Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH:

BUDAYA DENGAN PERILAKU PSIKOMOTOR


Disusun Dan Diajukan Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Konseling Multibudaya

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 7
SULIS TIA (1172151021)
SARAH SITOMPUL (1173351058)
YUYUN EKA DIARNI (1173351068)
MIKHA TRINOVI GINTING (1173351032)
BK REGULER D

Dosen Pengampu : Dr. Nuraini, MS

PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2020
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i

DAFTAR ISI......................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1

1.1.Latar Belakang Masalah................................................................................................1

1.2.Rumusan Masalah..........................................................................................................1

1.3.Tujuan............................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................3

2.1. Pengertian Masa Remaja..............................................................................................3

2.2. Ciri-Ciri Masa Remaja..................................................................................................3

2.3 Tugas.Perkembangan Masa Remaja..............................................................................5

2.4. Aspek Perkembangan Masa Remaja............................................................................5

BAB III PENUTUP...........................................................................................................13

3.1.Kesimpulan....................................................................................................................13

3.2.Saran..............................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................13

i
BAB I

TEORI

1.1 Pengertian Budaya

Kata “Budaya” berasal dari Bahasa Sansekerta “Buddhayah”, yakni bentuk jamak dari
“Budhi” (akal). Menurut Gunawan (2000:16) Budaya adalah segala hal yang bersangkutan
dengan akal. Selain itu kata budaya juga berarti “budi dan daya” atau daya dari budi. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2000: 169) Budaya artinya pikiran, akal budi, hasil, adat
istiadat atau sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar diubah.
Menurut Taylor dalam Samuel Gunawan (1999:68), budaya adalah “suatu kebutuhan
komplek yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat istiadat,
serta kesanggupan dan kebiasaan lainnya yang dipelajari oleh manusia sebagai anggota
masyarakat.” Menurut Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat (2006: 25) budaya adalah
suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek
budaya turut menentukan perilaku komunikatif.
Dapat disimpulkan pengertian budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan
dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat
istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.

1.2 Pengertian Perilaku Psikomotor


Menurut Skinner sebagaimana dikutip oleh Soekidjo Notoatmojo (2010: 21) perilaku
merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap rangsangan dari luar (stimulus). Sedangkan
menurut Soekidjo Notoatmojo (1997: 118) perilaku adalah suatu aktivitas dari manusia itu
sendiri. Dan pendapat diatas disimpulkan bahwa perilaku (aktivitas) yang ada pada individu
tidak timbul dengan sendirinya, tetapi akibat dari adanya rangsang yang mengenai individu
tersebut. Menurut Azwar (1995) Psikologi memandang perilaku manusia (human behavior)
sebagai reaksi yang dapat bersifat sederhana maupun bersifat kompleks.
Perilaku manusia pada hakikatnya adalah suatu aktivitas dari pada manusia itu sendiri,
perilaku juga adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik dapat diamati secara
langsung atau tidak langsung. Dan hal ini berarti bahwa perilaku terjadi apabila ada sesuatu

1
yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi yakni yang disebut rangsangan, dengan demikian
suatu rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi perilaku tertentu (Notoatmodjo, 2007).
Psikomotor merupakan  yang berkaitan dengan keterampilan (skill) atau kemampuan
bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu. Hasil belajar psikomotor
ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif (memahami sesuatu) dan
hasil belajar afektif (yang baru tampak dalam bentuk kecenderungan-kecenderungan
berperilaku).  Psikomotor, dimana unsur yang dapat diamati adalah immitation, control dan
automatism. Unsur ini disebut juga komponen perilaku, yaitu komponen sikap yang berkaitan
dengan predisposisi atau kecenderungan bertindak terhadap objek sikap yang dihadapinya
(Notoatmodjo, 2007).
Menurut Rober (dalam Muhibin Syah, 2008: 119) Keterampilan psikomotorik adalah
kemampuan melakukan pola-pola tingkah laku yang kompleks dan tersusun rapi secara
mulus dan sesuai dengan keadaan untuk mencapai hasil tertentu. Keterampilan bukan hanya
meliputi gerakan motorik melainkan juga fungsi mental yang bersifat kognitif.
Gerakan-gerakan tubuh yang dimotori dengan kerjasama antara otot, otak, dan saraf-
saraf kita namakan motorik. Yang dimaksud dengan motorik adalah segala sesuatu yang ada
hubungannya dengan gerakan-gerakan tubuh. Menurut Zulkifli (2006:31) Dalam
perkembangan motoris, unsur-unsur yang menentukan adalah otot, saraf, dan otak. Ketiga
unsur itu melaksanakan masing-masing peranannya secara interaksi positif, artinya unsur-
unsur yang saling berkaitan, saling menunjang, saling melengkapi dengan unsur yang lainnya
untuk mencapai kondisi motoris yang lebih sempurna keadaannya. Selain mengandalkan
kemampuan otot, rupanya kesempurnaan otak juga menentukan keadaan anak yang
mengalami gangguan otak tampak kurang terampil menggerak-gerakkan tubuhnya.
Menurut Muhammad Surya (2014: 13) Perilaku motorik adalah segala perilaku
individu yang diwujudkan dalam bentuk gerakan atau perbuatan jasmaniah seperti berjalan,
berlari, duduk, melompat, menari, menulis, dan sebagainya. Perilaku motorik ini pada
umumnya dapat diamati dengan segera karena nampak secara fisik. Perilaku motorik ada
yang disadari dan ada yang tidak disadari. Perilaku motorik yang disadari terjadi apabila
berada dalam kendali pusat kesadaran melalui syaraf-syaraf motorik, adapun perilaku
motorik yang tidak disadari disebut reflex yang terjadi di luar kendali pusat kesadaran atau
tidak dalam perintah otak.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku psikomotorik adalah
kegiatan yang berhubungan dengan keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak dengan

2
melibatkan anggota badan berupa gerak fisik (motorik) setelah seseorang menerima
pengalaman belajar tertentu.
Menurut Dave (1970) klasifikasi tujuan domain psikomotor terbagi lima kategori
yaitu:
a. Peniruan.
Terjadi ketika siswa mengamati suatu gerakan. Mulai memberi respons serupa dengan
yang diamati. Mengurangi koordinasi dan kontrol otot-otot saraf. Peniruan ini pada
umumnya dalam bentuk global dan tidak sempurna.
b. Manipulasi.
Menekankan perkembangan kemampuan mengikuti pengarahan, penampilan,
gerakan-gerakan pilihan yang menetapkan suatu penampilan melalui latihan. Pada tingkat
ini siswa menampilkan sesuatu menurut petunjuk-petunjuk tidak hanya meniru tingkah
laku saja.
c. Ketetapan
Memerlukan kecermatan, proporsi dan kepastian yang lebih tinggi dalam penampilan.
Respon-respon lebih terkoreksi dan kesalahan-kesalahan dibatasi sampai pada tingkat
minimum.
d. Artikulasi
Menekankan koordinasi suatu rangkaian gerakan dengan membuat urutan yang tepat
dan mencapai yang diharapkan atau konsistensi internal di antara gerakan-gerakan yang
berbeda.
e. Pengalamiahan
Menurut tingkah laku yang ditampilkan dengan paling sedikit mengeluarkan energi
fisik maupun psikis. Gerakannya dilakukan secara rutin. Pengalamiahan merupakan
tingkat kemampuan tertinggi dalam domain psikomotorik.
Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa domain psikomotorik dalam taksonomi
instruksional pengajaran adalah lebih mengorientasikan pada proses tingkah laku atau
pelaksanaan, di mana sebagai fungsinya adalah untuk meneruskan nilai yang terdapat lewat
kognitif dan diinternalisasikan lewat afektif sehingga mengorganisasi dan diaplikasikan
dalam bentuk nyata oleh domain psikomotorik ini.

1.3 Hubungan Budaya Dengan Perilaku Psikomotorik


Dikutip dari Nadya dalam situsnya http://nadyasayangbunda.blogspot.com/p/tugas-
kuliah.html “pada hakikatnya manusia tidak mungkin hidup tanpa keberadaan orang lain

3
karena kodratnya sebagai mahluk sosial (zoon politicon). Kehidupan bersama dengan orang
lain tentu dilandasi oleh aturan-aturan tertentu, karena setiap orang tidak dapat berbuat
sekehendak hatinya sendiri. Terdapat kecenderungan bahwa manusia ingin hidup bebas
karena kodratnya yang lain sebagai mahluk individu, sehingga manusia diciptakan dengan
keunikan-keunikan tertentu. Akan tetapi kalau keinginan tersebut dipaksakan akan
berbenturan dengan keinginan dan kepentingan pihak lain, akan menimbulkan pertentangan. 
Oleh karena itu untuk mencapai keteraturan dan kenyamanan hidup bersama dengan
orang lain, manusia menciptakan aturan-aturan yang disepakati bersama tentang apa yang
boleh dilakukan, apa yang harus dilakukan, apa yang sebaiknya dilakukan, atau apa yang
jelas-jelas merupakan larangan dalam kehidupan bersama. Sejak manusia dilahirkan adat dan
kebudayaan menanamkan kepadanya tata nilai melalui orang tua, kakak, anggota kerabat,
tetangga, teman ataupun masyarakatnya. Melalui proses sosialisasi dan enkulturasi
(pembudayaan). Orang mewarisi tata nilai masyarakatnya. Manusia menjadikan nilai sebagai
landasan, alasan atau motivasi dalam segala tingkah laku dan perbuatan. Dalam
pelaksanaannya nilai-nilai dijabarkan dan diwujudkan dalam bentuk kaidah atau norma
sehingga merupakan larangan, hal yang tidak diinginkan, celaan dan lain sebagainya.
Nilai-nilai yang ditanamkan pada seseorang oleh lingkungannya akan membentuk cara ia
memandang lingkungannya dan bersikap dalam bidup. Kebiasaan dengan nilai-nilai itu pada
akhirnya akan menumbuhkan tabiat, karena dengan tata nilai itulah pandangan dan sikapnya
akan dikendalikan. Tabiat akan memancarkan tindakan dan perbuatan melalui kemauan.
Dengan kemauan yang kuat perilaku dan tindakan seseorang akan membentuk cara hidup.
Cara hidup orang perorangan bila kemudian menjadi cara hidup sekelompok masyarakat akan
membentuk kebudayaan. Sehingga yang membentuk kebudayaan adalah tata nilai yang
dianut seseorang. Bila tata nilai yang dianut berbeda sehingga berbeda pula pandangan
hidupnya, sikap hidup, cita-cita, tingkah laku atau perbuatan, maka akan beda pula
kebudayaannya.”

1.4 Keterkaitan dengan Konseling Lintas Budaya


Para konselor lintas budaya yang tahu tentang kesamaan humanity harus dapat
mengidentifikasi physical sensation dan psychological states yang dialami oleh klien.
Konselor lintas budaya hendaknya dapat melakukan tugasnya secara efektif, maka untuk itu
konselor perlu memahami bagaimana dirirnya sendiri menyadari world view-nya dan dapat
world view klien. Sikap konselor dalam melaksanakan hubungan konseling akan
menimbulkan perasaan-perasaan tertentu pada diri klien, dan akan menentukan kualitas dan

4
keefektifan proses konseling. Oleh karena itu, konselor harus menghormati sikap klien,
termasuk nilai-nilai agama, kepercayaan, dan sebagainya. Sue, dkk (1992) mengemukakan
bahwa konselor dituntut untuk mengembangkan tiga dimensi kemampuan, yaitu: a) Dimensi
keyakinan dan sikap; b) Dimensi pengetahuan; c) Dimensi keterampilan sesuai dengan nilai-
nilai yang dimiliki individu.
Sementara itu, Rao dalam Andri Mappiare (1992) mengemukakan bahwa jika klien
memiliki sifat atau kepercayaan yang salah atau tidak dapat diterima oleh masyarakat dan
konselor akan hal tersebut, maka konselor boleh memodifikasi kepercayaan tersebut secara
halus, tetapi apabila kepercayaan klien berkaitan dengan dasar filosofi dari kehidupan atau
kebudayaan dari suatu masyarakat atau agama klien, maka konselor harus bersikap netral,
yaitu tidak mempengaruhi kepercayaan klien tetapi membantunya untuk memahami nilai-
nilai pribadinya dan nilai-nilai kebudayaan tersebut.
Selanjutnya, Rao juga mengemukakan bahwa aspek-aspek yang mendasari sikap
tersebut adalah sebagai berikut.
a. Keyakinan
Konselor harus yakin bahwa klien membicarakan martabat persamaan (hak) dan
kepribadiannya. Konselor percaya atas kata dan nilai-nilai klien. Di samping itu juga
yakin bahwa klien membutuhkan kebebasan dan memiliki kekuatan serta kemampuan
untuk mencapai tujuan.
b. Nilai-nilai
Konselor harus bersikap netral terhadap nilai-nilai terhadap nilai-nilainya. Konselor
tidak menggunakan standar moral dan sosial berdasarkan nilai-nilainya. Dalam hal ini
konselor harus memiliki keyakinan penuh akan nilai-nilainya dan tidak mencampurkan
nilai-nilainya dengan nilai-nilai klien.
c. Penerimaan
Penerimaan konselor menunjukkan pada klien bahwa dihargai sebagai peribadi
dengan suasana yang menyenangkan. Penerimaan tersebut bersifat wajar tanpa dibuat-
buat.
d. Pemahaman
Konselor memahami klien secara jelas. Dalam hal ini ada empat tingkatan
pemahaman, yaitu (1) pengetahuan tentang tingkah laku, kepribadian, dan minat-minat
individu, (2) memahami kemampuan intelektual dan kemampuan verbal individu, (3)
pengetahuan mengenai dunia internal individu, dan (4) pemahaman diri yang meliputi
keseluruhan tingkatan tersebut.

5
e. Rapport
Konselor menciptakan dan mengembangkan hubungan konseling yang hangat dan
permisif, agar terjadi komunikasi konseling yang intensif dan efektif.
f. Empaty
Kemampuan konselor untuk turut merasakan dan menggambarkan pikiran dan
perasaan klien.

6
BAB II

KASUS

2.1 Kasus 1
Dalam tatanan budaya Jawa, anak telah diajarkan tentang nilai nilai (budaya) sejak
anak mereka masih bayi. Hal ini tampak pada saat ibu menggendong bayinya. Bayi akan
digendong oleh ibunya pada posisi pinggang kiri. Dengan digendong pada pinggang kiri ini,
maka tangan kanan anaknya akan dapat bergerak dengan bebas untuk menerima apa saja
yang diberikan oleh ibu atau bapaknya.

2.2 Kasus 2
Dalam masyarakat Jawa juga terlihat peraturan-peraturan yang mengikat dan masih
sering dilaksanakan. Walaupun tidak terlalu keras, tetapi masyarakat Jawa mengikutinya
dengan penuh kesadaran. Masyarakat Jawa dikenal dengan perasaan yang sangat halus,
dengan demikian, ungkapan ungkapan yang bertujuan untuk melarang suatu tindakan tertentu
juga diungkapkan dengan halus pula. Apabila orang jawa mengatakan “saru" (tabu) atau “ora
njawa", biasanya mereka yang melakukan tindakan tertentu (salah) akan merasa "isin" (malu)
dan tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi.

7
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pembahasan Kasus I


Dari pembahasan kasus 1 tampak bahwa orang tua akan berusaha untuk menanamkan
nilai-nilai atau norma-norma tertentu kepada generasi berikutnya (anak). Peraturan yang
mengikat dari sekelompok masyarakat tertentu akan membentuk suatu pola perilaku dari
seseorang. Bagaimana dia berperilaku, berpikir, bersikap dan lain sebagainya akan
merefleksikan aturan yang dibuat oleh masyarakat dimana dia tinggal (Menurut Herr dalam
Soedarmadji, 2011). Sehingga akan terbentuk suatu kepribadian dasar (basic personality)
atau kepribadian rata-rata (lhromi, 1990).
Generasi muda mempunyai kecenderungan untuk mencontoh apa-apa yang dilakukan
oleh generasi sebelumnya. Hal ini memang salah satu proses pemilikan yang dilakukan oleh
kaum muda. Dalam proses peniruan ini terjadi suatu proses belajar yang tidak disadari.
Artinya dari pihak generasi tua tidak mengajarkan budaya tertentu kepada generasi mudanya
secara langsung. Mungkin, apa yang dilakukan oleh generasi tua itu juga merupakan proses
belajar meniru dari generasi sebelumnya. Hal ini sesuai dengan teori yang disampaikan oleh
Dave (1970) bahwa salah satu domain psikomotor adalah peniruan.
Bateson (dalam Ihrom, 1990) mengilustrasikan suatu peristiwa yang menunjukkan
proses belajar melalui perilaku meniru dari suku Pengayau Latmul (lrian Jaya) sebagai
berikut:
“Seorang yang berkedudukan penting, waktu memasuki gedung upacara, sadar bahwa mata
khalayak ramai sedang memperhatikannya dan reaksinya terhadap hal itu adalah
menunjukkan sikap yang berlebih lebihan. Dia akan memasuki ruangan dengan berbagai
gerak gerik dan mencoba menarik perhatian orang terhadap kehadirannya dengan sesuatu
ucapan. Kadang kadang dia cenderung untuk bersikap berlagak dan merasa bangga secara
agak berlebih lebihan. Kadang kadang pula reaksinya ialah membadut ... bertambah tinggi
kedudukannya bertambah menyolok tingkah lakunya.
Pada kaum muda, yang belum lagi mempunyai kedudukan, ditemukan sikap lebih
menguasai diri. Mereka akan memasuki gedung upacara dengan tenang, tanpa menarik
perhatian, dan diantara orang orang yang lebih senior dan sedang berlagak itu, mereka duduk
diam diam serta bersungguh sungguh. Tetapi untuk pemuda pemuda ini ada pula sebuah
gedung upacara yang lebih sederhana. Di gedung ini mereka secara miniatur melakukan

8
upacara seperti yang dilakukan golongan senior, dan dalam upacara di kalangannya itu
mereka meniru sikap orang senior dan menunjukkan sikap angkuh bercampur membadut".
llustrasi di atas memang tidak bermaksud untuk digeneralisasikan, tetapi adalah
kenyataan bahwa belajar yang dilakukan oleh generasi penerus adalah melalui cara cara
meniru atau mencontoh. Masyarakat akan memberikan hadiah (reward) terhadap mereka
mereka yang berjalan sesuai dengan aturan yang telah disepakati bersama (konsensus).
Hadiah atau reward ini dapat berupa pujian pujian yang diberikan pada seseorang. Selain itu,
masyarakat juga akan memberikan hukuman (punishment) kepada anggota masyarakat yang
tidak dapat menjalankan konsensus atau menyimpang dari konsensus yang telah disepakati.
Hukuman ini bermacam macam bentuk seperti dikenakan denda (pada suku dayak), dipasung
(pada beberapa suku jawa), melalui hukum Islam (di Aceh) dan lain sebagainya
(Koentjaraningrat, 1988).

3.2 Pembahasan Kasus 2


Dari pembahasan kasus 2 bahwa terlihat orang jawa Timur mempunyai nilai-nilai
sendiri yang berhubungan dengan kesopanan, perilaku, pemikiran dan lain sebagainya dan ini
terbungkus dalam satu kata "kasar". Demikian pula individu yang berasal dari Jawa Tengah,
tentunya dia akan membawa seperangkat nilai-nilai, ide, pikiran dan perilaku tertentu yang
terbungkus dalam satu kata "halus". Kenyataannya, antara "halus" dan "kasar" itu sulit sekali
untuk disatukan dalam kehidupan sehari. Ini akan menjadi permasalahan tersendiri dalam
proses konseling.
Dalam praktik sehari-hari, konselor pasti akan berhadapan dengan klien yang berbeda
latar belakang sosial budayanya. Dengan demikian, tidak akan mungkin disamakan dalam
penanganannya (Prayitno, 1994). Perbedaan-perbedaan ini memungkinkan terjadinya
pertentangan, saling mencurigai, atau perasaan perasaan negatif lainnya. Pertentangan, saling
mencurigai atau perasaan yang negatif terhadap mereka yang berlainan budaya sifatnya
adalah alamiah atau manusiawi. Sebab, individu akan selalu berusaha untuk bisa
mempertahankan atau melestarikan nilai nilai yang selama ini dipegangnya. Jika hal ini
muncul dalam pelaksanaan konseling, maka memungkinkan untuk timbul hambatan dalam
konseling.
Jika kita memakai pengertian tersebut di atas, maka semua proses konseling akan
dikatagorikan sebagai konseling lintas budaya (Menurut Herr dalam Soedarmadji, 2011). Hal
ini disebabkan setiap konselor dan klien adalah pribadi yang unik. Unik dalam hal ini

9
mempunyai pengertian adanya perbedaan perbedaan tertentu yang sangat prinsip. Setiap
manusia adalah berbeda (individual deferences).
Pemahaman mengenai budaya spesifik yang dimiliki oleh klien tidak akan terjadi
dengan mudah. Untuk hal ini, konselor perlu mempelajarinya dari berbagai Sumber yang
menunjang seperti literatur atau pengamatan langsung terhadap budaya klien. Konselor
dituntut untuk dapat bertindak secara proaktif didalam usahanya memahami budaya klien.
Dengan demikian, sebagai individu yang bersosialisasi, selayaknyalah konselor sering
“turun” untuk mengetahui budaya di sekitar klien. Kemampuan konselor untuk dapat
memahami kebudayaan di sekitarnya, secara tidak langsung akan dapat menambah khasanah
ilmu pengetahuannya yang pada akhirnya akan mempermudah konselor di dalam memahami
klien (Menurut Herr dalam Soedarmadji, 2011).

10
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Dapat kami simpulkan bahwa manusia sebagai pencipta dan pengguna kebudayaan
akan terus berhadapan dengan problematika kebudayaan. Salah satu yang harus diperhatikan
yaitu bagaimana kita menyikapi perubahan dan perkembangan kebudayaan. Kebudayaan
akan terus mengalami perubahan selama manusia hidup dimuka bumi ini karena kebudayaan
bersifat dinamis. Dan yang terpenting dari itu semua adalah bagaimana kita menyikapi dan
memilah milah kebudayaan asing yang masuk dan mengintervensi kebudayaan asli yang kita
kita miliki.

4.2 Saran
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa kebudayaan mengalami perkembangan
(dinamis) sesuai dengan perkembangan manusia itu sendiri, oleh sebab itu tidak ada
kebudayaan yang bersifat statis. Dengan demikian, kebudayaan akan mengalami perubahan.
Oleh karena itu sebagai manusia dan masyarakat sudah kewajiban kita melestarikan dan
menjaga kelestarian budaya tersebut.

11
DAFTAR PUSTAKA

Ary, H. Gunawan. 2000. Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi tentang Pelbagai
Problem Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Azwar. 1995. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Dave, R. H. 1970. “Psychomotor Levels”. In Developing and Writing Behavioral Objectives

ed. Robert J. Amstrong. Tucson AZ: Educational Innovators Press.

Departemen Pendidikan Nasional. 2000. Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI) . Jakarta:


Balai Pustaka.
Gunawan, Samuel. 1999. Antropologi Budaya; Suatu Perspektif Kontemporer. Balai Pustaka:
Jakarta.
Ihromi, T. O. 1990. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat. 1988. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Mappiare, Andi AT. 1992. Pengantar Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Mulyana, Deddy & Jalaluddin Rakhmat. 2006. Komunikasi Antarbudaya: Panduan
Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Nadya. 2013. Budaya dengan Perilaku Sosial Psikomotorik. [Online]. Tersedia:
http://nadyasayangbunda.blogspot.com/p/tugas-kuliah.html (Diakses pada 10 Maret
2020).
Notoatmodjo, Soekidjo. 1997. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan dalam Ilmu Kesehatan
Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku: Jakarta: Rineka Cipta.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Prayitno & Amti, Emran. 1994. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka

Cipta.

Soedarmadji. 2011. Konseling Lintas Budaya. [Online]. Tersedia:


http://konselingindonesia.com/index.phpoption_com_content&task_view&id_241&Itemid_9
8. (Diakses pada 10 Maret 2020).

12
Sue, D. W., Arredondo, P., & McDavis, R. J. (1992). Multicultural counseling competencies
and standards: A call to the profession. Journal of Counseling & Development,
70(4), 477-486.

Surya, Muhammad. 2014. Psikologi Guru. Bandung: Alfabeta.

Syah, Muhibin. 2008. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja
Rosdakarya.

Zulkifli. 2006. Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosadakarya.

13

Anda mungkin juga menyukai