Anda di halaman 1dari 5

NAMA : DENNY FEBRIANTO

NRP : 120116291
MATA KULIAH : PENGANTAR ILMU HUKUM
KP :A
TUGAS PENGANTAR ILMU HUKUM
PERTANYAAN
Bagaimana terkait dasar hukum (landasan yuridis) dan akibat hukumnya apa dalam
penundukkan diri?
JAWABAN
Hukum perdata di Indonesia sampai saat ini masih beraneka ragam {pluralistis). Masing-
masing golongan penduduk mempunyai hukum perdata sendiri, kecuali bidang-bidang tertentu
yang sudah ada unifikasi. Keanekaragaman hukum perdata di Indonesia ini sebenarnya sudah
berlangsung lama. Bahkan, sejak kedatangan orang Belanda di Indonesia pada tahun 1959. 
Keanekaragaman hukum ini bersumber pada ketentuan dalam Pasal 163 IS (Indische
Staatsregeling) yang membagi penduduk Hindia Belanda berdasarkan asalnya atas tiga golongan
yaitu:
1. Golongan Eropa, ialah: (a) semua orang Belanda, (b) semua orang Eropa lainnya, (c)
semua orang Jepang, (d) semua orang yang berasal dari tempat lain yang di negaranya tunduk
kepada hukum keluarga yang pada pokoknya berdasarkan asas yang sama seperti hukum
belanda, dan (e) anak sah atau diakui menurut undang-undang, dan anak yang dimaksud sub. b
dan c yang lahir di Hindia Belanda.
2. Golongan Bumiputra, ialah semua orang yang termasuk rakyat Indonesia Asli, yang tidak
beralih masuk golongan lain danmereka yang semula termasuk golongan lain yang
telah membaurkan dirinya dengan rakyat Indonesia asli.
3. Golongan Timur Asing, ialah semua orang yang bukan golongan Eropa dan golongan
Bumiputra.
Selanjutnya, dalam Pasal 131 IS dinyatakan bahwa bagi golongan Eropa berlaku hukum
di negeri Belanda (yaitu hukum Eropa atau hukum Barat) dan bagi golongan-golongan
lainnya (Bumiputra dan Timur Asing) berlaku hukum adatnya masingmasing. Kemudian apabila
kepentingan umum serta kepentingan sosial mereka menghendakinya, hukum untuk golongan
Eropa dapat dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupundengan perubahan-
perubahan, dan juga diperbolehkan membuat suatu peraturan baru bersama.

Berdasarkan ketentuan Pasal 131 IS di atas ini, kodifikasi hukum perdata (Burgerlijk


Wetboek) hanya berlaku bagi golongan Eropa dan mereka yang dipersamakan. Bagi golongan
Bumiputra dan Timur Asing berlaku hukum adat mereka masing-masing; kecuali sejak tahun
1855 hukum perdata Eropa diberlakukan terhadap golongan Timur Asing selain hukum keluarga
dan hukum waris.

Peraturan perundang-undangan Eropa yang dinyatakan berlaku bagi orang-orang


Bumiputra (Indonesia) antara lain Pasal 1601-1603 (lama) B W tentang perburuhan (Stb. 1879
No. 256), Pasal 1788 - 1791 BW tentang hutang-piutang karena perjudian (Stb. 1907 No. 306)
dan beberapa pasal KUHD yaitu sebagian besar Hukum Laut. (Stb. 1939 No. 570 jo No. 717).

Selanjutnya, ada beberapa peraturan yang secara khusus dibuat untuk orang-orang


Indonesia asli (Bumiputra) seperti ordonansi perkawinan bangsa Indonesia yang beragama
Kristen (Stb. 1933 No. 74), ordonansi tentang Maskapai Andil Indonesia yang disingkat dengan
IMA (Stb. 1939 No. 569 jo 717 dan ordonansi tentang Perkumpulan Bangsa Indonesia (Stb.
1939 No 570 jo. No. 717).

Kemudian peraturan-peraturan yang berlaku bagi semua golongan misalnya undang-


undang hak pengarang (Auteurswet tahun 1912), Peraturan umum tentang koperasi (Stb. 1933
No.1 Ibid. 2 Peraturan yang berlaku sekarang tentang hak cipta ini adalah Undang-undang No.
19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

Selanjutnya, orang-orang bukan golongan Eropa dapat dengan sukarela menundukkan


diri kepada hukum perdata Eropa yang diatur dalam peraturan yang termuat dalam Stb. 1917 No.
17, yang diberi nama dengan "Regeling nopens de Vrijwillige Onderwerping aan het Europeesch
Privaatrecht" (Peraturan mengenai penundukan diri dengan suka rela kepada hukum perdata
Eropa). Peraturan ini mengenal empat macam penundukan diri, yaitu penundukan kepada
seluruh hukum perdata Eropa (yang diatur dalam Pasal 1 - 17), penundukan kepada sebagian
hukum perdata Eropa (yang diatur dalam Pasal 18 - 25), penundukan diri pada perbuatan hukum
tertentu (yang diatur dalam Pasal 29). Penundukan diri yang terakhir inilah yang paling banyak
terjadi dalam praktek. Pasal 29 peraturan penundukan diri tersebut menentukan, jika seseorang
bangsa Indonesia asli melakukan suatu perbuatan hukum yang tidak dikenal atau tidak ada diatur
dalam hukumnya sendiri, ia dianggap secara diam-diam menundukkan dirinya pada hukum
perdata Eropa. Misalnya, menandatangani aksep (surat kesanggupan untuk membayar sejumlah
uang), menandatangani wesel, menandatangani perjanjian asuransi, dan sebagainya.

Lembaga penundukan diri yang diatur dalam Stb. 1917 No. 12 ini sebenarnya lebih
ditujukan bagi golongan Bumiputra, sedangkan bagi golongan Timur Asing sudah hampir tidak
relevan lagi dengan adanya peraturan yang termuat dalam Stb. 1855 No. 79 tanggal 8 Desember
1855 yang kemudian diubah dan ditambah dengan Stb. 1924 No. 556 tanggal 9 Desember 1925
yang mulai berlaku pada tanggal 1 Maret 1925 (yang akan diterangkan di bawah ini).

Diadakannya lembaga penundukan diri kepada hukum perdata Eropa ini, sedikit banyak
untuk kepentingan orang-orang golongan Eropa sendiri. Sebab, seperti dinyatakan Mr. C. J.
Scholten Van Oud-Haarlem, Ketua Hooggerechtshof yang ketika itu menjabat sebagai Ketua
Lembaga Penundukan dalam notanya tahun 1840, bahwa penundukan sukarela akan memberi
keamanan besar (grole veiliheid) dan keuntungan kepada orang Eropa, sebab kalua
mereka membuat perjanjian atau perikatan dengan orang-orang yang tidak tergolong ke dalam
orang Eropa, dengan memperlakukan hukum Eropa atas perjanjian yang dibuatnya itu.

Lembaga penundukan diri secara sukarela tidak mungkin terjadi sebaliknya, artinya


lembaga ini hanya mungkin dilakukan oleh orang Indonesia ash dan Timur Asing terhadap
hukum perdata Eropa, dan tidak mungkin terjadi penundukan diri secara suka rela dari orang
Eropa atau Timur Asing terhadap hukum adat. Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa
lembaga penundukan diri kepada hukum perdata Eropa bagi golongan Timur Asing sudah
hampir tidak relevan lagi dengan adanya peraturan yang termuat dalam Stb. 1855 No. 79. Sebab,
dengan peraturan yang termuat dalam Stb. 1855 No. 79 tersebut, hukum perdata
Eropa (Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Koophandel) dinyatakan berlaku terhadap orang
golongan Timur Asing, kecuali hukum keluarga dan hukum waris.

Kemudian pada tahun 1917 mulai diadakan pembedaan antara golongan Timur Asing
Tionghoa dan Timur Asing bukan Tionghoa, karena untuk golongan Timur Asing Tionghoa
dianggap bahwa hukum Eropa yang sudah berlaku bagi mereka dapat diperluas lagi. Lalu
diadakan peraturan tersendiri mengenai hukum perdata ini bagi mereka, yaitu peraturan yang
termuat dalam Stb. 1917 No. 129 (yang baru berlaku untuk seluruh Indonesia sejak tanggal 1
September 1925).

Menurut peraturan ini seluruh hukum perdata Eropa berlaku bagi mereka, kecuali pasal-
pasal mengenai Burgerlijk Stand yang termuat dalam bagian 2 dan 3 titel 4 buku 1 BW, dimana
bagi orang-orang golongan Timur Asing Tinghoa diadakan Burgerlijk Stand tersendiri, serta
peraturan tersendiri tentang pengangkatan anak (adopsi) yaitu dalam bagian orang golongan
Timur Asing bukan Tionghoa (Arab, India, Pakistan dll.), berdasarkan peraturan yang termuat
dalam Stb. 1855 No. 79 yang kemudian diubah dan ditambah terakhir dengan Stb. 1924 No. 446
langgal 9 Desember 1924 dan mulai berlaku tanggal 1 Maret 1925, hukum perdata Eropa berlaku
bagi mereka, kecuali mengenai hukum keluarga dan hukum waris, dimana untuk kedua
bidang hukum ini tetap berlaku hukum adat mereka sendiri. Akan tetapi, mengenai pembuatan
wasiat (testament) hukum perdata Eropa berlaku juga bagi mereka.

Penundukan diri dibagi menjadi empat bagian yaitu          :

1. Penundukan diri secara keseluruhan (afgehele onderwerping) dengan syarat-syarat

 Monogami.
 Pria yang sudah beristri harus seizin istri.
 Dewasa dan tidak dibawah peng-amp-uan.
 Mempunyai nama keturunan.

Contoh       :  George Bush (bush) nama keturunan untuk diturunkan ke anak cucu.

 Berlaku untuk istri dan anak-anak yang dibawah umur.

Contoh       :  istri Tina, suami Muchtar taher, jadi nama istri Tina taher (Taher nama

keturunan)

 Tidak dapat dicabut kembali.


 Wanita yang telah dewasa tapi belum bersuami boleh menundukan diri.

1. Penundukan diri untuk sebagian (gedeeltelijke onderwerping)


 Tidak dimestikan monogami tetapi tetap dengan izin dari istri atau dengan istri-istri.
 Tidak dapat dicabut kembali.
 Tidak boleh dilakukan untuk

1. Wanita yang telahbersuami.


2. orang yang belum dewasa.
3. dibawah peng-ampu-an.

3.   Dianggap sudah menundukan diri / penundukan diri secara diam-diam (veronder stelde)

Orang dianggap menundukan diri secara diam-diam atau sukarela apabila melakukan tindakan
hukum yang diatur dalam hukum perdata dan hukum dagang eropah, dimana hal ini tidak ada
diatur dalam hukum mereka.

Contoh :           menandatangani cek, karena hukum adat tidak ada aturan

mengenai cek.

4.   Penundukan diri untuk hal tertentu (onderwerping voor een bepaal de recht handeling)

contoh  :           Dalam hukum adat tidak ada diatur mengenai PT (perseroan terbatas),

sedangkan ada orang Indonesia yang ingin mendirikan PT, maka untuk

hal ini mereka menundukan diri kepada hukum perdata eropah yang

Anda mungkin juga menyukai