Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Kendaraan merupakan mesin yang didesain guna memberikan kemudahan

bagi manusia. Pertumbuhan ekonomi yang pesat dapat berperan pada konsumsi

mesin-mesin pribadi seperti kendaraan roda dua dan roda empat. Peningkatan volume

kendaraan tentu saja berdampak pada kualitas udara disuatu wilayah dan secara

keseluruhan menyumbang emisi gas dunia. Dampak lain dari tingginya konsumsi

kendaraan adalah meningkatnya kebisingan yang juga berdampak pada kesehatan

manusia.

Kebisingan adalah bentuk pencemaran udara yang disebabkan oleh bunyi

pada tingkatan frekuensi tertentu yang berpengaruh bagi kesehatan makhluk hidup.

Kebisingan disebabkan oleh alat transportasi, mesin di pabrik dan suara manusia pada

suatu keadaan yang padat. Kuantitas bunyi pada beberapa tingkatan dapat

mengganggu pendengaran makhluk hidup. Tiap makhluk hidup seperti manusia

memiliki kemampuan yang berbeda dengan hewan dalam menangkap bunyi. Bunyi

dengan frekuensi tertentu dan kontinu secara tidak langsung dapat membahayakan

pendengaran manusia seperti hilangnya fungsi pendengaran. Menurut Setiawan

(2010) Kebisingan yang timbul diatas ambang batas yang diijinkan akan bersifat

destruktif terhadap sistem secara keseluruhan. Begitu pula bila ditinjau secara non-
teknis, kebisingan dapat menurunkan performa kerja manusia yang terlibat secara

langsung ataupun tidak langsung dengan sumber bunyi tersebut

Bunyi adalah gelombang longitudinal yang merambat melalui medium seperti

material bangunan, udara atau vegetasi. Bunyi bersifat dapat dipantulkan dan diserap.

Bunyi yang dipantulkan akan menghasilkan bunyi kembali yang frekuensinya lebih

rendah dari frekuensi bunyi awal, sementara bunyi yang diserap akan hilang. Tiap

medium perambatan bunyi mampu meredam gelombang bunyi pada tingkatan

tertentu. Beberapa material dirancang mampu meredam bunyi yang dihasilkan dari

transportasi atau pabrik seperti dinding berbahan serat atau sabut. Alamiahnya alam

mampu meredam bunyi dalam beberapa frekuensi karena alam merupakan system

terbuka yang saling terikat satu sama lain. Keberadaan vegetasi tanaman adalah

keuntungan terbesar bagi kehidupan di Bumi, hal ini karena vegetasi berperan dalam

menjaga lingkungan seperti penghasil Oksigen, penyerap emisi, penurun suhu dan

peredam bunyi yang baik. Pernyataan ini sejalan dengan hasil penelitian Erdianto, et

al. (2019) yang dilakukan di Taman Denggung menyebutkan keberadaan vegetasi

berupa pohon mampu mereduksi kebisingan sebesar 8.6 dBA, mengurangi suhu

sebesar 2.25 ℃ dan meningkatkan kelembaban udara sebesar 5.3 % serta mampu

memperlambat kecepatan angin sebesar 0.60 m/s.

Vegetasi dengan kanopi rapat lebih efektif dalam meredam bunyi. kombinasi

jenis dan ketinggian vegetasi yang memiliki kerapatan daun merata hingga

permukaan tanah mampu menyerap bunyi lebih baik daripada vegetasi yang tidak

memiliki kerapatan daun merata. Rusiana (2015) dalam penelitiannya menyebutkan


bahwa efektivitas vegetasi sebagai peredam kebisingan tergolong rendah dapat

disebabkan jenis vegetasi dengan ciri peredam kebisingan seperti memiliki daun tebal

dan kaku, kerapatan daun yang tinggi, dan kombinasi tanaman dengan berbagai

tingkatan tinggi, tidak ditanam secara merata sehingga penyerapan tidak maksimal.

Bentuk dan kondisi vegetasi hutan kota yang berbentuk jalur dan gerombol

mempengaruhi tingkat kebisingan, artinya bentuk dan kondisi vegetasi hutan

bergerombol mempunyai peranan yang sangat baik untuk peredam kebisingan. Pohon

dapat meredam suara dengan cara mengabsorpsi gelombang suara oleh daun, cabang,

dan ranting. Jenis tumbuhan yang paling efektif untuk meredam suara adalah yang

mempunyai tajuk tebal dengan daun yang rindang (Ratnaningsih, 2010).

Carpenter et al. (1975) menyebutkan tanaman yang paling efektif dalam

mengurangi kebisingan adalah tanaman yang memiliki tekstur halus dengan kondisi

pertumbuhan dedaunan tanaman sampai ke tanah. Grey dan Deneke (1986) juga

menyatakan, sudah menjadi patokan bahwa tanaman yang paling efektif dalam

menyerap kebisingan adalah tanaman yang memiliki daun yang banyak dan tangkai

daun yang tebal dan berair atau dengan kata lain kerapatan daun rapat/rimbun.

Dedaunan tanaman dapat menyerap kebisingan sampai 95%.

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik meneliti ”Keefektivan

vegetasi sebagai peredam alami dalam menyerap gelombang bunyi”.

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, identifikasi masalah yang ditemukan

adalah sebagai berikut.

1.2.1 Meningkatnya pertumbuhan ekonomi meningkatkan jumlah penggunaan alat

transportasi masyarakat

1.2.2 Kebisinginan yang disebabkan oleh aktivitas manusia dapat mengancam

kesehatan manusia pada daerah tertentu

1.2.3 Kebisingan menyebabkan ketidakefektifan aktivitas manusia seperti

kebisingan yang terjadi pada pusat pendidikan, dapat mengganggu keefektifan

proses belajar mengajar

1.2.4 Tingkat polusi bertambah, baik polusi udara, tanah, dan bunyi

1.2.5 Diperlukan adanya treatmen yang dapat meredam tingkat kebisingan dan

menekan laju polusi udara.

1.3 Rumusan Masalah

Berkaitan dengan identifikasi masalah di atas, maka rumusan masalah yang

menjadi topik penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.3.1 Bagaimana aktivitas manusia mempengaruhi tingkat kebisingan?

1.3.2 Bagaimana efektivitas vegetasi sebagai peredam dan penangkal polusi alami?

1.4 Tujuan
Tujuan penelitian mengacu pada rujukan masalah yang akan diselesaikan.

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.4.1 Mengetahui bagaimana proses kebisingan yang terjadi dari aktivitas manusia.

1.4.2 Mengetahui sejauhmana keefektifan vegetasi dalam meredam dan menekan

laju polusi udara.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi peradaban dunia.

Manfaat penelitian adalah sebagai berikut.

1.5.1 Memberikan kontribusi terhadap pengembangan pembangunan yang tetap

berorientasi pada terjaganya alam.

1.5.2 Hasil penilitan ini dapat memberikan masukan bagi para perancang

pembangunan dalam menciptakan lingkungan yang alami dan bebas polusi.

1.5.3 Memberikan informasi bagi para mahasiswa dan publik tentang ketahanan

alam dalam mereduksi bunyi (peredam bunyi) secara alami serta berperan

dalam menekan laju polusi yang disebabkan oleh aktivitas manusia.


BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Gelombang bunyi

Gelombang merupakan energi yang merambat secara periodik pada sebuah

medium atau tanpa medium. Gelombang dibedakan menjadi dua yaitu gelombang

transversal dan gelombang longitudinal. Menurut Yasid et al. (2016) Bunyi

merupakan gelombang mekanik jenis longitudinal yang merambat dan sumbernya

berupa benda yang bergetar. Halliday et al. (2005) menyebutkan bahwa bunyi

merupakan sembarang gelombang longitudinal. Bunyi bisa didengar sebab getaran

benda sebagai sumber bunyi menggetarkan udara di sekitar dan melalui medium

udara bunyi merambat sampai ke gendang telinga, sebenarnya merupakan variasi

tekanan udara secara periodik di sepanjang lintasan perambatannya. Tekanan udara

periodik inilah yang menggetarkan selaput gendang telinga (Yasid, et al., 2016).

Young & Freedman (2002) menyatakan bahwa cepat rambat bunyi

bergantung pada sifat mediumnya. Menurut Giancolli (2005) bahwa bunyi tidak dapat

merambat jika tidak ada materi. Bunyi dapat merambat di udara, dua batu yang saling

menumbuk dibawah air dapat didengar oleh perenang di bawah permukaan, karena

getaran dibawa ke telinga oleh air. Hal ini menunjukkan bahwa bunyi memerlukan

medium dalam perambatannya. Laju bunyi akan berbeda untuk materi yang berbeda.

Pada udara di 0℃ dan tekanan 1 atm, bunyi merambat dengan laju 331 m/s. Gas

seperti helium, yang kerapatannya jauh lebih kecil dari udara tetapi modulus elastinya

tidak berbeda jauh, lajunya kurang lebih tiga kali lipat dari udara. Pada zat cair dan
padat, yang jauh lebih tidak bisa ditekan dan berarti memiliki modulus elastis yang

jauh lebih besar, lajunya perambatan bunyi akan lebih besar lagi. Laju bunyi pada

berbagai materi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Laju bunyi diberbagai materi pada 20 ℃ dan tekanan 1 atm.

Materi Laju (m/s)


Udara 343
Udara (0℃) 331
Helium 1005
Hidrogen 1300
Air 1440
Air laut 1560
Besi dan Baja 5000
Kaca 4500
Alumnium 5100
Kayu keras 4000
Sumber : (Giancolli, 2005)

Nilai-nilai dalam materi di atas dalam beberapa hal bergantung pada

temperature, tetapi hal ini terutama tampak pada gas. Sebagai contoh di udara, laju

bertambah sekitar 0.60 m/s untuk setiap kenaikan temperature satu derajat Celcius.

Telinga manusia dapat mendengar frekuensi dalam jangkauan 20 Hz sampai

20.000 Hz. (1 Hz adalah 1 siklus per detik). Jangkauan ini disebut jangkauan

pendengaran. Jangkauan ini berbeda dari orang ke orang. Satu kecenderungan umum

adalah jika orang bertambah tua, mereka makin tidak bisa mendengar frekuensi yang

tinggi, sehingga batas frekuensi tinggi mungkin menjadi 10.000 Hz atau kurang.

Gelombang bunyi yang frekuensinya di luar jangkauan yang dapat terdengan

mungkin mencapai telingan, tetapi biasanya kita tidak menyadarinya. Frekuensi di

atas 20.000 Hz disebut ultrasonic (jangkauan kacaukan dengan supersonic, yang


digunakan untuk benda yang bergerak dengan laju yang lebih cepat dari kecepatan

bunyi). Banyak hewan dapat mendengar frekuensi ultrasonic seperti anjing dapat

mendengar bunyi setinggi 50.000 Hz, dan kelelawar dapat mendeteksi frekuensi

sampai setinggi 100.000 Hz. Gelombang bunyi yang frekuensinya di bawah

jangkauan yang dapat terdengar disebut infrasonic. Sumber gelombang infrasonic

termasuk gempa bumi, Guntur, gunung berapi, dan gelombang yang dihasilkan oleh

getaran mesin-mesin yang berat. Sumber terakhir ini bisa sangat merepotkan untuk

para pekerja, karena gelombang infrasonic walaupun tidak dapat terdengar dapat

menyebabkan kerusakan pada tubuh manusia. Gelombang frekuensi rendah ini

bekerja dengan resonansi, menyebabkan gerakan dan iritasi yang cukup besar pada

organ-organ di dalam tubuh (Giancolli, 2005).

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, Gelombang bunyi merupakan

sembarang gelombang longitudinal yang hanya dapat merambat melalui medium

seperti air, padatan, tanah dan udara dimana laju sebuah gelombang bunyi tergantung

oleh sifat masing-masing medium perambatannya.

2.2 Kebisingan

Menurut Giancolli (2005) bunyi biasa seperti yang dihasilkan dengan

memukul dua batu merupakan bunyi dengan kualitas tertentu, dengan ketinggian

yang jelas tidak terlihat. Bunyi seperti dalam peristiwa tersebut merupakan campuran

dari banyak frekuensi yang sedikit hubungannya satu sama lain. Jika spectrum bunyi

yang terbuat dari bunyi seperti peristiwa diatas, maka tidak akan ada spectrum

frekuensi yang kontinu atau nyaris kontinu. Bunyi seperti ini disebut dengan
kebisingan dalam perbandingannya dengan bunyi lain yang lebih harmonis yang

terdiri dari frekuensi yang merupakan kelipatan sederhana dari nada dasar.

Sedangkan menurut Alfatika et al. (2018) kebisingan merupakan salah satu

masalah kesehatan lingkungan. Bising adalah suara yang tidak dikehendaki, dapat

mengganggu atau membahayakan kesehatan. Bising merupakan suara atau bunyi

ramai, hiruk-pikuk yang memekakkan telinga dan dapat mengalihkan perhatian,

mengganggu, atau berbahaya bagi kegiatan sehari-hari. Suma’mur (2009)

menyebutkan bahwa bunyi merupakan gelombang longitudinal yang ditimbulkan

oleh getaran dari suatu sumber bunyi dan merambat melalui media udara atau

penghantar lainnya. Manakala bunyi tersebut tidak dikehendaki karena dinilai

mengganggu atau timbul di luar kemauan orang yang bersangkutan maka bunyi

tersebut dinyatakan sebagai kebisingan. Kebisingan dinyatakan dalam suatu logaritma

yaitu desibel (dB).

Taraf intensitas bunyi dinyatakan dengan skala logaritmik. Satuan skala ini adalah

bel, dari Alexander Graham Bell (1847-1922), penemu telepon, atau yang lebih umum

decibel (dB), yang merupakan 0,1 bel (10 dB=1 bel). Taraf Intensitas, TI, dari bunyi

didefinisikan dalam intensitasnya, I, sebagai berikut :

I
TI =10 log
I0

Dengan I0 adalah intensitas tingkat acuan, I0 biasanya diambil dari intensitas

minimum yang dapat didengar orang rata-rata yaitu ”ambang pendengaran” yang

bernilai I 0=1.0 X 10−12 W /m2


IdB : 10Log (P1/P0)

P1 : daya sumber suara

P0 : daya pembanding

Melalui intensitas (desibel) dapat ditentukan apakah bunyi tersebut bising

atau tidak. Melalui ukuran tersebut maka dapat diklasifikasikan seberapa jauh bunyi

tersebut dapat diterima atau tidak dapat diterima seperti dalam Tabel 2.

Tabel 2. Skala Intensitas Kebisingan dan Sumbernya

Skala Kebisingan Intensitas Kebisingan Sumber Kebisingan


(dBA)
Menulikkan 100-120 Halilintar
Mesin Uap
Meriam
Sangat hiruk 80-100 Jalan hiruk pikuk
Perusaan sangat gaduh
Peluit polisi
Kuat 60-80 Perkantoran bising
Jalanan pada umumnya
Radio perusahaan
Sedang 40-60 Rumah gaduh
Kantor pada umumnya
Percakapan kuat
Radio
Tenang 20-40 Rumah tenang
Kantor perorangan
Auditorium
Percakapan
Sangat tenang 0-20 Suara daun
Percakapan berbisik
Sumber : (Suma’mur, 2009)

Menurut Setiyawan et al. (2015) berdasarkan frekuensi, tingkat tekanan

bunyi, tingkat bunyi dan tenaga bunyi maka bising dibagi dalam 3 kategori yaitu; 1)
Occupational noise (bising yang berhubungan dengan pekerjaan) yaitu bising yang

disebabkan oleh bunyi mesin di tempat kerja, misal bising dari mesin ketik; 2)

Audible noise (bising pendengaran) yaitu bising yang disebabkan oleh frekuensi

bunyi antara 31,5 – 8.000 Hz; 3) Impuls noise (Impact noise = bising impulsif) yaitu

bising yang terjadi akibat adanya bunyi yang menyentak, misal pukulan palu, ledakan

meriam, tembakan bedil.

Jenis kebisingan berdasarkan mekanisme penyebaran dan perambatan energi

bunyi dibagi menjadi 3 yaitu;

1) Struktur-Borne Noise, yaitu kebisingan yang dihasilkan oleh perambatan

getaran struktur komponen dari suatu sistem struktur atau bagian yang

bergetar tersebutakan meradiasikan atau merambatkan energi akustik dalam

bentuk gelombang longitudinal. Sumber energi tersebut diperoleh dari

adanya kerusakan atau tidak seimbangnya bagian serta gerakan bolak-balik

dari suatu sistem.

2) Liquid-Borne Noise, yaitu kebisingan yang ditimbulkan oleh adanya

perambatan fluktuasi tekanan fluida, sehingga terjadi getaran kolom fluida,

pusaran fluida, bunyi aliran dan kavitasi.

3) Air-borne Noise, yaitu kebisingan yang merambat melalui fluktuasi tekanan

yang timbul di udara perambatan kebisingan melalui dua media seperti ini

akan saling berkaitan. Dimana jika terjadi suatu perambatan bunyi yang

bersumber dari struktur, maka getaran struktur akan dapat


menggetarkanudara disekelilingnya. Pada saat yang sama udara yang

bergetar tersebut akan menggetarkan struktur kembali,

Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.48 Tahun 1996,

baku mutu tingkat kebisingan bisa dilihat pada tabel 3 dibawah.

Tabel 3. Baku mutu tingkat kebisingan.

Peruntukan kawasaan/Lingkungan kesehatan Tingkat kebisingan db (A)


a. Peruntukan kawasan
1. Perumahan dan pemukiman 55
2. Perdagangan dan jasa 70
3. Perkantoran dan perdagangan 65
4. Ruang terbuka hijau 50
5. Industri 70
6. Pemeriksaan dan fasilitas umum 60
7. Rekreasi 70
8. Khusus :
a) Bandar udara
b) Stasiun kereta api 60
c) Pelabuhan laut 70
d) Cagar budaya
b. Lingkungan kegiatan
1. Rumah sakit atau sejenisnya 55
2. Sekolah atau sejenisnya 55
3. Tempat ibadah atau sejenisnya 55

Standar alat ukur yang digunakan untuk mengukur kebisingan adalah Sound

Level meter (SLM). Sound Level meter (SLM) sendiri merupakan alat ukur dengan

basis sistem pengukuran elektronik. Menurut Buchla dan Mclachan (1992), Meskipun

pengukuran bisa dibuat secara langsung dengan cara mekanis, sistem pengukuran

elektronik memberikan banyak keuntungan untuk beberapa pengukuran, antara lain

kecepatan sistem mengambil, mengirim, mengolah, dan menyimpan data.


Sound Level meter (SLM) dapat mengukur tiga jenis karakter respon

frekuensi, yang ditunjukkan dalam skala A, B, dan C. Skala ditemukan paling

mewakili batasan pendengaran manusia dan respons telinga terhadap kebisingan,

termasuk kebisingan akibat lalu lintas, serta kebisingan yang dapat menimbulkan

gangguan pendengaran. Skala A dinyatakan dalam satuan dBA (Djalante,

2010).Menuruut Anizar (2010),Sound Level meter(SLM) biasanya dipakai untuk

mengukur tingkat kebisngan pada saat tertentu. Biasanya alat ini digunakan untuk

mengidentifikasi tempat-tempat yang tingkat kebisingannya lebih t inggi dari aturan

batas maksimum yakni 85 dBA. Alat ini terdiri dari Microphone, alat penunjuk

elektronik, amplifilter, 3 skala pengukuran A,B,C. Skala Pengukuran A, untuk

memperlihatkan perbedaan kepekaan yang besar pada frekuensi rendah dan tinggi

yang menyerupai reaksi telinga untuk intensitas rendah. Skala Pengukuran B. untuk

memperlihatkan kepekaan telinga untuk bunyi dengan intensitas sedang. Sedangkan

Skala Pengukuran C, untuk skala dengan intensitas tinggi.

Menurut KMNLH No. 48 (1996) pengukuran kebisingan dapat dilakukan

dengan dua cara yaitu pertama menggunakan cara sederhana. Dengan sebuah Sound

Level Meter, biasa diukur tingkat tekanan bunyi dBA selama 10 menit untuk tiap

pengukuran. Pembacaan dilakukan setiap 5 detik. Cara kedua yaitu cara langsung

menggunakan sebuah Integrating Sound Level Meter yang mempunyai fasilitas

pengukuran LTMS , yaitu Leq dengan waktu ukur setiap 5 detik, dilakukan

pengukuran selama 10 menit. Perhitungan kebisingan menurut KMLH No. 48 (1996)

bisa dilakukan dengan rumus sebagai berikut.


1. Ls=10 log 1/16 {TI .100.1 L 1+ … T 4.10 0.1 L 4 }…. dB(A)….…..(1)

2. Lm=10 log 1/8 {T 5.100.1 L5 +… T 7.100.1 L7 }…. dB(A)………(2)

3. Lsm=10 log 1/24 {16.100.1 L5 +… 8.10 0.1 L7 }….. dB(A)......….(3)

Keterangan :
Ls : Leq selama siang hari
Lm : Leq selama malam hari
Lsm : Leq selama siang dan malam hari
Bising pada umumnya dapat merusak telinga bagian tengah dan bagian

dalam. Kerusakan telinga bagian tengah diakibatkan oleh peradangan dan

penumpukan kotoran telinga sedangkan telinga bagian dalam ditandai dari rusaknya

sel rambut telinga dalam yang kebanyakan merusak saraf vestibulokoklear dan

berakibat pada kehilangan pendengaran. Kerusakan saraf vestibulokoklear juga dapat

menyebabkan gangguan fisiologis berupa peningkatan tekanan darah, peningkatan

nadi, kontruksi pembuluh darah perifer terutama pada tangan dan kaki, serta

gangguan psikologis berupa rasa tidak nyaman, gangguan konsentrasi, cepat marah

dan susah tidur. Gangguan psikologis yang terjadi karena manusia

menginterpretasikan bunyi yang ditangkapnya pada proses terakhir pendengaran, bila

terjadi kerusakan penerimaan di pusat pendengaran yaitu dibagian otak oleh saraf

vestibulokoklear, manusia menginterprestasikan bunyi bising sebagai kondisi yang

mengancam (Kristiyanto, 2013).


Menurut Darlani (2017) bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara

kebisingan dengan rasa tidak nyaman, gangguan konsentrasi, gangguan emosi atau

cepat marah, dan gangguan tidur. Terhadap daya kerja, kebisingan dapat mengurangi

daya kerja seseorang yang menyebabkan terjadi kesalahan ketika bekerja sehingga

menurunkan prestasi kerja tenaga kerja, selain itu kebisingan dapat meningkatkan

kelelahan (Maharja, 2015). Lingkungan fisik yang terlalu menekan, seperti

kebisingian, temperatur atau panas yang terlalu tinggi, udara yang lembab,

penerangan di kantor yang kurang baik juga dapat meningkatkan gangguan psikologis

pekerja seperti rasa tidak nyaman, gangguan konsentrasi, gangguan emosi atau cepat

marah dan gangguan tidur. Tingkat keseriusan gangguan psikologis seseorang

berbeda-beda tergantung sikap dalam menanggapinya. Jika ke empat bagian dari

gangguan psikologis tersebut berada dalam diri seseorang, orang tersebut akan

mengalami stressor yang sangat ekstrim. Salah satu reaks terhadap kejadian yang

penuh stress adalah tidak responsif dan aspek-aspek trauma (Bart Smet, 1994). Oleh

karena itu, dibutuhkan medium dalam menekan laju bunyi agar tidak menyebabkan

bising berlebih yang mengganggu aktivitas dan kesehatan manusia. Perambatan

gelombang bunyi dapat di batasi dengan menggunakan suatu medium yang memiliki

sifat-sifat kedap suara, sehingga energi yang ditransmisikan akan mampu

dikurangi/dihambat oleh medium tersebut.


2.3 Vegetasi

Vegetasi merupakan kumpulan tumbuh-tumbuhan, biasanya terdiri dari

beberapa jenis yang hidup bersama-sama pada suatu tempat. Dalam mekanisme

kehidupan bersama tersebut terdapat interaksi yang erat, baik diantaranya sesama

individu penyusun vegetasi itu sendiri maupun dngan organisme lainnya sehingga

merupakan suatu sistem tumbuh serta dinamis (Marsono, 1977). Kebisingan bukan

saja bervariasi menurut tekanan suranya, tetapi juga sangat berhubungan dengan

frekuensinya. Pepohonan dapat meredam kebisingan dengan cara mengabsorpsi

gelombang suara oleh daun, cabang dan ranting. Penanaman vegetasi pepohonan

dalam bentuk shelter belt, dengan penutupan yang rapat dan berlapis-lapis, dapat

meredam kebisingan yang cukup besar hingga 95% dari sumbernya.

Pengurangan bising dapat dilakukan dengan menaruh tumbuh-tumbuhan.

Namun pohon dan tumbuhan biasanya tidak efektif sebagai penghalang bising.

Pengurangan bising dari pohon bergantung kepada dahan dan daun sehingga bising

yang berada dekat tanah tidak tereduksi secara signifikan. Pohon yang ditanam

berdekatan dan searah dengan arah datang gelombang bunyi lebih efektif daripada

pohon yang berdiri sendiri. Tanaman yang digunakan untuk penghalang kebisingan

diharuskan memiliki kerimbunan dan kerapatan daun merata mulai dari permukaan

tanah hingga ketinggian yang diharapkan. Maka perlu diatur kombinasi antara

tanaman penutup tanah, perdu, dan pohon atau kombinasi dengan bahan lainnya

sehingga efek penghalang menjadi optimum.


Tingkat kebisingan dapat dikontrol oleh vegetasi tergantung pada 1) jenis

spesies, tinggi tanaman, berat, dan jarak tumbuh. 2) faktor-faktor iklim, yaitu

kecepatan angin, suhu, dan kelembaban, dan 3) jenis suara, asal dan tingkat desibel

(tingkat intensitas). Gelombang suara yang diserap oleh daun, cabang, ranting pohon

dan semak-semak. Telah dilaporkan bahwa tanaman yang paling efektif untuk

penyerapan suara adalah bagian yang memiliki daun tebal, berdaging dengan banyak

tangkai daun (daun tangkai). Kombinasi ini memberikan tingkat fleksibilitas yang

tinggi dan getaran. Pohon dapat meredam suara dengan cara mengabsorbsi

gelombang oleh daun, cabang, dan ranting. Jenis tumbuhan yang paling efektif untuk

meredam suara adalah yang mempunyai tajuk tebal dan daun yang rindang.

Dedaunan tanaman dapat menyerap kebisingan sampai 95%. (Grey dan Deneke,

1978). Kemampuan tanaman mereduksi kebisingan dipengaruhi oleh ketebalan dan

kelenturan daun, hal ini berkaitan dengan kemudahan daun untuk bergerak karena

angin dan energi suara (Widagdo, 1998).

2.4 Kajian penelitian relevan

Penelitian sebelumnya berfungsi untuk analisa dan memperkaya pembahasan

penelitian, serta membedakannya dengan penelitian yang sedang dilakukan. Dalam

penelitian ini disertakan tiga jurnal penelitian sebelumnya yang relevan dan

berhubungan dengan tema penelitian penulis yaitu keefekivan vegetasi dalam

meredam bunyi/kebisingan. Jurnal tersebut antara lain.


1. Penelitian Utami Retno Pudjowati dalam jurnal PROKONS Politeknik

Negeri Malang pada tahun 2015 yang berjudul “Pemodelan Peredaman

Kebisingan Dengan Menggunakan Vegetasi Di Jalan Tol Waru-

Sidoarjo” mengulas tentang bagaimana model penempatan vegetasi yang baik

sehingga dapat memberikan daya redam yang lebih baik. Penelitian dilakukan

di jalan tol Waru – Sidoarjo dengan vegetasi yang ada di tepi jalan tol. Sampel

diambil pada km 18, km 19, km 20, km 23, km 25 dan km 27.Vegetasi yang

dibuat sampel adalah Trembesi (Samanea saman), Angsana (Pterocarpus

indicus), Jati (Tectona grandis) dan Asam Belanda (Pithecellobium dulce).

Pengukuran dilakukan menggunakan alat Sound Level Meter, yang

diletakkan di tepi jalan tol dan di belakang vegetasi yang ada di lokasi

penelitian. Pada saat yang bersamaan juga diukur intensitas kebisingan di dua

tempat tersebut. Kemudian dari hasil pengukuran, dapat dibuat persamaan

peredaman kebisingan untuk masing-masing vegetasi, sehingga dapat dibuat

perkiraan peredaman yang dapat dihasilkan untuk jarak-jarak tertentu. Hasil

penelitian mennjukkan peredaman oleh vegetasi berkisar antara 3,82% hingga

10,12% dan jenis vegetasi yang paling efektif meredam kebisingan adalah

Asam Belanda (Pithecollobium dulce) yang mempunyai efektivitas

peredaman paling tinggi yaitu 10,12%. Pemodelan disajikan menggunakan

bentuk rumus matematika dan disertai grafik


2. Penelitian Jumingin, Zulkifli Dahlan, dan Dedi Setiabudidaya dalam

Biological Research Journal Tahun 2016 dengan judul “Effect of

Architectural Tree Model to the Noise Level of Motor Vehicle on Demang

Lebar Daun Street Palembang “ membahas mengenai pengaruh model

arsitektur pohon terhadap tingkat kebisingan suara kendaraan bermotor di

jalan Demang Lebar Daun Palembang. Tujuan dari penelitian ini adalah

menganalisis model arsitektur pohon yang dapat mereduksi tingkat kebisingan

paling tinggi di antara model arsitektur pohon yang dijumpai dan

mengidentifikasi model arsitektur pohon. Metode yang digunakan adalah

purposive sampling. Pengukuran tingkat kebisingan dan model arsitektur

dipilih sesuai dengan jenis pohon yang dijumpai di sebelah kiri atau kanan

jalan. Pengukuran tingkat kebisingan siang hari dilakukan secara bersamaan

pada titik 1 meter di depan pohon, 1 dan 5 meter di belakang pohon, selama

10 menit dengan pembacaan setiap 5 detik pada pukul 07.00, 10.00, 15.00 dan

20.00. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model arsitektur pohon Switenia

magahoni adalah model Rauh, pohon Lagerstroemia sp. adalah model Troll

dan pohon Thyrsostachys siamensis adalah model McClure. Reduksi tingkat

kebisingan tertinggi oleh pohon bambu, masing-masing 4,88 dB(A) dan 8,52

dB(A) pada jarak 1 meter dan 5 meter.

3. Penelitian Dwija Putripertiwi, Medha Baskara, dan Sitawati dalam Jurnal


Produksi Tanaman Tahun 2018 dengan judul “Efektifitas Komposisi Tekstur
Tanaman Pada Taman Rumah Dalam Mengurangi Kebisingan” membahas

mengenai komposisi tekstur tanaman yang paling efektif mengurangi

kebisingan pada taman. Bahan dan alat yang digunakan adalah tiga buah

model taman yang sudah didesain dan Sound level meter untuk mengukur

tingkat kebisingan. Hasil penelitian menunjukkan model taman rumah, yaitu

model 1 memiliki kemampuan meredam bising paling baik sebesar 18.67

dB(51.42%). Dengan komposisi tanaman kasar (38.17%), sedang (35.92%),

dan halus (25.92%).

2.5 Kerangka pikir


Gambar 1. Kerangka berpikir desain penelitian efektivitas vegetasi sebagai peredam
kebisingan alami.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini akan dilakukan di sepanjang jalan lingkungan kampus

Universitas Negeri Gorontalo yang tersaji pada gambar dibawah. Sementara waktu

penelitian dilaksanakan pada bulan September sampai November 2020.

3.2 Metode dan Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode eksperimen melalui teknik observasi

lapangan. Sementara untuk mengumpulkan data pengukuran kebisingan menggunakan alat

pengukur intensitas bunyi yaitu Sound Level Meter. Pengukuran jarak dengan

menggunakan Roll meter dan Anemothermometer digunakan untuk mengetahui kondisi

pendukung yaitu suhu dan kecepatan angin.

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan jumlah vegetasi dalam

lingkungan Universitas Negeri Gorontalo. Sampel dalam penelitian ini adalah titik-

titik yang memenuhi kriteri pengukuran yaitu wilayah tanpa vegetasi, vegetasi

rendah, sedang dan tinggi yang dipilih menggunakan teknik purposive sampling.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode percobaan lapangan factorial 3 faktor

dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK). Factor pertama yaitu tingkat tutupan tajuk

vegetasi sebanyak 4 level (tanpa vegetasi, rendah, sedang dan tinggi). faktor kedua

yaitu tingkat rotasi per menit (RPM) sumber bunyi sebanyak 4 level (2000 r/min,

3000 r/min, 4000 r/min, 5000 r/min). dan factor yang ketiga yaitu jarak dari sumber

bunyi sebanyak 3 level (0 m, 3 m, 5 m). kemudian pengukuran dilakukan sebanyak 3


kali ulangan per kelompok karena pertimbangan kondisi arah dan kecepatan angina,

suhu dan kelembapan udara tidak dapat dikontrol.

3.5 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data menggunakan analysis of variance (ANOVA) yang

dimulai dari masing-masing tiga faktor pengukuran. Terdapat tiga variabel

pengukuran masing-masing adalah variabel tetap ( frekuensi dan intensitas

kebisingan). Variabel bebas ( arah, kecepatan angin, suhu, dan kelembapan udara).

Variabel control (kerapatan vegetasi, diameter batang, dan tinggi bebas cabang)

3.6 Hipotesis Statistik

Terdapat hubungan antara vegetasi dan kebisingan. Berikut hipotesis statistic.

H0 : p = 0

H1 : p ≠ 0

Referensi

Bart, S. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia


Kristiyanto, F. et al. 2013. Hubungan Intensitas Kebisingan Dengan Gangguan
Psikologis Pekerja Departemen Laundry Bagian Washing PT. X Semarang.
Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2 (1): 75-79.
Maharja, R., 2015. Analisis Tingkat Kelelahan Kerja Berdasarkan Beban Kerja Fisik
Perawat di Instalasi Rawat Inap Rsu Haji Surabaya. The Indonesian Journal
of Occupational Safety and Health, 4(1), pp.93-102.
Darlani, dan Sugiharto. 2017. Kebisingan Dan Gangguan Psikologis Pekerja
Weaving Loom Dan Inspection Pt. Primatexco Indonesia. Jurnal of Health
Education. JHE 2 (2) (2017) . Di akses 14 April 2020 di laman
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jhealthedu/
Marsono, 1977 Diskripsi Vegetasi dan Tipe-tipe Vegetasi Tropika. Fakultas
Kehutanan UGM. Yogyakart
Grey, G.W dan J.F. Deneke. 1986. Urban Forestry. Jhon Willey and Sons. New
York.
Carpenter, P.L, et al. 1975. Plant in the Landscape. W. H. Feeman and Company.
San Fransisco.
Setiawan, FM. 2010. Tingkat Kebisingan Pada Perumahan Perkotaan. Jurnal Teknik
Sipil UNNES. Semarang.
Ratnaningsih, AT dan Suhesti, E. 2010. Peran Hutan Kota Dalam Meningkatkan
Kualitas Lingkungan. Journal of Environmental Science. Ilmu Lingkungan.
Fakultas Kehutanan. Universitas Lancang Kuning. Pekanbaru.
Alfathika, Dwininta. et al. 2018. Gambaran Intensitas Kebisingan di Wahana
Bermain Indoor di Kota Padang. Artikel penelitian. Di akses 2 Maret 2020
di laman
http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/download/812/668.
Setiyawan, Odio. et al. 2015. Analisa Estimasi Tingkat Kebisingan di Kamar Mesin
dan Ruang Akomodasi pada Kapal Riset dengan Penggerak Motor Listrik.
Jurnal Teknik Perkapalan. Vol. 3, No 1. Di akses 02 April 2020 di laman
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/naval/article/view/7916/7675.

Anda mungkin juga menyukai