DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 1
BAB I ......................................................................................................................................... 2
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 2
BAB II........................................................................................................................................ 3
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 3
PENUTUP................................................................................................................................ 18
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seorang arsitek merancang suatu bangunan didasari oleh suatu pemikiran atau ide
gagasan. Dalam mencari suatu inspari atau mengembangkan suatu desain yang sedang di
kerjakan arsitek tidak lepas dari rasa mencari tahu atau belajar. Berbagai cara dilakukan
dalam mempelajari sesuatu dan juga dalam mencari suatu ide gagasan yang berhubungan
perancangan arsitektur. Salah satu contohnya adalah observasi suatu project sejenis atau
membaca literatur yang berkaitan dengan project yang sedang dikerjakan. Metode
seorang arsitek memahami atau mempelajari sesuatu tersebut merupakan suatu
pengembangan kognisi dalam perilaku arsitek tersebut. Perkembangan kognisi memang
merupakan komponen penting yang dibutuhkan oleh seorang arsitek dalam proses
merancang suatu bangunan. Karena cara arsitek mempelajari atau memahami sesuatu
sangat menentukan dari keberhasilan proses kerja arsitek itu sendiri. Melalui makalah ini
kami akan mencoba mengangkat materi tentang kognisi yang berhubungan dengan
arsitektur perilaku.
PEMBAHASAN
2.1 Kognisi
2.1.1Definisi Kognisi
Kognisi adalah kepercayaan seseorang tentang sesuatu yang didapatkan dari
proses berpikir tentang seseorang atau serius. Proses yang dilakukan adalah
memperoleh pengetahuan dan manipulasi pengetahuan melalui aktivitas mengingat,
menganalisis, memahami, menilai, menalar, membayangkan dan berbahasa. Kapasitas
atau kemampuan kognisi biasa diartikan sebagai kecerdasan atau intelegensi. Bidang
ilmu yang mempelajari kognisi beragam, diantaranya psikologi, filsafat, komunikasi,
neurosains, serta kecerdasan buatan.Kepercayaan/pengetahuan seseorang tentang
sesuatu dipercaya dapat memengaruhi sikap mereka dan pada akhirnya memengaruhi
perilaku/tindakan mereka terhadap sesuatu. Mengubah pengetahuan seseorang akan
sesuatu dipercaya dapat mengubah perilaku mereka.
Istilah kognisi berasal dari Bahasa latin cognoscere yang artinya mengetahui.
Kognisi dapat pula diartikan sebagai pemahaman terhadap pengetahuan atau
kemmpuan untuk memperoleh pengetahuan. Istilah ini digunakan oleh filsuf untuk
mencari pemahaman terhadap cara manusia berfikir. Karya Plato dan Aristoteles telah
memuat topik tentang kognisi karena salah satu tujuan filsafat adalah memahami
segala gejala melalui pemahaman ari manusia itu sendiri.
Atensi adalah pemrosesan secara sadar sejumlah kecil informasi dari sejumlah
besar informasi yang tersedia. Informasi didapatkan dari penginderaan, ingatan dan
proses kognitif lainnya. Atensi terbagi menjadi atensi terpilih (selective attention)dan
atensi terbagi (divided attention). Kesadaran meliputi perasaan sadar maupun hal yang
disadari yang mungkin merupakan fokus dari atensi.
2. Persepsi
Persepsi adalah rangkaian proses pada saat mengenali, mengatur dan
memahami sensasi dari panca indera yang diterima dari rangsang lingkungan. Dalam
kognisi rangsang visual memegang peranan penting dalam membentuk persepsi.
Proses kognif biasanya dimulai dari persepsi yang menyediakan data untuk diolah
oleh kognisi.
3. Ingatan
Ingatan adalah saat manusia mempertahankan dan menggambarkan
pengalaman masa lalunya dan menggunakan hal tersebut sebagai sumber informasi
saat ini. Proses dari mengingat adalah menyimpan suatu informasi, mempertahankan
dan memanggil kembali informasi tersebut. Ingatan terbagi dua menjadi ingatan
implisit dan eksplisit. Proses tradisional dari mengingat melalui pendataan
penginderaan, ingatan jangka pendek dan ingatan jangka panjang.
4. Bahasa
Bahasa adalah menggunakan pemahaman terhadap kombinasi kata dengan
tujuan untuk berkomunikasi. Adanya bahasa membantu manusia untuk berkomunikasi
dan menggunakan simbol untuk berpikir hal-hal yang abstrak dan tidak diperoleh
melalui penginderaan. Dalam mempelajari interaksi pemikiran manusia dan bahasa
dikembangkanlah cabang ilmu psikolinguistik
5. Pemecahan masalah dan kreativitas
Pemecahan masalah adalah upaya untuk mengatasi hambatan yang
menghalangi terselesaikannya suatu masalah atau tugas. Upaya ini melibatkan proses
kreativitas yang menghasilkan suatu jalan penyelesaian masalah yang orisinil dan
berguna.
6. Pengambilan keputusan dan penalaran
Dalam melakukan pengambilan keputusan manusia selalu mempertimbangkan
penilaian yang dimilikinya. Misalnya seseorang membeli motor berwarna merah
karena kepentingan mobilitasnya, dan kesenangannya terhadap warna merah. Proses
dari pengambilan keputusan ini melibatkan banyak pilihan. Untuk itu manusia
menggunakan penalaran untuk mengambil keputusan. penalaran adalah proses
evaluasi dengan menggunakan pembayangan dari prinsip-prinsip yang ada dan fakta-
fakta yang tersedia. Penalaran dibagi menjadi dua jenis yaitu penalaran deduktif dan
penalaran induktif.
2.1.4 Kognisi Lingkungan
Kognisi lingkungan atau environmental cognition adalah suatu proses
memahami (knowing, understanding) dan memberi arti (meaning) terhadap
lingkungan. Proses ini dalam kajian arsitektur lingkungan dan prilaku, sangatlah
peting karena merupakan suatu proses yang menjelaskan mekanisme hubungan antara
manusia dengan lingkungan.
Kerangka teoritik kognisi lingungan dan prilak ini oleh Gold dapat dilihat
pada gambar berikut:
Kognisi adalah proses berfikir manusia. Proses yang dilakukan adalahh proses
memproses pengetahuan, menganalisis , menalar , membayangkan mngingat dan
berabahasa. Arsitektur dan design berkaitan dengan kognisi lingkungan, seperti
misalnya seorang anak kecil di dalam proses memahami lingkunganya memerlukan
lingkungan dan suasana yang sesuai dengan usianya, dimana pada sekolah-sekolah
taman kanak-kanal di design dengan ceria , ada banyak permainan dan tembok-
tembok di cat dengan warna cerah dan di gambar tokoh-tokoh kartun, hal ini
difungsikan untuk proses kognisi anak-anak yang nantinya akan mempengaruhi
penalaran konsep, memori dan bahasa anak-anak.
Fungsi peta mental juga untuk tujuan komunikasi, bahkan untuk menunjukkan
identitas diri, misalnya Bali dengan Pura, Surabaya dengan Tugu Pahlawan, Paris
dengan Menara Eifel dan sebagainya. Agar peta mental tersebut berguna maka ia
harus mampu memprediksikan sesuatu, artinya tidak cukup dengan jaringan image.
Image tentang lingkungan saat ini harus diasosiasikan dengan image mengenai objek
dan peristiwa yang mungkin akan ada. Demikian pula penelitian peta mental akan
bermanfaat bagi perencana dan arsitek apabila mampu memprediksikan perilaku atau
respon pengguna lingkungan baru diwaktu yang akan mendatang
1. Tanda-tanda yang mencolok (landmark), yaitu bangunan atau benda-benda alam yang
berbeda dari sekelilingnya dan terlihat dari jauh. Misalnya gedung, patung, tugu,
jembatan, jalan layang, pohon, penunjuk jalan, dan sungai.
2. Jalur-jalur jalan atau penghubung (paths) yang menghubungkan satu tempat dengan
tempat yang lainnya.
3. Titik temu antar jalur jalan (nodes), misalnya perempatan dan pertigaan.
4. Batas-batas wilayah (edges) yang membedakan antara wilayah yang satu dengan
wilayah lainnya. Misalnya, daerah permukiman dibatasi oleh sungai, daerah
pertokoan dibatasi oleh gerbang tol menuju parkir, atau pagar lapangan golf yang luas
membatasi wilayah perindustrian dari wilayah permukiman.
5. Distrik (district), yaitu wilayah-wilayah homogen yang berbeda dari wilayah-wilayah
lain. Misalnya, pusat perdagangan ditandai oleh bangunan-bangunan bertingkat
dengan lalu lintas yang padat dan daerah kantor-kantor kedutaan besar negara asing
ditandai oleh rumah-rumah besar dengan halaman luas serta jalan-jalan lebar.
Menurut Lynch, semakin nyata unsur-unsur itu dalam suatu lingkungan, misalnya
lingkungan kota, makin mudah orang menyusun peta mental. Artinya, orang akan lebih
cepat mengenal lingkungan geografis yang ada.
Peta mental di tentukan oleh keadaan objek – objek tertentu dalam lingkungan
geografis itu sendiri. Menurut Milgram (1972), di kenal atau tidaknya suatu objek
peta mental bergantung pada rumusan:
R= f (CxD)
C: centrality atau seberapa jauh posisi objek tersebut dari pusat arus lalu lintas
penduduk
D: difference atau seberapa jauh kadar perbedaan secara arsitektural atau secara social
antara objek tersebut dan objek-objek lainnya.
1. Formal attributes
Dari ketiga alasan yang ada, yang terpenting adalah formal attributes atau
atribut formal yaitu kontur bangunan yang jelas, yang membedakan dengan keadaan
sekitarnya. Misalnya, Wisma Kota BNI 46 atau Hotel Mulia di Jakarta yang mudah di
bedakan dari bentuk skyline-nya. Aspek lain yang kurang dominan adalah
kompleksitas fasade, seperti Wisma Dharma di Jakarta, atau warna yang mencolok di
lingkungannya.
Peta mental suatu kota dapat dapat di kategorikan menjadi, yakni peta mental
penduduk kota tersebut, serta peta mental pengunjung. Keduanya dapat mirip tetapi
cenderung berbeda, terutama Karena tingkat interaksi antara keduanya berbeda.
Pengunjung terutama, hanya mempunyai kesempatan untuk mengunjungi pusat kota,
atau beberapa lokasi yang menarik untuk di kunjungi, sehingga peta mentalnya
cenderung terbatas pada bagian-bagian yang mereka pernah lihat.
Proses kognisi seseorang atau proses pembentukan peta mental atau image
terhadap suatu lingkungan bukan lagi suatu proses yang independent. Dengan kata
lain, kemajuan teknologi komunikasi dan media massa, proses pembentukan mental
seseorang cenderung dipengaruhi atau di manipulasi oleh pihak lain.Penelitian
mengenai peta mental ini memberi penelitian bagaimana menciptakan bangunan atau
lingkungan yang mudah dilihat dan diingat, sekaligus membangkitkan kekayaan
pengalaman seseorang yang memaakainya terutama pada fasilitas public. Seberapa
jelas sebuah lingkungan harus dibuat, seberapa jauh diharapkan orang mengeksplorasi
lingkungan dengan rasa ingin tahu, itu adalah desain. Pengalaman akan peta mental
inilah yang diharapkan dapat membekali perancang lingkungan untuk bekarya.
1. Conclusion
Arsitektur prilaku merupakan arsitektur yang menerapkan dan menyertakan
pertimbangan-pertimbangan ke dalam suatu perancangan. Pertimbangan-
pertimbangan ini merupakan dasar awal yang dibutuhkan untuk merancang suatu
objek-objek dalam arsitektur. Objek-objek tersebut dirancang dengan melalui
[entdekatan-pendekatan prilaku yang di Analisa dengan diamati terlebih dahulu.
Pertimbangan dalam memutuskan sesuatu didorong oleh kognisi atau
kepercayaan seseorang yang didapat dari proses berpikir untuk mendapatkan
pengetahuan. Pengetahuan tersebut kemudian dimanipulasi melalui aktivitas-aktivitas
sperti mengingat, memahami, menganalisis, menilai, membayangkan, merasakan serta
berbahasa. Kognisi juga merupakan usaha menggali sesuatu melalui pengalaman
pribadi sehingga dari pengetahuan yang ada dan pengalaman yang dimiliki jika
dihubungkan dengan bidang arsitektur saat merancang suatu objek, ruang-ruang yang
diciptakan berdasarkan norma, nila-nilai budaya dan nilai-nilai psikologis manusia
yang selanjutnya ruang-ruagn tersebut akan membentuk setting tersendiri dalam hidup
manusia.
2. Suggestion
2.2 Preferensi
2.2.1 Definisi Preferensi
Preferensi adalah hak (untuk) didahulukan dan diutamakan, diprioritaskan,
pilihan kecenderungan atau kesukaan dalam menggunakan atau memanfaatkan suatu
barang atau jasa. Preferensi adalah suatu bentuk pernyataan yang menyatakan
perasaan lebih suka dari yang lainnnya yang bersifat individual (subyektif). Dalam
kamus Bahasa Indonesia kata preferensi memiliki arti sebagai berikut:
1. (hak untuk) didahulukan dan diutamakan dari pada yang lain; prioritas
2. pilihan; kecenderungan; kesukaan.
Scott (1974) mengatakan, arsitektur hendaknya mempunyai tujuan yang
humanis. Bagi Norberg Schulz (1986), tugas para perancang adalah menyediakan
suatu pegangan eksistensial bagi pemakainya agar dapat mewujudkan cita-cita dan
mimpinya. Sementara itu, Charles Jencks (1971) menambahkan bahwa dalam
masyarakat pluralis, arsitek dituntut untuk mengenali berbagai konflik dan mampu
mengartikulasikan bidang sosial setiap manusia pada setiap situasi tertentu. Atau
dengan kata lain, membuat desain yang tanggap sosial. Salah satu cara untuk
mewujudkan suatu desain yang tanggap sosial adalah mempelajari dengan baik
preferensi pengguna, karena jika dalam proses perancangan arsitek hanya
memperhitungkan ketentuan maupun standar secara fisik, akan memungkinkan
terjadinya banyak kegagalan dalam desain.
1. Pengalaman individual
2. Kondisi fisik individu
3. Latar belakang budaya
4. Faktor psikologi individu
5. Faktor lingkungan
6. Waktu
PENUTUP