Anda di halaman 1dari 31

KASUS UJIAN

SEORANG LAKI-LAKI 14 TAHUN DENGAN FRACTURE


SEGMENTAL MANDIBULA DEKSTRA

Periode : 5-11 Januari 2015

Oleh:

Oleh:
Rizky Saraswati Indraputri

G 99141129

Pembimbing:
dr. Amru Sungkar.,SpB.,SpBP

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2015

BAB I
STATUS PASIEN
A. ANAMNESIS
I.
Identitas Pasien
Nama
Umur
Jenis kelamin
Agama
Pekerjaan
Alamat
Tanggal Masuk
Tanggal Periksa
Status Pembayaran
II.

: An. DR
: 14 tahun
: Laki-Laki
: Islam
: Pelajar
: Sendang, Boyolali
: 3 Januari 2015
: 7 Januari 2015
: BPJS

Keluhan Utama
Nyeri di rahang bawah kanan

III.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan nyeri pada rahang bawah kanan.. Kirakira 4 jam SMRS pasien mengalami kecelakaan tunggal di mana pasien
terjatuh dari motor yang dikendarainya sewaktu melewati tumpukkan pasir.
Pasien terjatuh dengan posisi muka tertelungkup. Nyeri terasa senut-senut
dan dirasakan terus menerus. Pasien juga merasa sulit untuk membuka mulut
dengan lebar.
Pasien saat berkendara tidak mengenakan helm. Pasien ditolong
warga dan dibawa ke RSU Pandan Arang,Boyolali. Riwayat sinkope, muntah
dan kejang setelah kecelakaan (-). Di RS tersebut pasien dibersihkan lukanya
dan dilakukan medikasi. Karena keterbatasan sarana, pasien kemudian
dirujuk ke RSUD Dr. Moewardi untuk mendapat penanganan lebih lanjut.

IV.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat alergi obat
Riwayat hipertensi
Riwayat diabetes mellitus
Riwayat penyakit jantung
Riwayat alergi
Riwayat trauma sebelumnya
Riwayat mondok sebelumnya

: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal

V.

I.

II.

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat alergi obat
Riwayat hipertensi
Riwayat diabetes mellitus
Riwayat penyakit jantung
Riwayat alergi

: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal

B. PEMERIKSAAN FISIK
Primary Survey
a. Airway
: bebas
b. Breathing
: spontan, frekuensi pernafasan 20 x/menit
Inspeksi
: pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi
: fremitus raba kanan = kiri
Perkusi
: sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
c. Circulation : tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 78/menit, CRT<2 detik
d. Disability
:GCS E4V5M6, reflek cahaya (+/+), pupil isokor (3mm/
3mm), lateralisasi (-/-)
e. Exposure
: suhu 36,5C, Jejas (+) lihat status lokalis

Secondary Survey
a. Keadaan umum

: composmentis, pasien tampak kesakitan, gizi

kesan
baik.
b. Kepala

: mesocephal, rambut warna

hitam sukar dicabut, Vulnus Excoriatum (+) 1 cm


di regio supraorbita sinistra, Vulnus Laceratum (+)
di mandibulla
c.Mata
: konjungtiva pucat (-/-), sklera
ikterik (-/-), pupil isokor (3mm/3mm), reflek
cahaya (+/+), hematom periorbita (-/+), diplopia
(-/-).
d. Telinga

: sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan

mastoid (-/-), nyeri tragus (-/-).


e.Hidung
: bloody rhinorrhea (-/-), vulnus
excoriatum (+) di sub nasalis

f. Mulut

: maloklusi (+) open bite, gusi

berdarah (+), lidah kotor (-), jejas (-), gigi goyang


(-), gigi tanggal (+)
Tampak jahitan pada bagian bawah bibir.
g. Leher

:pembesaran

tiroid

(-),

pembesaran limfonodi (-), nyeri tekan (-), JVP


tidak meningkat.
h. Thorak

bentuk

normochest,

ketertinggalan gerak (-).


i. Jantung
Inspeksi

: ictus cordis tidak tampak.

Palpasi

: ictus cordis teraba, tidak kuat angkat.

Perkusi

: batas jantung kesan tidak melebar.

Auskultasi

: bunyi jantung I-II intenstas normal, regular, bising


(-).

j. Pulmo
Inspeksi

: pengembangan dada kanan tertinggal dari kiri.

Palpasi

: fremitus raba kanan kurang dari kiri, nyeri tekan


(-/-).

Perkusi

: sonor/sonor.

Auskultasi

: suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan


(-/-).

k. Abdomen
Inspeksi

: distended (-)

Auskultasi

: bising usus (+) normal

Perkusi

: timpani

Palpasi

: supel, nyeri tekan (-), defance muscular (-)

l. Genitourinaria

: BAK normal, BAK darah (-), BAK nanah (-),

nyeri
BAK (-).
m. Muskuloskletal

: jejas (-), nyeri (-)

n. Ekstremitas
Akral dingin

Oedema

III.

Status Lokalis
Regio Mandibula Dekstra
Inspeksi
: Maloklusi (+) openbite, oedem (+), gigi tanggal (+) 1.1,
2.1,
Palpasi

: Mandibula goyang (+), nyeri tekan (+), krepitasi (-)

C.

ASSESMENT 1
Suspek fraktur mandibula dekstra
D. PLANNING 1
1. Pasang infus RL 20 tpm
2. Ketorolac 30mg/8 jam
3. Injeksi Cefotaxim 1g/12 jam.
4. Injeksi Ranitidine 100mg/12 jam.
5. Pemeriksaan darah rutin.
6. Foto Kepala AP/Lat, Panoramic view
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Hasil pemeriksaan laboratorium (3 Januari 2015)
Hb

17,0 g/dl

Hct

47%

AE

5.62 juta/uL

AL

15.2 ribu/uL

AT

265 ribu/uL

Gol Darah

PT

13.5 detik

APTT

44.5 detik

INR

1.090

HbsAg

(-)

b. Foto Rontgen Kepala AP/Lat tgl 3 Desember 2014

Foto Skull AP/Lat:


Alignment baik
Trabekula tulang normal
Bentuk dan ukuran sella tursica dalam batas normal
Tak tampak tanda-tanda peningkatan intracranial
Calvaria intak
Tampak fraktur condylus mandibula kanan
Tak tampak soft tissue mass/swelling
Kesimpulan :
Fraktur Condylus mandibula kanan
c. Foto Panoramic

Foto Panoramic:
Trabekulasi tulang di luar lesi normal
Tampak fraktur condylus mandibula kanan, condylus mandibula kiri, ramus,
angulus, dan corpus mandibular kanan kiri tak tampak kelainan
Unerupted (-)
Impacted 1.8, 2.8, 3.8, 4.8
Tumpatan (-)
Sisa radix 1.5, 2.2, 3.6
Missing 1.1, 2.1
Caries (-)
Cyste (-)
Granuloma (-)
Tak tampak erosi/ destruksi tulang
Tak tampak soft tissue mass, swelling
Tak tampak bayangan radiopaque multiple berbentuk batang yang terproyeksi
di simfisis mandibular mengesankan korpal
Kesimpulan:
Fraktur condylus mandibula kanan
Impacted 1.8, 2.8, 3.8, 4.8

Sisa radix 1.5, 2.2, 3.6


Missing 1.1, 2.1
F.

ASSESMENT II
Fraktur segmental mandibula

G. PLANNING II
1. Diet bubur 1900 kkal
2. Menjaga oral hygiene
3. MRS bangsal
4. Pro ORIF elektif
H. PROGNOSIS
a. Ad vitam

: bonam

b.

Ad sanam

: bonam

c.

Ad fungsionam

: bonam
BAB II
JAWABAN UJIAN

1. ANAMNESIS
Anamnesis dapat dilakukan langsung dengan pasien (autoanamnesis) jika
pasien dalam keadaan sadar dan dapat diajak berkomunikasi atau dengan orang
yang melihat langsung kejadian yang dialami pasien. Dari anamnesis dapat
ditanyakan kronologis kejadian trauma, arah dan kekuatan dari trauma terhadap
pasien maupun saksi mata. Sifat, daya, dan arah hantaman cedera harus dicari
tahu dari pasien dan saksi-saksi yang ada. Dalam anamnesis pasien-pasien yang
mengalami trauma maksilofasial antara lain, yang harus ditanyakan antara lain:
a. Apakah penyebab pasien mengalami trauma?
Kecelakaan lalu lintas.
Trauma tumpul.
Trauma benda keras.
Kecelakaan olahraga.
Perkelahian.
Terjatuh
Dalam kasus ini pasien mengalami kecelakaan lalu lintas tunggal.

b. Apabila terjatuh, bagaimana mekanisme injuri yang terjadi? Bagaimana


posisi pasien saat terjatuh?
Dalam kasus ini pasien ketika jatuh telungkup, dengan posisi wajah terserat
di gundukkan pasit. Terdapat vulnus excoriatum pada dahi, dibawah hidung
c.

dan dibawah dagu. Terdapat vulnus laceratum di dagu.


Apakah pasien dalam keadaan mabuk saat mengendarai kendaraan?Apakah

pasien memakai pelindung kepala saat mengalami trauma tersebut?


Pasien tidak mengenakan helm.
d. Dimana kejadiannya? Sudah berapa lama pasien mengalami kejadian

e.

tersebut?
Kronologi kejadian sejak 4 jam SMRS di dekat rumah pasien .
Apakah setelah mengalami kecelakaan pasien tidak sadar? Jika tidak sadar,
berapa lama pasien mengalami penurunan kesadaran?
Psien dibantu penolong dibawa ke RSU Pandan Arang Boyolali, sampai di

sana dan diberi pertolongan pertama.


Apakah pasien muntah dan kejang setelah kejadian?
Tidak ada muntah dan kejang pasca kecelakaan
g.
Pertolongan apa saja yang sudah diberikan kepada pasien?
Pada vulnus excoriatum pasien terlah dibersihkan dan dilakukan medikasi,
f.

vulnus laceratum dibersihkan kemudian di jahit, infus RL 20 tpm, injeksi


analgetik Ketorolac 30mg/8 jam, injeksi Ranitidine 100mg/12 jam, injeksi
Cefotaxim 1gram/ 12 jam.
2. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan mandibula termasuk inspeksi dan palpasi. Inspeksi
dilakukan dari arah frontal, lateral, superior, dan inferior. Diperhatikan
kesimetrisan dan ada tidaknya deformitas, luka terbuka dan evaluasi dari
konfigurasi gigi saat menutup dan membuka mulut, adakah gigi yang tanggal.
Diperhatikan apakah ada pergerakan yang tidak sinkron.
a. Inspeksi secara urut dari atas ke bawah:
Deformitas, memar, abrasi, laserasi, dan edema.
Luka tembus.
Daerah muka simetri atau tidak.
Adakah malar emminance.
Adanya maloklusi atau trismus, dan pertumbuhan gigi abnormal.
Ottorhea dan Rhinorrhea.
Telecanthus, Battles Sign, Racoons Sign, dan hematom periorbita.

Cedera kelopak mata.


Ecchymosis dan epitaksis.
Ekspresi wajah yang kesakitan atau cemas.
b. Palpasi untuk mengetahui kelainan pada tulang dan jaringan pada wajah.
Palpasi untuk kelainan tulang supraorbital dan tulang frontal.
Palpasi hidung untuk meraba adanya septum deviasi, pelebaran

jembatan hidung, meraba permukaan mukosa, dan krepitasi.


Palpasi zygoma sepanjang lengkung serta artikulasi dengan tulang

frontal, tulang temporal, dan tulang maksila.


Perkusi didaerah tragus untuk mengetahui adakah tragus pain.
Periksa stabilitas wajah dengan menggenggam gigi dan palatum
kemudian mendorongnya maju mundur dan naik turun. Nilai apakah

terdapat floating maksila atau hanya maksila goyang.


Palpasi gigi untuk meraba adakah gigi yang goyang.
Palpasi rahang bawah untuk memeriksa nyeri dan bengkak.
Palpasi sepanjang supraorbital dan infraorbital untuk melihat adakah
hyperesthesia atau anesthesia.

3. DIAGNOSIS DAN DIFFERENSIAL DIAGNOSIS


Diagnosis pada pasien di atas adalah suspect fraktur segmental
mandibula. Diagnosis banding terdiri dari semua patah tulang wajah, lecet
jaringan lunak, memar, dan lecet. Pemeriksa harus berhati-hati untuk tidak
berhenti pada evaluasi hanya karena satu patah tulang atau cedera dicatat.
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa sebanyak 30% dari pasien memiliki
dua atau lebih patah tulang atau cedera
a. Dislokasi Mandibula
Jika dicurigai adanya nyeri pada bagian mandibula dan trismus yang
ekstrem saat membuka mulut atau setelah berisul. Terkadang pasien
sulit untuk berbicara, mengunyah dan maloklusi.
b. Fraktur Facial
Dicurigai adanya asimetris pada wajah, dilihat apakah ada lukaterbuka
dan terdapat benda asing disana. Abnormalitas dari gerakan bolamata
dan visual.
c. Fraktur Le Fort

Fraktur Le fort I : menunjukan pelebaran fraktur ke horizontal di


mandibula inferior, kadang kadang termasuk fraktur dari dinding

lateral sinus, memanjang ke tulang palatine dan pterygoid.


Fraktur Le fort II : pemeriksaan radiologis menunjukan gangguan
dari pelek orbital inferior lateral saluran orbital dan patah tulang
dari dinding medial orbital dan tulang nasal. Fraktur memperluas

posterior kedalam piring pterygoid.


Fraktur Le fort III : pemeriksaan radiologis menunjukan patah
tulang pada sutura zygomaticofrontal, zygoma, dinding medial
orbita, dan tulang hidung meluas ke posterior melalui orbita di
sutura pterygomaksilaris ke fossa sphenopalatina

4. PEMERIKSAAN

PENUNJANG

DAN

PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium adalah
menganalisa

jumlah

sel

darah

PENILAIAN

pemeriksaan
(eritrosit,

HASIL

laboratorium

leukosit,

trombosit,

untuk
dan

hemoglobin), hematokrit, protrombin time, partial tromboplastin time, ion


(natrium, klorida), kreatinin, ureum, glukosa sewaktu, albumin, dan
golongan darah.
Angka rujukan normal untuk hasil pemeriksaan di atas adalah:
Hb
: 12-15 g/dL
AE
: 4,2-6,2. 103/L
AL
: 4-11.103/L
AT
: 150-350.103/L
Hct
: 38-51%
PT
: 11-14 detik
APTT : 20-40 detik
b. Pemeriksaan Radiologi
Diagnosa fraktur mandibula biasanya dibuat dengan pemeriksaan
riwayat dan fisik. Foto panoramic pada tulang wajah standar untuk seluruh
pasien dengan dugaan (suspect) fraktur mandibula. Radiografi membantu
untuk konfirmasi dan untuk dokumentasi medikolegal dan untuk
menentukan perluasan cedera tulang.
1. Panoramic view

Foto panoramic dapat memperlihatkan keseluruhan mandibula dalam


satu foto. Pemerikasaan ini memerlukan kerjasama pasien, dan sulit
dilakukan pada pasien trauma, selain itu kurang memperlihatkan TMJ,
pergeseran kondilus medial dan fraktur prosessus alveolar.
2. Foto Skull AP/Lateral
Pemeriksaan penunjang pada fraktur mandibula. Dibuat untuk
melihat proyeksi tulang maksila, zigoma dan mandibula. Selain itu
dapat melihat neck condylus mandibula terutama yang displaced ke
medial dan bisa juga melihat dinding lateral maksila.
5. RENCANA PENATALAKSANAAN
Pasien dalam kasus ini berada pada kondisi compos mentis. Airway
tidak ada sumbatan, breathing dan circulation dalam kondisi normal. Apabila
pasien tidak sadar perlu penanganan segera pada airway, breathing,
circulation, disability, dan exposure. Airway dipertahankan dengan chin lift dan
jaw trust, sebelum hal tersebut dilakukan pasang cervical collar terlebih dahulu.
Pastikan jalan nafas terbebas dari hambatan. Tinjau kembali saluran nafas, jika
intubasi dengan rute oral sulit dilakukan maka lakukan cricotiroidektomi. Bila
saluran nafas telah bebas lakukan penilaian untuk breathing dilanjutkan dengan
circulation jika breathing pasien spontan.
Pada circulation lakukan pemeriksaan nadi. Bila nadi tidak teraba perlu
dilakukan RJPO dengan sistem CAB. Setelah RJPO berasil dan nadi kembali
berdenyut, periksa kembali nafasnya. Bila pasien belum bernafas berikan
bantuan nafas atau bagging sesuai pola nafas pasien. Ketika sampai di RSUD
Dr Moewardi GCS G4V5M6. Setelah survey primer selesai dan pasien
terbebas dari kegawatdaruratan maka dilakukan survey sekunder.
Secondary survey dilakukan dengan pemeriksaan head to toe.
Pemeriksa mencari kelainan pada pemeriksaan fisik mulai dari mata sampai
kaki dan memberikan penjabaran pada status lokalis trauma. Evaluasi semua
fraktur yang terdapat di maksilofasial.
Untuk penanganan pertama pasien diberian infus RL 20 tpm untuk
resusitasi cairannya. Pasien juga diberikan injeksi Ketorolac 30 mg/8 jam
sebagai analgetik, Ranitidine 50 mg/8jam sebagai penanganan pada stress

ulcer, injeksi Cefotaxim 1 gram/12 jam sebagai antibiotik broad spectrum


karena adanya infeksi dari vulnus.
Penanganan fraktur mandibula tergantung pada tingkat pergeseran dan
resultan estetik dan defisit fungsional.Perawatan oleh karena itu merentang dari
observasi sederhana untuk penyembuhan bengkak, disfungsi otot ekstraokuler,
dan paresthesi untuk reduksi terbuka dan fiksasi internal fraktur multipel.
6. EDUKASI, PENYULUHAN, DAN PENCEGAHAN SEKUNDER
Edukasi, penyuluhan, dan pencegahan sekunder yang dapat dilakukan
adalah

dengan

menyarankan

agar

menghindari

hal-hal

yang

dapat

menyebabkan fraktur segmental mandibula, yaitu :


a. Menggunakan pengaman selama mengendarai kendaraan seperti helm dan
seat belt.
b. Berhati-hati dalam berkendara terutama pada malam hari dan kondisi
hujan. Hindari mengendarai kendaraan dalam kondisi mabuk.
Selain itu edukasi selama dirawat di RS yang dapat diberikan antara lain:
a. Pasien melakukan diet makanan secara bertahap, mulai dari diet cair,
bubur, sampai kembali mengonsumsi nasi. Pada fraktur segmental
mandibula, pasien akan merasakan nyeri pada bagian rahang dan tidak
dapat membuka mulut maksimal.
b. Pasien diminta untuk tetap menjaga oral hygiene dengan menyikat gigi
(apabila memungkinkan) atau setidaknya berkumur dengan larutan
pembersih mulut.
c. Penjelasan mengenai rencana operasi ataupun prosedur yang akan
dilakukan kepada pasien baik yang bersifat invasif maupun konservatif
juga perlu dilakukan. Selain itu selama perawatan pasien juga perlu
diedukasi untuk tetap menjaga kebersihan oral/ oral higiene dan untuk
sementara mengonsumsi diet lunak.
d. Jahitan pada vulnus laceratum pasien harus dirawat kebersihannya,
kelembapannya, agar tidak menimbulkan infeksi.
e. Penatalaksanaan lanjutan seperi ORIF elekif akan dilakukan oleh ahli
bedah plastik.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI
Mandibula merupakan tulang cranium yang mudah dipisahkan.
Tulang ini ditempati gigi-gigi, terdiri atas bagian yang berjalan horizontal
disebut corpus mandibulae dan bagian yang berjalan vertikal disebut
ramus mandibulae. Kedua bagian itu berhubungan dan membentuk sudut,
membentuk sudut siku-siku disebut angulus mandibulae (Vyas et al, 104).

Bagian korpus mandibula membentuk tonjolan disebut prosesus


alveolaris yang mempunyai 16 buah lubang untuk tempat gigi. Bagian
bawah korpus mandibula mempunyai tepi yang lengkung dan halus. Pada
pertengahan korpus mandibula kurang lebih 1 nchi dari simfisis
didapatkan foramen mentalis yang dilalui oleh vasa dan nervus mentalis.
Permukaan dalam dari korpus mandibula cekung dan didapatkan linea
milohiodea yang merupakan origo m.Milohioid. Angulus mandibula
adalah pertemuan antara tepi belakang ramus mandibula dan tepi bawah
korpus mandibula. Angulus mandibula terletak subkutan dan mudah diraba
pada 2-3 jari dibawah lobulus aurikularis. Secara keseluruhan tulang
mandibula ini berbentuk tapal kuda melebar di belakang, memipih dan
meninggi pada bagian ramus kanan dan kiri sehingga membentuk pilar,
ramus membentuk sudut 1200 terhadap korpus pada orang dewasa. Pada
yang lebih muda sudutnya lebih besar dan ramusnya nampak lebih
divergens (Cavarlho et al, 2010).
Dari aspek fungsinya, merupakan gabungan tulang berbentuk L
bekerja untuk mengunyah dengan dominasi (terkuat) m. Temporalis yang
berinsersi disisi medial pada ujung prosesus koronoideus dan m. Masseter
yang berinsersi pada sisi lateral angulus dan ramus mandibula. M.
Pterigodeus medial berinsersi pada sisi medial bawah dari ramus dan
angulus mandibula. M.masseter bersama m temporalis merupakan
kekuatan untuk menggerakkan mandibula dalam proses menutup mulut. M
pterigoideus lateral berinsersi pada bagian depan kapsul sendi temporomandibular, diskus artikularis berperan untuk membuka mandibula. Fungsi
m.pterigoid sangat penting dalam proses penyembuhan pada fraktur
intrakapsuler (Piagkou et al, 2013).
Pada potongan melintang tulang mandibula dewasa level molar II
berbentuk seperti U dengan komposisi korteks dalam dan korteks luar
yang cukup kuat. Ditengahnya ditancapi oleh akar-akar geligi yang
terbungkus oleh tulang kanselus yang membentuk sistem haversian
(osteons) diantara dua korteks tersebut ditengahnya terdapat kanal

mandibularis yang dilewati oleh syaraf dan pembuluh darah yang masuk
dari foramen mandibularis dan keluar kedepan melalui foramen mentalis.
Lebar kanalis mandibula tersebut sekitar 3 mm ( terbesar) dan ketebalan
korteks sisi bukal yang tertipis sekitar 2.7mm sedang pada potongan level
gigi kaninus kanalnya berdiameter sekitar 1mm dengan ketebalan korteks
sekitar 2.5-3mm. Posisis jalur kanalis mandibula ini perlu diingat dan
dihindari saat melakukan instrumentasi waktu reposisi dan memasang
fiksasi interna pada fraktur mandibula (Piagkou et al, 2013).

Gb. 2.1 Anatomi tulang mandibula


Mandibula mendapat nutrisi dari arteri alveolaris inferior yang
merupakan cabang pertama dari arteri maxillaris yang masuk melalui
foramen mandibula bersama vena dan nervus alveolaris inferior berjalan
dalam kanalis alveolaris. Arteri alveolaris inferior memberi nutrisi ke gigi-

gigi bawah serta gusi sekitarnya kemudian di foramen mentalis keluar


sebagai a. Mentalis. Sebelum keluar dari foramen mentalis bercabang
menuju incisivus dan berjalan sebelah anterior ke depan didalam tulang.
Arteri mentalis beranastomosis dengan arteri facialis, arteri submentalis
dan arteri labii inferior. Arteri submentalis dan arteri labii inferior
merupakan cabang dari arteri facialis. Arteri mentalis memberi nutrisi ke
dagu. Aliran darah balik dari mandibula melalui vena alveolaris inferior ke
vena facialis posterior. Daerah dagu mengalirkan darah ke vena
submentalis, yang selanjutnya mengalirkan darah ke vena facialis anterior.
Vena facialis anterior dan vena facialis posterior bergabung menjadi vena
fascialis communis yang mengalirkan darah ke vena jugularis interna
(Vyas et al, 2014).
B. DEFINISI
Fraktur mandibula adalah rusaknya kontinuitas tulang mandibular
yang dapat disebabkan oleh trauma baik secara langsung atau tidak
langsung. Fraktur mandibula dapat terjadi pada bagian korpus, angulus,
ramus maupun kondilus (Vyas et al, 2014).
C. ETIOLOGI
Fraktur dapat terjadi akibat trauma atau karena proses patologis.
Fraktur akibat trauma dapat terjadi akibat perkelahian, kecelakaan
lalulintas, kecelakaan kerja, luka tembak, jatuh ataupun trauma saat
pencabutan gigi. Fraktur patologis dapat terjadi karena kekuatan tulang
berkurang akibat adanya kista, tumor jinak atau ganas rahang,
osteogenesis imperfecta, osteomyelitis, osteomalacia, atrofi tulang secara
menyeluruh atau osteoporosis nekrosis atau metabolic bone disease.
Akibat adanya proses patologis tersebut, fraktur dapat terjadi secara
spontan seperti waktu bicara, makan atau mengunyah (Boffano et al,
2014).
D. KLASIFIKASI

1. Berdasar lokasi anatomisnya; prosesus condiloideus, angulus


mandibula, simfisis mandibula, korpus mandibula,

alveolus,

ramus, processus coronoideus.


2. Berdasar ada tidaknya gigi pada kiri dan kanan garis fraktur ; kelas
1 : gigi ada pada kedua bagian garis fraktur, kelas II : gigi hanya
ada pada satu bagian dari garis fraktur, kelas III : tidak ada gigi
pada kedua fragmen, mungkin gigi sebelumnya memang sudah
tidak ada (edentolous), atau gigi hilang saat terjadi trauma.
3. Berdasar arah fraktur dan kemudahan untuk direposisi dibedakan :
horisontal yang dibagi menjadi favourable dan unfavourable.
Vertikal, yang juga dibagi menjadi favourable dan unfavourable.
Kriteria favourable dan unfavourable berdasarkan arah satu garis
fraktur terhadap gaya otot yang bekerja pada fragmen tersebut.
Disebut favourable apabila arah fragmen memudahkan untuk
mereduksi tulang waktu reposisi sedangkan unfavourable bila garis
fraktur menyulitkan untuk reposisi.
4. Berdasar beratnya derajat fraktur, dibagi

menjadi

fraktur

simple/closed yaitu tanpa adanya hubungan dengan dunia luar dan


tidak ada diskontinuitas dari jaringan sekitar fraktur. Fraktur
compound atau open yaitu fraktur berhubungan dengan dunia luar
yang melibatkan kulit, mukosa atau membran periodontal.
5. Berdasar tipe fraktur dibagi menjadi fraktur greenstick
(incomplete); fraktur yang biasanya didapatkan pada anak-anak
karena periosteum tebal. Fraktur tunggal ; fraktur hanya pada satu
tempat saja. Fraktur multiple ; fraktur yang terjadi pada dua tempat
atau lebih, umumnya bilateral. Fraktur komunitif ; terdapat adanya
fragmen yang kecil bisa berupa fraktur simple atau compound
(Piagkou et al, 2013).
E. DIAGNOSIS
Didalam

penegakan

diagnosis

fraktur

mandibula

meliputi

anamnesa, apabila merupakan kasus trauma harus diketahui mengenai


mekanisme traumanya (mode of injury), pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Pada kasus trauma, pemeriksaan penderita


dengan kecurigaan fraktur mandibula meliputi pemeriksaan awal (primar
survey) yaitu pemeriksan airway, breathing, circulation dan disability dan
secondary survey. Pada penderita trauma dengan fraktur mandibula harus
diperhatikan adanya kemungkinan obstruksi jalan nafas yang bisa
diakibatkan karena fraktur mandibula itu sendiri ataupun akibat
perdarahan intraoral yang menyebabkan aspirasi darah dan clot. Setelah
dilakukan primary survey dan kondisi penderita stabil, dilanjutkan dengan
dengan pemeriksaan lanjutan secondary survey yaitu pemeriksaan
menyeluruh dari ujung rambut sampai kepala (Susaria et al, 2014).
1. Anamnesa
Meliputi ada tidaknya alergi, medikamentosa, penyakit sebelumnya,
last meal dan events/enviroment sehubungan dengan injurinya
(Boffano et al, 2014).
2. Pemeriksaan Fisik
Pada inspeksi dilihat ada tidaknya deformitas, luka terbuka dan
evaluasi susunan atau konfigurasi gigi saat menutup dan membuka
mulut, menilai ada atau tidaknya maloklusi. Dilihat juga ada atau
tidaknya gigi yang hilang atau fraktur. Pada palpasi dievaluasi daerah
TMJ dengan jari pada daerah TMJ dan penderita disuruh buka-tutup
mulut, menilai ada tidaknya nyeri, deformitas atau dislokasi. Untuk
memeriksa apakah ada fraktur mandibula dengan palpasi dilakukan
evaluasi false movement dengan kedua ibujari di intraoral, korpus
mandibula kanan dan kiri dipegang kemudian digerakkan keatas dan
kebawah secara berlawanan sambil diperhatikan disela gigi dan gusi
yang dicurigai ada frakturnya. Bila ada pergerakan yang tidak sinkron
antara kanan dan kiri maka false movement (+), apalagi dijumpai
perdarahan disela gusi (Susaria et al, 2014).

Gb 2.12 pemeriksaan fraktur mandibula


3. Pemeriksaan Penunjang
Pada fraktur mandibula dapat dilakukan pemeriksaan penunjang
foto Rontgen untuk mengetahui pola fraktur yang terjadi. Setiap
pemeriksaan radiologis diharapkan menghasilkan kualitas gambar
yang meliputi area yang dicermati yaitu daerah patologis berikut
daerah normal sekitarnya (nagi et al, 2014).
Beberapa tehnik Roentgen dapat digunakan untuk melihat adanya
fraktur mandibula antara lain ;
- Foto skull AP/Lateral
- Foto Eisler ; foto ini dibuat untuk pencitraan mandibula bagian
ramus dan korpus, dibuat sisi kanan atau sisi kiri sesuai kebutuhan.
- Townes view ; dibuat untuk melihat proyeksi tulang maksila, zigoma
dan mandibula
- Reverse Townes view ; dilakukan untuk melihat adanya fraktur
neck condilus mandibula terutama yang displaced ke medial dan bias
juga melihat dinding lateral maksila
- Panoramic ; disebut juga pantomografi atau rotational radiography
dibuat untuk mengetahui kondisi mandibula mulai dari kondilus kanan

sampai kondilus kiri beserta posisi geliginya termasuk oklusi terhadap


gigi maksila. Dibuat film didepan mulut pada alat yang rotasi dari pipi
kanan ke pipi kiri, sinar-x juga berlawanan arah rotasi dari arah
tengkuk sehingga tercapai proyeksi dari kondulus kanan sampai
kondilus kiri.
Keuntungan panoramic adalah ; cakupan anatomis yang luas, dosis
radiasi rendah, pemeriksaan cukup nyaman, bisa dilakukan pada
penderita trismus,. Kerugiannya tidak bisa menunjukkan gambaran
anatomis yang jelas daerah periapikal sebagaimana yang dihasilkan
foto intra oral (Nagi et al, 2014).
- Temporomandibular Joint ; pada penderita trauma langsung daerah
dagu sering didapatkan kondisi pada dagu baik akan tetapi terjadi
fraktur pada daerah kondilus mandibula sehingga penderita mengeluh
nyeri pada daerah TMJ bila membuka mulut, trismus kadang sedikit
maloklusi. Pada pembuatan foto TMJ yang standard biasanya di
lakukan proyeksi lateral buka mulut (Parma) dan proyeksi lateral tutup
mulut biasa (Schuller). Biasanya dibuat kedua sendi kanan dan kiri
untuk perbandingan.
- Orbitocondylar view ; dilakukan untuk melihat TMJ pada saat buka
mulut lebar, menunjukkan kondisi struktur dan kontur dari kaput
kondilus tampak dari depan.
- CT-SCAN ; Pemeriksaan ini pada kasus emergency masih belum
merupakan pemeriksaan standart. Centre yang telah maju dalam
penggunaan modalitas ini telah menggunakan CT Scan terutama untuk
fraktur maksilofasial yang sangat kompleks. Pemeriksaan ini
memberikan banyak informasi mengenai cidera di bagian dalam
(Ogura et al, 2012).
F. PENATALAKSANAAN
Evaluasi klinis secara keseluruhan dengan teliti, pemeriksaan klinis
fraktur dilakukan secara benar, kerusakan gigi dievaluasi dan dirawat

bersamaan dengan perawatan fraktur mandibula, mengembalikan oklusi


merupakan tujuan dari perawatan fraktur mandibula. Apabila terjadi
fraktur mulitple di wajah, fraktur mandibula lebih baik dilakukan
perawatan terlebih dahulu dengan prinsip dari dalam keluar, dari bawah
keatas. Waktu penggunaan fiksasi intermaksiler dapat bervariasi
tergantung tipe, lokasi, jumlah dan derajat keparahan fraktur mandibula
serta usia dan kesehatan pasien maupun metode yang akan digunakan
untuk reduksi dan imobilisasi. Penggunaan antibiotik untuk kasus
compound fractures, monitor pemberian nutrisi pasca operasi. Penanganan
fraktur mandibula secara umum dibagi menjadi 2 metode yaitu reposisi
tertutup dan terbuka. Reposisi tertutup (closed reduction) patah tulang
rahang bawah ; penanganan konservatif dengan melukan reposisi tanpa
operasi langsung pada garis fraktur dan melakukan imobilisasi dengan
interdental wiring atau eksternal pin fixation (Kim et al, 2014).
Reposisi terbuka (open reduction) ; tindakan operasi untuk
melakukan koreksi defromitas-maloklusi yang terjadi pada patah tulang
rahang bawah dengan melakukan fiksasi dengan interosseus wiring serta
imobilisasi dengan menggunakan interdental wiring atau dengan mini
plat+skrup (Kim et al, 2014).
Indikasi untuk closed reduction antara lain ;
a. Fraktur komunitif, selama periosteum masih intak masih dapat
diharapkan kesembuhan tulang
b. Fraktur dengan kerusakan soft tissue yang cukup berat, dimana
rekonstruksi soft tissue dapat digunakan rotation flap, free flap
ataupun granulasi persecundum bila luka tersebut tidak terlalu besar
c.

Edentulous mandibula ; closed reduction dengan menggunakan


protese mandibula gunning splint dan sebaiknya dikombinasikan
dengan kawat circum mandibula- circumzygomaticum

d. Fraktur pada anak-anak ; karena open reduction dapat menyebabkan


kerusakan gigi yang sedang tumbuh. Apabila diperlukan open

reduction dengan fiksasi internal, maka digunakan kawat yang halus


dan diletakkan pada bagian paling inferior dari mandibula. Closed
reduction dilakukan dengan splint acrylic dan kawat circummandibular dan circumzygomaticum bila memungkinkan
e. Fraktur condylus ;

mobilisasi rahang bawah diperlukan untuk

menghindari ankylosis dari TMJ. Pada anak, moblisasi ini harus


dilakukan tiap minggu, sedangkan dewasa setiap 2 minggu.
Tehnik yang digunakan pada terapi fraktur mandibula secara closed
reduction adalah fiksasi intermaksiler. Fiksasi ini dipertahankan 3-4
minggu pada fraktur daerah condylus dan 4-6 minggu pada daerah lain
dari mandibula
Indikasi untuk reposisi terbuka (open reduction) :
a. Displaced unfavourable fracture melalui angulus
b. Displaced

unfavourable

fracture

dari

corpus

atau

parasymphysis. Bila dikerjakan dengan reposisi tertutup, fraktur


jenis ini cenderung untuk terbuka pada batas inferior sehingg
mengakibatkan maloklusi
c. Multiple fraktur tulang wajah ; tulang mandibula harus difiksasi
terlebih dahulu sehingga menghasilkan patokan yang stabil dan
akurat untuk rekonstruksi
d. Fraktur midface disertai displaced fraktur condylus bilateral.
Salah satu condylus harus di buka untuk menghasilkan dimensi
vertical yang akurat dari wajah
e. Malunions diperlukan osteotomie
Kontraindikasi

penggunaan

MMF

penderita

epilepsy,

gangguan jiwa dan gangguan fungsi paru.


Tehnik operasi open reduction ; merupakan jenis operasi bersih
kontaminasi,

memerlukan

pembiusan

umum

dengan

intubasi

nasotrakeal, usahakan fiksasi pipa nasotrakeal ke dahi. Posisi


penderita telentang, kepala hiperekstensi denga meletakkan bantal
dibawah pundak penderita, meja operasi diatur head up 20-25 derajat.

Desinfeksi dengan batas atas garis rambut pada dahi, bawah pada
klavikula,lateral tragus ke bawah menyusur tepi anterior m. trapesius
kanan kiri (Kim et al, 2014)
Adapun insisi yang dilakukan bisa dua cara yaitu pendekatan
intraoral sedikit diatas bucoginggival fold pada mukosa bawah bibir.
Panjang sayatan sesuai kebutuhan atau pendekatan ekstraoral ;
submandibular 2 cm di kaudal dan sejajar dari margo inferior
mandibula dengan titik tengahnya adalah garis fraktur dan panjang
sayatan sekitar 6 cm. insisi diperdalam sampai memotong muskulus
platisma, sambil perdarahan dirawat. Identifikasi r. marginalis
mandibula nervus facialis. Cari arteri dan vena maksilaris eksterna
pada level insisi, bebaskan ligasi pada dua tempat dan potong
diantaranya. Benang ligasi stomp distal diklem dan dielevasi ke
cranial dengan demikian r. marginalis mandibula akan selamat oleh
karena ia berjalan melintang tegak lurus superficial terhadap vasa
maksilaris eksterna. Pada bagian profundanya dibuat flap ke atas
sampai pada periosteum mandibula. Periosteum mandibula diinsisi,
selanjutnya dengan rasparatorium periosteum dibebaskan dari tulang.
Dengan alat kerok atau knabel dilakukan pembersian dari kedua ujung
fragmen tulang. Lakukan reposisi dengan memperhatikan oklusi gigi
yang baik.
Bila digunakan wire, bor tulang mandibula pada 2 tempat, 1 cm
dari garis fraktur dan 1 cm dari margo mandibula. Kemudian
digunakan snaar wire stainless steel diameter 0.9mm, ikatan
tranversal dan figure of 8. pada penggunaan plat mini linier pada
fraktur mandibula bagian mentum diantara dua foramen mentales
maka digunakan 2 buah plat masing-masingminimal 4 lobang
sehingga didapatkan hasil fiksasi dan antirotasi.

Gb 2.13 penempatan wire tegak


lurus thd garis fraktur (3)

Gb 2.14 tehnik wiring figure of 8


untuk menjamin stabilitas vertical
(6)

Tolak ukur keberhasilan operasi pemasangan plat mini


maupun IOID wiring pada mandibula adalah oklusi yang baik, tidak
trismus. Jangan tergesa melakukan fiksasi sebelum yakin oklusinya
sudah sempurna. Posisi plat jangan terlalu tinggi karena sekrup akan
menembus saraf/akar gigi. Permukaan tulang bersih dari jaringan ikat
dan jaringan lunak sehingga plat betul-betul menempel pada tulang
mandibula.

Untuk

penggunaan

bor, sebaiknya

arah

matabor

tangensial, stabil dan arah obeng juga sesuai dengan arah bor
sebelumnya. Gunakan mata bor diameter 1.5mm dengan kecepatan
rendah menembus 1 korteks dikukur kedalamannya kemudian
dipasang sekrup yang panjangnya sesuai dengan tebal satu
korteks.Pemasangan sekrup dimulai dari satu sisi terlebih dahulu
kemudian menyebrang menyilang pada sisi plat satunya (Lim et al,
2014).

Gb 2.14 Penempatan plat menurut teori champy

Keuntungan dari reposisi tertutup adalah lebih efisien, angka


komplikasi lebih rendah dan waktu operasi yang lebih singkat. Tehnik ini
dapat dikerjakan di tingkat poliklinis. Kerugiannya meliputi fiksasi yang
lama, gangguan nutrisi karena adanya MMF, resiko ankilosis TMJ dan
problem airway. Keuntungan dari ORIF antara lain ; mobilisasi lebih dini
dan reaproksimasi fragmen tulang yang lebih baik. Kerugiannya adalah
biaya lebih mahal dan diperlukan ruang operasi dan pembiusan untuk
tindakannya (Kim et al, 2014).
Dalam menangani fraktur mandibula umumnya digunakan lebih
dari satu modalitas sebab terdapat banyak variasi biomekanik dan problem
klinis untuk mencapai mobilitas fiksasi di regio fraktur. Ada 5 metode
yang umum digunakan yaitu dengan biocortical transfacial compression
plates pada bagian inferior dengan atau tanpa tension band plate,
monocortical transoral miniplates pada bagian superior, paired miniplates,
lag screws dan noncompression stabilization plates pada bagian inferior.
Hasil yang didapatkan dari pemakaian monocortical osteosynthesis adalah
tercapainya netralisasi kekuatan tensi dan kompresi serta rotasi pada garis
fraktur sehingga diperoleh reduksi anatomis yang fisiologis, kompresi
pada fragmen fraktur dan imobilisasi yang rigid serta perbaikan kekuatan
self kompresi fisiologis (Sakibara et al, 2014).
Pada angulus mandibula, plat paling baik diletakkan pada
permukaan yang paling luas dan setinggi mungkin di daerah linea oblique
eksterna. Pada regio anterior, diantara kedua foramen mentalis, disamping
plat subapikal perlu juga ditambahkan plat lain di dekat batas bawah
mandibula untuk menetralkan kekuatan rotasi pada daerah simfisis
tersebut. Pada daerah di belakang foramen mentalis sampai mendekati
daerah angulus cukup digunakan satu plat yang dipasang tepat dibawah
akar gigi dan diatas nervus alveolaris inferior. Penempatan plat didaerah
sepanjang tension trajectory ternyata juga menghasilkan suatu fiksasi yang
paling stabil bila ditinjau dari prinsip biomekaniknya.

Pada bagian mandibula yang bergigi, archbar sudah cukup


berfungsi menetralkan kekuatan tension, sedangkan pada daerah angulus
dan ramus mandibula fungis tersebut baru bisa didapatkan dengan
menggunakan plat yang kecil (Rajkumar et al, 2009)
Fraktur pada daerah angulus mandibula merupakan problem
khusus pada perawatan dengan menggunakan rigid internal fixation.
Angulus merupakan bagian yang sulit dicapai lewat intraoral karena
adanya otot-otot pengunyah dan otot-otot daerah suprahyoid. Batas
inferior dari angulus sangat tipis dan tidak mungkin dilakukan suatu
kompresi. Adanya gigi molar 3 menyebabkan fraktur mudah terjadi,
distraksi dari kontak tulang menghambat reduksi dan vaskular dari sisi
fraktur dan dapat menjadi sumber infeksi. Penggunaan rigid internal
fixation untuk mencegah hilangnya kontrol segmen proksimal, delayed
union dan malunion yang dapat terjadi bila digunakan terapi lain (Lim et
al, 2014).
G. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi akibat fraktur mandibula antara lain
adanya infeksi, dengan kuman patogen yang umum adalah staphylococcus,
streptococcus dan bacterioides. Terjadi malunion dan delayed healing,
biasanya disebabkan oleh infeksi, reduksi yang inadekuat, nutrisi yang
buruk, dan penyakit metabolik lainnya. Parasthesia dari nervus alveolaris
inferior, lesi r marginalis mandibulae n. fasialis bisa terjadi akibat sayatan
terlalu tinggi. Aplikasi vacuum drain dapat membantu untuk mencegah
timbulnya infeksi yang dapat terjadi oleh karena genangan darah yang
berlebihan ke daerah pembedahan. Fistel orokutan bisa terjadi pada
kelanjutan infeksi terutama pada penderita dengan gizi yang kurang
sehingga penyembuhan luka kurang baik dan terjadi dehisensi luka
(Sakakibara et al, 2014).

DAFTAR PUSTAKA

Akinbami BO dan Akadiri OA. 2014. Indications and Outcome of Mandibular


Condylar and Ramus Surgeries. Nigerian Journal of Surgery: 20 (2), hlm
69-74.
Beogo R, Bouletreau P, Konsen T et al. 2014. Wire internal fixation: an
obsolete, yet valuable method for surgical management of
facial fractures. Pan African Medical Journal: 17, hlm 1-4.
Boffano P, Kommers SC, Roccia F, Forouzanfar T. 2014. Mandibular trauma
treatment: A comparison of two protocols. Med Oral Patol Oral Cir
Bucal: 10.
Carvalho TBO, Cancian LRL, Marques CG, Piatto VB et al. 2010.
Six years of facial trauma care an epidemiological analysis of 355
cases.Brazil Journal Otorhinolaryngology: 5, hlm 565-574.

Devireddy SK,Kishore RV et al. 2014. Three-dimensional assessment of unilateral


subcondylar fracture using computed tomography after open reduction.
Indian J platic Surgery: 47, hlm 203-209.
Kim SY, Ryu JY, Cho JY, Kim HM. 2014. Outcomes of open versus closed
treatment in the management of mandibular subcondylar fractures.
Journal of Korean Association Oral Maxillofacial Surgery: 40, hlm297300.
Kumar PP, Sridhar BS, Palle R, Singamanesi K. 2014. Prognosis of teeth in the
line of mandibular factors. Pharmacy journal: 6, 97-101.
Lee K, Yoon K, Park KS, Cheong J, Shin J, Bae J, Ko I, Park H.2014. Treatment
of extensive comminuted mandibular fracture between both mandibular
angles with bilateral condylar fractures using a reconstruction plate: a case
report. J Korean Assoc Oral Maxillofac Surg: 40(3), hlm135-139.
Lim HY, Jung CH, Kim SY et al. 2014. Comparison of resorbable plates and
titanium plates for fixation stability of combined mandibular symphysis
and angle fractures. Journal of Korean Association Oral Maxillofacial
Surgery: 40, hlm285-290.
Mendona D dan Kenkere D. 2013. Avoiding occlusal derangement in facial
fractures: An evidence based approach. Indian J Plast Surg; 46(2): 215
220.
Nagi R, Devi Y, Rakesh N, Reddy S, Santana N, Shetty N. 2014. Relationship
Between Femur Bone Mineral Density, Body Mass Index and Dental
Panoramic Mandibular Cortical Width in Diagnosis of Elderly
Postmenopausal Women With Osteoporosis. Journal of clinical and
diagnostic research: 8, 36-40.
Ogura I, Kaneda T, Mori S, Sekiy K, Ogawa H, Tsukioka T. 2012.
Characterization of mandibular fractures using 64-slice multidetector CT.
Dentomaxillofacial radiology: 41,hlm 392-395.
Olanrewaju A, Soyele O, Godwin NU et al. 2013. Facial Fracture Management in
Northwest Nigeria. Journal of Surgical Technique & case report: 5, 6571.
Olate S, de Assis AF, Pozzer L, Cavalieri-Pereira L, Asprino L, de Moraes M.
2013. Pattern and treatment of mandible body fracture. Int J Burns
Trauma:8;3(3):164-8.

Passi D, Ram H, Singh G, Malkunie L. 2014. Total avulsion of mandible in


maxillofacial trauma. Annals of Maxillofacial Surgery:1, hlm 115-118.
Piagkou M, Tzika M, Paraskevas G, Natsis K. 2013. Anatomic variability in the
relation between the retromandibular vein and the facial nerve: a case
report, literature review and classification. Folia Morphol: 72, hlm
371 375.
Rahpeyma A, Khajehahmadi S, Barkhori S. 2014. Treatment of Mandibular
Fractures by Two Perpendicular Mini-Plates. Iranian Jpurnal of
otorhinolaryngology:26, hlm 31-36.
Rajkumar K, Ramen S, Roy C, Chattopadhyay PK. 2009. Mandibular third molars
as a risk factor for angle fractures: a retrospective study. J Maxillofacial
oral surgary: 8, hlm 237-240.
Sakakibara A, Hashikawa K, Tahra Shinya. 2014. Risk Factors and Surgical
Refinements of Postresective Mandibular Reconstruction: A
Retrospective Study. Plastic Surgery International, hlm 1-8.
Shi S, Liu Y, Fu T. 2014. Multifocal Langerhans cell histiocytosis in an adult with
a pathological fracture of the mandible and spontaneous malunion: A
case report. Oncology Letters:8 (3), hlm 1075-1079
Shibuya Y, Yabase A, Ishida S, Kobayashi M, Komori T. 2014. Outcomes and
Treatments of Mal Fractures Caused by the Split-Crest Technique in the
Mandible. Kobe Journal Science:60 (2), hlm. 37-42.
Susaria SM, Swanson EW, dan Peacock ZS. 2014. Bilateral mandibular fractures.
Eplasty:14, hlm 38-42.
Vyas A, Mazumdar U, Khan F, Mehra M, Parihar L, Purohit C. 2014. A study of
mandibular fractures over a 5-year period of time: A retrospective study.
Contemporary clinical dentistry:5, hlm 452-455.
Yamamoto K et al. 2013. Maxillofacial Fractures of Pedestrians Injured in a
Motor Vehicle Accident. Craniomaxillofac Trauma Reconstruction 6:37
42.
Yamamoto K. et al. 2014. Clinical Analysis of Midfacial Fractures. Mater
Sociomed 26(1): 21-25.

Anda mungkin juga menyukai