Anda di halaman 1dari 18

Adab pada Guru (1)

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc October 3, 2015 Akhlaq 2 Comments 1,783 Views

Adab pada guru atau ahli ilmu pada saat ini dirasa semakin berkurang. Lebih-lebih jika
pertemuan antara pencari ilmu dan guru tidak secara langsung seperti lewat media sosial.
Murid akan mudah mencela, mendebat, berjidal, dan berkata kasar di depan gurunya sendiri.
Itulah barangkali yang kurang dimiliki penuntut ilmu saat ini lebih mementingkan
mempelajari ilmu daripada mempelajari adab. Akhirnya, melekat pada diri mereka watak
keras dan suka mendebat, bahkan tidak santun dengan gurunya. Apalagi jika ia hanya
menggali ilmu dari satu guru. Jika ada guru lain yang berbeda pendapat dengan gurunya,
bisa-bisa ia katakan sesat. Kenapa ada murid bisa bersikap seperti itu? Itulah karena kurang
dalam mempelajari adab.  

Pelajari Adab Dulu Barulah Gali Ilmu

Imam Darul Hijrah, Imam Malik rahimahullah pernah berkata pada seorang pemuda Quraisy,

‫تعلم األدب قبل أن تتعلم العلم‬


“Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.” Kenapa sampai para ulama
mendahulukan mempelajari adab? Sebagaimana Yusuf bin Al Husain berkata,

‫باألدب تفهم العلم‬


“Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.” Guru penulis,
Syaikh Shalih Al-‘Ushaimi berkata, “Dengan memperhatikan adab maka akan mudah meraih
ilmu. Sedikit perhatian pada adab, maka ilmu akan disia-siakan.” Karenanya sampai-sampai
Ibnul Mubarak berkata,

‫ وتعلمنا العلم عشرين‬،ً‫تعلمنا األدب ثالثني عاما‬


“Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu
selama 20 tahun.”  

Adab pertama: Pelajarilah ilmu dari guru, jangan otodidak dengan membaca buku
sendiri.
Asalnya, ilmu agama diperoleh dengan talaqqi langsung dengan guru atau bertatap muka
langsung. Meraih ilmu tersebut disa dari seorang guru, lebih baik lagi jika dari berbagai guru
yang memang terpercaya ilmunya sehingga tidak kaku dalam satu pendapat saja. Ada faedah
belajar dari guru secara langsung:

 Lebih meringkas jalan dalam meraih ilmu. Beda halnya jika ilmu diperoleh dari buku,
yang butuh penelaan yang lama. Kalau lewat guru, ia bisa meringkas perselisihan
ulama yang ada dan bisa mengambil pendapat yang lebih kuat.
 Lebih cepat memahami ilmu. Memang nyata, belajar dari guru lebih cepat memahami
dibanding dengan membaca buku. Karena dalam membaca bisa jadi ada hal-hal atau
istilah yang sulit dipahami. Ini akan sangat terbantu ketika belajar dengan guru.
 Ada hubungan antara murid dan guru, yaitu antara yang junior dalam mencari ilmu
dan yang telah banyak makan garam (alias: berpengalaman).
 Belajar dari guru juga bisa belajar akhlak dan adab darinya secara langsung.

Semoga berlanjut pada adab selanjutnya. Semoga Allah mudahkan untuk mengamalkan
setiap adab yang ada.  

Referensi:

Syarh Hilyah Thalib Al-‘Ilmi li Syaikh Bakr Abu Zaid. Cetakan pertama, tahun 1423 H.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ibnu Al-Haitsam.

Ta’zhim Al-‘Ilmi. Syaikh Shalih bin ‘Abdillah bin Hamad Al-‘Ushaimi,. Muqorrorot
Barnamij Muhimmah Al-‘Ilmi.

Selesai disusun 19 Dzulhijjah 1436 H, di Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Sumber : https://rumaysho.com/12029-adab-pada-guru-1.html
Di antara adab pada guru adalah menghormatinya. Di antara bentuk menghormatinya adalah
memanggilnya dengan panggilan yang santun. Misal yang jadi adat atau kebiasaan di negeri
kita, memanggil guru tersebut dengan sebutan Pak Guru atau Ustadz. Panggilan ini adalah
bentuk panggilan santun pada guru kita.

Hal di atas adalah pengamalan dari hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu
‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫صغِ َرينَا َويُ َو ِّق ْ(ر َكبِ َرينَا‬ ِ ‫لَي‬


َ ‫س منَّا َم ْن مَلْ َي ْر َح ْم‬
َ ْ
“Tidak termasuk golongan kami siapa yang tidak menyayangi yang kecil di antara kita dan
tidak menghormati yang lebih tua di antara kita.” (HR. Tirmidzi no. 1919. Al-Hafizh Abu
Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Juga sebagai penerapan dari ayat Al-Qur’an,

‫ضا‬ ِ ‫ول بينَ ُكم َك ُدع ِاء بع‬


ً ‫ض ُك ْم َب ْع‬ ِ َّ ‫اَل جَتْعلُوا ُد َعاء‬
ْ َ َ ْ َْ ‫الر ُس‬ َ َ
“Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian
kamu kepada sebahagian (yang lain).” (QS. An-Nur: 63). Syaikh Bakr Abu Zaid dalam
Hilyah Thalib Al-‘Ilmi berkata, “Inilah yang ditunjukkan oleh Allah kepada yang
mengajarkan kebaikan pada manusia yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Imam Nawawi rahimahullah menerangkan:

Disunnahkan bagi anak, murid, atau seorang pemuda ketika menyebut ayahnya, guru dan
tuannya agar tidak dengan menyebut nama saja.

Diriwayatkan dalam Kitab Ibnu As-Sunni, dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Jangan jalan di depannya, jangan membantahnya, jangan duduk sebelum
ia duduk, jangan memanggilnya cuma dengan namanya saja.” Yang dimaksud jangan
membantah adalah membantah orang tua ketika orang tua mengingatkan keras atau mengajari
adab pada kita.

Dari ‘Abdullah bin Zahr, ia berkata, “Termasuk durhaka pada orang tua adalah engkau
memanggil orang tua dengan namanya saja dan engkau berjalan di depannya.” (Al-Majmu’,
8: 257)

Syaikh Bakr Abu Zaid dalam kitab Hilyah Thalib Al-‘Ilmi, “Jangan memanggil guru dengan
nama atau laqabnya saja. Seperti jika engkau berkata, “Wahai Syaikh Fulan.” Baiknya
panggillah dengan “Wahai Syaikhku atau Syaikhuna (Syaikh kami).” Baiknya tidak sebut
namanya. Ini lebih beradab. Jangan pula memanggilnya dengan ‘kamu’ atau ‘anta’. Jangan
pula memanggil guru tersebut dari jejauhan kecuali kalau darurat.”

Namun kalau mengabarkan kalau gurunya berkata seperti ini dan seperti itu, maka boleh
menyebut namanya. Misal, guruku, Syaikh Shalih berkata demikian. Ketika itu menyebut
namanya karena bukan dalam keadaan memanggilnya namun cuma pengabaran suatu berita
saja. Lihat Syarh Hilyah Thalib Al-‘Ilmi, hlm. 82.

Semoga Allah mengaruniakan kita dengan akhlak yang mulia dalam memuliakan guru-guru
kita. Semoga Allah juga selalu menjaga guru-guru kita, diberkahi umur dan ilmu mereka.

Referensi:

Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab li Asy-Syairazy. Cetakan kedua, tahun 1427 H. Yahya bin
Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar ‘Alam Al-Kutub.

Syarh Hilyah Thalib Al-‘Ilmi li Syaikh Bakr Abu Zaid. Cetakan pertama, tahun 1423 H.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ibnu Al-Haitsam.

Selesai disusun di Bale Ayu Jogja, 21 Dzulhijjah 1436 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Sumber : https://rumaysho.com/12032-adab-pada-guru-2.html
Salah satu adab lagi di hadapan guru, jika tahu guru tersebut berbuat salah, tetaplah
diingatkan. Namun tentu mesti memperhatikan adab.

Adab ketiga: Menasihati Guru

Yang jelas, kesalahan guru jika tahu, mesti diluruskan dan itu bagian dari nasihat. Karena
tidak ada manusia yang terlepas dari kesalahan. Bisa jadi guru kita juga salah berucap.
Intinya mesti ada nasihat dan pelurusan.

Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Ad Daari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ني َو َع َّامتِ ِه ْم‬ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ


َ ‫ (( لله َولكتَابِه َولَر ُسوله َوألئ َّمة املُ ْسلم‬: ‫ ل َم ْن ؟ قَ َال‬: ‫ِّين النَّصيحةُ )) قلنا‬
ُ ‫(( الد‬
“Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa?” Beliau menjawab, “Bagi Allah,
bagi kitab-Nya, bagi rasul-Nya, bagi pemimpin-pemimpin kaum muslimin serta bagi umat
Islam umumnya.” (HR. Muslim no. 55).

Al-Hasan Al-Bashri berkata,

ِ ‫أحب‬
‫ ويسعون يف األرض‬، ‫عباد اهلل إىل اهلل الذين حُي ببون( اهلل إىل عباده وحُي ببون عباد اهلل إىل اهلل‬ َّ
َّ ‫إن‬
‫بالنصيحة‬
“Sesungguhnya hamba yang dicintai di sisi Allah adalah yang mencintai Allah lewat hamba-
Nya dan mencintai hamba Allah karena Allah. Di muka bumi, ia pun memberi nasehat pada
orang lain.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1: 224).

Nasihat ini adalah tanda cinta pada saudara kita. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

‫ب لَِن ْف ِس ِه‬
ُّ ‫َخ ِيه َما حُي‬
ِ ‫ب أل‬
َّ ِ‫أح ُد ُك ْم َحىَّت حُي‬ ِ
َ ‫ال يُؤم ُن‬
“Tidaklah sempurna iman seseorang di antara kalian sampai ia mencintai saudaranya
sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 13 dan
Muslim no. 45).

Dalam menasihati itu baiknya dilakukan secara diam-diam kecuali ada maslahat dengan
terang-terangan. Karena asal nasihat adalah ingin yang lain menjadi baik, bukan ingin
menjelek-jelekkan. Al-Khattabi berkata,

‫النصيحةُ كلمةٌ يُعرب هبا عن مجلة هي إرادةُ اخل ِري للمنصوح له‬
“Nasihat adalah kalimat ungkapan yang bermakna memberikan kebaikan kepada yang
dinasihati” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1: 219).
Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan,

‫والفاجر يهتك ويُ ِّعي ُر‬


ُ ، ‫ص ُ(ح‬
َ ‫ويْن‬
َ ‫املؤمن يَ ْسُت ُ(ر‬
“Seorang mukmin itu biasa menutupi aib saudaranya dan menasehatinya. Sedangkan orang
fajir (pelaku dosa) biasa membuka aib dan menjelek-jelekkan saudaranya.” (Jami’ Al-‘Ulum
wa Al-Hikam, 1: 225).

Nasihat pada guru ini tetap ada karena tidak ada manusia yang sempurna dan tidak
disyaratkan yang menasihati pula harus bersih dari dosa. Ibnu Rajab Al-Hambali pernah
menyampaikan,

‫فال بد لإلنسان( من األمر باملعروف و النهي عن املنكر و الوعظ و التذكري و لو مل يعظ إال معصوم‬
‫من الزلل مل يعظ الناس بعد رسول اهلل صلى اهلل عليه و سلم أحد ألنه ال عصمة ألحد بعده‬
“Tetap bagi setiap orang untuk mengajak yang lain pada kebaikan dan melarang dari
kemungkaran. Tetap ada saling menasihati dan saling mengingatkan. Seandainya yang
mengingatkan hanyalah orang yang maksum (yang bersih dari dosa, pen.), tentu tidak ada
lagi yang bisa memberi nasihat sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena
sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ada lagi yang maksum.” (Lathaif Al-
Ma’arif, hlm. 42)

Syaikh Bakr Abu Zaid berkata, “JIka guru berbuat salah atau ada suatu kerancuan pada
dirinya, janganlah martabatnya jadi jatuh di pandanganmu. Karena engkau bisa meraih
kemuliaan karena ilmu darinya. Karena siapa yang berani mengaku bahwa ia bisa selamat
dari kesalahan?”

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menerangkan perkataan Syaikh Bakr Abu Zaid
di atas, “Akan tetapi jika guru kita berbuat salah, apakah kita mesti diam atau tetap
mengingatkannya? Kalau ingin mengingatkan apakah mengingatkan di majelis ilmu atau di
tempat lain?

Tentu saja, ada adab yang mesti diperhatikan dalam hal ini.

Kami katakan, jangan sampai kesalahan tersebut didiamkan. Karena kesalahan tersebut
menjadi masalah untuk dirimu sendiri, juga untuk gurumu. Jika kesalahan tersebut
diingatkan, tentu akan jadi lurus. Begitu pula jika ada kerancuan, karena bisa jadi ada salah
kata-kata ketika berucap sehingga perlu sekali dibetulkan. Akan tetapi, apakah kesalahan
tersebut diingatkan di dalam majelis ataukah di luar majelis?

Bisa jadi diingatkan saat itu juga di dalam majelis. Karena kalau tidak diingatkan, ilmu
tersebut barangkali direkam, akhirnya nantinya tersebar padahal ada kekeliruan di dalamnya.
Tentu saja kesalahan tersebut perlu diingatkan di dalam majelis.

Bisa juga kesalahan tersebut diingatkan di luar. Engkau jalan bersamanya (empat mata), lalu
bisa berkata, “Wahai Syaikh, kami tadi mendengar engkau berkata seperti ini dan seperti itu,
kami tidak mengerti atau kami sedikit rancu. Mungkin kami yang salah dengar atau
barangkali ada yang keliru.” (Syarh Hilyah Thalab Al-‘Ilmi, hlm. 84)

Kita dapat simpulkan bagaimanakah cara menasihati guru yang keliru:

 Nasihat didasari karena menginginkan kebaikan pada guru.


 Nasihat adalah tanda cinta pada guru agar tidak terjatuh pada kesalahan.
 Nasihat pada guru baiknya dilakukan sembunyi-sembunyi.
 Nasihat bisa dilakukan di dalam majelis jika memang ada maslahat.
 Tetap santun dalam menasihati.

Semoga Allah menganugerahi kita sekalian ilmu yang bermanfaat. Moga Allah senantiasa
menjaga guru kita, memberkahi ilmu dan waktu mereka.

Referensi:

Lathaif Al-Ma’arif fima Al-Mawasim Al-‘Aam mi Al-Wazhaif. Cetakan pertama, tahun 1428
H. Ibnu Rajab Al-Hambali. Penerbit Al-Maktab Al-Islami.

Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, tahun 1432 H. Syaikh
‘Abdullah Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.

Syarh Hilyah Thalib Al-‘Ilmi li Syaikh Bakr Abu Zaid. Cetakan pertama, tahun 1423 H.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ibnu Al-Haitsam.

Selesai disusun di Darush Sholihin Panggang, Gunungkidul, 22 Dzulhijjah 1436 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Sumber : https://rumaysho.com/12036-adab-pada-guru-3.html
Di antara adab pada guru adalah rajin hadir dalam majelis ilmu, berusaha terus hadir kecuali
ada udzur syar’i.

Kita lihat sebagian halaqah ilmu yang khusus membahas materi rutin, bukan tematik, misal
membahas salah satu kitab ulama, akan nampak beda antara awal dan akhir. Keadaan awal
pasti akan lebih banyak dibandingkan dengan pertemuan akhir. Keadaan awal lebih banyak,
keadaan akhir akan semakin berkurang bahkan bisa jadi tersisa satu atau dua orang. Jarang
sekali majelis yang kita lihat terus istiqamah kecuali yang Allah beri taufik padanya.

Lihat contoh dari para salaf di masa silam bagaimanakah semangatnya mereka dalam
merutinkan menghadiri majelis ilmu pada guru-guru mereka.

Abul Hasan Al-Karkhi berkata, “Aku punya kebiasaan menghadiri majelis Abu Khazim
setiap Jumat. Keesokan harinya di hari Jumat ternyata kosong, namun aku tetap
menghadirinya agar tidak mengurangi kebiasaanku untuk menghadiri majelis tersebut.” (Al-
Hattsu ‘ala Thalib Al-‘Ilmi karya Al-‘Askari, hlm. 78).

Wahb bin Jarir dari bapaknya, ia berkata, “Aku sudah pernah duduk di majelis Al-Hasan Al-
Bashri selama tujuh tahun. Aku tidak pernah absen walau satu hari pun. Aku punya kebiasaan
puasa, lalu aku mendatangi majelis beliau.” (Siyar A’lam An-Nubala’, 6: 362)

Qatadah bin Da’amah As-Sadusi, ulama di kalangan tabi’in yang lahir dalam keadaan buta. Ia
adalah di antara murid Anas bin Malik. Para ulama yang ada ketika itu biasa mengambil ilmu
dari Anas pada pagi dan petang hari. Ada yang menghadiri majelis di pagi hari lantas pergi.
Yang datang di pagi hari memberitahukan ilmu pada orang-orang yang hanya bisa hadir di
petang hari. Suatu saat Anas telat hadir pada majelis sore. Lantas Qatadah membawakan
pelajaran pada orang-orang yang hadir di sore hari mengenai hadits yang ia peroleh di pagi
hari. Ketika Anas menyimak apa yang disampaikan oleh Qatadah, ia melihat bagaimana
bagusnya hafalan Qatadah dan ia pun begitu takjub dengan kecerdasannya. Lantas ia pun
menepuk tangan Qatadah lantas berkata, “Berdiri, wahai Qatadah (dipanggil dengan
panggilan ‘Ya Akmah’, artinya ‘wahai si buta’, pen.), aku baru saja mengambil ilmuku
sendiri darimu.” (Ma’alim fi Thariq Thalab Al-‘Ilmi, hlm. 52-53)

Ini tanda orang yang semangat hadiri majelis ilmu, maka kelak ia akan menuai hasil kerja
kerasnya.

Dari Abu Ad-Darda’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُ‫ َو َم ْن َيت َِّق الشََّّر يُوقَه‬،ُ‫ َم ْن َيتَ َحَّرى اخْلَْيَر يُ ْعطَه‬،‫َّحلُّ ِم‬ ِ ِ ِ َ ‫إِمَّنَا الْعِْلم بِالت‬
َ ‫ َوإمَّنَا احْل ْل ُم بالت‬،‫َّعلُّ ِم‬ ُ
“Sesungguhnya ilmu didapatkan dengan belajar dan sesungguhnya hilm (kesabaran dan
ketenangan) didapat dengan terus melatih diri. Barangsiapa berusaha untuk mendapat
kebaikan, maka Allah akan memberikannya. Barangsiapa yang berusaha untuk menghindari
keburukan, niscaya akan terhindar darinya.” (HR. Ad-Daruquthni dalam Al-Afrad).

Hanya Allah yang memberi taufik. Moga Allah beri keistiqamahan meraih ilmu dari guru-
guru kita.
 

Referensi:

Ma’alim fi Thariq Thalib Al-‘Ilmi. Cetakan kelima, tahun 1431 H. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin
Muhammad bin ‘Abdullah As-Sadhan. Penerbit Dar Al-Qabs.

Selesai disusun di Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 24 Dzulhijjah 1436 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Sumber : https://rumaysho.com/12065-adab-pada-guru-4.html
Salah satu adab lagi ketika berinteraksi dengan guru adalah menjaga adab dalam bertanya.

Seorang murid yang hendak bertanya pada guru hendaklah memperhatikan adab-adab berikut
ini.

1- Maksud bertanya bukan untuk mendebat guru

Dari Ka’ab bin Malik, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

ِ ِ ‫ف بِِه وجوه الن‬


ُ‫َّاس إِلَْيه أ َْد َخلَهُ اللَّه‬ َ ُ ُ َ ‫ص ِر‬ ُّ ‫ى بِِه‬
ْ َ‫الس َف َهاءَ أ َْو ي‬ ِ ِ ِِ ‫من طَلَب الْعِْلم لِيجا ِر‬
َ ‫ى به الْعُلَ َماءَ أ َْو ليُ َمار‬
َ َُ َ َ َْ
‫َّار‬
َ ‫الن‬
“Barangsiapa yang menuntut ilmu dengan maksud untuk bisa mendebat ulama (untuk
menampakkan keilmuannya di hadapan lainnya, pen.) atau untuk mendebat orang-orang
bodoh (menanamkan keraguan pada orang bodoh, pen.) atau agar menarik perhatian yang
lainnya (supaya orang banyak menerimanya, pen.), maka Allah akan memasukkannya dalam
neraka.” (HR. Tirmidzi no. 2654. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini
dha’if. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat penjelasan hadits dalam
Tuhfah Al-Ahwadzi 7: 456)

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,

‫ك‬ ِ ِ‫الس َفهاء والَ خَت َّيروا بِِه الْمجال‬ ِِ‫الَ َتعلَّموا الْعِْلم لِتُباهوا بِِه الْعلَماء والَ لِتُماروا ب‬
َ ‫س فَ َم ْن َف َع َل ذَل‬
َ َ َ ُ َ َ َ َ ُّ ‫ه‬ َُ ََ َُ َُ َ َُ
‫َّار‬
ُ ‫َّار الن‬
ُ ‫فَالن‬
“Janganlah belajar ilmu agama untuk berbangga diri di hadapan para ulama, untuk
menanamkan keraguan pada orang yang bodoh, dan jangan mengelilingi majelis untuk
maksud seperti itu. Karena barangsiapa yang melakukan demikian, maka neraka lebih
pantas baginya, neraka lebih pantas baginya.” (HR. Ibnu Majah no. 254. Al-Hafizh Abu
Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih)

2- Bertanya pertanyaan yang nyata terjadi, bukan yang terjadi di dunia khayalan atau
belum terjadi

Ada yang menanyakan pertanyaan yang sia-sia, belum nyata terjadi. Misal, bagaimana cara
shalat di bulan.
Ada cerita dari Syabatun, nama aslinya Ziyad bin ‘Abdurrahman, seorang fakih dan menjadi
mufti Andalus. ‘Abdul Malik bin Habib berkata, “Kami berada di sisi Ziyad (Syabatun). Kala
itu ada surat dari sebagian raja. Surat tersebut berisi tulisan dan memiliki cap. Syabatun
berkata pada kami bahwa isi surat bertanya tentang dua piringan neraca timbangan (pada hari
kiamat), apakah terbuat dari emas ataukah perak. Syabatun lantas menulis hadits,

‫ِم ْن ُح ْس ِن إِ ْسالَِم الْ َم ْر ِء َت ْر ُكهُ َما الَ َي ْعنِ ِيه‬


“Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.”
(HR. Tirmidzi no. 2317, Ibnu Majah no. 3976. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini shahih). (Siyar A’lam An-Nubala, 9: 312)

Sebagian salaf berkata,

‫َد ْعنَا َع ْن َه َذا َحىَّت َي َق َع َو َس ْل َع َّما َوقَ َع‬


“Tak usah bertanya pada kami sampai hal itu terjadi. Bertanya lagi nantinya kalau sudah
terjadi.”

Kalau ada yang bertanya, “Bagaimana arah kiblat kalau shalat di bulan?” Jawabnya, suruh di
bulan dulu. Kalau sudah di sana, nanti baru di-SMS ke kami, kami akan beri jawabannya.

3- Bertanya dengan memperhatikan waktu dan keadaan guru

Ada pelajaran yang bisa kita ambil dari hadits berikut.

ٍ ‫ال لَهُ أَبُو ُش َعْي‬


ُ ‫صا ِر َر ُج ٌل يُ َق‬ ِ ِّ ‫صا ِر‬ ٍ
‫ال‬
َ ‫ َو َكا َن لَهُ غُالٌَم حَلَّ ٌام َف َق‬، ‫ب‬ َ ْ‫ى قَ َال َكا َن م َن األَن‬ َ ْ‫َع ْن أَىِب َم ْسعُود األَن‬
‫ول اللَّ ِه – صلى‬ َ ‫ فَ َد َعا َر ُس‬، ‫س مَخْ َس ٍة‬ ِ
َ ‫ول الله – صلى اهلل عليه وسلم – َخام‬
ِ َّ َ ‫اصنَع ىِل طَعاما أ َْدعو رس‬
َُ ُ ًَ ْ ْ
َ ‫ َفتَبِ َع ُه ْم َر ُج ٌل َف َق َال النَّىِب ُّ – صلى اهلل عليه وسلم – « إِن‬، ‫س مَخْ َس ٍة‬
(‫َّك َد َع ْوَتنَا‬ ِ
َ ‫اهلل عليه وسلم – َخام‬
ِ ِ ‫ فَِإ ْن ِشْئ‬، ‫خ ِامس مَخْس ٍة وه َذا رجل قَ ْد تَبِعنا‬
» ُ‫ت َتَر ْكتَه‬َ ‫ َوإِ ْن شْئ‬، ُ‫ت لَه‬ َ ْ‫ت أَذن‬َ ََ ٌُ َ ََ َ َ َ
“Dari Abu Mas’ud Al-Anshari, ia berkata bahwa ada seseorang dari kalangan Anshar yang
bernama Abu Syu’aib. Ia memiliki anak yang menjadi seorang penjual daging. Ia katakan
padanya, “Buatkanlah untukku makanan dan aku ingin mengundang Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk jatah lima orang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas
diundang dengan jatah untuk lima orang, namun ketika itu ada seseorang yang ikut bersama
beliau. Kala itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Engkau telah mengundang kami
untuk jatah lima orang, sedangkan orang ini mengikuti kami. Jika engkau mau, izinkan dia
untuk ikut. Jika tidak, ia bisa pulang.” (HR. Bukhari no. 5434 dan Muslim no. 2036).

Dari hadits di atas, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin berkata, “Harusnya
seseorang tidak berat hati ketika ada tuan rumah mengatakan saat ditemui, “Maaf, aku
sekarang sedang sibuk.” Karena sebagian yang lain malah kesal ketika dikatakan seperti itu.
Kekesalan atau kekecewaan seperti itu justru keliru. Karena setiap orang punya hajat penting
ketika berada di rumahnya. Atau ada yang punya urusan dengan orang lain yang lebih
penting. Karenanya, kalau ada yang bertamu, kemudian tuan rumah katakan bahwa ia sedang
ada aktivitas penting, maka janganlah merasa kecewa ketika dikatakan seperti itu. Karena
dalam Islam ada diajarkan seperti itu.” (Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 4: 208)

Dari sini kita bisa ambil pelajaran, setiap penuntut ilmu hendaklah memperhatikan waktu
sibuk gurunya. Setiap pertanyaan di luar majelis terutama belum tentu bisa dijawab. Setiap
SMS atau telepon atau pesan WA, belum tentu bisa dijawab dan dibalas setiap waktu karena
barangkali sedang ada kesibukan dengan keluarga atau kesibukan belajar.

4- Jangan sampai bertanya hanya untuk wawasan, tanpa mau diamalkan

Para ulama salaf berkata,

‫ أ َْو َرثَهُ اهللُ ِع ْل َم َما مَلْ َي ْعلَ ْم‬، ‫َم ْن َع ِم َل مِب َا َعلِ َم‬
“Barangsiapa yang mengamalkan ilmu yang telah ia ketahui maka Allah akan mewariskan
(mengajarkan) kepadanya ilmu yang belum ia ketahui”

Ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala,

‫اه ْم َت ْق َو ُاه ْم‬ ِ َّ


ُ َ‫دى َوآت‬
ً ‫ين ْاهتَ َد ْوا َز َاد ُه ْم ُه‬
َ ‫َوالذ‬
“Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka
dan memberikan balasan ketaqwaannya.” (QS. Muhammad: 17)

ِ َّ
‫دى‬
ً ‫ين ْاهتَ َد ْوا ُه‬ ُ ‫َويَِز‬
َ ‫يد اهللُ الذ‬
“Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk.” (QS.
Maryam: 76)

Lihatlah pula kata Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,

‫َم ْن َت َعلَّ َم ِع ْل ًما مَلْ َي ْع َم ْل بِِه مَلْ يَِز ْدهُ إِالَّ كِْبًرا‬
“Siapa yang belajar ilmu (agama) lantas ia tidak mengamalkannya, maka hanya
kesombongan pada dirinya yang terus bertambah.” (Disebutkan oleh Imam Adz Dzahabi
dalam Al Kabair, hlm. 75)

Wahb bin Munabbih berkata,

‫ب َم َعهُ َد َواءٌ الَ َيتَ َد َاوى بِِه‬


ٍ ‫َمثَل َم ْن َت َعلَّم ِع ْلما الَ َي ْعمل بِِه َكمثَ ِل طَبِْي‬
َ َْ ً َ ُ
“Permisalan orang yang memiliki ilmu lantas tidak diamalkan adalah seperti seorang dokter
yang memiliki obat namun ia tidak berobat dengannya.” (Hilyah Al-Auliya’, 4: 71).

Sufyan bin ‘Uyainah berkata,

‫الس ْو ِ(ء َو ِع ْل ٍم الَ َي ْع َم ُل بِِه‬


ُّ ‫َضُّر َعلَْي ُك ْم ِم ْن ُملُ ْو ِك‬
َ ‫َما َش ْيءٌ أ‬
“Tidak ada sesuatu yang lebih memudhorotkan kalian selain dari raja yang jelek dan ilmu
yang tidak diamalkan.” (Hilyah Al-Auliya’, 7: 287).

‘Abdul Wahid bin Zaid berkata,

‫َم ْن َع ِم َل مِب َا َعلِ َم َفتَ َح اهللُ لَهُ َما الَ َي ْعلَ ُم‬
“Barangsiapa mengamalkan ilmu yang telah ia pelajari, maka Allah akan membuka untuknya
hal yang sebelumnya ia tidak tahu.” (Hilyah Al-Auliya’, 6: 163).

Ma’ruf Al Karkhi berkata, “Jika Allah menginginkan kebaikan pada seorang hamba, Dia
akan membuka baginya pintu amal dan akan menutup darinya pintu jidal (suka berdebat atau
bantah-bantahan). Jika Allah menginginkan kejelekan pada seorang hamba, Dia akan
menutup baginya pintu amal dan akan membuka baginya pintu jidal (suka berdebat)” (Hilyah
Al-Auliya’, 8: 361).

5- Jangan sampai bertanya hanya ingin cari simpati dan pujian

Perhatikanlah niat dalam menuntut ilmu, jangan sampai yang diharap adalah dunia dan pujian
manusia. Bertanya hanya ingin dipandang bahwa ilmunya itu banyak.

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫َم ْن َت َعلَّ َم ِع ْل ًما لِغَرْيِ اللَّ ِه أ َْو أ ََر َاد بِِه َغْيَر اللَّ ِه َف ْليَتََب َّوأْ َم ْق َع َدهُ ِم َن النَّا ِر‬
“Siapa yang belajar agama karena selain Allah -atau ia menginginkan dengan ilmu tersebut
selain Allah-, maka hendaklah ia menempati tempatnya di neraka.” (HR. Tirmidzi no. 2655.
Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib, sedangkan Syaikh Al Albani
mendha’ifkan hadits ini).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

ُّ ‫ضا ِم َن‬ ِ ‫ص‬ ِ ِ ِ ِ ِِ ‫ِ مِم‬


َ ‫الد ْنيَا مَلْ جَيِ ْد َع ْر‬
‫ف‬ ً ‫يب بِه َعَر‬
َ ُ‫َم ْن َت َعلَّ َم ع ْل ًما َّا يُْبَتغَى به َو ْجهُ اللَّه َعَّز َو َج َّل الَ َيَت َعلَّ ُمهُ إالَّ لي‬
‫اجْلَن َِّة َي ْو َم الْ ِقيَ َام ِة‬
“Barangsiapa menuntut ilmu yang seharusnya diharapkan dengannya wajah Allah ‘azza wa
jalla, tetapi ia tidak menuntutnya kecuali untuk mendapatkan sedikit dari kenikmatan dunia
maka ia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat.” (HR. Abu Daud no. 3664 dan Ibnu
Majah no. 252. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Hanya Allah yang memberi taufik. Semoga kita bisa semakin beradab di depan guru-guru
kita dan Allah pun memberkahi ilmu dan umur mereka.

Selesai disusun di Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, 28 Dzulhijjah 1436 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Sumber : https://rumaysho.com/12082-adab-pada-guru-5.html
Di antara adab pada guru dan itu merupakan tanda berkahnya ilmu, hendaklah ilmu tersebut
disandarkan pada guru jika kita memperoleh suatu pelajaran atau faedah penting darinya.

Abu ‘Ubaidah dalam Al-Ilma’ li Al-Qadhi ‘Iyadh, beliau berkata, “Di antara tanda
mensyukuri nikmat ilmu adalah ketika ada sesuatu yang samar dan tak ada keterangan ilmu
ketika itu lantas ada yang memberikan pencerahan, maka kita katakan bahwa kita telah
mendapatkan faedah dari si fulan. Itulah tanda mensyukuri ilmu.” (Lihat Ma’alim fi Thariq
Thalib Al-‘Ilmi, hlm. 210)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Di antara bentuk berbuat baik yaitu menyandarkan
suatu faedah ilmu pada orang yang pertama kali mengatakannya. Siapa yang melakukan
seperti itu, maka berkahlah ilmu dan keadaannya. Siapa yang keadaannya sebaliknya, maka
ilmu dan keadaannya tidaklah dikaruniai keberkahan. Kebiasaan para ulama, mereka selalu
menyandarkan ilmu pada siapa yang mengatakannya. Moga Allah beri taufik pada kita untuk
terus bisa menerapkannya.” (Bustan Al-‘Arifin, dinukil dari Ma’alim fi Thariq Thalib
Al-‘Ilmi, hlm. 211)

Ada yang pernah mengatakan pada Abu Bakr Al-Maruzi bahwa ilmu yang diperoleh ini telah
disebarkan atas nama Abu Bakr Al-Maruzi. Abu Bakr lantas menangis. Ia mengatakan,

‫س َه َذا العِْل ُم يِل َوإِمَّنَا َه َذا ِع ْل ُم أَمْح َ َد بْ ِن َحْنبَ ٍل‬


َ ‫لَْي‬
“Ilmu tersebut bukan dariku. Ilmu tersebut hakikatnya dari Ahmad bin Hambal.” (Tarikh
Baghdad, 4: 424)

Ibnu Taimiyah pun mencontohkan demikian. Ia pernah berkata dalam kitab Ar-Radd ‘ala Al-
Bakri (2: 590, Asy-Syamilah),

‫ض العُلَ َم ِاء‬
ُ ‫َح ًدا قَالَهُ مُثَّ َو َج ْدتُهُ قَ ْد ذَ َكَرهُ َب ْع‬ ِ ‫ت أَ ْذ ُك ُرهُ لِلن‬
َ ‫َّاس َومَلْ أ َْعلَ ُم أ‬
ِ
ُ ‫املعىَن َكثْيًرا َما ُكْن‬
ْ ‫َو َه َذا‬
“Makna seperti ini banyak kutemui, aku mengatakan hal ini pada orang-orang namun aku
tidak mengetahui siapa yang pertama kali menyebutkannya. Kemudian aku dapati bahwa hal
itu disebutkan oleh sebagian ulama.”

Jadi pandai-pandailah mensyukuri ilmu. Termasuk juga di sini adalah aturan dalam copas
status di medsos, hendaklah sandarkan dari mana ilmu tersebut diperoleh.

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Referensi:

Ma’alim fi Thariq Thalib Al-‘Ilmi. Cetakan kelima, tahun 1431 H. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin
Muhammad bin ‘Abdullah As-Sadhan. Penerbit Dar Al-Qabs.


Selesai disusun di Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, pagi penuh berkah, 4 Muharram
1437 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Sumber : https://rumaysho.com/12106-adab-pada-guru-6.html
Di antara adab pada guru adalah terus mendo’akan guru atas ilmu yang diberikan.

Contohilah para ulama yang selalu mendoakan orang yang telah berjasa baik padanya dalam
hal ilmu.

Al-Harits bin Suraij berkata, aku mendengar Al-Qatthan berkata,

‫صهُ بِِه‬ ِِ ِ
ُ ‫ أ‬،‫أَنَا أ َْدعُو اهللَ للشَّافعي‬
ُّ ‫َخ‬
“Aku senatiasa berdo’a pada Allah untuk Imam Syafi’i, aku khususkan do’a untuknya.”

Abu Bakar bin Khalad berkata,

‫صالَيِت لِلشَّافِعِي‬
َ ‫أَنَا أ َْدعُو اهللَ يِف ُدبُِر‬
“Aku selalu berdo’a pada Allah di akhir shalatku untuk Syafi’i.” (Disebutkan oleh Imam Adz
Dzahabi dalam Siyar A’lam An-Nubala’, 10: 20).

Setiap kebaikan hendaklah dibalas. Apalagi kebaikan ilmu yang diberikan. Sulit memang
membalasnya karena ilmu adalah jasa yang tiada tara. Kalaulah itu sulit, maka balaslah
kebaikan tersebut dengan terus mendo’akan orang yang memberikan ilmu. Do’a itu tak henti
dipanjatkan sampai kita merasa telah membalasnya. Termasuk pula kita hendaknya selalu
mendo’akan para ulama yang punya jasa besar pada Islam.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫َّاس‬ َّ
َ ‫الَ يَ ْش ُك ُر اللهَ َم ْن الَ يَ ْش ُك ُر الن‬
“Seorang belum merealisasikan rasa syukur kepada Allah jika ia tidak mampu bersyukur
(berterimakasih) atas kebaikan orang lain terhadap dirinya.” (HR. Abu Daud no. 4811 dan
Tirmidzi no. 1954. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Dari Jabir bin ‘Abdillah Al Anshari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ِ ٌ ‫صنِ َع إِلَْي ِه َم ْع ْر ُو‬


ُ‫ َوإِ ْن َكتَ َمه‬،ُ‫ فَِإ ْن مَلْ جُيْ ِزئْهُ َف ْليُثْ ِن َعلَْيه؛ فَِإنَّهُ إِذَا أَْثىَن َعلَْيه َف َق ْد َش َكَره‬،ُ‫ف َف ْليُ ْج ِزئْه‬ ُ ‫َم ْن‬
‫س ثَ ْويَب ْ ُز ْو ٍر‬ ِ ‫مَّن‬ َّ
َ ‫ فَ َكأَ َا لَب‬،‫ َو َم ْن حَتَلى مَبَا مَلْ يُ ْع َط‬،ُ‫َف َق ْد َك َفَره‬
“Siapa yang memperoleh kebaikan dari orang lain, hendaknya dia membalasnya. Jika tidak
menemukan sesuatu untuk membalasnya, hendaklah dia memuji orang tersebut, karena jika
dia memujinya maka dia telah mensyukurinya. Jika dia menyembunyikannya, berarti dia
telah mengingkari kebaikannya. Seorang yang berhias terhadap suatu (kebaikan) yang tidak
dia kerjakan atau miliki, seakan-akan ia memakai dua helai pakaian kepalsuan.” (HR. Al-
Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 215. Hadits ini shahih sebagaimana kata Syaikh Al-
Albani).
Bentuknya bisa dengan mendoakan rahmat dan kebaikan ketika nama guru kita disebut.

Ibnu Jama’ah Al-Kanani rahimahullah menyebutkan, “Sebagian ulama terkadang


membacakan hadits dengan sanadnya. Mereka lalu mendoakan setiap perawi dalam sanad
tersebut. Itulah bentuk kekhususan karena telah diberikan anugerah ilmu yang luar biasa.”
(Tadzkir As-Sami’ wa Al-Mutakallim, hlm. 64, Ma’alim fi Thariq Thalab Al-‘Ilmi, hlm. 208)

Referensi:

Ma’alim fi Thariq Thalib Al-‘Ilmi. Cetakan kelima, tahun 1431 H. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin
Muhammad bin ‘Abdullah As-Sadhan. Penerbit Dar Al-Qabs.

Siyar A’lam An-Nubala’, Cetakan kedua, tahun 1435 H. Al-Imam Syamsuddin Muhammad
bin Ahmad bin ‘Utsman Adz-Dzahabiy. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.

Syarh Shahih Al-Adab Al-Mufrad li Al-Imam Al-Bukhari. Cetakan kedua, tahun 1425 H.
Syaikh Husain bin ‘Awdah Al-‘Awaysyah. Penerbit Al-Maktabah Al-Islamiyyah.

Selesai disusun di Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, sore hari ba’da ‘Ashar, 7
Muharram 1437 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Sumber : https://rumaysho.com/12128-adab-pada-guru-7.html

Anda mungkin juga menyukai