Anda di halaman 1dari 15

BAB II

KAJIAN TEORI

Dalam Bab II Kajian Teori ini akan dibahas : 2.1 Persepsi Masyarakat, 2.2

Perilaku, 2.3 Perilaku Religius, 2.4 Dampak Perilaku Religius 2.5 Macam Nilai

Religius, 2.6 Pencapaian Agama Islam

2.1 Persepsi Masyarakat

Persepsi merupakan obyek-obyek di sekitar yang ditangkap melalui indera

dan diproyeksikan pada bagian tertentu dalam otak sehingga dapat mengamati

suatu obyek (Husaini dalam Malihatin, 2012: 16). Sedangkan menurut Soemanto

(dalam Lestari, 2012), persepsi sebagai bayangan yang menjadi kesan yang

dihasilkan menjadi pengamatan. Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan

bahwa persepsi adalah kesan yang diterima seseorang dari adanya suatu objek atau

sebuah kejadian, sehingga hasilnya dapat diamati oleh seseorang tersebut. Persepsi

yang ada pada setiap seseorang tidak selalu sama, hal ini dikarenakan adanya

perbedaan pengalaman dan keadaan lingkungan tempat tinggal mereka.

Masyarakat merupakan makhluk yang memiliki pengamatan secara

individu.Setiap masyarakat memiliki persepsi dan pendapat mengenai pengamatan

atau pengalaman yang telah dilalui. Sebelum membahas mengenai persepsi

masyarakat tersebut, perlu dijelaskan terlebih dahulu pengertian persepsi dan

pengertian masyarakat itu sendiri.

Selanjutnya, pengertian masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang

berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan

yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Ishomuddin, 1997: 55). Masyarakat

9
10

selalu membutuhkan satu sama lain, antara individu satu dengan yang lainnya.

Mereka selalu melakukan aktivitas bersama, mereka memiliki peran masing-

masing dalam segala aspek kemasyarakatan. Masyarakat juga berperan dalam

pendidikan, keagamaan, dan lain sebagainya yang ada di lingkungannya.

Jadi dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa persepsi masyarakat

adalah kesan yang diterima seseorang dari adanya suatu objek atau sebuah

kejadian dalam kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem

adat istiadat tertentu, sehingga hasilnya dapat diamati oleh seseorang tersebut.

Lebih singkatnya, persepsi masyarakat dapat diartikan dengan kesan yang diterima

masyarakat dari suatu kejadian atau realita dalam lingkungannya, sehingga hal

tersebut menjadi pengamatan mereka.

2.1.1 Syarat Terjadinya Persepsi

Menurut Sunaryo (2004: 98) syarat-syarat terjadinya persepsi adalah sebagai

berikut:

a. Adanya objek yang dipersepsi

b. Adanya perhatian yang merupakan langkah pertama sebagai suatu

persiapan dalam mengadakan persepsi.

c. Adanya alat indera/reseptor yaitu alat untuk menerima stimulus

d. Saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus ke otak, yang

kemudian sebagai alat untuk mengadakan respon.

2.1.2 Faktor Persepsi

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang. Menurut

Lestari (2012), faktor yang mempengaruhi persepsi tersebut adalah faktor internal
11

maupun faktor eksternal. Faktor internal yang pertama yaitu motif dan kebutuhan,

sedangkan yang kedua yaitu kesiapan seseorang untuk merespon terhadap suatu

input tertentu. Kemudian faktor eksternal, di antaranya yaitu intensitas dan ukuran

dari yang akan diberikan etensi, kontras dan hal-hal yang baru dari objek yang

mendapat perhatian, pengulangan dari yang diberi persepsi, dan gerakan yang

diberi persepsi.

Menurut Miftah Toha (2003: 154), faktor-faktor yang mempengaruhi

persepsi seseorang adalah sebagai berikut :

a. Faktor internal: perasaan, sikap dan kepribadian individu, prasangka,

keinginan atau harapan, perhatian (fokus), proses belajar, keadaan fisik,

gangguan kejiwaan, nilai dan kebutuhan juga minat, dan motivasi.

b. Faktor eksternal: latar belakang keluarga, informasi yang diperoleh,

pengetahuan dan kebutuhan sekitar, intensitas, ukuran, keberlawanan,

pengulangan gerak, hal-hal baru dan familiar atau ketidak asingan suatu

objek.

Menurut Bimo Walgito (2004: 70) faktor-faktor yang berperan dalam

persepsi dapat dikemukakan beberapa faktor, yaitu:

a. Objek yang dipersepsi

Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor.

Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga

dapat datang dari dalam diri individu yang bersangkutan yang langsung

mengenai syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor.

b. Alat indera, syaraf dan susunan syaraf


12

Alat indera atau reseptor merupakan alat untuk menerima stimulus, di

samping itu juga harus ada syaraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan

stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan syaraf, yaitu otak sebagai

pusat kesadaran. Sebagai alat untuk mengadakan respon diperlukan

motoris yang dapat membentuk persepsi seseorang.

c. Perhatian

Untuk menyadari atau dalam mengadakan persepsi diperlukan adanya

perhatian, yaitu merupakan langkah utama sebagai suatu persiapan dalam

rangka mengadakan persepsi. Perhatian merupakan pemusatan atau

konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada sesuatu

sekumpulan objek.

Faktor-faktor tersebut menjadikan persepsi individu berbeda satu

sama lain dan akan berpengaruh pada individu dalam mempersepsi suatu

objek, stimulus, meskipun objek tersebut benar-benar sama. Persepsi

seseorang atau kelompok dapat jauh berbeda dengan persepsi orang atau

kelompok lain sekalipun situasinya sama. Perbedaan persepsi dapat

ditelusuri pada adanya perbedaan-perbedaan individu, perbedaanperbedaan

dalam kepribadian, perbedaan dalam sikap atau perbedaan dalam motivasi.

Pada dasarnya proses terbentuknya persepsi ini terjadi dalam diri

seseorang, namun persepsi juga dipengaruhi oleh pengalaman, proses

belajar, dan pengetahuannya.


13

2.1.3 Penyebab Adanya Perbedaan Persepsi

Menurut Sarlito Wirawan Sarwono (dalam Malihatin, 2012), terdapat 6

faktor yang menyebabkan perbedaan persepsi, di antaranya adalah sebagai berikut.

a. Perhatian

Biasanya seseorang tidak menangkap seluruh rangsang yang ada di

sekitar kita sekaligus, tetapi memfokuskan perhatian pada satu atau dua

obyek saja. Perbedaan fokus antara satu orang dengan orang lain

menyebabkan perbedaan persepsi.

b. Set

Set adalah harapan seseorang akan rangsang yang akan timbul.

c. Kebutuhan

Kebutuhan-keebutuhan sesaat maupun yang menetap pada diri

seseorang akan mempengaruhi persepsi seseorang. Kebutuhan yang

berbeda akan menyebabkan persepsi yang berbeda pula.

d. Sistem nilai

Sistem nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat berpengaruh

terhadap persepsi.

e. Ciri kepribadian

Ciri kepribadian akan mempengaruhi persepsi pula.

f. Gangguan kejiwaan

Gangguan kejiwaan dapat menimbulkan kesalahan persepsi yang

disebut halusinasi. Berbeda dari ilusi, halusinasi bersifat individual,

hanya dialami oleh penderita yang bersangkutan saja.


14

2.2 Perilaku

Perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam pengalaman serta

interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk

pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan

respon/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun

dari dalam dirinya. Respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan: berpikir,

berpendapat, bersikap) maupun aktif (melakukan tindakan). Perilaku aktif dapat

dilihat, sedangkan perilaku pasif tidak tampak, seperti pengetahuan, persepsi, atau

motivasi. Beberapa ahli membedakan bentuk-bentuk perilaku ke dalam tiga

domain yaitu pengetahuan, sikap, dan tindakan atau sering kita dengar dengan

istilah knowledge, attitude, practice (Sarwono dalam Sembiring, 2013).

Dari sudut biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme

yang bersangkutan, yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung.

Perilaku manusia adalah suatu aktivitas manusia itu sendiri (Notoadmodjo dalam

Sembiring, 2013).

Ensiklopedi Amerika, perilaku diartikan sebagai suatu aksi-reaksi organisme

terhadap lingkungannya. Perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan

untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut rangsangan. Berarti rangsangan

tertentu akan menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu (Notoadmodjo dalam

Sembiring, 2013).

Kwick (dalam Sembiring, 2013) menjelaskan bahwa perilaku adalah

tindakan atau perilaku suatu organisme yang dapat di amati dan bahkan dapat di

pelajari. Umum, perilaku manusia pada hakekatnya adalah proses interaksi


15

individu dengan lingkungannya sebagai manifestasi hayati bahwa dia adalah

mahluk hidup (Kusmiyati dan Desminiarti dalam Sembiring, 2013).

2.2.1 Proses Pembentukan Perilaku

Perilaku manusia terbentuk karena adanya kebutuhan. Menurut Abraham

Harold Maslow dalam Sembiring (2013), manusia memiliki lima kebutuhan dasar,

yaitu sebagai berikut.

a. Kebutuhan fisiologis/biologis, yang merupakan kebutuhan pokok utama,

yaitu H2, H2O, cairan elektrolit, dan makanan. Apabila kebutuhan ini tidak

terpenuhi akan terjadi ketidakseimbangan fisiologis. Misalnya, kekurangan

O2 yang menimbulkan sesak nafas dan kekurangan H2O dan elektrolit

yang menyebabkan dehidrasi.

b. Kebutuhan rasa aman, misalnya rasa aman terhindar dari pencurian,

penodongan, perampokan dan kejahatan lain, rasa aman terhindar dari

konflik, tawuran, kerusuhan, peperangan dan lain-lain, rasa aman terhindar

dari sakit dan penyakit, rasa aman memperoleh perlindungan hukum.

c. Kebutuhan mencintai dan dicintai, misalnya mendambakan kasih

sayang/cinta kasih orang lain baik dari orang tua, saudara, teman, kekasih,

dan lain-lain, ingin dicintai/mencintai orang lain, ingin diterima oleh

kelompok tempat ia berada.

d. Kebutuhan harga diri, misalnya ingin dihargai dan menghargai orang

lain, adanya respek atau perhatian dari orang lain, toleransi atau saling

menghargai dalam hidup berdampingan


16

e. Kebutuhan aktualisasi diri, misalnya ingin dipuja atau disanjung oleh

orang lain, ingin sukses atau berhasil dalam mencapai cita-cita, ingin

menonjol dan lebih dari orang lain, baik dalam karier, usaha, kekayaan,

dan lain-lain.

Menurut konsep Mead (dalam Ishomuddin, 2009), tindakan menyangkut

empat tingkatan. Tingkat pertama, gerak hati (impulse), yakni menempatkan diri

untuk bertindak. Kedua, persepsi di mana seseorang mendefinisikan situasi yang

akan dimasuki. Ketiga, manipulasi situasu dengan kontak yang berhubungan

dengan aspek-aspek relevan dalam situasi. Keempat, pertempuran, yakni

merupakan akhir tindakan dengan tujuan berhasil atau memperbaiaki

keseimbangan.

2.2.2. Bentuk Perilaku

Perilaku dapat diberi batasan sebagai suatu tanggapan individu terhadap

rangsangan yang berasal dari dalam maupun luar diri individu tersebut. Menurut

Sembiring (2013), secara garis besar bentuk perilaku ada dua macam, yaitu

sebagai berikut.

a. Perilaku Pasif (respons internal)

Perilaku yang sifatnya masih tertutup, terjadi dalam diri individu dan tidak

dapat diamati secara langsung. Perilaku ini sebatas sikap belum ada tindakan yang

nyata.

b. Perilaku Aktif (respons eksternal)

Perilaku yang sifatnya terbuka, perilaku aktif adalah perilaku yang dapat

diamati langsung, berupa tindakan yang nyata.


17

2.3 Perilaku religius

Perilaku religius merupakan perilaku yang dekat dengan hal-hal spiritual.

Perilaku religius merupakan usaha manusia dalam mendekatkan dirinya dengan

Tuhan sebagai penciptanya. Religiusitas merupakan sikap batin seseorang

berhadapan dengan realitas kehidupan luar dirinya misalnya hidup, mati,

kelahiran, bencana banjir, tanah longsor, gempa bumi, dan sebaginya (Ivonna,

dkk, 2003: 17). Sebagai orang yang memiliki kepercayaan kekuatan itu diyakini

sebagai kekuatan Tuhan. Kekuatan itu memberi dampak positif terhadap

perkembangan hidup seseorang apabila ia mampu menemukan maknanya. Orang

mampu menemukannya apabila ia berani merenung dan merefleksikannya.

Melalui refleksi pengalaman hidup memungkinkan seseorang menyadari

memahami, dan menerima keterbatasan dirinya sehingga terbangun rasa syukur

kepada Tuhan sang pemberi hidup, hormat kepada sesama dan lingkungan alam.

Menurut Maulida (2010) kegiatan religius yang dapat dijadikan sebagai

pembiasaan seseorang di antaranya adalah sebagai berikut.

Berdoa atau bersyukur. Berdoa merupakan ungkapan syukur secara

langsung kepada Tuhan. Ungkapan syukur dapat pula diwujudkan dalam relasi

seseorang dengan sesama, yaitu dengan membangun persaudaraan tanpa dibatasi

oleh suku, ras, dan golongan. Kerelaan memberikan ucapan selamat hari raya

kepada teman yang tidak seiman merupakan bentuk-bentuk penghormatan kepada

sesama.

Melaksanakan kegiatan di mushola atau masjid. Berbagai kegiatan di

mushola juga dapat dijadikan pembiasaan untuk menumbuhkan perilaku religius.


18

Kegiatan tersebut di antaranya salat berjamaah setiap hari, sebagai tempat untuk

mengikuti kegiatan belajar baca tulis Al Quran, dan salat Jumat berjamaah. Pesan

moral yang didapat dalam kegiatan tersebut dapat menjadi bekal seseorang untuk

berperilaku sesuai moral dan etika.

Merayakan hari raya keagamaan sesuai dengan agamanya. Kegiatan lain

yang dapat membentuk moral dan etika dari perilaku religius yaitu merayakan hari

besar sesuai dengan agamanya. Untuk yang beragama Islam momen-momen hari

raya Idul Adha, Isra Mikraj, Idul Fitri dapat dijadikan sarana untuk meningkatkan

iman dan takwa.

Mengadakan kegiatan keagamaan sesuai dengan agamanya.

Menyelenggarakan kegiatan keagamaan lainnya, misalnya kegiatan pesantren

kilat, pengajian, dan lain-lain. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Al-Asyqar

(1996: 51) bahwa teman dan tetangga yang baik, hadir dalam majlis-majlis ilmu

berusaha berusaha bertemu kawan dalam urusan agama Allah dan mendengar

ceramah-ceramah yang baik. Sesuai dengan sebuah hadits yang artinya adalah

“Tidakkah suatu kaum berkumpul di suatu rumah-rumah Allah (masjid) membawa

kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka, para malaikat melingkungi

mereka dan Allah menyebut mereka di atara orang-orang yang dekat kepada-

Nya.”

Selain itu, agama membantu mendorong terciptanya persetujuan mengenai

isi dan kewajiban-kewajiban sosial dengan memberikan nilai-nilai yang berfungsi

menyalurkan sikap-sikap para anggota masyarakat dan menetapkan isi kewajiban-


19

kewajiban sosial mereka. Agama dapat membantu menciptakan sistem-sistem nilai

sosial yang terpadu dan utuh (Ishomuddin, 1996: 102).

2.4 Dampak Perilaku Religius

Maulida (2010), mengemukakan bahwa pembiasaan berperilaku religius di

mana pun ternyata mampu mengantarkan seseorang untuk berbuat yang sesuai

dengan etika. Dampak dari pembiasaan perilaku religius tersebut berpengaruh

pada tiga hal yaitu sebagai berikut.

Pikiran, belajar berpikir positif (positif thinking). Hal ini dapat dilihat dari

perilaku seseorang untuk selalu mau mengakui kesalahan sendiri dan mau

memaafkan orang lain. Seseorang juga mulai menghilangkan prasangka buruk

terhadap orang lain. Seseorang tersebut dapat selalu terbuka dan mau bekerjasama

dengan siapa saja tanpa memandang perbedaan suku, dan ras.

Ucapan, perilaku yang sesuai dengan etika adalah tutur kata seseorang

yang sopan, misalnya mengucapkan salam kepada siapa saja yang datang atau

pergi, mengucapkan terima kasih jika diberi sesuatu, meminta maaf jika

melakukan kesalahan, berkata jujur, dan sebagainya. Hal sekecil ini jika

dibiasakan akan menumbuhkan sikap positif. Sikap tersebut misalnya menghargai

pendapat orang lain, jujur dalam bertutur kata dan bertingkah laku.

Tingkah laku, tingkah laku yang terbentuk dari perilaku religius tentunya

tingkah laku yang benar, yang sesuai dengan etika. Tingkah laku tersebut di

antaranya empati, hormat, kasih sayang, dan kebersamaan.

Jika seseorang sudah terbiasa hidup dalam lingkungan yang penuh dengan

kebiasaan religius, kebiasaan-kebiasaan itu pun akan melekat dalam dirinya dan
20

diterapkan di mana pun mereka berada. Begitu juga sikapnya dalam berucap,

berpikir dan bertingkah laku akan selalu didasarkan norma agama, moral dan etika

yang berlaku. Jika hal ini diterapkan di semua sekolah niscaya akan terbentuk

generasi-generasi muda yang handal, bermoral, dan beretika.

2.5 Macam Nilai Religius

Menurut Zayadi (dalam Nanisanti, 2014: 23), sumber nilai yang berlaku

dalam kehidupan manusia digolongkan menjadi dua macam, di antaranya adalah

sebagai berikut.

Nilai ilahiyah, merupakan nilai yang berhubungan dengan ketuhanan atau

habul minallah, dimana inti dari ketuhanan adalah keagamaan. Kegiatan

menanamkan nilai keagamaan menjadi inti kegiatan pendidikan. Nilai-nilai yang

paling mendasar adalah sebagai berikut.

a. Iman, yaitu sikap batin yang penuh kepercayaan kepada Allah.

b. Islam, yaitu sebagai kelanjutan dari iman, maka sikap pasrah kepada-

Nya dengan menyakini bahwa apapun yang datang dari Allah

mengandung hikmah kebaikan dan pasrah kepada Allah.

c. Ihsan, yaitu kesadaran yang sedalam-dalamnya bahwa Allah senantiasa

hadir atau berada bersama kita di manapun kita berada.

d. Taqwa, yaitu sikap menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah.

e. Ikhlas, yaitu sikap murni dalam tingkah laku dan perbuatan tanpa

pamrih, semata-mata mengharapkan ridho dari Allah.

f. Tawakal, yaitu sikap yang senantiasa bersandar kepada Allah, dengan

penuh harapan kepada Allah.


21

g. Syukur, yaitu sikap dengan penuh rasa terimakasih dan penghargaan

atas ni‟mat dan karunia yang telah diberikan oleh Allah.

h. Sabar, yaitu sikap batin yang tumbuh karena kesadaran akan asal dan

tujuan hidup yaitu Allah.

Nilai insaniyah, adalah nilai yang berhubungan dengan sesama manusia

atau habul minanas yang berisi budi pekerti. Berikut ini adalah nilai yang

tercantum dalam nilai insaniyah.

a. Silaturahim, yaitu petalian rasa cinta kasih anata sesama manusia.

b. Al-Ukhuwah, yaitu semangat persaudaraan.

c. Al-Musawah, yaitu pandangan bahwa harkat dan martabat semua

manusia adalah sama.

d. Al-Adalah, yaitu wawasan yang seimbang.

e. Husnu Dzan, yaitu berbaik sangka kepada sesama manusia.

f. Tawadlu, yaitu sikap rendah hati.

g. Al-Wafa, yaitu tepat janji.

h. Insyirah, yaitu lapang dada.

i. Amanah, yaitu bisa dipercaya.

j. Iffah atau ta’afuf, yaitu sikap penuh harga diri, tetapi tidak sombong

tetap rendah hati.

k. Qawamiyah, yaitu sikap tidak boros.

l. Al-Munfikun, yaitu sikap kaum beriman yang memiliki kesediaan yang

besar menolong sesama manusia.


22

Selaras dengan hal tersebut, menurut Rian Milanto (dalam Zuriah, 2007:

27) secara garis besar budi pekerti dapat dikelompokkan dalma tiga hal nilai

akhlak, yaitu sebagai berikut.

Pertama, akhlak terhadap Tuhan Yang Maha Esa, meliputi Tuhan sebagai

pencipta, Tuhan sebagai pemberi (pengasih dan penyayang), dan Tuhan sebagai

pemberi balasan (baik dan buruk). Kedua, akhlak terhadap sesama manusia

meliputi, akhlak terhadap diri sendiri, akhlak terhadap orang tua, akhlak terhadap

orang yang lebih tua, akhlak terhadap sesama, dan akhlak terhadap orang yang

lebih muda. Ketiga, akhlak terhadap lingkungan meliputi, alam (flora dan fauna),

dan sosial, masyarakat, kelompok yang saling bergantung dan saling

membutuhkan satu sama lain.

2.6 Pencapaian Agama Islam

Menurut Fadjar (dalam Fathudin dan Sudiyatno, tt: 9), mutu maupun

pencapaian pendidikan Agama Islam perlu diorientasikan kepada sebagai berikut.

a. Tercapainya sasaran kualitas pribadi, baik sebagai muslim maupun

sebagai manusia Indonesia yang ciri-cirinya dijadikan tujuan

pendidikan nasional.

b. Integrasi pendidikan agama Islam dengan keseluruhan proses maupun

institusi pendidikan yang lain.

c. Tercapainya internalisasi nilai-nilai dan norma-norma keagamaan yang

fungsional secara moral untuk mengembangkan keseluruhan sistem

sosial budaya.
23

d. Penyadaran pribadi akan tuntutan hari depannya dan transformasi sosial

budaya yang terus berlangsung.

e. Pembentukan wilayah ijtihaiyah (intelektual) disamping penyerapan

ajaran secara aktif.

Anda mungkin juga menyukai