujuan umum TAKS yaitu klien dapat meningkatkan hubungan


sosial dalam kelompok secarabertahap

 Tujuan instruksional khusus TAK Sosialisasi Sesi 3 adalah klien


mampu bercakap-cakap dengan anggotakelompok
B. Sasaran

 Kooperatif

 Tidak terpasangrestrain

 Sehatjasmani

C. Nama Klien

1.

2.

3.

4.

D. Setting

Terapis dan klienberdiri membentuk lingkaran

E. MAP
L

K K

F F

K K

C
O

Keterangan :
L : Leader
O : Observer
F : Fasilitator
K : Klien
F. Alat

 Bola

 Spidol

 LembarObservasi

G. Metode

Metode yang digunakan adalah permainan lempar bola dengan musik


untuk menentukan giliran untuk melakukan perkenalan diri, dengan
menyebutkan nama, alamat asal dan hobi.

H. Langkah-Langkah Kegiatan

Persiapan:

 Terapis Menyiapkan tempat dan alat untuk kegiatanTAK

 Terapis mengingatkan kontrak klienTAK

 Memberikan dan membantu klien memasang nametag

Orientasi:

a. Salamterapeutik

 Leader mengucapkan salam terapeutik, memulaikegiatan


dengan do‟a

 Leader memperkenalkan seluruh timTerapis

b. Evaluasi/Validasi

 Leader menanyakan perasaan klien saatini

 Leader menanyakan apakah sudah bisa berkenalan


dengan temanlainnya.

c. Kontrak

 Leader menjelaskan tujuankegiatan


 Leader membuat kontrak waktu kegiatan TAK selama 45
menit

 Leader menjelaskan aturan main yaitu:

 Setiap klien harus mengikuti kegiatan TAK dari awal


sampaiakhir

 Jika ada klien yang akan meninggalkan kelompok harus


minta ijin pada pemimpinTAK

d. TahapKerja

 Leader menjelaskan dan memberikan contoh cara


bercakap-cakap dengan anggotakelompok

 Leader mengarahkan fasilitator untuk membantu setiap


klien mencobabercakap-cakap

 Memulai permainan:

a. Menyiapkan 8 buah kursi dengan posisi melingkar


menghadap keluar, Menyalakan musik
menginstruksikan klien untuk berbaris dan mengelilingi
kursi-kursitersebut.

b. Pada saat musik dimatikan, klien harus bergerak cepat


untuk menempati kursi yang disediakan, 2 dari 10
anggota kelompok yang tidak mendapat kusi untuk
diduduki mendapat giliran untuk memperagakan cara
bercakap-cakap.

c. Ulangi a dan b dengan mengurangi dua kursi sampai


semua klien mendapatgiliran

d. Berikan pujian untuk setiap klien yang melakukan


teknik menghardik halusinasi denganbenar

Tahap Terminasi

a. Evaluasi :

 Leader mengemukakan kesimpulan setelah kegiatanselesai


 Leader menanyakan perasaan klien setelah mengikutiTAK

 Leader memberikan pujian atas keberhasilankelompok

b. Rencana Tindak Lanjut:

 Menganjurkan tiap klienuntuk berlatih memperkenalkan diri pada


orang lain di kehidupansehari-hari

 Memasukkan kegiatan memperkenalkan diri ke dalam jadwal harian


klien

c. Kontrak yang akan datang:

 Leader mengakhiri kegiatan dengan membuat kontrak waktu untuk


pertemuanberikutnya

 Leader menutup kegiatan denganberdo‟a

 Leader mengucapkan salam

Evaluasi Sesi 3 : TAKS

Kemampuan Bercakap-Cakap

a. Kemampuan verbal :Bertanya


Nama klien
No Aspek yang dinilai

1. Mengajukan pertanyaan
yang jelas
2. Mengajukan pertanyaan
yang ringkas
3. Mengajukan pertanyaan
yang relevan
4. Mengajukan pertanyaan
yang spontan
Jumlah
b. Kemampuan verbal :Menjawab
Nama klien
No Aspek yang dinilai

1. Menjawab secara jelas


2. Menjawab secara
ringkas
3. Menjawab secara
relevan
4. Menjawab secara
spontan
Jumlah

c. Kemampuannon-verbal
Nama klien
No Aspek yang dinilai

1. Kontak mata
2. Duduk tegak
3. Mengunakan bahasa
tubuh yang sesuai
4. Mengikuti kegiatan dari
awal sampai akhir
Jumlah

Petunjuk :

1. Dibawah judul nama klien, tulis nama panggilanklien.


2. Untuk setiap klien, semua aspekdinilai dengan member tanda (√) jika
ditemukan pada klien dan tanda (-) jika tidak ditemuka
3. Jumlahkan kemampuan yang ditemukan. Jika mendapat nilai 3 atau4,
4. klien mampu, jika ≤2 klien dianggap belummampu
Dokumentasi

Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien saat mengikuti TAKS


pada catatan proses keperawatan tiap klien. Misalnya, nilai kemampuan verbal
bertanya 2, kemampuan verbal menjawab 2, dan kemampuan non verbal 2,
maka catatan keperawatan adalah klien mengikuti TAKS sesi 3, klien belum
mampu bercakap-cakap secara verbal dan non verbal. Dianjurkan latihan diulang
di ruangan (buatjadwal)
DAFTAR PUSTAKA

Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
dan strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP) untuk 7
Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat bagi Program S1 Keperawatan.
Jakarta: SalembaMedika.
FMPKJ. 2009. Isolasi Sosial: Menarik Diri. http://fmpkj-
samarinda.com/2009/01/isolasi-sosial-menarik-diri.html. Diakses tanggal
12 September 2010. Pukul 18.00 WIB.
Ircham, R. 2008. Menarik Diri. http://asuhanjiwa.com/2008/09/menarik-diri.html.
Diakses tanggal 11 Desember 2016 WIB.
Keliat, Budi Anna. Keperawatan Jiwa: Terapi Aktivitas Kelompok. Jakarta: EGC
Nanda. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan. Jakarta: Prima Medika.
Nasution, M.2004. Gangguan Alam Perasaan: Menarik Diri.
http://repository.usu.ac.id/xmlui/handle/123456789/3580. Diakses tanggal
11 Desember 2016 WIB.
Stuart dan Sundeen. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Sutrisno. 2008. Menarik Diri. http://trisnoners.com/2008/02/pojok-jiwa.html.
Diakses tanggal 11 Desember 2016 WIB.
Syahbana, A. 2009. Laporan Pendahuluan
Menarik
Diri.http://therizkikeperawatan.com/2009/03/laporanpendahuluan-
menarik-diri.html. Diakses tanggal 11 Desember 2016WIB.
Available online at www.sciencedirect.com

Procedia Social and Behavioral Sciences 5 (2010) 832–837

WCPCG-2010

Comparing the Effectiveness of Group Movie Therapy (GMT)


Versus Supportive Group Therapy (SGT) for Improvement of
Mental Health in Grieving Adolescent Girls in Tehran
Molaie, A.a*, Abedin, A.b, Heidari, M.c
a
Department of Psychology, Shahid Beheshti University, 1983963113, Evin,
Tehran,Iran bDepartment of Psychology, Shahid Beheshti University, 1983963114,
Evin, Tehran,Iran cDepartment of Psychology, Shahid Beheshti University, 1983963115,
Evin, Tehran,Iran
Received January 12, 2010; revised February 3, 2010; accepted March 6, 2010

Abstract

36 female university students in the city of Tehran, who had lost a close family member in 2008-2009 year,
randomly assigned into a control and two experimental groups. The two experimental groups received twice a week
intervention for eight weeks and then was post tested and once again reassessed in a two-month follow up byGHQ-
28. Mixed ANOVA showed the GMT wasn’t more significant than SGT on improving mental health in post test but
that was in follow up. The GMT was an efficacious and permanent technique among adolescent.
© 2010 Elsevier Ltd. Open access under CC BY-NC-ND license.

Keywords: Group movie therapy, mental health, bereavement, adolescence, supportive group therapy.

1. Introduction

Grief following the death of a loved one is a natural and necessary process with fairly common features amongst
people. This process is accompanied by changes in cognitive, emotional, physical, social, and behavioural
characteristics of the bereaved individual (Khosravi, Akbarzadeh, & Hagian, 1998). Resolution and coming to terms
with bereavement requires cognitive and emotional processing. It also necessitates a cathartic experience of loss to
a point where remembering and speaking about it feels less painful and more pleasurable over time (Khosravi, 1995;
Worden, 1991). Sometimes people lack the necessary skills, ability or opportunity for natural processing of grief
(Khosravi & et al 1998). The advent of industrialization and gravitation towards small families has resulted in an
individualisticlifestyleandinsurmountabledistancesbeingcreatedamongstpeople.Suchadevelopmentprevents

* Azam Molaie Tel.: 009821 44149765; fax: 009821 22431688.


E-mail address: afkhammolaie@yahoo.com.

1877-0428 © 2010 Published by Elsevier Ltd. Open access under CC BY-NC-ND license.
doi:10.1016/j.sbspro.2010.07.194
Molaie, A. et al. / Procedia Social and Behavioral Sciences 5 (2010) 832–837 833

an emotional and natural outpouring and purging of grief. The absence of a loving and protective social network for
the bereaved person increases the difficult and negative side effects of expressions of grief (Qadimi, 1997).
Grief has a long lasting impact on teenagers’ mental health (Khosravi & et al 1998; Harris, 1991; Grollman, 1995;
Gray, 1987). The results of a meta-analysis study indicate that bereaved teenagers are less observed and studied, in
comparison to adults (Balk & Corr, 2001). In reality, sometimes they are referred to as "the forgotten mourners"
(Leighton, 2008).
Bereaved girls show more vulnerability than boys in a number of areas such as intensity in expression of grief,
physical reaction to bereavement, guilt, feeling of rejection (Mahdipur, 2007), depression, anxiety, sleep and
somatic problems (Barlow-Irick, 1997; quoted by Molaie, 2009). Symptoms of distress and anxiety caused by grief
may continue for one to three years (Murphy, 1997). Passage of time and human nature's tendency to forget or bloc
out unpleasant and distressful events, are instrumental in diminishing feelings of loss and grief. However seeking
regular consulting services and therapy are useful and necessary in resolution of the negative emotional and mental
impacts of bereavement (Worden, 1991 quoted by Khosravi,1995).
Teenagers considered opening up to peers and access to a sympathetic listener after experiencing a loss, as the
most helpful means of overcoming their suffering (Gary, 1989). Group therapy with grieving peers is very effective
in treatment of distressed teenagers (Balk & Corr, 2001; Lindeman, 1994; McCallum & Pipper, 1990; Opie, 1992).
Its usefulness can be attributed to a series of potential factors such as emotional catharsis, inter-intra personal
learning, provision of information, self-awareness, existential and altruistic factors, cohesiveness, universality,
enhancement of hope, and corrective reconstruction of family origin's experiences (Yalom,1995).
Among different therapeutic approaches, supportive group therapy (SGT) provides an accommodating
environment in which, by verbalizing and reviewing the story of painful experiences, the emotional process is
implemented. As a result, awareness is provided with regards to the repressed and unexpressed feelings. Through
adoption of role models and feedback from other participants, new coping skills are acquired (Goodkin et al, 2001;
Davis, 1992 quoted by Molaie, 2009). SGT is an effective intervention (Fine, Forth, Gilbert, & Haley, 1991) in
reduction of distress, (Davis, 1992) improvement of mental health in teenagers (Qadimi, 1997), relief of physical
symptoms (Opie, 1992), encouragement of interpersonal exchange, enhancement of self-esteem, increasing life
satisfaction, and coping with the loss (McCallum, 1993; McCallum & Pipper, 1990). To facilitate processing of
anxiety stemming from emotional catharsis related to grief for children and teenagers, the more indirect and non-
confrontational methods such as art (Dalton & Krout, 2005), bibliotherapy (Briggs & Pehrsson, 2008), and
metaphors (Sharp, Smith, & Cole, 2002) may be more effective. The results of a specific study indicate that
bibliotherapy was effective in treatment of somatic symptoms, depression, sleep and eating disorders in bereaved
adults (Briggs & Pehrsson, 2008).
Marrs (1995) in conducting a meta-analysis of 70 bibliotherapy studies covered viewing of videotapes in
hisdefinition of bibliotherapy. He acknowledged the larger impact of an audiovisual medium compared to
bibliotherapyinvolving only reading books. He concluded that movie therapy (MT), a contemporary method and off-
shoot ofbibliotherapy is likely to be a more powerful intervention than bibliotherapy in itself covering only
readingassignments. The novelty of (MT) prevents widespread support and recognition of its effectiveness
(Portadin, 2006).The results of the one month follow up assessment in one empirical study using this approach,
indicated thatbereaved girls showed more significant reduction in experiencing the intensity of grief and its
subscales includingthe feeling of guilt and rejection, as well as somatic reactions, than the control group. Using the
movie "Elina", in
that study also assisted in providing a more tangible meaning of loss (Molaie, 2009).
Allowing for a number of potential uses in the therapeutic process, MT can be utilized as a one-off intervention,
regardless of the therapist’s theoretical orientation (Schneider, 2002). It may also increase therapeutic alliance by
providing a common experience shared by both the therapist and patient(s) (Berg-Cross, Jennings & Baruch, 1990).
Movies are a combination of imagination, symbols, metaphors, music, special effects and dialogue; hence they have
a more powerful effect upon us than any other form of art (Wedding & Boy, 1997). It can be used as a stimulus for
discussion in therapy or as a metaphorical intervention (Sharp and et al, 2002).
According to Mangin, (1999), Aristotle ‘theorized that tragic plays have the capacity to purify the spirit and aid us
in coping with those aspects of life that cannot be reconciled by rational thought’. This approach allows the patient
to distance himself/herself from a problem by providing a relatively non-threatening means of addressing the
problem. Subsequently the move can potentially reduce resistance in the therapyprocess.
834 Molaie, A. et al. / Procedia Social and Behavioral Sciences 5 (2010) 832–837

Sharp and et al (2002) assert, however that MT is more than simply watching a movie. MT is a therapeutic
technique that involves careful selection and assignment of movies for clients to watch, followed by processing of
their experiences during therapy sessions. Among other benefits, this process can provide solutions to problems,
encourage growth, reframe problems and build rapport (Powell, Newgent, & Lee, 2006).
Therefore, it is recommended that characters in the movie be used as the focal point of the discussion in the pursuant
therapy session. Typical questions might include (Hamzeh khan poor, 2006):
Tell me about the characters in the movie. What was the character thinking/feeling? What did the character see as
his or her main problem? How did the character resolve his or her issues? What other solutions might the character
have used? What was his or her relationship to other characters? Who did you like/notlike?
Movie characters can become models of problem-solving behaviour for patients. By watching the movie, clients
gain awareness of alternative coping strategies without having to worry about negative consequences of various
options directly impacting their lives (Newton, 1995 quoted by Sharp and et al, 2002; Schulenbrg, 2003).
There are four processing stages in self-development often identified in the process of MT which are:
identification, emotional catharsis, universalization, and insight (Sharp and et al,2002)
The movies can incite emotions bringing about biological changes in levels of stress hormones and release of
neurotransmitters like endorphin (Portadin, 2006).
Internalized like a co–therapist, the characters and the conveyed message in the movie can remain as a companion
even after the termination of therapy; they help to strengthen clients' ego (Portadin, 2006; quoted by Molaie, 2009).
MT is particularly effective with youth, as movies are a suitable medium in contemporary society and significant
part of the teenage culture in particular (Hebert & Neumeister,2001)
Considering the extensive negative impact of bereavement on teenagers' mental health, an area to which little
attention has been paid by researchers, the use of methods facilitating the cognitive and emotional processing of loss
are indispensible. The goal of the present study is to compare the effectiveness of MT as one of the new and suitable
methods in reaching teens in SGT. According to available literature it is considered as one of the most effective
methods alleviating the sense of grief and loss of bereaved adolescents.

2. Method

The sample comprised of 36 girls (17-19 year old; Mean= 18; SD= 0. 2) selected through purposive sampling.
They were all freshmen at one of Tehran's universities having experienced the loss of one of their immediate
relatives (including parents, siblings and grandparents) during 2008-2009 (length of time since the loss M=11
month, SD= 0.3). Criteria for participation in the study were experience of only one loss, no experience of therapy
since the loss or during implementation of the present study, and not having watched the movie "Elina" (2002)
before and during the research. 14% of subjects in MT, 12% in supportive group and 14% in control group had
suffered the loss of one of their parents. 8% of subjects in MT, 15% supportive therapy group and 14% of control
group suffered the loss of father or grandmother. 8% in the movie therapy group, 5% in supportive group therapy
and 10% in the control group suffered loss of asibling.

2.1. Instruments

1-Demographic Questionnaire: This form was drafted by a researcher aiming at gathering information such as age,
gender, nature of death (expected or sudden), length of time since the passing away, relation with the deceased,
degree of closeness and intimacy and amount of grief suffered. 2-GHQ-28: The 28 item General Health
Questionnaire (Goldberg, 1988) also adopted by the Iranian population was used. It serves as a self-administered
tool for assessment of general mental health and mental distress in four areas of depression, anxiety, somatic
symptoms, and social dysfunction. GHQ-28 asks about the presence of a range of symptoms during the past month
in four relevant areas. Responses are evaluated on 4-point likert scale ranging from 0 ('not at all') to 3 ('much more
than usual'). The higher the score, the lower the well-being reported. Palahang, Nasr, & Shahmohammadi, (1996)
studied reliability and validity of 28-item GHQ in Iran. They obtained 91% Pearson correlation reliability coefficient
of the 28-item for GHQ-28 with the Iranian sample. 3-Movie: "Elina" (2002) was used. It is a story about Elina, a
nine year old girl who lives with her mother and two smaller siblings in a village in northern Sweden in the 1950s.
She misses her dead father and during the course of the movie, she goes from denial to acceptance of theloss.
Molaie, A. et al. / Procedia Social and Behavioral Sciences 5 (2010) 832–837 835

2.2. Procedure

Thirty-six from the original 47 eligible volunteers were randomly selected and subsequently assigned to two
experimental groups and one control group (12 in each). Intervention of both groups was carried out in eight weekly
sessions (twice a week) sessions by two trained group therapists. The techniques used in SGT included facilitation
of subjects' thoughts and feelings, discussions about the process of experiencing grief including denial, anger,
vacillation of emotions, depression, and acceptance of grief. Ample time was spent on remembrance of the deceased
and giving feedback to each other in the group. In GMT after a general introduction of members to each other and
explanation of group processing rules, discussion of grief experience was conducted in parallel with that of the
grieving character in the movie. In the second session, the movie Elina (2002) was shown. In sessions three through
eight, subjects discussed their experiences, thoughts, and feelings of grief alongside their observation and
interpretation of the movie. Subjects completed GHQ-28 once prior to the study, then at the end, and finally after the
two month-follow up. Upon conclusion of the project, MT was also carried out for subjects in the controlgroup.

3. Results

Table 1 displays means and standard deviations for the three groups across the three trials (pre,- post, and two-
month follow-up) for overall GHQ-28 and its subscales.

Table 1: Means (Standard deviations) of GHQ and its subscales at the three trials

SGT(n=12) SGT SGT MT(n=12) MT MT Control(n=12) Control Cont


Variable
Pretest Posttest Follow up Pretest Posttest Follow up Pretest Posttest Follow
Overall GHQ 71.6 (4.4) 37.4 (5.6) 36.2 (3.6) 70.7 (3.4) 37.5 (2.8) 25.7 (4.1) 71(3.4) 66.5 (3.6) 64.5 (
SomaticReaction 15.9 (1.9) 9.5 (3.9) 9.3 (3.8) 15.3 (2.1) 9.25 (1.1) 6 (1.4) 15.9 (1.7) 16 (1.7) 15 (1
Anxiety 19.2 (3.6) 11 (1.3) 9.5 (1.4) 19.5 (1.7) 10.5 (1.4) 7.4 (1.5) 18.8 (2.8) 17 (2.9) 17.4 (
Depression 20.9 (1.3) 9.5 (2.2) 8.7 (1.9) 20 (2.2) 8.2 (1.3) 6.9 (2.2) 20.5 (1.3) 17.5 (1.5) 16.7 (
Social dysfunct 15.5 (2.1) 10.5 (1.2) 8.6 (1.1) 15.9 (1.6) 9.5 (1.7) 5.4 (1.9) 15.7 (1.6) 15.5 (1.6) 14.6 (
Note. The higher the score, the lower the well-being reported.
Table 1 indicates that median scores on overall GHQ-28 and its subscales were more significantly reduced in the
two experimental MT and SGT groups in comparison with the control group over course of time.
Significant differences between the means in the three study groups were tested, using one-way ANOVA and Mixed
ANOVA via SPSS version 16 package. First, a test of one-way ANOVA indicated that there was no statistically
significant difference between three study groups at pre-test, F=0.180, df= 2, p= 0.836.

Table 2 : Results of Mixed ANOVA analysis

Variable Source SS Df MS F Sig.


Group 10655 2 5327 238 0/001
Time 17281 2 8640 613 0/001
GHQ
Time*Group 5761 4 1440 102 0/001
Error(group) 929 33 14
* p≤.01
Results were also analyzed using Mixed ANOVA with one inter-group factor and one repeated-measure factor to
look for differences amongst subjects and groups (table 2).
Because the assumption of spherisity and equality of co-variances (Mauchly 's test, p=0.568) were not violated, no
adjustment was made to the degree of freedom. Results of Mixed ANOVA on overall GHQ-28 indicated that there
was a statistically significant main effect for the treatment groups (between groups), F (2, 33) =238, p=0.000; there
was statistically significant main effect of time (within subjects), F (2, 33) =136.4, p= 0.000; there was significant
interaction treatment groups and time, F (4, 66) =102.2, p= 0.000 (table 2). There was also statistically significant
836 Molaie, A. et al. / Procedia Social and Behavioral Sciences 5 (2010) 832–837

main effects for the treatment groups, time, and interaction treatment groups and time on all GHQ's subscales (p-
values of the Mixed ANOVA ranged between 0.000 and 0.009 which less than 0.01). This means that treatment
groups (MT & SGT) have been significantly more effective than control-waiting list group as far as GHQ-28 and all
its subscales are concerned.
Furthermore, Scheffe's test of pair-wise comparisons revealed no significant differences between the impact of
MT and SGT on overall GHQ-28 at post-test, but at two-month follow-up (D=0.167, df=2, 43, p=0.924; D= -10.50,
df=2, 43, p=0.013 respectively) significant difference were noted. This means that MT has been significantly more
effective and enduring than SGT as far as GHQ-28 and all its subscales at follow up areconcerned.

4. Discussion

Results of current research demonstrates that both Movie Therapy (MT) and Supportive Group Therapy (SGT)
methods of intervention are more significantly effective than the control group on general mental health and all of its
sub-scales (depression, anxiety, somatic reaction and social function). The results of post ad-hoc test indicated that
although MT and SGT in post test did not differ significantly on mental health and all of its sub-scales but MT was
more noticeably effective than SGT at the two-month follow up.
Few researches have been conducted on comparison of the aforementioned therapy methods. The results of this
study are congruent with those of other studies regarding the effects of SGT on improving mental health of grieving
teenagers, relief of somatic signs (Opie, 1992), enhancement of interpersonal relations, and increasing the bereaved
life satisfaction (McCallum, 1993; McCallum & Pipper, 1990).
Resolution of grief and adjustment with loss requires emotional catharsis and expression of thoughts and feelings
related to grief; in other words, grieving requires a cognitive and emotional process.
Along these lines, supportive group therapy provides an opportunity for people to use other group members' support.
Cognitive and emotional problems are processed by verbalizing related experiences, expression of repressed
emotions and gaining awareness over them. New and functional strategies are achieved through emulating models
and receiving feedback from other members (Fine et al, 1991; Qadimi, 1997).
The results of the present project, based on the significant impact of GMT on enhancement of mental health and
all of its sub-scales (depression, anxiety, the somatic reaction and social function) in post test and two month-follow
up is congruent with the results of a study on the effectiveness of movie therapy group. Both result in significant
reduction of intensity of grief experience, somatic signs, feelings of guilt and rejection, as well as assisting in
formulating a meaning of the experienced loss (Moalie,2009).
In Portadin's (2006) opinion movies, by setting off the onslaught of happy and sad emotions, lead to emotional
purging, purification and could reduce stress hormone and increase neuroandrophin. Movie therapy might then be
effective in reduction of somatic reactions and negative emotions like depression and anxiety. Movies as metaphors
create a non-threatening environment in which one may encounter denial and resistance. This can enhance insight
and promote optimal growth (Sharp and et al. 2002; Powell and et al. 2006)
In MT process, drawing similarities between the main movie character and other members in the group is
instrumental in obtaining coping skills with the loss. Watching a movie in a group with similar problems, followed
by group discussion over shared personal experiences and those of the characters in the movie is a pleasant activity
for teenagers, and an effective method in reduction of their isolation as well as improvement of their social skills
(Moalie, 2009).
Movie characters and the story's message can be internalized as a co-therapist accompanying the patient like an
auxiliary ego for a long time after termination of therapy (Portadin, 2006; Schneider, 2002). This could explain the
reason as to why MT demonstrates more enduring effects than SGT. Group therapy's enduring effectiveness
provides more opportunity for insight, formulation of loss coping skills, facilitating further emotional catharsis and
cognitive process, and accelerating the process oflearning.
Considering the demographical control variables used in this research, caution should be used in generalizing the
results. Other samples may be used in the future projects.
Molaie, A. et al. / Procedia Social and Behavioral Sciences 5 (2010) 832–837 837

References

Balk, D. E. & Corr, C. A. (2001). Bereavement during adolescence: A review of research. In M.S., Stroeb, R. O., Hansson, W. Stroeb, & H.
Schut(Ed.),Handbookofbereavementresearch:Consequences,copingandcare.WashingtonDC:AmericanPsychologicalAssociation
Berg-Cross, L., Jennings, P. & Baruch, R. (1990).Cinema therapy: Theory and Application. Psychotherapy in private practice, (8), 135-156
Bierman J., Krieger, A. R. & Leifer, M. (2003). Group Cinema therapy as a treatment Modality for Adolescent. The Haworth press on line
catalog: Article Abstract. 21; 1-15
Briggs, C. A. & Pehrsson D.E. (2008). Use of bibliotherapy in treatment of grief and loss: A Guide to current counseling practice. Adult Span
Journal, Vol (1), 32-42.
Dalton, T. A., Krout, R.E. (2005). Development of the grief process scale through music therapy songwriting with bereaved adolescents. The Arts
in psychotherapy, 32, 131-143.
Davis, J. N. (1992). The effect of support group on grieving individuals’ level of perceived support and stress. Achieves of psychiatric nursing, 6
(1), 35-9.
Fine, S., Forth A., Gilbert, M., Haley, G. (1991): Supportive Short-term group therapy for bereaved adolescent. J Am cad child adolesc
psychiatry. 30(1):29-85.
Gary, R. E. (1987). Adolescent response to the death of parent. Journal of youth and adolescence, 16, 511-525
Gary, R. E. (1989). Adolescent s perception s of social support after the death of a parent. Journal of psychosocial oncology, 7(3), 127-144
Goldberg D, Williams P. (1988).A user's guide to the General Health Questionnaire. Berkshire, UK: NFERNelson;.
Grollman, E. A. (1995). Bereaved children and teens: A support guide for parents and professionals. Beacon press. U.S.A.
Hamzeh khan poor, A. (2006).Cinema therapy, history, Theories & Policies. .Paper presented at the 1st National Congress on Art Therapy in
Iran, 28-30Nov.
Harris, E.S. (1991). Adolescent bereavement following the death of a parent: An exploratory study. Child Psychiatry Hum. Develop. 21 (4), 267-
281.
Hebert, T. P. & Neumiester, K. L. (2001). Guided Viewing of film: A Strategy for counseling gifted teenagers. . Journal of gifted education.
12(4), 224-236.
Khosravi, Z. (1995).Grief psychotherapy. Tehran. Nagshe hasti publication.
Khosravi, Z., Akbarzadeh, N., & Hagian, F. (1998). The Role of Pathological and Normal Grief on Prevalence of Mental Disorders in
Adolescents. Andisheh va raftar Journal, 3(1).
Leighton, Sh. (2008). Bereavement therapy with adolescents: Facilitating a process of spiritual growth. Journal of Child and Adolescent
Psychiatry nursing 21, 24-34.
Lindeman, C. J. (1994). A meta-analysis of estimated effect size for group versus individual controlled treatments. International journal of group
psychotherapy. 36 (2), 171-201.
Mahdipur, S. (2007).Validation and reliability of Persian version of Grief experience questionnaire (GEQ). Master thesis. Department of
Psychology Shahid beheshti University, Tehran.
Mangin, D. (1999) Cinema therapy: How some shrinks are using movies to help their clients cope with life and just feel better? Health and Body
May 27. Accessed August 27, 1999, available at: http:// www.salon.com/health/feature/1999/05/27/. Lm_therapy/print.html.
Marrs, R. W. (1995). A meta- analysis of bibliotherapy studies. American journal of community psychology. 23, 843-70.
McCallum, M. & Pipper, W.E. (1990). A controlled study of effectiveness and patient stability for short-term group therapy for loss.
International journal of group psychotherapy.40 (4), 431-52.
McCallum, M. (1993). Affect and outcome in short-term group therapy for loss. International journal of group psychotherapy. 42 (3): 303-19.
Molaie, A. (2009). Effectiveness of Group Movie Therapy on Reduction of Grief Experience Intensity in Bereaved Adolescent Girls 17-19 Aged
in Tehran. Master thesis. Department of Psychology Shahid beheshti University, Tehran.
Murphy, S.A. (1997). A bereavement intervention for parent following the sudden, violent death of their 12-28 years old children: description and
application to children practice. Canadian journal of nursing research. 29 (4), 51-52.
Opie, N. O. (1992). The effect of bereavement group experience on bereaved children and adolescent s affective and somatic distress. Journal of
child and adolescents psychiatric mental health nursing.5 (1): 20-69.
Palahang H, Nasr M, Shahmohammadi, D. (1996). Epidemiology of mental illness in Kashan city.Andisheh va Raftar Journal; 4(2):19-27.
Portadin, M. A. (2006). The use of popular film in psychotherapy- Is there a “cinema therapy”? Massachusetts school of professional
psychology.
Powell, M. L., Newgent, R. A. & Lee, S. M. (2006). Group Cinema therapy: Using metaphor to enhance adolescent: Self-Esteem. Arts in
psychotherapy 33, 247-253
Qadimi, N. (1997). Effectiveness of Supportive Group Therapy on Improving of Mental Health in Bereaved Adolescent boys in Felestin City of
Hamedan. Master thesis. Rehabilitation and Welfare Sciences University, Tehran.
Sharp, C., Smith, J. V. & Cole, A. (2002) .Cinema therapy: metaphorically promoting therapeutic change. Counseling psychology quarterly,
15(3), 269-278.
Schneider, I. (2002). Cinema and psychotherapy. Journal of encyclopedia of psychotherapy. Vol (1), 401-405.
Schulenberg, S. E. (2003). Psychotherapy and movies: on using films in clinical practice. Journal of contemporary psychotherapy, 33(1),
35- 40.
Wedding, D. & Boyd, M.A. (1997) Movies and mental illness: Using . lms to understand psychopathology. Boston: McGraw-Hill College.
Worden, J. W. (1991). Grief counseling and grief therapy (2thEd).). Hove, UK: Routledge.
Yalom, I. D. (1995). The theory and practice of group psychotherapy. (4thEd.). New York: Basic Books, Inc.

Anda mungkin juga menyukai