SKRIPSI
Disusun oleh:
PUJA PRAMUDITA SARI
G1A115001
i
KARAKTERISTIK GAMBARAN FOTO THORAK PADA PASIEN
DENGAN GEJALA BRONKOPNEUMONIA DI INSTALASI
RADIOLOGI RSUD RADEN MATTAHER JAMBI PADA TAHUN 2018
SKRIPSI
Disusun oleh:
PUJA PRAMUDITA SARI
G1A115001
i
ii
KARAKTERISTIK GAMBARAN FOTO THORAK PADA PASIEN
DENGAN GEJALA BRONKOPNEUMONIA DI INSTALASI
RADIOLOGI RSUD RADEN MATTAHER JAMBI PADA TAHUN 2018
Disusun oleh :
G1A115001
iii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Puja pramudita sari
NIM : G1A115001
Jurusan : Program Studi Kedokteran Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Jambi
Judul Skripsi : Karakteristik gambaran foto thorak pada pasien dengan gejala
bronkopneumonia di Instalasi Radiologi RSUD Raden Mattaher Jambi tahun 2018
iv
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat serta hidayahnya penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul
“Karakteristik Gambaran Foto Thorak Pada Pasien Dengan Gejala
Bronkopneumonia Di Instalasi Radiologi RSUD Raden Mattaher Jambi
Pada tahun 2018 ”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Program Studi Kedokteran Universitas
Jambi.
Selama proses pendidikan dan penulisan proposal ini, penulis banyak
mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, baik berupa arahan, informasi,
bimbingan, serta dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. H. Johni Najwan, S.H., M.H., Ph.D., selaku Rektor Universitas
Negeri Jambi.
2. Dr. dr. Herlambang, Sp.OG., KFM., selaku Dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Negeri Jambi.
3. dr.H.Ali Imran Lubis, SpRad selaku pembimbing substansi yang telah
berkenan untuk meluangkan waktu disela-sela kesibukan beliau untuk
memberikan bimbingan, masukan dan dukungan penuh kepada penulis.
4. dr.Patrick William Gading Sp.KFR, selaku pembimbing metodologi yang
telah berkenan untuk meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan,
masukan dan dukungan penuh kepada penulis.
5. Bunda, Ayah tercinta dan adik-adik tersayang yang telah menjadi sumber
semangat bagi penulis, yang selalu mendo‟akan serta memberikan
dukungan penuh cinta kepada penulis.
6. Sahabat-sahabat COSTAE 2015 yang selalu memberi semangat dan
dukungan selama melewati masa pre-klinik di Fakultas Kedokteran
Universitas Negeri Jambi.
Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, karena itu
v
kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat di harapkan agar
dapat skripsi ini lebih baik dari sebelumnya. Penulis berharap mudah-mudahan
proposal ini dapat diterima dan bermanfaat bagi seluruh pihak. Amin ya rabbal
'alamin.
Penulis
vi
DAFTAR ISI
vii
2.2.3 Menilai film thorak ...............................................................30
2.2.4 Metode Pemeriksaan .............................................................31
2.2.5 Pemeriksaan Rontgen thorak pada Bronkpneumonia ...........32
2.3 Kerangka Teori ................................................................................36
2.4 Kerangka Konsep ............................................................................37
viii
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR TABEL
x
DAFTAR LAMPIRAN
xi
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Puja pramudita sari, lahir di Kerinci, 15 Mei 1997 dari Ayahanda Ikhsanudin Amd
dan Ibunda Hadijah. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara,yaitu
Puna hadiaksa. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN 301
Talang Kemuning kerinci pada tahun 2009, pendidikan sekolah menengah
pertama di MTSn Semerah Kerinci tahun 2012, dan pada tahun 2015 dinyatakan
lulus pendidikan sekolah menengah atas di Man 1 Sungai Penuh. Di tahun yang
sama, penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi Kedokteran Universitas
Jambi.
xii
ABSTRACT
xiii
ABSTRAK
xiv
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1
biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,dapat dijumpai batuk setelah
beberapa hari, pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produkti
kemudian disertai dengan nyeri dada pada waktu menarik napas. 1,4
Diagnosa bronkopneumonia ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan radiologi toraks
merupakan pemeriksaan yang sangat penting untuk mendiagnosa
Bronkopneumonia. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan kelainan sebelum
didapatkan kelainan secara pemeriksaan fisik. Pemeriksaan foto toraks sudah
menjadi acuan utama untuk mengetahui kelainan. Pemeriksaan paru tanpa
pemeriksaan rontgen saat ini di anggap tidak lengkap. Suatu penyakit paru
belum dapat disingkirkan dengan pasti sebelum dilakukan pemeriksaan
radiologik. Adapun gambaran radiologi foto thorak pada pasien
bronkopneumonia berbentuk khas yakni didapatkan bercak-bercak infiltrat
pada satu atau beberapa lobus paru. Yang dapat membedakan dari jenis
penyakit lain seperti pada pneumonia lobaris yang terlihat adanya konsolidasi
pada satu atau beberapa lobus. Pada bronkopneumonia dapat ditandai dengan
gambaran difus merata pada kedua paru, bercak-bercak infiltrat yang dapat
meluas hingga ke perifer paru,disertai dengan peningkatan corakan
peribronkial.5,6
Dari pemaparan latar belakang tersebut, penulis tertarik ingin mengetahui
“Karakteristik gambaran foto thoraks pada pasien dengan gejala
Bronkopneumonia di Instalasi Radiologi RSUD Raden Mattaher Jambi ”
dikarenakan di RSUD Raden Mattaher Jambi cukup banyak penderita yang
diduga bronkopneumonia yang membutuhkan pemeriksaan penunjang yaitu
pemeriksaan foto toraks. Sebagaimana diketahui bahwa foto thorak
merupakan pemeriksaan yang sangat penting, karena dapat menegakkan
diagnosa secara pasti pada pasien bronkopneumonia.
2
dengan gejala bronkopneumonia di Instalasi Radiologi RSUD Raden Mattaher
Jambi”.
3
keterlambatan dan kesalahan dalam penegakan diagnosis
bronkopneumonia.
2. Hasil Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan
dalam evaluasi kerja dibagian radiologi Rumah Sakit Raden mattaher
jambi.
1.4.3 Bagi Peneliti Lain
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu data dasar
informasi dan acuan bagi penelitian selanjutnya.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bronkopneumonia
2.1.1 Anatomi
5
Cavum Nasi :
1. Dari nostril sampai posterior nares atau choana
2. Vestibulum, yaitu ruangan yang melebar di dalam ala nasi
3. Septum nasalis yang terbagi atas ruang kiri dan kanan yang disebut fo
ssa nasalis
4. Choncae terdiri dari tiga lipatan jaringan di dinding lateral fossa nasal
is
5. Meatus merupakan saluran udara sempit yang terletak di antara masin
g-masing choncae. Saluran ini menurbulensi udara yang masuk sehin
gga udara kontak dengan membran mukosa.11
b. Pharynx
Pharynx terletak dibelakang cavum nasi, cavum oris,dan larynx. Pharynx
berbentu seperti corong, dengan bagian atasnya lebar, terletak dibawah cr
anium dan bagian bawahnya yang sempit dilanjutkan sebagai oesophagus
setinggi vertebra cervicalis ke enam.
Pharynx Terbagi menjadi 3 bagian :
1. Nasofaring : Berada di posterior choana sampai dorsal
palatum mole. Terdapat pembukaan dari tuba auditori yang memiliki t
onsil faringeal.
2. Orofaring : Berada di antara palatum mole dan pangkal lidah s
ampai tulang hyoid. Terdapat tonsil palatine dan tonsil lingualis.
3. Laringofaring : Dimulai dari tulang hyoid sampai kartilagocricoid.
11
6
ynx dibentuk oleh beberapa kartilago yaitu :
1. Kartilago epiglottis (superior)
2. Kartilago tiroid (paling besar, dan terdapat struktur yang disebut promine
nsia laryngeal)
3. Kartilago krikoid (menghubungkan antara laring dan trakea)
4. Kartilago arytenoid (berjumlah 2 buah yang terletak di belakang kartilago
tiroid)
5. Kartilago kornikulata (terhubung dengan kartilago arytenoid)
6. Kartilago cuneiforme (berjumlah 2 yang berfungsi menyokong jaringan i
kat lunak di antara epiglottis dan arytenoid).
Dinding Laring:
Dinding interior memiliki dua lipatan pada masing-masing sisinya:
a. Vestibular folds: bagian superior, untuk menutup glottis ketika menelan
b. Vocal cords: penghsil suara.11
b. Trachea
Trachea adalah sebuah tabung cartilaginosa dan membranosa yang dapat b
ergerak. Dimulai sebagai lanjutan larynx dari pinggir bawah cartilago cricoid
a setinggi corpus vertebrae cervicalis VI. Berjalan turun kebawah di garis ten
gah leher. Didalam rongga thorax, trachea berakhir pada carina dengan cara
membelah menjadi bronchous principalis dexter dan sinister setinggi angulus
sterni ( didepan discus antara vertebrae thoracica IV dan V), terletak sedikit a
gak ke kanan dari garis tengah. Pada ekspirasi, bifurcatio trachea naik sekitar
satu vertebra, dan selama inspirasi dalam bifurcatio dapat turun sampai seting
gi vertebra thoracica VI, jaraknya sekitar 3 cm. Pada orang dewasa panjang tr
achea sekitar 11-25 cm dan diameter 2,5 cm. Pada bayi, panjang trachea sekit
ar 4-5 cm dan diameter sekitar 3 mm. Selama pertumbuhan anak-anak, diamet
er trachea bertambah sekitar 1 mm setiap tahunnya.11
7
c. Bronchus
Trachea bercabang dua dibelakang arcus aortae menjadi bronchus pri
ncipalis dexter dan sinister (primer atau utama). Bronchus principalis dex
ter meninggalkan trachea dengan membentuk sudut sebesar 25 derajat de
ngan garis vertikal. Brochus pricipalis sinister meninggalkan trachea den
gan membentuk sudut 45 derajat dengan garis vertikal.11
d. Bronkiolus
Merupakan percabangan dari bronkus tersier kemudian bercabang lagi
menjadi 5 sampai 7 bronkiolus terminalis, tiap bronkiolus terminalis berc
abang 2 atau lebih dan berakhir pada bronkiolus respiratorius. Setiap bro
nkiolus respiratorius bercabang-cabang menjadi duktus alveolaris kemudi
an bercabang lagi menjadi sakus alveolaris dan menjadi alveoli. 11
2.1.2 Fisiologi
Fisiologi paru-paru dan dinding dada adalah struktur yang elastis. Dalam
keadaan normal terdapat lapisan cairan tipis antara paru-paru dan dinding dada
sehingga paru-paru dengan mudah bergeser pada dinding dada. Tekanan pada
ruangan antara paru-paru dan dinding dada berada dibawah atmosfer.12
Fungsi utama paru-paru yaitu untuk pertukaran gas antara darah dan
atmosfer. Pertukaran gas tersebut bertujuan untuk menyediakan oksigen bagi
jaringan dan mengeluarkan karbon dioksida. Kebutuhan oksigen dan karbon
dioksida terus berubahsesuai dengan tingkat aktivitas dan metabolisme
seseorang, tapi penafasan harus tetap dapat memelihara kandungan oksigen dan
karbon dioksida tersebut.12
Udara masuk ke paru-paru melalui sistem berupa pipa yang menyempit
(bronchi dan bronkiolus) yang borcabang di kedua belah paru-paru utama
(trakea), Pipa tersebut berakhir di gelembung-gelembung paru-paru (alveoli)
yang merupakan kantong udara terakhir dimana oksigen dan karbondioksida
dipindahkan dari tempat dari mana darah mengalir. Ada lebih dari 300 juta
8
alveoli di dalam paru-paru manusia bersifat elastis. Ruang udara tersebut
dipelihara dalam keadaan terbuka oleh bahan kimia surfaktan yang dapat
menetralkan kecenderungan alveoli untuk mengempis. 12
Untuk melaksanakan fungsi tersebut, pernafasan dapat dibagi menjadi
empat mekanisme dasar, yaitu:
1. Ventilasi paru, yang berarti masuk dan keluamya udara antara alveoli dan
atmosfer
2. Difusi dari oksigen dan karbon dioksida antara alveoli dan darah
3. Transport dari oksigen dan karbon dioksida dalam darah dan cairan tubuh ke
dan dari sel.
4. Pengaturan ventilasi. 12
pada waktu menarik nafas dalam, maka otot berkontraksi, tetapi pengeluaran
pernafasan dalam proses yang pasif. Ketika diafragma menutup dalam,
penarikan nafas melalui isi rongga dada kembali memperbesar paru-paru dan
dinding badan bergerak hingga diafragma dan tulang dada tutup ke posisi
semula. Aktivitas bernafas merupakan dasar yang meliputi gerak tulang rusuk
saat bemafas dalam dan volume udara bertambah.12
Inspirasi merupakan proses aktif kontraksi otot-otot. Inspirasi menaikan
volume intratoraks. selama bernafas tenang, tekanan intrapleura kira-kira 2,5
mmHg relatif lebih tinggi dari atmosfer. Pada permulaan, inspirasi menurunkan
sampai 6 mmHg dan paru-paru ditarik ke posisi yang lebih mengembang dan
tertanam dalam jalan udara sehingga sedikit negatif dan udara mengalir ke paru-
paru. Pada akhir inspirasi, recoil menarik dada kembali ke posisi ekspirasi
dimana tekanan recoil paru-paru dan dinding dada seimbang. Tekanan dalam
jalan pemafasan seimbang menjadi sedikit positif sehingga udara mengalir ke
luar dari paru-paru.12
Selama pernafasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat
elastisitas dinding dada dan paru-paru. Pada saat otot interkostalis eksternus
relaksasi, dinding dada turun dan lengkung diafragma naik ke atas rongga toraks,
menyebabkan volume toraks berkurang. Pengurangan volume toraks ini
meningkatkan tekanan intrapleura maupun tekanan intrapulmonal. Selisih
9
tekanan antara saluran udara dan atmosfir menjadi terbalik, sehingga udara
mengalir keluar dari paru-paru sampai udara dan tekanan atmosfir menjadi sama
kembali pada akhir ekspirasi.12
Proses setelah ventilasi adalah difusi yaitu,perpindahan oksigen dari alveoli
ke dalam pembuluh darah dan berlaku sebaliknya untuk karbondioksida. Difusi
dapat terjadi dari daerah yang bertekanan tinggi ke tekanan rendah. Ada
beberapa faktor yang berpengaruh pada difusi gas dalam paru yaitu, faktor
membran, faktor darah dan faktor sirkulasi. Selanjutnya adalah proses
transportasi, yaitu perpindahan gas dari paru ke jaringan dan dari jaringan ke
paru dengan bantuan aliran darah.12
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi fungsi paru adalah :
1. Usia kekuatan otot maksimal pada usia 20-40 tahun dan dapat berkurang
sebanyak 20% setelah usia 40 tahun. Selama proses penuan terjadi
penurunan elastisitas alveoli dan penurunan kapasitas paru.
2. Jenis kelamin fungsi ventilasi pada laki-laki lebih tinggi 20-25% dari pada
wanita, karena ukuran anatomi paru laki-laki lebih besar dibandingkan
wanita.
3. Tinggi badan dan berat badan yang memiliki tubuh tinggi dan besar, fungsi
ventilasi parunya lebih tinggi dari pada orang yang bertubuh kecil pendek. 12
2.1.3 Definisi
10
Bronkopneumonia merujuk pada radang paru yang dipusatkan pada
bronkiolus dan menyebabkan produksi eksudat mukopurulen yang mengobstruksi
beberapa jalan napas kecil ini dan menyebabkan konsolidasi bercak pada lobulus
yang berdekatan. Bronkopneumonia biasanya merupakan proses menyeluruh
yang melibatakan banyak lobus paru.3
2.1.4 Epidemiologi
11
2.1.5 Klasifikasi
b.Pembagian etiologis
1. Bakteri : Diplococcus pneumonia, Pneumococcus, Streptococcus
hemolyticus, Bacillusfriedlander, dan Mycobacterium tuberculosis.
2. Virus : Respiratorysyncitial virus, Virus Influenza, Adenovirus, Virus
Sitomegalik
3. Mycoplasma pneumoniae
4. Jamur : Histoplasma capsulatum, Cryptococcus neoformans,
Blastomyces dermatitides, Coccidioides immitis, Aspergilus Species,
Candida albicans.
5. Aspirasi : makanan, kerosen ( bensin,minyak tanah), cairan amnion, dan
benda asing.
6. Pneumonia hipostatik
12
7. Sindrom Loeffler.14
2.1.6 Morfologi
13
anatomik dan radiologik, yang disebut Bronkopneumonia dan pneumonia
lobaris.16
Bronkopneumonia mengisyaratkan distribusi peradangan yang bebercak dan
umumnya mengenai lebih dari satu lobus. Pola ini terjadi akibat infeksi awal di
bronkus dan bronkiolus yang meluas ke alveolus didekatnya. Sebaliknya, pada
pneumonia lobaris rongga udara dari sebagian atau seluruh lobus secara homogen
terisi oleh eksudat yang dapat dilihat pada radiografi sebagai konsolidasi lobular
atau segmental. Streptococcus pneumoniae bertanggung jawab untuk lebih dari
90% pneumonia lobaris. Perbedaan Anatomik antara pneumonia lobaris dan
Bronkopneumonia sering kabur karena Banyak organisme menyebabkan kedua
pola distribusi diatas dan bronkopneumonia konfluen sering sulit dibedakan
secara radiologis dari pneumonia lobaris.16
14
hepatisasi merah, hepatisasi abu-abu, dan resolusi. Terapi antibiotik dini
mengubah atau menghentikan perkembangan ini, sehingga pasien meninggal,
kelainan anatomik yang tampak saat autopsi mungkintidak sesuai dengan stadium
klasik.16
Selama stadium pertama, yaitu stadium kongesti, lobus-lobus yang terkena
menjadi berat, merah, dan sembab. Secara histologis, dapat terlihat kongesti
vaskular, dengan cairan berprotein, beberapa neutrofil, dan banyak bakteri di
alveolus. Dalam beberapa hari, timbul stadium hepatisasi merah, pada stadium
tersebut lobus paru memperlihatkan konsistensi seperti hati, rongga alveolus
dipenuhi oleh neutrofil, sel darah merah, dan fibrin. Dan pleura biasanya
memperlihatkan eksudat fibrinosa atau fibrinopurulen. Pada stadium berikutnya,
Hepatisasi abu-abu, paru menjadi kering, abu-abu, dan padat, karena sel darah
merah mengalami lisis sementara eksudat fibrinosa menetap dalam alveolus.
Resolusi berlangsung pada kasus nonkomplikata, yang eksudatnya didalam
alveolus dicerna secara enzimatis dan diserap atau dibatukkan sehingga arsitektur
paru tetap utuh atau mengalami organisasi, meninggalkan penebalan fibronasa
atau perlekatan permanen.16
Pada pola bronkopneumonia,fokus konsolidasi peradangan terdistribusi
dalam bercak-bercak di satu atau beberapa lobus, terutama dilateral dan basal.
Lesi yang sudah terbentuk sempurna dengan garis tengah 3 atau 4 cm tampak
sedikit meninggi dan berwarna merah abu-abu hingga kuning. Pada kasus parah ,
fokus ini mungkin menyatu menimbulkan gambaran konsolidasi lobar. Substansi
paru tepat disekitar daerah konsolidasi biasanya hiperemik dan edematosa, tetapi
parenkim paru diantara fokus tersebut umumnya normal. Keterlibatan pleura tidak
terlalu jelas dibandingkan dengan pneumonia lobaris. Secara histologis, reaksi
berupa eksudat supuratif fokal yang mengisi bronkus, bronkiolus, dan rongga
alveolus disekitarnya.16
2.1.7 Etiologi
Pada infeksi paru oleh pneumokokus dapat terjadi dua pneumonia yaitu
lobaris dan bronkopneumonia. Yang terakhir jauh lebih prevalen diusia yang
15
eksrem. Apapun distribusi pneumonianya, karena infeksi paru oleh pneumokokus
biasanya berasal dari aspirasi flora faring (20% orang dewasa mengandung S.
Pneumonia di tenggorokan mereka), lobus bawah atau lobus media kanan
merupakan bagian yang paling sering terkena.16
Streptococcus pneumoniae bertanggung jawab untuk lebih dari 90%
pneumonia lobaris dan pneumonia lobularis. Infeksi Streptococcus pneumoniae
biasanya bermanifestasi sebagai bercak-bercak konsolidasi merata diseluruh
lapangan paru (bronkopneumonia).16,17
Pneumococcus merupakan penyebab utama pneumonia.pneumococcus
dengan serotipe 1 sampai 8 menyebabkan pneumonia pada orang dewasa lebih
dari 80%, sedangkan pada anak ditemukan tipe 14, 1, 6 dan 9. Angka kejadian
tertinggi ditemukan pada usia kurang dari 4 tahun dan menggurang dengan
meningkatnya umur, pneumonia lobaris hampir selalu disebabkan oleh
pneumococcus,ditemukan pada orang dewasa dan anak besar,sedangkan
bronkopneumonia lebih sering dijumpai pada anak kecil dan bayi.14
2.1.8 Faktor Resiko
A. Faktor host
1. Usia
Usia merupakan salah satu faktor risiko utama pada beberapa
penyakit. Hal ini disebabkan karena usia dapat memperlihatkan kondisi
kesehatan seseorang. Bronkopneumonia dapat terjadi pada orang dewasa,
anak,bayi dan juga neonatal. Kebanyakan infeksi saluran pernafasan yang
sering mengenai anak ,terutama bayi kurang dari 1 tahum. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa anak pada balita lebih rentan terkena
penyakit bonkopneumonia dibandingkan orang dewasa dikarenakan
kekebalan tubuhnya masih belum sempurna.18
2. Jenis kelamin
16
kelamin merupakan determinan perbedaan kedua yang paling signifikan di
dalam peristiwa kesehatan atau dalam faktor risiko suatu penyakit. 19
Dalam program Pengendalian Infeksi Saluran Nafas Akut (P2
ISPA) dijelaskan bahwa laki-laki adalah faktor risiko yang mempengaruhi
kesakitan pneumonia. Sebuah penelitian membuktikan bahwa anak laki-
laki mempunyai peluang menderita pneumonia 1,46 kali (95% : 0,81-
1,60) dibanding anak perempuan.19
3. Status Gizi
17
Rumah atau tempat tinggal yang buruk (kurang baik) dapat
mendukung terjadinya penularan penyakit dan gangguan kesehatan,
diantaranya adalah infeksi saluran nafas. Rumah kecil yang tidak memiliki
sirkulasi udara memadai yang penuh asap yang berasal dari asap anti
nyamuk bakar, asap rokok, dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk
memasak akan mendukung penyebaran virus atau bakteri, dengan
konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan paru sehingga
akan memudahkan timbulnya Infeksi Saluran Nafas Akut (ISPA). 19
2.1.9 Patogenesis
Infeksi saluran napas bawah yang sering diderita dan berisiko besar pada
anak-anak yaitu pneumonia. Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu
mikroorganisme diparu banyak disebabkan oleh reaksi imunitas dan infalmasi
18
pejamu, selain itu toksin yang dikeluarkan bakteri dapat secara langsung merusak
sel-sel sistem pernapasan bawah termasuk produksi surfaktan sel alveolar tipe II. 20
Pneumonia memiliki empat fase atau stadium yaitu stadium hiperemia,
hepatisasi merah, hepatisasi kelabu, dan resolusi. 20
Stadium satu, hiperemia atau stadium prodromal ( 4-12 jam pertama)
merupakan respon inflamasi awal pada daerah paru yang terinfeksi yang
disebabkan pelepasan histamin dan prostaglandin serta mengaktifkan komplemen.
Ketiga komplemen ini menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan aliran darah ke
area cidera serta memacu terjadinya pemindahan eksudat plasma keruang
interstisial yang kemudian mengakibatka edema antara kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan diantara kapiler dan alveolus menyebabkan penurunan
kecepatan difusi gas dan pada akhirnya menyebabkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin. Pada stadium ini,penyebaran infeksi ke jaringan sekitar terjadi akibat
dari peningkatan aliran darah dan rusaknya alveolus serta memebran kapiler
seiring dengan berlanjutnya proses inflamasi.1
Stadium dua, hepatisasi merah (12-48 jam pertama) merupakan kondisi
ketika alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat, dan fibrin yang dihasilkan
pejamu sebagai bagian dari proses inflamasi. Stadium tiga, Hepatisasi kelabu ( 3-8
hari) terjadi ketika sel-sel darah putih membuat kolonisasi dibagian paru yang
terinfeksi, pada stadium ini endapan fibrin terakumulasi diseluruh daerah ynag
cidera dan terjadi fagositosis sel debris. Stadium empat, Resolusi (8-11 hari)
merupakan periode ketika respon imun dan inflamasi mereda, sel fibrin,
debris,dan bakteri telah berhasil dicerna, makrofak, dan sel pembersih pada reaksi
inflamasi yang mendominasi.1
Penderita pneumonia biasanya mengalami gangguan pada proses ventilasi
yang disebabkan karena penurunan volume paru akibat langsung dari kelainan
parenkim paru. Untuk mengatasi gangguan ventilasi akibat penurunan parenkim
paru maka tubuh akan berusaha mengkompensasi dengan cara meningkatkan
volume tidal dan frekuensi napas sehingga secara klinis tetlihat takipnea dan
dispnea dengan tanda inspiratory effort.3
2.1.11 Manifestasi klinis
19
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas
selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-400 C dan
mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnue,
pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di
sekitar hidung dan mulut. Kadang-kadang disertai muntah dan diare. Batuk
biasanya tidak ditemukan pada permulaan penyakit, mungkin terdapat batuk
setelah beberapa hari, pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi
produktif. Pada stadium permulaan sukar dibuat diagnosis dengan pemeriksaan
fisik, tetapi dengan adanya nafas cepat dan dangkal, pernapasan cuping hidung,
harus dipikirkan kemungkinan pneumonia.14
Pada Bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luas
yang terkena. Pada perkusi toraks sering tidak ditemukan kelainan.Pada auskultasi
mungkin hanya terdengar ronki basah nyaring halus atau sedang. Bila sarang
bronkopneumonia menjadi satu (konfluens) mungkin pada perkusi terdengar
keredupan dan suara pernafasan pada aukultasi terdengar menegeras.Pada stadium
resolusi, ronki terdengar lagi. Tanpa pengobatan biasanya penyembuhan dapat
terjadi sesudah 2-3 minggu. 14
Gambaran klinik juga tercermin pula dalam stadium, masing masing
karakteristik sendiri-sendiri sesuai dengan perubahan-perubahan patologis yang
terjadi dalam bagian paru yang sedang sakit.19
1. Stadium Prodromal
Pada mulanya keluhan yang dikemukakan penderita tidak banyak
bedanya dengan infeksi saluran pernapasan bagian atas maupun bagian
bawah. Adanya tanda-tanda infeksi akut (panas badan yang cenderung
semakin tinggi,letargi,nyeri otot-otot,menghilang nafsu makan,dsb).yang
hanya sedikit atau bahkan sulit sekali untuk dibatukkan keluar. Stadium ini
berlangsung selama kurang lebih 1 minggu.19
Pemeriksaan fisik tidak akan memberikan banyak petunjuk, paling-
paling hanya dapat ditemukan sedikit ronki basah halus dibagian paru
yang terserang.19
2. Stadium Hepatisasi
20
Pada stadium ini keadaan penderita semakin parah, sehingga jelas
tampak sakit berat dengan panas yang tinggi ( 39 0C atau lebih),
menggigill, disertai dengan sesak napas serta pernapasan cuping hidung.
Penderita juga mengeluh tentang nyeri dada yang cukup parah disisi yang
sakit,sehingga akan memaksa penderita untuk tidur miring di sisi yang
sehat. Batuknya pun semakin parah tetapi dahak praktis tidak ada sama
sekali, tetapi mengjelang akhir minggu kedua, pada beberapa penderita
akan mengalami batuk parah.19
Pada pemeriksaan fisik, thoraks yang sakit tampak jelas tertinggal
pada pernapasan, juga sisi yang sakit ini menunjukkan fremitus suara yang
meningkat serta pada perkusi akan terdengar redup. Sedangkan pada
auskultasi akan terdengar suara napas bronkeal tanpa disertai ronki.19
Tidak jarang penderita mengalami pula dehidrasi yang cukup parah
dengan akibat-akibat sekundernya. Hal ini diakibatkan panas yang tinggi
di satu pihak serta dipihak yang lainnya ialah berkurang nafsu makan dan
minum penderita yang memang sedang sakit parah. 19
Kebanyakan penderita akan meniggal dalam stadium ini bila tidak
didapatkan pengobatan semestinya.19
3. Stadium Resolusi
Bila penderita dapat melewati stadium hepatisasi dengan selamat,
maka mulai minggu ke-3 dari sejak mulai sakit penderita akan mulai
berasa agak enak, panasnya mulai menurun, batuknya semakin longgar
dengan dahak yang semakin mudah untuk dibatukkan keluar. Sesaknya
praktis sudah hilang, nyeri dadanya juga berangsur-angsur mulai mereda
untuk akhirnya menghilang sama sekali.19
Pada pemeriksaan fisik kondisi penderita sudah agak membaik,
kelainan-kelainan yang tadinya ditemukan pada inspeksi, palpasi dan
perkusi secara berangsur-angsur menghilang. Sebaiknya pada asukultasi
mula-mula akan dapat didengar ronki basah kasar dibagian paru yang
sakit, tetapi setelah dahak sebagian sudah berhasil dibatukkan ke luar
ronki basah yang terdengar hanyalah yang halus saja, inipun tidak lama
21
lagi akan hilang sendiri. Kesembuhan sempurna tercapai pada akhir
minggu ketiga.19
22
hepatosik. Sebagai respon infeksi atau inflannasi jaringan, produksi C-
reaktive Protein (CRP) secara cepat distimulasi oleh sitokin terutama
interleukin (IL) -6, IL-1, dan tumor necrosis faktor (TNF). Meski fungsi
pastinya belum diketahui, C-reaktive Protein (CRP) sangat mungkin berperan
dalam opsonisas mikroorganisme atau sel yang rusak.17
Secara klinis C-reaktive Protein akan sebagai alat diagnostik untuk
membedakan antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri,
atau infeksi bakteri superfisialis dan profunda. Kadar C-reaktive Protein
biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri superfisialis dan
profunda. C-reaktive protein kadang-kadang digunakan untuk evaluasi
respons terapi antibiotik. Suatu penelitian yang dilaporkan bahwa C-reaktive
Protein cukup sensitif tidak hanya untuk diagnosis empiema torasis, tapi juga
untuk memantau respon pengobatan. Dari 38 kasus emplema yang diselidiki,
ternyata sebelum pengobatan semua kasus memiliki C-reaktive Protein yang
tinggi. Dengan pengobatan antibiotik, kadar C-reaktifveProtein turun secara
pasti pada hari pertama pengobatan. Hanya empat pasien yang C-reaktive
Protein nya tidak kembali normal pada saat pulang dari RS. Meski demikian,
secara umum C-reaktive Protein belum terbukti secara konklusif dapat
membedakan antara virus dan bakteri.17
d. Uji serologis
Uji serologik untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi
bakteri tipik memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Akan tetapi,
diagnosis infeksi streptokokus grup A dapat dikonfirmasi dengan peningkatan
titer antibodi seperti antistreptolisin O, streptozim, atau antiDnase B.
Peningkatan titer dapat juga berarti adanya infeksi terdahulu. Untuk
konfirmasi diperlukan serum fase akut dan serum fase konvalesen (paired
sera).17
Secara umum, uji scrologis tidak terlalu bermanfaat dalam
mendiagnosis infeksi bakteri tipik. Akan tetapi, untuk mendeteksi infeksi
bakteri atipik seperti Mikoplasma dan Klamidia, serta beberapa virus seperti
RS, Sitomegalo, campak, Parainfluenza 1,2,3, serta A dan B, dan Adeno,
23
peningkatan antibodi IGM dan IgG dapat mengkonfirmasi diagnosis. 17
e. Pemeriksaan mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologi untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin
dilakukan pada pneumonia berat yang dirawat di RS. Untuk pemeriksaan
mikrobiologis spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring,
bilasan bronkus, darahfungsi pleura, atau aspirasi paru.17
Diagnosis dikatakan definitif bila kuman ditemukan dari darah, cairan
pleura, atau aspirasi paru. Kecuali pada neonatus, kejadian bakteremia sangat
rendah sehingga kultur darah jarang yang positif. Pada pneumonia anak
dilaporkan hanya 10-30% ditemukan bakteri pada kultur darah. Pada anak
besar dan remaja, spesimen untuk pemeriksaan mikrobiologi dapat berasal
dari sputum, baik untuk pewarnaan Gram maupun untuk kultur. Spesinen
yang memenuhi syarat adalah sputum yang mengandung lebih dari 25
leukosit dan kurang dari 40 sel epitel/lapangan pada pemeriksaan
mikroskopis dengan pembesaran keci Spesimen dari nasofaring untuk kultur
maupun mendeteksi antigen bakteri kurang bermanfaat karena tingginya
prevalens kolonisasi bakteri di nasofaring.17
Kultur darah jarang positif pada infeksi mikoplasma dan klanidia, oleh
karena itu tidak rutin dianjurkan. Pemeriksaan PCR membutuhkan
laboratorium yang canggih di samping tidak selalu cersedia, hasil Polimerase
Chain Reaction (PCR) positif pun didak selalu menunjukkan diagnosa pasti. 17
2.1.13 Diagnosis
24
retraksi, ronki, dan suara napas melemah.17
Bronkopneumonia ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Gejala klinis tersebut
antara lain :
1. Demam tinggi, Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-400C kadang
dapat disertai kejang akibat demam yang tinggi.
2. Adanya pernapasan yang cepat dan pernapasan cuping hidung.
3. Biasanya didahului infeksi traktus respiratorius bagian atas selama beberpa
hari.
4. Adanya retraksi epigastrik interkostal, suprasternal.
5. Batuk, biasanya tidak pada permulaan penyakit, mungkin terdapat batuk ,
beberapa hari yang mula-mula kering kemudian produktif.
6. Pada auskultasi ditemukan ronkhi basah halus nyaring.
7. Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan adanya leukositosis dengan
predominan PMN.
8. Pada pemeriksaan rontgen thorak ditemukan adanya infitrat. 29,30
Akibat tinggi angka morbiditas dan mortalitas pneumonia maka dalam upaya
penanggulangannya, WHO pengembangan pedoman diagnosis dan tatalaksana
yang sederhana. Pedoman ini terutama ditujukan untuk Kesehatan Primer, dan
sebagai pendidikan kesehatan untuk masyarakat di negara berkembang. tujuannya
ialah menyederhanakan kriteria diagnosis berdasarkan gejala klinis yang dapat
25
langsung dideteksi,menetapkan klasifikasi penyakit, dan menentukan dasar
pemakaian antibiotik. Gejala klinis sederhana itu napas cepat, sesak napas, dan
berbagai tanda bahaya agar anak segera dirujuk ke pelayanan kesehatan. Napas
cepat menilai dengan menghitung frekuensi napas selama satu menit.Sesak napas
dinilai dengan melihat adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam saat
menarik napas (retraksi epigastrium).17
2.1.15 Komplikasi
Pada era sebelum ada antibiotik, angka mortalitas pada bayi dan anak
kecil berkisar dari 20% sampai 50% dan pada anak yang lebih tua dari 3% sampai
5%.
Dengan pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat
diturunkansampai kurang dari 1%, anak dalam keadaan malnutrisi energi protein
dan yang datang terlambat menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi. 13
2.2 Radiologi
26
2.2.1 Pembuatan gambar thorak
27
Gambar.2.3 Sinar x thorak Normal27
28
Beberapa hal yang harus di perhatian yang berhubungan dengan radiologi
thorak normal yaitu : 27
a. Lapangan Paru
Arteri intrapulmonal menyebar dari hilus pulmonal dan semakin
mengecil menuju perifer memberikan sebagian besar gambaran paru,
dengan komponen yang lebih kecil dari vena pulmonalis. Paru kanan
terbagi menjadi tiga lobus: lobus atas, lobus tengah yang kecil, dan lobus
bawah. Paru kiri memiliki dua lobus, bagian atas (termasuk lingula) dan
bagian bawah.27
b. Bayangan hilus
Secara dominan oleh arteri pulmonalis, hilus kiri lebih kecil dan
sedikit lebih tinggi lagi hilus kanan. 27
c. Fisura horizontal
Sebuah bayangan „garis rambut‟ warna putih yang memisahkan
lobus kanan atas dan tengah dan kanan meluas sampai hilus kanan: fisura
ini tidak selalu terlihat.27
d. Bayangan jantung
Atrium kanan terlihat sedikit di sebelah kanan tulang belakang
torakal. Batas inferior oleh ventrikel kanan dan batas kiri oleh ventrikel
kiri.27
e. Trakea
Trakea Berada pada garis tengah dengan bifurkasio setinggi T6.
Trakea pria galami deviasi sedikit ke kanan setinggi tonjolan aorta. 27
f. Diafragma
Diafragma kanan biasanya lebih tinggi sisi sisi kiri, walau kadang-
kadang bisa terjadi sebaliknya.27
29
ujung medial dari klavicula).27
Periksa sinar-X dada secara sistematis untuk memastikan semua
daerah dada tercakup, tulang dan jaringan paling baik ditinggalkan di
bagian akhir. Tetap saja rutin dengan latihan mungkin saja untuk menilai
langsung pada kelainan dan gambaran kelainannya lebih dahulu. 27
Pada paru Lakukan pemindaian pada kedua paru, mulai dari bagian
apeks dan terus ke bawah sama penampakan setiap zona dengan sisi
lainnya. (Paru dapat dibagi kira-kira menjadi tiga zona: atas, tengah, dan
bawah. Satu-satunya bayangan yang terlihat normal, selain fisura, pastilah
berasal dari vaskular, sehingga konsentasilah untuk mencari bayangan
homogen pada tiap area atau lesi massa. mudah untuk menjelaskan suatu
opasitas di dalam suatu zona dan kemudian menentukan lobus paru. 27
30
2.2.4 Metode Pemeriksaan
a. Pendahuluan
Sebelum melakukan tindakan, tentukan cara melakukan pemeriksaan ini,
karena ia akan sangat mempengaruhi apa yang akan dilihat dan apa dapat
dipercayai.22
b. Keadaan pasien
(1) Tegak atau terlentang
(2) Posterior (PA) atau Anteroposterio (AP), PA adalah singkatan
radiologi untuk sorotan sinar-X yang melewati tubuh dari posterior
ke anterior. Dinding dada anterior pasien menghadap ke film.
(3) Inspirasi atau ekspirasi
(4) Lurus atau berputar
(5) Bergerak22
c. Menganalisis film
Teliti dengan cermat setiap daerah yang didapat, tetapi jangan hanya
memandang secara aktif cari hal-hal spesifik yang dapat diketahui yang
terdapat didaerah tersebut, pemeriksaan suatu sinar-x yang normal dan
kita dapat memriksa abnormlitas pada semua daerah tersebut. 22
31
bronkogram udara). Konsolidasi dapat menetap,seringkali setelah gejala-
gejala pasien membaik.17
Pada Bronkopneumonia menyebabkan daerah konsolidasi multifokal
bilateral. Bilateral Bronchopneumonia terlihat densitas berupa bercak-bercak
yang difus diseluruh paru. Bronchopneumonia bisa bilateral,tetapi bisa juga
hanya terbatas pada satu bagian paru saja. Yang bisa disebabkan oleh
berbagai jenis infeksi.5
32
Gambar 2.7 Bronkopneumonia : Konsolidasi bercak bilateral. 24
33
Gambar 2.9 . Bronkopneumonia destruktif yang berat.5
34
2.3 Kerangka Teori
Infeksi
Gejala Bronkopneumonia
ISPA
Sesak nafas
STADIUM Pernapasan
HEPATISASI Cuping Hidung
Nyeri dada
Bronkopneumonia
36
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu
hingga dianggap mewakili populasi penelitian. Sampel pada penelitian ini yaitu
seluruh pasien dengan gejala bronkopneumonia yang melakukan foto thorak di
Instalasi Radiologi RSUD Raden Mattaher Jambi dan memenuhi kriteria inklusi
pada saat penelitian. Cara pengambilan besar sampel yang digunakan yaitu
dengan menggunakan rumus “Stanley Lameshow”
n=
37
37
= 41
Keterangan
n = besar sampel
Zα = nilai sebaran normal baku 1,28 dengan taraf kepercayaan 90%
P = proporsi kejadian (0,5)
Q = 1-P = 0,5
d = presisi (10%)
Berdasarkan rumus tersebut, maka besar sampel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah 41 orang. Untuk menghindari drop out ditambah sampel 10%
dari populasi, menjadi 41 + 4 = 45 orang.
3.3.3 Kriteria Inklusi dan Ekslusi
3.3.3.1 Kriteria Inklusi
1. Pasien dengan hasil anemnesis memiliki gejala bronkopenumonia dan
telah didiagnosis oleh dokter sebagai suspek bronkopneumonia yang
melakukan foto toraks pada saat penelitian berlangsung di RSUD Raden
Mattaher Jambi.
2. Bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.
38
3.4 Defenisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
Variabel Definisi Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional Ukur
Karakteristik ditandai dengan Dengan a. Terdapat. Nominal
Gambaran foto thorak gambaran difus menggunak b. Tidak
pasien merata pada an lembar terdapat.
bronkopneumonia. kedua paru, Observasi
berupa bercak -
bercak infiltrat
yang dapat
meluas hingga
daerah perifer
paru, disertai
dengan
peningkatan
corakan
peribronkial.
Pasien Gejala Dengan
Bronkopneumonia menggunak
1. Demam Demam tinggi, an lembar
Suhu dapat naik Observasi
secara mendadak
sampai 39-400C.
39
kering maupun
batuk produktif.
.
5. Sianosis Terdapatnya
sianosis atau
kebiruan di
sekitar mulut atau
hidung
40
gambaran dokter corakan
bronkopneumonia spesialis bronkovaskular
pada pemeriksaan radiologi. baik
foto thorak. 3.infiltrat dan
konsolidasi serta
corakan
bronkovaskular
meningkat.
Lokasi Lesi Lokasi lesi pada Observasi 1. Perihiler dan
pasien dengan langsung parakardial
gejala hasil foto 2.Suprahiler
bronkopneumonia thorak yang 3.Perihiler
yang memiliki dilihat 4.Perikardial
gambaran dokter 5.Parakardial
bronkopneumonia spesialis
pada pemeriksaan radiologi.
foto thorak.
41
yang memiliki Observasi
gambaran
bronkopneumonia
pada pemeriksaan
foto thorak.
42
yang sudah di-entry, apakah ada kesalahan atau tidak.
3.6.2 Analisis data
Informed consent
43
Responden melakukan foto rongen thorak di Instalasi Radiologi RSUD Raden Mattaher Jambi
Pembacaan Hasil foto rongen thorak oleh spesialis Radiologi di RSUD Raden Mattaher Jambi
Analisis
Pengolahan data
Kesimpulan
44
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil penelitian
Penelitian ini mengenai karakteristik gambaran foto thorak pada pasien
dengan gejala bronkopneumonia di RSUD Raden Mattaher Jambi telah dilakukan
pada juli 2018 hingga september 2018. Data diambil dengan melakukan
wawancara sesuai lembar observasi pada pasien dengan gejala bronkopneumonia
di bagian Radiologi RSUD Raden Matthaer Jambi. Tahap selanjutnya membaca
hasil foto thorak pada pasien dengan gejala bronkopneumonia sesuai dengan
kriteria inklusi dan ekslusi. Dari hasil observasi tersebut didapatkan sebanyak 45
pasien dengan gejala bronkopneumonia dari juli hingga september 2018.
4.1.1 Karakteristik pasien dengan gejala bronkopneumonia di RSUD Raden
Mattaher Jambi berdasarkan Jenis Kelamin.
Berdasarkan hasil penelitian gambaran foto rongent thorak pada pasien
dengan gejala bronkopneumonia berdasarkan jenis kelamin pada 45 subjek
penelitian dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 4.1 Distribusi Subjek Penelitian berdasarkan Jenis Jelamin.
Jenis kelamin Jumlah (orang) Persentase (%)
Laki-laki 25 55,6
Perempuan 20 44,4
Total 45 100
Dari tabel 4.1 didapatkan bahwa Jenis kelamin subjek penelitian pada
pasien dengan gejala bronkopneumonia di Instalasi Radiologi RSUD Raden
Mattaher jambi pada penelitian ini banyak terjadi pada laki-laki sebanyak 25
subjek penelitian dengan persentase 55,6 % yang diikuti perempuan sebanyak 20
subjek penelitian (44,4%).
4.1.2 Karakteristik pasien dengan gejala bronkopneumonia di RSUD Raden
Mattaher Jambi berdasarkan Umur.
Berdasarkan hasil penelitian gambaran foto thorak pada pasien dengan
gejala bronkopneumonia berdasarkan umur pada 45 subjek penelitian dapat dilihat
45
45
pada tabel dibawah ini.
Tabel 4.2 Distribusi Subjek penelitian berdasarkan umur.
Umur (Tahun) Jumlah (orang) Persentase (%)
Neonatus (0 – 4 minggu) 1 2,2
Bayi (1 – 24 bulan) 14 31,1
Balita (2 – 4 tahun) 3 6,7
Anak (5 – 12 tahun) 2 4,4
Remaja (13 – 25 tahun) 0 0
Dewasa (26 – 45 tahun) 5 11,1
Lansia (46 – 65 tahun) 13 28,9
Manula ( >65 tahun ) 7 15,6
Total 45 100
Dari tabel 4.2 didapatkan bahwa umur subjek penelitian pada pasien gejala
bronkopneumonia pada penelitian ini paling banyak pada bayi ( 1- 24 bulan)
sebanyak 14 orang dengan persentase 31,1 % dari keseluruhan subjek penelitian.
Diikuti subjek penelitian dengan kategori Lansia (46-65 tahun) sebanyak 13 orang
(28,9%), selanjutnya subjek penelitian kategori manula ( >65 tahun) sebanyak 7
orang (15,6%), subjek penelitian dengan kategori dewasa (26-45 tahun)
sebanyak 5 orang (11,1%), subjek penelitian dengan kategori Balita (2-4 tahun)
sebanyak 3 orang (6,7%), subjek penelitian dengan kategori anak(5-12 tahun)
sebanyak 2 orang (4,4%), dan subjek penelitian dengan kategori neonatus(0-4
minggu) sebanyak 1 orang (2,2%).
46
Gejala Jumlah(orang) Persentase (%)
Demam 21 46,7
Batuk 40 88,9
Sesak nafas 42 93,3
Nyeri dada 24 53,3
Sianosis 10 22,2
Pernapasan Cuping hidung 9 20,0
Dari tabel 4.3 didapatkan bahwa gejala klinis yang terbanyak dari subjek
penelitian pada pasien dengan gejala bronkopneumonia di Instalasi Radiologi
RSUD Raden Mattaher jambi pada penelitian ini adalah gejala klinis sesak nafas
sebanyak 42 orang (93,3%) dari 45 subjek penelitian, kemudian diikuti dengan
gejala klinis Batuk sebanyak 40 orang (88,9%), gejala klinis nyeri dada sebanyak
24 orang (53,3%), gejala klinis demam sebanyak 21 orang (46,7 %), gejala klinis
sianosis sebanyak 10 orang (22,2 %), dan gejala klinis pernapasan cuping hidung
sebanyak 9 orang (20,0 %).
4.1.4 Karakteristik pasien dengan gejala bronkopneumonia di RSUD Raden
Mattaher Jambi berdasarkan Bentuk Lesi .
Berdasarkan hasil penelitian gambaran foto rongent thorak pada pasien
dengan gejala bronkopneumonia berdasarkan Bentuk Lesi pada 45 subjek
penelitian dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
47
Dari tabel 4.4 didapatkan bahwa Bentuk Lesi subjek penelitian pada
pasien gejala bronkopneumonia pada penelitian ini paling banyak dengan bentuk
infitrat dan corakan bronkovaskular meningkat sebanyak 33 subjek penelitian
dengan persentase 73,3 %, diikuti dengan bentuk lesi infitrat dan corakan
bronkovaskular baik sebanyak 9 subjek penelitian ( 20,0 %), dan paling sedikit
yaitu pada subjek penelitian dengan bentuk lesi infiltrat dan konsolidasi serta
corakan bronkovaskular meningkat sebanyak 3 subjek penelitian ( 6,7%).
4.1.5 Karakteristik pasien dengan gejala bronkopneumonia di RSUD Raden
Mattaher Jambi berdasarkan Letak Lesi .
Tabel 4.5 Distribusi Subjek penelitian berdasarkan Lokasi Lesi
Lokasi lesi Jumlah Persentase (%)
Perihiler dan parakardial 24 53,3
Suprahiler 6 13,3
Perihiler 2 4,4
Perikardial 5 11,1
Parakardial 8 17,8
Total 45 100
Dari tabel 4.3 didapatkan bahwa Lokasi lesi yang terbanyak dari
pemeriksaan rongent thorak pada subjek penelitian di Instalasi Radiologi RSUD
Raden Mattaher jambi pada penelitian ini adalah Lokasi lesi Perihiler dan
parakardial sebanyak 24 subjek dengan persentase 53,3 %, diikuti dengan lokasi
lesi parakardial 8 subjek ( 17,8%), suprahiher 6 subjek ( 13,3 %), perikardial 5
subjek (11,1%) dan perihiler 2 subjek ( 4,4%).
4.2 Pembahasan
4.2.1 Karakteristik pasien dengan gejala bronkopneumonia di RSUD Raden
Mattaher Jambi berdasarkan Jenis Kelamin.
Berdasarkan penelitian terhadap 45 orang subjek penelitian berdasarkan
jenis kelamin. Pada tabel 4.2 dapat diketahui bahwa subjek penelitian yang
48
mengalami gejala bronkopneumonia dan melakukan pemeriksaan rongen thoraks
paling banyak terjadi pada laki-laki.
Hal ini sesuai dengan teori dari tinjauan pustaka menyebutkan bahwa
laki-laki adalah salah satu resiko kejadian bronkopneumonia. Beberapa penelitian
menemukan sejumlah penyakit saluran pernapasan yang dipengaruhi oleh adanya
perbedaan fisik anatomi saluran pernapasan pada anak laki – laki dan perempuan .
Secara umum dalam ukuran tertentu saluran pernapasan anak laki – laki lebih
kecil dibandingkan dengan anak perempuan. Hal ini dapat meningkatkan
frekuensi penyakit saluran pernapas.31
Berdasarkan faktor genetik, perempuan memiliki kromosom XX
sedangkan laki-laki XY, dengan lebih sedikitnya kromosom X laki-laki memiliki
sistem kekebalan tubuh yang lebih rentan daripada perempuan. Karena dalam
kromosom X ada peran MicroRNA yang memiliki fungsi penting dalam
kekebalan dan kanker. Penelitian baru yang telah diterbitkan dalam BioEssays,
telah membuktikan hal tersebut. Penelitian tersebut berfokus pada peran
MicroRNA yang dikodekan pada kromosom X. Semakin banyak punya
kromosom X maka semakin banyak MicroRNA yang dimiliki. Peran MicroRNA
dapat menjelaskan mengapa laki-laki mempunyai system kekebalan yang lebih
rentan dibandingkan perempuan.32
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti berasumsi bahwa penyebab
responden yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak menderita
bronkopneumonia disebabkan oleh faktor instrinsik yang meliputi faktor
keturunan yang terkait dengan jenis kelamin atau perbedaan hormonal faktor pola
aktivitas yang berbeda antara laki dan perempuan. Secara proporsi lebih besar
laki-laki dibandingkan perempuan yang terkena bronkopneumonia yang berarti
bahwa laki-laki lebih beresiko dibandingkan dengan perempuan. Hal itu
dikarenakan perkembangan sel-sel tubuh laki-laki lebih lambat dibandingkan
dengan perempuan ditambah dengan aktifitas laki-laki lebih sering bermain
dengan lingkungan, apalagi lingkungan yang kotor sehingga jenis kelamin
menjadi salah satu faktor resiko meningkatnya insiden bronkopneumonia.33,34
Dalam buku pedoman pemberantasan penyakit infeksi saluran napas atas
49
untuk penanggulangan penumonia pada anak balita, anak balita jenis kelamin
laki-laki memiliki risiko lebih besar untuk terkena pneumonia dibandingkan
dengan anak balita jenis kelamin perempuan. Kekuatan hubungan jenis kelamin
anak balita adalah sebesar 2,552 kali (CI 95% : 1,633-3,989) artinya anak balita
jenis kelamin laki-laki lebih berisiko 2,5 kali menderita pneumonia dibandingkan
anak balita jenis kelamin perempuan.34
4.2.1 Karakteristik pasien dengan gejala bronkopneumonia di RSUD Raden
Mattaher Jambi berdasarkan umur.
Berdasarkan penelitian data terhadap 45 orang subjek penelitian
berdasarkan umur . Pada tabel 4.3 dapat diketahui bahwa subjek penelitian yang
mengalami gejala bronkopneumonia dan melakukan pemeriksaan rongen thoraks
paling banyak terjadi pada bayi denga rentang usia 1- 24 bulan sebanyak 14 orang
dengan persentase 31,1 % dari keseluruhan subjek penelitian. Hal ini sesuai
dengan teori yang ada anak usia dibawah dua tahun lebih rentan terhadap penyakit
bronkopneumonia dibandingkan dengan anak usia lebih dari dua tahun. Hal ini
disebabkan oleh imunitas yang belum sempurna dan saluran pernafasan yang
relatif sempit (imaturitas anatomik).35
Sistem kekebalan humoral sangat berperan dalam mekanisme pertahanan
paru (saluran napas atas). IgA merupakan salah satu bagian dari sekret hidung (10
% dari total protein sekret hidung). Penderita defisiensi IgA memiliki resiko untuk
terjadi infeksi saluran napas atas yan berulang. Bakteri yang sering mengadakan
kolonisasi pada saluran napas atas sering mengeluarkan enzim proteolitik dan
merusak IgA. Bakteri gram negatif (P.aeroginosa, E.colli, Serratia spp, Proteus
spp, dan K.penumoniae) mempunyai kemampuan untuk merusak IgA. Defisiensi
dan kerusakan setiap komponen pertahan saluran napas atas menyebabkan
kolonisasi bakteri patogen sebagai sarana terjadinya infeksi saluran napas
bawah.35
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Faiz dkk bahwa angka kejadian
bronkopneumonia berdasarkan umur pada 98 kasus yang tersering terjadi pada
bayi dengan usia < 12 bulan sebanyak 26 kasus ( 42,6 %).
4.2.3 Karakteristik pasien dengan bronkopneumonia di RSUD Raden
50
Mattaher Jambi berdasarkan Gejala klinis.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap karakteristik pasien
dengan gejala bronkopneumonia pada berdasarkan gambaran gejala klinis pada
tabel 4.3 didapatkan frekuensi tertinggi pada gejala klinis sesak sebanyak 42
responden (93,3 %), kemudian diikuti dengan batuk sebanyak 40 responden
(88,9%), nyeri dada 24 responden (53,3%) , demam 21 responden ( 46,7 %) .
Pada penelitian ini didapatkan gejala tebanyak sesak napas dapat
disimpulkan kebanyakan penderita yang melakukan rongen thorak sudah
memsuki stadium Hepatitasasi atau stadium dua disebut hepatisasi merah terjadi
sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat, dan fibrin yang dihasilkan
pejamu (host) sebagai bagian dari proses inflamasi. Lobus yang terkena menjadi
padat oleh karena adanya penumpukan leukosit,eritrosit dan cairan. Pada stadium
ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga penderita akan
mengalami sesak.1
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Cristian et al yang mendapat hasil
gejala tebanyak pada bronkopnemonia dari 158 kasus adalah gejala klinis sesak
yaitu sebesar 148 pasien (93,7%).dan juga penelitian ini sejalan dengan penelitian
nur muhammad arjanadi tentang tanda dan gejala klinis yang sering muncul pada
bronkopneumonia dari 215 subjek penelitiannya adalah sesak napas.36
51
Infiltrat terbentuk karena adanya perdangan pada paru dimana proses
peradangan ini menyebar membentuk bercak-bercak infiltrat yang berlokasi di
alveoli paru dan dapat pula melibatkan bronkiolus terminal. Gambaran radiologi
berupa, jika udara dalam alveoli digantikan oleh eksudat radang, maka bagian
paru tersesbut akan tampak putih pada foto rongen, pada bronkopneumonia
bercak tersebar ( difus) mengikuti gambaran alveoli ditandai dengan adanya
daerah- daerah yang terkena inflamasi yang mengelilingi saluran-saluran nafas
yang lebih kecil. Corakan bronkovaskular akibat dinding cabang bronkus menjadi
lebih tebal.37,38
Penelitian yang sesuai dengan yang dilakukan oleh Monita pada 178
kasus mendapatkan bahwa gambaran foto toraks yang paling sering ditemukan
ialah gambaran adanya infiltrat dengan corakan bronkovaskular meningkat
(96,6%). Eldrian juga mendapatkan hasil yang sejalan dengan penelitian ini. Hasil
penelitian Eldrian mengenai gambaran foto toraks menemukan bahwa gambaran
yang paling sering ialah adanya infiltrat dan corakan bronkovaskular meningkat
(73,21%).39
4.2.4 Karakteristik pasien dengan gejala bronkopneumonia di RSUD Raden
Mattaher Jambi berdasarkan Lokasi Lesi .
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dari 45 responden pasien
gejala bronkopneumonia di RSUD Raden Mattaher jambi. Disini dapat diketahui
Pada tabel 4.5 bahwa Lokasi lesi terbanyak pada pasien bronkopneumonia yang
melakukan pemeriksaan rontgen thorak adalah Lokasi lesi Perihiler dan
parakardial sebanyak 24 subjek dengan persentase 53,3 %.
Penelitian ini sesuai dengan teori pada buku ajar respirologi anak bahwa
lokasi lesi pada bronkopneumonia sering melibatkan seluruh lobus, meskipun
dominan pada lobus basal paru. Gambaran radiologi bronkopneumonia berupa
bercak berawan, batas tidak tegas, konsolidasi dapat berupa lobular, segmental
atau subsegmental. Khas biasanya menyerang beberapa lobus, lokasi predilkesi
bronkopenumonia biasanya hanya terjadi dilapangan paru tengah dan bawah.
Lesi Bronkopneumonia sering terjadi ke basal sebab adanya kecenderungan sekret
untuk turun karena gravitasi ke lobus bawah.40
52
Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Faiz et al pada
61 kasus didapatkan bahwa lokasi gambaran foto thorak pada pasien
bronkopneumonia banyak di Perihiler dan parakardial sebanyak 12 pasien (48 %)
53
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Hasil penelitian pada pasien dengan gejala bronkopneumonia berdasarkan
Jenis kelamin yang terbanyak terjadi pada laki-laki.
2. Hasil penelitian pada pasien dengan gejala bronkopneumonia berdasarkan
Umur yang terbanyak terjadi pada usia 1 – 24 bulan (bayi).
3. Hasil penelitian pada pasien dengan gejala bronkopneumonia berdasarkan
gejala klinis yang terbanyak adalah sesak nafas.
4. Hasil penelitian pada pasien dengan gejala bronkopneumonia berdasarkan
Bentuk lesi yang terbanyak adalah infitrat dengan corakan bronkovaskular
meningkat.
5. Hasil penelitian pada pasien dengan gejala bronkopneumonia berdasarkan
Letak Lesi yang terbanyak adalah Perihiler dan parakardial.
5.2 Saran
1. Bagi peneliti
Penelitian ini dapat menjadi dasar cara penelitian bagi peneliti untuk
melakukan penelitian lebih lanjut untuk penyakit ini ataupun penelitian
yang lain.
2. Bagi Rumah sakit
Meningkatkan kualitas Alat-alat Radilogi atau alat foto rongent thorak
serta melakukan pengambilan foto rongen thorak 2 sisi sehingga dapat
membantu mempercepat dan diagnosa penyakit secara pasrti.
3. Bagi peneliti lain
Hasil penelitian ini dapat menjadi pembanding bagi penelitian
selanjutnya dalam hal mengetahui gambaran foto toraks pada pasien
dengan gejala bronkopneumonia dengan metode lain, dengan populasi
yang lebih luas serta lebih memperhatikan variabel lain yang belum
diperhatikan dalam penelitian ini.
54
54
DAFTAR PUSTAKA
55
15. Jeremy P. 2007. At Glance Sistem Respirasi. Edisi Kedua. Jakarta:
Erlangga Medical Series. Hal. 76-77.
16. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi .7 nd ed, Vol. 2.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2007 : 538-540
17. Soedarmo, dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi Pediatri dan Tropis. Jakarta :
IDAI.
18. Soeparman, Waspadji S. 1999. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta.
19. Danusantoso, Halim, Dr. 2010. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EDC.
20. Elizabeth J.Corwin.(2009).Buku saku Patofisiologi Corwin.Jakarta:Aditya
Media).
21. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unair. 2006. Pedoman Diagnosis
danTerapi. Surabaya.
22. TROUPIN, Rosalind H. Radiologi diagnostik dalam klinik, alih bahasa
Chandra Sanusi, Petrus Andrianto-Jakarta : EGC 1991
23. Gunderman RB. The Respiratory System. In: Gunderman RB editors.
Essential Radiology, 2nd ed. Thieme.New York: 2006.p.93-97.
24. Patel, Pradip R.2005.Lecture notes: Radiologi. Penerbit Erlangga:Jakarta
Hal 36-37
25. Murray Nedel‟s. 2005. Text Book of Respiratology Medicine, Edisi I.
Volume I United States of America : Elseiver Saunders.
26. Rahajoe, Nastini N. 2008. Buku Ajar Respirologi, Edisi I. Jakarta IDAI
27. Patel Pradip R, 2007. Lecture Note Radiologi. Jakarta : Erlangga.
28. Data kunjungan pasien rontgen di RSUD Raden Mattaher Kota Jambi
tahun 2017.
29. Samuel A, Bronkopneumonia on Pediactric Patient.Medula Unila. 2014 ;1
(2) : 186-189.
30. Dicky A, Janar Wulan A. Tatalaksana Terkini Bronkopneumonia pada
Anak di Rumah Sakit Abdul Moeloek. Medula Unila.2017;7(2) : 6-12.
56
31. Departemen Kesehatan RI. 2004. Pedoman Program Pemberantas
Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) untuk Penanggulangan
Pneumonia pada Balita. Jakarta: Depkes RI
32. Kemenkes RI. 2010. Pneumonia Balita. Jakarta : Jendela Epidemiologi
33. Sumiyati. HUBUNGAN JENIS KELAMIN DAN STATUS IMUNISASI
DPT DENGAN PNEUMONIA PADA BAYI USIA 0-12 BULAN. Jurnal
Kesehatan Metro Sai Wawai Volume VIII No.2 Edisi Des 2015, ISSN:
19779-469X
34. Rasyid Zulmeliza.Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Pneumonia Anak Balita di RSUD Bangkinang Kabupaten Kampar 2013.
Jurnal Kesehatan Komunitas, Vol. 2, No. 3, Nopember 2013 Page 136
35. Said M. Pneumonia. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB,
editor. Buku ajar respirologi anak. Edisi ke-1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2008. hal. 350-65.
36. Christian,T. Dkk. Gambaran karakteristik pneumonia pada anak yang
dirawat di ruang perawatan intensif anak RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado periode 2013 – 2015. Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 4, Nomor 2,
Juli-Desember 2016
37. Soeparman Waspadji S. Ilmu penyakit dalam. Jilid ll.1999. jakarta :Balai
penerbit FKUI.hal 695-705
38. Ikatan dokter Anak Indonesia. Pedoman pelayanan medis.jilid
1.2010.jakarta
39. Monita O, Yani FF, Lestari Y. Profil pasien pneumonia komunitas di
Bagian Anak RSUP dr. M. Djamil Padang Sumatera Barat. Jurnal
Kesehatan Andalas. 2015;4:218-24
40. Nurlela budjang.radang paru tidak spesifik, In : Rasad, Sjahiar. Radiologi
diagnostik.Edisi kedua Jakarta.Balai penerbit FK UI; 2009 hal 101.
57
Lampiran 1
Lembar Observasi
Jambi, 2018
peneliti
58
LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN PENELITIAN
(Informed consent)
Jambi, ........................2018
Peneliti yang bersangkutan
59
GAMBARAN KARAKTERISTIK FOTO TORAKS PASIEN
DENGAN GEJALA BRONKOPNEUMONIA DI RSUD RADEN
MATTAHER JAMBI
Nama :
Usia :
Jenis kelamin :
Gejala klinis Bropneumonia
- Demam : Ada Tidak
- Batuk : Ada Tidak
- Sesak Nafas : Ada Tidak
- Nyeri dada : Ada Tidak
- Sianosis : Ada Tidak
- Pernapasan Cuping Hidung : Ada Tidak
60
Lampiran 2
Output Spss
jenis kelamin
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid laki laki 25 55,6 55,6 55,6
perempuan 20 44,4 44,4 100,0
Total 45 100,0 100,0
Umur
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid 0- 4 minggu 1 2,2 2,2 2,2
1-24 bulan 14 31,1 31,1 33,3
2-4 tahun 3 6,7 6,7 40,0
5-12 tahun 2 4,4 4,4 44,4
26-45
5 11,1 11,1 55,6
tahun
46-65 tahun 13 28,9 28,9 84,4
> 65 ahun 7 15,6 15,6 100,0
Total 45 100,0 100,0
gejala demam
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid demam 21 46,7 46,7 46,7
tidak ada 24 53,3 53,3 100,0
61
Total 45 100,0 100,0
gejala batuk
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid batuk 40 88,9 88,9 88,9
tidak ada 5 11,1 11,1 100,0
Total 45 100,0 100,0
gejala sianosis
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid sianosis 10 22,2 22,2 22,2
tidak ada 35 77,8 77,8 100,0
62
Total 45 100,0 100,0
bentuk lesi
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid infitrat dan corakan
bronkovaskular 33 73,3 73,3 73,3
meningkat
infitrat dan corakan
9 20,0 20,0 93,3
brobkovaskular baik
infitrat dan konsolidasi
serta corakan
3 6,7 6,7 100,0
bronkopvaskular
meningkat
Total 45 100,0 100,0
lokasi lesi
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid perihiler dan parakardial 24 53,3 53,3 53,3
63
Lampiran 3
Surat izin pengambilan data
64
Lampiran 5
Surat izin penelitian
65
Lampiran 5
66
67
Lampiran 6
Dokumentasi Foto Rongen thorak
68
69
70