Pembahas:
Badrul Munir Chair (Sastrawan)
Sari Fitria (Mahasiswa S2 Ilmu Sastra FIB
UGM)
MC dan Moderator:
Farhana Aulia
DISKUSI SASTRA
PKKH UGM
Banowati
Puisi-puisi karya Gunawan Maryanto
Penyair:
Gunawan Maryanto
Pembahas:
Badrul Munir Chair (Sastrawan)
Sari Fitria (Mahasiswa S2 Ilmu Sastra FIB UGM)
MC dan Moderator:
Farhana Aulia
Diselenggarakan oleh
i
Sekretariat:
ii
DAFTAR ISI
Banowati
Oleh: Gunawan Maryanto
Halaman 1 - 13
iii
Banowati
karya Gunawan Maryanto
Banowati
aku lupa:
ini cinta atau alpa
ini cinta atau apa
1
ya, kita bukan tukang kebun
yang awas dengan warna daun-daun
tahu-tahu: sudah bertahun-tahun
2
aku benar-benar tak tahu
bagaimana harus mengakhiri ini
selain dengan meninggalkanmu
sendiri malam ini
tapi jelas aku tak bisa bertahan
dengan seluruh ledakan-ledakan
kemarahan dan keputusasaan
—aku tak ingin tubuhku kering dan berkeping-
keping
setelah seluruh penyamaran dan pertempuran
yang melelahkan dan menghabiskan
3
tapi kau terlanjur menggodaku
bau tubuhmu telah melekat di paru-paruku
menjelma radang di malam-malam panjang
bagaimana bisa aku meninggalkanmu
—dalam keadaan seperti itu
Jogjakarta, 2008
4
Surtikanti
di malam pengantin
dua lelaki berkejaran
sepanjang tubuhku sepanjang malam
berlarian di kancing baju, cincin,
giwang, liontin,
dan jam tangan
tapi cuma satu yang berdiam dalam anganku:
lelaki dengan benih matahari di kedua matanya,
dengan deras sungai gangga dalam jantungnya,
yang menyimpan kesedihanku diam-diam
Jogjakarta, 2008
6
Aswatama
Jogjakarta, 2008
5
Mustakaweni
Jogja, 2012
8
Adaninggar
Jogja, 2012
7
Balada Alli
9
Sebagai ular sebagai perempuan
mungkin kau bisa bercinta denganku
Tapi sebagai lelaki tunggu dulu
Kemarahanku lebih besar dari kesaktianmu
Jogja, 2013
10
Satyawati
Jogja, 2013
11
Amba
Jogja, 2013
12
Sumbadra
Kularung cintamu!
Maka perempuan itu berlari
Menghunjamkan diri
pada sepi yang tegak berdiri
layaknya sebuah belati
Lalu sungai menerima tubuh
—tongkang kosong rapuh
Membawanya pergi jauh
sejauh-jauhnya darimu
Jogja, 2014
13
Tragika Percintaan, Kontramitos, dan Kesadaran
Penyair sebagai Dalang;
Membaca Puisi-puisi Wayang Gunawan
Maryanto
Oleh: Badrul Munir Chair*
/1/
Northrop Fyre, dalam Anatomy of Criticism (1973)
mengemukakan bahwa: mitos-mitos yang tumbuh
dalam suatu masyarakat akan mempengaruhi karya
sastra masyarakat tersebut, kesusastraan bersumber
pada mitos-mitos, dan karya sastra yang terdapat
dalam suatu masyarakat bisa dicari rujukannya dari
mitos-mitos di masa lampau. Pemaparan Fyre
tersebut eksplisit dalam puisi-puisi wayang
Gunawan Maryanto. Gunawan tak sekadar
terpengaruh dengan mitos-mitos seputar wayang,
namun secara sadar puisi-puisi wayang Gunawan
merujuk lakon-lakon dan tokoh-tokoh dunia
pewayangan.
14
April 1976 ini secara dominan merupakan
interpretasi terhadap mitos-mitos yang bersumber
dari khazanah kebudayaan dari mana ia berasal.
Dalam kumpulan cerpennya Bon Suwung (2005) dan
Galigi (2007) misalnya, nampak upaya Gunawan
untuk menghadirkan kembali mitologi Jawa. Upaya
itu semakin gamblang dalam kumpulan puisinya
Perasaan-perasaan yang Menyusun Sendiri
Petualangannya (2009) dan Sejumlah Perkutut buat
Bapak (2010). Dalam dua kumpulan puisinya
tersebut, Gunawan secara khusus (meminjam istilah
Sapardi) memanfaatkan—mengocok, memelintir,
menggarisbawahi—mitologi pewayangan sebagai
alat pengucapan dalam puisinya.
surtikanti
di malam pengantin
dua lelaki berkejaran
sepanjang tubuhku sepanjang malam
berlarian di kancing baju, cincin,
giwang, liontin,
dan jam tangan
tapi cuma satu yang berdiam dalam anganku:
lelaki dengan benih matahari di kedua matanya,
dengan deras sungai gangga dalam jantungnya,
yang menyimpan kesedihanku diam-diam
16
cintanya gagal dialamatkan. Namun, alih-alih
tertarik untuk menarasikan penyebab terjadinya
perang atau bagaimana jalannya peperangan itu,
Gunawan justru cenderung menggambarkan
“kemarahan yang tak padam/ atau cinta yang
gagal” (puisi “Amba”), “sepi yang tegak berdiri/
layaknya sebuah belati” (puisi “Sumbadra”), dan
perasaan remuk-redam sang tokoh yang menjadi
korban pahitnya tragika percintaan:
Aswatama
17
/2/
Mitos sebagai salah satu unsur budaya dalam
masyarakat merupakan bagian dari rekaman
perjalanan sejarah-budaya masyarakat tersebut yang
bisa dijadikan lahan kreatif lahirnya sebuah karya
sastra. Dalam perspektif proses kreatif penciptaan,
keterkaitan sastra dengan tata nilai kehidupan,
menurut Teeuw (1988), dapat disejajarkan dengan
konsep mimesis dan creatio. Hubungan antara sastra
dan kenyataan bukanlah suatu hubungan yang
sifatnya searah dan sederhana. Hubungan tersebut
selalu merupakan interaksi yang kompleks dan tak
langsung.
18
semena-mena. Dengan penelusuran itu, pembaca
akan melihat puisi-puisi wayang Gunawan dengan
pertimbangan yang jernih, menerka sejauh mana
interpretasi penyair terhadap kisah-kisah itu dan
menilai sejauh mana keberhasilan sang penyair
memadatkan kisah-kisah itu ke dalam puisinya.
Pembaruan—pemelintiran,
penyalahartian—terhadap mitos-mitos pewayangan
banyak kita temukan dalam puisi-puisi Gunawan.
Salah satunya dalam puisi “Banowati”. Banowati
yang dalam pewayangan Jawa merupakan sosok
perempuan yang lembut, welas asih, dan penurut,
sehingga ia mematuhi permintaan ayahnya untuk
menikah dengan Duryodana meski sebenarnya ia
mencintai Arjuna, dalam puisi Gunawan diposisikan
berbeda. Narasi puisi “Banowati” memang tidak
19
menjelaskan siapa “aku lirik” dalam puisi itu, entah
Banowati entah Arjuna. Seandainya “aku lirik”
adalah Arjuna, kita akan menemukan pembaruan
bahwa justru Arjunalah yang mencintai Banowati,
bukan sebaliknya: “bahkan tuhan pun lupa:/ kenapa
aku mencintaimu”. Begitu pun seandainya kita
merubah sudut pandang “aku lirik” puisi tersebut
sebagai sosok Banowati, kita juga akan mendapati
pemelintiran sosok Banowati yang welas asih
sebagai perempuan yang penuh ledakan kemarahan,
sebagai yang memilih dan bukan dipilihkan, sebagai
perempuan yang meninggalkan dan bukan yang
ditinggalkan: “... aku benar-benar tak tahu/
bagaimana harus mengakhiri ini/ selain dengan
meninggalkanmu/ sendiri malam ini/ tapi jelas aku
tak bisa bertahan/ dengan seluruh ledakan-ledakan/
kemarahan dan keputusasaan ...”. Puisi tersebut
dengan jelas menyimpang dari mitos asal. Dan
penyimpangan itu perlu dilakukan agar bisa
menyajikan citra romantis yang diidealisasikan sang
penyair.
/3/
Romantisasi kisah wayang sebagaimana dilakukan
oleh Gunawan adalah pilihan yang penuh tantangan.
Pertama, wayang merupakan simbol kehidupan
manusia atau “wewayangane ngaurip” (bayangan
kehidupan). Wayang mengandung suatu ajaran yang
20
bersinggungan dengan hakikat manusia, yang
mencakup ajaran moral, baik moral pribadi, moral
sosial, dan moral religius. Wayang harus
memberikan pandangan hidup kepada masyarakat.
Kedua, pertunjukan wayang merupakan pertunjukan
yang kompleks, di mana setiap elemen dan unsur
dalam pertunjukan wayang memiliki simbol dan
maksud tertentu.
21
upaya itu justru akan merusak tatanan nilai luhur
yang terkandung dalam ceritera wayang itu sendiri.
Namun, Gunawan begitu cerdik mencari siasat untuk
mempertahankan nilai-nilai luhur itu meski dalam
ruang yang sangat sempit seperti puisi yang
elemennya jauh lebih sederhana bila dibandingkan
dengan kompleksitas pertunjukan wayang.
Amba
22
Tapi sebut saja aku hantu,
Kemarahan yang tak padam,
Atau cinta yang gagal
23
terpenting dalam sebuah lakon: puncak sebuah
drama percintaan tokoh-tokoh wayang yang ingin
“menyusun sendiri petualangannya”. []
Daftar Bacaan:
24
Wan(ita) dalam Puisi-Puisi Wayang Gunawan
Maryanto
Oleh Sari Fitria
25
ceritanya malah menggugat sang pencerita.
Singkatnya, para pelaku sastra -meski tidak semua-
memiliki kecendrungan menyisipkan sesuatu yang
baru jika akan mencipta karya dengan meminjam
cerita yang sudah ada. Namun, mungkin Gunawan
adalah satu dari sedikit sastrawan yang malah
mempertahankan isi cerita ketika menuliskan sebuah
karya yang berpondasi pada kisah yang sudah ada.
26
Jika ditilik, maka akan diketahui bahwa tujuh dari
sembilan puisi Gunawan diberi judul dengan nama
Dewi (yang tentunya berkelamin wanita), sisanya
yaitu Aswatama dan Balada Alli. Namun, kedua
puisi yang mengusung nama laki-laki ini ternyata
juga membicarakan wanita. Lebih tepatnya,
kesembilan puisi ini mengisahkan tentang wanita
yang memiliki peran sebagai wan(ita).
27
kemungkinan juga, wani-nya wanita ini adalah
sebuah senjata, entah bagi wanita atau bagi mereka
yang mengobjekkan wanita.
28
dimunculkan Gunawan secara konsisten di puisi-
puisi lainnya, meski seringkali disamarkan dengan
nama cinta. Tapi bukankah sebenarnya cinta itu
sendiri berakar atau berakhir dari/pada wan
(baca:nafsu)?
29
Gunawan mengilustrasikan rasa cinta yang berujung
derita pada wanita. Baik Amba, Adaninggar ataupun
Sumbadra, adalah tiga tokoh yang sama-sama
'meradang' karena diperdaya dan dipecundangi cinta.
Amba yang cintanya tak bisa dibalas Bisma yang
terlanjur bersumpah; Adaninggar yang cintanya
ditampik orang yang lebih suka memanggilnya ibu;
Sumbadra yang yang cintanya berulangkali diduakan
Arjuna. Di puisi-puisi ini, Gunawan menunjukkan
bahwa wanita merasa kuran tanpa laki-laki.
Makanya, Amba, Adaninggar dan Sumbadra selalu
menwarkan cintanya pada laki-laki. Ketika cinta itu
tak terpenuhi, maka marah dan menderitalah para
wanita ini. Kondisi ini menyiratkan, juga
mengukuhkan, bahwa wanita benar-benar
'menggantungkan' diri pada laki-laki, tak bisa hidup
tanpa laki-laki; seolah-olah laki-laki adalah
penyempurna diri bagi wanita. /tapi sebut saja aku
hantu,/ kemarahan yang tak padam,/ atau cinta yang
gagal/ pada seorang laki-laki kualamatkan seluruh
deritaku/. Ini diperkuat lagi dalam puisi
“Sumsbadra” yang menghujamkan diri pada sepi
yang tegak berdiri ketika Arjuna berkali-kali
mengobral cintanya pada wanita yang berbeda. Dan
dipertegas dengan kekerasan hati Adaninggar /jadi
seberapa kuat kau menolak cintaku/ sebesar itulah
cintaku padamu/. Kekerasan cinta ketiga dewi yang
30
dipotret Gunawan dalam puisi-puisi ini menuntun
saya pada sebuah pertanyaan: apakah memang
wanita menjadi kurang sempurna tanpa pria ataukah
pria juga merasa kurang sempurna tanpa wanita?
Bibliografi
31
SURTIKANTI GUNAWAN MARYANTO:
PANCINGAN DISKUSI SASTRA PKKH
Oleh Faruk HT
SURTIKANTI
di malam pengantin
dua lelaki berkejaran
sepanjang tubuhku sepanjang malam
berlarian di kancing baju, cincin,
giwang, liontin,
dan jam tangan
tapi cuma satu yang berdiam dalam anganku:
lelaki dengan benih matahari di kedua matanya,
dengan deras sungai gangga dalam jantungnya,
yang menyimpan kesedihanku diam-diam
maka diamlah seluruh mandaraka
biarkan malam menyembunyikan cintaku
menggelapkan kekasihku
dari anjing jaga dan peronda
Jogjakarta, 2008
33
tertahan di lain pihak. Dengan kata lain, konteks
cerita yang sebenarnya bersifat sosial-kolektif itu
berubah menjadi cerita cinta dan gairah yang bersifat
persinal-individual. Dengan kata lain, sejalan dengan
wacana puisi modern pada umumnya, puisi ini
memindahkan “the law of politics” menjadi “the law
of heart”.
34
dapat menyegarkan cara pengungkapan puisi. Dalam
hal ini, puisi ini bisa dikatakan berhasil
memanfaatkan potensi yang terdapat dalam cerita
wayang untuk memperkaya cara pengungkapan
puitisnya. Sebagaimana yang sudah diketahui
bersama, di dalam cerita wayang terjadi
ketumpangtindihan antara kehidupan kodrati
manusia dengan kehidupan adikodrati, antara
manusia dengan binatang dan bahkan dengan hewan.
Artinya, terdapat semacam kesinambungan atau
kontiguitas antara kedua dunia di atas. Kontiguitas
inilah yang makro menyatu dengan yang mikro,
yang eksternal dengan yang internal seperti yang
terlihat dalam kutipan berikut.
35
di malam pengantin
dua lelaki berkejaran
sepanjang tubuhku sepanjang malam
berlarian di kancing baju, cincin,
giwang, liontin,
dan jam tangan
36
Modernitas bisa dipahami sebagai kenyataan
keseharian hidup orang Jawa sekarang, sedangkan
wayang merupakan dunia mitologis yang bersifat
ideal. Konsep rasa lebih dekat dengan kahanan,
dengan kenyataan yang berubah-ubah dan
bertumpang-tindih. Namun, wayang, cenderung
dipandang sebagai dunia ideal, budaya adilihung
yang tetap dan tidak berubah-ubah. Masyarakat dan
kebudayaan Jawa sebenarnya selalu berada di dalam
ketegangan antara keduanya. Konsep “ngeli”
merepresentasikan dengan tepat kecenderungan
yang demikian. Mengikuti kahanan, tetapi tidak
hanyut.
37
kahanan, kenyataan keseharian, kemasakinian,
dibandingkan dengan sisi dunia ideal dari wayang
yang bersifat mitologis dan sosial. Ia lebih
mengutamakan cerita mengenai wilayah yang gelap
daripada wilayah yang terang, bahkan ketika ia
bercerita tentang matahari, sang surya.
38