Anda di halaman 1dari 46

Puisi-puisi karya Gunawan Maryanto

Selasa, 25 November 2014


Pukul 19.30 WIB-selesai
Di Hall Pusat Kebudayaan Koesnadi
Hardjasoemantri/PKKH UGM, Bulaksumur

Pembahas:
Badrul Munir Chair (Sastrawan)
Sari Fitria (Mahasiswa S2 Ilmu Sastra FIB
UGM)

MC dan Moderator:
Farhana Aulia
DISKUSI SASTRA
PKKH UGM

Banowati
Puisi-puisi karya Gunawan Maryanto

Selasa, 25 November 2014


Pukul 19.30 WIB-selesai
Di Hall Pusat Kebudayaan Koesnadi
Hardjasoemantri/PKKH UGM, Bulaksumur

Penyair:
Gunawan Maryanto

Pembahas:
Badrul Munir Chair (Sastrawan)
Sari Fitria (Mahasiswa S2 Ilmu Sastra FIB UGM)

MC dan Moderator:
Farhana Aulia

Diselenggarakan oleh

i
Sekretariat:

PUSAT KEBUDAYAAN KOESNADI


HARDJASOEMANTRI, UGM BULAKSUMUR
Email: pkkh@ugm.ac.id
Telepon: 0274-557317 (pukul 8.00-16.00 WIB)
Facebook: Pkkh Ugm Koesnadi Hardjasoemantri
Twitter: @PKKH_UGM

DISKUSI SASTRA PKKH UGM


Acara ini dimaksudkan sebagai pergesekan atau
persentuhan antar penyair dari generasi yang
berbeda, yang diasumsikan mempunyai
perspektif atau wawasan estetik yang berbeda.
Selain itu juga ada pembahas luar yang berasal
dari mahasiswa sebagai semacam sarana
praktikum (walaupun tanpa kurikulum)

ii
DAFTAR ISI

Banowati
Oleh: Gunawan Maryanto
Halaman 1 - 13

Tragika Percintaan, Kontramitos, dan


Kesadaran
Penyair sebagai Dalang;
Membaca Puisi-puisi Wayang Gunawan
Maryanto
Oleh: Badrul Munir Chair
Halaman 14 - 24

Wan(ita) dalam Puisi-Puisi Wayang


Gunawan Maryanto
Oleh Sari Fitria
Halaman 25 - 31

Surtikanti Gunawan Maryanto:


Pancingan Diskusi Sastra PKKH
Oleh Faruk HT
Halaman 32- 38

iii
Banowati
karya Gunawan Maryanto

Banowati

bahkan tuhan pun lupa:


kenapa aku mencintaimu

aku lupa:
ini cinta atau alpa
ini cinta atau apa

tapi kau telah mengodaku


semenjak kali pertama melintas
di ruang rias
melintas, sebenarnya mengeras

lalu tinggal lagu-lagu senja


mengekalkan pagi-pagi hastina

kita pernah melewatinya, bukan


hanya lupa; kapan

cinta, atau suka, berkembang


layaknya ilalang
membelukar hingga luar pagar
pagar rumahmu
lalu jalan kecil yang memanggil-manggil
kecil, seperti cinta, hanya pas buat berdua

1
ya, kita bukan tukang kebun
yang awas dengan warna daun-daun
tahu-tahu: sudah bertahun-tahun

perang besar telah lewat


menghancurkan rumahmu
—seluruh kesepianmu
—seluruh yang pernah kaumiliki
wajah dan suaramu segera menua
layaknya logam berkarat
memberat
—kau belum setua itu, kau tahu
kau hanya terlalu lama mencinta
orang yang tak kaucinta

aku ingin mengajakmu duduk di sebuah malam


bercakap banyak hal sambil menikmati angin
memain-mainkan rambut ikalmu yang tak tebal
tapi batok kepalamu tak berisi apa-apa
hanya prasangka
perasaan-perasaan berlebihan
bagaimana aku bisa membuatmu bahagia
aku bahkan tak bisa membuatmu ketawa
—satu-satunya yang mungkin kulakukan
—satu-satunya hal yang kuinginkan
kaulakukan

2
aku benar-benar tak tahu
bagaimana harus mengakhiri ini
selain dengan meninggalkanmu
sendiri malam ini
tapi jelas aku tak bisa bertahan
dengan seluruh ledakan-ledakan
kemarahan dan keputusasaan
—aku tak ingin tubuhku kering dan berkeping-
keping
setelah seluruh penyamaran dan pertempuran
yang melelahkan dan menghabiskan

seluruh tanya-jawab kita berhenti sebagai upaya


membangun hubungan yang banal dan mokal
tanya-jawab kita sekadar menunggu senja
dengan lintasan-lintasan burung yang tak pernah
kekal

surem-surem dewangkara kingkin


lir manuswa kang layon
ilang sirna denya memanise
ooo

suramnya matahari yang berduka


seperti manusia mati
hilang sudah keindahannya
ooo

3
tapi kau terlanjur menggodaku
bau tubuhmu telah melekat di paru-paruku
menjelma radang di malam-malam panjang
bagaimana bisa aku meninggalkanmu
—dalam keadaan seperti itu

bagaimana aku bisa meninggalkanmu


—dalam kesedihan serupa itu

bahkan tuhan pun lupa:


kenapa aku mencintaimu

Jogjakarta, 2008

4
Surtikanti

di malam pengantin
dua lelaki berkejaran
sepanjang tubuhku sepanjang malam
berlarian di kancing baju, cincin,
giwang, liontin,
dan jam tangan
tapi cuma satu yang berdiam dalam anganku:
lelaki dengan benih matahari di kedua matanya,
dengan deras sungai gangga dalam jantungnya,
yang menyimpan kesedihanku diam-diam

maka diamlah seluruh mandaraka


biarkan malam menyembunyikan cintaku
menggelapkan kekasihku
dari anjing jaga dan peronda

Jogjakarta, 2008

6
Aswatama

dalam tubuhku tinggal seekor kuda liar


serta jurang lebar
yang tak bisa kauseberangi dengan nalar
juga cinta yang tiba-tiba
spontan dan tanpa pilihan

di luar diriku adalah terowongan panjang


dan di belakang; cahaya benderang
dari kemaluan seorang perempuan telanjang

dan kini aku berjalan di bawah kematian


di bawah kekalahan sebuah bangsa
selama-lamanya
setelah terpaksa kulesakkan senjata
di kandungan seorang perempuan

kini aku hanya seekor coprinae


bersembunyi dalam tahimu

Jogjakarta, 2008

5
Mustakaweni

ia memutuskan menyamar menjadi lelaki


—dengan sayap tumbuh di punggungnya
tak lupa ia pasang bintang di dadanya
menutup sepasang payudara yang menggoda

sebelum berangkat ia berkaca mematut tubuh


dan menyadari kumis belumlah tumbuh
di atas bibirnya yang merah jambu

tergesa ia oleskan minyak kelapa


pada belati dan dibakarnya menjadi jelaga

kini kumis yang tebal hitam berkilat


sudah melintang dengan garang
di atas bibirnya yang merah jambu

saatnya terbang membalas seluruh kehilangan


menang atau kalah biarlah dalang yang
mengabarkan
ia hanya perlu menjaga agar kumisnya tak luntur
oleh hujan

Jogja, 2012

8
Adaninggar

seberapa kuat kau menolak cintaku


—yang membuatku terbang melayang
melintasi laut dan misterinya

kecantikan macam apa yang kaubutuhkan


saat sudah kupasrahkan seluruh tubuhku
pada perjalanan dan setiap kemungkinan
bernama dirimu

selendangku adalah pusakaku: talikentular


ia sanggup mengikatmu
juga menjerat leherku

dalam kabut yang terbuat dari nafasmu,


aku tak tahu lagi saat yang tepat
untuk berhenti mencintaimu

jadi seberapa kuat kau menolak cintaku


sebesar itulah cintaku kepadamu

Jogja, 2012

7
Balada Alli

Hai, kau yang menyamar sebagai ular, aku Alli


Naiklah ke peraduanku. Malam ini aku berahi

Hari kemarin kau Putri Chengamalam


Rindu yang kupuja sepanjang demam
Dan lantas kita berlarian di dalam hutan
Berburu kijang dan kasih sayang

Di sebuah lelah, di punggung trembesi


kausandarkan tubuhmu
pada tubuhku yang sepi
Tak bisa kaudengar apapun di sana

Dan pelan kaulepas cincin di jari manisku


bersama kisah-kisah Pandawa
yang kautembangkan berulang-ulang
seperti gendewa terentang
Hingga Arjuna bangun dari tubuhmu
Dan bayang Wrahatnala menari lagi
Di alun-alun Wirata

Hampir aku jatuh, Arjuna


Dalam pelukan tubuh perempuanmu
Tapi Alli tak bisa jatuh. Tak sanggup jatuh
Ia adalah batu dari Madurai
—pernah membunuh anak burung gagak

9
Sebagai ular sebagai perempuan
mungkin kau bisa bercinta denganku
Tapi sebagai lelaki tunggu dulu
Kemarahanku lebih besar dari kesaktianmu

Tapi Tali ini—benang kuning di leher


telah merampungkan baladaku
Pulandaran lahir tanpa persetubuhan
Dan Alli tinggal kenangan
Kenangan yang ingin kulupakan

Dan kisah perempuan


yang lahir di rekahan bunga lotus itu
Selesai sudah. Harus selesai.

Jogja, 2013

10
Satyawati

Di dalam kabut ini, Palasara, renggut aku


Habisi amis tubuhku sesuai janjimu
Lalu pergilah. Biarkan sepi Yamuna
Dan wangi tubuhku yang tersisa
Dari persetubuhan kita

Sebab aku anak pungut seorang nelayan


Kama yang jatuh di mulut seekor ikan

Di dalam kabut yang terbuat dari nafasmu


Di atas sampan yang terbuat dari tubuhku
Kita susuri Bengawan Yamuna sekali saja

Jogja, 2013

11
Amba

Aku kalung teratai yang tergantung di gagang pintu


Menunggumu mengenakanku pada sebuah perang
Separuh diriku yang lain adalah sungai kering
berbatu
Yang sesekali saja tergenang jika hujan datang

Tapi sebut saja aku hantu,


Kemarahan yang tak padam,
Atau cinta yang gagal

Pada seorang lelaki kualamatkan seluruh deritaku


Tak perlu kau sebut namaku. Berdiri saja di tepi
gelanggang
Kenakan aku di lehermu. Maka ia akan menerimamu
Seperti sebuah kereta yang menjemputnya pulang

Jogja, 2013

12
Sumbadra

Kularung cintamu!
Maka perempuan itu berlari
Menghunjamkan diri
pada sepi yang tegak berdiri
layaknya sebuah belati
Lalu sungai menerima tubuh
—tongkang kosong rapuh
Membawanya pergi jauh
sejauh-jauhnya darimu

Dan kalaupun kini ia hidup lagi


Duduk diam di sebuah tempat
Menyaksikanmu yang terus menari
dengan baju pengantin hingga tamat
: ia bukan siapa-siapa

Jogja, 2014

13
Tragika Percintaan, Kontramitos, dan Kesadaran
Penyair sebagai Dalang;
Membaca Puisi-puisi Wayang Gunawan
Maryanto
Oleh: Badrul Munir Chair*

/1/
Northrop Fyre, dalam Anatomy of Criticism (1973)
mengemukakan bahwa: mitos-mitos yang tumbuh
dalam suatu masyarakat akan mempengaruhi karya
sastra masyarakat tersebut, kesusastraan bersumber
pada mitos-mitos, dan karya sastra yang terdapat
dalam suatu masyarakat bisa dicari rujukannya dari
mitos-mitos di masa lampau. Pemaparan Fyre
tersebut eksplisit dalam puisi-puisi wayang
Gunawan Maryanto. Gunawan tak sekadar
terpengaruh dengan mitos-mitos seputar wayang,
namun secara sadar puisi-puisi wayang Gunawan
merujuk lakon-lakon dan tokoh-tokoh dunia
pewayangan.

Di tengah kecenderungan masyarakat modern yang


selalu berusaha merasionalkan mitos dan bahkan
membuang jauh mitos sebab dianggap kontradiktif
dengan sains, Gunawan justru berupaya merawat
mitos-mitos yang lekat dengan kesehariannya.
Karya-karya penulis kelahiran Yogyakarta pada 10

14
April 1976 ini secara dominan merupakan
interpretasi terhadap mitos-mitos yang bersumber
dari khazanah kebudayaan dari mana ia berasal.
Dalam kumpulan cerpennya Bon Suwung (2005) dan
Galigi (2007) misalnya, nampak upaya Gunawan
untuk menghadirkan kembali mitologi Jawa. Upaya
itu semakin gamblang dalam kumpulan puisinya
Perasaan-perasaan yang Menyusun Sendiri
Petualangannya (2009) dan Sejumlah Perkutut buat
Bapak (2010). Dalam dua kumpulan puisinya
tersebut, Gunawan secara khusus (meminjam istilah
Sapardi) memanfaatkan—mengocok, memelintir,
menggarisbawahi—mitologi pewayangan sebagai
alat pengucapan dalam puisinya.

Membaca puisi-puisi wayang Gunawan adalah


membaca romantika yang dialami tokoh-tokoh
wayang seperti Banowati, Surtikanti, Mustakaweni,
Satyawati, Amba, dll. Meski lakon wayang yang
dianggit Gunawan ke dalam puisi-puisinya sangat
beragam, namun puisi-puisi wayangnya seakan
dipertautkan oleh satu benang merah, yaitu
kecenderungan Gunawan menangkap fragmen
tragika percintaan, suatu “hubungan yang banal dan
mokal” yang “menjelma radang di malam-malam
panjang” (puisi “Banowati”). Gunawan
menyuarakan kisah yang dramatik tentang cinta
yang bertepuk sebelah tangan, cinta yang terpendam,
15
dan kesedihan yang disimpan diam-diam:

surtikanti

di malam pengantin
dua lelaki berkejaran
sepanjang tubuhku sepanjang malam
berlarian di kancing baju, cincin,
giwang, liontin,
dan jam tangan
tapi cuma satu yang berdiam dalam anganku:
lelaki dengan benih matahari di kedua matanya,
dengan deras sungai gangga dalam jantungnya,
yang menyimpan kesedihanku diam-diam

maka diamlah seluruh mandaraka


biarkan malam menyembunyikan cintaku
menggelapkan kekasihku
dari anjing jaga dan peronda

Sejarah peradaban manusia seakan tak bisa


dilepaskan dari tragika percintaan. Tak terbilang lagi
berapa banyak dongeng-dongeng seputar cinta yang
berakhir tragis. Kisah cinta yang melegenda dan
abadi justru adalah kisah cinta yang berdarah-darah.
Begitu pun dengan kisah-kisah dalam pewayangan.
Perang besar bisa pecah karena cinta yang terlarang,
dendam cinta yang tak berkesudahan, dan upaya
untuk mengembalikan harga diri karena malu

16
cintanya gagal dialamatkan. Namun, alih-alih
tertarik untuk menarasikan penyebab terjadinya
perang atau bagaimana jalannya peperangan itu,
Gunawan justru cenderung menggambarkan
“kemarahan yang tak padam/ atau cinta yang
gagal” (puisi “Amba”), “sepi yang tegak berdiri/
layaknya sebuah belati” (puisi “Sumbadra”), dan
perasaan remuk-redam sang tokoh yang menjadi
korban pahitnya tragika percintaan:

Aswatama

dalam tubuhku tinggal seekor kuda liar


serta jurang lebar
yang tak bisa kauseberangi dengan nalar
juga cinta yang tiba-tiba
spontan dan tanpa pilihan

di luar diriku adalah terowongan panjang


dan di belakang; cahaya benderang
dari kemaluan seorang perempuan telanjang

dan kini aku berjalan di bawah kematian


di bawah kekalahan sebuah bangsa
selama-lamanya
setelah terpaksa kulesakkan senjata
di kandungan seorang perempuan

kini aku hanya seekor coprinae


bersembunyi dalam tahimu

17
/2/
Mitos sebagai salah satu unsur budaya dalam
masyarakat merupakan bagian dari rekaman
perjalanan sejarah-budaya masyarakat tersebut yang
bisa dijadikan lahan kreatif lahirnya sebuah karya
sastra. Dalam perspektif proses kreatif penciptaan,
keterkaitan sastra dengan tata nilai kehidupan,
menurut Teeuw (1988), dapat disejajarkan dengan
konsep mimesis dan creatio. Hubungan antara sastra
dan kenyataan bukanlah suatu hubungan yang
sifatnya searah dan sederhana. Hubungan tersebut
selalu merupakan interaksi yang kompleks dan tak
langsung.

Membaca puisi-puisi yang berakar dari mitos


sebagaimana puisi-puisi wayang Gunawan, akan
membawa pembaca pada dua wilayah: antara
kenyataan atau rekaan, antara mimesis atau creatio.
Memposisikan puisi-puisi wayang Gunawan sebagai
cerminan kenyataan belaka pasti akan menyesatkan.
Begitu juga sebaliknya jika memposisikannya
sebagai mythopoesis—mitologi fiksional yang
diciptaan sang penyair atau murni rekaan—tak akan
kalah menyesatkannya. Pembaca yang awam
terhadap ceritera dan nama-nama tokoh wayang
dalam puisi-puisi Gunawan, mau tidak mau harus
menelusuri akar cerita yang mendasari puisi-
puisinya, agar terhindar dari pembacaan yang

18
semena-mena. Dengan penelusuran itu, pembaca
akan melihat puisi-puisi wayang Gunawan dengan
pertimbangan yang jernih, menerka sejauh mana
interpretasi penyair terhadap kisah-kisah itu dan
menilai sejauh mana keberhasilan sang penyair
memadatkan kisah-kisah itu ke dalam puisinya.

Dalam karya sastra, mitos dihadirkan melalui


pemahaman dan interpretasi baru. Interpretasi
pengarang terhadap suatu mitos akan melahirkan
pembaruan, yang pada tataran lebih lanjut akan
menjadi mitos baru atau kontramitos. Pembaruan
mitos merupakan sebuah tuntutan di dunia yang
terus bergerak, yang akan berfungsi sebagai kontrol
sosial. Stagnasi mitos hanya akan terjadi di
masyarakat yang tertutup dan konservatif terhadap
kebaruan.

Pembaruan—pemelintiran,
penyalahartian—terhadap mitos-mitos pewayangan
banyak kita temukan dalam puisi-puisi Gunawan.
Salah satunya dalam puisi “Banowati”. Banowati
yang dalam pewayangan Jawa merupakan sosok
perempuan yang lembut, welas asih, dan penurut,
sehingga ia mematuhi permintaan ayahnya untuk
menikah dengan Duryodana meski sebenarnya ia
mencintai Arjuna, dalam puisi Gunawan diposisikan
berbeda. Narasi puisi “Banowati” memang tidak

19
menjelaskan siapa “aku lirik” dalam puisi itu, entah
Banowati entah Arjuna. Seandainya “aku lirik”
adalah Arjuna, kita akan menemukan pembaruan
bahwa justru Arjunalah yang mencintai Banowati,
bukan sebaliknya: “bahkan tuhan pun lupa:/ kenapa
aku mencintaimu”. Begitu pun seandainya kita
merubah sudut pandang “aku lirik” puisi tersebut
sebagai sosok Banowati, kita juga akan mendapati
pemelintiran sosok Banowati yang welas asih
sebagai perempuan yang penuh ledakan kemarahan,
sebagai yang memilih dan bukan dipilihkan, sebagai
perempuan yang meninggalkan dan bukan yang
ditinggalkan: “... aku benar-benar tak tahu/
bagaimana harus mengakhiri ini/ selain dengan
meninggalkanmu/ sendiri malam ini/ tapi jelas aku
tak bisa bertahan/ dengan seluruh ledakan-ledakan/
kemarahan dan keputusasaan ...”. Puisi tersebut
dengan jelas menyimpang dari mitos asal. Dan
penyimpangan itu perlu dilakukan agar bisa
menyajikan citra romantis yang diidealisasikan sang
penyair.

/3/
Romantisasi kisah wayang sebagaimana dilakukan
oleh Gunawan adalah pilihan yang penuh tantangan.
Pertama, wayang merupakan simbol kehidupan
manusia atau “wewayangane ngaurip” (bayangan
kehidupan). Wayang mengandung suatu ajaran yang

20
bersinggungan dengan hakikat manusia, yang
mencakup ajaran moral, baik moral pribadi, moral
sosial, dan moral religius. Wayang harus
memberikan pandangan hidup kepada masyarakat.
Kedua, pertunjukan wayang merupakan pertunjukan
yang kompleks, di mana setiap elemen dan unsur
dalam pertunjukan wayang memiliki simbol dan
maksud tertentu.

Kompleksitas pertunjukan wayang bisa kita lihat


misalnya dalam Kayon (gunungan). Kayon
merupakan simbol kosmomistis yang di dalamnya
terdapat tiga bagian yang mewakili tri purusa (tiga
tahap kehidupan yang dilalui manusia): bagian
paling bawah yang disebut palemahan (tanah, bumi)
yang merupakan simbol Mayapada; bagian tengah
yang disebut genukan (menyembul) dan lengkeh
(ceruk) yang merupakan simbol Giriloka; dan
bagian atas yang berbentuk runcing yang merupakan
simbol Lokabaka atau dunia yang kekal. Fungsi
kayon dalam pertunjukan wayang adalah sebagai
penanda peralihan setiap pathet (babak).

Mempertahankan nilai-nilai yang terkandung dalam


kisah-kisah wayang ke dalam puisi yang bentuknya
sangat padat bukanlah suatu pekerjaan yang mudah.
Alih-alih hendak melakukan pembaruan mitos
sebagai kontrol sosial bagi masyarakat, jika gagal,

21
upaya itu justru akan merusak tatanan nilai luhur
yang terkandung dalam ceritera wayang itu sendiri.
Namun, Gunawan begitu cerdik mencari siasat untuk
mempertahankan nilai-nilai luhur itu meski dalam
ruang yang sangat sempit seperti puisi yang
elemennya jauh lebih sederhana bila dibandingkan
dengan kompleksitas pertunjukan wayang.

Gunawan tetap mempertahankan kronologi


pertunjukan wayang yang sudah menjadi pakem
para dalang dalam setiap pementasan, yaitu secara
berurutan mengisahkan jejer (pertemuan di suatu
tempat tertentu), kemudian masuk ke adegan, dan
diakhiri dengan perang (baik fisik maupun batin).
Dalam setiap urutan itu terdapat deskripsi, dialog,
tindakan. Kronologis semacam itu bisa kita temukan
dalam puisi “Surtikanti” di atas, juga dalam puisi
berikut:

Amba

Aku kalung teratai yang tergantung di gagang


pintu
Menunggumu mengenakanku pada sebuah
perang
Separuh diriku yang lain adalah sungai kering
berbatu
Yang sesekali saja tergenang jika hujan datang

22
Tapi sebut saja aku hantu,
Kemarahan yang tak padam,
Atau cinta yang gagal

Pada seorang lelaki kualamatkan seluruh


deritaku
Tak perlu kau sebut namaku. Berdiri saja di tepi
gelanggang
Kenakan aku di lehermu. Maka ia akan
menerimamu
Seperti sebuah kereta yang menjemputnya
pulang

Sebagai penyair yang mengangkat ulang kisah-kisah


wayang, Gunawan sepertinya sadar bahwa dirinya
mengemban tugas sebagaimana seorang dalang
untuk menyampaikan kisah-kisah pewayangan
secara berurutan, agar kisahnya bisa ditangkap oleh
pembaca. Barangkali kesadaran itu pulalah yang
membuat Gunawan dengan santai mengubah sudut
pandang penceritaan sang narator, dari aku menjadi
ia: “Hai, kau yang menyamar sebagai ular, aku Alli/
... / Tapi Alli tak bisa jatuh. Tak sanggup jatuh/ Ia
adalah batu dari Madurai” (puisi “Balada Alli”).

Membaca puisi-puisi wayang Gunawan seperti


menonton pementasan wayang di atas panggung
seluas ukuran kertas, seperti menonton bagian

23
terpenting dalam sebuah lakon: puncak sebuah
drama percintaan tokoh-tokoh wayang yang ingin
“menyusun sendiri petualangannya”. []

Daftar Bacaan:

Fyre, Northop. 1973. Anatomy of Criticism. Priceton


New Jersey: Priceton University Press.
Hardjowirogo. 1949. Sedjarah Wajang Purwa.
Jakarta: Balai Pustaka.
Maryanto, Gunawan. 2009. Perasaan-perasaan yang
Menyusun Sendiri Petualangannya.
Yogyakarta: Omahsore.
_________________. 2010. Sejumlah Perkutut buat
Bapak. Yogyakarta: Omahsore.
Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta:
Pustaka Jaya.

)* Badrul Munir Chair, menulis puisi dan cerpen di


sejumlah media massa. Novelnya Kalompang
(Grasindo, 2014) mendapatkan penghargaan dari
Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Saat ini
sedang kuliah di jurusan ilmu filsafat, Universitas
Gadjah Mada.

24
Wan(ita) dalam Puisi-Puisi Wayang Gunawan
Maryanto
Oleh Sari Fitria

Sederet puisi wayang, yang diutus Gunawan sebagai


bahan diskusi kali ini tampak berpondasi pada kisah-
kisah dalam pewayangan Mahabharata, kecuali puisi
“Adaninggar” yang berasal dari menak cina. Tanpa
membaca isi dari pusi-puisi itu, Gunawan telah
menggiring para penikmat puisinya untuk mengingat
kembali kisah Mahabharata dengan cara
memberikan judul yang jelas dan sederhana pada
puisi-puisinya. Ya, bagi yang akrab dengan kultur
Jawa, siapa yang tidak kenal Banowati, Surtikanti,
Aswatama dan sederet nama lainnya yang
'beruntung' dijadikan judul dalam puisi-puisi
Gunawan.

Akan tetapi, judul dalam sebuah karya sastra bisa


saja menipu. Ketika membaca cerpen “Rama dan
Sinta” karya Sapardi Djoko Damono, misalnya.
Bukannya menemukan kisah Rama dan Sinta yang
kembali mencinta setelah adanya insiden penculikan
dari Rahwana, pembaca malah dikejutkan dengan
ulah nakal Sinta yang malah memilih jatuh cinta
pada Rahwana. Juga seperti Kitab Omong Kosong
nya Seno Gumira Ajidarma, dimana tokoh-tokoh

25
ceritanya malah menggugat sang pencerita.
Singkatnya, para pelaku sastra -meski tidak semua-
memiliki kecendrungan menyisipkan sesuatu yang
baru jika akan mencipta karya dengan meminjam
cerita yang sudah ada. Namun, mungkin Gunawan
adalah satu dari sedikit sastrawan yang malah
mempertahankan isi cerita ketika menuliskan sebuah
karya yang berpondasi pada kisah yang sudah ada.

Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa kesembilan puisi


wayang Gunawan (Banopati, Surtikanti, Aswatama,
Mustakaweni, Adaninggar, Balada Ali, Satyawati,
Amba, Subadra) seolah mengukuhkan diri bahwa
mereka adalah sebenar-sebenarnya cerita yang
diceritakan dalam pewayangan. Hanya saja,
Gunawan jeli memilih salah satu scene dalam
kehidupan para tokoh wayang itu. Scene itulah yang
akhirnya disulap Gunawan menjadi sebuah puisi.
Disinilah letak keunikan Gunawan, yaitu ketika ia
mampu membuat sebuah cerita terasa baru meski
sebenarnya cerita itu hanyalah pengulangan dari
cerita yang sebelumnya sudah ada. Bukan itu saja,
entah sadar atau tanpa disadari, kesembilan puisi
Gunawan ini memotret scene yang senada dari
perjalanan hidup tokohnya. Scene ini berhubungan
dengan keberadaan wanita; setelah menikmati puisi
Gunawan, saya lebih suka menyebutnya wan(ita).

26
Jika ditilik, maka akan diketahui bahwa tujuh dari
sembilan puisi Gunawan diberi judul dengan nama
Dewi (yang tentunya berkelamin wanita), sisanya
yaitu Aswatama dan Balada Alli. Namun, kedua
puisi yang mengusung nama laki-laki ini ternyata
juga membicarakan wanita. Lebih tepatnya,
kesembilan puisi ini mengisahkan tentang wanita
yang memiliki peran sebagai wan(ita).

Dalam bahasa sanskerta, kata wanita berasal dari


kata wan, yang berarti nafsu; wanita sebagai yang
dinafsui (Handayani. 2004:4). Definisi ini
mengindikasikan bahwa wanita, pada dasarnya,
merupakan objek. Pernyataan ini juga menggiring
orang untuk berasumsi bahwa wanita memang sudah
sewajarnya menjadi objek, bukan subjek. Asumsi ini
lebih diperkuat karena adanya pernyataan Sigmund
Freud yang menegaskan bahwa wanita adalah
jelmaan dari laki-laki yang tak sempurna, makanya
wanita mengalami penis envy. Sebuah kecemburuan
yang muncul akibat wanita tidak memiliki penis
seperti laki-laki, sehingga wanita merasa bahwa
dirinya berada dalam sebuah kekurangan (Freud
dalam Beauvouir, 1949). Beranjak dari pernyataan
ini, maka melalui kesembilan puisinya, ada
kemungkinan Gunawan pun juga meng-iya-kan
semua asumsi yang me-wani-kan wanita. Tapi, ada

27
kemungkinan juga, wani-nya wanita ini adalah
sebuah senjata, entah bagi wanita atau bagi mereka
yang mengobjekkan wanita.

“Bahkan tuhan pun lupa:/ kenapa aku mencintaimu/


aku lupa:/ ini cinta atau alpa/ ini cinta atau apa,”
tulis Gunawan berulang-ulang pada puisinya yang
berjudul “Banowati”. Jika saya tak salah duga,
mungkin yang bicara ini adalah Arjuna, yang
mencintai dan tergoda pada iparnya sendiri. Atau
lebih tepatnya, menurut Gunawan, memang
Banowatilah yang menggoda Arjuna ,”tapi kau
terlanjur menggodaku/ bau tubuhmu telah melekat
di paru-paruku/. Melalui larik-larik inilah Gunawan
mulai menelanjangi wanita, menempatkan wanita
sebagai wan. Cinta yang tumbuh di dalam Arjuna
dituding sebagai nafsu yang muncul karena
kehadiran Banowati. Dalam hal ini, Arjuna yang
mencinta, tapi Banowati yang yang dinista; lelaki
yang mencinta, tapi wanita yang dijadikan
tersangka.

Di puisi lainnya,”Surtikanti”, wanita tetap dianggap


sebagai pembuat masalah, yang menyebabkan dua
satria mengangkat senjata, “di malam pengantin/
dua lelaki berkejaran/ sepanjang tubuhku sepanjang
malam/. Peran wanita sebaga wan(ita) ini terus

28
dimunculkan Gunawan secara konsisten di puisi-
puisi lainnya, meski seringkali disamarkan dengan
nama cinta. Tapi bukankah sebenarnya cinta itu
sendiri berakar atau berakhir dari/pada wan
(baca:nafsu)?

Secara sekilas, akan saya berikan cuplikan puisi


Gunawan yang me-wan-kan wanita. Dalam
“Aswatama”, Gunawan menawarkan, /...;cahaya
benderang dari kemaluan seorang wanita/. di
dalam “Mustakaweni”, /tak lupa ia pasang bintang
di dadanya/ menutup sepasang payudara yang
menggoda/ Di dalam puisi “Balada Alli”, Gunawan
menjadi lebih tegas dalam memandang wan(ita). Ini
tampak dari /sebagai ular sebagai perempuan/ yang
berulangkali muncul dalam puisi ini. Dalam
stereotip yang berkembang, ular dikonvensikan
sebagai sesuatu yang jalang. Jadi ketika perempuan
disamakan seperti ular, tak ada lagi yang bisa
'ditinggikan' dari seorang wanita. Dalam puisi
lainnya “Satyawati”, wanita kembali diposisikan
sebagai klan yang hanya menjual birahi, /.... Biarkan
sepi Yamuna/ dan wangi tubuhku yang tersisa/ dari
persetubuhan kita/. Larik ini seolah
mengimplikasikan bahwa tak ada lagi yang bisa
ditawarkan wanita selain persetubuhan.
Pada puisi “Amba”, “Adaninggar” dan “Sumbadra”,

29
Gunawan mengilustrasikan rasa cinta yang berujung
derita pada wanita. Baik Amba, Adaninggar ataupun
Sumbadra, adalah tiga tokoh yang sama-sama
'meradang' karena diperdaya dan dipecundangi cinta.
Amba yang cintanya tak bisa dibalas Bisma yang
terlanjur bersumpah; Adaninggar yang cintanya
ditampik orang yang lebih suka memanggilnya ibu;
Sumbadra yang yang cintanya berulangkali diduakan
Arjuna. Di puisi-puisi ini, Gunawan menunjukkan
bahwa wanita merasa kuran tanpa laki-laki.
Makanya, Amba, Adaninggar dan Sumbadra selalu
menwarkan cintanya pada laki-laki. Ketika cinta itu
tak terpenuhi, maka marah dan menderitalah para
wanita ini. Kondisi ini menyiratkan, juga
mengukuhkan, bahwa wanita benar-benar
'menggantungkan' diri pada laki-laki, tak bisa hidup
tanpa laki-laki; seolah-olah laki-laki adalah
penyempurna diri bagi wanita. /tapi sebut saja aku
hantu,/ kemarahan yang tak padam,/ atau cinta yang
gagal/ pada seorang laki-laki kualamatkan seluruh
deritaku/. Ini diperkuat lagi dalam puisi
“Sumsbadra” yang menghujamkan diri pada sepi
yang tegak berdiri ketika Arjuna berkali-kali
mengobral cintanya pada wanita yang berbeda. Dan
dipertegas dengan kekerasan hati Adaninggar /jadi
seberapa kuat kau menolak cintaku/ sebesar itulah
cintaku padamu/. Kekerasan cinta ketiga dewi yang

30
dipotret Gunawan dalam puisi-puisi ini menuntun
saya pada sebuah pertanyaan: apakah memang
wanita menjadi kurang sempurna tanpa pria ataukah
pria juga merasa kurang sempurna tanpa wanita?

Bibliografi

Handayani, Christina S. 2004. Kuasa Wanita Jawa.


Yogyakarta: LKIS Yogyakarta.
Rene, Wellek dan Werren Austin. 1963. Theory of
Literature. New York: Penguin Book.
De Beauvoir, Simone. 1949. The Second Sex: New
York: Vintage

31
SURTIKANTI GUNAWAN MARYANTO:
PANCINGAN DISKUSI SASTRA PKKH
Oleh Faruk HT

SURTIKANTI

di malam pengantin
dua lelaki berkejaran
sepanjang tubuhku sepanjang malam
berlarian di kancing baju, cincin,
giwang, liontin,
dan jam tangan
tapi cuma satu yang berdiam dalam anganku:
lelaki dengan benih matahari di kedua matanya,
dengan deras sungai gangga dalam jantungnya,
yang menyimpan kesedihanku diam-diam
maka diamlah seluruh mandaraka
biarkan malam menyembunyikan cintaku
menggelapkan kekasihku
dari anjing jaga dan peronda
Jogjakarta, 2008

Puisi ini salah satu dari rangkaian puisi GMr


(Gunawan Maryanto) yang bertemakan tokoh-tokoh
wayang. Dulu, Linus Suryadi pernah juga menulis
puisi-puisi yang seperti ini dan memang pernah
punya maksud untuk menuliskan tokoh-tokoh
sayang dalam bentuk puisi. Linus, seperti yang kita
32
tahu, keburu meninggalkan kita sebelum
mennuntaskan niatnya itu. Untunglah sekarang ada
GMr yang bisa menulis jauh lebih banyak puisi
serupa ini.

Tidaklah mudah menulis kembali cerita-cerita


wayang yang semua orang (setidaknya Jawa) bisa
dikatakan sudah tahu. Agar bisa membuat tema-tema
yang bisa dikatakan basi ini dapat menjadi segar
kembali, setidaknya ada dua hal yang perlu
dilakukan, yaitu adanya tafsir baru mengenai
maknanya dan adanya cara pengungkapan yang juga
baru. Karena wayang pada dasarnya bergenre drama
dengan dialog-dialog yang prosaik, tentu saja
penceritaannya kembali dalam bentuk puisi sudah
merupakan cara pengungkapan baru. Bila demikian
halnya, tuntutannya dapat berubah, yaitu sejauh
mana tema wayang itu sendiri dapat menimbulkan
penyegaran pula dalam cara pengungkapan puisi itu
sendiri.

Puisi di atas menempatkan tokoh-tokoh wayang


tidak dalam konteks politik, yaitu perebutan
kekuasaan antara kurawa dan pandawa yang
berakhir dalam berang bharata yudha, melainkan
dalam konteks psikologis tokoh-tokohnya, dalam
konteks permainan perasaan cinta dan gairah yang
sebenarnya terasa menggebu di satu pihak, tetapi

33
tertahan di lain pihak. Dengan kata lain, konteks
cerita yang sebenarnya bersifat sosial-kolektif itu
berubah menjadi cerita cinta dan gairah yang bersifat
persinal-individual. Dengan kata lain, sejalan dengan
wacana puisi modern pada umumnya, puisi ini
memindahkan “the law of politics” menjadi “the law
of heart”.

Tapi, dalam konteks budaya jawa sendiri, “rasa”


merupakan sebuah hukum yang sentral bagi
kehidupan sosial masyarakat dan kebudayaan
tersebut. Kebudayaan Jawa bisa dikatakan tidak
mempunyai institusi formal dan eksternal yang
menopang kebudayaan itu. Semuanya bergantung
pada kahanan yang berubah-ubah. Dan kemampuan
perasaan untuk dapat menangkap dan bersikap
dengan tepat terhadap kahanan pada momen tertentu
(ngerti kahanan) merupakan indikator yang paling
penting dalam menentukan identitas kejawaan
seseorang. Dengan kata lain, penempatan cerita
sayang dalam konteks perasaan yang subjektif ini
pun bisa dikatakan hal yang juga lazim dalam
masyarakat Jawa. “Mangan ora kroso mangan,” kata
Umar Kayam pada suatu waktu ketika ia ngobrol
tentang cara orang Jawa berpuasa”.

Maka, yang menjadi penting dalam puisi ini adalah


pertanyaan terakhir: seberapa jauh cerita wayang

34
dapat menyegarkan cara pengungkapan puisi. Dalam
hal ini, puisi ini bisa dikatakan berhasil
memanfaatkan potensi yang terdapat dalam cerita
wayang untuk memperkaya cara pengungkapan
puitisnya. Sebagaimana yang sudah diketahui
bersama, di dalam cerita wayang terjadi
ketumpangtindihan antara kehidupan kodrati
manusia dengan kehidupan adikodrati, antara
manusia dengan binatang dan bahkan dengan hewan.
Artinya, terdapat semacam kesinambungan atau
kontiguitas antara kedua dunia di atas. Kontiguitas
inilah yang makro menyatu dengan yang mikro,
yang eksternal dengan yang internal seperti yang
terlihat dalam kutipan berikut.

tapi cuma satu yang berdiam dalam anganku:


lelaki dengan benih matahari di kedua matanya,
dengan deras sungai gangga dalam jantungnya,
yang menyimpan kesedihanku diam-diam

Ada dewa surya dalam diri karna. Ada sungai


gangga dalam sejarah hidupnya. Ada tubuh pada
mata, mata pada tubuh. Begitu juga jantung.
Keduanya melekat dengan erat, membuat
keseluruhan menjadi bagian dan bagian menjadi
keseluruhan. Inilah prinsip dasar dari metonimi.
Kecenderungan yang sama tampak juga dalam
kutipan berikut.

35
di malam pengantin
dua lelaki berkejaran
sepanjang tubuhku sepanjang malam
berlarian di kancing baju, cincin,
giwang, liontin,
dan jam tangan

kutipan di atas memperlihatkan kembali


ketumpangtindihan antara yang makro dengan
mikro, yang eksternal dengan internal, alam dengan
tubuh. Ketumpangtindihan tersebut membuat citraan
yang tergambar di dalamnya menjadi tampak
surealistik. Yang membuatnya semakin surealistik
adalah ketumpangtindihan waktu, antara masa kini
dengan masa lalu, dunia wayang dengan dunia
nyata, tradisi dengan modern: giwang, liontin,
dengan jam tangan.

Ketumpangtindihan tradisi dengan yang modern


tersebut dinyatakan pula dalam penggabungan yang
metonimik dengan yang metaforik, sebuah cara
ungkap yang sentral dalam puisi modern yang
berbasis budaya aksara yang memisahkan subjek
dari objek, dunia luar dari dunia dalam, dan
menempatkannya bukan dalam hubungan
kontiguitas, melainkan similaritas. Ada persamaan
antara matahari dengan mata, ada persamaan antara
sungai gangga dengan aliran darah yang berpusat di
jantung.

36
Modernitas bisa dipahami sebagai kenyataan
keseharian hidup orang Jawa sekarang, sedangkan
wayang merupakan dunia mitologis yang bersifat
ideal. Konsep rasa lebih dekat dengan kahanan,
dengan kenyataan yang berubah-ubah dan
bertumpang-tindih. Namun, wayang, cenderung
dipandang sebagai dunia ideal, budaya adilihung
yang tetap dan tidak berubah-ubah. Masyarakat dan
kebudayaan Jawa sebenarnya selalu berada di dalam
ketegangan antara keduanya. Konsep “ngeli”
merepresentasikan dengan tepat kecenderungan
yang demikian. Mengikuti kahanan, tetapi tidak
hanyut.

Pada umumnya orang Jawa memahami Surtikanti


sebagai lambang dari perempuan yang setia, yang
dibedakan dari Banowati. Hal ini terutama dalam
kaitan dengan hubungannya dengan Karna yang
menjadi suaminya. Namun, puisi ini justru tidak
melihat Surtikanti dalam konteks kesetiaan itu. Ia
mengambil momen malam perkawinan antara
perempuan tersebut dengan Duryudana, sebuah
momen di mana Sutikanti sekaligus melakukan
pertemuan gelap dengan Karna yang ia cintai.
Pilihan ini membuat Surtikanti menjadi tidak
berbeda dari Banowati dalam pandangan yang lazim.
Dengan pilihan tersebut tampak bahwa puisi ini
sebenarnya lebih berpihak pada rasa, subjektivitas,

37
kahanan, kenyataan keseharian, kemasakinian,
dibandingkan dengan sisi dunia ideal dari wayang
yang bersifat mitologis dan sosial. Ia lebih
mengutamakan cerita mengenai wilayah yang gelap
daripada wilayah yang terang, bahkan ketika ia
bercerita tentang matahari, sang surya.

biarkan malam menyembunyikan cintaku


menggelapkan kekasihku
dari anjing jaga dan peronda

Puisi ini memilih keli daripada ngeli. Dan dalam


keli, perbedaan-perbedaan tak lagi ada. Surtikanti
sama saja dengan Banowati. Dua-duanya adalah
figur yang mendua, yang cair, yang terus berubah.
Mungkin begitu.

38

Anda mungkin juga menyukai