Hendra Geptha1)*
1
) Sekolah Tinggi Teologi Tawangmangu
*) Email: hendrageptha@gmail.com
Abstrak
Fenomena pansos pada zaman modern ini bukanlah sesuatu yang asing lagi didengar.
Pansos atau yang seringkali diartikan sebagai panjat sosial adalah ketika seseorang suka
mencari perhatian publik, terutama di media sosial.
Fenomena ini tidak serta-merta hanya terjadi pada anak-anak muda zaman sekarang,
namun para hamba Tuhan juga turut terlibat didalamnya. Karena memang pansos akan
membuat seseorang dapat mudah dikenal dan dicari melalui media sosial yang ada. Akan
tetapi, segala sesuatu memiliki dampak baik dan buruknya. Dari fenomena ini penulis tertarik
untuk meneliti mengenai fenomena pansos gembala sidang yang ditinjau dari segi etika dan
bagaimana dampaknya terhadap jemaat yang sedang digembalakan. Agar melalui kepenulisan
ini dapat menjadi sebuah refrensi untuk menyikapi fenomena ini dengan benar.
Kata-kata kunci: etika; pansos; penggembalaan
Abstract
The phenomenon of social assistance in modern times is not something strange to
hear. Social assistance or what is often interpreted as social climbing is when someone likes
to seek public attention, especially on social media.
This phenomenon does not just happen to young people today, but God's servants are
also involved in it. Because indeed the social assistance will make someone easily recognized
and searched through existing social media. However, everything has its good and bad
effects. From this phenomenon, the authors are interested in examining the phenomenon of
the pastoral committee in terms of ethics and how it impacts the congregation being
shepherded. So that through authorship it can be a reference to address this phenomenon
correctly.
Key words: ethics; social climber; social assistance; herdsman
Pendahuluan
Gereja tidak akan pernah terlepas dari berbagai masalah dan polemik. 1 Perkembangan zaman
yang meliputi modernisasi sarana komunikasi membuat berbagai kalangan dapat mengakses media
sosial dengan mudah. Fenomena Pansos (panjat sosial) kini telah merebak di jagat raya.
Bermodalkan smartphone seluruh kalangan dapat mengunggah foto, video, serta tulisan dengan
mudah dan dapat diakses oleh siapapun dan kapanpun.
Praktik pansos (social climber) ini dilakukan secara terencana, masif dan terkadang begitu
bombastis, dengan harapan dari sang pelaku agar mendapatkan sebuah panggung dan banyak media
meliputnya, sehingga pelaku dapat meraih sebuah ketenaran.2 Hal ini berbeda dengan narcissism
yang mengekspresikan cinta pada diri sendiri (self-centered) tanpa ada tujuan kepopularitasan.3
Jika, semua kalangan dapat melakukan pansos (social climber), lalu bagaimana dengan sorang
gembala yang menjadi figur utama didalam sebuah gereja? Mungkinkah hal tersebut dapat menjadi
sesuatu yang wajar di dalam sebuah kepemimpinan gereja? Oleh sebab itu, tujuan dari kepenulisan
ini ingin mengungkapkan mengenai fenomena social climber oleh gembala sidang dan solusinya.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode studi literature. Penulis berusaha menjawab
permasalahan penelitian dengan mencari sumber-sumber literatur yang berkorelasi dengan masalah
penelitian. Sumber-sumber tersebut adalah buku-buku teks, jurnal, website dan karya ilmiah
lainnya.
1
Joseph Christ Santo and Dapot Tua Simanjuntak, “Pengaruh Keteladanan Hidup Gembala Sidang Terhadap
Pertumbuhan Gereja,” KHARISMATA: Jurnal Teologi Pantekosta 2, no. 1 (2019): 28–41.
2
Loc.cit, Agus Riyanto.
3
Engkus Engkus, Hikmat Hikmat, and Karso Saminnurahmat, “Perilaku Narsis Pada Media Sosial Di Kalangan Remaja
Dan Upaya Penanggulangannya,” Jurnal Penelitian Komunikasi 20, no. 2 (2017): 121–134.
Fidei: Jurnal Strategi dan Misi Pertumbuhan Gereja
ataupun pekerjaannya.4 Social Climber adalah perilaku yang abnormal sebab individu terjebak
didalam ekspetasinya sendiri sehingga ketika realitanya tidak sesuai dengan ekspetasinya, ia akan
terus menaikkan kepopularitasannya.5 Jika dilihat pada aspek psikoanalisa social climber adalah
suatu kenyataan ketidakseimbangan Id, Ego, dan SuperEgo dari pengidap. Kasus yang terjadi pada
seseorang yang mengidap cocial climber, yaitu dimana Id mereka lebih mendominasi daripada Ego
dan SuperEgo mereka. Sehingga memunculkan implusif-impusif bayangan akan hasrat mereka
yang semestinya dapat dikendalikan oleh ego dan dirintai oleh SuperEgo. Jika dilihat dengan
seksama sebenarnya terdapat konflik anatara Id, Ego dan SuperEgo dimana Id memiliki keinginan
yang lebih besar dari Ego dan SuperEgo, akan tetapi relaitas tidak mendukung akan hal itu. 6
Sehingga menyebabkan pelaku melakukan segala perilaku yang dapat memuaskan Id-nya tersebut
dengan ambisius.
Sedikit pembahasan mengenai Id, Ego dan SuperEgo menurut Sigmund Freud, pertama, Id
adalah suatu insting baik untuk bertahan hidup (libido) maupun insting untuk mati (dorongan
agresif). Id bekerja untuk memenuhi dorongan insting untuk memuaskan kebutuhan fisik pelaku. Id
bertujuan untuk mengurangi ketegangan dengan cara meningkatkan kesenangan dan akan
menghidari rasa sakit. Cara kerja Id menganut sebuah prinsip kesenangan (Pleasure Principle).
Kedua, Ego adalah aspek-aspek rasiona yang bertanggungjawab mengendalikan Id. Ego berfungsi
sebagai mediator anatara Id dan situasi dunia luar dan memfasilitasi interaksi antara keduanya. Ego
mengikuti prinsip realitas yang berusaha menahan tuntutan Id yang ingin segera dipenuhi dan
sampai menemukan obyek yang teat untuk memuaskan kebutuhan dan menurunkan tensi. Dan
Ketiga, adalah SuperEgo yaitu aspek moral dari kepribadian yang berasal dari pengasuhan orang tua
atau norma-norma dan nilai-nilai di dalam masyarakat.7
Sedangkan psikolog Dinuriza Lauzi berkata bahwa social climber adalah “orang-orang yang
tidak peduli dengan yang namanya proses untuk naik ke status sosial yang lebih tinggi. Image yang
paling menonjol bagi pelaku social climber adalah gaya hidup di mana pengeluaran lebih besar
dibanding pemasukan”8 Para pengidap social climber umumnya memiliki gaya hidup yang mewah,
bisa di-indikasi melalui barang-barang yang mereka pakai yang seringkali menggunakan brand-
brand yang terkenal. Sebab seringkali pengidap social climber akan malu menggunakan barang
yang tanpa brand. Dari barang-barang bermerek yang mereka pakai akan membuat kepercayaan
4
Universitas Kristen Petra et al., . “. RPXQLNDVL . HORPSRN 3 Social Climber ´ 3DGD Kelompok Pergaulan Di
Surabaya Townsquare ( Sutos )” (2012).
5
Ketrin; naan, “Social Climber Dalam Perpektif Psikologi Barat Dan Tasawuf Pada Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial
Dan Politik UIN Sunan Gunung Djati Bandung,” Journal.Uinsgd.Ac.Id 2, no. 2 (2019): 130–141.
6
Ibid.
7
Ki Fudayartanta, “Psikologi Umum 1 & 2,” Psikologi (2011), Universitas pembangunan jaya.
8
Dari Perspektif and Etika Kristen, “Fenomena Social Climber Ditinjau” 2, no. 2 (2019): 303–324.
diri mereka muncul dikalangan social mereka sendiri. 9 Itulah salah satu ciri para pengidap social
climber.
5) Kurang Bersyukur.
Mengejar suatu standard yang tinggi membuat para pengidap social climber agak sulit
mengucap syukur dengan apa yang telah miliki. Karena ketidakpuasan akan sesuatu yang mereka
inginkan sebagai kebutuhan.
6) Cara Berkomunikasi yang Menjilat dan Mulai Memanfaatkan Teman.
Selalu ingin menjadi pusat perhatian dan tidak mau menjadi orang yang dirugikan karena
didalam sebuah kelompok. Para social climber tidak akan membiarkan reputasinya sedikitpun
hancur, itulah yang menyebabkan mereka memiliki perilaku yang bertopeng atau munafik.
7) Pemborosan.
Brand-brand yang ternama dan segala aksesoris yang bermerek akan menjadi tolak ukur mereka
meraih kepopularitasan. Sebab dari situ juga kepercayaan diri mereka dapat timbul. Akan tetapi,
hal-hal tersebut tidak dapat dibeli dengan murah. Sehingga para pengidap social climber pastilah
harus memiliki dompet yang agak tebal untuk membeli seluruh perabot-perabot yang mereka
gunakan sehari-hari dan hal itulah yang akan menyebabkan mereka menjadi pemborosan.
8) Eksis.
Para pengidap social climber karena ingin dirinya dikenal oleh banyak orang, maka mereka
akan menjadi kalangan orang yang seringkali pro-aktif didalam social media. Diberbagai setiap
peristiwa mereka pasti akan menyempatkan diri untuk selfie agar dapat diposting melalui social
media. Mereka akan menjadi orang yang sangat eksis di dunia maya.
9) Berperilaku Seperti Kalangan Elite.
Bak seorang yang sangat penting, para pengidap social climber akan merasa dirinya adalah
orang yang elite. Pastinya mereka hanya akan berteman dengan orang-orang yang sesuai dengan
standardnya dan tidak mau menerima saran maupun nasihat. Mereka akan menganggap beberapa
orang yang tidak sesuai standardnya adalah orang-orang rendahan yang tidak layak bergaul dengan
dirinya. Mereka akan benar-benar memilah teman-temannya.
10) Social Climber Menutup Informasi Keluarganya.
Para social climber adalah orang-orang yang hanya berfokus pada dirinya sendiri. Banyak dari
pengidap social climber termasuk orang-orang dalam kalagan biasa secara materi, sehingga
memperkenalkan mengenai keluarga bukanlah sesuatu yang harus diinformasikan kepada khalayak
umum. Jika reputasi keluarga mereka kurang baik, maka mereka akan sangat merahasiakan
mengenai kehidupan keluarganya.
11) Haus akan Pujian dan Penghargaan.
Pujian dan penghargaan akan menjadi suatu indikasi secara pribadi bagi mereka para pengidap
social climber sebagai bentuk adanya pengakuan diri mereka di suatu kalangan tertentu. Sehingga
mereka secara pribadi haus akan suatu pujian dan penghargaan didalam hidup mereka.11
Demikianlah ciri-ciri para pengidap social climber yang dapat diidentifikasi secara jelas
melalui perilaku mereka. Oleh sebab itu sangat tidak disarankan bagi pemimpin-pemimpin gereja
memiliki perilaku social climber didalam pelayanan mereka. Karena ciri-ciri tersebut dapat terbaca
melalui perilaku si pengidap.
Dilihat dari ciri-ciri para pengidap social climber saja sudah dapat menunjukkan bahwa hal
ini akan berdampak kurang baik bagi kehidupan sosial para pengidap. Sebab dampak-dampak yang
disebabkan dari pengidap social climber dapat merugikan banyak orang maupun diri sendiri.
Berikut dampak dari social climber menurut Simon dalam jurnalnya yang berjudul “Fenomena
Social Climber Ditinjau Dari Perspektif Etika Kristen”12:
1) Social climber dapat memicu seseorang melakukan korupsi. Hal itu disebabkan karena
banyaknya keperluan yang harus dipenuhi oleh para pengidap social climber tersebut.
Ekonomi yang sederhana namun keinginan hidup mewah yang tidak sesuai keadaan.
Psikolog Roslina Verauli mengungkapkan bahwa pengidap social climber juga memiliki
hasrat untuk hidup sebagai orang kaya, namun pada kenyataannya tidak demikian karena
keadaan finansial yang tidak memadai.13 Sebagai contoh pegawai negri golongan I yang
menginginkan hidup dengan rumah megah, mobil mewah, barang-barang keseharian yang
sangat berharga atau bermerek sampai ratusan juta, tentu gaji sebagai PBS tidak akan dapat
mencukupi, dan jalan pintasnya yaitu korupsi. Akibat dari para pengidap social climber
yang ingin hidup mewah namun tidak melalui proses yang benar, bahkan diantara mereka
11
Ibid.
12
Ibid.
13
“suka-pamer-seperti-social-climber-ini-dampaknya-bagi-kesehatan-jiwa”,
https://health.detik.com/berita-detikhealth/ Diakses pada tanggal 9 Oktober 2020 pukul 20:55
WIB.
Fidei: Jurnal Strategi dan Misi Pertumbuhan Gereja
juga sampai melakukan penipuan hanya untuk memiliki kehidupan yang mewah.14 Oleh
sebab itu sebenarnya korupsi juga adalah dampak dari social climber. Hidup mewah, banyak
dikenal orang ternama, menjadi pusat perhatian banyak orang adalah suatu prestasi para
pengidap social climber rasakan. Salah satu label yang dimiliki oleh seorang pengidap
social climber adalah tamak.
2) Akibata yang ditimbulkan dari predikat seseorang yang mengidap social climber adalah
sakit jiwa. Meskipun secara diagnosis medis belum membuktikan bahwa social climber
adalah salah satu gangguan jiwa.15 Namun, bukan karena gila atau tidak waras, namun
karena inginan menunjukkan diri yang tidak sesuai dengan keadaan yang sedang
dialaminya. Ingin terlihat kaya padahal ia miskin dan tidak memiliki kemampuan secara
ekonomi sama sekali. Dimana ekspetasi berbanding terbalik dengan realita. Jika ditinjau dari
kesehatan mental, maka pengidap social climber ini dapat disebut sebagai orang yang
gangguan mental. Zakiah Darajat mengatakan “orang yang sakit jiwanya mereka cenderung
cemas, tidak bahagia, gampang marah, sombong, serta suka berbohong. Hal ini terjadi
juga pada di social climber karena kebanyakan mereka menutup keadaan mereka dengan
memperlihatkan apa yang mereka punya. Bahkan mereka rela berbohong dan mengaku-
ngaku barang orang lain sebagai miliknya jika hal itu bisa membuat status sosialnya
meningkat.”16 Bersikap pamer dan memperlihatkan diri seakan-akan kaya dan mampu
secara ekonomi dengan berusaha menutupi realita denagn balutan aksesoris yang mahal,
itulah yang disebut dengan penyakit jiwa. Sigmund Freud menyatakan, sebagaiman dikutip
oleh Bhasin, bahwa social climber sangat mempengaruhi aspek biologis dan aspek
psikologis setiap perempuan dan berpengaruh pada kemampuan dan peran sosialnya.
Doktrin Freudian ini berkembang luas dan yang kemudian dianut oleh banyak kalangan
sehingga menjadi pedoman dan acuan bagi para pendidik, pekerja sosial maupun politisi. 17
Oleh sebab itu social climber menjadi suatu penyakit sosiologis dan psikologis yang dapat
meruntuhkan harkat serta martabat sebuah bangsa.18
3) Pengidap social climber berusaha dengan segala cara untuk mendapatkan materi. Dari
meminta dan mengancam orang tua, memanfaatkan teman atau pacar, bahkan melakukakan
14
“mengenal-social-climber-orang-miskin-yang-ingin-kelihatan-kaya”,
https://www.inovasee.com/ Diakses pada tanggal 9 Oktober pukul 21:02 WIB.
15
https://www.klikdokter.com/info-sehat/read/3614478/social-climber-benarkah-karena-gangguan-kejiwaan Diakses
pada tanggal 11 Oktober 2020 Pukul 08:36 WIB.
16
Dr. Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 1995).
17
Kamla Bhasin, Menggugat Patriarki-Pengantar Tentang Persoalan Dominasi Terhadap Kaum Perempuan
(Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1996).
18
“social-climber-penyakit-jiwa-meruntuhkan-bangsa”, https://hanyalewat.com/ pada tanggal
10 Oktober 2020 pukul 06:54 WIB.
tindak kriminal.19 Hasrat yang ingin terlihat mewah dan glamour memaksa sang pengidap
social climber memenuhi keinginannya tersebut dengan menghalalkan segaa cara. Yusuf
L.N. menyatakan bahwa “Kehidupan yang berorientasi pada kemajuan dalam bidang materi
(pemenuhan kebutuhan biologis) dan melupakan dimensi rohaniah, sangat berpengaruh
buruk kepada pola perilaku manusia sendiri. Kondisi ini ternyata sangat kondusif bagi
berkembangnya masalah-masalah pribadi dan sosial yang berekspresikan dalam suasana
psikologis yang kurang nyaman, seperti perasaan cemas, stress, dan perasaan terasing, serta
terjadinya penyimpangan moral dan system nilai. 20 Dari ungkapan tersebut dapat diketahui
bahwa sangata berbahaya menjadi seseorang yang mengidap social climber karena dapat
mengganggu kehidupan sosial dan psikologinya. Jika dikaitkan degang teori pskiologi
“psikoanalisa” oleh Sigmund Freud maka yang terjadi pada diri seorang social climber
adalah sulitnya kontrol diri. Hal ini terjadi karenan kurangnya kontrol diri (superego) pada
diri individu sehingga individu cenderung dikendalikan oleh keinginan sehingga ego dalam
diri individu akan mendominasi pada diri seseorang.21 Seseorang yang sudah terjangkit
social climber hidupnya akan haus akan pujian dan pengakuan, sehingga bahwa ia adalah
seorang elit, dan itu merupakan kepuasan baginya.
4) Apabila orang kaya mencitrakan dirinya hidup mewah dan glamour merupakan hal yang
lumrah, karena kemwahan yang ia perlihatkan adalah hasil dari proses kerja keras dan
ketekunan yang telah ia lakukan. Ia menerima semua itu sebagai reward (hadiah) atas kerjas
keras dan ketekunannya. Meskipun demikian, prioritasnya tidak diletakkan pada sisi itu. Hal
ini berbeda dengan orang yang berkategori manusia social climber, karena hidupnya yang
berfokus untuk mengejar dan mencritakan bahwa dirinya adalah seorang yang kaya dan
glamour dengan memperlihatkan gaya hidupnya; padahal gaya hidupnya tidak ditopang
dengan materi yang memadai dan cenderung tertutup mengenai kehidupannya yang
sesungguhnya. Seseorang social climber melihat bahwa letak prestasinya ada pada hal-hal
yang dimilikinya sepanjang hidup. Barang mewah, perlakuan khusus dan kemudahan akses
adalah tolak ukur prestasi atau pencapaian mereka dan bahkan seringkali mereka tidak
memperdulikan pencapaian sebuah karier, kedewasaan dan pengetahuan. Hal itu terjadi
karena kelompok sosial elit yang mereka sasar jugaah demikian. Para pengidap social
climber tidak mau menjalani dan menikmati setiap proses sebuah karier, namun hanya
19
“social-climber-penyakit-jiwa-meruntuhkan-bangsa”, https://hanyalewat.com/ pada tanggal
10 Oktober 2020 pukul 06:54 WIB.
20
Syamsu dan Yusuf L.N, Kesehatan Mental-Perspektif Psikologis & Agama (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2018).
21
K. Bertens, Psikoanalisa Sigmund Freud (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006).
Fidei: Jurnal Strategi dan Misi Pertumbuhan Gereja
tertuju pada materi yang teah menjadi orientasi kehidupan mereka, agar dapay
menyesuaikan kehidupan para kelompok elit. Oleh sebab itu, para pengidap social climber
sangat berambisius dalam mencritrakan mengenai kehidapan mewah dan glamour-nya
kepad aorang-orang disekitarnya. Prinsip hidup yang dimiliki oleh para penganut social
climber sangatlah tidak sehat secara mental. Karena tidak mencerminkan kewajaran hidup
dan tidak berdampak positif kepada orang lain. Karena orang yang sehat secara mental tidak
akan memiliki perilaku yang merugikan orang-orang disekitarnya, bahkan akan sangat
menunjukkan respon-respon yang benar didalam kehidupannya sehari-sehari maupun di
dunia kerjanya. Ia akan memiliki prinsip bahwa tidaklah baik mengorbankan hak orang lain
demi kebutuhan pribadinya.22
5) Umumnya pengidap social climber tidak memiliki keadaan ekonomi yang begitu bagus,
namun mereka memaksakan untuk mendapatkan fasilitas yang mewah agar mendapatkan
pengakuan seperti yang mereka harapkan. Perilaku social climber melekat erat pada diri
seseorang yang tidak memiliki kesadaran diri didalam hidupnya, yaitu tidak memiliki
budaya malu karena tidak dapat melihat utuh realitanya. Akibat kurangnya kesadaran diri ini
membuat para pengidap social climber melakukan sesuatu yang merugikan orang lain untuk
pemenuhan kebutuhan diri. Soemarno Soedarsono menyatakan bahwa kesadaran diri
merupakan perwujudan jati diri pribadi, dan seseorang dapat disebut sebagai pribadi yang
berjati diri tatkala dalam pribadi orang yang bersangkutan tercermin penampilan, rasa cipta
dan karsa, sistem nilai (value system), cara pandang (attitude) dan perilaku (behavior) yang
dimiliki.23 Para pengidap social climber seringkali dilabeli sebagai orang yang kurang
memiliki kesadaran diri, sebab realita seringkali berbanding terbalik dengan ekspetasinya.
Sehingga memaksakan segala cara untuk memenuhinya.
laksanakan, yaitu memelihara, menjaga dan memperhatikan jemaatnya dengan tidak luput bahwa
seorang gembala juga adalah role models bagi jemaat-jemaatnya. Sehingga apapun yang dilakukan
seorang gembala sidang akan menjadi sebuah penutan bagi para jemaat yang sedang gembala
sidang gembalakan.
Realistis
Para social climber seringkali berangan-angan dan terobsesi untuk mendapatka sesuatu yang
sangat berharga (harta & reputasi) bak orang-orang elit, akan tetapi mereka selalu gagal melihat
kemampuan diri sendiri. Suatu faham eksistensialisme dapat menjadi suatu jaawaban bagi pengidap
social climber yang tidak dapat memandang jati dirinya sendiri dengan baik. 33 Faham
eksistensialisme mengatakan “manusia adalah individu yang bebas. Namun kebebasan yang
dimilikinya selalu terbatasi dengan fakta akan adanya kebebasan individu lain. Manusia adalah
bebas untuk melakukan dan mendefinisikan dirinya sendiri secara individual”34 ungkapan Jean Paul
31
https://parenting.orami.co.id/magazine/fenomena-social-climber-bagaimana-mama-menyikapinya/ Diakses pada
tanggal 11 Oktober 2020 Pukul 10:30 WIB.
32
Hidup Hedonis, D I Kalangan, and Followers Remaja, “Merupakan Sebuah Media Baru Yang Saat Ini Sangat
Diminati Oleh Masyarakat Indonesia. Media Sosial” 4, no. 2 (2017): 1–12.
33
https://parenting.orami.co.id/magazine/fenomena-social-climber-bagaimana-mama-menyikapinya/ Diakses pada
tanggal 11 Oktober 2020 pukul 10:07 WIB.
34
Sunaro, “MENGENAL FILSAFAT EKSISTENSIALISME JEAN-PAUL SARTRE SERTA IMPLEMENTASINYA
DALAM PENDIDIKAN” (Jurnal UNY Vol 36, No 1, 2010).
Sartre. Meskipun pandangan ini meniadakan keberadaa Tuhan, sebagai negara yang memiliki
falsafah pancasila, yaitu ke-Tuhanan yang Maha Esa, maka tetap harus melibatkan Tuhan
didalmnya dan cukup mengambil maknanya bahwa setiap manusia harus dapat mendefinisikan
dirinya sendiri dengan baik tanpa harus menjadi sekelompok orang lain. Sehingga keinginan-
keinginan para pengidap social climber menjadi bak sekelompok elit yang memiliki barang-barang
berharga dan dikenal banyak orang tidak menjadi suatu fokus utama lagi, karena jati diri yang telah
mereka definisikan sendiri didalam diri dengan melihat realita.
Membangun Prestasi
Pada umumnya seorang social climber kepercayaan dirinya akan terbangun ketika mereka
menggunakan barang-barang mewah. Rasa percaya diri mereka akan timbul dari pada apa yang
mereka rasa dapat menaikkan status sosial mereka. 35 Padahal membangun sebuah prestasi atau
karier akan menjadi suatu langkah yang lebih baik memiliki sesuatu reputasi. Sehingga kepercaayan
diri tersebut dapat dimiliki dengan cara yang benar.
Meningkatkan Spirituaitas
Injil juga termasuk sebuah cara untuk seseorang dapat meningkatkan spiritualitasnya.
Didalam jurnal David Eko Setiawan menyatakan bahwa Injil tidak hanya berdampak kepada
spiritualitas seseorang, tetapi juga kehidupan sosialnya.36 Mengingat seseorang yang mengidap
social climber yang seringkali tidak dapat mengontrol diri untuk mendapatkan sesuatu yang mereka
inginkan serta menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya, maka dengan meningkatkan
spiritualitas didalam diri orang tersebut, maka akan membuat orang tersebut dapat mengintropeksi
dirinya dengan baik dan mengalami sebuah transformasi kehidupan sosialnya.
Simpulan
Fenomena pansos (social climber) bukanlah sesuatu yang aneh lagi didengar di zaman
modern ini, karena fenomena tersebut sudah menjadi sesuatu yang trend dikalangan umum maupun
khusus, maka melalui fakta yang terjadi hari-hari yaitu bahwa fenomena tersebut sudah menjangkit
gereja, dari jemaat sampai kepada gembala sidang. Kepenulisan jurnal ini khusus melihat suatu
problematika pertumbuhan gereja yang disebabkan oleh gembala sidang yang terjangkit keadaan
35
https://parenting.orami.co.id/magazine/fenomena-social-climber-bagaimana-mama-menyikapinya/ Diakses pada
tanggal 11 Oktober 2020 pukul 10:24 WIB.
36
David Eko Setiawan, “Dampak Injil Bagi Transformasi Spiritual Dan Sosial,” BIA’: Jurnal Teologi dan Pendidikan
Kristen Kontekstual 2, no. 1 (2019): 83–93.
Fidei: Jurnal Strategi dan Misi Pertumbuhan Gereja
social climber. Mengingat keadaan social climber dapat merugikan orang-orang disekitarnya,
terlebih lagi hal itu terdapat disuatu gereja. Karena pengidap social climber tidak dapat
membedakan keinginan dan kebutuhan, kehidupan yang dihiasi dengan pernak-pernik mewah dan
glamour serta mengusahakan meraih ketenaran bak orang-orang elit dengan segala cara. Akan
semua hal itu tetap dapat diatasi dengan beberapa solusi sederhana yaitu dengan menghindari gaya
hidup yang hedonisme, memegang faham eksistensialisme untuk mengenal diri secara pribadi,
membangun prestasi serta meningkatkat spiritualitas.
Daftar Pustaka
Bertens, K. Psikoanalisa Sigmund Freud. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Daradjat, Dr. Zakiah. Kesehatan Mental. Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 1995.
Dr. M. Bons-Storm. Apakah Penggembalaan Itu? Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014.
Engkus, Engkus, Hikmat Hikmat, and Karso Saminnurahmat. “Perilaku Narsis Pada Media Sosial
Di Kalangan Remaja Dan Upaya Penanggulangannya.” Jurnal Penelitian Komunikasi 20, no. 2
(2017): 121–134.
Fudayartanta, Ki. “Psikologi Umum 1 & 2.” Psikologi (2011). Universitas pembangunan jaya.
G. D. Dahlenburg. Siapakah Pendeta Itu? Gunung Mulia, 1993.
Gereja, Garis-garis Hukum. “J. L. Ch. Abineno,” (2012).
Hedonis, Hidup, D I Kalangan, and Followers Remaja. “Merupakan Sebuah Media Baru Yang Saat
Ini Sangat Diminati Oleh Masyarakat Indonesia. Media Sosial” 4, no. 2 (2017): 1–12.
Kamla Bhasin. Menggugat Patriarki-Pengantar Tentang Persoalan Dominasi Terhadap Kaum
Perempuan. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1996.
Ketrin; naan. “Social Climber Dalam Perpektif Psikologi Barat Dan Tasawuf Pada Mahasiswa
Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik UIN Sunan Gunung Djati Bandung.” Journal.Uinsgd.Ac.Id 2,
no. 2 (2019): 130–141.
Kosta, Yenda, and Jermia Djadi. “Peranan Gembala Sebagai Pemimpin Dalam Perspektif I Petrus
5:1-4 Dan Relevansinya Pada Masa Kini.” Jurnal Jaffray 9, no. 2 (2011): 172.
Perspektif, Dari, and Etika Kristen. “Fenomena Social Climber Ditinjau” 2, no. 2 (2019): 303–324.
Petra, Universitas Kristen, Nadia Ayu Jayanti, Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Kristen, and
Petra Surabaya. . “. RPXQLNDVL . HORPSRN 3 Social Climber ´ 3DGD Kelompok
Pergaulan Di Surabaya Townsquare ( Sutos )” (2012).
Santo, Joseph Christ, and Dapot Tua Simanjuntak. “Pengaruh Keteladanan Hidup Gembala Sidang
Terhadap Pertumbuhan Gereja.” KHARISMATA: Jurnal Teologi Pantekosta 2, no. 1 (2019):
28–41.
Setiawan, David Eko. “Dampak Injil Bagi Transformasi Spiritual Dan Sosial.” BIA’: Jurnal
Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual 2, no. 1 (2019): 83–93.
Soemarno Soedarsono. Penyelamat Jati Diri. Jakarta: Elek Media Komputindo, 2000.
Sunaro. “MENGENAL FILSAFAT EKSISTENSIALISME JEAN-PAUL SARTRE SERTA
IMPLEMENTASINYA DALAM PENDIDIKAN.” Jurnal UNY Vol 36, No 1, 2010.
Syamsu dan Yusuf L.N. Kesehatan Mental-Perspektif Psikologis & Agama. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2018.
Fidei: Jurnal Strategi dan Misi Pertumbuhan Gereja