Anda di halaman 1dari 6

Disrupsi Dakwah Offline ke Online, Mungkinkah?

Kalau kita mendengar istilah disrupsi, maka persepsi yang muncul adalah seputar bisnis

berbasis pada teknologi informasi (online) atau era industri 4.0 seperti penggunan Internet

of Thing (IoT) dan yang semisalnya, ini juga termasuk persepsi saya. Setelah coba

searching di google ternyata Istilah “disrupsi” telah dikenal puluhan tahun lalu, tetapi baru

populer setelah guru besar Harvard Business School, Clayton M. Christensen, menulis

buku berjudul The Innovator Dilemma (1997). Buku ini berisi tentang persaingan dalam

dunia bisnis, lebih khusus inovasi. Mengapa perusahaan-perusahaan besar bahkan

pemimpin pasar (incumbent) bisa dikalahkan oleh perusahaan yang lebih kecil, padahal

perusahaan kecil tersebut kalah dalam hal dana dan sumber daya manusia. Jawabannya

terletak pada perubahan besar yang dikenal dengan disrupsi.

Secara bahasa, disruption artinya gangguan atau kekacauan; gangguan atau masalah

yang mengganggu suatu peristiwa, aktivitas, atau proses. Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia, pengertian disrupsi adalah hal tercabut dari akarnya. Menurut Merriam-

Webster, disrupsi adalah tindakan atau proses mengganggu sesuatu: istirahat atau

gangguan dalam perjalanan normal atau kelanjutan dari beberapa kegiatan, proses, dll.

Teori disrupsi banyak dipergunakan untuk menjelaskan perubahan besar, tidak semata

pada dunia bisnis, tetapi juga berbagai macam kegiatan termasuk juga komunikasi,

produksi dll. Dan tidak secara langsung mengaitkan disrupsi hanya berbasis dengan dunia

digital. Tetapi banyak ahli meyakini bahwa dunia digital dapat mempercepat proses

disrupsi.
Contoh-contoh disrupsi populer yang terjadi disekitar kita dan mungkin kita merasakanya

adalah ojek pangkalan menjadi ojek online, kemudian antara kamera manual yang

menggunkan roll film beralih menjadi kamera digital, ini dirasakan oleh perusahaan raja

fotografi kelas dunia seperti Kodak, harus mengalami fase yang paling buruk dalam suatu

bisnis yaitu kebangkrutan, dikarenakan gagal fokus dalam mengambil kebijakan bisnis. Alih

– alih fokus pada pengembangan bisnis kamera digital, Kodak merasa nyaman untuk tetap

bertahan pada bisnis kamera analog dan perlengkapannya hingga pada suatu titik para

kompetitornya sudah mengambil alih pasar kamera digital, begitupun disrupsi yang dialami

pengambilan foto dari udara yang menggunakan holikopter dengan fotografernya yang

berbiaya tinggi, sekarang tergantikan dengan drone yang biayanya jauh lebih murah dan

siapapun bisa menggunakan nya. Oleh karena itu, dari uraian di atas kita bisa ambil

kesimpulan, kalau dalam bahasa sederhananya disrupsi adalah menggantikan cara lama

dengan cara baru secara total, sehingga cara lama sama sekali sudah ditinggalkan, atau

terkadang masih menggunakan cara lama tetapi dalam kondisi terpaksa, contohnya adalah

ketika mau pakai ojek online tapi pas handphone nya mati, jadi terpaksa menggunakan

ojek pangkalan.

Kalau dalam aktifitas dakwah bagaimana, mungkinkah terjadi disrupsi dari dakwah offline

(tatap muka) menuju ke dakwah online secara total?

Dakwah mempunyai empat komponen diantaranya, yang pertama adalah da’i, yang kedua

mad’u (object dakwah), yang ketiga media (baik secara langsung ataupun mengguakan

alat bantu) dan yang keempat adalah konten atau materi da’wah.
Kalau kita perhatikan konten da’wah tidak jauh dari tulisan, suara dan gambar, semuanya

jenis konten tersebut bisa dikonversi menjadi digital yang sangat mudah didistribusikan

melalui jaringan internet, dan sangat cepat tersebar bahkan yang menyebarkan nya pun

tidak tau sudah sampai mana dan siapa saja yang membaca dan melihat tulisan, gambar

atau video yang dia buat, berbeda jika konten da’wah itu hanya berupa benda seperti

peninggalan sejarah seperti pedang, makam para wali Allah SWT, maka tidak akan

mungkin bisa dikonversi menjadi digital, sehingga tidak semua orang bisa mengakses. Jadi

kalau begitu, apakah ada kemungkinan terjadi disrupsi dakwah secara total ke arah online,

sehingga kedepanya kita gak perlu lagi bertemu secara langsung atau tatap muka dengan

mad’u cukup, via gadget?

Mari kita bahas lebih lanjut, soerang pengemban da’wah bagaikan seorang dokter,

bagaimana seorang dokter menyembuhkan pasien, adalah dengan mendiagnosa

penyakitnya dengan sungguh-sungguh sampai mempunyai dugaan kuat mengetaui jenis

penyakit yang diderita pasien, baru setelah mengetahui penyakitnya kemudian

memberikan obat sesuai dengan dosis yang tepat, sehingga dengan izin Allah SWT pasien

akan sembuh. Sebagaimana dokter, soerang pengemban dakwah juga harus mempu

mendignosa penyakit yang menjangkiti umat saat ini, dan tentunya kita sepakat bahwa

penyakit umat saat ini adalah terjangkiti virus sekulerisme, setelah runtuhnya kehilafahan

Islam, penyakit ini semakin merajalela menjangkiti semua kalangan baik yang kaya, miskin,

orang berpendidikan maupun orang biasa. Gejalanya terlihat jelas sekali salah satunya

adalah memusuhi ajaran Islam Khilafah yang akir-akhir ini sangat ramai sekali menjadi
perbincangan publik dan baru – baru ini juga terdengar berita yang sangat menggelikan,

demo dengan tema “Saatnya Rakyat Melawan Khilafah” di depan gedung MPR/DPR

dengan aksi berusaha membakar spanduk bergambar Imam Besar Front Pembela Islam

(FPI) Habib Rizieq Shihab, namun tidak mempan, viral di media sosial, pada Senin

(27/07/2020), begitu juga webminar-webminar yang dilakukan oleh orang-orang liberal

dengan tema radikal radikul yang sudah usang dan gak laku tapi masih diasongkan.

Penyakit sekuler inilah yang sangat berbahaya bagi umat Islam yang harus segera

dilenyapkan dalam tempo yang sesingkat singkatnya, dengan berusaha mengangkat

seorang Kholifah dan menegakkkan syariat Islam secara total. Nah, kemudian pertanyaan

berikutnya, apakah bisa menegakkan Khilafah hanya dengan da’wah online saja?

Dalam tahapan dakwah yang sedang kita jalani saat ini, adalah tahapan tafa’ul m’al ummah

atau berinteraksi dengan umat, dan agar pengemban dakwah bersama partainya mampu

memimpin ummat dengan idiologi yang diemban oleh partai bukan atas dasar memenuhi

tuntutan-tuntutan ummat yang sesaat. Kalau kita baca kembali dalam kitab takatul hizbi

pada point ke 17, bagaimana Syeikh Taqiyuddin memberikan penekanan untuk kita para

pengemban dakwah hendaklah bersungguh sungguh memahamkan ummat akan idiologi,

menjaga kejelasan fikroh dan persepsinya, dan berusaha menjaga kelestarian suasana

iman yang telah tertanam di dalam diri umat, hal ini akan mudah dicapai dengan

memberikan perhatian yang bersungguh sungguh dalam aktifitas dakwah diataranya yang

pertama terhadap proses pembinaan / pengkaderan, dalam proses inilah yang tidak akan

bisa digantikan dengan media online, karena proses pembinaan dan pengkaderan ini tidak
hanya sebatas transfer ilmu saja, tapi juga transfer of value berupa teladan, perhatian dan

pemantauan sejauh mana pehaman kader terkait idiologi yang diemban oleh partai yang

benar-benar harus diperhatikan, kemudian selain itu, ada sunah Nabi untuk sesama

muslim saling bertemu satau sama lain, sebagaimana dalam hadist dinyatakan, ada 7

golongan yang dinaungi oleh Allah SWT pada hari akhir salah satunya adalah dua orang

pemuda yang saling mencintai karna Allah SWT, mereka bertemu (ijtima’a) karna Allah

SWT (ijtima’a yang berasal dari kata Ijtama'a - yajtami'u - ijtimaa'an) Secara bahasa

memiliki makna bertemu, berkumpul. Tentunya banyak sekali keutamaan – keutamaan

bertemunya seorang muslim dengan muslim yang lain dalam satu tempat semisal

berkunjung ke rumah, menjenguk ketika sedang sakit dan lain sebagainya. Kemudian kita

coba liat fakta berikutnya terkait dengan dukungan riil terhadap idiologi partai, dukungan

riil hanya akan diproleh dari kader yang tsiqoh terhadap partai dan idiologi yang diembanya,

bukan dari masyarakat umum yang hanya sekedar tau, kebanyakan mereka tentunya lebih

kearah cari aman, ini yang kita bisa rasakan akhir-akhir ini ketika opini khilafah sedang

booming. Dan fakta berikutnya ketika masa pendemi covid-19 ini, kitika hampir semua

aktifitas dakwah melalui online, penambahan kader-kader dakwah secara umum,

menunjukkan penurunan dari tahun-taun sebelumnya. Inilah pemaparan sekilas tentang

point pertama, tentunya kemungkinan ada fakta-fakta lain terkait tastqif murakazah atau

pengkaderan yang tidak bisa tergantikan dengan dengan media online kecuali sangat

terpaksa, karena tidak memungkinkan untuk bisa bertemu, sementara untuk paint yang

berikutnya terkait tastqif jama’i dan mengungkap rencana kafir penjajah secara mendalam,
pada posisi inilah dakwah online menjadi sangat efektif untuk membangun opini di tengah-

tengah ummat, dengan berbagai cara kita lakukan mulai dari share whatsapp, twitter,

instagram, facebook dan yang baru-baru ini kita punya media OMOO untuk memudahkan

kita share-share informasi tanpa harus membuat konten sendiri yang mungkin sebagian

orang butuh waktu lama untuk membuat konten sendiri, dengan OMOO ini kita hanya

tinggal share-share ke medsos kita. Inilah yang membutuhkan keseriusan kita dengan

membuat akun medsos dan menyediakan kuotanya, sesuai nasehat syiekh Taqiyudin

dalam kitab takatul, yaitu harus mengerahkan segala kemampuan yang ada, berapapun

juga besarnya kesunguhan dan usaha yang harus dicurahkan.

Dari sini dapat kita simpulkan antara dakwah online dan offline mempunyai peran masing

masing dan keduanya harus saling mendukung tidak bisa menegasikan satu diantara yang

lain. Semoga upaya kita secara sungguh-sungguh dan ikhlas karna Allah SWT baik melalui

offline maupun online bisa menjadi wasilah pertolongan Allah SWT untuk tegaknya Syariah

Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah Rosyidah min ‘ala hajinnubuwwah. Aamiin.

Ditulis oleh Luqmanul Chakim untuk kegiatan HS 9 Agustus 2020.

Anda mungkin juga menyukai