Oleh:
Pembimbing:
Prof. Sunarto Reksoprawiro, dr., Sp.B(K)Onk-KL
0
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
DAFTAR ISI 1
DAFTAR PUSTAKA 14
1
BAB I
SKENARIO KASUS
Seorang pemuda 20 tahun datang ke IRD sehabis jatuh dari sepeda motor, mengeluh
bengkak dan nyeri pada pipi kiri, serta keluar darah dari lubang hidung kiri.
2
BAB II
Diskusi Kasus
2.1 Anda sebagai dokter jaga IGD, apa saja yang anda lakukan?
Primary Survey :
• Airway : Pastikan jalan nafas bebas
• Breathing : Pastikan saturasi oksigen baik (RR, SpO2)
• Circulation : Pastikan tidak ada pendarahan maupun tanda syok (TD, HR)
• Disability : GCS, AVPU, Pastikan ada gangguan kesadaran atau tidak
• Exposure : Stabilisasi cervical spine, Pastikan kondisi kulit (Suhu)
Jika didapatkan keadaan tidak normal pada salah satu atau beberapa,
dilakukan stabilisasi sesuai dengan urutan A-B-C
Secondary Survey:
• Anamnesis
Dilakukan pada pasien tanpa gangguan kesadaran.
Tujuan: untuk mengetahui kemungkinan lokasi, jenis trauma, dan akibat yang
ditimbulkan, faktor komorbid pasien, serta dapat membantu mengarahkan
diagnosis dan rencana terapi yang akan diberikan.
o Identitas pasien
o Mechanism of injury
o Keluhan/Riwayat penyakit sekarang
Nyeri? Trismus? Gangguan mengunyah?
o Riwayat penyakit dahulu atau trauma sebelumnya
o Riwayat penyakit keluarga
o Riwayat konsumsi obat
3
• Pemeriksaan Fisik
Dilakukan dari kepala sampai ekstremitas, kanan-kiri dari anterior maupun
posterior.
Tujuan: untuk mengetahui kemungkinan lokasi, jenis trauma, dan akibat yang
ditimbulkan; dan mengetahui kemungkinan kelainan pada bagian tubuh
lainnya.
Kalau ternyata vital sign (T, N, t, R) tak ada kelainan, dan tidak didapatkan
cedera di tempat lain, maka
A. Regio Facialis
• Inspeksi, mengevaluasi adanya:
o Bentuk asimetris (karena adanya deformitas)
o Enoftalmus (terjadi pada pasien fraktur blow out zygoma
o Luka terbuka
o Deformitas
o Perdarahan, hematoma, atau cairan
o Molar prominance menghilang
4
o Edema
o Trismus
o Maloklusi
• Palpasi:
o Secara sistematis, bandingkan kanan-kiri
o Os frontale → margo supraorbita → nasal → arkus zigoma →
korpus zigoma → margo infraorbita → maksila → mandibula →
palatum.
o Evaluasi adanya nyeri tekan, deformitas, krepitasi, false
movement, maupun gangguan sensoris.
5
B. Intraoral
• Inspeksi, mengevaluasi
menge adanya:
o Maloklusi
o Hematoma
o Laserasi
o Patahan
atahan gigi
o Gigi palsu
• Palpasi:
o Secara bimanual
o Maksila : mobilitas maksila, floating maxilla
o Mandibula : false movement
6
2.3 Tanda / kelainan apa saja yang anda temukan?
Inspeksi:
• Wajah asimetris
• Edema periorbital
• Rhinorrhea
• Asimetris
• Edema
• Enoftalmus
tertentu
Kalau didapatkan step defect pada margo inferior orbita kiri dan silier + nyeri
tekan
7
2.4 Apa diagnose klinis penderita tersebut?
2.5 Tanda-tanda lain apa yang jika ada dapat mendukung diagnosis?
Anamnesis:
Riwayat Trauma
Pemeriksaan Fisik
Enoftalmus
Diplopia
Palpasi
2.6 Pemeriksaan penunjang apa yang anda minta? Bagaimana cara membaca hasilnya?
2. Periksa Jenis dan Posisi Foto ( Foto skull Posisi AP/Laterat, Foto Skull Water)
8
3. Lakukan penilaian terhadap outline os calvaria (Tabula interna, diploe dan
eksterna). Perhatikan apakah ada fraktur. Bila ada fraktur sebutkan jenis dan
ada fraktur maupun dislokasi. Bila ada sebutkan jenis dan lokasinya
maxillaris, sinus sphenoidalis, sinus forntalis dan sinus ethmoidalis) dan ada
7. Lakukan penilaian terhadap soft tissue. Perhatikan apakah ada swelling, lesi
8. Buat kesimpulan dari gambaran radiologi yang ada. Identifikasi perlu tidaknya
• Garis fraktur pada infraorbita dan silier atau arkus os. Zygoma sinistra
9
Pada kasus ini, terjadi farktur yang tidak sederhana, dan juga terdapat indikasi untuk
dilakukan operasi terhadap fraktur zigomatik, yaitu:
i) Deformitas:
a. Pemeriksaan Fisik:
Wajah asimetris dextra dan sinistra, malar prominence asimetris, step
deformity dan nyeri tekan pada margo inferior orbita dan silier
b. Pemeriksaan Penunjang (X-Ray kepala posisi Waters):
Garis fraktur pada infraorbita dan silier, segmen fraktur os zygoma
sinistra, tear drop sign (tanda adanya blowout fracture).
ii) Diplopia
a. Pemeriksaan Fisik:
Pasien tidak dapat melakukan gerak bola mata ke arah atas, yang
mengindikasikan bahwa adanya fraktur yang mendesak atau menjepit
otot rectus superior dan otot obliqus inferior, sehingga perlu diperbaiki.
iii) Enoftalmus
2.8 Jika terapi pembedahan, sebutkan 2 metode pembedahan dan sebutkan untung
ruginya.
10
sebagai pengganti, namun memiliki kekurangan kejadian infeksi post operasi
meningkat karena titanium mesh merupakan benda asing bagi tubuh.
infeksi
perdarahan
diplopia
enoftalmus
wajah asimetri
Kelainan yang dapat timbul akibat adanya fraktur dan/atau imobilisasi, yaitu dapat
berupa nyeri, keterbatasan gerak sendi tulang-tulang terkait, atrofi dan kelemahan
otot, gangguan proses makan, gangguan psikososial, dll. Prinsip utama yang perlu
diingat pasca operative fraktur zygoma adalah kewajiban untuk meminimalisir adanya
kontraksi berlebihan pada TMJ, atau dikenal dengan masa immobilisasi. Berikut
beberapa tatalaksana rehabilitative yang dapat dilakukan selama masa post-operative:
1. Post-operative positioning, head trunk up. Trauma maksilofasial tidak jarang juga
disertai dengan trauma kepala, dan dengan dilakukannya head trunk up dapat
membantu untuk menurunkan tekanan intrakranial. Selain itu juga dapat membantu
untuk meredakan hematoma yang ada. Minimal dilakukan pada fase akut hingga
wound healing, atau sekitar 10-14 hari.
2. Terapi farmakologis. Pemberian analgesic, antibiotik dan steroid umum diberikan
untuk mengurangi intensitas nyeri yang dirasakan pasien dan juga mencegah adanya
resiko infeksi yang mungkin terjadi selama proses operasi dilakukan. Seringkali juga
11
diberikan muscle relaxan, untuk menghindari adanya kekakuan otot dan kontraksi
yang berlebihan. Modalitas fisik yang dapat digunakan berupa terapi panas atau
dingin.
3. Oral Hygiene. Perawatan lokal perioral dan oral (disinfektan) wajib dilakukan sesjak
dini (dimulai sejak masa immobilisasi) untuk mencegah munculnya faktor komorbid
yang lain. Pasien dengan fraktur zygoma post-operative umum diberikan pasta gigi
halus Chlorhexidine/H2O2.
4. Terapi perilaku dengan diet lunak, menghindari gerakan rahan yang berlebihan,
latihan-latihan relaksasi. Dengan adanya fiksasi rahang maka penderita akan
mengalami gangguan makan dan minum. Biasanya masalah ini teratasi dengan
menggunakan sedotan. Apabila penderita tidak dapat mengatasi masalah dengan
menggunakan sedotan dapat diberikan feeding therapy yang mencakup edukasi,
latihan gerak dan koordinasi otototot oromotor dan latihan menelan.
5. Menghindari perilaku Nose Blowing, sebagai upaya untuk mencegah adanya tekanan
tinggi yang dapat memperparah kondisi healing.
Untuk menghindari terjadinya kontraktur maka terapi untuk mobilisasi sendi TMJ
diberikan sedini mungkin setelah masa immobilisasi atau setelah fiksasi dilepas.
Perbaikan dari fraktur harus dilakukan secepatnya sebelum timbulnya scar, dan
penyembuhan dari fragmen tulang dimulai. Adanya edema di wajah dapar
menyamarkan adanya deformitas. Perbaikan fraktur idealnya dilakukan dalam 7
hingga 10 hari setelah cidera awal. Perbaikan fraktur yang dilakukan 2 hingga 6
minggu pasca cidera masih mungkin dapat dilakukan, tetapi biasanya lebih sulit
karena fibrosis dan jaringan parut yang terjadi. Perbaikan fraktur lebih dari 6 minggu
dari cidera awal sangat tidak dianjurkan
Perawatan dan pemulihan pasca operasi bervariasi tergantung pada tingkat
cidera dan metode/ tindakan yang diambil untuk perbaikan fraktur tersebut. Pasien
harus disarankan untuk menahan diri dari aktivitas berat selama setidaknya 2 minggu
untuk penyembuhan dari memar dan berkurangnya bengkak. Selain itu pada 10 hari
pertama pasca cidera pasien juga dilarang untuk meniup hidung karena dapat
menyebabkan bengkak pada sekitar mata. Pasien harus diikuti secara ketat pasca
operasi untuk setiap potensial terjadinya komplikasi. kunjungan biasanya dilakukan 1
12
minggu posca operasi dan dilanjutkan beberapa minggu sesudanya sampai fraktur
tampak stabil dan segara komplikasi dikesampingkan. Pasien juga disarankan untuk
control foto tiap bulannya sampai tulang menjadi union. Untuk penyembuhan soft
tissue terjadi selama 2 minggu hingga 2 bulan. Plat juga dapat diangkat setelah 3
bulan dan juga setelah penyembuhan dari tulangnya
13
DAFTAR PUSTAKA
Bergeron, J. and Raggio, B., 2019. Zygomatic Arch Fracture. [online] Ncbi.nlm.nih.gov.
Available at: <https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK549898/> [Accessed 10 June
2020].
Deliverska, E.G., Stefanov, L.P., 2013. Maxillofacial Trauma Management in
Polytraumatized Patients – The Use of Advanced Trauma Life Support (ATLS)
Principle. Journal of IMAB, 19, pp. 282-285. [online] Available at: <
https://www.journal-imab-bg.org/issue-2013/book2/JofIMAB2013vol19b2p282-
285.pdf> [Accessed 9 June 2020].
Dhingra, P., Dhingra, S. and Dhingra, D., 2014. Diseases Of Ear, Nose And Throat & Head
And Neck Surgery. 6th ed. New Delhi, India: Elsevier, pp.183-184.
Emedicine.medscape.com. 2020. Zygomatic Arch Fractures Treatment & Management:
Medical Therapy, Surgical Therapy, Preoperative Details. [online] Available at:
<https://emedicine.medscape.com/article/1283924-treatment#d14> [Accessed 9 June
2020].
Farber, S. J., Nguyen, D. C., Skolnick, G. B., Woo, A. S., & Patel, K. B. (2016). Current
Management of Zygomaticomaxillary Complex Fractures: A Multidisciplinary Survey
and Literature Review. Craniomaxillofacial trauma & reconstruction, 9(4), 313–322.
https://doi.org/10.1055/s-0036-1592093.
Huang, W., Lynham, A., Wullschleger M., 2015. Orbitozygomatic Fracture Repairs: Are
Antibiotics Necessary?. Craniomaxillofac Trauma Reconstruction, 8, pp. 271-276.
[online] Available at: <https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4631552/>
[Accessed 10 June 2020].
Lee, E.I., Mohan, K., Koshy, J.C., dan Hollier, L.H., 2010. Optimizing the Surgical
Management of Zygomaticomaxillary Complex Fracture. Seminars in Plastic Surgery,
24 (4) pp.389-397. [online] Available at:
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3324220/> [Accessed 9 June 2020].
Medicinaoral.com.2020.[online]Availableat:<http://www.medicinaoral.com/pubmed/medoral
v22_i5_p636.pdf> [Accessed 9 June 2020].
Modabber, A., Rana, M., Ghassemi, A., Gerressen, M., Gellrich, N., Holzle, F., Rana, M.
(2013). Three-dimensional evaluation of postoperative swelling in treatment of
zygomatic bone fractures using two different cooling therapy methods: a randomized,
observer-blind, prospective study. Trials, 14(1), p. 238
Mundinger, G.S., Borsuk, D.E., Okhah, Z., Christy, M.R., Bojovic, B., Dorafshar, A.H.,
Rodriguez, E.D., 2015. Antibiotics and Facial Fractures: Evidence-Based
Recommendations Compared with Experience-Based Practice. Craniomaxillofac
Trauma Reconstruction, 8(1), pp. 64-78. [online] Available at:
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4329036/> [Accessed 10 June
2020].
Pustaka.unpad.ac.id. 2020. [online] Available at: <http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2011/04/peranan_rehabilitasi_medik_pasca_fraktur_rahang.pdf>
[Accessed 9 June 2020].
Starch-Jensen, T., Linnebjerg L.B., Jensen, J.D., 2018. Treatment of Zygomatic Complex
Fractures with Surgical or Nonsurgical Intervention: A Retrospective Study. The
Open Dentistry Journal, 12, pp. 377-387. [online] Available at:
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6129990/pdf/TODENTJ-12-
377.pdf> [Accessed 9 June 2020].
Watkinson, John C.dan Clarke, Raymond W. 2018. Scott – Browns Othorhinolaryngology
Head and Neck Surgery Eight Edition Volume 1. New York : CRC Press.
14