Oleh:
Pembimbing:
Prof. Sunarto Reksoprawiro, dr., Sp.B(K)Onk,KL
1
DAFTAR ISI
2
BAB I
Skenario Kasus
Seorang laki-laki umur 40 tahun dibawa ke rumah sakit setelah naik sepeda motor menabrak
mobil yang berhenti (lihat gambar).
3
BAB II
Diskusi Kasus
2.1 Anda sebagai dokter jaga IRD, apa saja yang akan anda lakukan?
Pertama, dengan melakukan primary survey, bila sudah teratasi dilanjutkan dengan
secondary survey.
Primary Survey
Jika didapatkan keadaan tidak normal pada salah satu atau beberapa, dilakukan
stabilisasi sesuai dengan urutan A-B-C
Secondary Survey
• Anamnesis
Dilakukan pada pasien tanpa gangguan kesadaran.
Tujuan: untuk mengetahui kemungkinan lokasi, jenis trauma, dan akibat yang
ditimbulkan, faktor komorbid pasien, serta dapat membantu mengarahkan
diagnosis dan rencana terapi yang akan diberikan.
o Identitas pasien
o Mechanism of injury
o Keluhan/Riwayat penyakit sekarang
§ Nyeri? Trismus? Gangguan mengunyah?
o Riwayat penyakit dahulu atau trauma sebelumnya
o Riwayat penyakit keluarga
o Riwayat konsumsi obat
• Pemeriksaan Fisik
4
Dilakukan dari kepala sampai ekstremitas, kanan-kiri dari anterior maupun
posterior.
Tujuan: untuk mengetahui kemungkinan lokasi, jenis trauma, dan akibat yang
ditimbulkan; dan mengetahui kemungkinan kelainan pada bagian tubuh lainnya.
Kepala Airway bebas? Terpasang alat bantu napas? Anemis? Ikterus? Sianosis?
Dyspnea? Edema? Jejas?
Cor Tekanan Darah? Nadi? Kuat angkat? Reguler? Suara jantung normal?
Skenario Kasus : Kalau ternyata vital sign (T, N., t, R) tak ada kelainan, dan tidak didapatkan
cedera di tempat lain, maka
A. Regio Facialis
• Inspeksi, mengevaluasi adanya:
o Bentuk asimetris (karena adanya deformitas)
o Enoftalmus (terjadi pada pasien fraktur blow out zygoma
o Luka terbuka
o Deformitas
o Perdarahan, hematoma, atau cairan
o Molar prominance menghilang
o Edema
o Trismus
5
o Maloklusi
• Palpasi:
o Secara sistematis, bandingkan kanan-kiri
o Os frontale → margo supraorbita → nasal → arkus zigoma →
korpus zigoma → margo infraorbita → maksila → mandibula →
palatum.
o Evaluasi adanya nyeri tekan, deformitas, krepitasi, false movement,
maupun gangguan sensoris.
B. Intraoral
• Inspeksi, mengevaluasi adanya:
o Maloklusi
o Hematoma
o Laserasi
o patahan gigi
o Gigi palsu
6
• Palpasi:
o Secara bimanual
o Maksila : mobilitas maksila, floating maxilla
o Mandibula : false movement
Inspeksi:
• Jika pasien bisa menjawab pertanyaan, cairan yang terasa asin dapat menjadi
indikasi adanya CSF drainage
• Ada tidaknya Raccoon eye, Rinorrhoea dan “Battle” sign à indikasi fraktur
basis kranii
• Ada tidaknya periorbital, perinasal, malar, maxillary, dan upper lip swelling
• Maloklusi
• Tenderness
• Edema
• Asimetris
7
• Perlu diperhatikan bahwa fraktur maksillofasial seringkali tidak tunggal,
sehingga harus mencari kemungkinan fraktur lainnya
Skenario Kasus: Pada pemeriksaan klinis didapatkan posisi maksila yang tidak stabil terhadap
dasar tengkorak
2.5 Tanda-tanda lain apa yang jika ada dapat mendukung diagnosis?
Inspeksi:
• Edema periorbital
Palpasi:
2.6 Pemeriksaan penunjang apa yang anda minta? bagaimana cara membaca hasilnya?
Gambaran apa yang diharapkan?
Diagnosis pada fraktur jenis Le Fort, seperti pada fraktur tulang lainnya,
dilakukan melalui pemeriksaan fisik dan radiologis (Phillips dan Turco, 2017).
Pemeriksaan yang umum diminta adalah sebuah foto polos kepala, meskipun kurang
akurat, dan CT Scan non-kontras dengan potongan tipis sebagai modalitas utama, dengan
8
potongan aksial diutamakan dan potongan koronal dipertimbangkan jika dicurigai ada
keterlibatan rongga orbit (Funk, 2019).
CT scan ini diperlukan sebagai imaging untuk memnentukan level Le Fort berapa
yang terkena. CT scan ini paling bagus untuk mengetahui lokasi, jenis, dan macam
fraktur.
- Cisterna
Skenario Kasus: Kalau hasil pemeriksaan penunjang mendukung diagnosis klinis anda
9
- Anamnesa
- Pemeriksaan fisik : Brill hematome, maloclusi intraoral, floating maxilla, step
defect dan nyeri frontozygoma , edema periorbita
- Pemeriksaan penunjang : Foto polos Waters
Gambaran lain sesuai Le Fort :
Pada kasus fraktur tulang wajah, sebelum melakukan tindakan definitif, keadaan darurat
mengancam jiwa harus diatasi terlebih dahulu. Di antaranya dengan stabilisasi jalur
napas, mengatasi perdarahan dan gangguan terhadap sirkulasi (Ebenezer, V., et. al.,
2014). Apabila jalan napas terganggu, intubasi dapat dilakukan. Jika tidak dapat
dilakukan dengan intubasi orotracheal karena impaksi tulang wajah yang bergerak ke
arah inferoposterior sehingga menyebabkan obstruksi saluran napas, maka perlu
dilakukan tracheotomy dan cricothyrotomy. (Ebenezer, V., et. al., 2014)
Target dari manajemen fraktur, menurut Wright, T., et. al. (2019), yaitu:
• Mengembalikan proyeksi normal wajah dan ruang sinus.
• Menstabilisasikan oklusi gigi, perbaikan tidak dapat maksimal tanpa oklusi gigi
yang baik.
• Mengembalikan integritas dari tulang hidung dan orbita.
Menurut Ebenezer, et. al. (2014), langkah dalam menangani fraktur Le Fort, yaitu
dengan:
1. Reduksi
Reduksi adalah mengembalikan fragmen fraktur sesuai dengan posisi
anatomis. Terdapat 2 cara, yaitu secara terbuka (bedah) dan tertutup (traksi
intraoral, ekstraoral). Pemilihan cara tergantung pada mobilitas dari maksila
dan keparahan dari displacement maksila sehingga timbulkan maloklusi.
(Esmaeelinejad, M., 2020)
10
2. Fiksasi
Fragmen fraktur yang sudah direduksi sehingga sesuai posisi anatomis
kemudian difiksasi. Adapun teknik fiksasi yang digunakan dapat bervariasi
tergantung keadaan, ada yang melakukan secara invasif, maupun invasif
minimal (Philips dan Turco, 2017). Pada fraktur yang tidak terlalu parah, maka
dapat digunakan maxillomandibular fixation (MMF) atau suspensi
menggunakan kawat. Pada fraktur dengan maloklusi dan displacement parah,
dapat digunakan Open Reduction and Internal Fixation (ORIF) menggunakan
plate (Esmaeelinejad, M., 2020).
Pada pasien ini terjadi fraktur Le Fort III, terdapat maloklusi dan dan juga floating
maksila. Terapi yang dipilih adalah dengan reduksi terbuka dan fiksasi internal
menggunakan plat atau Open Reduction and Internal Fixation (ORIF).
Terapi pembedahan dilakukan apabila terdapat indikasi yang sesuai untuk dilakukannya
pembedahan dan pasien sudah dalam keadaan stabil. Menurut Brady, C., et al. (2020),
pembedahan dilakukan pada pasien yang terbukti mengalami maloklusi dan
displacement dari fraktur fragmen yang tidak stabil, serta dapat menerima anestesi
general.
Terapi pembedahan sebaiknya dilakukan sebelum 1 minggu. Hal tersebut bertujuan agar
mencegah pembentukan skar pada jaringan lunak dan kontraksi otot, sehingga perbaikan
fraktur dapat berlangsung dengan baik. Selain itu karena struktur tulang maksila dan
zygoma yang merupakan tulang pipih, maka apabila sebelum 1 minggu belum dilakukan
terapi, dapat terjadi malunion. (Thomas, J., 2010).
11
• Gangguan fungsi makan dan mengunyah akibat oklusi
12
DAFTAR PUSTAKA
Brady, C., Odono, L. and Urata, M., 2020. Facial Trauma Surgery. ELSEVIER, pp.147-167.
Morris, L. and Kellman, R., 2013. Complications In Facial Trauma. [online] Available at:
https://www.facialplastic.theclinics.com/article/S1064-7406(13)00094-1/pdf
Pedoman Pengelolaan Penderita Kepala Leher Ed. 4 Div Bedah KL RSUD Dr. Soetomo
Phillips, B. and Turco, L., 2017. Le Fort Fractures: A Collective Review. Bulletin of
Emergency and Trauma, 5(4), pp.221-230.
Roodenburg, J., Lavery, K. M., & Newman, L. (2017). Primary Care of Maxillofacial Injuries.
Maxillofacial Surgery, 7–15.doi:10.1016/b978-0-7020-6056-4.00002-2
Roychoudhury, A., Jose, A., Nagori, S., Agarwal, B. and Bhutia, O., 2016. Management of
maxillofacial trauma in emergency: An update of challenges and controversies. Journal
of Emergencies, Trauma, and Shock, 9(2), p.73.
Sharma, R. and Parashar, A., 2013. Unfavourable outcomes in maxillofacial injuries: How to
avoid and manage. Indian Journal of Plastic Surgery, 46(2), p.221.
Wright, T., Kramer, C., Patel, B. and Waseem, M., 2019. Fracture, Le Fort. [online]
Ncbi.nlm.nih.gov. Available at: <https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK526060/>
[Accessed 5 April 2020].
13