Anda di halaman 1dari 19

SEMINAR NASIONAL – Seni Tradisi

BAHASA RUPA RELIEF JATAKA CANDI BOROBUDUR

ANALISIS BAHASA RUPA RELIEF JATAKA CANDI BOROBUDUR


Drs. Dwi Budi Harto, M.Sn. Jurusan Seni Rupa – FBS – Universitas Negeri Semarang (UNNES)
dwibudihartounnes@yahoo.com

ABSTRAK
Jarak antara relief candi (sebagai karya seni rupa) dengan audiensnya menjadi cukup jauh saat
ini, karena pemahat relief (taksaka) Jataka Borobudur hidup dalam ruang dan waktu yang ber-
beda dengan pemirsanya saat ini. Kesenjangan ini perlu dijembatani oleh sebuah pisau analisis
yang lebih “membumi”, karena relief Jataka Borobudur diciptakan dalam setting dan kosmologi
bumi Indonesia. Pisau analisis yang dimaksud adalah analisis bahasa rupa vT (versi Tabrani)
yang disinyalir tidak “ngebarat”. Primadi Tabrani telah menjadi pembuka model analisis bahasa
rupa semacam ini. Sebagaimana sering dilakukan para peneliti saat ini, ketika meneliti karya seni
rupa tradisi menggunakan pisau analisis Barat (estetika, semiotika, nirmana, dll). Oleh karena itu
seni rupa tradisi perlu dianalisis secara kosmologis, agar lebih membumi/meng-Indonesia.
Berdasarkan setting dan kosmologi budaya masa Mataram Kuno/Syailendra, maka relief Jataka
pada candi Borobudur disampling secara purposif, untuk selanjutnya dianalisis bahasa rupanya.
Berdasarkan hasil penelitian ini, terlihat bahwa para taksaka relief Jataka saat itu lebih
menggambarkan apa yang dipikirkan (berpikir tentang naskah cerita) dari pada apa yang dilihat
secara rasional. Dengan demikian konsep penciptaan karya seni rupa tradisi (oleh taksaka relief
Jataka Borobudur) berlawanan dengan apa yang dikemukakan oleh para seniman modern. Ketika
menciptakan karya seni rupa, para taksaka cenderung berpegang pada pandangan ‘thinking is
believing,’ sedangkan seniman modern cenderung berpegang pada pandangan bahwa ‘seeing is
believing.’ Bukti bahwa para taksaka cenderung thinking is believing terlihat pada bahasa rupa
tradisi relief Jataka candi Borobudur yang bercirikan: dari kepala ke kaki, sinar X, gapura
panggung, tepi bawah panel = garis tanah, diperbesar/diperkecil, rinci diperbesar, digeser, latar
berlapis/sejumlah latar, dan dibaca prasavya.
Kata kunci: bahasa rupa, seeing, relief Jataka candi Borobudur, thinking, taksaka.

A. PENDAHULUAN
Candi Borobudur adalah sebuah candi Budha yang diciptakan pada masa dinasti Syailendra
sekitar abad 8-9 M. Jika dilihat fungsinya, banyak literatur yang menyebutkan bahwa candi ini
berfungsi sebagai tempat pemujaan. Namun dalam kosmologi Budha, bukanlah sebagai pemuja-
an terhadap dewa namun lebih kepada pemujaan terhadap ajaran Budha Gautama. Jadi, candi
Borobudur merupakan “kitab suci agama Budha” yang merefleksikan ajaran Budha Gautama
melalui relief-reliefnya. “Kitab suci bergambar” ini diciptakan sesuai ruang (locus) dan waktu
(tempus), diciptakan dalam sistem religi dan kosmologi agama Budha, serta bertujuan agar dapat
memberikan pencerahan dan sebagai “tausiyah” bagi para penganut Budha pada saat itu.
Namun waktu terus berjalan, kini ketika jaman megapolitan, relief candi Borobudur tidak
lagi dibaca sesuai konteks ruang dan waktunya ketika diciptakan. Oleh para pengunjung/wi-
satawan, relief candi Borobudur hanya dijadikan sebagai background selfie (berfoto ria), sebagai
legitimasi bahwa mereka telah berkunjung ke salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Sang wisa-
tawan tidak memahami cerita relief tersebut, ketika diwawancarai saat studi penjajagan. Para
selfier (sebutan penulis untuk orang yang melakukan selfie) dengan narsisnya merasa bangga di
depan peninggalan Syailendra tersebut. Padahal, mereka tidak bisa memasuki ruang dan waktu
serta alam pikir/kosmologi penciptaan para silpin (arsitek) dan para taksaka (pemahat relief) can-

25
SEMINAR NASIONAL – Seni Tradisi
BAHASA RUPA RELIEF JATAKA CANDI BOROBUDUR

di Borobudur pada masa Mataram Kuno tersebut.


Jika para selfier sebagian besar berasal dari kaum awam budaya, ternyata berdasarkan hasil
studi penjajagan tidak jarang pula dari kaum intelektual juga tidak paham cerita relief candi
Borobudur sesuai ruang dan waktunya. Demikian pula para intelektual bidang seni dan budaya,
juga tidak bisa memahami dan membaca cerita relief tersebut. Hanya sebagian kecil yang mema-
hami cerita relief tersebut. Dengan kata lain bahwa relief candi Borobudur hingga saat ini hanya
berdiri sebagai batu yang kurang berfungsi sebagaimana layaknya saat relief tersebut diciptakan.
Lebih parah lagi, ada sebagian kaum intelektual bidang seni dan budaya yang mencoba
memasuki kosmologi penciptaan relief candi Borobudur dengan “pisau analisis” dari Barat.
Misalnya, membaca relief candi menggunakan teori Semiotika Pierce atau menggunakan Basic
Design (Nirmana) atau menggunakan teori Estetika Susanne K Langer, dan mungkin masih
banyak cara membaca gambar impor yang lain. Benarkah para taksaka masa Syailendra tersebut
menggunakan teori-teori Barat ketika menciptakan relief candi Borobudur? Kenapa ketika
“membedah/membuka” cerita relief candi menggunakan “pisau analisis/kunci” Barat? Hal ini
yang perlu direnungkan kembali oleh para intelektual, yang nantinya menjadi “corong
pengetahuan” yang mewartakannya kepada masyarakat awam.
Menurut penulis, salah satu pisau analisis dalam pembacaan relief candi yang lebih
“membumi/nge-Timur/meng-Indonesia”, adalah cara analisis relief candi berdasarkan analisis
bahasa rupa versi Tabrani (vT). Tabrani (1991) telah membukakan mata para intelektual akan
cara baca relief cerita Lalitavistara candi Borobudur, melalui disertasinya. Bukan hanya relief
candi, Tabrani juga menganalisis bahasa rupa lukisan/gambar gua prasejarah, gambar anak-anak,
dan wayang beber Pacitan/Jaka Kembang Kuning. Kemudian, “virus positif” ini ditularkan
kepada para mahasiswanya. Sehingga, dalam kurun waktu 2 dekade ini telah banyak penelitian
bahasa rupa yang telah dilakukan oleh para intelektual. Namun, penelitian bahasa rupa yang
terfokus pada relief candi kuno, dapat dihitung dengan jari (masih kurang).
Berdasarkan beberapa literatur dapat disimpulkan bahwa ada 1460 panel relief candi
Borobudur yang tereksplor menjadi 5 cerita, yaitu: Karmawibhangga, Jataka, Awadana, dan
Gandawyuha. Karena demikian banyaknya panel relief yang terdapat pada candi Borobudur,
maka dalam penelitian ini perlu difokuskan pada salah satu relief Borobudur sebagai kajian,
yaitu relief Jataka. Bukan berarti mengecilkan arti relief cerita yang lain, namun dalam penelitian
dan pembahasan ini bertujuan agar analisisnya tidak terlalu luas. Tema cerita Jataka menjadi
frame penelitian, yang memungkinkan suatu saat meneliti relief dengan tema/cerita yang lain.
Dengan demikian di masa mendatang harapannya adalah semakin banyak peneliti yang
tertarik mengkaji bahasa rupa relief candi dengan fokus cerita relief yang berbeda. Masih banyak
relief candi di Indonesia yang menunggu “pinangan” untuk diteliti bahasa rupanya. Sepengeta-
huan penulis, sampai saat ini baru ada 8 peneliti yang melakukan penelitian tentang bahasa rupa
relief candi, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Tabrani (1991), Harto (1999), Taswadi
(2000), Ambarawati (2003), Suratno (2007), Murtiyoso (2010), Harto (2010), dan Harto (2011).
Sepuluh penelitian ini masih didominasi oleh satu nama, sehingga penelitian ini termasuk langka
dan perlu mengajak peneliti lain untuk menelitinya. Siapa lagi kalau bukan kita yang meneliti?
Berdasarkan uraian tersebut maka rumusan masalah penelitian penelitian ini adalah:
“bagaimanakah bentuk bahasa rupa relief Jataka Borobudur sesuai dengan ruang dan waktu
ketika relief tersebut diciptakan?” Sehingga, penelitian/pembahasan/kajian ini bertujuan untuk
mendapatkan data tentang analisis bahasa rupa relief Jataka Borobudur yang lebih kosmologis
(Indonesiawi/membumi), sesuai dengan ruang dan waktu ketika relief tersebut diciptakan.

B. KAJIAN PUSTAKA
26
SEMINAR NASIONAL – Seni Tradisi
BAHASA RUPA RELIEF JATAKA CANDI BOROBUDUR

a. Candi Borobudur adalah Multi Mandala


Istilah “multi media” barangkali sudah familiar, namun istilah “multi mandala” barangkali
belum pernah muncul dalam berbagai forum dan media penulisan. Misalnya, media yang berhu-
bungan dengan sejarah, arkeologis, budaya, dan penelitian ilmiah belum pernah menulis tentang
multi mandala terkait candi Borobudur. Istilah ini sengaja penulis angkat guna mengakomodasi
beragamnya tafsir tentang pola/konsep penciptaan (master plan) candi Borobudur.
Mandala (Sanskerta: ; secara harafiah bermakna "lingkaran") adalah sebuah konsep
Hindu, tetapi juga dipakai dalam konteks agama Buddha, untuk merujuk pada berbagai benda
nyata. Mandala dalam keseharian telah didefinisikan sebagai rencana apa pun, grafik, atau
geometris pola yang mewakili kosmos secara metafisik atau simbolik, mikrokosmos semesta dari
perspektif manusiawi (http://id.wikipedia.org/wiki/Mandala). Dalam arti sempit mandala dapat
dipahami sebagai konfigurasi kosmis yang menggambarkan ploting kedudukan dewa-dewa
secara hierarkis. Semula mandala berbentuk segi empat/bujur sangkar, berkembang menjadi segi
5, segi 6, dan segi banyak berikutnya, hingga berbentuk lingkaran yang dibuat untuk merepresen-
tasikan keutuhan secara personal maupun secara kosmologis. Titik tengah sebagai titik pusat/titik
terpenting (tempat arca utama/dewa utama) dan titik-titik sudut di luarnya merupakan tempat
kedudukan dewa-dewa lain yang lebih rendah (https://siwagrha.wordpress.com/2007/09/20/21/).
Dalam arti luas mandala menyangkut konsep berkehidupan yang dilakukan oleh manusia di
muka bumi, misalnya: seorang pedagang yang menata dagangannya, seseorang menulis laporan
keuangan, dll (http://vincentspirit.blogspot.com/2012/10/mandala-dan-makna-filosofisnya.html).
Candi Borobudur sebagai multi mandala, karena pola/konsep perancangan candi
Borobudur didasarkan pada beberapa kemungkinan, diantaranya:
(1) filosofi pakaian Budha ketika menjalankan ajaran samsara untuk mencapai kesempurnaan
hidup (Budha paripurna): jubah Budha sebagai bagian Kamadhatu (kaki candi), mangkuk
Budha sebagai Rupadhatu (tubuh/badan candi) sekaligus sebagai Arupadhatu (stupa puncak/
induk), dan tongkat Budha sebagai bagian mastaka stupa.
(2) padma mandala. Candi Borobudur sebagai padma mandala karena merupakan teratai merah
yang tumbuh mekar di tengah danau. Bukti bahwa candi Borobudur memang sebuah padma
yang berada di tengah danau adalah adanya pasir yang mengandung kulit binatang air seperti
kerang, kijing, dan lain-lain berada di sekitar candi. Selain itu didukung pula oleh toponim
sebuah desa yang bernama Bumi Segoro yang berada di sekiar candi. Kata segoro (lautan)
membuktikan bahwa daerah itu dahulunya banyak air.
(3) stupa besar mandala. Jika dilihat tampak atas (denah) dan tampak samping, arsitektur candi
Borobudur merupakan bentuk stupa besar bermazab Mahayana yang secara bersamaan
menggambarkan kosmologi yaitu konsep alam semesta, sekaligus tingkatan alam pikiran
dalam ajaran Buddha (Wayman, 1981 dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Borobudur).
(4) sentral mandala. Sentral Mandala ini terbentuk karena Borobudur memiliki pusat/sentral
yang berupa stupa kosong sebagai stupa utama. Stupa utama ini dikelilingi oleh stupa-stupa
lainnya dari tingkat ke tingkat secara sentral yang dibangun sesuai dengan ajaran Garbhadhatu
Mandala dan Vajradhatu Mandala. Secara filosofis konsep Sentral Mandala ini mengan-
dung arti bahwa komponen-komponen Budha yang masih dalam bentuk yang terlihat/sunyata
mengelilingi Borobudur sebagai bentuk dyani-dyani mudra.
(5) 10 Tingkatan Kebajikan menuju Filsafat Mistika/Mystical Philosophy (pendapat Prof. Dr.
Dharsono, M.Sn.). Secara vertikal, arsitektur candi Borobudur memiliki 10 tingkatan yang
berarti memiliki filosofi 10 tingkat Bodhisatva (dasabumisambara) sebagai “Bukit Pening-
katan Kebajikan” untuk mendapatkan pencerahan sebagaimana dilakukan oleh Budha Ga-
utama atau ngudi kasampurnan/mencari kesempurnaan agar menjadi Budha paripurna.
27
SEMINAR NASIONAL – Seni Tradisi
BAHASA RUPA RELIEF JATAKA CANDI BOROBUDUR

(6) Triloka/Tribuana untuk menuju Filsafat Mistika/Mystical Philosophy. Secara vertikal, arsi-
tektur candi Borobudur memiliki 3 tingkatan, yaitu: Kamadhatu, Rupadhatu, Arupadhatu s/d
stupa puncak/stupa utama. Pada konsep Triloka/Tribuana dikenal dengan nama alam niska-
la (alam yang tak tampak dan tak terindera). Pusat dari alam ini adalah stupa yang di
puncak (stupa kosong) yang menggambarkan sunyata atau Nirwana atau Adhi Buddha.
(7) candi Borobudur adalah mandala berbasis kisi 9. Berdasarkan penelitian Kandahjaya
(1995: 11) maka dapat disimpulkan bahwa pendirian candi Borobudur didasarkan atas kisi 9
berbentuk bujur sangkar. Kisi 9 dijadikan sebagai dasar dalam Garbhadatu Mandala, yang
didapat dari pembuatan kisi 3 X 3 kotak. Kisi 3 X 3 ini menggambarkan 3 misteri (tubuh,
batin, dan ucapan) dari tiap-tiap kualitas dalam 3 kualitas Mahavairocana (samadi, pengeta-
huan, dan cinta kasih) (Kandahjaya: 1995: 29).
b. Kosmologi Penciptaan Candi dan Relief Candi di Indonesia
Jika disimak uraian sebelumnya dan merujuk istilah kosmologi secara leksikal (Moeliono,
1989: 463), kemudian dicrosscheck/ditriangulasikan dengan pendapat Ayatrohaedi (1981) dan
Koentjaraningrat dkk (1984), tampaknya istilah kosmologi mengarah pada beberapa kalimat kun-
ci, diantaranya: alam semesta sebagai sistem yang beraturan, ilmu tentang asal-usul, cosmos,
dan hubungan. Senada dengan kalimat kunci tersebut, Purwanto (2005, 138) menyatakan bahwa:
“kosmologi memiliki makna keberaturan, keseimbangan, dan harmoni yang manifestasinya ada-
lah sistem alam semesta sebagai makrokosmos. Dalam sistem itu Tuhan ditempatkan sebagai pu-
sat kosmos yang mengatur keseluruhan sistem tersebut. Dalam budaya Jawa, konsep kosmologi di-
implementasikan pada elemen-elemen di alam semesta ini antara lain manusia, rumah, desa, dan
komunitas lain sebagai mikrokosmos. Konsep kosmologis pada masyarakat Jawa adalah menya-
tunya makro dan mikrokosmos yang lebih populer disebut manunggaling kawula lan Gusti”.
Kosmologi semacam itu akhirnya melahirkan konsep penciptaan karya seni timur yang
berbeda dengan konsep/estetika Barat. Senada dengan pendapat tersebut Tabrani (1995) menya-
takan bahwa konsep kosmologi pada kesenian timur/Indonesia memiliki ciri: (1) dualisme yang
dwitunggal dan (2) seimbang, selaras, serasi dan lestari. Istilah lain yang sama dengan pen-
dapat Tabrani ini dikemukakan oleh Subagya (1981: 117-118) dengan sebutan “Tata alam Serba
Dua Namun Bersatu”, atau sebutan: ekagrhabuddhi, eka advaytian, loro-loroning atunggal, rwa
bhineka dan kaja-kelod. Sebutan ahli lain missalnya: dualisme monistis (H. Schoerer), monisme
dualistis (Ali Basya Lubis), simbiose mutualisme (Mashuri, S.H.), cosmic releationship (Ph.van
Akkeren, Th Pigeaud), cosmic feeling of oneness (Dr. Supomo, S.H.), dualisme sosial dan
antitese simbolis (J.v.d. Kroef), identitas virtual antara yang digabungkan dalam satu golongan
pikiran (C.C. Berg), monodualisme (M.M.R. Kartakusumah, Taman Siswa), dll.
Berdasarkan pengertian tersebut maka kosmologi penciptaan candi dan relief candi di Indo-
nesia didasarkan atas dialektika hubungan antara makrokosmos dan mikrokosmos yang harus
dijaga agar elemen kehidupan bisa serasi, selaras, seimbang, lestari, dan diupayakan kesatu-
annya agar tidak “congkrah”. Konsep ini secara filosofis terefleksi pada kehidupan atau sistem
religi Hindu dengan cara manusia/atman dalam mikrokosmos menjalankan segala perintah/darma
yang dianjurkan oleh Brahman/penguasa makrokosmos. Perintah atau darma ini merupakan pe-
rintah dari Brahman/makrokosmos kepada mikrokosmos, dan mikrokosmos berharap mendapat-
kan sesuatu dari makrokosmos (tendensius) misalnya: pahala, surga, keselamatan, barokah, reze-
ki, dll. (Murtiyoso, 2010: 35). Filosofi Hindu ini berbeda dengan filosofi Budha, yang menga-
jarkan bahwa manusia sebagai mikrokosmos diharapkan dapat mengalami perjalanan rohaniah
hingga mencapai alam kasunyatan/kekosongan (dalam makrokosmos) (http://www.samaggi-
phala.or.id/naskah-dhamma/filsafat-ilmu-pengetahuannya-buddhisme/; http://id.wikipedia.org/

28
SEMINAR NASIONAL – Seni Tradisi
BAHASA RUPA RELIEF JATAKA CANDI BOROBUDUR

wiki/Mah%C4%81y%C4%81na). Alam sunyata ini dapat diidentikan dengan tingkatan Arupa-


dhatu yang ada pada tahapan menuju atap/kepala candi, karena arupadhatu dapat dicapai setelah
manusia (calon Budha) melewati Kamadhatu (kaki candi) dan Rupadhatu (tubuh/badan candi).
Teras Arupadhatu adalah simbol dari unsur tak berwujud dan sebagai tanda dari tingkatan yang
telah meninggalkan nafsu duniawi, yang merupakan gambaran dunia tanpa rupa dan bentuk
(gaib), lambang kesempurnaan abadi (Suhartono, 2010: 9, 14, 21). Dengan demikian ketika
calon Budha membaca dan merenungkan makna filosofi relief Karmawhibangga pada teras
Kamadhatu dan relief Jataka pada teras Rupadhatu (lorong 1 dan 2) yang terdapat pada candi
Borobudur merupakan sarana rohaniah untuk menuju tingkatan Arupadhatu. Demikian pula
untuk pembacaan dan perenungan relief-relief cerita lain di candi Borobudur juga menggunakan
kosmologi semacam ini. Candi Budha sebagai sarana/media pemujaan biasanya dibaca secara
pradaksina (menganankan candi), demikian pula pembacaan relief pada candi Hindu. Sedangkan
untuk fungsi candi Hindu sebagai “monumen/tugu peringatan” meninggalnya raja atau kerabat
raja, secara kosmologis biasanya dibaca secara prasavya (mengirikan candi). Baik upacara
secara pradaksina maupun secara prasavya, sebenarnya merupakan replika dari perilaku
manusia/atman ketika mengelilingi meru untuk menuju ke puncak arga sebagai ista Syiwa.
Secara psikologis (rohaniah), dalam diri atman yang melakukan upacara tersebut akan terjadi
pencerahan (ascending, ketika bertemu Syiwa secara rohaniah) dan pengamalan kepada manusia
lain (ketika descending, setelah bertemu Syiwa) (disarikan dari Harto, 2005 dan Harto, 2009).
Perilaku budaya semacam ini terjadi karena para silpin dan taksaka candi Borobudur masih
berada dalam alam pikir mitis-ontologis, belum masuk pada tahap ketiga yaitu alam pikir
fungsional dalam tahap perkembangan kebudayaan Peursen (Harto, 1999: 163).
c. Candi sebagai Karya Seni Rupa: Hubungan Bentuk dan Isi dalam Karya Seni Rupa
Hubungan erat antara bentuk dan isi karya seni rupa timur (Masa Klasik Hindu-Budha),
mengakibatkan bentuk cenderung mengacu ke isi (content), karena isi cerita/isi wimba atau
makna filosofis harus sesuai dengan sistem religi (darma/menjalankan perintah makrokosmos).
Dengan demi-kian upaya perwujudan karya misalnya relief candi, harus dicari metode/cara agar
sesuai dengan isinya. Cara atau metode perwujudan (pengungkapan) karya seni timur ini sering
disebut sebagai bahasa rupa. Bahasa rupa Seni Rupa timur (khususnya Jawa) secara umum
cenderung pada ungkapan isi cerita/ Isi Wimba, sedangkan isi cerita di dalamnya terkandung
makna filosofis sesuai ajaran agama/sistem religi. Tentunya isi wimba tidak akan pernah
terlepas dari Cara Wimba/CW dan Tata Ungkapan/TU, karena CW dan TU sebagai tata
aturan dalam perancangan komposisi/bentuk (form). Bahasa rupa untuk karya seni masa Klasik
Hindu-Budha sering disebut bahasa rupa tradisi (Murtiyoso & Harto, 2010: 37).
Berdasarkan uraian tersebut tersirat bahwa secara kosmologis dalam Seni Rupa timur
(khususnya Indonesia) pada masa Klasik Hindu-Budha, bentuk (form) dan isi (content) tidak
dapat dipisahkan/integrited, sebagai perwujudan konsep dualisme yang dwitunggal.
Perwujudan konsep ini muncullah CW dan TU sebagai tata aturan mengkomposisi bentuk
(form) dan Isi Wimba sebagai dan isi (content). Konsep ini muncul secara alamiah karena jika
bahasa rupa dikaji dari sisi ontogeni dan filogeni sangat bersesuaian dengan proses penciptaan
seni tradisi/relief candi masa Klasik Hindu-Budha (lihat Harto, 1999: 149-152 dan Tabrani,
1991: 687-689). Berdasarkan hubungan bentuk dan isi relief candi dapat disimpulkan bahwa
secara kosmologis (ontogeni dan filogeni manusia), maka taksaka dalam merancang candi,
paling tidak dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu: (1) faktor keturunan/ bawaan/bakat (heredity)
dan (2) pengaruh lingkungan (environtment). Faktor heredity yang ada pada diri taksaka
merupakan faktor warisan budaya dari nenek moyang para taksaka relief candi Borobudur;

29
SEMINAR NASIONAL – Seni Tradisi
BAHASA RUPA RELIEF JATAKA CANDI BOROBUDUR

sedangkan faktor lingkungan (lingkungan budaya) yang mempengaruhinya adalah ajaran agama
Budha (India) yang terdapat pada kitab/sutra yang berlaku pada saat itu. Kedua pengaruh ini
yang memungkinkan munculnya bahasa rupa khas pada relief candi Borobudur.
C. METODE PENELITIAN
Bingkai besar penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif (Sutopo, 2002; Rohidi,
2011). Penelitian deskriptif kualitatif ini mengambil obyek relief Jataka Borobudur yang
disampling secara purposif (Purpossive Sampling), karena didasarkan pada karakter/sifat khas
dari sampel yaitu dipilih relief yang berjenis cerita, bukan relief berjenis hiasan dan konstruksi.
Teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan metode observasi (Rohidi, 2011: 181-194),
yaitu pengamatan di lokasi candi dengan melihat gelap terang, pencahayaaan, pengamatan
terhadap relief yang aus, melihat keruntutan cerita berdasarkan sastranya dan lain-lain. Semua
pengamatan lapangan (observasi) ini, dicatat, disket/digambar diatas kertas gambar atau kertas
buram (terutama relief yang telah aus) serta direkam dengan bantuan alat potret (Rohidi, 2011:
194-206). Selain itu juga dilacak dokumen-dokumen (Rohidi, 2011: 206-207) yang berkaitan
dengan setting sejarah (data arkeologis) tentang candi Borobudur, relief, dan bahasa rupanya.
Data kualitatif yang dihasilkan berupa bahasa rupa relief Jataka Borobudur. Cara penyajian
datanya juga ditampilkan secara kualitatif, misalnya dengan foto, gambar, sket, tabulasi disertai
uraian tentang karakter candi, relief candi, dan bahasa rupa pada relief Jataka Borobudur.
Validitas data penelitian ini menggunakan cara triangulasi, agar terjaga keabsahan dan kean-
dalan datanya (singkatnya: trustworthness/kedapatpercayaan). Cara triangulasi ini diterapkan pa-
da triangulasi gambar/hasil potret dengan gambar dari literatur, atau crosscheck angka tahun dari
berbagai prasasti dan kitab, crosscheck pendapat para arkeolog, crosscheck antar hasil penelitian
yang pernah dilakukan peneliti terdahulu/sebelumnya (Rohidi, 2011: 218; Sutopo, 2002: 79).
Selanjutnya analisis datanya menggunakan model analisis interaktif (Rohidi, 2011: 240),
yang di dalamnya terdapat tahapan-tahapan penelitian mulai dari pengumpulan data, reduksi
data, sajian data, dan penarikan simpulan/verifikasi yang tidak bisa dipisahkan (satu kesatuan),
.Model 1: Model analisis interaktif (Sutopo, berjalan simultan dan bolak-balik. Ketika menarik
1996: 87; Rohidi, 2011: 240) simpulan/verifikasi, kegiatan penelitian ini dapat
meminjam metode penelitian Sejarah, yaitu me-
Pengum- tode kepustakaan (Zed, 2008: 4-5) dan kritik
pulan Data
sumber. Meskipun Sejarah hanya sebagai setting
penelitian namun metode kepustakaan dan kritik
I II
sumber ini penting untuk mendudukkan secara
Reduksi Sajian kosmologis penciptaan candi dan reliefnya.
data data Secara khusus, pada analisis data ini diguna-
kan “pisau analisis” bahasa rupa vT (versi Tabra-
ni), karena mengunakan analisis Isi Wimba/IW,
Cara Wimba/CW, dan Tata Ungkapan/TU yang
III dikemukakan Tabrani (1991). Namun, cara anali-
Penarikan
simpulan/ sis penelitian ini tidaklah mengambil cara analisis
verifikasi Tabrani (1991: 642-643) secara keseluruhan yang
menggunakan persentase (%, kuantitatif) dengan
kategori derajad kesamaan bahasa rupa. Cara analisis bahasa rupa pada penelitian ini didasarkan
pada cara-cara bahasa rupa pada perbendaharaan/vocabulary CW dan TU yang merujuk pada
Harto (2011: 18-19) dan Tabrani (2005: 181-196) dan dikaitkan dengan IW. Cara analisis ini
lebih menonjolkan analisis secara visual/grafis pada masing-masing wimba relief dan IWnya.
30
SEMINAR NASIONAL – Seni Tradisi
BAHASA RUPA RELIEF JATAKA CANDI BOROBUDUR

D. HASIL DAN PEMBAHASAN


a. Relief Jataka Candi Borobudur
Jataka adalah sebuah kumpulan cerita tentang kehidupan-kehidupan sang Buddha ketika ma-
sih berwujud hewan, sebelum beliau menitis menjadi Siddharta Gautama. Cerita-cerita ini ju-
mlahnya kurang lebih ada 547 dan aslinya ditulis dalam bahasa Pali. Cerita yang dikisahkan da-
lam setiap Jataka adalah cerita fabel. Suatu saat dikisahkan sang Buddha menitis menjadi hewan
tetapi saat yang lain bahkan bisa menitis menjadi sebuah pohon. Setiap cerita Jataka biasanya
ditulis dalam bentuk prosa, namun pada akhir cerita ditulis moral cerita dalam bentuk seloka ber-
bahasa Pali. Diduga cerita-cerita Jataka pada masa lampau diterjemahkan dalam bahasa Yunani
dan menjadi dasar fabel Aesopus. Selain itu beberapa cerita Jataka diperkirakan menjadi cerita-
cerita fabel yang termuat dalam kitab Pañcatantra berbahasa Sansekerta. Cerita-cerita Jataka baik
dalam bahasa Pali maupun dalam terjemahan lokal banyak diketemukan di Sri Lanka, Nepal, dan
Tibet. Di Indonesia cerita Jataka tidak diketemukan dalam bentuk tekstual, namun banyak
didapati cerita-cerita Jataka sebagai relief Candi Borobudur. Dibeberapa negara, khususnya
jumlah pemeluk Agama Buddha dengan mazhab Theravada, beberapa dongeng panjang dari
Jataka masih dipertunjukkan hingga sekarang ini baik dalam bentuk tarian, seni teater dan ritual
upacara resmi. Di Kamboja, Thailand dan Laos, cerita ini dikaitkan dengan perayaan kalendar
Lunar (disarikan dari http://id.wikipedia.7val.com/wiki/Jataka,1 dari 2, 6/17/2011 8:11 PM).
Relief Jataka dan Jatakamala di candi Borobudur ditempatkan berbeda kedudukan lorongnya,
namun dalam tingkatan yang sama. Relief Jataka ditempatkan pada tingkat ke-1 lorong kanan ba-
wah dan tingkat ke-2 juga pada langkan/lorong kanan. Sedangkan relief Jatakamala berada pada
tingkat ke-1 langkan kanan atas. Selain itu relief Jataka dan Awadana Borobudur dalam satu
tingkatan juga ditempatkan berbeda kedudukan lorongnya, jika seluruh tingkatan dijumlahkan
maka seluruhnya ada 720 panel. Jataka adalah cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan
sebagai Pangeran Siddharta. Isi pokoknya merupakan penonjolan perbuatan baik, yang membe-
dakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain. Sesungguhnya, pengumpulan jasa/perbuatan baik
merupakan tahapan persiapan dalam usaha menuju ketingkat keBuddhaan. Sedangkan Awadana
sebenarnya hampir sama dengan Jataka akan tetapi pelakunya bukan Sang Bodhisattwa, melain-
kan orang lain dan ceritanya dihimpun dalam kitab Diwyawadana yang berarti perbuatan mulia
kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau seratus cerita Awadana. Relief Jataka dan Awadana
candi Borobudur diperlakukan sama, artinya keduanya terdapat dalam deretan yang sama tanpa
dibedakan. Sedangkan Jatakamala adalah untaian/himpunan cerita Jataka. Jatakamala yang pa-
ling terkenal dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah karya penyair Aryasura yang hidup pada
abad ke-4 Masehi. Pada langkan tingkat ke-2 relief Jataka/Awadana terdapat 100 panel relief, pa-
nel ini mungkin melanjutkan kehidupan Sang Buddha di masa lalu. Beberapa adegan yang dapat
dikenali kembali terdapat pada sudut barat laut, yaitu Bodhisattva menjelma menjadi burung
merak dan tertangkap, akhirnya memberikan ajarannya (diadaptasi dari Wikipedia).
Pada tingkat ke-1 langkan atas kisah binatang relief Jatakamala sebanyak 372 panel,
sedangkan langkan bawah relief Jataka (kisah binatang) sebanyak 128 panel. Relief ini
mempunyai arti untaian cerita Jataka yang mengisahkan reinkarnasi sang Buddha sebelum
dilahirkan sebagai seorang manusia bernama pangeran Sidharta Gautama. Kisah ini cenderung
pada penjelmaan sang Buddha sebagai binatang yang berbudi luhur dengan pengorbanannya.
Cerita Jataka diantaranya kisah kera dan banteng. Kera yang nakal suka mengganggu banteng,
namun banteng diam saja. Dewi hutan menasehati banteng untuk melawan kera, namun banteng
menolak mengusir kera karena takut kera akan pergi dari hutan dan mengganggu kedamaian
binatang-binatang lain. Akhirnya dewi hutan bersujud kepada banteng karena sikap banteng yang

31
SEMINAR NASIONAL – Seni Tradisi
BAHASA RUPA RELIEF JATAKA CANDI BOROBUDUR

mulia/luhur dalam menjaga keserasian dan kedamaian di hutan, seiring dengan filosofi Jawa
”memayu hayuning bawana”.
Kisah Jataka lainnya adalah pengorbanan seekor gajah yang mempersembahkan dirinya
untuk dimakan oleh para pengungsi yang kelaparan. Kisah lain Jataka menceritakan tentang
calon Buddha yang menjelma menjadi kelinci. Sebagai kelinci calon Buddha mempunyai 3
sahabat, yaitu: serigala, kera, dan berang-berang. Ketika seorang pendeta tersesat di hutan, ketiga
sahabat itu membawa sesuatu: sebuah mangkok berisi susu, buah-buahan, dan tujuh ikan. Hanya
kelinci saja yang tidak membawa sesuatu untuk diberikan kepada pendeta tersebut. Maka kelinci
tersebut menyerahkan diri untuk dimasak oleh pendeta tersebut. Kisah Jataka lainnya
mengisahkan ketika terjadi kebakaran hutan, calon Buddha menjelma menjadi seekor burung
puyuh kecil yang masih lemah. Semua binatang hutan berlarian takut kebakaran tersebut, kecuali
burung puyuh. Burung puyuh tersebut berkata kepada api dengan kata-kata luhur dan bijaknya,
sehingga api bisa padam. Kisah lain Jataka menceritakan tentang calon Buddha yang menjelma
menjadi seekor kijang berkaki 8. Empat kaki di bawah menapak tanah, empat kaki di
punggungnya. Kalau lelah ia bisa berbalik menggunakan kaki yang di punggung. Suatu saat ia
dikejar oleh Raja yang sedang berburu. Raja ingin menangkap kijang tersebut. Karena tidak kuat,
Raja tersebut jatuh ke jurang. Dari pada lari menyelamatkan diri, kijang berkaki 8 tersebut justru
menyelamatkan Raja yang memburunya yang telah masuk ke jurang tersebut. Hal ini
membuktikan bahwa keunggulan kaki kijang berjumlah 8 tidak dimanfaatkan untuk kepentingan
pribadi, tetapi justru digunakan untuk menolong orang lain. Kisah Jataka lainnya menceritakan
tentang si-nga yang sedang makan kambing, tenggorokkannya tersangkut sepotong tulang.
Sambil menangis singa minta tolong kepada burung pelatuk yang kebetulan lewat. Burung
pelatuk tersebut adalah penjelmaan calon Buddha, dengan paruhnya potongan tulang di teng-
gorokan singa diambilnya. Untuk menguji singa, burung pelatuk tersebut bertanya kepada singa:
”Hai singa sang raja rimba, apakah upahku sekarang?”. Singa menjawab: ”Kau telah selamat dari
mulutku, adalah upah berharga bagimu”. Hal ini menunjukkan sikap kontras antara singa dan
burung pelatuk, burung pelatuk sebagai makhluk kecil yang tertindas, na-mun suka menolong,
tetapi singa yang kuat sebagai raja hutan tetap sombong seperti bia-sanya. Kisah Jataka lain
menunjukkan sikap menolong seekor penyu. Ketika sebuah kapal para pedagang kandas, maka
calon Buddha yang menjelma menjadi seekor penyu untuk menolong para pedagang
menyeberang sampai ke ujung daratan sebelahnya. Sesampai di darat para pedagang lapar, penyu
itu menawarkan diri untuk dimakan. Hal ini menunjukkan sebuah pengorbanan luhur calon
Buddha. Masih banyak lagi cerita binatang yang ada pa-da relief Jataka, namun tidak bisa
diceritakan satu per satu (diadaptasi dari Wikipedia).

b. Analisis Bahasa Rupa Media Rupa Statis Relief Jataka Candi Borobudur.
Media statis adalah media yang berupa gambar statis atau gambar diam (still picture).
Sedangkan ”media rupa statis” adalah media yang digunakan untuk mewujudkan gambar diam
(still picture), secara khusus merujuk pada teknik pembuatannya. Relief Jataka candi Borobudur
adalah salah satu contoh “media rupa statis”, karena berbentuk still picture. Sehingga, yang
menjadi fokus analisis bahasa rupa adalah tampilan visual still picture dari relief Jataka
Borobudur, dilihat dari teknik memaparkan atau mengungkapkan gambar/reliefnya. Tentunya
analisis bahasa rupa yang dimaksud adalah cara analisis bahasa rupa versi Tabrani (1991, 2005),
yaitu menggunakan Cara Wimba/CW dan Tata Ungkapan/TU
Dari 720 panel relief gabungan Jataka dan Awadana Borobudur, tidak mungkin seluruh panel
diteliti/dianalisis secara populasi, namun harus disampling secara purposif dengan berbagai
pertimbangan. Adapun cerita relief hasil pemilihan sampling purposif tersebut adalah: (1) Kisah
32
SEMINAR NASIONAL – Seni Tradisi
BAHASA RUPA RELIEF JATAKA CANDI BOROBUDUR

Ruru sang Rusa (Kisah Rusa Ruru); (2) Kisah Kelinci; (3) Kisah Kera dan Banteng; (4) Kisah
Burung Puyuh; (5) Kisah Kijang Berkaki 8; dan (6) Kisah Singa dan Burung Pelatuk.
(1) Analisis Bahasa Rupa Media Rupa Statis Relief Cerita ”Rusa Ruru”
Analisis bahasa rupa relief cerita Rusa Ruru dari rangkaian relief Jataka candi Borobudur
dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 1:
Hasil anali-
sis bahasa
rupa relief
Rusa Ruru
panel 96
(sumber:
Harto, 2011
& 2013)

Gambar 2:
Hasil anali-
sis bahasa
rupa relief
Rusa Ruru
panel 97
(sumber:
Harto, 2011
& 2013)

33
SEMINAR NASIONAL – Seni Tradisi
BAHASA RUPA RELIEF JATAKA CANDI BOROBUDUR

Gambar 3:
Hasil anali-
sis bahasa
rupa relief
Rusa Ruru
panel 98
(sumber:
Harto, 2011
& 2013)

(2) Analisis Bahasa Rupa Media Rupa Statis Relief Cerita ”Kelinci”
Berikut ini analisis bahasa rupa (Cara Wimba dan Tata Ungkapan) pada tiap panelnya:

Gambar 4:
Hasil anali-
sis bahasa
rupa relief
cerita Kelinci
panel 24
(sumber:
Harto, 2011
& 2013)

34
SEMINAR NASIONAL – Seni Tradisi
BAHASA RUPA RELIEF JATAKA CANDI BOROBUDUR

Gambar 5:
Hasil anali-
sis bahasa
rupa relief
cerita Kelinci
panel 25
(sumber:
Harto, 2011
& 2013)

(3) Analisis Bahasa Rupa Media Rupa Statis Relief Cerita ”Kera dan Banteng”

Gambar 6:
Hasil analisis
bahasa rupa
relief cerita
Kera dan
Banteng pa-
nel 129 (sum-
ber: Harto,
2011 & 2013)

35
SEMINAR NASIONAL – Seni Tradisi
BAHASA RUPA RELIEF JATAKA CANDI BOROBUDUR

Gambar 7:
Hasil anali-
sis bahasa
rupa relief
cerita Kera
dan Banteng
panel 130
(sumber:
Harto, 2011
& 2013)

Gambar 8:
Hasil analisis
bahasa rupa
relief cerita
Kera dan
Banteng
panel 131
(sumber:
Harto, 2011 &
2013)

36
SEMINAR NASIONAL – Seni Tradisi
BAHASA RUPA RELIEF JATAKA CANDI BOROBUDUR

Gambar 9:
Hasil analisis
bahasa rupa
relief cerita
Kera dan
Banteng pa-
nel 132 (sum-
ber: Harto,
2011 & 2013)

(4) Analisis Bahasa Rupa Media Rupa Statis Relief Cerita ”Burung Puyuh”

Gambar 10:
Hasil anali-
sis bahasa
rupa relief
”Burung
Puyuh”
panel 58
(sumber:
Harto, 2011
& 2013)

37
SEMINAR NASIONAL – Seni Tradisi
BAHASA RUPA RELIEF JATAKA CANDI BOROBUDUR

(5) Analisis Bahasa Rupa Media Rupa Statis Relief Cerita ”Kijang Berkaki 8”

Gambar 11:
Hasil analisis
bahasa rupa
relief ”Kijang
Berkaki 8”
panel 90
(sumber:
Harto, 2011 &
2013)

Gambar 12:
Hasil analisis
bahasa rupa
relief ”Kijang
Berkaki 8”
panel 91
(sumber:
Harto, 2011 &
2013)

38
SEMINAR NASIONAL – Seni Tradisi
BAHASA RUPA RELIEF JATAKA CANDI BOROBUDUR

Gambar 13:
Hasil analisis
bahasa rupa
relief ”Kijang
Berkaki 8”
panel 92
(sumber:
Harto, 2011 &
2013)

Gambar 14:
Hasil analisis
bahasa rupa
relief ”Kijang
Berkaki 8”
panel 93
(sumber:
Harto, 2011 &
2013)

(6) Analisis Bahasa Rupa Media Rupa Statis Relief Cerita ”Singa dan Burung Pelatuk”
Berdasarkan gambar 15 (panel 133, 134, dan 135 relief cerita ”Singa dan Burung Pelatuk”),
dapat diketahui bahwa bahasa rupa media rupa statis dari 3 panel relief ini, relatif sama dengan
cerita-cerita sebelumnya, yaitu menggunakan bahasa rupa: dekoratif, rinci diperbesar, diperbe-
sar, dari kepala ke kaki, tepi bawah adalah garis tanah, sejumlah latar, digeser, alih obyek berge-
rak, aneka tampak (pada wimba singa panel 133), dan wimba gapura sebagai panggung. Cara

39
SEMINAR NASIONAL – Seni Tradisi
BAHASA RUPA RELIEF JATAKA CANDI BOROBUDUR

khas terlihat pada cara duduk singa yang bertumpu


pada kaki belakang (panel 134), terlihat cara duduk
yang goyah. Keunikan panel cerita ini adalah pada
cara terbang burung panel 133 yang digambar
tampak atas, pohon panel 135, dan munculnya
wimba berang-berang pada panel 135.

Gambar 15:
Panel nomor 133, 134, dan 135 relief cerita ”Singa
dan Burung Pelatuk”. Pembacaan urutan nomor
panel sesuai dengan arah anak panah (sumber:
Harto, 2011 & 2013)

E. SIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan 6 cerita yang telah dianalisis ternyata memiliki bahasa rupa media statis
bersistem RWD (Ruang Waktu Datar) tidak bersistem NPM (Naturalistik Perspektif Moment-
Opname), dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Aneka Tampak: satu objek digambar dari arah yang berlainan (misalkan pada
penggambaran singa panel 133 pada cerita ”Singa dan Burung Pelatuk”).
2. Tampak Karakteristik: objek digambar dari sudut yang memperlihatkan karakteristik yang
paling khas, seperti pada aneka tampak (misalkan pada penggambaran cerita burung puyuh,
burung puyuh ditampilkan dilingkupi garis oval/bulat telur yang menunjukkan bahwa burung
puyuh tersebut terlindung dari panasnya api).
3. Dari kepala sampai kaki/MLS: memperlihatkan gesture untuk menceritakan karakter,
bukan lewat mimik wajah (misalkan pada penggambaran singa (panel 133-135) dalam cerita
”Singa dan Burung Pelatuk”).
4. Diperbesar/diperkecil: untuk menyatakan satu objek lebih penting dari yang lain (misalkan
pada penggambaran burung puyuh ukurannya lebih besar dari kepala kijang, rusa diperbesar
dan rajanya diperkecil pada cerita “Rusa/Kijang Berkaki 8”).
5. Sinar X: untuk memperlihatkan objek penting yang tertutup objek lainnya (misalkan pada
penggambaran kamar tidur Ruru dibuat tembus pandang sehingga Ruru si rusa kelihatan dari
luar dalam cerita “Rusa Ruru”).
40
SEMINAR NASIONAL – Seni Tradisi
BAHASA RUPA RELIEF JATAKA CANDI BOROBUDUR

6. Digeser: semua objek dalam wimba digeser hingga semua tampak dan bisa diceritakan
(semua panel relief Jataka menggunakan cara digeser).
7. Kejadian: wimba tidak bersifat still pictures, tetapi ada matra waktu, yang menceritakan
suatu proses (semua panel relief Jataka memiliki matra waktu).
8. Rinci Diperbesar: hampir pada semua panel relief Jataka Borobudur terdapat wimba
tanaman. Wimba ini biasanya digambar dengan memperbesar ukuran daunnya, serta
menampilkan secara rinci bentuk dan tulang daunnya. Sehingga satu pohon biasanya
daunnya bisa dihitung. Akibat bahasa rupa Rinci Diperbesar ini akhirnya dikenali beberapa
tanaman pada relief Jataka, misalnya: pohon mangga, pohon karet, daun mangkokan, pohon
sukun dan lain-lain, dan bahkan ada 1 pohon yang tidak ditanam di Indonesia (hanya di
India) yaitu pohon sal. Selain mengenali rincian daun juga mengenali elemen lain misalnya
wimba burung merak, wimba pohon pakis yang tumbuh liar pada tebing-tebing dapat
diperbesar rinciannya sehingga terlihat sap/lapisan pohon serta ukel pada tunasnya.
9. Latar Berlapis/Sejumlah Latar: tiap latar mempunyai waktu dan ruangnya sendiri, yang
tidak persis sama satu dengan yang lain. Lapisan latar paling atas terjadi lebih dulu
dibandingkan lapisan latar di bawahnya. Tetapi ini juga tidak berarti bahwa harus dibaca
secara kronologis, tetapi bisa secara flash back atau siklus: tak penting mana yang `dibaca'
terlebih dahulu dan mana yang belakangan. Setelah semua dibaca, lengkaplah maknanya
(misalkan pada penggambaran cerita “Burung Puyuh”).
10. Tepi bawah adalah garis tanah: sebagian besar relief Jataka menggunakan cara ini. Rata-
rata kaki tokoh menapak bagian garis/tepi bawah tanah (pigora panel), Sehingga pigora panel
dipandang sebagai garis tanah tempat tokoh berpijak.
11. Adanya wimba gapura panggung di sisi kiri dan di sisi kanan panel relief (mepet dengan
bingkai/pigora panel). Gapura panggung semacam ini tidak dijumpai pada relief Lalitavis-
tara, Gandawyuha, Karmawibhangga, dll. Gapura panggung ini nampak pada hampir semua
relief Jataka, terutama relief yang berbentuk bujur sangkar. Sedangkan relief yang berben-
tuk empat persegi panjang tidak disertai gapura panggung di sisi kanan-kirinya.
12. Relief Jataka tidak memiliki batas sekuen semu sebagaimana terdapat pada relief candi
Surawana dan Tegawangi yang rata-rata dibatasi oleh tanaman (seperti gunungan). Batas
semacam ini juga terdapat pada Wayang Beber Pacitan dan Wayang Beber Wonosari.
Meskipun tidak dibatasi oleh sekuen semu, relief Jataka Borobudur juga tidak ditampilkan
secara kisi-kisi, namun lebih banyak menggunakan cara dissmix.
13. Cara kembar tidak dipakai karena panel relief Jataka rata-rata hampir berbentuk bujur
sangkar, sehingga tokoh kembar tidak muncul untuk digeser ke kiri atau ke kanan panel.
Cara kembar biasanya muncul pada panel yang cenderung landscape/horisontal/empat
persegi panjang. Meskipun berbentuk bujur sangkar yang tidak menggunakan cara kembar,
relief Jataka memiliki bahasa rupa lain dalam menampilkan urutan cerita, yaitu dengan
membuat sejumlah latar yang berbeda kedudukannya.
Berdasarkan 13 ciri tersebut ternyata relief Jataka Borobudur dapat ditafsirkan dibuat oleh
taksaka (pemahat relief) yang cenderung berpola kerja thinking is believing bukan seeing is
believing, ketika berkarya seni rupa. Para taksaka memahat relief sesuai dengan apa yang
dipikirkannya (thinking is believing), bukan apa yang dilihatnya (seeing is believing). Apa yang
dipikirkan oleh taksaka Borobudur adalah bagaimana cerita yang terdapat dalam naskah kuno
Jatakamala dapat tergambarkan secara naratif pada panel relief.
Dalam sejarah seni lukis/seni rupa, pandangan thinking is believing telah dimiliki seseorang
secara alamiah (faktor heredity) sejak masa anak-anak ketika mereka mengekspresikan gambar-

41
SEMINAR NASIONAL – Seni Tradisi
BAHASA RUPA RELIEF JATAKA CANDI BOROBUDUR

nya di atas taferil. Pola thinking is believing ini “dikalahkan” oleh pola pikir seeing is believing.
Konsep/pola seeing is believing ini telah dimulai sejak era Seni Lukis Klasik di Eropa (awal abad
ke-15). Prinsip seeing is believing ini semakin berkembang ketika masa Renaissance, dengan
salah satu tokohnya Leonardo da Vinci. Da Vinci mempertautkan seni dan sains, hasilnya adalah
tafsir dan ekspresi keindahan alam semesta yang melahirkan beberapa teori seni dan sains yang
rasional, diantaranya: teori perspektif, lukisan realis, anatomi tubuh manusia, teori optik, kein-
dahan matematis, dll. Seeing is believing yang mengandalkan panca indera dan dikembangkan
oleh da Vinci akhirnya menjadi tonggak awal dan menjadi ciri seni lukis modern (diadaptasi dari
Wardhani, 2013 dalam http://awinditya-paresti-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-78427-Teori%20
Hubungan%20Internasional-POSTMODERNISM.html; http://naskahkita.wordpress.com/leonardo-da-
vinci-seniman-maha-kreatif-pengagum-air/; http://daoendjati.blogspot.com/2010/08/from-michaelangelo-
to-salvador-dali.html).

F. DAFTAR PUSTAKA
Harto, Dwi Budi. 1999. Relief Candi Tigawangi dan Candi Surawana: Tinjauan Cara
Wimba dan Tata Ungkapannya (Tesis). Fakultas Pasca Sarjana Institut Teknologi
Bandung. Bandung.
Harto, Dwi Budi. 2011. Perancangan Model Film Animasi Berbasis Bahasa Rupa Relief Ja-
taka Borobudur sebagai Pengembangan Industri Kreatif Film Animasi Indonesia dan
Informasi Wisata (laporan penelitian Hibah Bersaing th ke-1). LP2M-Unnes. Semarang.
Harto, Dwi Budi. 2013. Perancangan Model Film Animasi Berbasis Bahasa Rupa Relief Ja-
taka Borobudur sebagai Pengembangan Industri Kreatif Film Animasi Indonesia dan
Informasi Wisata (laporan penelitian Hibah Bersaing th ke-3). LP2M-Unnes. Semarang.
Kandahjaya, Hudaya. 1995. The Master Key for Reading Borobudur Symbolism (Kunci Utama
untuk Membaca Simbolisme Borobudur). Yayasan Penerbit Karaniya. Bandung.
Murtiyo, Onang & Dwi Budi Harto. 2010. Kajian Banding Bahasa Rupa Relief Candi
Surawana dengan Relief Teras Pendapa Panataran (Laporan Penelitian Dasar – Fakultas
Bahasa dan Seni – Universitas Negeri Semarang). Tidak dipublikasikan.
Purwanto. 2005. Kosmologi Gunungan Jawa (artikel dalam Jurnal Seni Imajinasi, Volume 2
Januari 2005). Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang. Semarang.
Rohidi, Tjetjep Rohendi. 2011. Metodologi Penelitian Seni. Cipta Prima Nusantara. Semarang.
Subagya, Rachmat. 1981. Agama Asli Indonesia. Yayasan Cipta Pita Loka Caraka dan Sinar
Harapan. Jakarta.
Suhartono, Yudi. 2010. Kearsitekturan Borobudur. Balai Konservasi Peninggalan Borobudur.
Magelang.
Sutopo, H. B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan Terapannya dalam
Penelitian. Sebelas Maret University Press. Surakarta.
Tabrani, Primadi. 1991. Meninjau Bahasa Rupa Wayang Beber Jaka Kembang Kuning dari
Telaah Cara Wimba dan Tata Ungkapan Bahasa Ruparungu Dwimatra Statis Modern,
dalam Hubungannya dengan Gambar Prasejarah, Primitip, Anak dan Relief Cerita
Lalitavistara Borobudur (Disertasi). Fakultas Pascasarjana ITB. Bandung.
Tabrani, Primadi. 1995. Belajar dari Sejarah dan Lingkungan: Sebuah Renungan Mengenai
Wawasan Kebangsaan dan Dampak Globalisasi. Bandung. Penerbit ITB.
Tabrani, Primadi. 2005. Bahasa Rupa. Kelir. Bandung.

42

Anda mungkin juga menyukai