Anda di halaman 1dari 5

Critical Review

Undang-Undang No. 24 Tahun 2007


Tentang Penanggulangan Bencana

Fathia Fajrianti. 22113003. fathiarianti@gmail.com


Perencanaan Wilayah dan Kota - Institut Teknologi Sumatera

Pendahuluan
Bencana merupaka suatu peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan
dampak psikologis. Dalam tulisan kali ini, penulis mencoba me-review dan mengkritik sebuah
Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Mengingat, undang-
undang ini diperlukan sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dalam melindungi terhadap
kehidupan dan penghidupan termasuk perlindungan atas bencana. Selain itu, ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai penanggulangan bencana yang ada belum dapat
dijadikan landasan hukum yang kuat dan menyeluruh serta tidak sesuai dengan perkembangan
keadaan masyarakat dan kebutuhan bangsa Indonesia sehingga menghambat upaya
penanggulangan bencana secara terencana, terkoordinasi, dan terpadu maka hadirlah undang-
undang tentang penanggulangan bencana ini yaitu Undang-Undang No. 24 tahun 2007.

Ringkasan
Undang-undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana terdiri dari 13 BAB.
BAB pertama membahas tentang ketentuan umum, dimana pengertian bencana dibahas.
Bencana dalam undang-undang ini dibagi tiga, yaitu bencana alam, bencana non alam dan
bencana sosial. Selain itu menjelaskan pula penyelenggaraan penanggulangan bencana,
kegiatan pencegahan bencana, kesiasiagaan, peringatan dini, mitigasi, tanggap darurat,
rehabilitasi, rekonstruksi, ancaman bencana, rawan bencana, pemulihan, pencegahan bencana,
risiko bencana, bantuan darurat bencana, status keadaan darurat bencana, pengungsi, korban
becnana serta lembaga-lembaga yang membahas atau mengurusi penanggulangan bencana.
Pada BAB II UU No. 27 tahun 2007 juga menjelaskan bahwa penanggulangan bencana
harus berdasarkan beberapa asas, dijelaskan pula tujuan dari penanggulangan bencana yaitu
untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana. Pada BAB III
menjelaskan tentang tanggung jawab dan wewenang pemerintah, serta penetapan status dan
tingkat bencana. Dalam BAB IV menjelaskan tentang kelembagaan, dimana kelembagaan di bagi
menjadi dua. Kelembagaan pertama yaitu Badan Nasional Penanggulangan Bencana yang
dibentuk oleh pemerintah dimana ia nondepartemen setingkat menteri yang memiliki tugas
salah satunya untuk menggunakan dan mempertanggungjawabkan sumbangan atau bantuan
nasional dan internasional. Kelembagaan kedua yaitu Badan Penanggulangan Bencana Daerah
dimana badan ini pada tingkat provinsi dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah
gubernur dan ditingkat kabupaten/kota dipimpin oleh seorang pejabat setingkat
bupati/walikota.
Pada BAB V UU No. 27 tahun 2007 menjelaskan tentang hak dan kewajiban masyarakat
terhadap penanggulangan bencana. Salah satu hak yang dimaksud dalam undang-undang ini
setiap orang berhak mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, khususnya bagi kelompok
masyarakat rentan bencana. Dan salah satu kewajibannya adalah menjaga kehidupan sosial
masyarakat yang harmonis, memelihara keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan
kelestarian fungsi lingkungan hidup. Pada BAB VI yang membahas tentang peran lembaga usaha
dan lembaga internasional. Peran lembaga usaha berkewajiban menyampaikan laporan kepada
pemerintah dan/atau badan yang diberi tugas melakukan penanggulangan bencana serta
menginforrmasikan kepada publik secara transparan. Selain itu, dalam bab ini ada peran
lembaga internasional dan lembaga asing non pemerintah yang dapat ikut serta dalam kegiatan
penanggulangan bencana dan mendapat jaminan perlindungan dari pemerintah terhadap para
pekerjanya.
Pada BAB VII No. 27 tahun 2007 membahas tentang penyelenggaraan penanggulangan
bencana, dimana penyelenggaraan penanggulangan bencana dilaksanakan berdasarkan empat
aspek. Dalam bab ini juga membahas tentang tahapan penyelenggaraan penanggulangan
bencana, penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat, dan
penylenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pascabencana. Pada BAB VIII yang
membahas tentang pendanaan dan pengelolaan bantuan bencana dimana terdapat pendanaan
dan pengelolaan bantuan bencana. BAB IX yang membahas tentang pengawasan, dimana dalam
melaksanakan pengawasan terhadap laporan upaya pengumpulan sumbangan. Selanjutnya, BAB
X tentang penyelesaian sengketa, dimana penyelesaian sengketa penanggulangan bencana pada
tahap pertama diupayakan berdasarkan asas musyawarah mufakat.
Pada BAB XI yang membahas mengenai ketentuan pidana, dimana keseluruhan dari
peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk ke dalam
tindakan pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang
melakukannya. Dalam bab sebelas itupn berisi mengenai denda dari pidana yang ditindak. Pada
BAB XII mengenai ketentuan peralihan, pada saat undang-undang ini berlaku, semua peraturan
pelaksanaan yang berkaitan dengan penanggulangan bencana yang telah ada tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan undang-undangan ini.
Pada BAB XII menjelaskan tentang ketentuan penutup. Peraturan pemerintah yang
diamanatkan pada undang-undang ini diselesaikan paling lambat enak bulan terhitung sejak
undang-undang ini diberlakukan. Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan
agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Kritikan
Semua perundang-undangan yang ada di Indonesia memiliki ketentuan penutup yang
menyebutkan bahwa agar setiap orang mengetahui isi undang-undang yang dibuat, namun
apakah sebagian dari kita tahu isi undang-undang yang ada? Terlebih dalam tulisan ini yang
membahas mengenai undang-undang 24/2007 ini tentang penanggulangan bencana sangat
penting untuk kita ketahui. Dalam kenyataannya, mengetahu undang-undang belum tentu akan
melaksanakannya. Bisa dikatakan hal itu masuk kedalam tahap sosialisasi pemerintah dalam
memperkenalkan undang-undang yang dibuatnya. Walaupun tahap ini penting, namun
diperlukan strategi implementasi lanjutan agar sebuah undang-undang dapat dilaksanakan
dengan baik.
Perlunya strategi tidak hanya untuk mewadahi saran-saran bagaimana undang-undang
penanggulangan bencana ini bisa diimplementasikan dengan baik pada saat dilapangan, namun
juga mencaakup kritikan pada materi undang-undang penanggulangan bencana itu sendiri, yang
dimana membutuhkan strategi untuk menyelesaikannya. Dalam undang-undang
penanggulangan bencana, terdapat beberapa aturan yang secara redaksional membingungkan,
isi aturannya sendiri tidak jelas serta ada beberapa hal yang seharusnya disinggung dan/atau
diatur taetapi dalam kenyataannya tidak.
Dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 pasal 7 belum adanya aturan yang jelas
tentang penetapan ukuran kejadian yang dapat dikategorikan bencana, pada kejadian dan
kerugian seperti apa suatu kejadian dikatakan sebagai bencana. Selain itu, belum terdapatnya
aturan yang jelas tentang penetapan status bencana (nasional, provinsi, dan kabupaten/kota)
dan siapakah yang berwenang dan dapat melakukan penetapan status bencana. Hal ini akan
berdampak pada sistem penganggaran serta pendanaan kegiatan penanggulangan bencana serta
sumber dari dana penanggulangan, apakah yang berasal dari APBD Kabupaten/Kota, provinsi
atau APBN.
Dalam undang-undang penanggulangan bencana, banyak muatan yang merupakan
kewenangan pemerintah pusat yang menjadi prasayarat di pemerintah daerah, seperti
pembentuk BNPB atau pembuatan acuan teknis bagi pemerintah daerah. Jadi sebaiknya
perhatian ditumpukan dulu pada bagaimana pemerintah pusat bereaksi atau lahirnya undang-
undang ini dan kemudian melakukan advokasi dana atau fasilitasi agar undang-undang ini
terlaksana di pusat.
Masih banyaknya aturan pelaksana penjabaran dari undang-undang no. 24 tahun 2007
yang belum dibuat, sehingga menghambat implementasi berbagai sistem penanggulangan
bencana yang diatur dalam undang-undang. Selain itu, masih terdapat berbagai aturan yang
saling tumpang tindih dengan aturan yang sudah ada, misalnya dengan aturan pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, aturan tata ruang, peraturan yang terkait dengan
keuangan dan lain-lain. Problem lain yang juga cukup penting dalam upaya mengutamakan
penanggulangan bencana ke dalam sistem perencanaan pembangunan adalah belum adanya
integrasi kebijakan penanggulangan bencana dengan kebijakan lainnya, seperti kebijakan
dalam masalah kemiskinan, pengelolaan sumber daya alam, dan otonomi daerah.
Selain itu, masih terdapatnya problem mengenai isu kelembagaan yang harus segera
diselesaikan dan cenderung menghambat prorses implementasi dalam undang-undang
penanggulangan bencana. Dalam bab 9 terdapat dua lembaga, Badan Nasional Penanggulangan
Bencana dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Fungsi koordinasi anatar BNPB dan BPBD
akan cenderung sulit dilaksanakan secara efektif, mengingat BPBD sebagai perangkat daerah
akan tunduk kepada kepala daerah dan anggaran daerahnya masing-masing. Fungsi pelaksana
dari BNPB memiliki kecenderungan untuk berbenturan dengan fungsi di departemen teknis
lainnya yang terkait dengan penanggulangan bencana.
Dalam Undang-Undang No.24 Tahun 2007 dinyatakan bahwa untuk daerah dikelola oleh
Badan Penanggulangan Bencana Daerah untuk menggantikan fungsi Satkorlak (Satuan Koordinasi
Pelaksana). Apakah perbedaan berupa wewenang dalam dua lembaga itu, dimana wewenang
dari satkorlak adalah gubernur dan bupati atau walikota, sedangkan BPBD adalah pemerintah
daerah bersama dengan DPRD. Selain itu, satkorlakpun dipimpin oleh gubernur dan/atau
bupati/walikota, sementara BPBD dipimpin oleh kepala badan. Dengan status adanya BPBD yang
merupakan lembaga setingkat dinas didaerah, banyak dinas yang meragukan pelaksanaa tata
komando ketika terjadi bencana dapat terlaksana secara efektif dilapangan.
Banyaknya bencana alam yang terjadi di Indonesia mendorong semakin pentingnya peran
undang-undang penanggulangan bencana untuk mengamanatkan perencanaan guna lahan atau
perencanaan tata ruang sebagai salah satu alat untuk pengurangan risiko bencana. Pada
dasarnya kebencanaan merupakan suatu aspek yang tidak dapat terpisahkan dengan ilmu
perencanaan wilayah dan kota. Bencana yang terjadi karena adanya pertemuan antara hazard
dan vulberability, bukanlah sesuatu hal yang sama sekali tidak dapat dihindari atau paling tidak
diminimalisir dampaknya. Risiko dari terjadinya bencanapun akan semakin meningkat ketika
tidak adanya kapasitas yang dimiliki oleh masyarakat di daerah tersebut.
Dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah), hal penting yang menjadi isi dari
masterplan tersebut adalah pola dan struktur ruang. Secara garis besar, struktur ruang
mengatur konstelasi pusat kegiatan yang berhierarki satu sama lainnya dan dihubungkan oleh
sistem jaringan prasarana. Sedangkan pola ruang merupakan peruntukan yang terbagi menjadi
fungsi lindung dan budidaya. Jadi struktur dan pola ruang seharusnya mempertimbangkan
tingkat bencana dari wilayah yang direncanakan tersebut.
Tata ruang sebagai salah satu bentukan dari perencanaan wilayah dan kota memiliki
tujuan antara lain mewujudkan keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan,
serta mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negative terhadap
lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Tata ruang yang secara khusus memiliki kemampuan
untuk mengurangi kerentanan yang terdapat di dalam suatu wilayah. Dimulai dari tahap
perencanaan, pemanfaatan, hingga pengendalian. Didalam undang-undang tentang penataan
ruang yang berhubungan dengan undang-undang penanggulangan bencana, penataan ruang
wajib memperhatikan aspek kebencanaan yang berada disuatu daerah dengan
mengintegrasikan mitigasi bencana ke dalam rencana tata ruang. Berbagai kawasan rawan
bencana alam seperti kawasan rawan gempa, rawan longsor, dan lainnya diarah menjadi suatu
kawasan lindung. Hal tersebut berarti suatu kawasan tersebut memiliki batasan-batasn tertentu
terkait pemanfaatan ruangnya, disebabkan fungsi utama dari kawasan tersebut untuk
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya
buatan.
Terkadang pengimplementasian undang-undang penanggulangan bencana disertai
perencanaannya terkendala dikarenakan munculnya faktor politik ekonomi maupun sosial
budaya. Implementasi suatu rencana tentunya perlu mendapatkan persetujuan yang bersifat
politisi dari pemangku kebijakan. Jadi sebaik apapun rencana yang dibuat, namun bila tidak
disetujui oleh pemangku kebijakan, rencana tersebut akan sia-sia. Faktor ekonomi memiliki
peranan penting dalam pembangunan, dimulai dari kesiapann anggaran, sampai dengan
pertimbangan keuntungan nominal yang dapat dicapai dari alternatif pembangunan rencana
penanggulangan bencana. Terkadang, rencana yang dibuat lenih mementingkan pertimbangan
keuntungan ekonomis, tanpa mementingkan aspek lain.
Faktor sosial budaya akan berbicara banyak mengenai perilaku, kebiasaan dan
kepercayaan masyarakat. Kendala sosial yang seringkali dihadapi adalah ketidaksadaran
pengembang usaha dan/atau masyarakat terhadap wilayah bahaya. Salah satu cara yang
dikembangkan diantaranya dengan menetapkan insentif dan disinsentif sebagai salah satu
bentuk mitigasi non struktural. Contoh insentif diantaranya seperti pemberian pajak yang
ringan di wilayah yang minim bahaya serta kemudahan izin pendirian usaha. Disinsentif yang
dilakukan diantaranya pembatasan dan pengaturan yang lebih ketat dalam pendirian izin
kegiatan di wilayah yang cenderung berbahaya.
Kesimpulan
Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki wilayah yang luas dan terletak digaris
katulistiwa pada posisi silang antara dua benua dan dua samudra dengan kondisi alam yang
memilliki berbagai keunggulan, namun dipihak lain posisinya berada dalam wilayah yang
memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang rawan terhadap terjadinya
bencana dengan frekwensi yang cukup tinggi, sehingga memerlukan penanganan yang
sistematis, terpadu, dan terkoordinasi. Potensi penyebab bencana diwilayah negara kesatuan
Indonesia dapat dikelompokan dalam tiga jenis bencana, yaitu bencana alam, bencana non
alam, dan bencana sosial.
Kehadiran undang-undang tentang penanggulangan bencana sangat penting, mengingat
perlunya instrument hukum yang menyangkut pengaturan penanggulangan bencana. Pasalnya
kehadiran undang-undang disertai peraturan tersebut dapat memberikan kepastian hukum
terhadap objek dan subjek kebencanaan. Selian itu, kepastian peran negara dalam membantu
korban bencana agar menjadi jelas. Kehadiran undang-undang ini bertujuan untuk mengurangi
dan meminimalisir risiko timbulnya korban akibat bencana alam maupun bencana kemanusiaan.
Undang-undang tersebut menyangkut tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab negara
terkait penanggulangan bencana. Dimana undang-undang muatan yang merupakan kewenangan
pemerintah pusat yang menjadi prasyarat pelaksanaan di pemerintah daerah, seperti
pembentukan BNPB atau pembuatan acuan teknis bagi pemerintah daerah. Jadi sebagikanya
perhatian ditumpukan dulu pada bagaimana pemerintah pusat bereaksi atas lahirnya undang-
undang ini dan kemudian melakukan advokasi dan/atau fasilitasi agar undang-undang
penanggulangan bisa terlaksana di pusat.
Dalam tugas ini, penulis belum berani mengkritik lebih jauh mengenai undang-undang
penanggulangan bencana ini, mengingat pengetahuan yang dimiliki penulis baru sampai tingkat
menengah belum mencapai tingkat lanjut. Sehingga kritikan belum spesifik.

Referensi
Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Luthfi, Asrizal. Tata Ruang dan Bencana 2 Oktober 2013.
http://aceh.tribunnews.com/2013/10/02/tata-ruang-dan-bencana
---, Http://www.Google.com

Anda mungkin juga menyukai