Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Trauma adalah keadaan yang disebabkan oleh luka atau cidera. Trauma
abdomen adalah keadaan pada abdomen baik bagian dalam ataupun luar yang
disebabkan oleh luka atau cidera. Trauma tumpul abdomen yaitu trauma abdomen
tanpa penetrasi ke dalam rongga peritoneum, dapat diakibatkan oleh pukulan,
benturan, ledakan, deselarasi, kompresi, atau sabuk pengaman. Trauma tumpul
abdomen sering kali ditemui pada unit gawat darurat. Sebanyak 75% kasus trauma
tumpul abdomen adalah sebagai akibat dari kecelakaan lalu lintas, baik itu kendaraan
dengan kendaraan maupun kendaraan dengan pejalan kaki. Sedangkan trauma
abdomen akibat pukulan sebanyak 15% dan jatuh sebanyak 9%. Selebihnya adalah
sebagai akibat dari child abuse dan domestic violence.1
Pasien dengan trauma tumpul abdomen memerlukan penatalaksanaan
yang cepat dan efisien. Pada trauma ganda, abdomen merupakan bagian yang
tersering mengalami cedera. Seorang pasien yang terlibat kecelakaan serius harus
dianggap cedera abdominal sampai terbukti lain.2
Sampai saat ini cedera abdomen yang luput dari diagnosis masih
merupakan penyebab kematian yang dapat dicegah (preventable death) pada
penderita dengan dengan trauma batang tubuh (trunk). Kurangnya data mengenai
riwayat kesehatan pasien, kronologis kejadian, luka atau trauma lain yang dapat
mengalihkan perhatian, dan perubahan status mental sebagai akibat dari cedera kepala
atau intoksikasi, membuat trauma tumpul abdomen sulit untuk didiagnosis dan
ditatalaksana. Pasien dengan trauma tumpul abdomen biasanya datang dengan cedera
abdominal dan extraabdominal yang memerlukan perawatan lanjut yang rumit.2
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui lebih jauh tentang
Trauma Tumpul Abdomen mengenai patofisiologi, pemeriksaan, dan tatalaksananya.
1.3 Manfaat
Penulisan referat ini diharapkan mampu menambah pengetahuan dan
pemahaman penulis maupun pembaca mengenai Trauma Tumpul Abdomen beserta
patofisiologi dan penangananannya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Patofisiologi
Trauma tumpul abdomen paling sering mengakibatkan cedera pada lien (40-
45%), kemudian diikuti cedera pada hepar(35-45%) dan usus halus (5-10%). Sebagai
tambahan 15% mengalami hematoma retroperitoneal.1
Beberapa mekanisme patofisiologi dapat menjelaskan trauma tumpul
abdomen. Secara garis besar trauma tumpul abdomen (non penetrtaing trauma)
dibagi menjadi 3 yaitu:3
 Trauma kompresi
Trauma kompresi terjadi bila bagian depan dari badan berhenti
bergerak, sedangkan bagian belakang dan bagian dalam tetap bergerak ke depan.
Organ-organ terjepit dari belakang oleh bagian belakang thorakoabdominal dan
kolumna vetebralis dan di depan oleh struktur yang terjepit. Trauma abdomen
menggambarkan variasi khusus mekanisme trauma dan menekankan prinsip yang
menyatakan bahwa keadaan jaringan pada saat pemindahan energi mempengaruhi
kerusakan jaringan. Pada tabrakan, maka penderita akan secara refleks menarik
napas dan menahannya dengan menutup glotis. Kompresi abdominal
mengkibatkan peningkatan tekanan intrabdominal dan dapat menyebabkan ruptur
diafragma dan translokasi organ-organ abdomen ke dalam rongga thorax.
 Trauma sabuk pengaman (seat belt)
Sabuk pengaman tiga titik jika digunakan dengan baik, mengurangi
kematian 65%-70% dan mengurangi trauma berat sampai 10 kali. Bila tidak
dipakai dengan benar, sabuk pengaman dapat menimbulkan trauma. Agar
berfungsi dengan baik, sabuk pengamna harus dipakai di bawah spina iliaka
anterior superior, dan di atas femur, tidak boleh mengendur saat tabrakan dan
harus mengikat penumpang dengan baik. Bila dipakai terlalu tinggi (di atas SIAS)
maka hepar, lien, pankreas, usus halus, diodenum, dan ginjal akan terjepit di
antara sabuk pengaman dan tulang belakang, dan timbul burst injury atau laserasi.
Hiperfleksi vetebra lumbalis akibat sabuk yang terlalu tinggi mengakibatkan
fraktur kompresi anterior dan vetebra lumbal.
 Cedera akselerasi / deselerasi.
Trauma deselerasi terjadi bila bagian yang menstabilasi organ, seperti
pedikel ginjal, ligamentum teres berhenti bergerak, sedangkan organ yang
distabilisasi tetap bergerak. Shear force terjadi bila pergerakan ini terus berlanjut,
contoh pada ginjal dan limpa denga pedikelnya, pada hati terjadi laserasi hati
bagian sentral, terjadi jika deselerasi lobus kanan dan kiri sekitar ligamentum
teres.
2.2 Riwayat Trauma
AMPLE sering digunakan untuk mengingat kunci dari anamnesis, yaitu
Allergies, Medications, Past medical history, Last meal or other intake, Events
leading to presentation. Riwayat trauma sangat penting untuk menilai penderita yang
cedera dalam tabrakan kendaraan bermotor. Keterangan ini dapat diberikan oleh
penderita, penumpang lain, polisi atau petugas medis gawat darurat di lapangan.
Keterangan mengenai tanda-tanda vital, cedera yang kelihatan, dan respon terhadap
perawatan pre-hospital juga harus diberikan oleh para petugas yang memberikan
perawatan pre-hospital. Pada trauma tumpul abdomen terutama yang merupakan
akibat dari kecelakaan lalu lintas, petugas medis harus menanyakan hal-hal sebagai
berikut:4
 Fatalitas dari kejadian ?
 Tipe kendaraan dan kecepatan ?
 Apakah kendaraan terguling ?
 Bagaimana kondisi penumpang lainnya ?
 Lokasi pasien dalam kendaraan ?
 Tingkat keparahan rusaknya kendaraan ?
 Deformitas setir ?
 Apakah korban menggunakan sabuk pengaman? Tipe sabuk pengaman?
 Apakah airbag di samping dan depan korban berfungsi ketika kejadian?
 Apakah ada riwayat pengunaan alkohol dan obat-obatan sebelumnya?
Riwayat dan kronologis kejadian memang penting, tapi mekanisme sendiri
tidak bisa menentukan apakah diperlukan laparotomi emergency atau tidak.
Mekanisme dan kronologis kejadian harus disertai dengan data lain seperti vital sign
prehospital, pemeriksaan fisik, tes diagnostik, dan kondisi kesehatan yang
mendasari.4
2.3 Evaluasi Primer dan Penatalaksanaan
Initial resuscitation dan penatalaksanaan pasien trauma berdasarkan pada
protokol Advanced Trauma Life Support. Penilaian awal (Primary survey) mengikuti
pola ABCDE, yaitu Airway, Breathing, Circulation, Disability (status neurologis),
dan Exposure.1
A. Intial assesment
Trauma tumpul abdomen akan muncul dalam manifestasi yang sangat
bervariasi, mulai dari pasien dengan vital sign normal dan keluhan minor hingga
pasien dengan shock berat. Bisa saja pasien datang dengan gejala awal yang ringan
walaupun sebenarnya terdapat cedera intraabdominal yang parah. Jika didapati bukti
cedera extraabdominal, harus dicurigai adanya cedera intraabdominal, walaupun
hemodinamik pasien stabil dan tidak ada keluhan abdominal. Pada pasien dengan
hemodinamik yang tidak stabil, resusitasi dan penilaian harus dilakukan segera.
Pemeriksaan fisik abdomen harus dilakukan secara teliti dan sistematis, dengan
urutan:5
 Inspeksi
Baju penderita harus dibuka semua untuk memudahkan penilaian. Perut
depan dan belakang, dan juga bagian bawah dada dan perineum, harus diperiksa
apakah ada goresan, robekan, ekomosis, luka tembus, benda asing yang tertancap,
keluarnya omentum atau usus kecil, dan status hamil. Seat belt sign, dengan tanda
konstitusi atau abrasi pada abdomen bagian bawah, biasanya sangat berhubungan
dengan cedera intraperitoneal. Adanya distensi abdominal, yang biasanya
berhubungan dengan pneumoperitoneum, dilatasi gaster, atau ileus sebagai akibat
dari iritasi peritoneal merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Adanya
kebiruan yang melibatkan region flank, punggung bagian bawah (Grey Turner
sign) menandakan adanya perdarahan retroperitoneal yang melibatkan pankreas,
ginjal, atau fraktur pelvis. Kebiruan di sekitar umbilicus (Cullen sign)
menandakan adanya perdarahan peritoneal biasanya selalu melibatkan perdarahan
pankreas, akan tetapi tanda-tanda ini biasanya baru didapati setelah beberapa jam
atau hari. Fraktur costa yang melibatkan dada bagian bawah, biasanya
berhubungan dengan cedera lien atau liver.
 Auskultasi
Melalui auskultasi ditentukan apakah bising usus ada atau tidak. Penurunan
suara usus dapat berasal dari adanya peritonitis kimiawi karena perdarahan atau
ruptur organ berongga. Cedera pada struktur berdekatan seperti tulang iga, tulang
belakang atau tulang panggul juga dapat mengakibatkan ileus meskipun tidak ada
cedera intraabdominal, sehingga tidak adanya bunyi usus bukan berarti pasti ada
cedera intrabdominal. Adanya suara usus pada thorax menandakan adanya cedera
pada diafragma.
 Perkusi
Manuver ini menyebabkan pergerakan peritoneum, dan dapat menunjukkan
adanya peritonitis yang masih meragukan. Perkusi juga dapat menunjukkan
adanya bunyi timpani di kuadran atas akibat dari dilatasi lambung akut atau bunyi
redup bila ada hemoperitoneum.
 Palpasi
Kecenderungan untuk mengeraskan dinding abdomen (voluntary guarding)
dapat menyulitkan pemeriksaan abdomen. Sebaliknya defans muskuler
(involuntary guarding) adalah tanda yang andal dari iritasi peritoneum. Tujuan
palpasi adalah untuk mendapatkan apakah didapati nyeri serta menentukan lokasi
nyeri tekan superficial, nyeri tekan dalam, atau nyeri lepas tekan. Nyeri lepas
tekan biasanya menandakan adanya peritonitis yang timbul akibat adanya darah
atau isi usus. Pada truma tumpul abdomen perlu juga disertai kecurigaan adanya
fraktur pelvis. Untuk menilai stabilitas pelvis, yaitu dengan cara menekankan
tangan pada tulang-tualng iliaka untuk membangkitkan gerakan abnormal atau
nyeri tulang yang menandakan adanya fraktur pelvis.
Walaupun melalui pemeriksaan fisik dapat dideteksi cedera intraperitoneal,
keakuratan pemeriksaan fisik pada pasien dengan trauma tumpul abdomen hanya
berkisar antara 55–65%. Tidak adanya tanda dan gejala yang ditemukan dalam
pemeriksaan fisik tidak menyingkirkan adanya cedera yang serius, sehingga
diperlukan pemeriksaan yang lebih spesifik lagi untuk menghindarkan missed injury.4
Hipotensi pada trauma tumpul abdomen sering sebagai akibat dari perdarahan
organ padat abdomen atau cedera vasa abdominal. Walaupun sumber perdarah
extraabdominal (misalnya, laserasi kulit kepala, cedera dada, atau fraktur tulang
panjang) harus segera diatasi, tapi evaluasi cavitas peritoneal juga tidak boleh
diabaikan. Pasien dengan cedera kepala ringan tidak bisa menyebabkan shock,
kecuali pada pasien dengan cedera intracranial, atau pada bayi dengan perdarahan
intracranial atau cephalohematoma.4
Pemeriksaan rectal jarang menunjukkan adanya darah atau subcutaneous
emphysema, tapi jika didapati, tanda tersebut berkaitan dengan cedera abdomen.
Evaluasi tonus rectal merupakan bagian yang sangat penting untuk pasien dengan
kecurigaan cedera spinal. Palpasi high-riding prostate mengarahkan indikasi pada
cedera uretra.4
B. Studi Laboratorium
Pada pasien trauma tumpul abdomen harus dilakukan beberapa studi
laboratorium seperti:5
 Blood typing
 Hematocrit/Darah lengkap Serial
 Hitung leukosit
 Enzim pankreas
 Tes fungsi hati
 Analisis toksikologi
 Urinalisis
2.4 Pemeriksaan Penunjang
 Radiologi
Tes radiologi dapat menyampaikan informasi penting untuk
penatalaksanaan pasien trauma tumpul abdomen. Pemeriksaan radiologi
diindikasikan pada pasien stabil, jika dari pemeriksaan fisik dan lab tidak bisa
disimpulkan diagnosik. Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical
lateral, thorax AP, dan pelvis AP dilakukan pada pasien trauma tumpul
dengan multitrauma. Rontgen foto abdomen 3 posisi (telentang, setengah
tegak dan lateral dekubitus) berguna untuk melihat adanya udara bebas di
bawah diafragma ataupun udara di luar lumen di retroperitoneum, yang kalau
ada pada keduanya menjadi petunjuk untuk dilakukannya laparotomi.
Hilangnya bayangan psoas menunjukkan adanya kemungkinan cedera
retroperitoneal. Foto polos abdomen memiliki kegunaan yang terbatas, dan
sudah digantikan oleh CT-scan dan USG.4
 Computed Tomography ( CT-scan )
CT merupakan prosedur diagnostik yang memerlukan transport
penderita ke scanner, pemberian kontras oral maupun intravena, dan scanning
dari abdomen atas bawah dan juga panggul. Proses ini memakan waktu dan
hanya digunakan pada penderita dengan hemodinamik normal. CT-scan
mampu memberikan informasi yang berhubungan dengan cedera organ
tertentu dan tingkat keparahannya, dan juga dapat mendiagnosis cedera
retroperitoneum dan organ panggul yang sukar diakses melalui pemeriksaan
fisik maupun DPL. Kotraindikasi relatif terhadap penggunaan CT meliputi
penundaan karena menunggu scanner, penderita yang tidak kooperatif, dan
alergi terhdap bahan kontras.4
 Ultrasound
Ultrasound digunakan untuk mendeteksi adanya darah intraperitonum
setelah terjadi trauma tumpul. USG difokuskan pada daerah intraperitoneal
dimana sering didapati akumulasi darah, yaitu pada
 Kuadran kanan atas abdomen (Morison's space antara liver
ginjal kanan)
 Kuadran kiri atas abdomen (perisplenic dan perirenal kiri)
 Suprapubic region (area perivesical)
 Subxyphoid region (pericardiumhepatorenal space)
Daerah anechoic karena adanya darah dapat terlihat paling jelas jika
dibandingkan dengan organ padat di sekitarnya. Banyak penelitian
retrospektif menyatakan manfaat USG pada pasien dengan hemodinamik yang
stabil atau tidak stabil untuk mendeteksi adanya perdarahan intraperitoneal.
Beberapa RCT menunjukkan penggunaan FAST untuk diagnostik akan
menghasil pasien dengan hasil perawatan yang lebih baik.4
 Diagnostic Peritoneal Lavage
Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) memiliki peran besar pada
penatalaksanaan trauma tumpul abdomen. DPL paling berguna pada pasien
yang memiliki resiko tinggi cedera organ berongga, terutama jika dari CT-
scan dan USG hanya terdeteksi sedikit cairan, dan pada pasien dengan demam
yang nyata, peritonitis, atau keduanya. Keadaan ini berlangsung selama 6-12
jam setelah cedera organ berongga.4
Secara tradisional, DPL dilakukan melalui 2 tahap, tahap pertama
adalah aspirasi darah bebas intraperitoneal (DPT). Jika darah yang teraspirasi
10 ml atau lebih, hentikan prosedur karena hal ini menandakan adanya cedera
intraperitoneal. Jika dari DPT tidak didapatkan darah, lakukan peritoneal
lavage dengan normal saline dan kirim segera hasilnya ke lab utuk dievaluasi.
Pasien yang memerlukan laparotomy segera merupakan satu-satunya kontra
indikasi untuk DPL atau DPT. Riwayat operasi abdomen, infeksi abdomen,
koagulopati, obesitas dan hamil trimester 2 atau 3 merupakan kontra indikasi
relatif. 4
2.5 Penatalaksanaan Lanjutan
Pasien trauma tumpul abdomen harus dievalusi lanjut apakah diperlukan
perawatan operatif atau tidak. Setelah melakukan resusitasi dan penatalaksanaan awal
berdasarkan protokol ATLS, harus dipertimbangkan indikasi untuk laparotomi
melalui pemeriksaan fisik, ultrasound (USG), computed tomography (CT), dan
DPT/DPL. Algoritma Prosedur Pemeriksaan pada Trauma Tumpul Abdomen adalah:4

2.6 Indikasi Klinis Laparotomi


Laparotomi segera diperlukan setelah terjadinya trauma jika terdapat indikasi
klinis sebagai berikut:5
 Kehilangan darah dan hipotensi yang tidak diketahui penyebabnya, dan pada
pasien yang tidak bisa stabil setelah resusitasi, dan jika ada kecurigaan kuat
adanya cedera intrabdominal
 Adanya tanda - tanda iritasi peritoneum
 Bukti radiologi adanya pneumoperitoneum konsisten
 Dengan ruptur viscera
 Bukti adanya ruptur diafragma
 Jika melalui nasogastic drainage atau muntahan didapati adanya gi bleeding
yang persisten dan bermakna.
BAB III
KESIMPULAN
Trauma tumpul abdomen yaitu trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam
rongga peritoneum, dapat diakibatkan oleh pukulan, benturan, ledakan, deselarasi,
kompresi, atau sabuk pengaman. Trauma tumpul abdomen sering kali ditemui pada
unit gawat darurat.
Dalam kasus kegawatdaruratan, riwayat trauma sangat penting untuk menilai
penderita yang cedera dalam tabrakan kendaraan bermotor. Keterangan ini dapat
diberikan oleh penderita, penumpang lain, polisi atau petugas medis gawat darurat di
lapangan. Keterangan mengenai tanda-tanda vital, cedera yang kelihatan, dan respon
terhadap perawatan pre-hospital juga harus diberikan oleh para petugas yang
memberikan perawatan pre-hospital. Setelah itu dapat dilakukan resusitasi serta initial
assesment berupa pemeriksaan fisik abdomen.
Pada kasus trauma tumpul abdomen diperlukan beberapa tes laboratorium
seperti darah lengkap, urine lengkap, dan tes faal hepar. Pemeriksaan penunjang yang
dapat digunakan adalah foto polos, CT scan, USG dan DPL. Jika memenuhi indikasi,
selanjutnya harus dilakukan laparotomi.
DAFTAR PUSTAKA
1. American College of Surgeon. 2004. Advanced Trauma Life Support.
Terjemahan IKABI (Ikatan Ahli Bedah Indonesia). First Impression :USA.
2. Jong, Wim de. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2 . EGC : Jakarta.
3. Marijata. 2006. Pengantar Dasar Bedah Klinis. Unit Pelayanan Kampus
fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada : Yogyakarta.
4. Richard A Hodin, MD. 2007. General Approach to Blunt Abdominal Trauma
in Adult. UpToDate.
5. Sandy Craig, MD. 2006. Abdominal Blunt Trauma. E-Medicin.

Anda mungkin juga menyukai