1
Pengarah:
B. Wisnu Widjaja
Lilik Kurniawan
Penyunting:
Bambang Surya Putra
Dyah Rusmiasih
Puji Pujiono
Penyusun:
Dian Andry Puspita Sari
Novi Kumalasari Nanang
Suharto
Ninil M Jannah Nur’aini
Sabillussalami
2
KATA PENGANTAR
Tim Penyusun mengucapkan terima kasih atas kesempatan dan kepercayaan yang telah diberikan oleh BNPB
sehingga dapat merampungkan penulisan pedoman ini. Kepada semua pihak yang memberikan dukungan, masukan,
data dan informasi yang diperlukan selama penulisan, juga diucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Pedoman ini disusun sebagai upaya untuk mendukung implementasi mandat regulasi di bidang kesiapsiagaan
bencana sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 45 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana. Pedoman yang telah disusun ini diharapkan dapat menjadi rujukan dan panduan
bagi pemerintah di berbagai tingkatan, baik Pemerintah, Pemerintah Provinsi, maupun Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dalam upaya meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan terjadinya situasi kedaruratan
akibat bencana, khususnya dalam penyusunan Rencana Penanggulangan Kedaruratan Bencana (RPKB).
Sebagai panduan terkait RPKB yang pertama disusun, pedoman ini mencoba mengkonstruksikan RPKB dari legal
formal menjadi konseptual-operasional sebagai bagian sistem perencanaan dalam penanggulangan bencana.
Disamping itu juga menjelaskan tentang gambaran isi dan contoh outline sebuah dokumen RPKB. Selanjutnya juga
dijelaskan bagaimana tahapan dan mekanisme penyusunan sebuah dokumen RPKB. Sebagaimana terlihat di dalam
isi, pedoman ini terdiri dari 6 (enam) bab dan beberapa lampiran pendukung.
Mudah-mudahan pedoman ini memberikan manfaat sesuai tujuan yang diharapkan, yaitu terjadinya akselerasi dalam
waktu dekat dan masa-masa yang akan datang dalam kesiapsiagaan yang terencana, khususnya dalam penyusunan
RPKB di setiap tingkatan pemerintahan di Indonesia. Semoga pedoman ini juga menjadi rujukan bagi semua
pemangku kepentingan yang berkeinginan mendukung perkuatan kesiapsiagaan bencana di Indonesia, khususnya
dalam mewujudkan penyelenggaraan dan ketersediaan RPKB di setiap tingkatan administrasi pemerintahan dari
pusat hingga daerah.
Tim Penyusun
3
KATA SAMBUTAN
Capaian baru guna mendukung penguatan kesiapsiagaan untuk tanggap bencana yang efektif telah kita raih dengan
tersedianya Pedoman Penyusunan RPKB ini. BNPB menyiapkan Pedoman Penyusunan RPKB ini untuk mendukung
kesiapsiagaan bencana di Indonesia, khususnya untuk memberi panduan bagaimana penanganan kedaruratan
bencana yang efektif dipersiapkan. Pemerintah daerah memperkuat kesiapsiagaan bencana harus dimulai dari
mempersiapkan kerangka kerja bagaimana daerah tersebut dapat bertindak sesuai wilayah dan kewenangannya
dalam penanganan kedaruratan akibat bencana sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan beserta
instruksi dan arahan dari Presiden Republik Indonesia.
Pemerintah telah meletakan dasar-dasar kebijakan bahwa penanggulangan bencana dilaksanakan secara terencana,
terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh. Salah satu tahapan di dalam penanggulangan bencana adalah upaya
kesiapsiagaan agar dapat melakukan penanganan kedaruratan yang efektif ketika bencana benar-benar terjadi.
Efektifitas sebuah tindakan darurat tentunya membutuhkan kerangka yang perlu dipersiapkan karena keberadaannya
adalah suatu keniscayaan. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 telah mengatur bahwa sebagai bentuk
kesiapsiagaan perlu disiapkan dan diujicobakan RPKB. Ketika ancaman bencana sudah terlihat semakin nyata
memunculkan risiko, RPKB akan sangat membantu di dalam penyusunan rencana penanganan darurat bencana yang
lebih operasional, yaitu rencana kontingensi.
Pencapaian pembangunan di bidang penanggulangan bencana melalui ketersediaan dokumen RPKB diharapkan
akan berkontribusi pada penurunan risiko bencana, di setiap daerah pada khususnya dan di Indonesia pada
umumnya. Daerah akan memiliki kebijakan kerangka penanganan darurat bencana berdasarkan ancaman bencana
yang telah teridentifikasi dengan merumuskan pengorganisasian, tugas, fungsi antar organisasi pemerintahan dan
pemangku kepentingan terkait penanggulangan bencana. Saat bencana terjadi, masing-masing pihak akan sudah
mengetahui kerangka penanggulangan kedaruratan di tingkat pemerintahan, peran masing-masing dan apa yang
harus diambil.
Dengan telah adanya pedoman ini, kedepan setiap daerah diharapkan penyusunan RPKB mulai bergulir dalam satu
standar di daerah masing-masing sesuai pedoman ini. Akhir kata, kami berharap pedoman ini dapat bermanfaat bagi
pemerintah di berbagai tingkatan dan berbagai pihak para pemangku kepentingan lainnya dalam mewujudkan upaya
pengurangan risiko akibat bencana di Indonesia.
Doni Monardo
4
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, terdapat tahap pra-bencana yang meliputi kegiatan-
kegiatan yang dilakukan dalam situasi tidak terjadi bencana dan terdapat potensi bencana. Pada situasi
tidak terjadi bencana, salah satu upaya yang dilakukan adalah penguatan kesiapsiagaan dimana salah satu
kegiatannya adalah menyusun rencana penanggulangan kedaruratan bencana (RPKB). RPKB merupakan
acuan bagi pelaksanaan penanggulangan bencana untuk dipakai sebagai doktrin dalam keadaan darurat dan
disusun oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melalui koordinasi oleh BNPB dan/atau BPBD disaat
situasi normal atau sebelum bencana terjadi. Lebih lanjut RPKB harus diuji coba secara berkala dan dapat
dilengkapi dengan rencana kontingensi pada saat terdapat potensi bencana dengan risiko tinggi.
Untuk dapat menyusun RPKB, keterlibatan segenap organ-organ pemerintahan harus dipastikan. Hal
demikian karena RPKB pada dasarnya adalah dokumen kerangka kerja tanggap darurat yang berbasis pada
kesepakatan yang membagi peran dan tugas antar pihak jika situasi darurat bencana benar-benar terjadi.
Hal ini juga sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana yang menyatakan bahwa Penanggulangan Bencana
dilaksanakan secara terencana, terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh dalam rangka memberikan
perlindungan kepada masyarakat dari ancaman, risiko dan dampak bencana.
Agar RPKB dapat diselenggarakan mulai dari pemahaman konsep, penyusunan dokumen hingga
pelaksanaan hasilnya oleh Pemerintah Daerah, dibutuhkan panduan untuk menjadi rujukan berupa pedoman
yang telah disusun ini. Dengan adanya pedoman ini, maka amanat regulasi agar terdapat RPKB dalam
sistem penanggulangan bencana di Indonesia akan semakin dapat diwujudkan.
5
dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah
12. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 100 Tahun 2018 Tentang Penerapan Standar Pelayanan
Minimal
13. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 100 Tahun 2018 Tentang Standar Teknis Pelayanan
Dasar Pada Standar Pelayanan Minimal Sub-Urusan Bencana Daerah Kabupaten/Kota
1.5. Sasaran
Sasaran dari pedoman ini secara umum adalah seluruh pemangku kepentingan dalam penanggulangan
bencana di Indonesia, namun untuk implementasi maka sasaran pedoman ini dikhususkan bagi pemerintah
tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
6
pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
7. Perencanaan kontingensi adalah proses manajemen yang menganalisis risiko bencana dan
menetapkan pengaturan di muka untuk memungkinkan respons yang cepat, tepat dan efektif.
8. Rencana kontingensi adalah dokumen yang disusun melalui suatu proses perencanaan penanganan
situasi darurat bencana pada jenis bahaya tertentu, dalam keadaan yang tidak menentu, dengan
skenario dan tujuan disepakati, tindakan teknis dan manajerial ditetapkan, dan sistem tanggapan
dan pengerahan potensi disetujui bersama untuk mencegah, atau menanggulangi secara lebih baik
dalam situasi darurat dan ditetapkan secara formal.
9. Sumber daya adalah segala sesuatu baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang
digunakan untuk mencapai hasil, misalnya peralatan, sediaan, waktu, tenaga, uang, metode.
10. Tanggap darurat adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian
bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan
dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan
pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.
11. Ancaman bencana adalah suatu kejadian atau peristiwa yang bisa menimbulkan bencana
12. Pemulihan adalah serangkaian kegiatan untuk mengembalikan kondisi masyarakat dan lingkungan
hidup yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali kelembagaan, prasarana, dan sarana
dengan melakukan upaya rehabilitasi.
13. Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi atau
menghilangkan risiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan
pihak yang terancam bencana.
14. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan
kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman,
mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat.
15. Pengungsi adalah orang atau kelompok orang yang terpaksa atau dipaksa keluar dari tempat
tinggalnya untuk jangka waktu yang belum pasti sebagai akibat dampak buruk bencana.
16. Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, dan/atau badan hukum.
17. Korban bencana adalah orang atau sekelompok orang yang menderita atau meninggal dunia
akibat bencana.
18. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
19. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati/walikota, atau perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
20. Lembaga usaha adalah setiap badan hukum yang dapat berbentuk badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, koperasi, atau swasta yang didirikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang menjalankan jenis usaha tetap dan terus menerus yang bekerja dan
berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
21. Lembaga internasional adalah organisasi yang berada dalam lingkup struktur organisasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa atau yang menjalankan tugas mewakili Perserikatan Bangsa-Bangsa
atau organisasi internasional lainnya dan lembaga asing non-pemerintah dari negara lain di luar
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
22. Prosedur tetap adalah dokumen memuat rincian tugas/peran para pemangku kepentingan dalam
penanganan situasi darurat bencana. bentuk dokumen ini meliputi; siapa, melakukan apa, kapan
dan bagaimana cara melakukannya beserta alur aktivitasnya.
23. Uji Coba RPKB adalah kegiatan latihan dimana pengetahuan maupun keterampilan peserta latih
ditingkatkan melalui latihan untuk menangani keadaan darurat bencana dengan skenario situasi
dan kondisi yang dibuat mendekati sebenarnya.
7
BAB II
KONSEP RENCANA PENANGGULANGAN KEDARURATAN BENCANA
Muatan RPKB adalah garis besar metode dan pelaksanaan penyelenggaraan bersama operasi kedaruratan multi
ancaman bencana yang secara normatif menjabarkan doktrin, prinsip, kebijakan, strategi, asumsi, pembagian peran
dan tanggung jawab, garis koordinasi dan komando, mekanisme kerja dan prioritas operasional yang akan
diterapkan untuk memandu dan mendukung penanggulangan kedaruratan yang diakibatkan bencana. RPKB
menggambarkan konsep operasi kedaruratan yang akan dilaksanakan secara menyeluruh oleh lembaga-lembaga
pemerintah dan para stakeholder utama yang terlibat, beserta penggerakan sumber daya terkait secara terintegrasi
dalam satu komando. Agar hal tersebut memungkinkan, RPKB juga mensinergikan peraturan perundangan terkait
untuk mendukung kebijakan penanganan darurat bencana, termasuk mengintegrasikan isu-isu kunci.
Karena RPKB bersifat kerangka kerja dan disiapkan untuk menghadapi kedaruratan bencana yang multi- ancaman,
maka RPKB belum akan operasional ketika suatu bencana spesifik terjadi. RPKB baru akan menjadi lebih spesifik
ketika telah diturunkan ke dalam perencanaan kontingensi dan lebih lanjut rencana kontingensi diturunkan ke
rencana operasi darurat bencana. Rencana kontingensi adalah rencana turunan yang lebih operasional dari RPKB
dan disusun untuk menghadapi ancaman bencana tunggal (single hazard) atau bencana tunggal yang memiliki
potensi memicu/menimbulkan bencana ikutan. Sedangkan rencana operasi darurat bencana adalah turunan dari
rencana kontingensi ketika bencana benar-benar telah terjadi, keadaan darurat bencana telah dinyatakan oleh otoritas
(setempat atau diatasnya) dan organisasi komando penanganan darurat telah dibentuk.
Semakin spesifik sebuah rencana kedaruratan, maka sifatnya semakin bersifat operasional. Spesifik dalam artian
semakin jelas jenis risiko bencana yang sedang dihadapi, terukur cakupan area dan waktu kejadian, serta
teridentifikasi dampak yang akan/telah ditimbulkan. Namun untuk menghasilkan rencana yang bersifat operasional
tersebut, perlu merujuk pada sebuah rencana taktis, yaitu RPKB. Secara sederhana, idealnya RPKB diperlukan agar
menunjang dalam penyusunan rencana kontingensi dan memberi dasar- dasar bagaimana rencana kontingensi
tersebut akan dilaksanakan
2.2.Fungsi RPKB
Fungsi RPKB adalah sebagai:
1. Kerangka kerja yang mengatur penanggulangan kedaruratan bencana
2. Indikator untuk memastikan pemerintah atau pemerintah daerah memiliki mekanisme tanggap terhadap
situasi darurat untuk jenis ancaman bencana apapun
3. Alat untuk menjalankan fungsi koordinasi dan komando dalam penanganan darurat bencana
4. Panduan untuk dapat menyusun Rencana Kontingensi untuk jenis ancaman bencana yang lebih spesifik.
8
RPKB bertujuan untuk:
a. Mengkoordinasikan lembaga-lembaga pemerintah beserta jajarannya, dan pemangku kepentingan terkait
agar dapat bekerjasama untuk memberikan respon penanggulangan kedaruratan bencana yang efektif dan
efisien.
b. Mempersiapkan mekanisme penanganan kedaruratan bencana yang mampu mempersingkat respon
bencana.
c. Menyatukan komitmen diantara pihak yang terlibat untuk bertindak dengan cara yang terkoordinasi
sebelum keadaan darurat terjadi.
2.5. Kedudukan RPKB sebagai Produk Kebijakan Pembangunan dan Kewenangan Penyusunan
RPKB adalah bagian dari produk kebijakan pembangunan oleh pemerintah, baik di pusat, provinsi maupun
kabupaten/kota. Oleh karenanya, kewenangan penyusunan dokumen RPKB terletak pada pemerintah. Pemerintah
adalah pemegang otoritas menyelenggarakan penyusunan RPKB dan melaksanakan isinya untuk penanggulangan
kedaruratan bencana. Di setiap daerah perlu memiliki RPKB yang masih berlaku dan dijaga keterbaruannya agar
selalu sesuai dengan konteks risiko bencana yang ada.
Sesuai kebijakan dan prioritas, pemerintah pusat dapat memberikan dukungan penyusunan RPKB di daerah.
Pemerintah di berbagai tingkatan dapat melakukan kerjasama atau mendapatkan dukungan dari berbagai pihak untuk
menyelenggarakan penyusunan RPKB. Kerjasama dan dukungan tersebut sepanjang sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku dan tidak untuk menggantikan kewenangan pemerintah ataupun mengurangi rasa kepemilikan
pemerintah sebagai penanggungjawab utama untuk memastikan ketersediaan dokumen ini.
Di dalam sistem PB di Indonesia, perencanaan merupakan salah satu pilar utama yang mendukung upaya- upaya
menuju ketangguhan terhadap bencana. Peraturan perundang-undangan telah mengidentifikasi sejumlah perencanaan
di dalam sistem PB. Semuanya berawal dari hasil identifikasi risiko bencana melalui kajian risiko bencana yang
ditindaklanjuti Rencana Penanggulangan Bencana (RPB). RPB memuat perencanaan PB secara strategis yang
meliputi tahap pra bencana, penanganan darurat hingga rehabilitasi dan rekonstruksi. Masing-masing tahap tersebut
menurunkan RPB ke lingkupnya masing-masing seperti Rencana Aksi (Renaksi) PB untuk tahap pra bencana,
RPKB untuk tahap penanganan darurat dan Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi untuk tahap pasca bencana.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa RPKB adalah salah satu bentuk turunan dari RPB untuk digunakan di fase
penanganan darurat.
9
Gambar 1. Posisi RPKB dalam kerangka perencanaan penanggulangan bencana
Agar lebih operasional, menurunkan RPKB ke dalam perencanaan spesifik akan membuat rencana tindakan
penanganan darurat lebih efektif. Jika garis besar tindakan penanganan kedaruratan bencana sudah tertuang di dalam
dokumen RPKB dan ketika ancaman bencana semakin nyata atau akan terjadi, dibutuhkan penyusunan Rencana
Kontingensi yang menjabarkan dan mendetailkan tindakan penanganan kedaruratan, untuk ancaman bencana
tunggal (single hazard) atau bencana tunggal yang memiliki potensi memicu/menimbulkan bencana ikutan. Lebih
lanjut Rencana Kontingensi akan diturunkan semakin lebih operasional dalam bentuk Rencana Operasi Darurat
Bencana ketika bencana benar-benar telah terjadi. Secara ringkas dapat dijelaskan, RPKB memiliki perencanaan
turunan dan pelengkap, yaitu Rencana Kontingensi. Rencana Kontingensi diturunkan lagi menjadi Rencana Operasi
Darurat Bencana.
2.7. Hubungan RPKB dengan Standar Pelayanan Minimum (SPM) Sub Urusan Bencana Daerah
Kabupaten/Kota
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan peraturan turunannya telah menyebutkan
bahwa urusan pemerintahan terdiri atas Urusan Absolut, Urusan Konkuren dan Urusan Pemerintahan Umum.
Urusan Pemerintahan Konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan
Daerah Kabupaten/Kota. Urusan Konkuren terdiri dari Urusan Wajib dan Urusan Pilihan. Selanjutnya Urusan
Pemerintahan Wajib tersebut dibagi lagi menjadi urusan Pemerintahan yang Berkaitan Dengan Pelayanan Dasar dan
Urusan Pemerintahan yang Bukan Berkaitan dengan Pelayanan Dasar. Salah satu Sub Urusan Pemerintahan Wajib
yang Berkaitan dengan Pelayanan Dasar adalah Sub Urusan Bencana Daerah Kabupaten/Kota. Sub Urusan ini
terdapat dalam rumpun Urusan Ketentraman, Ketertiban Umum dan Perlindungan Masyarakat (Trantibum dan
Linmas). Untuk pelaksanaan Urusan Pemerintahan Wajib yang Berkaitan dengan Pelayanan Dasar ditetapkan
standarnya oleh Pemerintah yang dikenal dengan SPM.
Di dalam SPM Sub Urusan Bencana Daerah Kabupaten/Kota, terdapat tiga jenis pelayanan yang telah ditetapkan,
yaitu Informasi Rawan Bencana; Pencegahan dan Kesiapsiagaan, dan; Penyelamatan dan Evakuasi Korban. Khusus
untuk jenis layanan Pencegahan dan Kesiapsiagaan, terdapat kegiatan Penyusunan Rencana Kontingensi disamping
beberapa kegiatan lain. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dalam penyusunan rencana kontingensi merujuk
pada RPKB dan juga rencana kontingensi adalah pelengkap dokumen RPKB. Artinya secara konseptual RPKB harus
ada terlebih dahulu agar daerah
10
dapat menyusun rencana kontingensi. Dengan demikian, secara tidak langsung RPKB semakin ditegaskan sebagai
sesuatu yang dibutuhkan oleh pemerintah daerah agar dapat melaksanakan mandat kegiatan penyusunan rencana
kontingensi. Dengan adanya pedoman ini, secara langsung akan mempermudah pemerintah daerah kabupaten/kota
untuk melaksanakan mandat SPM untuk melaksanakan penyusunan rencana kontingensi.
Secara umum, garis besar isi dokumen RPKB adalah sebagai berikut:
BAB ISITUASI
1.1 Profil Wilayah
1.2 Risiko Bencana Wilayah
1.3 Prioritas Penanganan Kedaruratan Bencana
1.4 Skenario Kejadian dan Asumsi Dampak
BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI
Kebijakan
Strategi BAB III MEKANISME
Identifikasi Pemangku Pemerintahan
Konsep Operasi
Fungsi
Tugas-tugas
Instruksi Koordinasi
BAB IV KOMANDO, KENDALI, DAN KOMUNIKASI BAB V
PENUTUP
LAMPIRAN
Lampiran-A:Rencana Uji Coba RPKB
Lampiran-B: Lembar Berita Acara Penyusunan RPKB Lampiran-
C: Daftar Sumberdaya Daerah
Lampiran-D: Rencana Kontingensi Prioritas Bencana 1
Lampiran-E: Rencana Kontingensi Prioritas Bencana 2
Lampiran-F: Rencana Kontingensi Prioritas Bencana 3
Penjelasan dari garis besar isi dokumen RPKB tersebut diatas adalah sebagai berikut:
BAB I SITUASI
Situasi pada dasarnya berisi rangkuman umum hasil KRB yang ada untuk menggambarkan potensi bahaya,
kerentanan, kapasitas dan prioritas ancaman bencana. Hal ini diperlukan untuk penyusunan skenario kejadian dan
dampak bencana serta untuk pertimbangan dalam penyusunan kebijakan, strategi, serta fungsi, tugas-tugas, dan
tindakan-tindakan yang harus dilakukan dalam penanganan darurat bencana.
Sebelum masuk pada isi substantif dari sebuah RPKB, perlu digambarkan tentang profil wilayah yang
11
disusun RPKB-nya. Hal ini akan membuka pikiran sekaligus mengingatkan semua pihak tentang gambaran situasi
wilayah secara umum. Isi dari profil ini setidaknya berupa deskripsi kondisi geografis, klimatologis, demografis, dan
administratif wilayah yang bersangkutan. Sumber profil wilayah dapat disarikan atau dikutip dari dokumen-
dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah, seperti dokumen RPJMD, kabupaten/ kota dalam angka dan lain-
lain.
Kota Ambon secara geografis berada pada posisi astronomis 3°- 4° Lintang Selatan dan 128°-129° Bujur
Timur. Secara umum Kota Ambon meliputi wilayah di sepanjang pesisir dalam Teluk Ambon dan pesisir
luar Jazirah Leitimur, dengan total luas wilayah seluas 377 km2 dengan luas wilayah daratan 359,45 km2
yang membujur di sepanjang pantai mengelilingi perairan Teluk Ambon dan Teluk Dalam. Kota Ambon
sebelah barat berbatasan dengan: Kecamatan Leihitu Barat Kab. Maluku Tengah, sebelah utara berbatasan
dengan : Kecamatan Leihitu Kab. Maluku Tengah, sebelah timur berbatasan dengan: Kecamatan Salahutu
Kab. Maluku Tengah, dan sebelah selatan berbatasan dengan : Laut Banda. Kota Ambon yang berada dalam
Pulau Ambon serta Pulau Haruku termasuk Busur Banda Dalam dan termasuk ke dalam Orogen Maluku.
Daerah ini diapit oleh 2 lautan luas yaitu Laut Banda (kedalaman sekitar 7.000 m) dan Laut Seram
(kedalaman sekitar 5.000 m).
1.1.2. Administratif
Kota Ambon terdiri dari 5 (lima) Kecamatan, yaitu Kecamatan Nusaniwe, Kecamatan Sirimau, Kecamatan
Leitimur Selatan, Kecamatan Teluk Ambon Baguala, dan Kecamatan Teluk Ambon. Secara keseluruhan
Kota Ambon meliputi 20 kelurahan dan 30 desa.
Kota Ambon mempunyai wilayah yang sebagian besar terdiri dari daerah berbukit yang berlereng terjal
dengan kemiringan di atas 20 % seluas kurang lebih 186,9 km 2 atau 73% dan daerah datar dengan
kemiringan sekitar 10% seluas kirakira 55 km2 atau 17% dari luas seluruh wilayah daratannya. Kota Ambon
juga memiliki 10 gunung dengan gunung tertinggi adalah Gunung Nona 600 mdpl dan memiliki 14 sungai
dengan sungan terpanjang adalah Sungai Wai Sikula dengan Panjang 15,50 km2.
Jumlah penduduk Kota Ambon pada pertengahan tahun 2014 berjumlah 395.423 jiwa. Jika dibandingkan
dengan jumlah penduduk pada tahun 2013 meningkat sebesar 4,16 %. Penduduk masih terkonsentrasi di
Kecamatan Sirimau dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 1 926,01 jiwa per Km2. Sementara itu
Kecamatan yang paling jarang penduduknya adalah Kecamatan Leitimur Selatan dengan tingkat kepadatan
penduduk hanya sebesar 222,22 jiwa per Km2.
Secara umum, kontribusi sektor-sektor usaha dalam pembentukan PDRB Kota Ambon Tahun 2007-2014
didominasi oleh sector perdagangan, hotel dan restoran. Sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan
sektor yang memberikan kontribusi terbesar pada PDRB Kota Ambon.
12
1.2 Risiko Bencana Wiayah
Risiko bencana wilayah merupakan rangkuman dari potensi bahaya wilayah, kerentanan, kapasitas, dan risiko
bencana yang ada di daerah berdasarkan hasil kajian risiko bencana yang telah dibuat sebelumnya.
Setiap daerah memiliki potensi bahaya yang berbeda-beda. Hal tersebut dipengaruhi oleh posisi geologis,
astronomis, sumberdaya yang tersedia di lokasi tersebut (lingkungan, infrastruktur, ekonomi, sosial - budaya,
kebijakan), dan perilaku manusianya. Potensi bahaya dapat diketahui dari hasil kajian risiko bencana suatu daerah.
Potensi bahaya di dalamnya termasuk jenis bencana, luas bahaya, serta kelas bahaya. Potensi bahaya diperlukan
sebagai gambaran penanganan bencana yang diperlukan.
1.2.2 Kerentanan
Pengkajian kerentanan dalam kajian risiko bencana dihasilkan dari analisis potensi penduduk terpapar dan potensi
kerugian bencana. Jumlah penduduk yang berpotensi terpapar bencana disajikan dalam setiap jenis bencana beserta
kelasnya (rendah, sedang, tinggi). Sedangkan potensi kerugian bencana dianalisis berdasarkan kerugian fisik,
ekonomi, dan lingkungan yang juga disajikan dalam setiap jenis bencana beserta kelasnya. Berdasarkan kedua
komponen tersebut, diperoleh rekapitulasi kerentanan daerah dalam menghadapi bencana. Semakin tinggi
kerentanan suatu daerah, maka semakin besar upaya yang harus dilakukan untuk mengurangi kerentanan tersebut.
13
1.2.3 Kapasitas
Kapasitas memegang peranan penting dalam kebencanaan. Semakin tinggi kapasitas daerah dalam penanganan
bencana, maka semakin bagus daerah tersebut. Kapasitas terdiri atas dua komponen yakni kapasitas daerah dan
kapasitas kesiapsiagaan masyarakat. Kapasitas daerah disajikan dalam indeks ketahanan daerah yang dihasilkan
melalui penilaian terhadap daerah dalam membuat kebijakan terkait penanggulangan bencana. Sedangkan kapasitas
kesiapsiagaan masyarakat disajikan dalam indeks kesiapsiagaan masyarakat per jenis ancaman bencana. Berdasarkan
indeks ketahanan daerah dan indeks kesiapsiagaan maka diperoleh hasil indeks kapasitas yang dapat dikelaskan
dalam kelas kapasitas. Kelas kapasitas pada tiap jenis bencana dapat dijadikan dasar guna melakukan prioritas
peningkatan kapasitas pada daerah tertentu pada jenis bencana tertentu.
Contoh: Rekapitulasi Kapasitas Kota Cirebon Per Kecamatan dalam Menghadapi Bencana
Pengkajian risiko adalah suatu metodologi untuk menentukan sifat dan besarnya risiko dengan menganalisa bahaya
potensial dan mengevaluasi kondisi kerentanan yang ada. Risiko tersebut dapat menyebabkan ancaman atau
membahayakan jiwa, harta benda, mata pencaharian dan lingkungan tempat mereka bergantung. Kajian risiko
bencana penting dilakukan dalam rangka penyusunan rencana penanggulangan bencana. serta untuk mengetahui
kerusakan apabila terjadi bencana dalam rangka penyusunan rencana tindak tanggap darurat, rehabilitasi dan
rekonstruksi. Kajian risiko bencana dilakukan untuk mengidentifikasi bahaya dan kerentanan dari suatu daerah yang
kemudian menganalisa dan mengestimasi kemungkinan timbulnya risiko bencana. Selain itu juga untuk mempelajari
kelemahan dan celah dalam mekanisme perlindungan dan strategi adaptasi yang ada terhadap bencana. serta untuk
memformulasikan rekomendasi realistis langkah-langkah mengatasi kelemahan dan mengurangi resiko bencana
yang telah diidentifikasi. Kajian risiko bencana ini dilaksanakan untuk seluruh potensi bahaya. Dapat dikatakan
bahwa tingkat risiko bencana merupakan gabungan dari tingkat bahaya, tingkat kerentanan dan tingkat kapasitas
yang telah dihasilkan sebelumnya.
14
Contoh: Rekapitulasi Risiko Kota Cirebon Per Kecamatan
Penentuan bencana prioritas di suatu daerah dapat dilakukan dengan menggunakan matrik bencana prioritas
berdasarkan data tingkat risiko bencana,dan data kecenderungan kejadian bencana untuk masing-masing jenis
bencana. Data tingkat risiko bencana telah diperoleh dari hasil kajian risiko bencana, sedangkan data kecenderungan
kejadian bencana untuk setiap jenis bencana dapat diperoleh dari data sekunder seperti dari Data Informasi Bencana
Indonesia yang dapat diakses melalui melalui www.bnpb.dibi.go.id dan dapat pula diperoleh dari data historis
bencana yang dimiliki pemangku daerah.
Bencana prioritas merupakan bencana utama yang ada di suatu daerah. Penanggulangan bencana prioritas menjadi
prioritas utama dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana di suatu daerah. Sehubungan dengan amanat
perundang-undangan bahwa RPKB dapat dilengkapi dengan Rencana Kontingensi maka Rencana Kontingensi yang
disusun sebaiknya adalah bencana prioritas yang ada di wilayah tersebut. Penentuan bencana prioritas dapat
diperoleh melalui penghitungan menggunakan matriks penentuan bencana prioritas.
15
Contoh penentuan bencana prioritas:
Dari hasil penentuan bencana prioritas dengan matrik penentuan bencana prioritas, dapat diperoleh
gambaran bencana prioritas untuk daerah tersebut adalah sebagai berikut :
1. Bencana pada prioritas 1 adalah bencana dengan tingkat risiko tinggi dengan kecenderungan risiko naik
adalah bencana : banjir, cuaca ekstrim, dan bencana epidemi dan wabah penyakit.
2. Bencana pada prioritas 2 adalah bencana dengan tingkat risiko tinggi dan kecenderungan risiko tetap,
seperti bencana kekeringan dan bencana kebakaran hutan dan lahan. Atau bencana pada tingkat risiko
sedang tetapi kecenderungan risikonya naik, seperti bencana gelombang ekstrim dan abrasi.
3. Bencana pada prioritas 3 adalah bencana dengan tingkat risiko tinggi tetapi kecenderungan risikonya
turun, seperti bencana gempa bumi. Atau bencana dengan tingkat risiko sedang tetapi kecenderungan
risikonya tetap, seperti bencana tsunami, dan bencana dengan tingkat risiko sedang tetapi
kecenderungan risikonya turun, seperti bencana konflik sosial.
Jenis-jenis bencana pada prioritas 1 dan prioritas 2 pada matrik penentuan bencana prioritas berada pada
zona berwarna merah dengan notifikasi bencana prioritas. Sedangkan jenis-jenis bencana pada prioritas 3
berada pada zona kuning dengan notifikasi non prioritas. Dengan demikian prioritas utama penanganan
penanggulangan bencana adalah pada jenis-jenis bencana yang berada pada prioritas 1 dan prioritas 2 yang
berada pada zona merah dalam matrik penentuan bencana prioritas, antara lain:
1. Bencana Banjir
2. Bencana Cuaca Ekstrim
3. Bencana Epidemi dan Wabah Penyakit
4. Bencana Gelombang Ekstrim dan Abrasi, dan
5. Bencana Kekeringan
Kelima prioritas bencana inilah yang nantinya diharapkan dapat disusun rencana kontingensinya sebagai
pelengkap RPKB.
a. Skenario Kejadian
Skenario kejadian yang dirumuskan di dalam RPKB bersifat umum dan mempertimbangkan berbagai jenis ancaman
bencana yang diperkirakan akan terjadi setelah gambaran situasi dijelaskan dalam sub bab sebelumnya. Skenario
kejadian di dalam RPKB memuat gambaran kejadian bencana yang dapat terjadi di suatu wilayah. Narasi skenario
kejadian dalam RPKB dideskripsikan secara umum dan bercorak multi- ancaman bencana. Skenario kejadian
merupakan dasar penentuan asumsi dampak.
b. Asumsi Dampak
Setelah skenario kejadian dirumuskan, akan dilanjutkan dengan membuat asumsi dampak secara umum. Dari
berbagai ancaman bencana yang ada dan jika terjadi, dampak apa saja yang diasumsikan dapat mengganggu
jalannya roda pemerintahan dan layanan umum, perekonomian, sarana dan prasarana vital hingga juga lingkungan.
Berdasarkan pada hal tersebut maka asumsi dampak sekurang-kurangnya memuat dampak kependudukan, fisik,
ekonomi, lingkungan, dan pelayanan pemerintahan.
16
BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI
Situasi spesifik risiko bencana yang dihasilkan oleh KRB dan gambaran skenario kejadian beserta asumsi
dampaknya di setiap daerah akan membedakan kebijakan dan strategi apa yang ditetapkan untuk penanggulangan
kedaruratannya. Rumusan Kebijakan setidaknya menjabarkan tentang bagaimana pernyataan umum pemerintah
daerah dalam menghadapi keadaan darurat bencana, kapan status kedaruratan bencana ditetapkan, penunjukan
komandan penanganan darurat, pengaktifan Organisasi Komando dan Pos Komando, mobilisasi pengerahan dan
pergerakan sumberdaya, antisipasi peningkatan ataupun penurunan eskalasi bencana, serta kemungkinan dampak
penanganan darurat bencana terhadap kebutuhan sumberdaya yang terletak diluar wilayah administrasi
pemerintahan yang terdampak.
2. 1 Kebijakan
Kebijakan di dalam dokumen RPKB merupakan rumusan pernyataan politis pemerintah atau pemerintah daerah
tentang bagaimana RPKB dapat dilaksanakan untuk dapat mencapai tujuan suatu pelaksanaan penanggulangan
kedaruratan. Kebijakan dirumuskan dengan tetap mengacu da sesuai dengan pada norma-norma umum yang sudah
ada dalam ketentuan perundang-undangan.
2.2 Strategi
Strategi penanggulangan kedaruratan bencana adalah berbagai cara atau upaya untuk mencapai kebijakan
penanganan darurat yang telah ditetapkan. Strategi merupakan cara, ilmu, seni atau juga taktik yang digunakan dan
mengerahkan berbagai sumberdaya yang ada untuk merealisasikan kebijakan yang telah ditetapkan. Posisi strategi
berada satu tingkat dibawah kebijakan dan satu rumusan kebijakan dapat diturunkan ke dalam beberapa strategi.
Strategi belum dalam dirumuskan apabila kebijakan belum dirumuskan dirumuskan terlebih dahulu. Dari contoh
rumusan kebijakan no. 3 diatas, maka beberapa rumusan strategi untuk dapat mewujudkan kebijakan tersebut
misalnya:
17
Contoh rumusan Strategi (turunan dari contoh kebijakan no. 3):
1. Pembebasan seluruh biaya medis untuk setiap masyarakat yang menderita luka, kecacatan dan
kematian akibat bencana
2. Pengerahan sarana angkutan udara yang tersedia untuk operasi penyelamatan di daerah terpencil
dan terisolasi
3. Pengerahan personil pencarian dan pertolongan yang terlatih, sarana pencarian dan evakuasi yang
mencukupi
4. Pelibatan masyarakat relawan dan pemberi bantuan dalam pencarian dan pertolongan.
5. Pemanfaatan semua fasilitas umum yang aman milik pemerintah ataupun milik masyarakat sebagai
tempat evakuasi dan penampungan sementara
6. Pengerahan cadangan logistik kabupaten untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat terdampak
bencana
7. Dst
Memuat seluruh pemangku kepentingan yang terkait dengan penanganan darurat bencana baik dari pemerintah,
masyarakat, dunia usaha, pakar dan media (pentahelix). Unsur pemerintahan merupakan pemangku kepentingan
yang utama dilanjutkan dengan unsur non pemerintah sebagai pendukung. Unsur pemerintahan dapat terdiri atas
organisasi pemerintah atau pemerintah daerah (Organisasi Perangkan Daerah), TNI, POLRI. Unsur pemerintah
menjadi pemangku kepentingan yang utama dalam penanganan darurat bencana karena memiliki tanggung jawab
dan kewenangan sesuai tugas pokok dan fungsinya saat tidak terjadi bencana. Saat terjadi kondisi kedaruratan
bencana, maka pemangku kepentingan dari unsur pemerintahan akan mengkoordinasikan penanganan darurat
bencana. Dalam hal penanganan tersebut membutuhkan bantuan berbagai pihak, maka unsur pendukung dapat
mengisi kesenjangan yang terjadi.
Memuat ruang lingkup operasi pada status keadaan darurat. Yang dimaksud dengan status keadaan
18
darurat dimulai sejak status siaga darurat, tanggap darurat, dan transisi darurat ke pemulihan. Tindakan ini fokus
pada fase (tahapan) keadaan darurat. Setiap tahap dijabarkan dalam tindakan-tindakan yang perlu dilakukan pada
saat keadaan darurat bencana terjadi. Tindakan-tindakan yang dilakukan pada status keadaan darurat inilah yang
merupakan dasar bagi penyusunan fungsi organisasi penanganan darurat bencana. Organisasi penanganan darurat
bencana harus dapat menjalankan fungsinya melakukan seluruh tindakan terkait penanganan darurat bencana.
19
Contoh Konsep Operasi dan Sasaran Tindakan:
3.3 Fungsi
Agar memberikan hasil optimal, dalam menjalankan tugas pokok penanganan kedaruratan bencana, organisasi
membentuk sistem yang terdiri dari beberapa bidang dengan fungsi spesifik. Lima fungsi yang wajib ada dalam
struktur organisasi penanggulangan kedaruratan bencana yaitu: (1). komando, kendali, koordinasi; (2) perencanaan;
(3) operasi; (4) logistik; (5) administrasi dan keuangan.
Kelima fungsi dalam struktur ini dapat disesuaikan dengan prioritas ancaman bencana di setiap daerah. Kelima
fungsi inilah yang nantinya dijabarkan dalam tugas-tugas yang lebih rinci. Tugas-tugas yang dilakukan bertujuan
untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang diperlukan pada saat penanganan darurat bencana.
20
Contoh Stuktur Organisasi Penanganan Kedaruratan Bencana
3.4 Tugas-tugas
Untuk mencapai seluruh sasaran tindakan, organisasi menurunkan setiap pekerjaan dari masing-masing fungsi dalam
bentuk tugas-tugas yang harus dijalankan setiap bagian/unit/divisi dibawahnya. Agar nanti perencanaan dan operasi
benar-benar (nyata) dapat dilaksanakan, maka tugas-tugas harus disusun sebagai strategi penanganan kedaruratan
bencana (yang) berdasarkan kemampuan sumberdaya yang tersedia.
Tugas-tugas tersebut mencakup penanganan darurat semua jenis ancaman bencana, bersifat perkiraan,
21
berisi kerangka kerja standar yang mengintegrasikan pengerahan aset respons oleh pemerintah atau pemerintah
daerah. Kerangka kerja standar mengacu pada tugas-pokok-dan fungsi masing-masing lembaga/ instansi saat tidak
terjadi bencana. Dalam penyusunan tugas-tugas ini baiknya dilengkapi dengan koordinator dan pendukung untuk
setiap bidang.
Contoh:
c) ………………………
b) ……………………………….
Pendukung:
Dinsos, Dinas PU
Memuat arahan/perintah/pokok-pokok mandat kepada organisasi komando penanganan darurat bencana yang
diberikan oleh otoritas dan komandan PDB. Tujuanya adanya intruksi koordinasi untuk menggerakkan seluruh
’sistem’ (tatalaksana) organisasi penanggulangan kedaruratan bencana.
22
Contoh:
● RPKB dapat dilengkapi rencana kontingensi. Jika rencana kontingensi tidak ada maka RPKB dapat
dijadikan acuan dalam penyusunan rencana operasi segera setelah dilakukan pengkajian cepat bencana
● Kepala pemerintahan dapat menjadi komandan penanganan kedaruratan bencana atau menunjuk pejabat
lain yang dipandang memiliki kompetensi dan kapasitas sebagai seorang komandan penanganan darurat
bencana.
Manajemen darurat dan respon keadaan darurat bergantung pada sistem komunikasi dan informasi yang
menyediakan gambaran operasi bersama kepada semua lokasi komando dan koordinasi. Termasuk persyaratan yang
dibutuhkan untuk rencana kerja yang baku untuk komunikasi - menekankan pada kebutuhan akan gambaran operasi
bersama. Komponen ini didasarkan pada konsep interoprabilitas, realibilitas, skalabilitas, dan portabilitas, dan juga
ketahanan serta redundansi sistem komunikasi dan informasi.
Contoh:
● Menyebutkan pilihan-pilihan lokasi posisi pos komando, (jika perlu pos operasi lainnya, termasuk pos
pendamping).
● Menjelaskan jalur komando (instruksi komando dan pengendalian, pelaporan, targetnya pertanggung
jawaban). Jelaskan Jalur koordinasi (cara kerja terpadu, targetnya menyelaraskan).
● Menjelaskan alur komunikasi (untuk komando dan pengendalian, untuk koordinasi, protokol
komunikasi atau jaring komunikasi yang diperlukan).
BAB V PENUTUP
Bab penutup setidaknya berisi penjabaran tentang penegasan kembali risiko bencana apa saja yang harus menjadi
perhatian bersama untuk ditanggulangi jika terjadi dan menimbulkan situasi kedaruratan. Disamping itu juga
menggarisbawahi dan mengingatkan kembali peran pemerintah atau pemerintah daerah dalam RPKB yang telah
disepakati, tindak lanjut operasionalisasi RPKB ke dalam rencana kontingensi, uji coba RPKB serta pernyataan
masa berlaku RPKB.
23
BAB III
PENYUSUNAN RPKB
Dalam upaya mendapatkan RPKB yang baik, penyusunannya dibagi ke dalam beberapa tahapan utama yang terdiri
dari persiapan, penyusunan dan pengesahan. Masing-masing memiliki komponen masing- masing dan hasil akhirnya
adalah terdapatnya dokumen RPKB milik daerah yang telah disahkan sebagai produk kebijakan daerah di bidang
penanggulangan bencana. Keseluruhan proses penyelenggaraan penyusunan RPKB di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota dilaksanakan oleh pemerintah daerah masing- masing, sebagai penanggung jawab utama dalam
urusan pemerintah bidang penanggulangan bencana di daerah. Secara teknis, BPBD mengkoordinir dan
mengorganisir pelaksanaan penyusunan RPKB. Perlu diperhatikan beberapa hal tahapan penyusunan mulai dari
persiapan hingga pengesahan, terutama metodologi, materi lokakarya, peserta, penyelenggara, narasumber,
fasilitator dan kerangka waktu setiap tahapan.
Dalam mendukung proses penyusunan RPKB, khususnya pada tahap workshop, memerlukan data dan
informasi awal untuk dianalisis yang hasilnya dapat diolah lebih lanjut. Sumber data yang digunakan
adalah data resmi pemerintah, baik yang bersifat kebencanaan maupun non kebencanaan. Data
kebencanaan misalnya dokumen KRB, RPB, produk hukum dan kebijakan terkait penanggulangan bencana
lainnya. Sedangkan data yang bersifat non kebencanaan seperti data aset daerah yang ada di OPD yang
bertugas di bidang pengelolaan aset daerah (BPKAD), data sumberdaya manusia milik daerah/ASN daerah
yang dapat ditemukan di Badan Kepegawaian Daerah, dan data-data lain seperti kebijakan pembangunan
berjangka milik daerah (RPJMD) yang terdapat di Bappeda dan daerah dalam angka. Sepanjang
dimungkinkan dan bersifat terbuka untuk publik, informasi strategis lainnya, terutama yang dimiliki
instansi vertikal juga dapat dijadikan sebagai data/informasi pendukung.
C. Alur Workshop
Untuk standarisasi proses workshop sehingga menghasilkan dokumen RPKB sesuai yang diharapkan, alur
workshop penyusunan RPKB merujuk pada kerangka modul/materi yang dikembangkan oleh BNPB.
Modifikasi dan penyesuaian yang diperlukan dapat dilakukan dengan mempertimbangkan efektifitas dan
setelah melalui proses konsultasi dengan BNPB.
D. Narasumber
Narasumber adalah seseorang yang karena kompetensi jabatan dan/atau keahliannya, baik dari unsur
pemerintah maupun non pemerintah berperan menyampaikan arahan dan memaparkan materi yang
mendukung pengetahuan, pemahaman dan motivasi peserta tentang situasi risiko bencana di daerah,
pentingnya keberadaan kerangka kerja bersama untuk penanggulangan kedaruratan bencana multi ancaman
serta pentingnya berbagi peran sesuai potensi sumberdaya masing-masing.
24
E. Fasilitator penyusunan RPKB
Merupakan yang berdasarkan keahlian, keterampilan, pengetahuan dan pengalamannya ditugaskan oleh
BNPB atau BPBD membantu proses penyusunan RPKB di dalam workshop. Fasilitator dapat berasal dari
unsur pemerintahan maupun non pemerintahan. Dalam pemilihan fasilitator, BPBD yang akan menyusun
RPKB mengkonsultasikan ke BNPB tentang kebutuhan tenaga fasilitator yang akan ditugaskan.
A. Tahap Persiapan
Sebagai langkah awal dalam pelaksanaan penyusunan RPKB, BPBD melaksanakan beberapa tahap mulai
dari persiapan berupa penjajakan dukungan politis kepala daerah karena yang akan disusun nantinya
menjadi dokumen kebijakan daerah yang proses untuk menghasilkannya melibatkan banyak pemangku
kepentingan di pemerintahan. Tahap persiapan lainnya adalah konsultasi dengan BNPB, pengumpulan dan
analisis data awal hingga sosialisasi persiapan. Identifikasi pihak-pihak yang akan terlibat dalam
penyusunan merupakan salah satu hasil dari pengolahan data yang berhasil dikumpulkan. Demikian juga
halnya dengan data aset milik daerah yang potensial dikerahkan atau dimanfaatkan untuk penanganan
kedaruratan akibat bencana.
25
Lebih rinci masing-masing tahapan di dalam penyusunan RPKB dapat dijelaskan sebagaimana tabel dibawah
ini:
No Komponen Tahapan
26
7. Output yang 1. Arahan dan 1. Rancangan dokumen 1. Dokumen RPKB final
dihasilkan dukungan politis RPKB 2. Dokumen Keputusan
kepala daerah 2. Rancangan Kepala Daerah
2. Pemangku Keputusan Kepala
pemerintahan yang Daerah
akan terlibat
3. Komitmen perangkat
pemerintahan yang
akan terlibat
4. Data dan informasi
(KRB, RPB, Perda
Pembentukan OPD,
data aset daerah, data
SDM pemda dan
instansi vertikal, dll)
3.3 Pembiayaan
Pelaksanaan penyusunan RPKB di daerah menggunakan dana yang bersumber dari APBD, atau dapat dibiayai
APBN pada bagian Anggaran kementerian dan lembaga serta sumber lain yang tidak mengikat sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan.
27
BAB IV
TINDAK LANJUT SETELAH PENYUSUNAN RPKB
Setelah dokumen RPKB berhasil disusun dan disahkan menjadi dokumen kebijakan, dokumen RPKB harus
ditindaklanjuti. Tindak lanjut diperlukan untuk memastikan isi dokumen RPKB dipahami oleh semua pihak dan
dapat dimanfaatkan, responsif terhadap perubahan situasi, terdapat perencanaan yang bersifat turunan dan terjaga
keterbaharuannya. Dari sejumlah tindak lanjut yang akan dijelaskan di bawah ini, tindak lanjut utama adalah
konsistensi semua pihak yang disebutkan di dalam dokumen RPKB untuk melaksanakan RPKB sesuai isi yang
disepakati ketika bencana terjadi dan tindakan penanganan kedaruratan dibutuhkan, terutama yang berkaitan dengan
pembagian peran dan mekanisme pengerahan sumberdaya. BPBD berperan untuk memastikan dan
mengkoordinasikan semua upaya tindak lanjut dan melaksanakannya dengan melibatkan semua pemangku
kepentingan.
1. Sosialisasi
Agar RPKB menjadi dokumen yang dapat dipahami semua pihak, diperlukan langkah sosialisasi kepada
semua pihak. Target utama langkah sosialisasi adalah unsur pemerintahan yang ada di daerah setempat,
baik OPD maupun instansi pemerintahan vertikal seperti TNI/Polri, BMKG, BNPP, kanwil-kanwil, dan
lain-lain. Tujuan kegiatan sosialisasi agar masing-masing pihak memahami isi, peran dan tanggung jawab
institusionalnya ketika diperlukan penanganan kedaruratan bencana. Sosilisasi juga perlu disampaikan ke
pemangku kepentingan penanggulangan bencana lainnya seperti lembaga usaha, tokoh-tokoh masyarakat,
media, perguruan tinggi, organisasi non pemerintah di bidang penanggulangan bencana, dan lain-lain.
Waktu sosialisasi sebaiknya segera setelah dokumen RPKB disahkan.
2. Uji Dokumen
Yang dimaksud dengan uji dokumen adalah mensimulasikan dokumen RPKB oleh pemangku kepentingan
yang telah diidentifikasi dan dibagi peran sebagaimana yang disepakati dalam dokumen RPKB. Simulasi
yang dilakukan dapat berupa latihan di atas meja atau Table Top Exercise (TTX). Uji dokumen RPKB
tidak memerlukan uji atau latihan di lapangan karena RPKB bersifat umum dan multi ancaman bencana
sehingga tidak cocok untuk diujikan di lapangan. Uji dokumen dapat dilakukan sekali dalam setahun
sepanjang masa berlaku dokumen tersebut. Jika tidak memungkinkan, uji dokumen setidaknya dilakukan
dua kali dalam sepanjang masa berlakunya. Selain bertujuan untuk menguji kesahihan kerangka kerja
RPKB dengan mekanisme tindakan antar pihak, uji dokumen juga untuk menemukan upaya-upaya
perbaikan yang harus dipertimbangkan ketika dilakukan peninjauan ulang terhadap dokumen RPKB. Uji
dokumen dengan melatihkannya bersama-sama juga membiasakan terbangunnya mekanisme koordinasi
antar pihak dan mengurangi kegagapan koordinasi saat situasi kedaruratan bencana benar-benar terjadi.
4. Menjalin Kesepakatan dengan Instansi Vertikal dan Melakukan Kerjasama Antar Daerah
Untuk dapat melaksanakan rumusan di dalam RPKB secara efektif, pemerintah daerah perlu
mengidentifikasi kebutuhan ikatan kesepakatan dengan instansi vertikal pemerintahan lain yang ada di
daerah. Walaupun secara umum semua instansi pemerintahan bertanggungjawab melaksanakan tindakan
sesuai tugas dan fungsinya untuk melindungi dan menyelamatkan wara
28
negara, namun untuk memastikan kesatuan komandao dan koordinasi dalam tindakan bersama perlu
kesepakatan sesuai yang telah dituangkan di dalam RPKB. Instansi vertikal yang dimaksud dengan
Kodim/Polres, BMKG, kanwil-kanwil dan lain-lain. Selain itu pemerintah daerah dapat melakukan
perjanjian kerjasama dengan pemerintah kabupaten/kota tetangga untuk dapat mendukung RPKB dalam hal
dukungan personil dan bantuan logistik. Kerjasama ini merujuk pada mekanisme Kerjasama Antar Daerah
(KAD) sesuai yang diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah.
6. Tinjau Ulang
Dokumen RPKB dapat ditinjau ulang minimal satu kali sepanjang masa berlakunya. Pelaksanaannya tetap
melibatkan semua pihak yang pernah menjadi bagian saat penyusunan RPKB sebelumnya. Upaya
peninjauan ulang atas dokumen rencana kontingensi adalah untuk menyesuaikan dengan perkembangan
situasi, baik karena perubahan situasi risiko bencana, masukan yang teridentifikasi saat uji dokumen,
maupun karena alasan konfigurasi organisasi pemerintahan yang berubah cukup signifikan. Peninjauan
ulang dapat bersifat sebagian maupun keseluruhan atas dokumen RPKB.
7. Pembaharuan
Dokumen RPKB memiliki masa berlaku terbatas untuk menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi. Jika
telah mencapai batas masa berlakunya, dokumen RPKB harus diperbaharui melalui proses seperti dokumen
RPKB disusun dari awal. Semua aspek di dalamnya harus kembali dibahas secara keseluruhan dan
dokumen yang ada sebelumnya dapat menjadi rujukan.
Selain karena habis masa berlaku, dokumen RPKB juga harus diperbaharui ketika peristiwa bencana telah
terjadi di daerah yang bersangkutan. Penanganan kedaruratan yang dilakukan oleh pemerintah daerah
akibat bencana yang terjadi akan menjadi pembelajaran yang dapat menjadi masukan saat dokumen RPKB
diperbaharui. Peristiwa bencana dapat dipastikan merubah situasi ancaman di daerah tersebut, sehingga
menjadi alasan yang cukup kuat diperlukannya pembaharuan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
untuk pembaharuan dokumen RPKB tidak harus menunggu berakhir masa berlaku jika suatu peristiwa
bencana terjadi dan dilakukan penanganan kedaruratannya.
Hasil dari setiap tindak lanjut yang dilakukan dilaporkan kepada kepala daerah dan pemerintah pusat selambat-
lambatnya di setiap akhir tahun anggaran dengan mekanisme sebagai berikut:
1. RPKB tingkat kabupaten/kota: BPBD kabupaten/kota melaporkan kepada Bupati/Walikota, untuk
selanjutnya bupati/walikota melaporkan kepada Gubernur diatasnya dengan menembuskan kepada Menteri
Dalam Negeri dan Kepala BNPB dan Kepala Pelaksana BPBD provinsi.
29
2. RPKB tingkat provinsi: BPBD provinsi melaporkan kepada Gubernur untuk selanjutnya Gubernur
melaporkan kepada Menteri Dalam Negeri dan ditembuskan kepada Kepala BNPB serta para
bupati/walikota di bawahnya.
Laporan tersebut akan menjadi informasi penting bagi pihak-pihak yang dilaporkan dan ditembuskan, bahwa
terdapat suatu kerangka kerja penanganan kedaruratan bencana di suatu wilayah administrasi di bawahnya atau di
atasnya beserta dinamika yang terjadi selama masa berlakunya. Dengan adanya mekanisme pelaporan tersebut juga
dapat menjadi bahan pertimbangan dan penyesuaian bagi dokumen RPKB di masing-masing tingkatan administrasi
pemerintahan ataupun memahami dengan segera dan mempersiapkan pola pendampingan jika bencana terjadi di
wilayah administratif di bawahnya. Selain itu bagi BNPB pelaporan ini penting dalam pengelolaan sistem informasi
RPKB di seluruh wilayah Indonesia.
30
BAB V
PEMBINAAN, MONITORING DAN EVALUASI
BNPB melakukan pembinaan, monitoring dan evaluasi penyelenggaraan RPKB di seluruh provinsi di Indonesia.
BNPB bersama BPBD provinsi melakukan pembinaan, monitoring dan evaluasi penyelenggaraan RPKB di tingkat
kabupaten/kota. Dalam hal pembinaan, monitoring dan evaluasi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota oleh BNPB,
BNPB berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri. Ruang lingkup pembinaan, monitoring dan evaluasi dibagi
sesuai tingkatan sebagai berikut:
BNPB:
1. Mengkoordinir dan melaksanakan penyelenggaraan RPKB di tingkat nasional
2. Memberi arahan kebijakan dan pembinaan penyelenggaraan RPKB di tingkat provinsi
3. Mendukung BPBD provinsi memberi arahan kebijakan, layanan konsultasi dan pembinaan
penyelenggaraan RPKB untuk tingkat kabupaten/kota
4. Mengembangkan, mengelola dan menyediakan layanan sistem informasi RPKB secara nasional
5. Menyediakan dukungan pendidikan, latihan, konsultasi dan bimbingan teknis RPKB untuk provinsi dan
kabupaten/kota
6. Mempersiapkan, mengerahkan dan mengelola tenaga fasilitator penyusunan RPKB secara nasional
7. Menyediakan dukungan program dan pendanaan penyelenggaraan RPKB di daerah sesuai kebijakan dan
prioritas nasional
8. Memonitoring, mengumpulkan data, menganalisis, mengevaluasi dan menerbitkan laporan tahunan
tentang penyelenggaraan RPKB di seluruh Indonesia
BPBD Provinsi:
1. Mengkoordinir dan melaksanakan penyelenggaraan RPKB di tingkat provinsi
2. Berkoordinasi dengan BNPB dalam memberi arahan kebijakan dan pembinaan penyelenggaraan RPKB di
tingkat kabupaten/kota
3. Menyediakan dukungan program dan pendanaan penyelenggaraan RPKB di lingkup provinsi sesuai
kebijakan dan prioritas provinsi
4. Menyediakan dukungan pendidikan, latihan, konsultasi dan bimbingan teknis RPKB untuk kabupaten/kota
5. Memonitoring, mengumpulkan data, menganalisis, mengevaluasi dan menyampaikan laporan tahunan
tentang penyelenggaraan RPKB di tingkat provinsi dan kabupaten/kota di bawahnya kepada Gubernur,
untuk dilaporkan lebih lanjut kepada Menteri Dalam Negeri dengan menembuskan kepada Kepala BNPB
dan BPBD kabupaten/kota di bawahnya
BPBD Kabupaten/kota:
1. Mengkoordinir dan melaksanakan penyelenggaraan RPKB di tingkat kabupaten/kota
2. Berkoordinasi dan berkonsultasi dengan BNPB melalui BPBD Provinsi dalam penyelenggaraan RPKB
3. Memonitoring, mengumpulkan data, menganalisis dan menerbitkan laporan tahunan tentang
penyelenggaraan RPKB kepada Bupati/Walikota, untuk selanjutnya dilaporkan kepada Gubernur dan
menembuskannya kepada Menteri Dalam Negeri dan Kepala BNPB
31
BAB VI
PENUTUP
Dengan telah tersedia dan dilaksanakannya pedoman ini akan membawa perubahan mendasar dalam tatanan
perencanaan penanggulangan bencana di Indonesia. Pelaksanaan atas pedoman ini akan melengkapi apa yang
seharusnya ada sebagaimana telah dimandatkan dalam peraturan perundang- undangan yang ada. Secara khusus,
pedoman ini akan berpengaruh pada perencanaan kontingensi yang selama ini telah dikenal luas dan sering
dilaksanakan. Perubahan dan penyesuaian pada rencana kontingensi misalnya tidak memerlukan lagi isi yang
mengulas tentang informasi-informasi umum. Misalnya tentang profil wilayah dan gambaran situasi berbagai risiko
bencana yang dihadapi. Demikian juga halnya dengan identifikasi pemangku kepentingan, khususnya dari unsur
pemerintah, karena situasi dan informasinya akan berlaku sama untuk berbagai jenis risiko bencana. Setelah daerah
memiliki RPKB, beberapa bagian di dalam rencana kontingensi akan lebih sederhana sehingga menjadi lebih ringkas
dan bisa cepat dipahami.
BNPB dan BPBD akan terus memastikan pelaksanaan pedoman RPKB ini sesuai ketentuan yang diatur. Dalam
pelaksanaannya nanti, BNPB juga akan terus menyempurnakan pedoman ini sesuai kebutuhan, perkembangan,
masukan dan pembelajaran nantinya. Daerah lebih lanjut juga dapat memulai penyusunan RPKB secara terstandar,
baik proses maupun muatannya, sesuai yang diatur dalam pedoman ini. Hal-hal yang belum tercantum dalam
pedoman ini, dapat dijabarkan sesuai dengan kebijakan, kebutuhan dan karakteristik daerah sesuai dengan ketentuan
yang ada dengan mengkonsultasikan dengan BNPB. Semoga dengan adanya pedoman ini dapat dijadikan panduan
bagi pemerintah dan pemerintah daerah agar penanganan kedaruratan bencana dapat dilaksanakan secara terencana,
terpadu dan menyeluruh di Indonesia.
Doni Monardo
32
LAMPIRAN:
33
Lampiran 2. Contoh Identifikasi Penyusun RPKB
Tim Penyusun RPKB merupakan seluruh pemangku kepentingan dalam penanggulangan kedaruratan bencana di
daerah. Karena RPKB sifatnya multihazard disesuaikan dengan potensi bencana di suatu wilayah, maka
pemangku kepentingan yang dilibatkan baiknya sesuai dengan potensi bencana yang ada di daerah tersebut.
Cara identifikasi pemangku kepentingan adalah dengan mengidentifikasi peran pemangku kepentingan dalam
penanggulangan kedaruratan bencana dengan matriks identifikasi sebagai berikut:
34