Anda di halaman 1dari 18

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 1

BAB I ......................................................................................................................................... 2

PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 2

1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 2

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................ 2

BAB II........................................................................................................................................ 3

PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 3

2.1 Kognisi ............................................................................................................................. 3

2.1.1Definisi Kognisi ......................................................................................................... 3

2.1.2 Teori Kognisi ............................................................................................................ 4

2.1.3 Fungsi-Fungsi Kognisi .............................................................................................. 5

2.1.4 Kognisi Lingkungan.................................................................................................. 7

2.1.5 Cognition With Cognitive ......................................................................................... 8

2.1.6 Peta Mental ............................................................................................................... 9

2.2 Preferensi ....................................................................................................................... 13

2.2.1 Definisi Preferensi .................................................................................................. 13

2.2.2 Preferensi Lingkungan ....................................................................................... 14

2.2.3 Preferensi dan Desain ............................................................................................. 15

2.2.4 Contoh Kasus Preferensi Lingkungan ............................................................... 17

BAB III .................................................................................................................................... 18

PENUTUP................................................................................................................................ 18
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seorang arsitek merancang suatu bangunan didasari oleh suatu pemikiran atau ide
gagasan. Dalam mencari suatu inspari atau mengembangkan suatu desain yang sedang di
kerjakan arsitek tidak lepas dari rasa mencari tahu atau belajar. Berbagai cara dilakukan
dalam mempelajari sesuatu dan juga dalam mencari suatu ide gagasan yang berhubungan
perancangan arsitektur. Salah satu contohnya adalah observasi suatu project sejenis atau
membaca literatur yang berkaitan dengan project yang sedang dikerjakan. Metode
seorang arsitek memahami atau mempelajari sesuatu tersebut merupakan suatu
pengembangan kognisi dalam perilaku arsitek tersebut. Perkembangan kognisi memang
merupakan komponen penting yang dibutuhkan oleh seorang arsitek dalam proses
merancang suatu bangunan. Karena cara arsitek mempelajari atau memahami sesuatu
sangat menentukan dari keberhasilan proses kerja arsitek itu sendiri. Melalui makalah ini
kami akan mencoba mengangkat materi tentang kognisi yang berhubungan dengan
arsitektur perilaku.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari Arsitektur Perilaku?
2. Apa pengertian dari Kognisi?
3. Bagaimana hubungan kognisi dalam arsitektur?
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Kognisi
2.1.1Definisi Kognisi
Kognisi adalah kepercayaan seseorang tentang sesuatu yang didapatkan dari
proses berpikir tentang seseorang atau serius. Proses yang dilakukan adalah
memperoleh pengetahuan dan manipulasi pengetahuan melalui aktivitas mengingat,
menganalisis, memahami, menilai, menalar, membayangkan dan berbahasa. Kapasitas
atau kemampuan kognisi biasa diartikan sebagai kecerdasan atau intelegensi. Bidang
ilmu yang mempelajari kognisi beragam, diantaranya psikologi, filsafat, komunikasi,
neurosains, serta kecerdasan buatan.Kepercayaan/pengetahuan seseorang tentang
sesuatu dipercaya dapat memengaruhi sikap mereka dan pada akhirnya memengaruhi
perilaku/tindakan mereka terhadap sesuatu. Mengubah pengetahuan seseorang akan
sesuatu dipercaya dapat mengubah perilaku mereka.

Kognisi juga merupakan suatu proses mental yang dengannya seorang


individu menyadari dan mempertahankan hubungan dengan lingkungannya baik
lingkungan dalam maupun lingkungan luarnya (fungsi mengenal). Bagian-bagian dari
proses kognisi bukan merupakan kekuatan yang terpisah-pisah, tetapi sebenarnya ia
merupakan cara dari seorang individu untuk berfungsi dalam hubungannya dengan
lingkungannya. Proses kognisi meliputi sensasi, persepsi, perhatian ingatan Asosiasi,
pertimbangan, pikiran dan kesadaran. (Yosep,2007) Kognisi mempunyai istilah
ilmiah untuk proses berpikir (process of thought). Secara etomologis berasal dari
bahasa latin cognoscere yang artinya mengetahui, to how rwcognize.

Istilah kognisi berasal dari Bahasa latin cognoscere yang artinya mengetahui.
Kognisi dapat pula diartikan sebagai pemahaman terhadap pengetahuan atau
kemmpuan untuk memperoleh pengetahuan. Istilah ini digunakan oleh filsuf untuk
mencari pemahaman terhadap cara manusia berfikir. Karya Plato dan Aristoteles telah
memuat topik tentang kognisi karena salah satu tujuan filsafat adalah memahami
segala gejala melalui pemahaman ari manusia itu sendiri.

Kognisi dipakai sebagai proses mental karena kognisi mencerminkan


pemikiran dan tidak dapat diamati secara langsung. Oleh karena itu kognisi tidak
dapat diukur secara langsung, namun melalui prilaku yang di tampilkan dapat di
pahami dan dapat diamati. Misalnya kemampuan anak untuk megingat angka 1-10
atau kemampuan untuk menyelesaikan teka-teki, kemampuan menilai prilaku yang
patut dan tidak untuk diamati.Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai kognisi maka
berkembanglah psikologi kognitif yang menyelidiki tentang proses berfikir manusia.
Proses kognitif menggabungkan antara informasi yang di terima melalui indera tubuh
manusida dengan informasi yang telah disimpan diingatan jangka panjang. Kedua
informasi tersebut dolah di ingatankerja yang berfungsi sebagai tempat pemerosesan
informasi. Kapabilitas pengelolahan ini dibatasi oleh kapasitas ingatan kerja dan
factor waktu. Proses selanjutnya adalah pelaksanaan tidakan yang telah diilih.
Tindakan dilakukan mencangkup proses kognitif dn proses fisik dengan anggota
tubuh manusia (jari, tangan, kaki dan suara) . Tindakan dpat juga berupa tindakan
pasif , yaitu melanjutkan pekerjaan yang telah dilakukan sebelumnya.

Faktor yang mempengaruhi kesulitan dan kecepatan pemilihan dan


pelaksanaan respon adalah komplektitas keputusan , perkiraan terhadap respon trade-
off kecepatan dan alkurasi dan feedback yang diperoleh ( Groover, 2007. ).
Kompleksitas keputusan di pengaruhi oleh jumlah tindakan yang mungkin dipilih,
yang juga berpengaruh terhadap lamanya waktu pengambilan keputusan. Perkiraan
terhadap respon dipengaruhi oleh informasi yang diterima jika informasi yang
diterima telah diperkirakan sebelumnya, pemrosesan informasi akan lebih cepat
dibandingkan dengan yang tidak diperkirakan. Trade-off antara kecepatan dan akurasi
merupakan korelasi negative antara keduanya pada pemilihan dan pelaksanaan
respon. Dalam beberapa situasi, semakin cepat seorang memilih respon, kemungkinan
kesalahan terjadi meningkat. Feedback merupakan efek yang di ketahui oleh seorang
sebagai verifikasi atas tindakan yang dilakukannya. Rentang waktu antara tindakan
dengan feedback harus diminimalisasi.

2.1.2 Teori Kognisi


Ilmu perilaku (behavioral science) adalah suatu istilah bagi pengelompokan
yang mempunyai cakupan luas. Termasuk di dalamnya antropologi, sosiologi, dan
psikologi. Kadang kala dan politik atau ekonomi juga digolongkan ke dalam
kelompok ilmu perilaku. Semuanya adalah bidang ilmu yang bertujuan
mengembangkan pemahaman mengenai kegiatan manusia, sikap, dan nilai-nilai.
(Arsitektur Perilaku Manusi:18).
J. B. Watson (1878-1958) memandang psikologi sebagai ilmu yang
mempelajari tentang perilaku karena perilaku dianggap lebih mudah diamati, dicatat,
dan diukur. Arti perilaku mencakup perilaku yang kasat mata seperti makan,
menangis, memasak, melihat dan bekerja. Sedangkan perilaku yang tidak kasat mata
seperti fantasi, motivasi dan proses yang terjadi pada seseorang diam atau secara fisik
tidak bergerak.

Kata perilaku menurut Joyce Marcella Laurence (Arsitektur Perilaku


Manusia:1) menunjukan manusia dalam aksinya, berkaitan dengan semua aktivitas
manusia secara fisik : berupa interaksi manusia dengan sesamanya atau dengan
lingkungan fisiknya. Di sisi lain, desain arsitektur akan menghasilkan suatu benuk
fisik yang bisa dilihat dan bisa dipegang. Karena itu, hasil desain arsitektur dapat
menjadi salah satu fasilitator terjadinya perilaku, namun juga bisa menjadi
penghalang terjadinya perilaku.

Heimsath (1988) menyatakan bahwa arsitektur yang berwawasan perilaku


berarti mengenali secara lebih mendalam para calon pemakaisuatu lingkungan buatan.
Ilmu perilaku merupakan bidang ilmu yang bertujuan untuk mengembangkan
pemahaman mengenai kegiatan manusia, sikap dan nilai-nilai.

Perilaku mengenal berbagai tingkatan, yaitu perilaku sederhana dan stereotip,


seperti perilaku binatang bersel satu; perilaku kompleks seperti perilaku sosial
manusia; perilaku sederhana seperti refleks, tetapi ada juga yang melibatkan proses
mental biologi yang lebih tinggi.Perilaku bervariasi dengan klasifikasi: kognisi,
efektif dan psikomotorik, yang menunjukan pada sifat rasional, emosional dangerakan
fisik dalam berperilaku. Perilaku bisa disadari dan tidak disadari

2.1.3 Fungsi-Fungsi Kognisi


1. Atensi dan kesadaran

Atensi adalah pemrosesan secara sadar sejumlah kecil informasi dari sejumlah
besar informasi yang tersedia. Informasi didapatkan dari penginderaan, ingatan dan
proses kognitif lainnya. Atensi terbagi menjadi atensi terpilih (selective attention)dan
atensi terbagi (divided attention). Kesadaran meliputi perasaan sadar maupun hal yang
disadari yang mungkin merupakan fokus dari atensi.
2. Persepsi
Persepsi adalah rangkaian proses pada saat mengenali, mengatur dan
memahami sensasi dari panca indera yang diterima dari rangsang lingkungan. Dalam
kognisi rangsang visual memegang peranan penting dalam membentuk persepsi.
Proses kognif biasanya dimulai dari persepsi yang menyediakan data untuk diolah
oleh kognisi.
3. Ingatan
Ingatan adalah saat manusia mempertahankan dan menggambarkan
pengalaman masa lalunya dan menggunakan hal tersebut sebagai sumber informasi
saat ini. Proses dari mengingat adalah menyimpan suatu informasi, mempertahankan
dan memanggil kembali informasi tersebut. Ingatan terbagi dua menjadi ingatan
implisit dan eksplisit. Proses tradisional dari mengingat melalui pendataan
penginderaan, ingatan jangka pendek dan ingatan jangka panjang.
4. Bahasa
Bahasa adalah menggunakan pemahaman terhadap kombinasi kata dengan
tujuan untuk berkomunikasi. Adanya bahasa membantu manusia untuk berkomunikasi
dan menggunakan simbol untuk berpikir hal-hal yang abstrak dan tidak diperoleh
melalui penginderaan. Dalam mempelajari interaksi pemikiran manusia dan bahasa
dikembangkanlah cabang ilmu psikolinguistik
5. Pemecahan masalah dan kreativitas
Pemecahan masalah adalah upaya untuk mengatasi hambatan yang
menghalangi terselesaikannya suatu masalah atau tugas. Upaya ini melibatkan proses
kreativitas yang menghasilkan suatu jalan penyelesaian masalah yang orisinil dan
berguna.
6. Pengambilan keputusan dan penalaran
Dalam melakukan pengambilan keputusan manusia selalu mempertimbangkan
penilaian yang dimilikinya. Misalnya seseorang membeli motor berwarna merah
karena kepentingan mobilitasnya, dan kesenangannya terhadap warna merah. Proses
dari pengambilan keputusan ini melibatkan banyak pilihan. Untuk itu manusia
menggunakan penalaran untuk mengambil keputusan. penalaran adalah proses
evaluasi dengan menggunakan pembayangan dari prinsip-prinsip yang ada dan fakta-
fakta yang tersedia. Penalaran dibagi menjadi dua jenis yaitu penalaran deduktif dan
penalaran induktif.
2.1.4 Kognisi Lingkungan
Kognisi lingkungan atau environmental cognition adalah suatu proses
memahami (knowing, understanding) dan memberi arti (meaning) terhadap
lingkungan. Proses ini dalam kajian arsitektur lingkungan dan prilaku, sangatlah
peting karena merupakan suatu proses yang menjelaskan mekanisme hubungan antara
manusia dengan lingkungan.

Rapoport (1997) mengatakan bahwa konsep kognisi lingkungan


dikembangkan oleh kpara ahli psikolgi dan antropologi. Para psikolog mengartikan
kognisi lingkungan lebih sebagai proses mengetahui dan memahami (knowing and
understanding) lingkungan oleh manusia, seangkan ara antropolog lebih melihatnya
sebagai proses pemberian arti atau makna tehadap suatu lingkungan. Proses kognisi
lingkungan ini penting, oleh karena itu, keita manusia ingin membentuk atau
mengubah lingkunganya kognisi lingkungan ini bekerja dan menentukan produk dari
lingkungan yang akan di ciptakan.Di dalam proses kognisi ini, strukur dan rangkuman
subjective mengenai pengetahuan , pemahaman, dan pemaknaan terhadap suatu
lingkungan di sebut sebagai schemata. Dengan kata lain schemata diartikan sebagai
kerangka dasar dimana rangkuman pengalaman terhadap lingkungan baik yang
pernah dialami maupun yang sedang dialami terkonstruksikan. Schemata sering juga
diartikan sebagai proses coding yang memungkinkan indifidu menyerap, memahami,
dan mengartikan lingkungan yang ia hadapi.

Kerangka teoritik kognisi lingungan dan prilak ini oleh Gold dapat dilihat
pada gambar berikut:

Kognisi Lingkungan yang sifatnya abstrak ini , dapat diproyeksikan secara


spasial. Kognisi spasial berkiatan dengan cara kita memperoleh , mengorganisai ,
menyimpan dan membuka kembali informasi mengenai lokasi , jarak dan tatanan di
lingkungan fisik. Termasuk di dalamnya ada prihal penyelesaian masalah navigasi ,
mengatasi kekacauan , mencari jalan keluar atau menolak informasi tentang jalan
keluar yang semuanya berkaitan dengan lingkungan fisik sehari-hari. Termasuk juga
rambu-rambu pictorial image , dan sematic di dalam benak seseorang.

Contoh Kognisi dengan lingkungan :

Kognisi adalah proses berfikir manusia. Proses yang dilakukan adalahh proses
memproses pengetahuan, menganalisis , menalar , membayangkan mngingat dan
berabahasa. Arsitektur dan design berkaitan dengan kognisi lingkungan, seperti
misalnya seorang anak kecil di dalam proses memahami lingkunganya memerlukan
lingkungan dan suasana yang sesuai dengan usianya, dimana pada sekolah-sekolah
taman kanak-kanal di design dengan ceria , ada banyak permainan dan tembok-
tembok di cat dengan warna cerah dan di gambar tokoh-tokoh kartun, hal ini
difungsikan untuk proses kognisi anak-anak yang nantinya akan mempengaruhi
penalaran konsep, memori dan bahasa anak-anak.

2.1.5 Cognition With Cognitive


Pada dasarnya kognisi dan kognitif sama, artinya pun sama. Kognitif berarti
proses berfikir atau proses menangkap, menyimpan/mengelola, sampai menggunakan
kembali informasi. Istilah “ cognitive” berasal dari kata cognition. Dalam arti yang
luas Neiser menjelaskan, cognition ( kognisi ) ialah perolehan, penataan, dan
penggunaan pengetahuan. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah kognitif menjadi
salah satu dominan atau wilayah/ranah psikologis manusia menurut Chaplin hal
tersebut meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman,
pertimbangan, pengolahan informasi pemecahan masalah, kesenjangan dan
keyakinan.

2.1.6 Peta Mental


Didalam kajian arsitektur lingkungan dan perilaku, kognisi spasial disebut
sebagai peta mental. Peta mental atau sering disebut sebagai cognitive maps,
didefinisikan sebagai gambaran spasial yang spesifik terhadap suatu lingkungan, dan
berpengaruh terhadap pola perilaku seseorang. David Stea ( 1975 ) mendefinisikan
peta mental sebagai suatu proses yang memungkinkan kita mengumpulkan,
mengorganisasikan, menyimpan dalam ingatan, memanggil, serta menguraikan
kembali informasi tentang lokasi relative, dan tanda tentang lingkungan geografis.
Semua informasi yang diperoleh disimpan dalam suatu sytem struktur yang selalu
dibawa dalam benak seseorang, dan sampai batas tertentu struktur ini berkaitan
dengan lingkungan yang diwakilinya. Dalam proses ini yang berfungsi bukan hanya
indra penglihatan saja, seorang tuna netrapun bisa membuat peta mental tanpa
memakai indra penglihatan sama sekali. Hasil rekaman dari indra-indra lainnya,
seperti bau sampah, harumnya masakan direstoran atau suara bising, kemudian
dihubungkan satu sama lain sehingga menghasilkan sebuah gambar peta dalam
ingatan mereka. Semakin banyak masukan dan semakin lama kita mengenal suatu
daerah maka semakin terinci dan baik peta mental kita. Kadang terjadi perbedaan peta
mental dengan kenyataan, hal ini menunjukkan bahwa peta mental itu sangat
subjektif, apa yang dirasakan penting oleh seseorang akan digambarkan dengan jelas,
berukuran besar, dan sebaliknya suatu yang dianggapnya kurang penting digambarkan
kecil, karena peta mental ini peta pengalaman, bukan peta berdasarkan ukuran yang
presisi.

A. Fungsi Peta Mental

Beberapa fungsi peta mental:

1. Sebagai mental setting untuk antisipasi bertindak

Peta mental ( mental image ), mengenai lingkungan yang diantisipasi untuk


melakukan tindakan, diperlukan manusia untuk merencanakan perilaku. Seseorang
pilot tidak bisa mengemudikan pesawat jika tidak mempunyai ide spasial yang
menghubungkan dia dengan mesin dan mesin dengan lingkungan,demikian juga bagi
seseorang untuk mempergunakan gedung atau jalan dikota, diperlukan mental image
mengenai lingkungan yang bersangkutan.

2. Sebagai mediasi persepsi

Selain sebagai mental setting untuk antisipasi bertindak, peta mental


memungkinkan orang menandai, menstrukturisasikan, dan menyimpan informasi
visual dan spasial, dan mengatur responnya terhadap objek yang dilihatnya. Melalui
pengalamannya, peta mental ini menjadi pengukur signifikasi lingkungan bagi hidup
seseorang.

3. Sebagai tujuan komunikasi dan menunjukkan identitas diri

Fungsi peta mental juga untuk tujuan komunikasi, bahkan untuk menunjukkan
identitas diri, misalnya Bali dengan Pura, Surabaya dengan Tugu Pahlawan, Paris
dengan Menara Eifel dan sebagainya. Agar peta mental tersebut berguna maka ia
harus mampu memprediksikan sesuatu, artinya tidak cukup dengan jaringan image.
Image tentang lingkungan saat ini harus diasosiasikan dengan image mengenai objek
dan peristiwa yang mungkin akan ada. Demikian pula penelitian peta mental akan
bermanfaat bagi perencana dan arsitek apabila mampu memprediksikan perilaku atau
respon pengguna lingkungan baru diwaktu yang akan mendatang

B. Unsur-Unsur Peta Mental

Lynch (1960) dan Holahan (1982) mengemukakan bagaimana cara mengukur


peta mental yang terdiri atas beberapa unsur sebagai berikut :

1. Tanda-tanda yang mencolok (landmark), yaitu bangunan atau benda-benda alam yang
berbeda dari sekelilingnya dan terlihat dari jauh. Misalnya gedung, patung, tugu,
jembatan, jalan layang, pohon, penunjuk jalan, dan sungai.
2. Jalur-jalur jalan atau penghubung (paths) yang menghubungkan satu tempat dengan
tempat yang lainnya.
3. Titik temu antar jalur jalan (nodes), misalnya perempatan dan pertigaan.
4. Batas-batas wilayah (edges) yang membedakan antara wilayah yang satu dengan
wilayah lainnya. Misalnya, daerah permukiman dibatasi oleh sungai, daerah
pertokoan dibatasi oleh gerbang tol menuju parkir, atau pagar lapangan golf yang luas
membatasi wilayah perindustrian dari wilayah permukiman.
5. Distrik (district), yaitu wilayah-wilayah homogen yang berbeda dari wilayah-wilayah
lain. Misalnya, pusat perdagangan ditandai oleh bangunan-bangunan bertingkat
dengan lalu lintas yang padat dan daerah kantor-kantor kedutaan besar negara asing
ditandai oleh rumah-rumah besar dengan halaman luas serta jalan-jalan lebar.

Menurut Lynch, semakin nyata unsur-unsur itu dalam suatu lingkungan, misalnya
lingkungan kota, makin mudah orang menyusun peta mental. Artinya, orang akan lebih
cepat mengenal lingkungan geografis yang ada.

C. Kualitas Peta Mental

Peta mental di tentukan oleh keadaan objek – objek tertentu dalam lingkungan
geografis itu sendiri. Menurut Milgram (1972), di kenal atau tidaknya suatu objek
peta mental bergantung pada rumusan:

R= f (CxD)

R: recognizability atau keterkenalan suatu objek di lingkungan tertentu.

C: centrality atau seberapa jauh posisi objek tersebut dari pusat arus lalu lintas
penduduk

D: difference atau seberapa jauh kadar perbedaan secara arsitektural atau secara social
antara objek tersebut dan objek-objek lainnya.

Appleyard (1969) mengidentifikasikan 3 alasan mengapa beberapa bangunan


lebih mudah dikenal di bandingkan bangunan lainnya, yaitu:

1. Formal attributes
Dari ketiga alasan yang ada, yang terpenting adalah formal attributes atau
atribut formal yaitu kontur bangunan yang jelas, yang membedakan dengan keadaan
sekitarnya. Misalnya, Wisma Kota BNI 46 atau Hotel Mulia di Jakarta yang mudah di
bedakan dari bentuk skyline-nya. Aspek lain yang kurang dominan adalah
kompleksitas fasade, seperti Wisma Dharma di Jakarta, atau warna yang mencolok di
lingkungannya.

Apabila banyak gedung berada dalam satu ompleks dan masing-masing


mempunyai keunikan sendiri, yang muncul adalah keseragaman dalam perbedaan,
tidak ada lagi yang dominan sehingga atribut bangunan tertentu menjadi lemah.
2. Visibility attributes

Atribut kedua adalah kemudian dlihat (visibility attributes), seperti lokasi di


perempatan jalan, bersebelahan dengan lapangan terbuka atau di tikungan jalan besar.

3. Use and significance attributes

Atribut ketiga adalah penggunaan yang signifikan (use and significance


attributes), seperti sebuah rumah sakit, sebuah pompa bensin, sebuah kantor polisi,
khususnya yang berkaitan dengan penggunaan oleh orang banyak.

D. Faktor Pengaruh Individual Dalam Peta Mental

Peta mental suatu kota dapat dapat di kategorikan menjadi, yakni peta mental
penduduk kota tersebut, serta peta mental pengunjung. Keduanya dapat mirip tetapi
cenderung berbeda, terutama Karena tingkat interaksi antara keduanya berbeda.
Pengunjung terutama, hanya mempunyai kesempatan untuk mengunjungi pusat kota,
atau beberapa lokasi yang menarik untuk di kunjungi, sehingga peta mentalnya
cenderung terbatas pada bagian-bagian yang mereka pernah lihat.

Proses kognisi seseorang atau proses pembentukan peta mental atau image
terhadap suatu lingkungan bukan lagi suatu proses yang independent. Dengan kata
lain, kemajuan teknologi komunikasi dan media massa, proses pembentukan mental
seseorang cenderung dipengaruhi atau di manipulasi oleh pihak lain.Penelitian
mengenai peta mental ini memberi penelitian bagaimana menciptakan bangunan atau
lingkungan yang mudah dilihat dan diingat, sekaligus membangkitkan kekayaan
pengalaman seseorang yang memaakainya terutama pada fasilitas public. Seberapa
jelas sebuah lingkungan harus dibuat, seberapa jauh diharapkan orang mengeksplorasi
lingkungan dengan rasa ingin tahu, itu adalah desain. Pengalaman akan peta mental
inilah yang diharapkan dapat membekali perancang lingkungan untuk bekarya.

1. Conclusion
Arsitektur prilaku merupakan arsitektur yang menerapkan dan menyertakan
pertimbangan-pertimbangan ke dalam suatu perancangan. Pertimbangan-
pertimbangan ini merupakan dasar awal yang dibutuhkan untuk merancang suatu
objek-objek dalam arsitektur. Objek-objek tersebut dirancang dengan melalui
[entdekatan-pendekatan prilaku yang di Analisa dengan diamati terlebih dahulu.
Pertimbangan dalam memutuskan sesuatu didorong oleh kognisi atau
kepercayaan seseorang yang didapat dari proses berpikir untuk mendapatkan
pengetahuan. Pengetahuan tersebut kemudian dimanipulasi melalui aktivitas-aktivitas
sperti mengingat, memahami, menganalisis, menilai, membayangkan, merasakan serta
berbahasa. Kognisi juga merupakan usaha menggali sesuatu melalui pengalaman
pribadi sehingga dari pengetahuan yang ada dan pengalaman yang dimiliki jika
dihubungkan dengan bidang arsitektur saat merancang suatu objek, ruang-ruang yang
diciptakan berdasarkan norma, nila-nilai budaya dan nilai-nilai psikologis manusia
yang selanjutnya ruang-ruagn tersebut akan membentuk setting tersendiri dalam hidup
manusia.
2. Suggestion

Sebaiknya sebagai seorang srsitek dalam merancang suatu objek dilakukan


dengan pertimbangan-pertimbangan yang didasari oleh kognisi baik melalui Analisa,
pendekatan, serta pengalaman pribadi sehingga mampu menciptakan ruang-ruang
maupun wadah hidup manusia berdasarkan norma, nilai-nilai budaya dan nilai
psikologis manusia.

2.2 Preferensi
2.2.1 Definisi Preferensi
Preferensi adalah hak (untuk) didahulukan dan diutamakan, diprioritaskan,
pilihan kecenderungan atau kesukaan dalam menggunakan atau memanfaatkan suatu
barang atau jasa. Preferensi adalah suatu bentuk pernyataan yang menyatakan
perasaan lebih suka dari yang lainnnya yang bersifat individual (subyektif). Dalam
kamus Bahasa Indonesia kata preferensi memiliki arti sebagai berikut:

1. (hak untuk) didahulukan dan diutamakan dari pada yang lain; prioritas
2. pilihan; kecenderungan; kesukaan.
Scott (1974) mengatakan, arsitektur hendaknya mempunyai tujuan yang
humanis. Bagi Norberg Schulz (1986), tugas para perancang adalah menyediakan
suatu pegangan eksistensial bagi pemakainya agar dapat mewujudkan cita-cita dan
mimpinya. Sementara itu, Charles Jencks (1971) menambahkan bahwa dalam
masyarakat pluralis, arsitek dituntut untuk mengenali berbagai konflik dan mampu
mengartikulasikan bidang sosial setiap manusia pada setiap situasi tertentu. Atau
dengan kata lain, membuat desain yang tanggap sosial. Salah satu cara untuk
mewujudkan suatu desain yang tanggap sosial adalah mempelajari dengan baik
preferensi pengguna, karena jika dalam proses perancangan arsitek hanya
memperhitungkan ketentuan maupun standar secara fisik, akan memungkinkan
terjadinya banyak kegagalan dalam desain.

2.2.2 Preferensi Lingkungan


Preferensi lingkungan merupakan hasil dari persepsi dan sikap manusia
terhadap lingkungannya. Merupakan respon manusia terhadap lingkungan yang
bergantung pada bagaimana individu tersebut mempersepsi serta mendeskripsi
lingkungan. Salah satu hal yg dipersepsi manusia terhadap lingkungannya adalah
ruang (space) disekitarnya. Dapat diungkapkan dengan proses membandingkan,
kondisi ini menyebabkan penguna membandingkan satu stimulan dengan stimulan
yang lain. Dari hasil perbandingan tersebut pengguna menetapkan mana yg lebih
nyaman,indah dan lain sebagainya

Berlyne (1960) menyebutkan empat kriteria preferensi lingkungan, yaitu


kompleksitas (complexity), kebaruan (novelty), keganjilan (incongruity) dan
keterkejutan (surprisingness)

1. Complexity (kompleksitas) : jenis / ragam dari komponen komponen pembentuk


lingkungan,semakin beragam semakin baik. Contoh : tanaman yang beragam
dianggap lebih indah dari pada sekelompok tanaman yang homogen
2. Novelty (kebaruan) : suatu tingkat keunikan dari sebuah objek terhadap
lingkungannya. Sejauh mana lingkungan tersebut mengandung ragam unik yang tidak
ada tempat lain. Contoh restoran mengapung di air lebih menarik dari pada restoran di
darat.
3. Incongruity (ketidaksenadaan) : ketidaksesuiaan terhadap konteks lingkungan. Contoh
: sebuah monumen tinggi menjulang di tengah ruang terbuka, pemandangan yang
menarik karena tidaksenadaannya dengan lingkungan
4. Surprisingness (keterkejutan) : komponen yang membuat pengguna merasa tertarik
karena menimbulkan keterkejutan pada suatu setting. Contoh :ketika berjalan di
ruangan sempit secara tidak disadari ruang tersebut mengarah ke ruang yang bersifat
sebaliknya sehingga menimbulkan keterkejutan

2.2.3 Preferensi dan Desain


Yang harus diperhatikan dalam desain adalah dengan tidak memaksakan
pemuasan estetika sebagai kebutuhan dasar, tetapi lebih mempertimbangkan
keindahan sebagai salah satu syarat desain yang baik. Untuk memusatkan perhatian
mengenai hirarki kebutuhan manusia dalam perancangan, arsitek harus berpikir akan
kebutuhan pengguna dan bukan kebutuhan manusia secara umum. Arsitek dapat dapat
mencatat apa yang sesungguhnya menjadi preferensi dari pengguna. Karena
beragamnya preferensi dan tingkat kebutuhan seseorang maka akan sangat bermanfaat
jika dilakukan penelitian pengguna secara kasus demi kasus,daripada memakai data
secara umum.

Randy Hester seorang arsitek lanskap mengatakanperancang pada umumnya


lebih menekankan pentingnya activity setting, sementara itu pemakai lebih
mempertimbangkan siapa saja orang yang memakai fasilitas itu, atau dengan siapa
mereka akan bersosialisasi dalam penggunaan fasilitas itu Sehingga terlihat adanya
perbedaan prioritas pemenuhan kebutuhan dasar. Begitu pula dengan cara orang
memenuhi kebutuhan yang sama sekalipun,misalnya dalam mengekspresikan status
bisa berbeda dengan yang lain. Ada yang menggunakan cara memakai barang barang
bermerk, menjabat suatu posisi penting, ataupun mengikuti keanggotaan klub tertentu.

Meskipun pola aktivitas tertentu pada umumnya dapat langsung diterapkan


dalam perancangan suatu lingkungan, mungkin saja terjadi bahwa lingkungan yang
dirancang berbeda dengan asumsi terdahulu yang pernah dibuat karena latar belakang
yang berbeda dapat pula melahirkan preferensi yang berbeda. Misalnya dalam
perancangan sebuah tempat perkemahan, akan ada berbagai preferensi orang
berkemah.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disumpulkan faktor faktor yang
mempengaruhi preferensi seseorang antara lain

1. Pengalaman individual
2. Kondisi fisik individu
3. Latar belakang budaya
4. Faktor psikologi individu
5. Faktor lingkungan
6. Waktu

Pengamatan suatu behavior setting dapat membantu arsitek untuk mengerti


preferensi pengguna karena preferensi terekspresikan dalam perilaku. Apabila
kompetensi pengguna meningkat maka penggunaan penggunaan lingkungan pun akan
menjadi semakin luas. Sebaliknya menurunnya tingkat kompetensi pengguna,
misalnya karena faktor usia atau cacat fisik, akan menyebabkan penggunaan
lingkungan lebih terbatas.

Kontribusi studi perilaku-lingkungan pada desain arsitektur adalah memberi


masukan mengenai masalah masalah yang sesungguhnya harus diselesaikan. Tanpa
mengetahui ini, desain arsitektur akan membuat solusi yang tidak bermanfaat. Dengan
pendekatan studi perilaku-lingkungan yang memerlukan penelitian, pengamatan, atau
teknik untuk dapat menentukan preferensi pengguna diharapkan lingkungan fisik
yang dirancang mampu memaksimalkan kebebasan bagi penggunanya untuk memilih
cara mereka hidup dan membuka peluang perilaku dan perseptual untuk
mengakomodasikan sebanyak mungkin kebutuhan pengguna.

2.2.4 Contoh Kasus Preferensi Lingkungan


Salah satu contoh kasus preferensi lingkungan dalam lingkup arsitektur
misalnya, Contohnya seorang arsitek yang merancang sebuah konsep
bangunan yang akan di bangun perlu mempelajari selera owner dengan cara
melakukan wawancara untuk mendapatkan informasi verbal dan nonverbal.
Hal itu dilakukan dengan maksud bisa lebih detail mengetahui selera owner
terhadap rancangan.
BAB III

PENUTUP

Anda mungkin juga menyukai