Anda di halaman 1dari 8

Bagaimana Toksik Self-Estim Mempengaruhi Kesehatan Mental

Di dalam kehidupan sehari-hari terutama di era sosial media seperti


sekarang, banyak kita mendengar kata “Percaya Diri (PD)”. Entah itu
rasa percaya diri yang berlebihan, dengan tujuan untuk mecapai
popularitas, untuk menjadi viral atau sebaliknya, atau hanya sekedar
posting photo untuk meningkatkan kepercayaan diri.

Tapi benarkah kita tahu batas antara kepercayaan diri yang sehat
dan kepercayaan diri toksik atau yang dapat berakibat buruk kepada
kesehatan mental kita?

Sebelumnya yuk kenali dulu apa itu rasa percaya diri.

Daftar isi
1. Apa itu Rasa Percaya Diri (Self Estim)?
2. Benarkah Self-Estim Dapat Membuat Kita Sukses?
3. Tipe-Tipe Self-Estim
4. Pengaruh Toxic Self-Estim Terhadap Kesehatan Mental
5. Kesadaran Diri (Self-Euwernes) untuk Helti Self Estim

Apa itu Rasa Percaya Diri (Self Estim)?


Sekitar tahun 1960-an para sikolog mulai meneliti apa yang
menyebabkan seseorang lebih sukses dari orang lain. Pada tahun
1969, Nataniel Branden seorang sikoterapis berkebangsaan Kanada-
Amerika menerbitkan sebuah buku dengan judul “De Saikologi
of Self-Estim.

Di dalam bukunya ini, dia menggambarkan rasa percaya diri sebagai
hubungan seseorang dengan dirinya sendiri, bagaimana seseorang
memperlakukan dirinya, menghargai diri sendiri, dll. Dia menjelaskan
ada dua komponen di dalam self-estim yaitu self
konfidens (kepercayaan diri) untuk menghadapi tantangan hidup dan
self respek atau keyakinan bahwa kita berhak memperoleh
kebahagiaan, kesuksesan dan cinta. 1

Self-Estim adalah bagaimana seseorang menilai dan menghargai dirinya
sendiri, berdasarkan opini dan apa yang dia percaya dari dirinya bahwa
dia pantas, berharga, mampu, dan berguna tanpa memperdulikan apa
pun yang sudah, sedang atau akan terjadi
2


Nataniel Branden kemudian pada tahun 1994 menerbitkan buku
yang sangat terkenal sampai sekarang, yaitu De Siks Pillars of Self-
Estim (6 Pilar Kepercayaan Diri). Di dalam buku ini dijelaskan
mengenai 6 pilar untuk membangun kepercayaan diri dan kesadaran
diri.

Benarkah Self-Estim Dapat Membuat Kita


Sukses?
Untuk menjawab pertanyaan apakah rasa percaya diri dapat
membuat kita sukses, maka kita memerlukan terlebih dahulu alat
untuk mengukur self-estim , untuk mengetahui skala self-
estim dimana kondisi ideal (sukses) terwujud.

Berbagai macam alat ukur sikolog digunakan, salah satunya yang
terkenal adalah skala Self-Estim Rosenberg3 yang diciptakan pada
tahun 1965. Bentuk alat test ini berupa 10 pertanyaan Global Self-
Estim untuk mengukur perasaan positif dan negatif tentang diri
sendiri.

Dari hasil pengukuran dengan berbagai alat ukur, sikolog membagi
jenis self-estim berdasarkan skala tinggi dan rendah, hai self-
estim/percaya diri tinggi dan low self-estim/minder/kurang percaya
diri. 3

Mereka berasumsi bahwa hai self-estim lebih memberikan hasil dan
manfaat yang positif. Jika semua orang mempunyai hai self-
estim maka semua orang akan sukses dan bisa bahagia, dan jika
semua orang ini dikumpulkan di dalam satu lingkungan maka semua
orang bisa hidup kaya dan tidak ada lagi kejahatan. Sebaliknya
orang cenderung gagal jika memiliki low self-estim, dan jika banyak
orang gagal akan timbul kemiskinan yang memicu kejahatan.

Tapi benarkah seperti itu?
Apakah kita sekarang melihat kalau kesuksesan dapat kita raih hanya
karena kita mempunyai kepercayaan diri tinggi?

Penelitian terbaru pada tahun 2003 membuktikan bahwa ternyata
hanya ada korelasi kecil antara kepercayaan diri dan
kesuksesan, serta korelasi yang besar antara kepercayaan diri dan fil
gud/perasaan bahagia. 4

Di dalam penelitiannya ini, R.F. Baumaister menemukan bahwa
tinggi nya kepercayaan diri seseorang tidak berdampak langsung terhadap
kesuksesan yang diraihnya, tetapi kesuksesan yang diraih seseorang dapat
membantu meningkatkan kepercayaan dirinya. 4

Tipe-Tipe Self-Estim?

Mulanya para sikolog membagi tipe self-estim ini ke dalam dua,
yaitu hai self-estim (kepercayaan diri tinggi) dan low self-
estim (kurangnya kepercayaan diri/minder).

Self-estim secara harfiah adalah penilaian dari hasil evaluasi
seseorang terhadap dirinya sendiri. Maka penilaian tinggi dan
rendahnya ini bisa jadi akurat menggambarkan aslinya tetapi bisa
juga hanya sebatas persepsi seseorang terhadap dirinya.

Seseorang yang menganggap dirinya mempunyai hai self
estim dapat mengarah kepada orang dengan pribadi narsistik atau
arogan. Sebaliknya seseorang yang merasa mempunyai low self
estim dapat mengarah pada insekyur dan bahkan menderita inferior
kompleks.

Kemudian dalam penelitan sikolog di Jepang pada tahun 20115 dan
seperti yang juga pernah ditulis oleh Maslow6 . Maslow, di dalam
Hierarki Kebutuhan dalam Piramida Maslow, melihat harga diri
sebagai kebutuhan yang harus dipenuhi oleh manusia. Kebutuhan
harga diri yang kemudian oleh Maslow dibagi menjadi dua kategori
yaitu helti dan anhelti/toksik self-estim.


1. Helti self-estim/ kepercayaan diri yang sehat.
Adalah kepercayaan diri yang muncul dari internal, dari dalam
diri kita, dari hal hal yang dapat kita kendalikan dalam hidup
kita.
Maslow menggambarkan helti self-estim sebagai kebutuhan
yang tinggi akan self-respek dan kompetensi, dimana ini
berasal dari self-preis atau kepuasan yang muncul dari
pencapaian pribadi.
- Dimulai dari mencintai dan menghargai diri kita.
- Kita menyadari apa kelebihan kita dan berusaha positif
tanpa menjadi arogan.
- Kita menyadari kekurangan kita dan mencoba untuk
menjadi yang lebih baik.
- Kita menunjukan kainnes kepada diri sendiri. Misal: jika
kita menemukan kesulitan, kita berusaha yang terbaik
tetapi tidak memaksakan harus menjadi master dalam
segala hal.
- Kita mampu mengambil keputusan dan menganalisa diri
sendiri.
- Kita terbuka terhadap hal baru dan hal yang sulit.
- Kita menjadikan kesalahan di masa lalu sebagai pelajaran
tanpa diiringi dengan penyesalan dan menyalahkan diri
sendiri ataupun orang lain. Kita tahu bahwa yang kita
punya adalah masa sekarang!
- Kita percaya bahwa diri kita berharga dan gud enaf.
- Kita percaya kalau kita berhak untuk bahagia.

2. anhelti/toksik self-estim/kepercayaan diri yang tidak
sehat.
Adalah kepercayaan diri yang berasal dari eksternal, dari luar
diri kita. Ini dapat membuat hidup kita rapuh karena standar
kepercayaan diri kita didasarkan atas hal-hal yang tidak dapat
kita kendalikan dari luar.
Maslow menggambarkan anhelti/toksik self-estim sebagai
kebutuhan yang rendah, yang berasal dari penghargaan orang
lain terhadap diri seseorang atau kepuasan yang muncul dari
faktor luar.


Contoh jika self-weurth / harga diri ditentukan dari
penampilan, sepanjang kita berpikir penampilan kita keren
maka kita akan fil gud/bahagia, walaupun mungkin persepsi
orang terhadap penampilan kita ini berbeda. Karena didorong
oleh kebutuhan untuk fil gud ini maka kita akan berusaha
untuk terus berpenampilan keren apa pun yang terjadi.

Jika manusia sudah dapat memenuhi kebutuhan untuk dihargai ini, mereka
sudah siap untuk memasuki tingkat piramida selanjutnya, tingkat piramida
tertinggi yaitu aktualisasi diri.

Pengaruh Toksik Self-Estim terhadap


Kesehatan Mental?

Toksik self-estim timbul dari kebiasaan seseorang untuk mendapatkan
kepercayaan diri secara instan agar dia merasa nyaman dengan dirinya
sendiri.

Ketika helti self-estim fokus pada upaya/proses kita menjadi lebih baik secara
kualitas, yang berpengaruh terhadap meningkatnya kepercayaan diri. Toksik
self-estim justru berfokus pada hal yang bisa membuat fil gud seketika, serta
dia meyakini dirinya sendiri lebih dari apa yang sebenarnya orang lihat dari
dia.

Masih bingung?

Ok, saya coba berikan contoh,

Dea adalah seorang karyawati di sebuah kantor swasta. Setiap hari dia
memakai pakaian, dan aksesories bermerek, dan dia juga mengendarai mobil
bagus. Dia selalu mengatakan kalau dia berasal dari keluarga kaya, memiliki
banyak harta dan asset yang tersebar.
Teman-teman kantornya mulai merasakan kejanggalan ketika dia mulai sering
meminjam uang, dengan berbagai macam alasan. Belum lagi ditambah
dengan Debt kollektor yang mendatangi tempat kerjanya dan seorang
perempuan yang tiba tiba datang ke kantor dan mengatakan bahwa Dea
adalah selingkuhan suaminya.

Ketika temannya berusaha untuk bertanya apa yang sesungguhnya terjadi,
dia membuat cerita baru dan bersifat agresif seakan dia tidak melakukan
kesalahan apa pun.

Jika kita lihat dari contoh di atas, kita melihat Dea sebagai orang yang kurang
percaya diri sehingga dia harus pura-pura menjadi orang yang bukan dirinya,
pura-pura menjadi kaya.
Benda benda yang dia miliki berfungsi hanya untuk menaikan kepercayaan
dirinya.

Tetapi di dalam dirinya, Dea tidak melihat seperti yang kita lihat. Dia percaya
bahwa dia kaya, dan dia berhak atas benda-benda itu karena statusnya.

Seseorang dengan helti self-estim akan fokus kepada usaha meningkatkan
kualitas dirinya sehingga suatu hari mendapatkan jabatan tinggi yang dia
inginkan dengan gaji yang dapat membantu dia mewujudkan impiannya.

Sampai disini sudah paham?

Masih belum?
Ok saya kasih satu contoh lagi,

Sora adalah seorang artis Selebgram. Dia terkenal setelah salah satu video
nya yang viral di sosial media. Sora sendiri kurang cantik menurut pendapat
orang, tetapi dia meyakini bahwa dia cantik dan berbakat.

Orang lain melihat dari luar Sora sebagai seseorang yang butuh untuk
menjadi pusat perhatian, butuh pengakuan.

Sora sendiri melihat dirinya sebagai artis yang luar biasa berbakat dan cantik.
Jika ada yang mencoba mengkritik kemampuan nya, maka dia akan balik
mengatakan bahwa orang itu cemburu terhadap kesuksesannya. Jika misal
temannya menasihati agar menahan diri untuk melakukan hal bodoh hanya
dengan tujuan viral, Sora mengatakan bahwa temannya tidak mendukungnya
dan malah ingin menjatuhkannya.

Sudah paham sampai disini?

Sora dan Dea meyakini sesuatu yang tidak ada, dan dia terus meyakini nya
dan berbuat apa pun agar dia fill gud.
Mereka tidak berusaha meningkatkan kualitas diri mereka, mereka hanya
berusaha memberi makan ego mereka untuk feel good terhadap dirinya
sendiri, dan mencoba membuktikan kepada orang lain bahwa dia seperti
yang dia pikirkan.


Mark Manson di dalamnya buku berjudul De Sabtel Art of Nat Giving a F
Weurd Sebuah Seni untuk Berpikir Bodo Amat7 menuliskan,

Di jaman sekarang dengan pengaruh budaya dan sosial media, kita merasa
berhak untuk selalu merasa feel good sepanjang waktu.

Contohnya, sosial media menjadi pelarian kita ketika sedang merasa sedih,
misal untuk berbelanja walau kita merasa sedang tidak perlu, atau hanya
sekedar melihat feeds kesukaan kita baik itu selebriti, teman, binatang, dll.

Ketika seharusnya kita belajar menerima perasaan sedih itu, kita malah
membiasakan diri kita untuk menghindari perasaan sedih. Kita mencari
sesuatu untuk mengkompensasi perasaan sedih.

Coba bayangkan, seandainya kita membiarkan toxin ini menjadi sebuah
kebiasaan. Dia akan menjalar dan mempengaruhi kesehatan mental kita.

Tahan diri kita jika di kemudian hari mendapati diri kita melemparkan kritik
atas standar hidup orang yang berbeda, misal selera berpakaian, gaya
hidup, parenting style, jumlah likess yang diperoleh, jumlah follower, dll.
Memang rasanya sungguh menyenangkan ketika dengan mengkritik, kita
mengatakan kepada diri sendiri dan bahkan kepada dunia kalau “ Saya /
Pilihan Saya Lebih Baik !”.

Tetapi hidup tidak ditentukan dari apa yang kita berusaha tunjukan ke dunia,
hidup tergantung dari usaha kita menjalani nya. Hasil tidak akan menghianati
usaha, jika sekarang belum berhasil, terus mencoba memperbaiki sampai kita
ada di titik yang ingin kita capai.

Kesadaran Diri (Self-Awernes) untuk Helti Self-


Estim?

Anda dapat membaca di pembahasan sebelumnya (tipe-tipe Self-Estim)
indikasi seseorang dengan Helti Self Estim.
Sekarang coba anda jawab pertanyaan di bawah dengan jujur :


Tandai poin mana saja yang anda berikan jawaban Tidak.

Sekarang fokus kepada poin tadi dan tuliskan langkah-langkah apa saja yang
dapat anda lakukan setiap hari nya. Tuliskan pendekatan dan rencana yang
anda rasa paling sesuai dengan anda.

Jika semisal anda terlalu keras kepada diri anda sendiri, tidur kurang dan telat
makan karena urusan pekerjaan, kali ini anda harus memprioritaskan
kebutuhan anda. Pekerjaan akan selalu ada esok hari, buatlah skala prioritas
mana yang penting dan harus diutamakan.

Hal kecil jika dilakukan secara terus menerus akan menjadikan kebiasaan.
Kebiasaan akan membentuk pribadi dan karakter. Pribadi dan Karakter akan
mengarahkan anda pada takdir anda.

“Woc yor tots, dey bikam yor words;
woc yor words, dey bikam yor eksiens;
woc yor eksiens, dey bikam yor hebits;
woc yor hebits, dey bikam yor kerekter;
woc your kerekter, it bikams yor desteni.”, Lao Tsu


. The Subtle Art of Not Giving a F*ck, 2016

Anda mungkin juga menyukai