ABSTRAK
Jarak antara relief candi (sebagai karya seni rupa) dengan audiensnya menjadi cukup jauh saat
ini, karena pemahat relief (taksaka) Jataka Borobudur hidup dalam ruang dan waktu yang ber-
beda dengan pemirsanya saat ini. Kesenjangan ini perlu dijembatani oleh sebuah pisau analisis
yang lebih “membumi”, karena relief Jataka Borobudur diciptakan dalam setting dan kosmologi
bumi Indonesia. Pisau analisis yang dimaksud adalah analisis bahasa rupa vT (versi Tabrani)
yang disinyalir tidak “ngebarat”. Primadi Tabrani telah menjadi pembuka model analisis bahasa
rupa semacam ini. Sebagaimana sering dilakukan para peneliti saat ini, ketika meneliti karya seni
rupa tradisi menggunakan pisau analisis Barat (estetika, semiotika, nirmana, dll). Oleh karena itu
seni rupa tradisi perlu dianalisis secara kosmologis, agar lebih membumi/meng-Indonesia.
Berdasarkan setting dan kosmologi budaya masa Mataram Kuno/Syailendra, maka relief Jataka
pada candi Borobudur disampling secara purposif, untuk selanjutnya dianalisis bahasa rupanya.
Berdasarkan hasil penelitian ini, terlihat bahwa para taksaka relief Jataka saat itu lebih
menggambarkan apa yang dipikirkan (berpikir tentang naskah cerita) dari pada apa yang dilihat
secara rasional. Dengan demikian konsep penciptaan karya seni rupa tradisi (oleh taksaka relief
Jataka Borobudur) berlawanan dengan apa yang dikemukakan oleh para seniman modern. Ketika
menciptakan karya seni rupa, para taksaka cenderung berpegang pada pandangan ‘thinking is
believing,’ sedangkan seniman modern cenderung berpegang pada pandangan bahwa ‘seeing is
believing.’ Bukti bahwa para taksaka cenderung thinking is believing terlihat pada bahasa rupa
tradisi relief Jataka candi Borobudur yang bercirikan: dari kepala ke kaki, sinar X, gapura
panggung, tepi bawah panel = garis tanah, diperbesar/diperkecil, rinci diperbesar, digeser, latar
berlapis/sejumlah latar, dan dibaca prasavya.
Kata kunci: bahasa rupa, seeing, relief Jataka candi Borobudur, thinking, taksaka.
A. PENDAHULUAN
Candi Borobudur adalah sebuah candi Budha yang diciptakan pada masa dinasti Syailendra
sekitar abad 8-9 M. Jika dilihat fungsinya, banyak literatur yang menyebutkan bahwa candi ini
berfungsi sebagai tempat pemujaan. Namun dalam kosmologi Budha, bukanlah sebagai pemuja-
an terhadap dewa namun lebih kepada pemujaan terhadap ajaran Budha Gautama. Jadi, candi
Borobudur merupakan “kitab suci agama Budha” yang merefleksikan ajaran Budha Gautama
melalui relief-reliefnya. “Kitab suci bergambar” ini diciptakan sesuai ruang (locus) dan waktu
(tempus), diciptakan dalam sistem religi dan kosmologi agama Budha, serta bertujuan agar dapat
memberikan pencerahan dan sebagai “tausiyah” bagi para penganut Budha pada saat itu.
Namun waktu terus berjalan, kini ketika jaman megapolitan, relief candi Borobudur tidak
lagi dibaca sesuai konteks ruang dan waktunya ketika diciptakan. Oleh para pengunjung/wi-
satawan, relief candi Borobudur hanya dijadikan sebagai background selfie (berfoto ria), sebagai
legitimasi bahwa mereka telah berkunjung ke salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Sang wisa-
tawan tidak memahami cerita relief tersebut, ketika diwawancarai saat studi penjajagan. Para
selfier (sebutan penulis untuk orang yang melakukan selfie) dengan narsisnya merasa bangga di
depan peninggalan Syailendra tersebut. Padahal, mereka tidak bisa memasuki ruang dan waktu
serta alam pikir/kosmologi penciptaan para silpin (arsitek) dan para taksaka (pemahat relief) can-
25
SEMINAR NASIONAL – Seni Tradisi
BAHASA RUPA RELIEF JATAKA CANDI BOROBUDUR
B. KAJIAN PUSTAKA
26
SEMINAR NASIONAL – Seni Tradisi
BAHASA RUPA RELIEF JATAKA CANDI BOROBUDUR
(6) Triloka/Tribuana untuk menuju Filsafat Mistika/Mystical Philosophy. Secara vertikal, arsi-
tektur candi Borobudur memiliki 3 tingkatan, yaitu: Kamadhatu, Rupadhatu, Arupadhatu s/d
stupa puncak/stupa utama. Pada konsep Triloka/Tribuana dikenal dengan nama alam niska-
la (alam yang tak tampak dan tak terindera). Pusat dari alam ini adalah stupa yang di
puncak (stupa kosong) yang menggambarkan sunyata atau Nirwana atau Adhi Buddha.
(7) candi Borobudur adalah mandala berbasis kisi 9. Berdasarkan penelitian Kandahjaya
(1995: 11) maka dapat disimpulkan bahwa pendirian candi Borobudur didasarkan atas kisi 9
berbentuk bujur sangkar. Kisi 9 dijadikan sebagai dasar dalam Garbhadatu Mandala, yang
didapat dari pembuatan kisi 3 X 3 kotak. Kisi 3 X 3 ini menggambarkan 3 misteri (tubuh,
batin, dan ucapan) dari tiap-tiap kualitas dalam 3 kualitas Mahavairocana (samadi, pengeta-
huan, dan cinta kasih) (Kandahjaya: 1995: 29).
b. Kosmologi Penciptaan Candi dan Relief Candi di Indonesia
Jika disimak uraian sebelumnya dan merujuk istilah kosmologi secara leksikal (Moeliono,
1989: 463), kemudian dicrosscheck/ditriangulasikan dengan pendapat Ayatrohaedi (1981) dan
Koentjaraningrat dkk (1984), tampaknya istilah kosmologi mengarah pada beberapa kalimat kun-
ci, diantaranya: alam semesta sebagai sistem yang beraturan, ilmu tentang asal-usul, cosmos,
dan hubungan. Senada dengan kalimat kunci tersebut, Purwanto (2005, 138) menyatakan bahwa:
“kosmologi memiliki makna keberaturan, keseimbangan, dan harmoni yang manifestasinya ada-
lah sistem alam semesta sebagai makrokosmos. Dalam sistem itu Tuhan ditempatkan sebagai pu-
sat kosmos yang mengatur keseluruhan sistem tersebut. Dalam budaya Jawa, konsep kosmologi di-
implementasikan pada elemen-elemen di alam semesta ini antara lain manusia, rumah, desa, dan
komunitas lain sebagai mikrokosmos. Konsep kosmologis pada masyarakat Jawa adalah menya-
tunya makro dan mikrokosmos yang lebih populer disebut manunggaling kawula lan Gusti”.
Kosmologi semacam itu akhirnya melahirkan konsep penciptaan karya seni timur yang
berbeda dengan konsep/estetika Barat. Senada dengan pendapat tersebut Tabrani (1995) menya-
takan bahwa konsep kosmologi pada kesenian timur/Indonesia memiliki ciri: (1) dualisme yang
dwitunggal dan (2) seimbang, selaras, serasi dan lestari. Istilah lain yang sama dengan pen-
dapat Tabrani ini dikemukakan oleh Subagya (1981: 117-118) dengan sebutan “Tata alam Serba
Dua Namun Bersatu”, atau sebutan: ekagrhabuddhi, eka advaytian, loro-loroning atunggal, rwa
bhineka dan kaja-kelod. Sebutan ahli lain missalnya: dualisme monistis (H. Schoerer), monisme
dualistis (Ali Basya Lubis), simbiose mutualisme (Mashuri, S.H.), cosmic releationship (Ph.van
Akkeren, Th Pigeaud), cosmic feeling of oneness (Dr. Supomo, S.H.), dualisme sosial dan
antitese simbolis (J.v.d. Kroef), identitas virtual antara yang digabungkan dalam satu golongan
pikiran (C.C. Berg), monodualisme (M.M.R. Kartakusumah, Taman Siswa), dll.
Berdasarkan pengertian tersebut maka kosmologi penciptaan candi dan relief candi di Indo-
nesia didasarkan atas dialektika hubungan antara makrokosmos dan mikrokosmos yang harus
dijaga agar elemen kehidupan bisa serasi, selaras, seimbang, lestari, dan diupayakan kesatu-
annya agar tidak “congkrah”. Konsep ini secara filosofis terefleksi pada kehidupan atau sistem
religi Hindu dengan cara manusia/atman dalam mikrokosmos menjalankan segala perintah/darma
yang dianjurkan oleh Brahman/penguasa makrokosmos. Perintah atau darma ini merupakan pe-
rintah dari Brahman/makrokosmos kepada mikrokosmos, dan mikrokosmos berharap mendapat-
kan sesuatu dari makrokosmos (tendensius) misalnya: pahala, surga, keselamatan, barokah, reze-
ki, dll. (Murtiyoso, 2010: 35). Filosofi Hindu ini berbeda dengan filosofi Budha, yang menga-
jarkan bahwa manusia sebagai mikrokosmos diharapkan dapat mengalami perjalanan rohaniah
hingga mencapai alam kasunyatan/kekosongan (dalam makrokosmos) (http://www.samaggi-
phala.or.id/naskah-dhamma/filsafat-ilmu-pengetahuannya-buddhisme/; http://id.wikipedia.org/
28
SEMINAR NASIONAL – Seni Tradisi
BAHASA RUPA RELIEF JATAKA CANDI BOROBUDUR
29
SEMINAR NASIONAL – Seni Tradisi
BAHASA RUPA RELIEF JATAKA CANDI BOROBUDUR
sedangkan faktor lingkungan (lingkungan budaya) yang mempengaruhinya adalah ajaran agama
Budha (India) yang terdapat pada kitab/sutra yang berlaku pada saat itu. Kedua pengaruh ini
yang memungkinkan munculnya bahasa rupa khas pada relief candi Borobudur.
C. METODE PENELITIAN
Bingkai besar penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif (Sutopo, 2002; Rohidi,
2011). Penelitian deskriptif kualitatif ini mengambil obyek relief Jataka Borobudur yang
disampling secara purposif (Purpossive Sampling), karena didasarkan pada karakter/sifat khas
dari sampel yaitu dipilih relief yang berjenis cerita, bukan relief berjenis hiasan dan konstruksi.
Teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan metode observasi (Rohidi, 2011: 181-194),
yaitu pengamatan di lokasi candi dengan melihat gelap terang, pencahayaaan, pengamatan
terhadap relief yang aus, melihat keruntutan cerita berdasarkan sastranya dan lain-lain. Semua
pengamatan lapangan (observasi) ini, dicatat, disket/digambar diatas kertas gambar atau kertas
buram (terutama relief yang telah aus) serta direkam dengan bantuan alat potret (Rohidi, 2011:
194-206). Selain itu juga dilacak dokumen-dokumen (Rohidi, 2011: 206-207) yang berkaitan
dengan setting sejarah (data arkeologis) tentang candi Borobudur, relief, dan bahasa rupanya.
Data kualitatif yang dihasilkan berupa bahasa rupa relief Jataka Borobudur. Cara penyajian
datanya juga ditampilkan secara kualitatif, misalnya dengan foto, gambar, sket, tabulasi disertai
uraian tentang karakter candi, relief candi, dan bahasa rupa pada relief Jataka Borobudur.
Validitas data penelitian ini menggunakan cara triangulasi, agar terjaga keabsahan dan kean-
dalan datanya (singkatnya: trustworthness/kedapatpercayaan). Cara triangulasi ini diterapkan pa-
da triangulasi gambar/hasil potret dengan gambar dari literatur, atau crosscheck angka tahun dari
berbagai prasasti dan kitab, crosscheck pendapat para arkeolog, crosscheck antar hasil penelitian
yang pernah dilakukan peneliti terdahulu/sebelumnya (Rohidi, 2011: 218; Sutopo, 2002: 79).
Selanjutnya analisis datanya menggunakan model analisis interaktif (Rohidi, 2011: 240),
yang di dalamnya terdapat tahapan-tahapan penelitian mulai dari pengumpulan data, reduksi
data, sajian data, dan penarikan simpulan/verifikasi yang tidak bisa dipisahkan (satu kesatuan),
.Model 1: Model analisis interaktif (Sutopo, berjalan simultan dan bolak-balik. Ketika menarik
1996: 87; Rohidi, 2011: 240) simpulan/verifikasi, kegiatan penelitian ini dapat
meminjam metode penelitian Sejarah, yaitu me-
Pengum- tode kepustakaan (Zed, 2008: 4-5) dan kritik
pulan Data
sumber. Meskipun Sejarah hanya sebagai setting
penelitian namun metode kepustakaan dan kritik
I II
sumber ini penting untuk mendudukkan secara
Reduksi Sajian kosmologis penciptaan candi dan reliefnya.
data data Secara khusus, pada analisis data ini diguna-
kan “pisau analisis” bahasa rupa vT (versi Tabra-
ni), karena mengunakan analisis Isi Wimba/IW,
Cara Wimba/CW, dan Tata Ungkapan/TU yang
III dikemukakan Tabrani (1991). Namun, cara anali-
Penarikan
simpulan/ sis penelitian ini tidaklah mengambil cara analisis
verifikasi Tabrani (1991: 642-643) secara keseluruhan yang
menggunakan persentase (%, kuantitatif) dengan
kategori derajad kesamaan bahasa rupa. Cara analisis bahasa rupa pada penelitian ini didasarkan
pada cara-cara bahasa rupa pada perbendaharaan/vocabulary CW dan TU yang merujuk pada
Harto (2011: 18-19) dan Tabrani (2005: 181-196) dan dikaitkan dengan IW. Cara analisis ini
lebih menonjolkan analisis secara visual/grafis pada masing-masing wimba relief dan IWnya.
30
SEMINAR NASIONAL – Seni Tradisi
BAHASA RUPA RELIEF JATAKA CANDI BOROBUDUR
31
SEMINAR NASIONAL – Seni Tradisi
BAHASA RUPA RELIEF JATAKA CANDI BOROBUDUR
mulia/luhur dalam menjaga keserasian dan kedamaian di hutan, seiring dengan filosofi Jawa
”memayu hayuning bawana”.
Kisah Jataka lainnya adalah pengorbanan seekor gajah yang mempersembahkan dirinya
untuk dimakan oleh para pengungsi yang kelaparan. Kisah lain Jataka menceritakan tentang
calon Buddha yang menjelma menjadi kelinci. Sebagai kelinci calon Buddha mempunyai 3
sahabat, yaitu: serigala, kera, dan berang-berang. Ketika seorang pendeta tersesat di hutan, ketiga
sahabat itu membawa sesuatu: sebuah mangkok berisi susu, buah-buahan, dan tujuh ikan. Hanya
kelinci saja yang tidak membawa sesuatu untuk diberikan kepada pendeta tersebut. Maka kelinci
tersebut menyerahkan diri untuk dimasak oleh pendeta tersebut. Kisah Jataka lainnya
mengisahkan ketika terjadi kebakaran hutan, calon Buddha menjelma menjadi seekor burung
puyuh kecil yang masih lemah. Semua binatang hutan berlarian takut kebakaran tersebut, kecuali
burung puyuh. Burung puyuh tersebut berkata kepada api dengan kata-kata luhur dan bijaknya,
sehingga api bisa padam. Kisah lain Jataka menceritakan tentang calon Buddha yang menjelma
menjadi seekor kijang berkaki 8. Empat kaki di bawah menapak tanah, empat kaki di
punggungnya. Kalau lelah ia bisa berbalik menggunakan kaki yang di punggung. Suatu saat ia
dikejar oleh Raja yang sedang berburu. Raja ingin menangkap kijang tersebut. Karena tidak kuat,
Raja tersebut jatuh ke jurang. Dari pada lari menyelamatkan diri, kijang berkaki 8 tersebut justru
menyelamatkan Raja yang memburunya yang telah masuk ke jurang tersebut. Hal ini
membuktikan bahwa keunggulan kaki kijang berjumlah 8 tidak dimanfaatkan untuk kepentingan
pribadi, tetapi justru digunakan untuk menolong orang lain. Kisah Jataka lainnya menceritakan
tentang si-nga yang sedang makan kambing, tenggorokkannya tersangkut sepotong tulang.
Sambil menangis singa minta tolong kepada burung pelatuk yang kebetulan lewat. Burung
pelatuk tersebut adalah penjelmaan calon Buddha, dengan paruhnya potongan tulang di teng-
gorokan singa diambilnya. Untuk menguji singa, burung pelatuk tersebut bertanya kepada singa:
”Hai singa sang raja rimba, apakah upahku sekarang?”. Singa menjawab: ”Kau telah selamat dari
mulutku, adalah upah berharga bagimu”. Hal ini menunjukkan sikap kontras antara singa dan
burung pelatuk, burung pelatuk sebagai makhluk kecil yang tertindas, na-mun suka menolong,
tetapi singa yang kuat sebagai raja hutan tetap sombong seperti bia-sanya. Kisah Jataka lain
menunjukkan sikap menolong seekor penyu. Ketika sebuah kapal para pedagang kandas, maka
calon Buddha yang menjelma menjadi seekor penyu untuk menolong para pedagang
menyeberang sampai ke ujung daratan sebelahnya. Sesampai di darat para pedagang lapar, penyu
itu menawarkan diri untuk dimakan. Hal ini menunjukkan sebuah pengorbanan luhur calon
Buddha. Masih banyak lagi cerita binatang yang ada pa-da relief Jataka, namun tidak bisa
diceritakan satu per satu (diadaptasi dari Wikipedia).
b. Analisis Bahasa Rupa Media Rupa Statis Relief Jataka Candi Borobudur.
Media statis adalah media yang berupa gambar statis atau gambar diam (still picture).
Sedangkan ”media rupa statis” adalah media yang digunakan untuk mewujudkan gambar diam
(still picture), secara khusus merujuk pada teknik pembuatannya. Relief Jataka candi Borobudur
adalah salah satu contoh “media rupa statis”, karena berbentuk still picture. Sehingga, yang
menjadi fokus analisis bahasa rupa adalah tampilan visual still picture dari relief Jataka
Borobudur, dilihat dari teknik memaparkan atau mengungkapkan gambar/reliefnya. Tentunya
analisis bahasa rupa yang dimaksud adalah cara analisis bahasa rupa versi Tabrani (1991, 2005),
yaitu menggunakan Cara Wimba/CW dan Tata Ungkapan/TU
Dari 720 panel relief gabungan Jataka dan Awadana Borobudur, tidak mungkin seluruh panel
diteliti/dianalisis secara populasi, namun harus disampling secara purposif dengan berbagai
pertimbangan. Adapun cerita relief hasil pemilihan sampling purposif tersebut adalah: (1) Kisah
32
SEMINAR NASIONAL – Seni Tradisi
BAHASA RUPA RELIEF JATAKA CANDI BOROBUDUR
Ruru sang Rusa (Kisah Rusa Ruru); (2) Kisah Kelinci; (3) Kisah Kera dan Banteng; (4) Kisah
Burung Puyuh; (5) Kisah Kijang Berkaki 8; dan (6) Kisah Singa dan Burung Pelatuk.
(1) Analisis Bahasa Rupa Media Rupa Statis Relief Cerita ”Rusa Ruru”
Analisis bahasa rupa relief cerita Rusa Ruru dari rangkaian relief Jataka candi Borobudur
dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 1:
Hasil anali-
sis bahasa
rupa relief
Rusa Ruru
panel 96
(sumber:
Harto, 2011
& 2013)
Gambar 2:
Hasil anali-
sis bahasa
rupa relief
Rusa Ruru
panel 97
(sumber:
Harto, 2011
& 2013)
33
SEMINAR NASIONAL – Seni Tradisi
BAHASA RUPA RELIEF JATAKA CANDI BOROBUDUR
Gambar 3:
Hasil anali-
sis bahasa
rupa relief
Rusa Ruru
panel 98
(sumber:
Harto, 2011
& 2013)
(2) Analisis Bahasa Rupa Media Rupa Statis Relief Cerita ”Kelinci”
Berikut ini analisis bahasa rupa (Cara Wimba dan Tata Ungkapan) pada tiap panelnya:
Gambar 4:
Hasil anali-
sis bahasa
rupa relief
cerita Kelinci
panel 24
(sumber:
Harto, 2011
& 2013)
34
SEMINAR NASIONAL – Seni Tradisi
BAHASA RUPA RELIEF JATAKA CANDI BOROBUDUR
Gambar 5:
Hasil anali-
sis bahasa
rupa relief
cerita Kelinci
panel 25
(sumber:
Harto, 2011
& 2013)
(3) Analisis Bahasa Rupa Media Rupa Statis Relief Cerita ”Kera dan Banteng”
Gambar 6:
Hasil analisis
bahasa rupa
relief cerita
Kera dan
Banteng pa-
nel 129 (sum-
ber: Harto,
2011 & 2013)
35
SEMINAR NASIONAL – Seni Tradisi
BAHASA RUPA RELIEF JATAKA CANDI BOROBUDUR
Gambar 7:
Hasil anali-
sis bahasa
rupa relief
cerita Kera
dan Banteng
panel 130
(sumber:
Harto, 2011
& 2013)
Gambar 8:
Hasil analisis
bahasa rupa
relief cerita
Kera dan
Banteng
panel 131
(sumber:
Harto, 2011 &
2013)
36
SEMINAR NASIONAL – Seni Tradisi
BAHASA RUPA RELIEF JATAKA CANDI BOROBUDUR
Gambar 9:
Hasil analisis
bahasa rupa
relief cerita
Kera dan
Banteng pa-
nel 132 (sum-
ber: Harto,
2011 & 2013)
(4) Analisis Bahasa Rupa Media Rupa Statis Relief Cerita ”Burung Puyuh”
Gambar 10:
Hasil anali-
sis bahasa
rupa relief
”Burung
Puyuh”
panel 58
(sumber:
Harto, 2011
& 2013)
37
SEMINAR NASIONAL – Seni Tradisi
BAHASA RUPA RELIEF JATAKA CANDI BOROBUDUR
(5) Analisis Bahasa Rupa Media Rupa Statis Relief Cerita ”Kijang Berkaki 8”
Gambar 11:
Hasil analisis
bahasa rupa
relief ”Kijang
Berkaki 8”
panel 90
(sumber:
Harto, 2011 &
2013)
Gambar 12:
Hasil analisis
bahasa rupa
relief ”Kijang
Berkaki 8”
panel 91
(sumber:
Harto, 2011 &
2013)
38
SEMINAR NASIONAL – Seni Tradisi
BAHASA RUPA RELIEF JATAKA CANDI BOROBUDUR
Gambar 13:
Hasil analisis
bahasa rupa
relief ”Kijang
Berkaki 8”
panel 92
(sumber:
Harto, 2011 &
2013)
Gambar 14:
Hasil analisis
bahasa rupa
relief ”Kijang
Berkaki 8”
panel 93
(sumber:
Harto, 2011 &
2013)
(6) Analisis Bahasa Rupa Media Rupa Statis Relief Cerita ”Singa dan Burung Pelatuk”
Berdasarkan gambar 15 (panel 133, 134, dan 135 relief cerita ”Singa dan Burung Pelatuk”),
dapat diketahui bahwa bahasa rupa media rupa statis dari 3 panel relief ini, relatif sama dengan
cerita-cerita sebelumnya, yaitu menggunakan bahasa rupa: dekoratif, rinci diperbesar, diperbe-
sar, dari kepala ke kaki, tepi bawah adalah garis tanah, sejumlah latar, digeser, alih obyek berge-
rak, aneka tampak (pada wimba singa panel 133), dan wimba gapura sebagai panggung. Cara
39
SEMINAR NASIONAL – Seni Tradisi
BAHASA RUPA RELIEF JATAKA CANDI BOROBUDUR
Gambar 15:
Panel nomor 133, 134, dan 135 relief cerita ”Singa
dan Burung Pelatuk”. Pembacaan urutan nomor
panel sesuai dengan arah anak panah (sumber:
Harto, 2011 & 2013)
6. Digeser: semua objek dalam wimba digeser hingga semua tampak dan bisa diceritakan
(semua panel relief Jataka menggunakan cara digeser).
7. Kejadian: wimba tidak bersifat still pictures, tetapi ada matra waktu, yang menceritakan
suatu proses (semua panel relief Jataka memiliki matra waktu).
8. Rinci Diperbesar: hampir pada semua panel relief Jataka Borobudur terdapat wimba
tanaman. Wimba ini biasanya digambar dengan memperbesar ukuran daunnya, serta
menampilkan secara rinci bentuk dan tulang daunnya. Sehingga satu pohon biasanya
daunnya bisa dihitung. Akibat bahasa rupa Rinci Diperbesar ini akhirnya dikenali beberapa
tanaman pada relief Jataka, misalnya: pohon mangga, pohon karet, daun mangkokan, pohon
sukun dan lain-lain, dan bahkan ada 1 pohon yang tidak ditanam di Indonesia (hanya di
India) yaitu pohon sal. Selain mengenali rincian daun juga mengenali elemen lain misalnya
wimba burung merak, wimba pohon pakis yang tumbuh liar pada tebing-tebing dapat
diperbesar rinciannya sehingga terlihat sap/lapisan pohon serta ukel pada tunasnya.
9. Latar Berlapis/Sejumlah Latar: tiap latar mempunyai waktu dan ruangnya sendiri, yang
tidak persis sama satu dengan yang lain. Lapisan latar paling atas terjadi lebih dulu
dibandingkan lapisan latar di bawahnya. Tetapi ini juga tidak berarti bahwa harus dibaca
secara kronologis, tetapi bisa secara flash back atau siklus: tak penting mana yang `dibaca'
terlebih dahulu dan mana yang belakangan. Setelah semua dibaca, lengkaplah maknanya
(misalkan pada penggambaran cerita “Burung Puyuh”).
10. Tepi bawah adalah garis tanah: sebagian besar relief Jataka menggunakan cara ini. Rata-
rata kaki tokoh menapak bagian garis/tepi bawah tanah (pigora panel), Sehingga pigora panel
dipandang sebagai garis tanah tempat tokoh berpijak.
11. Adanya wimba gapura panggung di sisi kiri dan di sisi kanan panel relief (mepet dengan
bingkai/pigora panel). Gapura panggung semacam ini tidak dijumpai pada relief Lalitavis-
tara, Gandawyuha, Karmawibhangga, dll. Gapura panggung ini nampak pada hampir semua
relief Jataka, terutama relief yang berbentuk bujur sangkar. Sedangkan relief yang berben-
tuk empat persegi panjang tidak disertai gapura panggung di sisi kanan-kirinya.
12. Relief Jataka tidak memiliki batas sekuen semu sebagaimana terdapat pada relief candi
Surawana dan Tegawangi yang rata-rata dibatasi oleh tanaman (seperti gunungan). Batas
semacam ini juga terdapat pada Wayang Beber Pacitan dan Wayang Beber Wonosari.
Meskipun tidak dibatasi oleh sekuen semu, relief Jataka Borobudur juga tidak ditampilkan
secara kisi-kisi, namun lebih banyak menggunakan cara dissmix.
13. Cara kembar tidak dipakai karena panel relief Jataka rata-rata hampir berbentuk bujur
sangkar, sehingga tokoh kembar tidak muncul untuk digeser ke kiri atau ke kanan panel.
Cara kembar biasanya muncul pada panel yang cenderung landscape/horisontal/empat
persegi panjang. Meskipun berbentuk bujur sangkar yang tidak menggunakan cara kembar,
relief Jataka memiliki bahasa rupa lain dalam menampilkan urutan cerita, yaitu dengan
membuat sejumlah latar yang berbeda kedudukannya.
Berdasarkan 13 ciri tersebut ternyata relief Jataka Borobudur dapat ditafsirkan dibuat oleh
taksaka (pemahat relief) yang cenderung berpola kerja thinking is believing bukan seeing is
believing, ketika berkarya seni rupa. Para taksaka memahat relief sesuai dengan apa yang
dipikirkannya (thinking is believing), bukan apa yang dilihatnya (seeing is believing). Apa yang
dipikirkan oleh taksaka Borobudur adalah bagaimana cerita yang terdapat dalam naskah kuno
Jatakamala dapat tergambarkan secara naratif pada panel relief.
Dalam sejarah seni lukis/seni rupa, pandangan thinking is believing telah dimiliki seseorang
secara alamiah (faktor heredity) sejak masa anak-anak ketika mereka mengekspresikan gambar-
41
SEMINAR NASIONAL – Seni Tradisi
BAHASA RUPA RELIEF JATAKA CANDI BOROBUDUR
nya di atas taferil. Pola thinking is believing ini “dikalahkan” oleh pola pikir seeing is believing.
Konsep/pola seeing is believing ini telah dimulai sejak era Seni Lukis Klasik di Eropa (awal abad
ke-15). Prinsip seeing is believing ini semakin berkembang ketika masa Renaissance, dengan
salah satu tokohnya Leonardo da Vinci. Da Vinci mempertautkan seni dan sains, hasilnya adalah
tafsir dan ekspresi keindahan alam semesta yang melahirkan beberapa teori seni dan sains yang
rasional, diantaranya: teori perspektif, lukisan realis, anatomi tubuh manusia, teori optik, kein-
dahan matematis, dll. Seeing is believing yang mengandalkan panca indera dan dikembangkan
oleh da Vinci akhirnya menjadi tonggak awal dan menjadi ciri seni lukis modern (diadaptasi dari
Wardhani, 2013 dalam http://awinditya-paresti-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-78427-Teori%20
Hubungan%20Internasional-POSTMODERNISM.html; http://naskahkita.wordpress.com/leonardo-da-
vinci-seniman-maha-kreatif-pengagum-air/; http://daoendjati.blogspot.com/2010/08/from-michaelangelo-
to-salvador-dali.html).
F. DAFTAR PUSTAKA
Harto, Dwi Budi. 1999. Relief Candi Tigawangi dan Candi Surawana: Tinjauan Cara
Wimba dan Tata Ungkapannya (Tesis). Fakultas Pasca Sarjana Institut Teknologi
Bandung. Bandung.
Harto, Dwi Budi. 2011. Perancangan Model Film Animasi Berbasis Bahasa Rupa Relief Ja-
taka Borobudur sebagai Pengembangan Industri Kreatif Film Animasi Indonesia dan
Informasi Wisata (laporan penelitian Hibah Bersaing th ke-1). LP2M-Unnes. Semarang.
Harto, Dwi Budi. 2013. Perancangan Model Film Animasi Berbasis Bahasa Rupa Relief Ja-
taka Borobudur sebagai Pengembangan Industri Kreatif Film Animasi Indonesia dan
Informasi Wisata (laporan penelitian Hibah Bersaing th ke-3). LP2M-Unnes. Semarang.
Kandahjaya, Hudaya. 1995. The Master Key for Reading Borobudur Symbolism (Kunci Utama
untuk Membaca Simbolisme Borobudur). Yayasan Penerbit Karaniya. Bandung.
Murtiyo, Onang & Dwi Budi Harto. 2010. Kajian Banding Bahasa Rupa Relief Candi
Surawana dengan Relief Teras Pendapa Panataran (Laporan Penelitian Dasar – Fakultas
Bahasa dan Seni – Universitas Negeri Semarang). Tidak dipublikasikan.
Purwanto. 2005. Kosmologi Gunungan Jawa (artikel dalam Jurnal Seni Imajinasi, Volume 2
Januari 2005). Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang. Semarang.
Rohidi, Tjetjep Rohendi. 2011. Metodologi Penelitian Seni. Cipta Prima Nusantara. Semarang.
Subagya, Rachmat. 1981. Agama Asli Indonesia. Yayasan Cipta Pita Loka Caraka dan Sinar
Harapan. Jakarta.
Suhartono, Yudi. 2010. Kearsitekturan Borobudur. Balai Konservasi Peninggalan Borobudur.
Magelang.
Sutopo, H. B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan Terapannya dalam
Penelitian. Sebelas Maret University Press. Surakarta.
Tabrani, Primadi. 1991. Meninjau Bahasa Rupa Wayang Beber Jaka Kembang Kuning dari
Telaah Cara Wimba dan Tata Ungkapan Bahasa Ruparungu Dwimatra Statis Modern,
dalam Hubungannya dengan Gambar Prasejarah, Primitip, Anak dan Relief Cerita
Lalitavistara Borobudur (Disertasi). Fakultas Pascasarjana ITB. Bandung.
Tabrani, Primadi. 1995. Belajar dari Sejarah dan Lingkungan: Sebuah Renungan Mengenai
Wawasan Kebangsaan dan Dampak Globalisasi. Bandung. Penerbit ITB.
Tabrani, Primadi. 2005. Bahasa Rupa. Kelir. Bandung.
42