Anda di halaman 1dari 9

Jurnal Konseling GUSJIGANG

Vol. 1 No. 2 Tahun 2015 ISSN 2460-1187

COUNSELOR ENCAPSULATION: SEBUAH TANTANGAN DALAM PELAYANAN


KONSELING LINTAS BUDAYA

Masturi
Program Studi Bimbingan dan Konseling
FKIP Universitas Muria Kudus
e-mail : masturi@umk.ac.id

Info Artikel Abstrak


Sejarah artikel Counselor Encapsulation adalah kecenderungan konselor untuk
Diterima September 2015
mengungkung dirinya pada kebenaran budayanya sendiri
Disetujui Oktober 2015
Dipublikasikan Nopember sehingga cenderung bersikap resisten pada kebenaran budaya
2015 lain. Pelayanan Konseling Lintas Budaya membutuhkan
Kata Kunci: kepekaan budaya dari konselor agar tidak terjadi bias pemaknaan
Counselor substansi konseling. Oleh karena itu, kecenserungan konselor
Encapsulation,
untuk melakukan enkapsulasi diri harus ditekan agar tidak
Konseling Lintas
Budaya muncul saat layanan konseling lintas budaya dilaksanakan.

Keywords:
Counselor
Encapsulation, Cross
Cultural Counseling
Abstract
Counselor Encapsulation is a counselor tendency to confine
himself to the truth of his own culture so it tends to be resistant
to the truth of other cultures. Cross Cultural Counseling
Services requires cultural sensitivity of counselors in order to
avoid bias substance counseling. Therefore, the tendency to
perform encapsulation counselors themselves should be
suppressed in order not to appear as a cross-cultural counseling
services implemented.

© 2015 Universitas Muria Kudus


ISSN 2460-1187

Dipublikasikan oleh: Program Studi Bimbingan dan Konseling FKIP Universitas Muria Kudus
Jurnal Konseling GUSJIGANG
Vol. 1 No. 2 Tahun 2015 ISSN 2460-1187

PENDAHULUAN
Bimbingan dan Konseling (BK) tetapi juga memiliki fungsi kreasi atau
merupakan bentuk pelayanan dengan istilah Ali Saigfullah (1983)
kemanusiaan, sebab BK hanya diberikan menyebut bersifat reflektif dan progresif.
oleh dan untuk manusia. Layanan BK Jones, Staffler dan Stewert
bertujuan untuk membangun manusia (1970), Surya (1988) Prayitno dan Amti
yang utuh, sebagai makhluk pribadi, (1994) Depdikbud (1994) menunjukan
sosial dan makhluk Tuhan (Prayitno, ada beberapa unsur diantaranya adalah
1994). Manusia sebagai subjek dan objek membantu orang yang di bimbing
layanan BK adalah makhluk yang mengatasi masalah, menyesuaikan diri,
berbudaya, bahkan mereka pencipta, mengembangkan diri, sesuai dengan
pemakai dan pengembang budaya. norma-norma yang berlaku, merencana
Undang-undang No.2 tahun 1989 pasal 1 masa depan. Sebagai bagian usaha
menyebut bahwa bimbingan konseling pendidikan, maka BK memiliki fungsi
salah satu bentuk pendidikan. Mortensen transfomasi dan kreasi kebudayaan.fungsi
dan Schemuller (1976) Tohari Musnamar transformasi terlihat dala pelayanan BK
(1986) Tijjan dkk. (1993) menyatakan yang membantu subjek yang di bimbing
bahwa bimbingan dan konseling dapat mengatasi masalah,menyesuaikan
merupakan bagian yang integral dalam diri, atau berperilaku sesuai dengan
sistem pendidikan .meskipun bimbingan budaya( nilai,norma,tata hubungan) yang
konseling merupakan bagian yang ada dalam masyarakat.fungsi kreasi
integral dalam pendidikan, dalam konteks kebudayaan terlihat dalam budaya BK
layanan profesional, tidak semua usaha yang membantu aktualisasi dan
pendidikan dapat di sebut bimbingan optimalisasi seluruh potensi subjek
konseling. bimbingan perencanaan masa depan.
Berbagai rumusan tentang Istilah konseling lintas budaya
pendidikan secara umum dapat dikatakan merupakan panduan dari dua istilah yaitu
bahwa pendidikan sebenarnya adalah konseling dalam lintas budaya. Secara
proses pembudayaan. Ali Saifullah singkat konseling lintas budaya diartikan
(1982) menyatakan bahwa “pendidikan konseling yang dilakukan dalam budaya
adalah gejala kebudayaan yang yang berbeda. Pederson (1990), Ive
mengandung arti bahwa pendidikan dkk,(1993) menyebut bahwa konseling
hanya diadakan dan dilaksanakan lintas budaya merupakan “fourt force”
olehmakhluk berbudaya”. Berbagai atau kekuatan keempat dalam gerakan
rumusan pendidikan lama menekankan konseling, yaitu setelah gerakan
pendidikan sebagai kegiatan mewariska psikodinamik. Asumsi dasar konseling
nilai genarasi lama dengan generasi lintas budaya adalah bahwa individu yang
baru,baik nilai inlektual, moral, sosila, terlibat dalam konseling itu hidup dan
estetika dan sebagainya, yang dan di bentuk oleh lingkungan budaya,
kesemuaanya itu merupakan kebudayaan baik keluarga maupun masyarakat.
manusia. Meskipun pendidikan bukan Dalam hal ini Ivey dkk.(1995:5)
semata memiliki fungsi transformasi, mengemukakan “ masalah –masalah
Dipublikasikan oleh: Program Studi Bimbingan dan Konseling FKIP Universitas Muria Kudus
Jurnal Konseling GUSJIGANG
Vol. 1 No. 2 Tahun 2015 ISSN 2460-1187

individu dan keluarga seringkali yang memecahbelah secara meningkat


bersumber dari faktor lingkungan atau pula (Hansen, L. S., 1997:41). Hal ini
luar, seperti kemiskinan, ras, jenis menjelaskan pandangan, bahwa
kelamin, dan sebagainya. dibutuhkan pendekatan baru untuk
Dalam proses konseling, konselor kehidupan pada abad-21, baik yang
maupun klien membawa karakteristik- melingkup pendidikan bagi orang biasa
karakteristik psikologinya. Seperti maupun profesional dalam bidang lintas
kecerdasan, bakat, minat, sikap, motivasi, serta keragaman budaya. Pendidikan
kehendak dan tendensi-tendensi yang dimaksud hendaknya menegaskan
kepribadian lainnya. sejauh ini, di dimensi-dimensi keragaman dan
Indonesia banyak perhatian diberikan perbedaan. Dengan kata lain,
terhadap aspek-aspek psikologis tersebut kecenderungan pendidikan yang
(terutama pada pihak klien), dan masih berwawasan lintas budaya sangat
kurang perhatian diberikan terhadap latar dibutuhkan dalam kehidupan manusia
belakang budaya konselor maupun klien abad-21.
yang ikut membentuk perilakunya dan Dalam bidang konseling dan
menentukan efektivitas proses konseling psikologi, pendekatan lintas budaya
(Bolton-Brownlee, 1987). Misalnya, dipandang sebagai kekuatan keempat
etnik, afiliasi kelompok, keyakinan, nilai- setelah pendekatan psikodinamik,
nilai, norma-norma, kebiasaan, bahasa behavioral dan humanistik (Paul
verbal maupun non verbal, dan termasuk Pedersen, 1991). Suatu masalah yang
bias-bias yang dibawa dari budayanya. berkaitan dengan lintas budaya adalah
Counselor Encapsulation bahwa orang mengartikannya secara
mrupakan kondisi bisa yang mengekang berlain-lainan atau berbeda, yang
konselor untuk terus berpegang teguh mempersulit untuk mengetahui maknanya
pada akar budayanya sendiri tanpa secara pasti atau benar. Dapat dinyatakan,
memandang kebutuhan untuk mencari bahwa konseling lintas budaya telah
sudut pandang lain terutama sudut diartikan secara beragam dan berbeda-
pandang budaya konseli. Kondisi beda; sebagaimana keragaman dan
semacam ini membuat konselor perbedaan budaya yang memberi artinya.
cenderung terteutup dan berperilaku Definisi-definisi awal tentang
resisten pada kebenaran-kebenaran yang lintas budaya cenderung untuk
sebenarnya bida dimunculkan dari sudut menekankan pada ras, etnisitas, dan
pandang konseli dan budayanya. sebagainya; sedangkan para teoretisi
mutakhir cenderung untuk
PEMBAHASAN mendefinisikan lintas budaya terbatas
Isu-isu tentang antar atau lintas pada variabel-variabelnya (Sue dan Sue,
budaya yang disebut juga multibudaya 1990). Namun, argumen-argumen yang
meningkat dalam dekade 1960-an, yang lain menyatakan, bahwa lintas budaya
selanjutnya melatari kesadaran bangsa harus melingkupi pula seluruh bidang
Amerika pada dekade 1980-an. Namun, dari kelompok-kelompok yang tertindas,
rupanya kesadaran itu disertai dengan bukan hanya orang kulit berwarna,
kemunculan kembali sikap-sikap rasialis dikarenakan yang tertindas itu dapat
Dipublikasikan oleh: Program Studi Bimbingan dan Konseling FKIP Universitas Muria Kudus
Jurnal Konseling GUSJIGANG
Vol. 1 No. 2 Tahun 2015 ISSN 2460-1187

berupa gender, kelas, agama, berbeda, dan karena itu proses konseling
keterbelakangan, bahasa, orientasi sangat rawan oleh terjadinya bias-bias
seksual, dan usia (Trickett, Watts, dan budaya pada pihak konselor yang
Birman, 1994). mengakibatkan konseling tidak berjalan
Para ahli dan praktisi lintas efektif. Agar berjalan efektif, maka
budaya pun berbeda paham dalam konselor dituntut untuk memiliki
menggunakan pendekatan universal atau kepekaan budaya dan melepaskan diri
etik, yang menekankan inklusivitas, dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat
komonalitas atau keuniversalan mengapresiasi diversitas budaya, dan
kelompok-kelompok; atau pendekatan memiliki keterampilan-keterampilan yang
emik (kekhususan-budaya) yang responsif secara kultural. Dengan
menyoroti karakteristik-karakteristik khas demikian, maka konseling dipandang
dari populasi-populasi spesifik dan sebagai “perjumpaan budaya” (cultural
kebutuhan-kebutuhan konseling khusus encounter) antara konselor dan klien
mereka. Namun, Fukuyama (1990) yang (Supriadi, 2001:6).
berpandangan universal pun menegaskan, Konselor Dalam Konseling Lintas
bahwa pendekatan inklusif disebut pula Budaya
konseling “transcultural” yang Ketidak efektifan konseling lintas
menggunakan pendekatan emik; budaya dapat disebabkan oleh faktor
dikarenakan titik anjak batang tubuh konselor, yaitu konselor yang tidak
literaturnya menjelaskan karakteristik- memperoleh pendidikan/latihan dan
karakteristik, nilai-nilai, dan teknik- pengalaman tentang konseling lintas
teknik untuk bekerja dengan populasi budaya (Ivey,1981) konseling yang
spesifik yang memiliki perbedaan budaya terkukung dalam budayanya sendiri
dominan. (cultural encapsulation) dan yakin tidak
Tampaknya konsep konseling memiliki kesadaran/kepekaan budaya.
lintas budaya yang melingkupi dua Bagi konselor yang memberikan layanan
pendekatan tersebut dapat dipadukan konseling lintas budaya, kualifikasi
sebagai berikut. Konseling lintas budaya tersebut terkait dengan beragamnya
adalah pelbagai hubungan konseling yang budaya klienyang dilayani,sehingga
melibatkan para peserta yang berbeda kualifikasi konselor sangat luas dan
etnik atau kelompok-kelompok minoritas; mungkin bebeda antara satu klien dengan
atau hubungan konseling yang klien lain. Konselor yang memberikan
melibatkan konselor dan klien yang pelayanan konseling lintas budaya, harus
secara rasial dan etnik sama, tetapi memiliki kopetensi profesional.
memiliki perbedaan budaya yang Beberapa jenis ketrampilan yang harus
dikarenakan variabelvariabel lain seperti dimiliki konselor dalam konseling lintas
seks, orientasi seksual, faktor sosio- budaya dan selalu diaktifkan dengan
konteks budaya antara lain:
ekonomik, dan usia (Atkinson, Morten,
a. Ketrampilan menyiapkan tata formasi
dan Sue, 1989:37). atau menyiapkan konteks seperti
Konseling lintas budaya menyiapkan tempat
melibatkan konselor dan klien yang konseling,suasana ruangan, dekorasi
berasal dari latar belakang budaya yang dan sebagainya.
Dipublikasikan oleh: Program Studi Bimbingan dan Konseling FKIP Universitas Muria Kudus
Jurnal Konseling GUSJIGANG
Vol. 1 No. 2 Tahun 2015 ISSN 2460-1187

b. Keterampilan memperhatikan untuk kelompok bawah. Sikap pasif klien


(attending skills) yang bersumber dari kendala-kendala
c. Ketrampilan mengeksplorasikan budayanya berbeda sekali dengan klien
masalah.
yang diam karena enggan
d. Keterampilan dalam
menngembangkan inisiatif mengungkapkan diri, dikenal dengan the
(merumuskan tujuan,mengembangkan reluctant client (Dyer & Vriend, 1977)
program). sebagai ekspresi penolakannya terhadap
e. Ketrampilan dalam mempengaruhi konselor.
atau pemilihan strategi, seperti : Relevansi teori-teori utama dalam
ketrampilan menginterpretasi, konseling dan psikoterapi yang lahir
ketrampilan memilih setrategi
dalam masyarakat Barat untuk diterapkan
bantuan yang tepat, ketrampilan
memberi pengaruh, ketrampilan di semua konteks sosial budaya di dunia
memberkan dukungan (reassurance), dipertanyakan, bahkan oleh para ahli di
ketrampilan memberikan advisi atau Negara Barat sendiri. Wohl (1986)
informasi, ketrampilan memberikan misalnya menunjukkan resiko yang
umpan balik, ketrampilan logical timbul apabila teori-teori utama dalam
consequences, ketrampilan konseling (Rogerian, Freudian, Adlerian,
influencing summary dan sebagainya.
Traits And Factor Theory.
Berbagai keterampilan tersebut
Eksistensialisme) diterapkan begitu saja
akan dikomunikasikan secara berbeda
di tempat lain, mengingat konteks budaya
pada klien yang berbeda budayanya.
tempat teori-teori itu lahir sangat berbeda.
Dalam hal ini, teori-teori konseling yang
Secara jujur ia mengatakan bahwa
telah dianggap mapan dan diterima luas
“verbal psychotherapy, especially of the
sekalipun tetap mengandung bias budaya.
psychodynamic and psychoanalytic
Nathan Deen (1985) memberikan contoh
orientations, has not traveled well
bahwa model Rogerian (dari Carl Rogers)
beyond international and cultural
yang dikenal dengan konseling yang
frontiers”. Bias budaya dalam teori
berpusat pada klien (Client Centered
konseling dan psikoterapi secara tegas
Counseling)- mengandung bias budaya
dilukiskan pula oleh Pande (Wohl, 1986:
apabila diterapkan kepada semua orang
139) dengan kata-kata : “that
tanpa kecuali. Konseling ini
psychotherapy was a Western reaction to
mengandalkan kemampuan klien untuk
pecualiarly Western problems of living
mengungkapkan pikiran dan perasaannya
rooted in Western styke of life”.
secara verbal dan artikulatif yang dengan
Dari penelitian Harrison
itu hubungan konseling dibangun.
(Atkinson, 1985: 193) diketahui misalnya
Menurut penelitian, di negera-
bahwa klien cenderung lebih menyukai
negara Barat sekalipun, kemampuan itu
konselor dari ras yang sama. Hal ini
tidak dimiliki oleh semua orang dari
sesuai dengan apa yang dalam
semua strata sosial. Kemampuan
komunikasi disebut heterophily dan
mengungkapkan pikiran dan perasaan
homophily (Rogers: 1983: 18-19).
secara artikulatif hanya dimiliki oleh
Menurutnya, komunikasi yang efektif
kelompok masyarakat dari kelas
terjadi apabila dua individu memiliki
menengah ke atas, dan tidak berlaku
banyak kesamaan (homophilous). Dan
Dipublikasikan oleh: Program Studi Bimbingan dan Konseling FKIP Universitas Muria Kudus
Jurnal Konseling GUSJIGANG
Vol. 1 No. 2 Tahun 2015 ISSN 2460-1187

begitu pun sebaliknya. Ras dan etnik sebagai sesuatu yang dapat mengganggu
merupakan identitas dasar yang secara persepsi klien terhadap konselor.
tidak disadari mengikat individu-individu Counselor Encapsulation
dalam etnik/ras yang bersangkutan, yang Ekapsulasi mengacu pada keadaan
menurut arl Gustav Jung disebut ketidak manusia yang sangat yakin tentang
sadaran kolektif yang bersifat primordial keberadaan persepsinya atas realita oleh
yang diwariskan dari generasi ke karena terdapatnya keterbatasan-
generasi. keterbatasan bagi diri manusia, dia hanya
Efektivitas proses konseling juga memiliki gambaran yang tidak lengkap
dipegaruhi oleh sifat-sifat psikologis dan tidak akurat tentang keadaan
yang terkait dengan latar belakang sebenarnya. Ada diantara kita yang hanya
etnik/budaya konselor. Draguns (1986: 8) mementingkan diri sendiri dengan
memberikan contoh bahwa konselor kulit pendapat sendiri (berdasarkan pandangan
putih lebih banyak menggunakan ilustrasi atau pendapat turunan dengan dasar
dengan didominasi perilaku individual, menghormati leluhur yang sakral)
sedangkan konselor kulit hitam padahal konsep tersebut tidak berarti apa-
menggunakan ungkapan individual apa bagi pengembangan pendidikan masa
maupun sosial. Triandis (1986) yang depan. Konsep ini disebut dengan taklit
dianggap sebagai pelopor psikologi atau pemikiran yang lahir atas
Lintas Budaya mendekati isu konseling inisitif/fikiran sendiri bukan dari hasil
lintas budaya dari segi perbedaan budaya diskusi, hasil penelitian sehingga konsep
individualistic dan kolektif. Budaya taklit selalu beretentangan dengan
individualistic adalah cirri masyarakat kenyataan. Itulah yang disebut dengan
Barat, sedangkan budaya Timur dan enkapsulasi bagi diri seseorang yan
Amerika Latin adalah kolektif. Dalam berpandangan konvensional mengagung-
budaya kolektif, perilaku sangat agungkannya ke khalayak ramai (Yarmis
ditentukan oleh keanggotaan kelompok Syukur, 2007). Apabila konsep
dan kebersamaan dan harmoni. enkapsulasi ini berkembang dalam dunia
Sedangkan budaya individualistik oleh pendidikan maka hasilnya akan menjadi
“pilihan pribadi” dan kebebasan. rendah dan murahan atau low quality.
Budaya kolektif lebih banyak Keadaan ini bukan saja bersifat kultural
memiliki power distance, yaitu orang tetapi juga fisiologis dan psikologis
yang mempunyai kedudukan tinggi dan manusia itu sendiri. Enkapsulasi dapat
berbeda dalam masyarakat, sedangkan terjadi oleh dua fakta yaitu keterbatasan
dalam budaya individualistic power fisiologis dan keterbatasan psikologis.
distance lebih rendah dan hubungan pun Kedua keterbatasan ini dikemukakan
lebih egaliter. Dikaitkan dengan secara rinci oleh Zais (1976, hal 219 –
konseling, dalam konteks di mana power 229) yang secara pendek dapat
distance tinggi, hubungan konselor dan dikemukakan sebagai berikut.
klien menjadi lebih berjarak dank lien Secara genetika dan fisiologis,
tergantung pada konselor. Usaha konselor manusia dibatasi kemampuan untuk
untuk mengurangi jarak bisa dianggap melihat dunia sekelilingnya. Manusia
hanya mampu mendengar suara antara 20
Dipublikasikan oleh: Program Studi Bimbingan dan Konseling FKIP Universitas Muria Kudus
Jurnal Konseling GUSJIGANG
Vol. 1 No. 2 Tahun 2015 ISSN 2460-1187

– 20.000 saikel per detik (Pincak, 2008), banyaknya orang yang lemah
di luar skala ini dia tidak mendengar apa- memahami konsep-konsep
apa. Kemampuan melihat hanya 1/70 dari abstrak seperti terdapat dalam
mata pelajaran matematika, dan
keseluruhan panjang gelombang cahaya
banyak orang merasa kesulitan
(Mustafa, 2009). Keterbatasan mengingat untuk memahami metafor yang
nomor handphone yang berjumlah 11 terdapat dalam karya-karya
atau 12 digit, keterbatasan manusia kesusasteraan.
mengembangkan budaya, keterbatasan 3. Banyak orang yang berpikir
manusia dalam membaca, keterbatasan irasional, walau berpikir rasional
manusia dari segi umur, keterbatasan merupakan “merek”nya manusia
saja, dan tidak dimiliki oleh
manusia dari segi tenaga, keterbatasan
makluk lain.
manusia dalam mencium dan mencicip, Dari fenomena di atas, sebagai
dan lain-lain. Oleh karena itu manusia manusia baik yang terdidik maupun yang
memandang dunia ini seperti seperangkat tidak, petani, nelayan, pedagang,
indera fisiologisnya yang diyakininya Konselor, PNS, dosen, dan lain-lain perlu
sangat akurat, pada hal sebenarnya hanya diperbanyak belajar dalam jenis apapun
benar menurut pandangan manusia itu agar ilmu kita yang sedikit bisa menjadi
saja. Kemampuan manusia itu hanya lebih banyak dan tajam dalam berfikir.
terbatas sekali, hanya sedikit sekali ilmu Pendidikan adalah wadah bagi manusia
yang diberikan oleh yang Maha Pencipta untuk belajar, tidak perduli dari kalangan
kepada manusia (baca cerita perjalana mana ia berasal yang penting harus
Nabi Musa as dengan Nabi Khaidir as belajar supaya tidak terkungkung dalam
dalam Qur’an). bentuk kapsul pengetahuan yang sempit,
Banyak sekali fakta-fakta Tidak seperti “Katak Dalam Tempurung”
psikologis yang membuat manusia merasa akulah yang paling hebat diantara
terkurung dalam kapsulnya untuk maksud sekian. Apabila perkataan yang
kajian kurikulum, kita hanya mengambil dilontarkan “Akulah yang paling” maka
beberapa hal yang sangat penting saja akan tercabut sebagian ilmu yang
dari Zais (1976, hal 220), sebagai berikut: diberikan oleh Allah swt karena
1. Kemampuan manusia untuk sebenarnya yang berhak sombong adalah
belajar dan berpikir sangat
yang Maha Pencipta Bumi dan Langit
terbatas. Umpamanya, seperti
yang dikemukakan Royce (dalam beserta isinya.
Zais, 1976 hal 220), daya ingat Kajian lain adalah betapa
manusia sangat terbatas sehingga sumpurnanya manusia diciptakan
cepat lupa akan hal-hal yang dibanding dengan mahluk-mahluk lain,
mungkin berguna pada manusia dijadikan sebagai khalifah di
perkembangan pendidikan. bumi untuk memimpin dan mengatur
Sebagian besar orang tidak dapat
kehidupan dalam tuntunan. Itulah
mengulang 10 angka yang telah
didiktekan kepada mereka. pendidikan, maka tak pelik lagi bahwa
2. Kemampuan manusia pendidikan berjalan dengan sebaik
mengkonsepsikan ide-ide yang mungkin apabila pelaku pendidikan
abstrak dan mengaitkan ide-ide tersebut tidak terkungkung dalam satu
tersebut sangat terbatas, seperti kapsul atau ruangan sempit akan tetapi
Dipublikasikan oleh: Program Studi Bimbingan dan Konseling FKIP Universitas Muria Kudus
Jurnal Konseling GUSJIGANG
Vol. 1 No. 2 Tahun 2015 ISSN 2460-1187

berfikir luas dan supel serta universal seperti perbedaan bahasa, stereotip,
sehingga akan melahirkan generasi yang prasangka dan rasisme.
berkualitas dalam berbagai komponen Untuk bias yang pertama adalah
keilmuan. stereotip, konselor misalnya
Apabila dalam memberikan memperlakukan klien dari keluarga kaya
teratmen seorang konselor mampu lebih baik daripada klien yang berasal
memberikan banyak sudut pandang maka dari keluarga miskin, lebih memihak gaya
tidak akan terjadi gap antara siswa hidup kota ketika melayani klien yang
dengan Konselor lain atau Konselor berasal dari desa, lebih siap menerima
dengan siswa. Konselor yang klien dari suku atau agama yang sama
professional memiliki ciri-ciri yang bijak daripada klien yang berbeda. Stereotip
dengan menanamkan disiplin tinggi bagi mengandung segi negative karena: (a)
semua kliennya (anak didik atau dapat memberikan stigma kepada
temannya). Adalah ciri-ciri Konselor seseorang seakan-akan sesuatu itu benar
yang terikat/terkurung dalam sebuah padahal itu benar. (b) seakan-akan sifat
kapsul tanpa memiliki kebjikakan yang tertentu berlaku untuk setiap individu
tinggi dalam pelaksanaan proses dalam kelompok yang bersangkutan. (c)
konseling sehingga menimbulkan kesan dapat menjadi “self-fulfilling prophecy”
monoton atau kaku dan tidak menarik bagi seseorang yang terkena stereotip- ia
bagi konseli dan Konselor model ini melakukan sesuatu karena telah dicap
perlu mendapatkan pembelajaran demikian.
bimbingan konseling dari Konselor- Prasangka adalah kebencian,
Konselor yang berpengalaman dalam kecurigaan, dan rasa tidak suka yang
menangani permasalahan. sifatnya irrasional terhadap kelompok
Konselor/pendidik adalah tugas mulia etnik, ras, agama, atau komunitas
karena menanamkan kebijakan yang tertentu. Seseorang dilihat bukan
positif dalam peraturan yang ada (Aman, berdasarkan apa yang dilakukannya,
2011). melainkan berdasarkan karakteristik yang
Tantangan Lain Dalam Konseling superficial bahwa dia itu anggota suatu
Lintas Budaya kelompok. Orang yang memiliki
Selain kencenderungan kecenderungan kuat berprasangka akan
mengungkung diri dalam proses sulit berubah sikapnya, meskipun
konseling, ada beberapa tantangan lain kepadanya telah diberikan informasi yang
yang menghalangi efektifitas konseling sebaliknya. Dalam hubungan antar etnik,
lintas budaya. Dalam masyarakat ras, agama, dan kleompok masyarakat di
multikultural, konseling dihadapkan pada dunia, prasangka masih sangat tebal.
berbagai kendala dan sangat potensial Rasisme adalah setiap kebijakan,
untuk terjadinya bias. Hal ini merentang praktik, kepercayaan, dan sikap yang
dari perbedaan yang sifatnya “halus” dan diterapkan kepada kelompok individu
kadang-kadang tidak disadari seperti berdasarkan rasnya (Jandt, 1998: 79).
yang bersumber dari variable-variabel Rasisme lebih berbahaya daripada
perbedaan status sosial-ekonomi, asal prasangka karena disertai penggunaan
daerah dan gender, hingga yang “nyata” kekuatan untuk menekan kelompok lain
Dipublikasikan oleh: Program Studi Bimbingan dan Konseling FKIP Universitas Muria Kudus
Jurnal Konseling GUSJIGANG
Vol. 1 No. 2 Tahun 2015 ISSN 2460-1187

yang biasanya minoritas. Sikap seperti ini budaya lain dengan tetap selektif
dapat ditemukan di dunia di bagian pada nilai-nilai budaya lain yang
manapun sepanjang sejarah. Misalnya, dipelajari
kekejaman yang dialami bangsa-bangsa 2. Konselor harus menghindarkan diri
Eropa Utara berambut Pirang oleh dari kecenderungan stereotip dan
Tentara Romawi pada dua ribu tahun rasis sehingga apapun nilai budaya
yang lalu yang diabadikan dalam yang sengaja atau tidak sengaja
Collosium di Roma, dan lain sebagainya. terungkap dari konseli bisa
Sama halnya dengan stereotip dan dimanfaatkan sebagai cara untuk
prasangka, konselor lintas budaya juga membantu mengentaskan masalah
harus mampu melepaskan diri dari sikap- konseli.
sikap yang cenderung rasis berdasarkan
prinsip yang telah dikenal, yaitu DAFTAR PUSTAKA
“menerima klien apa adanya dan tanpa
Mustafa, A. 2009. Sain dan teknologi
syarat.
dalam Pendidikan. Jakarta:
Salemba.
SIMPULAN DAN SARAN
Pincak, J. 2008. Technology for the
Kesimpulan
Scientists. Ohio: Ohio State
Sebagai maksluk berbudaya University.
seorang manusia pasti memiliki nilai-
Prayitno dan E. Amti. 1994. Dasar-
nilai budaya yang dianut dan dijadikan
Dasar Bimbingan dan Konseling.
pedoman dalam kehidupannya. Seperti Semarang: Rineka Cipta.
juga manusia dalam profesi yang lain,
Supriadi, D. 2001. Konseling Lintas
konselor juga memiliki nilai-nilai budaya
Budaya: Isu-Isu dan Relevansinya
yang dianut dan dipedomani sebagai nilai di Indonesia. Bandung: Universitas
kebenaran dalam menjalani hidup. Akan Pendidikan Indonesia.
tetapi, seberapapun besar dan kuat nilai
Syukur, Y. 2009. Kurikulum dan
budaya konselor mengikat dan mengakar Pembelajaran yang Tepat Guna.
pada diri konselor, seroang konselor tidak Padang: UNP Padang.
boleh terus mengungkung dirinya
Winkel, W.S. 1994. Bimbingan dan
sehingga bisa dari nilai-nilai kebenaran Konseling di Sekolah. Jakarta:
yang mungkin saja muncul dari sudut Rineka Cipta.
pandang budaya yang berbeda utamanya
Zais. 1976. Curriculum in Education.
dari konseli. Ohio: Ohio State University.
Saran
1. Konselor hendaknya lebih peka
budaya dan membuka diri pada

Dipublikasikan oleh: Program Studi Bimbingan dan Konseling FKIP Universitas Muria Kudus

Anda mungkin juga menyukai