Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH BEDAH KEPALA LEHER

DISKUSI KASUS TRAUMA (KASUS 8)

Oleh:

Amanda Marantika 011823143063


Elvin Nuzulistina 011823143064
Alda Dini Wijayanti 011823143140
Ilma Dzurriyyatan Toyyibah 011823143141
Annisa Aulia Maghfirani Sudarmadi 011823143142

Dokter Muda Stase Bedah Kepala Leher


Periode: 6 s/d 12 April 2020

Pembimbing:
Prof. Sunarto Reksoprawiro, dr., Sp.B(K)Onk,KL

DIVISI BEDAH BEDAH KEPALA LEHER SMF/DEPARTEMEN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
RSUD DR. SOETOMO SURABAYA
2020

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................................. 1

DAFTAR ISI ............................................................................................................................. 2

BAB I Skenario Kasus............................................................................................................... 3

BAB II Diskusi Kasus ............................................................................................................... 4

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 13

2
BAB I
Skenario Kasus

Seorang laki-laki umur 40 tahun dibawa ke rumah sakit setelah naik sepeda motor menabrak
mobil yang berhenti (lihat gambar).

3
BAB II
Diskusi Kasus

2.1 Anda sebagai dokter jaga IRD, apa saja yang akan anda lakukan?

Pertama, dengan melakukan primary survey, bila sudah teratasi dilanjutkan dengan
secondary survey.

Primary Survey

• Airway : Pastikan jalan nafas bebas


• Breathing : Pastikan saturasi oksigen baik (RR, SpO2)
• Circulation : Pastikan tidak ada pendarahan maupun tanda syok (TD, HR)
• Disability : GCS, AVPU, Pastikan ada gangguan kesadaran atau tidak
• Exposure : Stabilisasi cervical spine, Pastikan kondisi kulit (Suhu)

Jika didapatkan keadaan tidak normal pada salah satu atau beberapa, dilakukan
stabilisasi sesuai dengan urutan A-B-C

Secondary Survey

• Anamnesis
Dilakukan pada pasien tanpa gangguan kesadaran.
Tujuan: untuk mengetahui kemungkinan lokasi, jenis trauma, dan akibat yang
ditimbulkan, faktor komorbid pasien, serta dapat membantu mengarahkan
diagnosis dan rencana terapi yang akan diberikan.
o Identitas pasien
o Mechanism of injury
o Keluhan/Riwayat penyakit sekarang
§ Nyeri? Trismus? Gangguan mengunyah?
o Riwayat penyakit dahulu atau trauma sebelumnya
o Riwayat penyakit keluarga
o Riwayat konsumsi obat
• Pemeriksaan Fisik

4
Dilakukan dari kepala sampai ekstremitas, kanan-kiri dari anterior maupun
posterior.
Tujuan: untuk mengetahui kemungkinan lokasi, jenis trauma, dan akibat yang
ditimbulkan; dan mengetahui kemungkinan kelainan pada bagian tubuh lainnya.

Parameter Pemeriksaan Fisik

Kepala Airway bebas? Terpasang alat bantu napas? Anemis? Ikterus? Sianosis?
Dyspnea? Edema? Jejas?

Cervical/Spine Benjolan? Jejas?

Thorax RR? Gerakan napas simetris? Retraksi?

Cor Tekanan Darah? Nadi? Kuat angkat? Reguler? Suara jantung normal?

Pulmo Perkusi sonor? Suara napas vesikuler? Suara tambahan?

Abdomen Abdomen supel? Bising usus? Nyeri tekan? Jejas? Organomegali?

Ekstremitas Saturasi oksigen? Akral HKM? CRT? Edema? Fraktur? Lokasi?


Terbuka/tertutup? Jejas?

Skenario Kasus : Kalau ternyata vital sign (T, N., t, R) tak ada kelainan, dan tidak didapatkan
cedera di tempat lain, maka

2.2 Bagaimana cara anda melakukan pemeriksaan status lokalis?

A. Regio Facialis
• Inspeksi, mengevaluasi adanya:
o Bentuk asimetris (karena adanya deformitas)
o Enoftalmus (terjadi pada pasien fraktur blow out zygoma
o Luka terbuka
o Deformitas
o Perdarahan, hematoma, atau cairan
o Molar prominance menghilang
o Edema
o Trismus

5
o Maloklusi
• Palpasi:
o Secara sistematis, bandingkan kanan-kiri
o Os frontale → margo supraorbita → nasal → arkus zigoma →
korpus zigoma → margo infraorbita → maksila → mandibula →
palatum.
o Evaluasi adanya nyeri tekan, deformitas, krepitasi, false movement,
maupun gangguan sensoris.

B. Intraoral
• Inspeksi, mengevaluasi adanya:
o Maloklusi
o Hematoma
o Laserasi
o patahan gigi
o Gigi palsu

6
• Palpasi:
o Secara bimanual
o Maksila : mobilitas maksila, floating maxilla
o Mandibula : false movement

C. Gerakan Bola Mata


Evaluasi dengan memeriksa gerakan bola mata ke segala arah.

2.3 Tanda / kelainan apa saja yang anda cari?

Inspeksi:

• Ada tidaknya asimetris, laserasi, ekimosis

• Ada tidaknya Edema periorbital

• Ada tidaknya Rhinorrhea, Otorrhea à mencurigai fraktur basis kranii

• Jika pasien bisa menjawab pertanyaan, cairan yang terasa asin dapat menjadi
indikasi adanya CSF drainage

• periorbital ecchymosis subconjunctival hematoma dan edema

• Ada tidaknya Raccoon eye, Rinorrhoea dan “Battle” sign à indikasi fraktur
basis kranii

• Ada tidaknya periorbital, perinasal, malar, maxillary, dan upper lip swelling

Palpasi regio maksilofasial:

• Maloklusi

• Tenderness

• Edema

• Asimetris

7
• Perlu diperhatikan bahwa fraktur maksillofasial seringkali tidak tunggal,
sehingga harus mencari kemungkinan fraktur lainnya

• Mencari false movement maksilla à dengan cara menggerakkan ke kanan-kiri


dan atas bawah à ada pada fraktur maksilla

• Mencari false movement mandibula à dengan cara menggerakan tangan


kanan ke atas bersamaan dengan menggerakan tangan kiri ke bawah saat
kedua tangan memeriksa mandibula à ada pada fraktur mandibula

• Mobilitas os maksila diperiksa dengan menggunakan tangan kanan (tangan


dominan) untuk menggerakkan, dan tangan kiri untuk memfiksasi di titik
tertentu.

Skenario Kasus: Pada pemeriksaan klinis didapatkan posisi maksila yang tidak stabil terhadap
dasar tengkorak

2.4 Apa diagnosis klinis penderita tersebut?

Fraktur Tertutup Maksilla tipe Le Fort III + Maloklusi

2.5 Tanda-tanda lain apa yang jika ada dapat mendukung diagnosis?

Inspeksi:

• Asimetris, tidak ada laserasi

• Edema periorbital

• Raccoon eyes atau brill hematoma

Palpasi:

• Maloklusi dan mobilitas dari os maxilla (floating maxilla)

• Step defect di daerah frontozygoma sinistra et dextra

• Nyeri saat ditekan pada step defect tersebut

2.6 Pemeriksaan penunjang apa yang anda minta? bagaimana cara membaca hasilnya?
Gambaran apa yang diharapkan?

Diagnosis pada fraktur jenis Le Fort, seperti pada fraktur tulang lainnya,
dilakukan melalui pemeriksaan fisik dan radiologis (Phillips dan Turco, 2017).
Pemeriksaan yang umum diminta adalah sebuah foto polos kepala, meskipun kurang
akurat, dan CT Scan non-kontras dengan potongan tipis sebagai modalitas utama, dengan

8
potongan aksial diutamakan dan potongan koronal dipertimbangkan jika dicurigai ada
keterlibatan rongga orbit (Funk, 2019).

Pada pemeriksaan awal, dilakukan pemeriksaan yang sederhana terlebih dahulu,


yakni foto polos kepala waters. Pada foto waters lihat kondisi sinus paranasalis dan
apakah ada fraktur pada tulang calvaria.

Gambaran yang diharapkan adalah :

- Perselubungan di sinus maksilaris (cloudy) : karena perdarahan


Perselubungan di sinus maksilaris ini ditemukan di kedua sisi, kanan dan kiri
karena fraktur berbentuk transversal memotong kedua sisi. Apabila pada foto
didapatkan perselubungan satu sisi saja, curiga fraktur os zygoma.
- Tampak fraktur ( step defect pada frontozygoma kanan dan kiri) : ada
diskontinuitas

Pemeriksaan penunjang ini diminta sesuai dugaan klinis, untung mendukung


diagnosa. Karena pada pasien ini tidak didapatkan kelainan kepala ( tidak ada penurunan
kesadaran, tidak ada rinorhea, otorhea, vital sign stabil) maka tidak diperlukan CT scan.

CT scan ini diperlukan sebagai imaging untuk memnentukan level Le Fort berapa
yang terkena. CT scan ini paling bagus untuk mengetahui lokasi, jenis, dan macam
fraktur.

Yang dievaluasi pada CT scan berupa :

- Blood (darah) : hiperdens

- Cisterna

- Brain (jaringan otak) : sulcus, gyrus, perdarahan

- Ventrikel : asimetri dilatasi

- Bone (tulang) : fraktur (Cydulka, Tintinalli, dan Perron, 2018).

Skenario Kasus: Kalau hasil pemeriksaan penunjang mendukung diagnosis klinis anda

2.7 Bagaimana anda menentukan macam tipe dari diagnosis tersebut?

Dengan mengumpulkan informasi dari :

9
- Anamnesa
- Pemeriksaan fisik : Brill hematome, maloclusi intraoral, floating maxilla, step
defect dan nyeri frontozygoma , edema periorbita
- Pemeriksaan penunjang : Foto polos Waters
Gambaran lain sesuai Le Fort :

- Le Fort I : Fraktur bagian lateral dari apertura piriform


- Le Fort II : Fraktur di inferior orbital rim dan dinding zygomaticomaxillary
buttress
- Le Fort III : Fraktur di dinding lateral orbita dan frontozygoma

2.8 Terapi apa yang akan dilakukan pada penderita?

Pada kasus fraktur tulang wajah, sebelum melakukan tindakan definitif, keadaan darurat
mengancam jiwa harus diatasi terlebih dahulu. Di antaranya dengan stabilisasi jalur
napas, mengatasi perdarahan dan gangguan terhadap sirkulasi (Ebenezer, V., et. al.,
2014). Apabila jalan napas terganggu, intubasi dapat dilakukan. Jika tidak dapat
dilakukan dengan intubasi orotracheal karena impaksi tulang wajah yang bergerak ke
arah inferoposterior sehingga menyebabkan obstruksi saluran napas, maka perlu
dilakukan tracheotomy dan cricothyrotomy. (Ebenezer, V., et. al., 2014)

Target dari manajemen fraktur, menurut Wright, T., et. al. (2019), yaitu:
• Mengembalikan proyeksi normal wajah dan ruang sinus.

• Menstabilisasikan oklusi gigi, perbaikan tidak dapat maksimal tanpa oklusi gigi

yang baik.
• Mengembalikan integritas dari tulang hidung dan orbita.

Menurut Ebenezer, et. al. (2014), langkah dalam menangani fraktur Le Fort, yaitu
dengan:

1. Reduksi
Reduksi adalah mengembalikan fragmen fraktur sesuai dengan posisi
anatomis. Terdapat 2 cara, yaitu secara terbuka (bedah) dan tertutup (traksi
intraoral, ekstraoral). Pemilihan cara tergantung pada mobilitas dari maksila
dan keparahan dari displacement maksila sehingga timbulkan maloklusi.
(Esmaeelinejad, M., 2020)

10
2. Fiksasi
Fragmen fraktur yang sudah direduksi sehingga sesuai posisi anatomis
kemudian difiksasi. Adapun teknik fiksasi yang digunakan dapat bervariasi
tergantung keadaan, ada yang melakukan secara invasif, maupun invasif
minimal (Philips dan Turco, 2017). Pada fraktur yang tidak terlalu parah, maka
dapat digunakan maxillomandibular fixation (MMF) atau suspensi
menggunakan kawat. Pada fraktur dengan maloklusi dan displacement parah,
dapat digunakan Open Reduction and Internal Fixation (ORIF) menggunakan
plate (Esmaeelinejad, M., 2020).

Pada pasien ini terjadi fraktur Le Fort III, terdapat maloklusi dan dan juga floating
maksila. Terapi yang dipilih adalah dengan reduksi terbuka dan fiksasi internal
menggunakan plat atau Open Reduction and Internal Fixation (ORIF).

2.9 Jika terapi pembedahan, kapan dilakukannya?

Terapi pembedahan dilakukan apabila terdapat indikasi yang sesuai untuk dilakukannya
pembedahan dan pasien sudah dalam keadaan stabil. Menurut Brady, C., et al. (2020),
pembedahan dilakukan pada pasien yang terbukti mengalami maloklusi dan
displacement dari fraktur fragmen yang tidak stabil, serta dapat menerima anestesi
general.

Terapi pembedahan sebaiknya dilakukan sebelum 1 minggu. Hal tersebut bertujuan agar
mencegah pembentukan skar pada jaringan lunak dan kontraksi otot, sehingga perbaikan
fraktur dapat berlangsung dengan baik. Selain itu karena struktur tulang maksila dan
zygoma yang merupakan tulang pipih, maka apabila sebelum 1 minggu belum dilakukan
terapi, dapat terjadi malunion. (Thomas, J., 2010).

2.10 Komplikasi apa saja yang bisa terjadi bila dibiarkan?

• Deformitas pada wajah


• Fraktur yang mengenai dasar orbita dapat menimbulkan gangguan pada otot bola
mata. Gangguan tersebut dapat berupa penekanan atau penjepitan otot bola mata
sehingga dapat terjadi diplopia
• Fraktur yang melintang pada hidung dapat mengganggu saraf penciuman yang
menimbulkan anosmia

11
• Gangguan fungsi makan dan mengunyah akibat oklusi

2.11 Bagaimana perawatan pasca bedah pada penderita?


• Pasien dipuasakan à nutrisi melalui infus (selama 2 hari, karena terapi pembedahan
intraoral dan menimbulkan luka pada epitel mulut. Setelah 48 jam terjadi proses
penyembuhan epitel sehingga dapat dimulai makan dengan diet cair)
• Pasien diberikan diet cair selama 1 bulan
• Pada hari ke-4 pasien dapat dipulangkan (KRS)
• Pada hari ke-7 untuk dilakukan pengangkatan jahitan
• Menjaga higienitas mulut dengan berkumur dengan antiseptik setelah makan
• Proses makan bertahap : makanan cair selama 1 bulan à bubur selama 1 bulan à
nasi lunak

2.12 Perlu berapa lama proses penyembuhannya?


Proses union sempurna biasanya berlangsung antara 2 sampai 3 bulan

12
DAFTAR PUSTAKA

Brady, C., Odono, L. and Urata, M., 2020. Facial Trauma Surgery. ELSEVIER, pp.147-167.

Esmaeelinejad, M., 2020. Maxillofacial Fractures: From Diagnosis To Treatment. [online]


Available at: <https://www.intechopen.com/books/trauma-surgery/maxillofacial-
fractures-from-diagnosis-to-treatment> [Accessed 5 April 2020].

Morris, L. and Kellman, R., 2013. Complications In Facial Trauma. [online] Available at:
https://www.facialplastic.theclinics.com/article/S1064-7406(13)00094-1/pdf

Pedoman Pengelolaan Penderita Kepala Leher Ed. 4 Div Bedah KL RSUD Dr. Soetomo

Phillips, B. and Turco, L., 2017. Le Fort Fractures: A Collective Review. Bulletin of
Emergency and Trauma, 5(4), pp.221-230.

Roodenburg, J., Lavery, K. M., & Newman, L. (2017). Primary Care of Maxillofacial Injuries.
Maxillofacial Surgery, 7–15.doi:10.1016/b978-0-7020-6056-4.00002-2

Roychoudhury, A., Jose, A., Nagori, S., Agarwal, B. and Bhutia, O., 2016. Management of
maxillofacial trauma in emergency: An update of challenges and controversies. Journal
of Emergencies, Trauma, and Shock, 9(2), p.73.

Sharma, R. and Parashar, A., 2013. Unfavourable outcomes in maxillofacial injuries: How to
avoid and manage. Indian Journal of Plastic Surgery, 46(2), p.221.

Wright, T., Kramer, C., Patel, B. and Waseem, M., 2019. Fracture, Le Fort. [online]
Ncbi.nlm.nih.gov. Available at: <https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK526060/>
[Accessed 5 April 2020].

13

Anda mungkin juga menyukai