Masturi
Program Studi Bimbingan dan Konseling
FKIP Universitas Muria Kudus
e-mail : masturi@umk.ac.id
Keywords:
Counselor
Encapsulation, Cross
Cultural Counseling
Abstract
Counselor Encapsulation is a counselor tendency to confine
himself to the truth of his own culture so it tends to be resistant
to the truth of other cultures. Cross Cultural Counseling
Services requires cultural sensitivity of counselors in order to
avoid bias substance counseling. Therefore, the tendency to
perform encapsulation counselors themselves should be
suppressed in order not to appear as a cross-cultural counseling
services implemented.
Dipublikasikan oleh: Program Studi Bimbingan dan Konseling FKIP Universitas Muria Kudus
Jurnal Konseling GUSJIGANG
Vol. 1 No. 2 Tahun 2015 ISSN 2460-1187
PENDAHULUAN
Bimbingan dan Konseling (BK) tetapi juga memiliki fungsi kreasi atau
merupakan bentuk pelayanan dengan istilah Ali Saigfullah (1983)
kemanusiaan, sebab BK hanya diberikan menyebut bersifat reflektif dan progresif.
oleh dan untuk manusia. Layanan BK Jones, Staffler dan Stewert
bertujuan untuk membangun manusia (1970), Surya (1988) Prayitno dan Amti
yang utuh, sebagai makhluk pribadi, (1994) Depdikbud (1994) menunjukan
sosial dan makhluk Tuhan (Prayitno, ada beberapa unsur diantaranya adalah
1994). Manusia sebagai subjek dan objek membantu orang yang di bimbing
layanan BK adalah makhluk yang mengatasi masalah, menyesuaikan diri,
berbudaya, bahkan mereka pencipta, mengembangkan diri, sesuai dengan
pemakai dan pengembang budaya. norma-norma yang berlaku, merencana
Undang-undang No.2 tahun 1989 pasal 1 masa depan. Sebagai bagian usaha
menyebut bahwa bimbingan konseling pendidikan, maka BK memiliki fungsi
salah satu bentuk pendidikan. Mortensen transfomasi dan kreasi kebudayaan.fungsi
dan Schemuller (1976) Tohari Musnamar transformasi terlihat dala pelayanan BK
(1986) Tijjan dkk. (1993) menyatakan yang membantu subjek yang di bimbing
bahwa bimbingan dan konseling dapat mengatasi masalah,menyesuaikan
merupakan bagian yang integral dalam diri, atau berperilaku sesuai dengan
sistem pendidikan .meskipun bimbingan budaya( nilai,norma,tata hubungan) yang
konseling merupakan bagian yang ada dalam masyarakat.fungsi kreasi
integral dalam pendidikan, dalam konteks kebudayaan terlihat dalam budaya BK
layanan profesional, tidak semua usaha yang membantu aktualisasi dan
pendidikan dapat di sebut bimbingan optimalisasi seluruh potensi subjek
konseling. bimbingan perencanaan masa depan.
Berbagai rumusan tentang Istilah konseling lintas budaya
pendidikan secara umum dapat dikatakan merupakan panduan dari dua istilah yaitu
bahwa pendidikan sebenarnya adalah konseling dalam lintas budaya. Secara
proses pembudayaan. Ali Saifullah singkat konseling lintas budaya diartikan
(1982) menyatakan bahwa “pendidikan konseling yang dilakukan dalam budaya
adalah gejala kebudayaan yang yang berbeda. Pederson (1990), Ive
mengandung arti bahwa pendidikan dkk,(1993) menyebut bahwa konseling
hanya diadakan dan dilaksanakan lintas budaya merupakan “fourt force”
olehmakhluk berbudaya”. Berbagai atau kekuatan keempat dalam gerakan
rumusan pendidikan lama menekankan konseling, yaitu setelah gerakan
pendidikan sebagai kegiatan mewariska psikodinamik. Asumsi dasar konseling
nilai genarasi lama dengan generasi lintas budaya adalah bahwa individu yang
baru,baik nilai inlektual, moral, sosila, terlibat dalam konseling itu hidup dan
estetika dan sebagainya, yang dan di bentuk oleh lingkungan budaya,
kesemuaanya itu merupakan kebudayaan baik keluarga maupun masyarakat.
manusia. Meskipun pendidikan bukan Dalam hal ini Ivey dkk.(1995:5)
semata memiliki fungsi transformasi, mengemukakan “ masalah –masalah
Dipublikasikan oleh: Program Studi Bimbingan dan Konseling FKIP Universitas Muria Kudus
Jurnal Konseling GUSJIGANG
Vol. 1 No. 2 Tahun 2015 ISSN 2460-1187
berupa gender, kelas, agama, berbeda, dan karena itu proses konseling
keterbelakangan, bahasa, orientasi sangat rawan oleh terjadinya bias-bias
seksual, dan usia (Trickett, Watts, dan budaya pada pihak konselor yang
Birman, 1994). mengakibatkan konseling tidak berjalan
Para ahli dan praktisi lintas efektif. Agar berjalan efektif, maka
budaya pun berbeda paham dalam konselor dituntut untuk memiliki
menggunakan pendekatan universal atau kepekaan budaya dan melepaskan diri
etik, yang menekankan inklusivitas, dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat
komonalitas atau keuniversalan mengapresiasi diversitas budaya, dan
kelompok-kelompok; atau pendekatan memiliki keterampilan-keterampilan yang
emik (kekhususan-budaya) yang responsif secara kultural. Dengan
menyoroti karakteristik-karakteristik khas demikian, maka konseling dipandang
dari populasi-populasi spesifik dan sebagai “perjumpaan budaya” (cultural
kebutuhan-kebutuhan konseling khusus encounter) antara konselor dan klien
mereka. Namun, Fukuyama (1990) yang (Supriadi, 2001:6).
berpandangan universal pun menegaskan, Konselor Dalam Konseling Lintas
bahwa pendekatan inklusif disebut pula Budaya
konseling “transcultural” yang Ketidak efektifan konseling lintas
menggunakan pendekatan emik; budaya dapat disebabkan oleh faktor
dikarenakan titik anjak batang tubuh konselor, yaitu konselor yang tidak
literaturnya menjelaskan karakteristik- memperoleh pendidikan/latihan dan
karakteristik, nilai-nilai, dan teknik- pengalaman tentang konseling lintas
teknik untuk bekerja dengan populasi budaya (Ivey,1981) konseling yang
spesifik yang memiliki perbedaan budaya terkukung dalam budayanya sendiri
dominan. (cultural encapsulation) dan yakin tidak
Tampaknya konsep konseling memiliki kesadaran/kepekaan budaya.
lintas budaya yang melingkupi dua Bagi konselor yang memberikan layanan
pendekatan tersebut dapat dipadukan konseling lintas budaya, kualifikasi
sebagai berikut. Konseling lintas budaya tersebut terkait dengan beragamnya
adalah pelbagai hubungan konseling yang budaya klienyang dilayani,sehingga
melibatkan para peserta yang berbeda kualifikasi konselor sangat luas dan
etnik atau kelompok-kelompok minoritas; mungkin bebeda antara satu klien dengan
atau hubungan konseling yang klien lain. Konselor yang memberikan
melibatkan konselor dan klien yang pelayanan konseling lintas budaya, harus
secara rasial dan etnik sama, tetapi memiliki kopetensi profesional.
memiliki perbedaan budaya yang Beberapa jenis ketrampilan yang harus
dikarenakan variabelvariabel lain seperti dimiliki konselor dalam konseling lintas
seks, orientasi seksual, faktor sosio- budaya dan selalu diaktifkan dengan
konteks budaya antara lain:
ekonomik, dan usia (Atkinson, Morten,
a. Ketrampilan menyiapkan tata formasi
dan Sue, 1989:37). atau menyiapkan konteks seperti
Konseling lintas budaya menyiapkan tempat
melibatkan konselor dan klien yang konseling,suasana ruangan, dekorasi
berasal dari latar belakang budaya yang dan sebagainya.
Dipublikasikan oleh: Program Studi Bimbingan dan Konseling FKIP Universitas Muria Kudus
Jurnal Konseling GUSJIGANG
Vol. 1 No. 2 Tahun 2015 ISSN 2460-1187
begitu pun sebaliknya. Ras dan etnik sebagai sesuatu yang dapat mengganggu
merupakan identitas dasar yang secara persepsi klien terhadap konselor.
tidak disadari mengikat individu-individu Counselor Encapsulation
dalam etnik/ras yang bersangkutan, yang Ekapsulasi mengacu pada keadaan
menurut arl Gustav Jung disebut ketidak manusia yang sangat yakin tentang
sadaran kolektif yang bersifat primordial keberadaan persepsinya atas realita oleh
yang diwariskan dari generasi ke karena terdapatnya keterbatasan-
generasi. keterbatasan bagi diri manusia, dia hanya
Efektivitas proses konseling juga memiliki gambaran yang tidak lengkap
dipegaruhi oleh sifat-sifat psikologis dan tidak akurat tentang keadaan
yang terkait dengan latar belakang sebenarnya. Ada diantara kita yang hanya
etnik/budaya konselor. Draguns (1986: 8) mementingkan diri sendiri dengan
memberikan contoh bahwa konselor kulit pendapat sendiri (berdasarkan pandangan
putih lebih banyak menggunakan ilustrasi atau pendapat turunan dengan dasar
dengan didominasi perilaku individual, menghormati leluhur yang sakral)
sedangkan konselor kulit hitam padahal konsep tersebut tidak berarti apa-
menggunakan ungkapan individual apa bagi pengembangan pendidikan masa
maupun sosial. Triandis (1986) yang depan. Konsep ini disebut dengan taklit
dianggap sebagai pelopor psikologi atau pemikiran yang lahir atas
Lintas Budaya mendekati isu konseling inisitif/fikiran sendiri bukan dari hasil
lintas budaya dari segi perbedaan budaya diskusi, hasil penelitian sehingga konsep
individualistic dan kolektif. Budaya taklit selalu beretentangan dengan
individualistic adalah cirri masyarakat kenyataan. Itulah yang disebut dengan
Barat, sedangkan budaya Timur dan enkapsulasi bagi diri seseorang yan
Amerika Latin adalah kolektif. Dalam berpandangan konvensional mengagung-
budaya kolektif, perilaku sangat agungkannya ke khalayak ramai (Yarmis
ditentukan oleh keanggotaan kelompok Syukur, 2007). Apabila konsep
dan kebersamaan dan harmoni. enkapsulasi ini berkembang dalam dunia
Sedangkan budaya individualistik oleh pendidikan maka hasilnya akan menjadi
“pilihan pribadi” dan kebebasan. rendah dan murahan atau low quality.
Budaya kolektif lebih banyak Keadaan ini bukan saja bersifat kultural
memiliki power distance, yaitu orang tetapi juga fisiologis dan psikologis
yang mempunyai kedudukan tinggi dan manusia itu sendiri. Enkapsulasi dapat
berbeda dalam masyarakat, sedangkan terjadi oleh dua fakta yaitu keterbatasan
dalam budaya individualistic power fisiologis dan keterbatasan psikologis.
distance lebih rendah dan hubungan pun Kedua keterbatasan ini dikemukakan
lebih egaliter. Dikaitkan dengan secara rinci oleh Zais (1976, hal 219 –
konseling, dalam konteks di mana power 229) yang secara pendek dapat
distance tinggi, hubungan konselor dan dikemukakan sebagai berikut.
klien menjadi lebih berjarak dank lien Secara genetika dan fisiologis,
tergantung pada konselor. Usaha konselor manusia dibatasi kemampuan untuk
untuk mengurangi jarak bisa dianggap melihat dunia sekelilingnya. Manusia
hanya mampu mendengar suara antara 20
Dipublikasikan oleh: Program Studi Bimbingan dan Konseling FKIP Universitas Muria Kudus
Jurnal Konseling GUSJIGANG
Vol. 1 No. 2 Tahun 2015 ISSN 2460-1187
– 20.000 saikel per detik (Pincak, 2008), banyaknya orang yang lemah
di luar skala ini dia tidak mendengar apa- memahami konsep-konsep
apa. Kemampuan melihat hanya 1/70 dari abstrak seperti terdapat dalam
mata pelajaran matematika, dan
keseluruhan panjang gelombang cahaya
banyak orang merasa kesulitan
(Mustafa, 2009). Keterbatasan mengingat untuk memahami metafor yang
nomor handphone yang berjumlah 11 terdapat dalam karya-karya
atau 12 digit, keterbatasan manusia kesusasteraan.
mengembangkan budaya, keterbatasan 3. Banyak orang yang berpikir
manusia dalam membaca, keterbatasan irasional, walau berpikir rasional
manusia dari segi umur, keterbatasan merupakan “merek”nya manusia
saja, dan tidak dimiliki oleh
manusia dari segi tenaga, keterbatasan
makluk lain.
manusia dalam mencium dan mencicip, Dari fenomena di atas, sebagai
dan lain-lain. Oleh karena itu manusia manusia baik yang terdidik maupun yang
memandang dunia ini seperti seperangkat tidak, petani, nelayan, pedagang,
indera fisiologisnya yang diyakininya Konselor, PNS, dosen, dan lain-lain perlu
sangat akurat, pada hal sebenarnya hanya diperbanyak belajar dalam jenis apapun
benar menurut pandangan manusia itu agar ilmu kita yang sedikit bisa menjadi
saja. Kemampuan manusia itu hanya lebih banyak dan tajam dalam berfikir.
terbatas sekali, hanya sedikit sekali ilmu Pendidikan adalah wadah bagi manusia
yang diberikan oleh yang Maha Pencipta untuk belajar, tidak perduli dari kalangan
kepada manusia (baca cerita perjalana mana ia berasal yang penting harus
Nabi Musa as dengan Nabi Khaidir as belajar supaya tidak terkungkung dalam
dalam Qur’an). bentuk kapsul pengetahuan yang sempit,
Banyak sekali fakta-fakta Tidak seperti “Katak Dalam Tempurung”
psikologis yang membuat manusia merasa akulah yang paling hebat diantara
terkurung dalam kapsulnya untuk maksud sekian. Apabila perkataan yang
kajian kurikulum, kita hanya mengambil dilontarkan “Akulah yang paling” maka
beberapa hal yang sangat penting saja akan tercabut sebagian ilmu yang
dari Zais (1976, hal 220), sebagai berikut: diberikan oleh Allah swt karena
1. Kemampuan manusia untuk sebenarnya yang berhak sombong adalah
belajar dan berpikir sangat
yang Maha Pencipta Bumi dan Langit
terbatas. Umpamanya, seperti
yang dikemukakan Royce (dalam beserta isinya.
Zais, 1976 hal 220), daya ingat Kajian lain adalah betapa
manusia sangat terbatas sehingga sumpurnanya manusia diciptakan
cepat lupa akan hal-hal yang dibanding dengan mahluk-mahluk lain,
mungkin berguna pada manusia dijadikan sebagai khalifah di
perkembangan pendidikan. bumi untuk memimpin dan mengatur
Sebagian besar orang tidak dapat
kehidupan dalam tuntunan. Itulah
mengulang 10 angka yang telah
didiktekan kepada mereka. pendidikan, maka tak pelik lagi bahwa
2. Kemampuan manusia pendidikan berjalan dengan sebaik
mengkonsepsikan ide-ide yang mungkin apabila pelaku pendidikan
abstrak dan mengaitkan ide-ide tersebut tidak terkungkung dalam satu
tersebut sangat terbatas, seperti kapsul atau ruangan sempit akan tetapi
Dipublikasikan oleh: Program Studi Bimbingan dan Konseling FKIP Universitas Muria Kudus
Jurnal Konseling GUSJIGANG
Vol. 1 No. 2 Tahun 2015 ISSN 2460-1187
berfikir luas dan supel serta universal seperti perbedaan bahasa, stereotip,
sehingga akan melahirkan generasi yang prasangka dan rasisme.
berkualitas dalam berbagai komponen Untuk bias yang pertama adalah
keilmuan. stereotip, konselor misalnya
Apabila dalam memberikan memperlakukan klien dari keluarga kaya
teratmen seorang konselor mampu lebih baik daripada klien yang berasal
memberikan banyak sudut pandang maka dari keluarga miskin, lebih memihak gaya
tidak akan terjadi gap antara siswa hidup kota ketika melayani klien yang
dengan Konselor lain atau Konselor berasal dari desa, lebih siap menerima
dengan siswa. Konselor yang klien dari suku atau agama yang sama
professional memiliki ciri-ciri yang bijak daripada klien yang berbeda. Stereotip
dengan menanamkan disiplin tinggi bagi mengandung segi negative karena: (a)
semua kliennya (anak didik atau dapat memberikan stigma kepada
temannya). Adalah ciri-ciri Konselor seseorang seakan-akan sesuatu itu benar
yang terikat/terkurung dalam sebuah padahal itu benar. (b) seakan-akan sifat
kapsul tanpa memiliki kebjikakan yang tertentu berlaku untuk setiap individu
tinggi dalam pelaksanaan proses dalam kelompok yang bersangkutan. (c)
konseling sehingga menimbulkan kesan dapat menjadi “self-fulfilling prophecy”
monoton atau kaku dan tidak menarik bagi seseorang yang terkena stereotip- ia
bagi konseli dan Konselor model ini melakukan sesuatu karena telah dicap
perlu mendapatkan pembelajaran demikian.
bimbingan konseling dari Konselor- Prasangka adalah kebencian,
Konselor yang berpengalaman dalam kecurigaan, dan rasa tidak suka yang
menangani permasalahan. sifatnya irrasional terhadap kelompok
Konselor/pendidik adalah tugas mulia etnik, ras, agama, atau komunitas
karena menanamkan kebijakan yang tertentu. Seseorang dilihat bukan
positif dalam peraturan yang ada (Aman, berdasarkan apa yang dilakukannya,
2011). melainkan berdasarkan karakteristik yang
Tantangan Lain Dalam Konseling superficial bahwa dia itu anggota suatu
Lintas Budaya kelompok. Orang yang memiliki
Selain kencenderungan kecenderungan kuat berprasangka akan
mengungkung diri dalam proses sulit berubah sikapnya, meskipun
konseling, ada beberapa tantangan lain kepadanya telah diberikan informasi yang
yang menghalangi efektifitas konseling sebaliknya. Dalam hubungan antar etnik,
lintas budaya. Dalam masyarakat ras, agama, dan kleompok masyarakat di
multikultural, konseling dihadapkan pada dunia, prasangka masih sangat tebal.
berbagai kendala dan sangat potensial Rasisme adalah setiap kebijakan,
untuk terjadinya bias. Hal ini merentang praktik, kepercayaan, dan sikap yang
dari perbedaan yang sifatnya “halus” dan diterapkan kepada kelompok individu
kadang-kadang tidak disadari seperti berdasarkan rasnya (Jandt, 1998: 79).
yang bersumber dari variable-variabel Rasisme lebih berbahaya daripada
perbedaan status sosial-ekonomi, asal prasangka karena disertai penggunaan
daerah dan gender, hingga yang “nyata” kekuatan untuk menekan kelompok lain
Dipublikasikan oleh: Program Studi Bimbingan dan Konseling FKIP Universitas Muria Kudus
Jurnal Konseling GUSJIGANG
Vol. 1 No. 2 Tahun 2015 ISSN 2460-1187
yang biasanya minoritas. Sikap seperti ini budaya lain dengan tetap selektif
dapat ditemukan di dunia di bagian pada nilai-nilai budaya lain yang
manapun sepanjang sejarah. Misalnya, dipelajari
kekejaman yang dialami bangsa-bangsa 2. Konselor harus menghindarkan diri
Eropa Utara berambut Pirang oleh dari kecenderungan stereotip dan
Tentara Romawi pada dua ribu tahun rasis sehingga apapun nilai budaya
yang lalu yang diabadikan dalam yang sengaja atau tidak sengaja
Collosium di Roma, dan lain sebagainya. terungkap dari konseli bisa
Sama halnya dengan stereotip dan dimanfaatkan sebagai cara untuk
prasangka, konselor lintas budaya juga membantu mengentaskan masalah
harus mampu melepaskan diri dari sikap- konseli.
sikap yang cenderung rasis berdasarkan
prinsip yang telah dikenal, yaitu DAFTAR PUSTAKA
“menerima klien apa adanya dan tanpa
Mustafa, A. 2009. Sain dan teknologi
syarat.
dalam Pendidikan. Jakarta:
Salemba.
SIMPULAN DAN SARAN
Pincak, J. 2008. Technology for the
Kesimpulan
Scientists. Ohio: Ohio State
Sebagai maksluk berbudaya University.
seorang manusia pasti memiliki nilai-
Prayitno dan E. Amti. 1994. Dasar-
nilai budaya yang dianut dan dijadikan
Dasar Bimbingan dan Konseling.
pedoman dalam kehidupannya. Seperti Semarang: Rineka Cipta.
juga manusia dalam profesi yang lain,
Supriadi, D. 2001. Konseling Lintas
konselor juga memiliki nilai-nilai budaya
Budaya: Isu-Isu dan Relevansinya
yang dianut dan dipedomani sebagai nilai di Indonesia. Bandung: Universitas
kebenaran dalam menjalani hidup. Akan Pendidikan Indonesia.
tetapi, seberapapun besar dan kuat nilai
Syukur, Y. 2009. Kurikulum dan
budaya konselor mengikat dan mengakar Pembelajaran yang Tepat Guna.
pada diri konselor, seroang konselor tidak Padang: UNP Padang.
boleh terus mengungkung dirinya
Winkel, W.S. 1994. Bimbingan dan
sehingga bisa dari nilai-nilai kebenaran Konseling di Sekolah. Jakarta:
yang mungkin saja muncul dari sudut Rineka Cipta.
pandang budaya yang berbeda utamanya
Zais. 1976. Curriculum in Education.
dari konseli. Ohio: Ohio State University.
Saran
1. Konselor hendaknya lebih peka
budaya dan membuka diri pada
Dipublikasikan oleh: Program Studi Bimbingan dan Konseling FKIP Universitas Muria Kudus