Anda di halaman 1dari 13

Jembatan Teluk Kendari atau sekarang disingkat jadi JTK, orang Kendari memang sangat

cepat membuat istilah atau memberi nama baru, lanjut kemarin (22 Oktober 2020)
diresmikan oleh Presiden Jokowi, setelah itu masyarakat berbondong-bondong ke sana
sampai terjadi kemacetan hingga malam hari. Lalu pertanyaanya, kenapa fenomena itu terjadi
?
Rasa penasaran tentu menjadi salah satu alasan kenapa masayarakat mau kesana, secara JTK
merupakan jembatan terbesar dan terpanjang pertama di Sulawesi Tenggara, namun alasan
sebagian orang berduyun-duyun ke JTK sepertinya tidak hanya sekadar ingin menghilangkan
rasa penasaran, melainkan ada kecenderungan ingin melihat dan dilihat (see and be seen).
The Society of Spectacle: masyarakat tontonan,. Pembukaan JTK inilah salah satu ajangnya.
Wajar, tapi sebenarnya saat pendemik seperti ini baiknya ditahan dulu.
Bandwagon effect juga bagian dari fenomena ini, di mana orang-orang cenderung mengikuti
perilaku orang lain hanya karena semua orang melakukan itu, termasuk juga puncak dari teori
piramida kebutuhan Abraham Maslow: aktualisasi diri. Tidak heran yang datang banyak juga
dari daerah lain juga sekitar kota Kendari. Kemacetan di sana terjadi sampai beberapa hari,
namun di waktu-waktu tertentu salah satunya di sore hari mungkin karena ingin dapat
pengalaman menikmati sunset dari atas jembatan atau hanya sempat waktu itu karena baru
pulang kerja.Fenomena ini secara otomatis akan selesai dengan sendirinya, kecuali ada hal
baru lagi di sana.

Namun, konsekuensi dari adanya aktivitas manusia adalah akan adanya sampah, yash setelah
dipadati masyarakat JTK dipenuhi dengan sampah. Pemerintah tidak mengantisipasi itu
dengan melaukan sosialisasi, pengawasan dan menyediakan tempat sampah di sekitar area
JTK, ditambah dengan kesadaran sebagian masyarakat yang masih kurang terhadap
lingkungan, tetapi saya percaya sebagian besar masyarakat sudah sadar itu, buktinya
setelahnya terdapat komunitas-komunitas yang melakukan aksi bersih-bersih di sana.

Fenomena ini sejatinya hal yang wajar terjadi, namun kita perlu melihat situasi dan
kondisinya. Semoga bisa menjadi pengalaman, kota Kendari sebentar lagi menuju kota
metropolitan, Pemerintah harus segera siap dan tentu kita sebagai masyarakat.

Tulisan ini sudah terpikirkan saat setelah peristiwa tersebut terjadi, namun baru terpublish
setelah selesai diculik waktu dan pekerjaan.

Sumber:

https://editorial.femaledaily.com/blog/2020/04/27/the-bandwagon-effect-kenapa-kita-selalu-ingin-
ikut-ikutan-yang-lagi-viral/

https://www.kompasiana.com/galuhpandularasati/5b80c22a43322f58ae4f1dd7/society-of-
spectacle-ajang-pamer-di-medsos?page=all

https://twitter.//com/rizkidwika/status/ 1274539013077000192
Dampak dari fenomena masyarakat beramai-ramai ke JTK adalah banyaknya sampah yang
tertinggal di sana. Sekali lagi sebaiknya kita menahan diri karena lagi pandemic
apalagisampai meninggalakan sampah.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Penyebabnya adalah karena orang-orang dipengaruhi oleh
tekanan dan norma yang dimiliki oleh segerombolan orang-orang. Ketika terlihat bahwa
orang banyak melakukan hal itu bersamaan, menjadi sangat sulit bagi kita untuk tidak ikut-
ikutan  melakukannya. Fenomena ini juga sering terjadi karena kita cenderung ingin menjadi
sama seperti banyak orang.

Kecenderungan manusia juga adalah ingin diakui, Itulah sebabnya kita cenderung nyaman
jika orang lain melihat dan mengakui kita dalam sebuah kelompok sosial. Istilahnya, kita
merasa semakin diterima dengan menjadi sama dengan orang lain, puncak dari teori piramida
kebutuhan Abraham Maslow: aktualisasi diri.

Psikolog menyatakan bahwa efek bandwagon ini merupakan bagian dari bias kognitif yang bisa
jadi, seseorang jadi latah buat ikutan tren tertentu karena bias yang menganggap bahwa apa
yang dilakukan orang banyak, sudah pasti baik dan positif dan harus kita ikuti.

Apakah fenomena ini bisa berbahaya? Bisa! Kalau akhirnya kita tidak lagi mempertimbangkan
logika dan kebenaran sehingga hidup kita hanya ikut-ikutan semata. Misalnya kita dipengaruhi
untuk melakukan sesuatu yang tidak benar. Tanpa prinsip, kita pasti terikut arus zaman.
Beradaptasi dengan zaman memang penting, tapi untuk terikut tanpa prinsip yang tepat sangatlah
tidak disarankan.

Dorongan paikologis. Aktualisasi diri. Layar kata. Bounding image.

Namanya “bandwagon effect”, yaitu kondisi di mana orang-orang cenderung mengikuti perilaku,
gaya, bahkan cara berbicara orang lain hanya karena semua orang melakukan itu. Tidak heran
kalau satu tren tertentu bisa diikuti oleh begitu banyak orang.
Psikolog menyatakan bahwa efek bandwagon ini merupakan bagian dari bias kognitif yang
dialami banyak orang secara bersamaan. Bias kognitif ini merupakan pemikiran dipengaruhi
karena sesuatu tersebut dilakukan oleh orang banyak.

Contohnya dari efek bandwagon adalah dalam tren musik, fashion, sosial media, dan diet.
Misalnya dalam gaya berbusana, banyak orang yang menggunakan style yang sama dalam satu
waktu. Musik juga begitu, semakin banyak orang yang mendengar musik tertentu, maka musik
tersebut menjadi tren. Angka pengguna sosial media juga semakin tinggi setiap harinya, bahkan
sosial media baru yang terus berkembang juga semakin diminati.

Takut dikucilkan juga bisa menjadi poin penyebab efek bandwagon ini. Orang-orang tentu tidak
ingin menjadi aneh sendiri atau beda sendiri dalam sebuah kelompok sosial. Keinginan untuk
memiliki dan dimiliki dalam sebuah hubungan sosial kemudian memaksa kita untuk menerima
norma dan tindakan yang juga dilakukan oleh banyak orang.

Apakah fenomena ini bisa berbahaya? Bisa! Kalau akhirnya kita tidak lagi mempertimbangkan
logika dan kebenaran sehingga hidup kita hanya ikut-ikutan semata. Misalnya kita dipengaruhi
untuk melakukan sesuatu yang tidak benar. Tanpa prinsip, kita pasti terikut arus zaman.
Beradaptasi dengan zaman memang penting, tapi untuk terikut tanpa prinsip yang tepat sangatlah
tidak disarankan.
Lalu pertanyaanya, kenapa manusia mudah mengikuti tren? Dikutip dari Psychology Today, hal
ini dikarenakan psikologi sosial di mana manusia berpikir tentang sesuatu, lalu mempengaruhi
orang lain, dan kehidupannya sangat berkaitan erat antar satu sama lain. Penelitian
menyebutkan, ternyata seorang individu tidak memiliki kendali atas pikiran dan perilaku seperti
yang dia pikirkan.

Dampak hidup dalam kelompok Dalam penelitian yang dilakukan psikolog Perancis Serge
Moscovici dan Marisa Zavalloni, seseorang akan menunjukkan sikapnya terhadap suatu hal lebih
lantang jika menemukan orang lain juga menunjukkan sikap yang sama. Sehingga jika mendapat
penguatan dari orang lain, ia bisa lebih yakin dengan apa yang dipikirkan sebelumnya.

Misalnya, seseorang ingin membeli ponsel bermerek seri terbaru hanya karena ingin. Kemudian
ia bertemu dengan temannya yang juga ingin membeli ponsel yang sama. Ketika terjadi
komunikasi di antara keduanya, ada pertukaran informasi di sana.

Misalnya, pendapat tentang ponsel, kelebihan yang dimiliki, mengapa harus membeli, dan
sebagainya. Secara psikologis, itu menambah keyakinan satu sama lain untuk merealisasikan
keinginannya.

Mungkin, jika ia tidak bertemu dengan orang lain yang juga memiliki keinginan yang sama, ia
tidak jadi membeli ponsel itu. Apalagi, jika ia bertemu dengan orang yang memiliki pikiran
bertolak belakang dengannya. 

Selain itu, semakin banyak orang yang melakukannya, semakin populer sifat atau gagasan itu,
maka akan semakin meyakinkan seseorang bahwa hal yang sama baik untuk diikuti dan
dilakukan. Alasan kedua mengapa orang lain sangat berpengaruh terhadap seseorang kembali
lagi pada hakikat manusia sebagai makhluk sosial yang membutuhkan orang lain untuk bertahan
hidup.

Misalnya manusia purba yang berhasil bertahan hidup dengan membentuk kelompok. Peneliti
dari University of Essex, Julia Coultas menyebut dengan bergabung dalam kelompok dan
mengikuti perilaku mayoritas yang dilakukan oleh manusia dalam kelompok maka itu dapat
mempertahankan kehidupan.

Misalnya ketika memilih makanan mana yang bergizi dan mana yang beracun. Anggapan "benar"
Manusia cenderung berpikir apabila suatu hal dilakukan oleh orang lain, apalagi oleh kelompok
mayoritas itu berarti adalah sesuatu yang benar, baik, menguntungkan, dan sebagainya.

Hal itu menjadi dasar penilaian akan suatu kebenaran. Ini disebut sebagai prinsip pembuktian
sosial yang banyak menentukan seseorang dalam mengambil keputusan, baik tentang apa yang
harus dilakukan, dipikirkan, dikatakan, dibeli, dan sebagainya. Misalnya dalam memakan daging
steak dalam sebuah jamuan makan malam. Kita akan mengamati bagaimana cara orang lain
memakannya, memotongnya, urut-urutannya, dan sebagainya. Ketika kita melihat orang lain
melakukannya, maka kita akan tumbuh keyakinan bahwa cara itulah yang benar dan bisa diikuti.

Dalam buku The Psychology of Persuasion karya psikolog Robert Cialdini bukti sosial ini disebut
menjadi cara cepat seseorang untuk memutuskan bagaimana ia harus bertindak.
The Bandwagon Effect: Kenapa Kita Selalu Ingin Ikut-ikutan
yang Lagi Viral

Pernah nggak kamu bertanya, kenapa ya, kita cenderung tertarik untuk ikut-ikutan hal
yang sedang viral? 
 
Belakangan ini, timeline Instagram dipenuhi video Pass The Brush Challenge. Challenge ini
adalah salah satu dari sekian banyak challenge yang viral di media sosial akhir-akhir
ini. Sejak dipopulerkan oleh Tasya Farasya dan teman-
teman influencer, #PassTheBrushChallenge sukses bikin banyak warganet tertarik untuk
bergabung dalam tren ini. Bahkan, banyak pula yang memodifikasi Pass The Brush
Challenge dengan barang-barang lainnya, misalnya sheet mask, handuk,
atau sunglasses. Apakah kamu juga ikutan tren ini? 
Selain Pass The Brush Challenge, banyak challenge lainnya yang juga viral. Diantara
banyak challenge viral, saya paling tertarik sama Tussen Kunst En Quarantine
Challenge. #TussenKunstEnQuarantine ini adalah challenge remake lukisan-lukisan
zaman Renaissance dengan benda-benda yang ada di rumah. Challenge ini sangat menghibur
dan bisa membantu melepas stress selama swa-karantina.
Challenges ini memang seru buat mengisi waktu selama swa-karantina, dan bikin kita tetap
kreatif walaupun dirumah aja. Melihat para influencer melakukannya, rasanya jadi pengin
ikutan join the hype, nggak sih?
Bandwagon Effect, Apa Sih Itu?

Nggak ada salahnya mengikuti tren, selama tren itu memberikan impact yang positif.
Sayangnya, nggak semua yang viral sifatnya positif. Sebut saja Skull Breaker
Challenge dan Mugshot Challenge. Sayangnya lagi, terkadang kita nggak cukup kritis untuk
menilai apakah suatu tren yang kita ikuti itu positif atau enggak, karena kita cenderung ingin
ikutan apa yang dilakukan banyak orang.

Dalam ilmu psikologi, sifat manusia yang cenderung suka ikut-ikutan tren ini disebut
dengan Bandwagon Effect, yaitu kecenderungan dimana seseorang mengadopsi suatu
perilaku, gaya, dan sikap tertentu hanya karena orang lain juga melakukan hal yang sama,
terlepas dari kerpercayaan atau prinsip dan nilai-nilai yang dianut. Ya, sederhananya, hal ini
yang biasa kita sebut juga sebagai latah sosial. Makin populer perilaku , gaya dan sikap
tersebut, maka makin tinggi pula kecenderungan seseorang untuk ikutan join
the hype. Especially when the trend is endorsed by those who influence or quite popular.
Dampak Bandwagon Effect dalam Kehidupan Sehari-hari
Bandwagon Effect ini sebenarnya bukan istilah baru. Istilah ini pertama kali diperkenalkan
pada abad ke-19 untuk menjelaskan fenomena “ikut-ikutan” yang terjadi dalam pemilihan
politik di Amerika. Ternyata, Bandwagon Effect ini nggak cuma berlaku untuk fenomena
politik, tapi juga fenomena lainnya seperti tren fashion, beauty, tourism, hingga berdampak
ke perilaku bermedia-sosial.
Dok. CNN Indonesia
 
Selain challenge-challenge yang viral di atas, banyak contoh lain dari Bandwagon Effect.
Masih ingat, di tahun 2012, suksesnya film “5 cm” bikin banyak orang ingin ikut mendaki
gunung. Saya masih ingat, saat itu banyak teman-teman saya yang awalnya nggak pernah
kepikiran untuk mendaki gunung mendadak sangat antusias untuk jadi “anak gunung”.
Fenomena ini tentunya nggak datang tanpa konsekuensi. Imbasnya, sampah di gunung pun
ikut meningkat.
Atau, taman bunga Amaryliss, yang populer sebagai spot selfie semenjak viral di Instagram,
rusak akibat diinjak-injak wisatawan yang jumlahnya membludak. Itu hanya sebagian kecil
contoh dampak ikut-ikutan tren tanpa diiringi rasa tanggung jawab.
Gimana dalam dunia kecantikan? Beberapa tahun silam, popularitas aloe vera gel sempat
meroket. Banyak banget yang antusias dengan soothing gel berbahan lidah buaya ini, sampai
banyak brand ikut mengeluarkan produk yang serupa. Nggak jarang, ada olshop yang
memasarkan aloe vera gel dengan klaim yang dilebih-lebihkan seolah-olah produk ini
merupakan skincare ajaib. Atau tren menggunakan apple cide vinegar sebagai toner yang
dulu sempat viral? Setelahnya, banyak olshop yang menjual salah satu bahan makanan ini
sebagai skincare. 
Tren-tren kecantikan ini diikuti banyak orang tanpa diiringi pikiran kritis tentang manfaat,
risiko dan dampak dari kesalahan penggunaannnya. Bukan cuma satu atau dua orang
yang breakout akibat aloe vera gel, dan iritasi akibat DIY toner cuka apel, kan? 
Lihat juga: Ini Alasan Kenapa Pakai Aloe Vera Bikin Kulit Bruntusan!
Alasan Logis Mengapa Kita Ingin Ikut-Ikutan

Tapi kenapa kita suka ikut-ikutan sesuatu yang lagi viral, walaupun terkadang hal itu
mungkin saja nggak bermanfaat, atau malah membahayakan diri kita dan orang lain? Ada
beberapa faktor yang mungkin dapat mempengaruhi kita untuk ikut-ikutan hal yang lagi viral.
Pertama, Groupthink. Ketika teman-teman dekat, sahabat, kelompok, atau komunitasmu
ngikutin suatu tren tertentu, pastinya kamu bakal cenderung untuk mengikuti hal yang sama.
Apa lagi, kalau nantinya bakal ada rasa “nggak enakan” diantara teman-teman kalau kamu
nolak dan nggak ikutan ajakan kelompokmu. 
Kedua, Fear Of Missing Out (FOMO). Di era socmed ini, rasanya kita ketinggalan banyak
hal ketika sehari aja nggak buka Instagram. Sebenarnya ini adalah fenomena social
anxiety yang disebut dengan FOMO. FOMO menyebabkan kita merasa “kurang gaul” atau
nggak keren kalau belum ikutan apa yang lagi tren di media sosial. Akibatnya, kamu jadi
terdorong latah ikutan challenge-challenge atau tren yang belum tentu jelas baik-buruknya,
tanpa pikir panjang.
Ketiga,  Personal Image. Setiap manusia, siapapun itu, akan selalu berusaha me-maintain
image positif tentang dirinya. Tentu saja, siapa sih yang ingin punya image buruk di mata
orang lain? Alasan ini juga yang mendasari kenapa kita ikut-ikutan suatu tren. Ketika kita
mengikuti tren kecantikan, fashion, atau lifestyle, sebetulnya kita lagi berusaha untuk
menciptakan suatu image tertentu, lho. Bisa jadi, kita ingin dianggap fashionable, jago make
up, pinter masak, dan sebagainya.
Baca juga: Social Media Persona: Pilih Real atau Perfect?
Keempat, Bias. Bandwagon Effect ini sendiri sjatinya adalah bias kognitif. Bisa jadi,
seseorang jadi latah buat ikutan tren tertentu karena bias yang menganggap bahwa apa yang
dilakukan orang banyak, sudah pasti baik dan positif. Padahal pada kenyataannya belum
tentu. 
Bandwagon Effect nggak selamanya negatif, kok. Banyak hal positif yang dihasilkan
dari Bandwagon Effect. Misalnya saja, jika digunakan untuk melaksanakan campaign-
campaign positif. Seperti menyumbangkan rambut untuk yayasan kanker yang dulu pernah
dilakukan Imani, atau donasi untuk kepedulian ditengah COVID-19 yang dilakukan
para influencer, bakal efektif untuk menggerakkan banyak orang untuk ikut berdonasi.
Atau campaign positif lainnya seperti gerakan sadar kesehatan mental
dan #MeToo campaign yang ngasih empowerment pada korban-korban pelecehan seksual.
Finally, masing-masing kita harus bisa lebih kritis lagi dalam menilai tren mana yang layak
diikuti dan mana yang sebaiknya dihindari. Jangan cuma bisa bermedia sosial ya. Kamu juga
perlu untuk BIJAK bermedia sosial!
 
Foto: Dok. Instagram @antonova.lettering, @saharfardmehregan, Dok. CNN Indonesia

https://editorial.femaledaily.com/blog/2020/04/27/the-bandwagon-effect-kenapa-kita-selalu-ingin-
ikut-ikutan-yang-lagi-viral/

https://www.kompasiana.com/galuhpandularasati/5b80c22a43322f58ae4f1dd7/society-of-
spectacle-ajang-pamer-di-medsos?page=all

https://twitter.com/rizkidwika/status/1274539013077000192

Anda mungkin juga menyukai