Anda di halaman 1dari 25

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

JAKARTA

AFTER CARE

FRAKTUR CRURIS

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Bagian Bedah
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarwa

Diajukan Kepada :

Pembimbing : dr. Hery Unggul Wicaksono, Sp.B

Disusun Oleh :
Laresi Indah Sonata N 1220221146

Kepaniteraan Klinik Departemen Bedah


FAKULTAS KEDOKTERAN – UPN ”VETERAN” JAKARTA
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa
PERIODE 27 Mei – 4 Agustus 2013

1
LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN
BEDAH

AFTER CARE

FRAKTUR CRURIS

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Departemen Bedah
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Disusun Oleh:

Laresi Indah Sonata N 1220221146

Telah disetujui oleh Pembimbing:


Nama pembimbing Tanda Tangan Tanggal

dr. SHery Unggul W., Sp. B ............................ .............................

Mengesahkan

Koordinator Kepaniteraan Bedah Tanda Tangan Tanggal

dr. Taufik Qurrohman …………………. ………………….

2
BAB I
STATUS PASIEN

I.1. IDENTITAS PASIEN


Nama : Nn. A
Usia : 18 tahun
Pendidikan terakhir : SMP
Status pernikahan : Belum menikah
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
Alamat : Tegal Bulu, Kupang
Tanggal masuk : 25 Juni 2013

I.2. DATA DASAR


Anamnesis (Subjektif)
 Keluhan Utama : Jatuh dari sepeda motor.
 Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien post kecelakaan lalu lintas, tungkai kanan bengkak,
terdapat luka robek telapak kaki kanan dan tangan kanan, luka lecet di
paha kanan.
 Keluhan Tambahan :
- Kepala pusing
- Mual

A. PRIMARY SURVEY DENGAN TINDAKAN RESUSITASI


a. Airway
i. Cervical kontrol dan In-line immobilisasi
ii. Nilai jalan napas apakah ada sumbatan pada jalan napas.
Ternyata tidak di dapatkan adanya sumbatan dan pasien bisa
menyebut namanya dengan lancer.
iii. Airway clear untuk sementara
iv. Evaluasi : Airway Clear

3
b. Breathing
i. Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan
kontrol servikal in-line immobilisasi
ii. Menentukan laju dan dalamnya pernapasan, RR: 28, SaO2 90%
iii. Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali
kemungkinan terdapat deviasi trakhea, ekspansi thoraks simetris
atau tidak, pemakaian otot-otot tambahan dan tanda-tanda cedera
lainnya.
iv. Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor
v. Auskultasi thoraks bilateral
vi. Evaluasi : Breathing clear

c. Circulation
i. BP: 110/70, nadi : 70 x/menit
ii. Akral dingin (-), sianosis (-), RCT < 2 second, warna kulit
kemerahan
iii. Pasang pulse oxymetri untuk evaluasi ABC
iv. Evaluasi : circulation clear

d. Disability
i. GCS : E4 M6 V5
ii. Pupil : isokor 2mm-2mm, reflek cahaya (+).
iii. Re-Evaluasi ABCD

e. Exposure/Environment
i. Buka pakaian penderita dan dilakukan log roll
ii. Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan tempatkan pada
ruangan yang cukup hangat.
iii. Re Evaluasi ABCD

4
B. SECONDARY SURVEY

a. Anamnesis (alloanamnesis)
A : Alergi
Tidak ditemukan alergi obat maupun makanan pada pasien ini
M : Mekanisme dan sebab trauma
Pasien post KLL motor, pasien terjatuh dari motor.
M : Medikasi ( obat yang sedang diminum saat ini)
Pasien tidak sedang konsumsi obat apapun.
P : Past illness
Pasien tidak sedang menderita penyakit apapun, sebelumnya pasien
tidak pernah sakit serius sehingga sampai di rawat di RS
L : Last meal (makan minum terakhir)
Pasien terakhir makan dan minum ± 2 jam sebelum KLL
E : Event/Environtment yang berhubungan dengan kejadian perlukaan.

b. Pemeriksaan Fisik

Hal yang
Penilaian Penemuan Klinis
dinilai
Tingkat • Skor GCS E4 M6 V5 = 15
Kesadaran Cedera kepala berat

Pupil • Ukuran • 2mm-2mm


• Bentuk • isokor
• Reaksi • reflek pupil (+)
Kepala • Inspeksi • terdapat luka-luka lecet dan jejas pada
adanya luka kaki dan tangan
dan fraktur • Ditemukan adanya fraktur pada
• Palpasi adanya palpasi
fraktur
Maksilofasi • Inspeksi : • Tidak terdapat fraktur tulang wajah
al deformitas • Tidak terdapat cedera jaringan lunak

5
• Palpasi :
krepitus
Leher • Inspeksi • Tidak terdapat deformitas faring

• Palpasi • Tidak terdapat Emfisema subkutan


• Tidak terdapat nyeri
tekan C spine
Toraks • Inspeksi • Tidak terdapat Jejas, deformitas
• Palpasi • pergerakan dinding dada normal
• Auskultasi • Nyeri tekan dada (-), krepitus (-)
• Bising nafas berkurang (-)
• Bunyi jantung jauh (-)
• Krepitasi mediastinum (-)
• Nyeri punggung hebat (-)

Hal yang Penilaian Penemuan klinis


Dinilai
Abdomen/ • Inspeksi • Nyeri, nyeri tekan abdomen (-)
pinggang • Palpasi • Iritasi peritoneal (-)
• Auskultasi • Cedera organ viseral (-)
• Tentukan arah • Cedera retroperitoneal
penetrasi (-)
Pelvis • Palpasi simfisis • Cedera Genito- rinarius (hematuria)
pubis (-)
• Nyeri tekan • Fraktur pelvis (-)
tulang pelvis • Perlukaan perineum, rektum, vagina
• Tentukan (-)
instabilitas
pelvis (hanya
satu kali)
• Inspeksi
perineum
• Pem.

6
Rektum/vagina
Medula • Pemeriksaan • Lateralisasi (+) dextra
spinalis motorik
• Pemeriksaan
sensorik
• Lateralisasi
Kolumna • Nyeri tekan • Tidak terdapat Fraktur atau dislokasi
vertebralis • Deformitas
Ekstremitas • Inspeksi • Jejas, pembengkakan, pucat, laserasi
• Palpasi (+) pada cruris proximal dextra
• Mal-alignment (+) cruris dextra
• Nyeri, nyeri tekan, Krepitasi (+) pada
cruris proximal dextra
• Pulsasi hilang/ berkurang (-)
• Sindroma Kompartemen (-)
• Defisit neurologis (+)

C. RESUME PEMERIKSAAN
- Seorang perempuan 18 tahun post KLL (motor versus motor) ± 1 jam
datang dalam keadaan sadar, tidak ada pingsan dan muntah sebelumnya,
terlihat adanya deformitas di tungkai bawah kanan, luka robek pada
tungkai bawah kanan, lecet-lecet pada kaki dan tangan. Dari primary
survey airway, breathing, circulation dan disability clear. Telah dilakukan
resusitasi saat primary survey berlangsung. Pada secondary survey
ditemukan adanya deformitas pada kruris dextra, mal-alignment kruris
dextra, nyeri tekan dan krepitasi pada kruris distal dextra, yang
menandakan suatu fraktur tertutup pada 1/3 distal kruris dextra. Untuk
emmastikan dilakukan foto X-foto kruris AP/ Lateral dan X-foto cranial.
D. DIAGNOSIS
Primary survey
Secondary survey
- Fraktur terbuka cruris 1/3 proximal dextra

7
E. TERAPI
- Infus RL 28 tpm
- Injeksi Piracetam 3 x 3 gram
- Injeksi Asam Tranexamat 3 x 1 gram
- Infus Ketorolac 30 mg

I.3. PENELUSURAN (FOLLOW UP)


TANGGAL S O A P
25 Juni 2013 Pusing (+),  KU: sakit ringan Fraktur - Inf RL
nyeri (+).  Kesadaran : compos tertutup 1/3 - Inj. Toxegram
mentis distal kruris 1gr/10jam
 Tanda vital dektra. - Inj. Kalnex
- TD : 110/70 mmHg 500 mg/8 jam
- Nadi: 80x/menit - Inj Ketorolac
- Suhu: 36 0C 3x30 mg
- Rencana ORIF
besok

26 Juni 2013  KU: sakit ringan Fraktur Operasi 


 Kesadaran : compos tertutup 1/3 ORIF
mentis distal kruris
 Tanda vital dektra.
- TD : 110/80 mmHg
- Nadi: 80x/menit
- Suhu: 36,50C

27 Juni 2013 - Nyeri  KU: sakit ringan Post ORIF - Terapi lanjut
pada  Kesadaran : compos kruris dextra - X- Foto
bekas OP mentis H+1 - Diet biasa
- Flatus  Tanda vital
(+) - TD : 110/70 mmHg
- Nadi: 74x/menit
- Suhu: 370C

28 Juni 2013 - Nyeri  KU: sakit ringan Post ORIF - Terapi lanjut

8
minimal  Kesadaran : compos kruris dextra - Fisioterapi
di bekas mentis H+2
OP
- BAB dan
BAK
normal
29 Juli 2013 Jahitan :  KU: baik Post ORIF - Terapi lanjut
Pus (+) di  Kesadaran : compos kruris dextra - Rawat luka
satu jahitan mentis H+3
 Tanda vital
- TD:110/70 mmHg
- Nadi:75x/menit
- Suhu: 360C
30 Juni 2013 Keluhan (-)  KU: baik Post ORIF - Terapi Lanjut
 Kesadaran : compos kruris dextra
mentis H+4
 Tanda vital
- TD:100/60 mmHg
- Nadi : 80 x/menit
- Suhu : 38 oC
01 Juli 2013 Luka pus  KU : baik Post ORIF - Terapi lanjut
(-)  Kesadaran : compos kruris dextra - Diet biasa
mentis H+5 - Fisioterapi
- TD : 100/60
mm/Hg
- Nadi : 80 x/menit
- Suhu : 38oC
02 Juli 2013 Demam  KU : baik Post ORIF - Frego 3x1
(+),  Kesadaran : compos kruris dextra - Saran
pusing. mentis H+6 fisioterapi
- TD : 90/60 mmHg - Diet biasa
- Nadi : 80 x/menit
- Suhu : 38oC
03 Juli 2013 Febris (+)  KU : baik Post ORIF - Terapi lanjut
 Kesadaran : compos kruris dextra - Diet biasa
mentis H+7 - Jalan-jalan
- TD : 100/60
mm/Hg
- Nadi : 74 x/menit
- Suhu : 37oC
04 Juli 2013 Febris (+)  KU : baik Post ORIF - Begvinin

9
 Kesadaran : compos kruris dextra - Mefinal
mentis H+8 - Jalan-jalan
- TD : 110/60
mm/Hg
- Nadi : 84 x/menit
- Suhu : 38oC
05 Juli 2013 Tidak ada Pulang
keluhan

 Laporan operasi Nn. A (Rabu, 26 Juni 2013)


- Anestesi : General anestesi
- Proses : pasien tidur terngkurap  asepsis (betadine-alkohol-
betadin) kruris dextra dan sekitarnya  pemasangan doek steril  insisi
 reposisi tulang se-anatomis mungkin  pemasangan plat 
dibersihkan dengan NaCl sekaligus memakai suction  pemberian
antibiotik  jahit  tutup (kassa + plester).
- Diagnose pre-OP : Fraktur tertutup 1/3 distal os. cruris dekstra.
- Diagnose post-OP : Fraktur tertutup komplit 1/3 distal os. cruris dektra.

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I.2 FRAKTUR
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang dan/ atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh
rudapaksa.

1.2.1 Etiologi Fraktur


1. Trauma langsung : benturan pada tulang mengakibatkan fraktur
ditempat tersebut.
2. Trauma tidak langsung : tulang dapat mengalami fraktur pada
tempat yang jauh dari area benturan.
3. Fraktur patologis : fraktur yang disebabkan trauma yang minimal
atau tanpa trauma, disebabkan oleh proses patologis yang
menyebabkan kekuatan otot berkurang. Contoh fraktur patologis
antara lain: osteoporosis, infeksi tulang dan tumor.

1.2.2 Klasifikasi Fraktur


Fraktur dapat diklasifikasikan berdasarkan:
A. Hubungan antara Patahan Tulang dengan Dunia Luar
1. Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar
2. Fraktur terbuka (open/ compound), bila terdapat hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan di kulit. Fraktur terbuka dibagi menjadi 3 derajat,
yaitu:
a. Derajat I
i. Luka < 1 cm
ii. Kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda luka
remuk

11
iii. Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau komunitif
ringan
iv. Kontaminasi minimal
b. Derajat II
i. Laserasi > 1 cm
ii. Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/ avulsi
iii. Fraktur komunitif sedang
iv. Kontaminasi sedang
c. Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi
struktur kulit, otot.dan neurovascular serta kontaminasi
derajat tinggi. Fraktur derajat tiga terbagi atas:
- Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat,
meskipun terdapat laserasi luas/ flap/ avulsi atau fraktur
segmental/sangat kominutif yang disebabkan oleh
trauma berenergi tinggi tanpa melihat besarnya ukuran 
luka.
- Kehilangann jaringan lunak dengan fraktur tulang yang
terpapar atau kontaminasi masif.Luka pada pembuluh
arteri/saraf perifer yang harus diperbaiki tanpa melihat
kerusakan jaringan lunak.
B. Berdasarkan Derajat atau Luas Garis Fraktur
- Complete: tulang patah terbagi menjadi dua bagian (fragmen)
atau lebih
- Incomplete (Parsial). Fraktur Parsial terbagi lagi menjadi:
1. Fisura/ Crack/ Hairline
Tulang terputus seluruhnya tetapi masih tetap di
tempat.Fisura tulang dapat disebabkan oleh cedera tunggal
hebat atau oleh cedera terus menerus yang cukup lama,
seperti juga ditemukan pada retak stress pada struktur logam.
2. Patah Dahan Hijau (Greenstick Fracture)

12
Patah tulang dahan hijau adalah fraktur dimana patah tulang
pada satu sisi sedangkan pada sisi lainnya membengkok.
Fraktur ini terjadi pada anak-anak.
3. Buckle Fracture
Fraktur di mana korteksnya melipat ke dalam
C. Berdasarkan Garis Patah/ Konfigurasi Tulang
1. Transversal
Garis patah tulang melintang sumbu tulang (80-100o dari sumbu
tulang)
2. Oblik
Garis patah tulang melintang sumbu tulang (<80o atau >100o
dari sumbu tulang)
3. Longitudinal
Garis patah mengikuti sumbu tulang
4. Spiral
Garis patah tulang berada di dua bidang atau lebih
5. Comminuted/ Komunitif
Patah tulang komunitif adalah fraktur dengan tulang pecah
menjadi beberapa fragmen
6. Patah Tulang Segmental
7. Patah Tulang Impaksi
Patah tulang impaksi adalah fraktur dimana fragmen tulang
terdorong ke fragmen tulang lainnya.
8. Patah Tulang Kompresi
Patah tulang kompresi adalah fraktur dimana tulang mengalami
kompresi (terjadi pada tulang belakang).
9. Impresi
1.2.3 Fraktur dengan Dislokasi
Dislokasi atau berpindahnya ujung patah tulang disebabkan oleh
berbagai kekuatan, seperti cedera, tonus atau kontraksi otot, dan tarikan.
1. Dislokasi ad latitudinem
Dislokasi ke arah lintang

13
2. Dislokasi ad longitudunem
Tulang memanjang karena tarikan terlalu besar
3. Dislokasi cum kontraktione
Tulang memendek, umumnya disebabkan tarikan dan tonus otot
4. Dislokasi cum distractionem
Misal pada patah tulang patela karena tonus m. quadriseps femoris
5. Dislokasi ad aksim/ angulasi
Dislokasi ad aksim sering ditemukan pada tulang panjang
6. Dislokasi ad peripheriam
Dislokasi karena adanya rotasi
7. Patah tulang yang didapatkan interposisi jaringan lunak di selanya
8. Patah tulang avulsi
Patah tulang dengan tarikan pada insersi tendo otot atau
ligamentum
1.2.4 Diagnosis
A. Anamnesis
Anamnesis berupa adanya trauma tertentu, seperti jatuh, terputar,
tertumbuk, dan berapa kut trauma tersebut.Selain riwayat trauma,
biasanya didapati keluhan nyeri, walau patah tulang yang fragmen
pertahanannya stabil kadang tidak menimbulkan keluhan nyeri.
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan untuk menentukan ada tidaknya patah tulang dilakukan
dengan empat langkah, yaitu: tanyakan (ask), lihat (look), raba (feel),
dan gerakkan (movement).
Pada pemeriksaan fisik mula-mula dilakukan inspeksi dan terlihat
pasien kesakitan, mencoba melindungi anggota badannya yang
patah, terdapat pembengkokkan, terputar, pemendekkan, dan juga
gerakan yang tidak normal. Nyeri yang secara subjektif dinyatakana
dalam anamnesis didapat juga secara objektif dalam palpasi. Nyeri
berupa nyeri tekan yang sifatnya sirkuler dan nyeri tekan sumbu
pada waktu menekan atau menarik dengan hati-hati anggota badan
yang patah searah dengan sumbunya. Gerakkan antar fragmen harus

14
dihindari pada pemeriksaan karena menimbulkan nyeri dan
mengakibatkan cedera jaringan. Pemeriksaan gerak persendian
secara aktif termasuk dalam pemeriksaan rutin patah tulang.
Hal lain yang penting adalah pemeriksaan klinis untuk mencari
akibat trauma seperti pneumotoraks atau cedera otak, serta
komplikasi vaskuler dan neurologis dari patah tulang yang
bersangkutan. Hal ini penting karena komplikasi tersebut perlu
penangan segera.
C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologi dengan pembuatan foto Rontgen dua arah 90o
didapatkan gambaran patah. Dalam banyak hal, pemeriksaan
radiologis tidak dimaksudkan untuk diagnostik karena pemeriksaan
klinisnya sudah jelas, tetapi untuk menentukan pengelolaan yang
tepat dan optimal.
Syarat foto Rontgen:
-
Patah tulang di pertengahan foto
-
Persendian distal dan proksimal termasuk foto
-
Foto dua arah bersilangan 90o
-
Sinar menembus tegak lurus
Bila ada kesangsian atas adanya patah tulang atau tidak, sebaiknya
dibuat foto yang sama dari anggota gerak yang sehat untuk
perbandingan.
Pemeriksaan khusus seperti CT scan kadang diperlukan, misalnya
pada hal patah tulang vertebra dengan gejala neurologis.
1.2.5 Penatalaksanaan
A. Umum
Proses penatalaksanaan patah tulang secara umum yaitu:
- Jangan mencederai pasien
- Pengobatan didasari atas diagnosis yang tepat dan prognosisnya
- Bekerja sama dengan hukum alam
- Pemilihan pengobatan dengan memperhatikan setiap pasien secara
individu

15
B. Khusus
Prinsip penatalaksanaan untuk patah tulang sendiri adalah:
- Reposisi: mengembalikan posisi patah tulang ke posisi semula/ mendekati
posisi semula karena tulang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan
bentuknya kembali seperti bentuk semula (remodelling). Biasanya reposisi
nonbedah pada patah tulang cukup memenuhi syarat untuk menjamin
pemugaran dasar anatomik untuk faal yang baik
- Imobilisasi: mempertahankan posisi tersebut selama masa penyembuhan
tulang. Biasanya imobilisasi nonbedah pada patah tulang cukup menjamin
kesempurnaan pertautan tulang.
- Mobilisasi: berupa latihan seluruh sistem gerak. Latihan gerakan aktif dan
pasif, terutama di persendian anggota gerak yang patah, dan semua sendi
yang tidak di imobilisasi mulai dilakukan secara teratur pada hari pertama.
1.2.6 Penyembuhan Fraktur
1. Fase Hematoma
Perdarahan yang terjadi di sekitar patahan tulang yang disebabkan
oleh putusnya pembuluh darah pada tulang dan periost.
2. Fase Jaringan Fibrosis
Hematom kemudian akan menjadi medium pertumbuhan sel jaringan
fibrosis dan vaskuler sehingga hematom berubah menjadi jaringan
fibrosis dengan kapiler di dalamnya. Jaringan ini yang menyebabkan
fragmen tulang saling menempel.Jaringan yang menempelkan
fragmen patahan tulang tersebut dinamakan kalus fibrosa.
3. Fase Jaringan Kondroid dan Osteoid
Ke dalam hematom dan jaringan fibrosis tumbuh sel jaringan
mesenkim yang bersifat osteogenik. Sel ini akan berubah menjadi sel
kondroblast yang membentuk kondroid yang merupakan bahan dasar
tulang rawan, sedangkan di tempat yang jauh dari patahan tulang
yang vaskularisasinya relatif banyak, sel ini berubah menjadi
osteoblast dan membentuk osteoid yang merupakan bahan dasar
tulang. Kondroid dan osteoid awalnya tidak mengandung kalsium
sehingga tidak terlihat pada foto Rontgen.

16
4. Fase Pertautan Klinis
Pada tahap selanjutnya terjadi penulangan atau osifikasi.Hal ini
menyebabkan kalus fibrosa berubah menjadi kalus tulang.Pada foto
Rontgen, proses ini terlihat sebagai bayangan radio-opak, tetapi
bayangan garis patah tulang masih terlihat.
5. Fase Tulang Lamelar
6.
7. Fase Konsolidasi/ Swapugar (fase union secara radiologik)

1.2.7 Waktu Penyembuhan Fraktur


1. Usia
Waktu penyembuhan tulang pada anak-anak lebih cepat dari orang
dewasa terutama karena aktifitas proses osteogenesis pada
periosteum dan endoesteun dan juga berhubungan dengan proses
remodeling tulang pada bayi yang sangat aktif dan makin berkurang
apabila usia bertambah.
2. Lokalisasi dan konfigurasi fraktur
Lokasi fraktur memegang peranana penting, misalnya, fraktur
metafisis penyembuhannya lebih cepat daripada diafisis.Selain itu
konfigurasi fraktur juga berpengaruh, misalnya fraktur transversal
lebih lambat penyembuhannya dari fraktur oblik karena kontak yang
lebih banyak.

17
3. Pergeseran awal fraktur
Jika fraktur tidak bergeser dimana periosreum intak, maka
penyembuhan dua kali lebih cepat dibandingkan pada fraktur yang
bergeser. Pergeseran fraktur yang lebih besar juga akan
menyebabkan kerusakan periost yang lebih hebat.
4. Vaskularisasi pada kedua fragmen
Vaskularisasi kedua fragmen yang baik biasanya mengahasilkan
penyembuhan tanpa komplikasi, namun apabila salah satu
vaskularisasinya jelek dan mengalami kematian, maka akan
menghambat terjadinya union bahkan mungkin mengalami
nonunion.
5. Reduksi serta imobilisasi
Reposisi fraktur akan memberikan kemungkinan untuk vaskularisasi
yang lebih baik dalam bentuk asalnya. Imobilisasi yang sempurna
akan mencegah pergerakan dan kerusakan pembuluh darah yang
akan mengganggu penyembuhan fraktur.
6. Waktu imobilisasi
Bila mobilisasi tidak dilakukan sesuai waktu penyembuhan sebelum
terjadi union, maka kemungkinan untuk terjadinya nonunion sangat
besar.
7. Ruangan antara kedua fragmen serta interposisi oleh jaringan lunak
Bila terdapat interposisi jaringan baik berupa periost, maupun otot
atau jaringan fibrosa lainnya, maka akan menghambat vaskularisasi
kedua ujung fraktur.
8. Adanya infeksi
Bila terjadi infeksi pada daerah fraktur, maka akan mengganggu
terjadinya proses penyembuhan.

9. Cairan sinovia
Pada persendian dimana terdapat cairan synovial, maka cairan ini
merupakan penghambat terjadinya proses penyembuhan.

18
10. Gerakan aktif dan pasif anggota gerak
Gerakan aktif dan pasif pada anggota gerak akan mengingkatkan
vaskularisasi daerah fraktur , tapi gerakan y.ang dilakukan pada
daerah fraktur tanpa imobilisasi akan mengganggu vaskularisasi

1.2.8 Penyembuhan Abnormal pada Fraktur


1. Malunion
2. Delayed Union
3. Nonunion

1.2.9 Fraktur Tibia dan Fibula


1. Fraktur Eminensia Interkondiler Tibia
Eminensia interkondiler ( tibial spine) berada diantara kedua faset
lateral dan medial pada permukaan atas tibia. Fraktur iminensia
interkondiler sering terjadi pada anak usia 8-13 tahun dan tidak
pernah ditemukan di bawah usia 7 tahun. Fraktur ini terjadi karena
avulsi ligamen krusiatum baik posterior atau anterior
2. Fraktur Tibia dan Epifisis Proksimal
a. Fraktur tibia epifisis proksimal
Fraktur ini jarang ditemukan pada anak-anak dan insidensinya
hanya 0,8% dari seluruh fraktur lempeng epifisis.
b. Fraktur apofisis tuberkel tibia
Sering ditemukan pada anak-anak usia 14-16 tahun. Apofisis
tibia terletak pada pertengahan daerah tendo ekspansi otot
kuadrisep.Tuberkel tibia dilindungi oleh ligamen ini sehingga
jarang terjadi avulsi yang total.
3. Fraktur Diafisis Tibia dan Fibula
Fraktur diafisis tibia dan fibula bervariasi menurut umur penderita
dan jenis trauma yang terjadi.Pada bayi dan anak-anak yang muda,
fraktur bersifat spiral pada tibia dengan fibula yang intak. Pada umur
3-6 tahun, biasanya terjadi stress torsional pada tibia bagian medial

19
akan menimbulkan fraktur greenstick pada metafisis atau diafisis
proksimal dengan fibula yang intak
4. Fraktur Epifisis Tibia Distal
5. Fraktur Epifisis Fibula Distal

20
BAB III
AFTER CARE PATIENT

III.1. Definisi After Care Patient (ACP)


After Care Patient (ACP) adalah pelayanan yang terintegritas
dengan meninjau ke lingkungan demi menjamin kesembuhan pasien
dengan melihat permasalahan yang ada pada pasien dan mengidentifikasi
fungsi dalam anggota keluarga serta memberikan edukasi kepada pasien
mengenai hidup sehat.

III.2. Tujuan After Care Patient (ACP)


Tujuan untuk dilakukan after care patient selain untuk melihat
perkembangan pasien dalam pengelolaan pengobatan pasien dan
kesembuhan pasien.

III.3. Permasalahan Pasien


III.3.1. Identifikasi Fungsi-Fungsi Keluarga
a. Fungsi Biologis dan Reproduksi
Dari hasil wawancara didapatkan informasi bahwa saat ini
semua anggota keluarga kecuali pasien dalam keadaan sehat.
Anggota keluarga lain tidak memiliki riwayat penyakit khusus.
Pasien adalah seorang laki-laki berusia 22 tahun dan belum. Saat
ini pasien tinggal bersama orangtuanya.
b. Fungsi Psikologis
Hubungan pasien dengan anggota keluarganya baik.
c. Fungsi Pendidikan
Pendidikan terakhir pasien adalah lulusan SMP.
d. Fungsi Sosial
Pasien tinggal di kawasan perkampungan. Pergaulan
umumnya berasal dari kalangan menengah kebawah dan hubungan
sosial dengan warga cukup erat. Pasien cukup dikenal dilingkungan
rumahnya.

21
e. Fungsi Religius
Agama yang dianut pasien adalah Islam.
III.3.2. Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan
a. Faktor Perilaku
Jika ada anggota keluarga yang sakit, pasien dan keluarga
langsung berobat ke rumah sakit. Biaya pengobatan ditanggung
sendiri.
a. Faktor Non Perilaku
Sarana kesehatan di sekitar rumah sangat jauh dari rumah.
Rumah sakit ditempuh dengan angkutan umum. Oleh karena itu,
pasien mengganti balut dengan menyewa perawat yang bekerja di
rumah sakit.
III.3.3. Identifikasi Lingkungan Rumah
Pasien tinggal di kawasan pemukiman penduduk. Pasien
tinggal bersama orangtuanya. Kawasan perumahan pasien
merupakan kawasan perkampungan biasa. Rumah pasien
berdinding tembok dengan lantai keramik dan atap genteng.
Memiliki 3 kamar tidur, satu ruang tamu, dapur dan kamar mandi.
Kebersihan dan kerapian rumah relatif kurang.
III.3.4. Diagnosis Fungsi-Fungsi Keluarga
a. Fungsi Biologis
Pasien perempuan usia 18 tahun dengan diagnose fraktur
kruris akibat kecelakaan lalu lintas.
b. Fungsi Psikologis
Hubungan pasien dengan keluarga dan tetangga cukup baik.
c. Fungsi sosial dan budaya
Dapat bersosialisasi terhadap lingkungan sekitar dengan baik.
d. Faktor perilaku
1. Apabila ada anggota keluarga yang sakit, pasien berobat ke
sarana kesehatan terdekat.
e. Faktor nonperilaku
Sarana pelayanan kesehatan jauh dari rumah.

22
III.4. Diagram Realita yang Ada Pada Keluarga

LINGKUNGA
N
Kebersihan dan
kerapian rumah
bagus

DERAJAT
GENETIK KESEHATAN YANKES
(-) An. CZ
Pelayanan
Kesehatan
Jauh (RSUD)
Fraktur kruris

PERILAKU
Apabila ada
anggota keluarga
yg sakit  yankes

III.5. Risiko, Permasalahan dan Rencana Pembinaan Kesehatan Keluarga


Risiko dan Masalah
Rencana pembinaan Sasaran
Kesehatan
Fraktur Tertutup Edukasi mengenai cara perawatan Pasien
Kruris bekas OP serta memberitahu cara dan
meminum obat yang teratur keluarga

III.6. Hasil Kegiatan


Tanggal Subjektif Objektif Assesment Planning
02/07/13 - Terjadi infeksi - KU : sakit Fraktur  Edukasi
di bekas luka ringan Tertutup -Agar menjaga

23
jahitan post - Kes : CM Kruris kebersihan diri dan
operasi. - TD : 110/70 dextra 1/3 lingkungan dengan
Sehingga ada mmHg distal baik untuk
jaringan yang - N : 80 x/menit menghindari
harus di debrid - RR : 20 x/menit terjadinya infeksi
lagi dan ditetesi - S : 37,5°C ataupun penyakit
obat perangsang - Luka OP masih lainnya
pertumbuhan ditampon   Kontrol jika mengalami
jaringan. sudah semakin keluhan atau obat habis
- Setiap hari ganti menutup
balutan , lukanya
dibantu oleh
perawat rumah
sakit yang
datang ke
rumah.
- Terakhir kontrol

III.7. Kesimpulan Pembinaan Keluarga


1. Tingkat pemahaman
Pemahaman terhadap edukasi yang dilakukan cukup baik.
2. Faktor penyulit
Infeksi yang timbul pada luka bekas post operasi.
3. Indikator keberhasilan
a. Pasien memanggil perawat rumah sakit untuk mengganti balut
sehingga luka bekas OP dapat terus dipantau kesembuhannya.

DAFTAR PUSTAKA

Junqueira. 2007. Buku Ajar Histologi Dasar. Jakarta: EGC.

24
Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC.
Sjamsuhidajat. R, Wim De Jong. 2003. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Snell, Richard. 2006. Anatomi Klinik. Jakarta: EGC.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31861/4/Chapter%20II.pdf
http://www.fkumyecase.net/storage/users/215/215/images/118/ca%20mamae.pdf

25

Anda mungkin juga menyukai