Partus Prematurus Imminens
Partus Prematurus Imminens
Disusun Oleh :
Pembimbing :
dr. Eric Edwin Y, SpOG
1
Abstrak
2
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut WHO kematian ibu adalah kematian seorang wanita saat hamil atau
sesudah berakhirnya kehamilan oleh sebab apapun, karena tuanya kehamilan dan
tindakan yang dilakukan untuk mengakhiri kehamilan. Angka Kematian Ibu (AKI) di
Indonesia masih sangat tinggi. Gambaran penurunan AKI menurut Survey Demografi
dan Kesehatan Indonesia (SDKI) dari tahun 1994, 1997, sampai 2000 adalah 390/
100.000 kelahiran hidup, 334/ 100.000 kelahiran hidup, dan 307/ 100.000 kelahiran
hidup.
Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan salah satu indikator untuk
mengetahui derajat kesehatan di suatu negara seluruh dunia. AKB di Indonesia masih
sangat tinggi, menurut hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) bahwa
AKB di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 31/1000 KH (kelahiran hidup). Apabila
dibandingkan dengan target dalam Millenium Development Goals (MDGs) ke-4
tahun 2015 yaitu 17/1000 KH, ternyata AKB di Indonesia masih sangat tinggi. Angka
Kematian Bayi (AKB) di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 10,25/1.000
kelahiran hidup, angka kematian ini meningkat bila dibandingkan dengan tahun 2008
sebesar 9,17/1.000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2009).
Partus prematurus dapat diartikan sebagai dimulainya kontraksi uterus yang
disertai dengan perdarahan dan dilatasi serviks serta turunnya kepala bayi pada
wanita hamil yang lama kehamilannya kurang dari 37 minggu (Oxorn, 2010). Partus
prematurus terjadi pada 7-10 % kehamilan sebelum minggu ke-37, 3-4 % kehamilan
sebelum minggu ke-34 dan 1-2 % kehamilan sebelum minggu ke-32. Berat janin pada
partus prematurus antara 1000 sampai 2500 gram.
Persalinan prematur berpotensi meningkatkan kematian perinatal sekitar 65-
67%, umumnya berkaitan dengan berat badan lahir rendah (Nugroho, 2012).
Indonesia memiliki angka kejadian partus prematurus sekitar 19% dan merupakan
3
penyebab utama kematian perinatal (Manuaba, 2004). Kelahiran di Indonesia
diperkirakan sebesar 5.000.000 orang per tahun, maka dapat diperhitungkan kematian
bayi 56/1000 kelahiran hidup, menjadi sekitar 280.000 per tahun yang artinya sekitar
2,2-2,6 menit bayi meninggal. Penyebab kematian tersebut antara lain asfiksia (49-
60%), infeksi (24-34%), BBLR (15-20%), trauma persalinan (2-7%), dan cacat
bawaan (1- 3%).
Angka kematian ibu dan bayi merupakan tolak ukur dalam menilai derajat
kesehatan suatu bangsa, oleh karena itu pemerintah sangat menekankan untuk
menurunkan angka kematian ibu dan bayi melalui program-program kesehatan.
Dalam pelaksanaan program kesehatan sangat dibutuhkan sumber daya manusia yang
kompeten, sehingga apa yang menjadi tujuan dapat tercapai.
BAB II
4
TINJAUAN PUSTAKA
B. Epidemiologi
Pemicu obstetri yang mengarah pada PPI antara lain: (1) persalinan atas
indikasi ibu ataupun janin, baik dengan pemberian induksi ataupun seksio
sesarea; (2) PPI spontan dengan selaput amnion utuh; dan (3) PPI dengan
ketuban pecah dini, terlepas apakah akhirnya dilahirkan pervaginam atau melalui
seksio sesarea. Sekitar 30-35% dari PPI berdasarkan indikasi, 40-45% PPI terjadi
secara spontan dengan selaput amnion utuh, dan 25-30% PPI yang didahului
ketuban pecah dini (Harry dkk, 2010).
Konstribusi penyebab PPI berbeda berdasarkan kelompok etnis. PPI pada
wanita kulit putih lebih umum merupakan PPI spontan dengan selaput amnion
5
utuh, sedangkan pada wanita kulit hitam lebih umum didahului ketuban pecah
dini sebelumnya. PPI juga bisa dibagi menurut usia kehamilan: sekitar 5% PPI
terjadi pada usia kehamilan kurang dari 28 minggu (extreme prematurity), sekitar
15% terjadi pada usia kehamilan 28-31 minggu (severe prematurity), sekitar 20%
pada usia kehamilan 32-33 minggu (moderate prematurity), dan 60-70% pada
usia kehamilan 34-36 minggu (near term). Dari tahun ke tahun, terjadi
peningkatan angka kejadian PPI, yang sebagian besar disebabkan oleh
meningkatnya jumlah kelahiran preterm atas indikasi (Harry dkk, 2010).
9
4. Insufisiensi uteroplasenta
Salah satu penyebab infusisiensi uteroplasenta yaitu hipertensi pada
kehamilan, salah satunya yaitu preeklampsia. Kejadian kelahiran preterm
yang dipengaruhi oleh preeklamsi/eklamsi terjadi akibat spasmus
pembuluh darah. Menurunya aliran darah ke plasenta mengakibatkan
gangguan fungsi plasenta. Spasme arteriol yang mendadak dapat
menyebabkan asfiksia berat. Jika spasme berlangsung lama akan
mengganggu pertumbuhan janin. Jika terjadi peningkatan tonus dan
kepekaan uterus terhadap rangsangan dapat menyebabkan partus
prematurus. Menurunnya aliran darah ke plasenta mengakibatkan
gangguan fungsi plasenta. Pada hipertensi yang agak pertumbuhan janin
terganggu, pada hipertensi yang lebih pendek bisa terjadi gawat janin
sampai kematian karena kekurangan oksigensi. Kenaikan tonus uterus
dan kepekaan terhadap perangsang sering didapatkan pada preeklamsi
dan eklamsi, sehingga mudah terjadi partus prematurus.
11
2) Faktor resiko minor : Penyakit yang disertai demam, perdarahan
pervaginam setelah kehamilan 12 minggu, riwayat pielonefritis,
merokok lebih dari 10 batang perhari, riwayat abortus pada trimester II,
riwayat abortus pada trimester I lebih dari 2 kali.
Pasien tergolong risiko tinggi bila dijumpai satu atau lebih faktor risiko
mayor; atau dua atau lebih faktor risiko minor atau keduanya.
Namun selain faktor reksiko diatas ditemukan ada faktor resiko yang
menyertai seperti status sosial ekonomik yang rendah, kelompok- kelompok
etnik tertentu, wanita yang kecil, merokok, bakteriuria dan perawatan prenatal
yang jelek.
12
or > 40 years, low
prepragnancy weight, non-
caucasian race, multiple
pregnancy, short interval
between pregnancy (3 months),
inadequate or excessive weight
gain during pregnancy,
previous abortion, previous
laceration of cervix uterus.
13
perforated gastric or duodenal
ulcer, adnexal torsion, maternal
trauma or burns.
14
Pengukuran FFN didasarkan pada membran protein dari sel desidual
plasenta, dimana ketika FFN meningkat maka kemungkina telah
terjadinya kondisi yang mengarah ke persalinan preterm.
d. Pengukuran panjang serviks
Untuk pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah dengan
mengukur panjang dari serviks. Umumnya pertumbuhan serviks yang
masih pendek pada awal atau akhir trimester kedua akan mempengaruhi
terjadinya persalinan preterm.
3. Evaluasi Pre-konsepsi
Ketika risiko persalinan pretem pada pasien multipara menjadi sulit untuk
diatasi, adanya riwayat persalinan sebelumnya dan kemampuan psikologis ibu
menjadi salah satu bagian terpenting untuk proses kehamilan berikutnya.
Melakukan proses identifikasi sebelumnya pada proses pre-konsepsi akan dapat
membantu dalam menentukan kearah perjalanan berikutnya. Telah diketahui
bahwa sekitar 30% seorang ibu akan dapat mengalami kehamilan kembali pada
rentang 2 tahun setelah persalinannya, dan ini menjadi salah satu standar
intervensi tindakan berikutnya.
4. Trauma Serviks
Penyebab tersering terjadinya persalinan preterm adalah perlukaan pada
daerah serviks, yang bisa diakibatkan karena tindakan operatif pada proses
dysplasia uterus, atau akibat persalinan. Komplikasi yang tersering akibat proses
aborsi bahwa pada masa 10 minggu kehamilan adalah terjadinya persalinan
preterm akibat serviks yang telah mengalami dilatasi sampai 10 mm. Namun,
dapat juga ditemukan bahwa persalinan preterm dapat muncul pada terminasi
elektif trimester kedua atau lebih. Dilatasi serviks dengan diperantarai oleh
laminaria atau kontraksilitas serviks seperti penggunaan misoprostol akan dapat
melukai serviks daripada tindakan mekanikal dilatasi manual biasa.
15
Displasia serviks harus dapat ditangani dengan tepat ketika diagnosa telah
ditegakkan. Namun, tindakan dalam penanganan diplasia serviks akan
meningkatkan kecenderungan persalinan preterm sebanyak 200-300%. Risiko
akan diperberat apabila tindakan operatif yang melukai permukaan serviks telah
dilakukan.
Trauma pada persalinan akan mempermudah terjadinya kesulitan pada kala III
atau mempermudah persalinan preterm. Ketika seorang ibu memiliki riwayat
laserasi serviks, umumnya mereka tidak menyadari bahwa kecenderungan
terjadinya laserasi pada serviks menjadi lebih tinggi. Defek sekitar 50% pada
serviks akan meningkatkan terjadinya persalinan preterm pada trimester kedua.
Akurasi pengukuran gelombang ultrasonic transvaginal akan dapat membantu
dalam mendiagnosa kemungkinan terjadinya persalinan preterm terlebih dahulu.
16
meningkat sebanyak 15%, 30%, dan 45% apad persalinan berikutnya. Konseling
ore-konsepsi akan membantu ibu untuk menentukan tindakan apa yang dilakukan
pada kehamilannya. Waktu yang baik adalah pada minggu ke-4 atau ke-6 setelah
persalinan preterm yang dialami oleh ibu.
17
multiple congenital, trauma serviks, atau inkompetensinya serviks. Dengan
pendataan rekam medic yang tepat akan membantu dalam menilai kemungkinan
penyebab pasti dari keguguran pada trimester kedua.
D. Diagnosis
Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman PPI
(Wiknjosastro, 2010), yaitu:
1. Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau antara 140 dan 259 hari,
2. Kontraksi uterus (his) teratur, yaitu kontraksi yang berulang sedikitnya
setiap 7-8 menit sekali, atau 2-3 kali dalam waktu 10 menit,
3. Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai kaku menstruasi,
rasa tekanan intrapelvik dan nyeri pada punggung bawah (low back pain),
4. Mengeluarkan lendir pervaginam, mungkin bercampur darah,
5. Pemeriksaan dalam menunjukkan bahwa serviks telah mendatar 50-80%,
atau telah terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm,
6. Selaput amnion seringkali telah pecah,
7. Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika.
Kriteria lain yang diusulkan oleh American Academy of Pediatrics dan The
American Collage of Obstetricians and Gynecologists (1997) untuk
mendiagnosis PPI ialah sebagai berikut:
1. Kontraksi yang terjadi dengan frekuensi empat kali dalam 20 menit atau
delapan kali dalam 60 menit plus perubahan progresif pada serviks,
2. Dilatasi serviks lebih dari 1 cm,
3. Pendataran serviks sebesar 80% atau lebih.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk mendukung ketepatan
diagnosis PPI :
1. Pemeriksaan Laboratorium: darah rutin, kimia darah, golongan ABO,
faktor rhesus, urinalisis, bakteriologi vagina, amniosentesis : surfaktan,
gas dan PH darah janin.
18
2. USG untuk mengetahui usia gestasi, jumlah janin, besar janin, kativitas
biofisik, cacat kongenital, letak dan maturasi plasenta, volume cairan tuba
dan kelainan uterus
E. Penatalaksanaan
Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada PPI, terutama untuk mencegah
morbiditas dan mortalitas neonatus preterm ialah:
1. Pencegahan Partus Prematurs
a. Dilaksanakan perawatan prenatal, diet, pemberian vitamin dan
penjagaan hygiene.
b. Aktivitas (kerja, perjalanan, coitus) dibatasi pada pasien-pasien dengan
riwayat partus pre-matur.
c. penyakit- penyakit demam yang akut harus segara diobati secara aktif
dan segera.
d. keaddan seperti toksemia dan diabetes memerlukan kontrol ang
seksama.
e. tindakan pembedahan abdomen yang elektif dan tindakan operasi gigi
yang berat harus di tunda.
2. Tindakan Khusus
a. pasien-pasien dengan kehamilan kembar harus istirahat di tempat tidur
sejak minggu ke -28 hingga minggu ke 36 atau ke 38.
b. Pasien dengan Fibromyoma uteri bila timbul keluhan dirawat dengan
istirahat ditempat tidur dan diberikan analgesia, tindakan pembedahan
perlu ditunda sebisa mungkin.
c. pada pasien dengan placenta previa perlu dirawat denga istirahat total
dan transfusi darah untuk menunda kelahiran bayi sampai tercapai
ukuran yang viabal. Namun apabila terlajdi perdarahan hebat sehingga
mengancam kondisi ibu dan bayi maka perlu dilakukan tindakan
pembedahan.
19
d. sectio seacarea elektif dan ulangannya hanya dilakukan apabila kita
yakin bahwa bayi dusah cukup besar. Kerugian pada pembedahan yang
terlalu dini dapat menyebabkan kelahiran bayi kecil yang tidak bisa
bertahan hidup di luar kandungan.
e. obat-obatan yang dapat digunakan untuk menghintikan persalinan.
20
(RDS), mencegah perdarahan intraventrikular, necrotising enterocolitis, dan
duktus arteriosus, yang akhirnya menurunkan kematian neonatus.
Kortikosteroid perlu diberikan bilamana usia kehamilan kurang dari 35
minggu.
Obat yang diberikan ialah deksametason atau betametason. Pemberian
steroid ini tidak diulang karena risiko pertumbuhan janin terhambat.
Pemberian siklus tunggal kortikosteroid ialah:
a. Betametason 2 x 12 mg i.m. dengan jarak pemberian 24 jam.
b. Deksametason 4 x 6 mg i.m. dengan jarak pemberian 12 jam.
Selain yang disebutkan di atas, juga dapat diberikan Thyrotropin
releasing hormone 400 ug/ iv, yang akan meningkatkan kadar tri-
iodothyronine yang kemudian dapat meningkatkan produksi surfaktan.
Ataupun pemberian suplemen inositol, karena inositol merupakan komponen
membran fosfolipid yang berperan dalam pembentukan surfaktan.
21
a. Kalsium antagonis: nifedipin 10 mg/oral diulang 2-3 kali/jam,
dilanjutkan tiap 8 jam sampai kontraksi hilang. Obat dapat diberikan lagi
jika timbul kontaksi berulang. dosis maintenance 3x10 mg.
b. Obat ß-mimetik: seperti terbutalin, ritrodin, isoksuprin, dan salbutamol
dapat digunakan, tetapi nifedipin mempunyai efek samping yang lebih
kecil. Salbutamol, dengan dosis per infus: 20-50 µg/menit, sedangkan per
oral: 4 mg, 2-4 kali/hari (maintenance) atau terbutalin, dengan dosis per
infus: 10-15 µg/menit, subkutan: 250 µg setiap 6 jam sedangkan dosis per
oral: 5-7.5 mg setiap 8 jam (maintenance). Efek samping dari golongan
obat ini ialah: hiperglikemia, hipokalemia, hipotensi, takikardia, iskemi
miokardial, edema paru. Terbutalin sulfat merupakan obat yang
pemakaian utamanya sebagai bronchodilator pada penyakit asma dan
bronkitis kronis, namun obat ini mempunyai kemampuan untuk menekan
kontraksi uterus. Obat in tampaknya merupakan preparat yang berkhasiat
dan efektif untuk menghambat persalinan. Indikasi untuk melambatkan
atau menghentikan pemberian obat tersebut mencakup denyut nadi ibu
yang melebihi 140 kali/menit, terjadinya palpitasi yang serius, dan
hipotensi. Begitu kontraksi berhenti, infus dipertahankan pada takaran
yang berhasil selama 6 jam dan kemudian pelan pelan dikurangi.
c. Sulfas magnesikus: dosis perinteral sulfas magnesikus ialah 4-6 gr/iv,
secara bolus selama 20-30 menit, dan infus 2-4gr/jam (maintenance).
Namun obat ini jarang digunakan karena efek samping yang dapat
ditimbulkannya pada ibu ataupun janin. Beberapa efek sampingnya ialah
edema paru, letargi, nyeri dada, dan depresi pernafasan (pada ibu dan
bayi).
d. Penghambat produksi prostaglandin: indometasin, sulindac,
nimesulide dapat menghambat produksi prostaglandin dengan
menghambat cyclooxygenases (COXs) yang dibutuhkan untuk produksi
prostaglandin. Indometasin merupakan penghambat COX yang cukup
22
kuat, namun menimbulkan risiko kardiovaskular pada janin. Sulindac
memiliki efek samping yang lebih kecil daripada indometasin. Sedangkan
nimesulide saat ini hanya tersedia dalam konteks percobaan klinis.
23
positif (dengan hasil > 50ng per ml) setelah kehamilan 20 minggu,
mengidentifikasikan disrupsi sel desidual. Pada tahun 1995, Badan Administrasi
Obat-obatan Dan Makanan Amerika Serikat men-sahkan immnunoassay
enzimatik fibronektin dapat digunakan untuk skreening persalinan preterm. Pada
pasien yang simptomatik, fetal fibronektin, memiliki hasi sensitiviitas yang tinggi
(69-93%) dan hasil prediktif negative senilai 99,7% (hal ini berarti hanya ada 1
hasil negatif dari 333 kemungkinan persalinan yang terjadi). Hasil yang positif
menandakan bahwa ada kemungkinan sekitar 83% pasien dengan keadaan yang
simptomatik.
Tabel 2. Hasil Marker Biomekanikal Prediksi Persalinan Preterm
24
BAB III
ANALISIS KASUS
Seorang G2P1A0, 23 tahun, umur kehamilan 34+3 minggu datang dengan keluhan
kenceng-kenceng sejak 12 jam sebelum masuk rumah sakit. Kenceng-kenceng atau
his merupakan salah satu tanda persalinan, dimana seharusnya terjadi pada usia
kehamilan aterm, yaitu pada usia kehamilan 38-40 minggu. Namun karena pasien
sudah merasakan his teratur pada usia kehamilan antara 20-37 minggu, telah
mememenuhi salah satu kriteria diagnosis Partus Prematurus Imminens
(Wiknjosastro, 2010).
Partus Prematurus Imminens adalah persalinan yang berlangsung pada umur
kehamilan 20 – 37 minggu dihitung dari hari pertama menstuasi terakhir (HPMT)
(ACOG, 1995). Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa bayi premature
adalah bayi yang lahir pada usia kehamilan 37 minggu atau kurang.
Dari hasil anamnesis pasien mengeluhkan telah mengalami kenceng-kenceng
teratur sejak 12 jam yang lalu, namun air ketuban masih belum dirasakan keluar, dan
belum merasakan adanya lendir darah. Dari gejala yang dialami pasien tersebut,
adanya his teratur ini yang menjadi ancaman terjadinya persalinan dalam usia
kehamilan preterm.
Hasil palpasi abdomen menunjukkan janin tunggal intrauterine, memanjang,
presentasi kepala, punggung kanan, kepala belum masuk panggul, his (+) 2x/10
menit/ 30 detik, DJJ (+) 150x/menit, TFU 30 cm, TBJ 2635 gram. Dan dari
pemeriksaan USG didapatkan plasenta insersi di corpus grade II. Dari hasil
pemeriksaan tersebut janin kesan dalam keadaan baik, kecuali pada his ibu yang
seharusnya belum muncul di usia kehamilan tersebut..
Sedangkan pada pemeriksaan VT, didapatkan hasil vulva uretra tenang, dinding
vagina dalam batas normal, portio lunak mencucu di belakang, belum ada
pembukaan, effecement 20%, presentasi kepala, kepala di Hodge I, kulit ketuban dan
25
penunjuk belum dapat dinilai, AK (-), STLD (-). Hasil tersebut menunjukkan belum
ada tanda persalinan lainnya.
Pasien tidak memiliki riwayat abortus maupun perdarahan sebelumnya, namun
ditemukan adanya penyakit anemia sehingga pada tanggal 25-29 Mei 2015 pasien di
mondokkan untuk transfusi darah, selain itu pasien termasuk dalam golongan status
sosial ekonomik rendah sehingga hal ini dapat menjadi faktor resiko terjadinya partus
prematurus imminens pada pasein tersebut.
Karena kondisi janin saat ini masih baik dan masih perlu waktu pematangan
hingga usia kehamilan aterm, maka pada pasien ini diperlukan terapi konservatif
untuk mempertahankan kehamilannya serta mengurangi his yang sudah ada saat ini.
Pada pasien ini perlu diberikan tokolitik, yaitu obat untuk menurunkan kontraksi
uterus sehingga menghentikan his yang ada saat ini agar tidak berlanjut terjadinya
persalinan di usia kehamilan preterm.
Pada pasien ini diberikan tokolitik terbutaline sulfate. Terbutalin sulfate
merupakan obat yang pemakaian utamanya sebagai bronchodilator pada penyakit
asma dan bronkitis kronis, namun obat ini mempunyai kemampuan untuk menekan
kontraksi uterus. Obat ini tampaknya merupakan preparat yang berkhasiat dan efektif
untuk menghambat persalinan.
.
26
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Kesehatan Jawa Tengah. 2009. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun
2009.http://www.dinkesjatengprov.go.id/dokumen/profil/2009/Profil_2
009br.pdf (diakses 28 Juni 2015)
Hariadi, R. 2004. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Surabaya : Himpunan Kedokteran
Fetomaternal Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.
Manuaba, I.A.C. dkk. 2004. Gawat Darurat Obstetri Ginekologi & Obstetri
Ginekologi Sosial. Jakarta : EGC.
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Nugroho, Taufan. 2012. Buku Ajar Obstetri. Yogyakarta : Nuha Medika.
Oxorn Harry, dkk. 2010. Ilmu Kebidanan Patologi dan Fisiologi Persalinan (Human
Labor and Birth). Yogyakarta : YEM.
Wiknjosastro, H. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka, Sarwono
Prawirohardjo.
27