Anda di halaman 1dari 10

Dapat diketahui bahwa pendidikan yang diinginkan Ki Hadjar Dewantara ialah

pendidikan yang bertujuan menjadikan peserta didiknya mandiri atau tidak bergantung
kepada orang lain dan dapat mengembangkan potensi yang ada pada dirinya masing-masing.
Dengan cara menuntun dan mengarahkan anak didiknya untuk mencapai kodratnya dan
kebahagiaannya serta keselamatannya, juga agar mereka berguna bagi nusa dan bangsa juga
agamanya sehingga dapat mengangkat martabat negaranya kelak. Tidak salah jika Indonesia
menjadikan seorang sosok pahlawan pendidikan Ki Hadjar Dewantara menjadi Bapak
Pendidikan Nasiaonal.
Pendidikan di Indonesia harusnya tidak memakai syarat paksaan. Momong, among,
ngemong. Caranya tidaklah memaksa, guru hanya diharuskan mencampuri kehidupan anak
didik atau peserta didik kalau ternyata dirinya ada di atas jalan yang salah. Tiada memakai
dasar “regering, tucht en orde” tetapi “orde en vrede” (tertib dan damai, tata tentrem). Guru
akan selalu menjaga kelangsungan kehidupan batin sang anak dan harus lah ia dijauhkan dari
tiap-tiap paksaan. Tetapi guru pun tiada akan ”nguja” (membiarkan) anak-anak. Guru hanya
harus mengamat-amati, agar anak dapat bertumbuh menurut kodrat. Tucht (hukuman) itu
maksudnya untuk mencegah kejahatan. Dan sebelum terjadi kesalahannya, aturan
hukumannya sudah tersedia.
Orde (ketertiban) yang dimaksudkan dalam pendidikan Barat teranglah sudah hanya
paksaan dan hukuman. Dari sebab itu dasar pendidikan yang digagas oleh Ki Hadjar
Dewantara menjadi orde en vrede, tertib dan damai, inilah yang akan dapat menentukan
syarat-syarat sendiri, yang tiada akan bisa bersifat paksaan. Dan oleh karenanya, maka
hukuman yang tiada setimpal dengan kesalahannya pun tidak akan peserta didik dapatkan.
Semua itu adalah syarat-syarat guru yang hendak berusaha mendatangkan rakyat yang
merdeka, dalam arti kata yang sebenar-benarnya yaitu lahirnya tiada terperintah, batinnya
bisa memerintah sendiri dan dapat berdiri sendiri karena kekuatan sendiri.20 Adapun
pendidikan nasional merupakan pendidikan yang merujuk kepada kebudayaan bangsa sendiri
dan mengutamakan masyarakat.
Oleh sebab tersebut, Ki Hadjar Dewantara menawarkan sistem among yang
menyokong kodrat alam anak-anak didik, bukan dengan perintah dan larangan, tetapi dengan
tuntunan dan bimbingan, sehingga perkembangan batin anak dapat berkembang dengan baik
sesuai dengan kodratnya. Sistem among ini didasarkan pada dua hal, yaitu:
1. Kemerdekaan sebagai syarat untuk menggerakkan dan menghidupkan kekuatan lahir dan
batin, sehingga dapat hidup merdeka
2. Kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan
secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya. Untuk merealisasikan pemikirannya tersebut, maka
didirikanlah perguruan Taman Siswa.
Pada kongres pertamanya tahun 1947, Ki Hadjar Dewantara mempertegas
pemikirannya dengan mengemukakan lima asas yang dikenal dengan Panca Darma. Filosofi
yang digunakan bukanlah sembarangan. Ia beranggapan bahwa selama ini kita belajar di
kelas dengan empat dinding yang menjulang ke atas, jendela yang begitu tinggi dan
menyebabkan peserta didik tidak bisa melihat alam secara bebas, ditambah lagi dengan
pajangan para pahlawan yang mimiknya begitu menyeramkan. Itu semua membuat batasan
antara kita sebagai manusia dan alam. Maka dari itu ia menyarankan untuk belajar tiga
dinding agar tidak ada perbedaan di antara kita. Mengingat filosofi yang dimiliki oleh orang
Padang yaitu alam takamang, jadi guru di mana menjadikan alam sebagai guru dalam
kehidupan ini.
Pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang hingga saat ini digunakan oleh pendidikan
Indonesia yaitu Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani (di
depan memberi teladan, di tengah memberi bimbingan, di belakang memberi dorongan).
Semboyan tersebut ikut mengantarkan Indonesia pada kemerdekaannya dan memberikan
euforia yang begitu besar bagi warga Indonesia. Semboyannya yang paling terkenal yaitu
“Tut Wuri Handayani” yang hingga saat ini selalu tertempel di topi, dasi, dan tidak jarang
juga di dada setiap siswa siswi Indonesia dari SD sampai SMA. Dalam dunia pendidikan, Ki
Hadjar Dewantara lebih mengedepankan pada tiga ajaran pokok (tiga fatwa pendidikan
Taman Siswa), yaitu:
1. Tetep, antep, dan mantep. Ketetapan pikiran dan batin itulah yang akan menentukan
kualitas seseorang. Dan jika tetep dan antep itu sudah ada, maka mantep itu datang juga
yakni tiada dapat diundurkan lagi.
2. Ngandel, kandel, dan bandel. Percaya akan memberikan pendirian yang tegak. Maka
kemudiannya kandel (berani) dan bandel (tidak lekas ketakutan, tawakal) akan menyusul
sendiri.
3. Neng, ning, nung, nang. Kesucian pikiran dan kebatinan yang didapat dengan ketenangan
hati, itulah yang mendatangkan kekuasaan. Dan kalau sudah ada ketiga-tiganya itu, maka
kemenangan akan jadi bahagia.
Pertama, tetep, antep, mantep. Artinya, dalam menjalankan sistem pendidikan, maka
pertama-tama yang harus dibentuk (baik guru maupun murid) adalah dengan membentuk
ketetapan pikiran dan jiwa, memberikan jaminan pada keyakinan sendiri, dan membentuk
kemantapan dalam memegang prinsip hidup yang diyakini. Istilah tetep dalam filosofinya
adalah mengajarkan guru dan murid untuk memiliki ketetapan cara berpikir yang selaras
dengan nilai-nilai sosial dan budaya bangsa sendiri. Dengan filosofi antep, Ki Hadjar
Dewantara berusaha untuk menumbuhkan keyakinan pada guru dan murid bahwa pendidikan
dapat diibaratkan sebagai kendaraan yang mengantarkan seseorang pada kepercayaan diri dan
sikap pemberani. Istilah mantep adalah usaha yang ia lakukan untuk menumbuhkan
keyakinan pada guru dan murid bahwa pendidikan adalah upaya yang menghantarkan
seseorang untuk memajukan dirinya. Sehingga memiliki orietasi yang jelas untuk meraih
impian dan cita-citanya.
Dengan memiliki sikap yang tetep, antep, dan mantep maka Ki Hadjar Dewantara
berharap murid-murid Taman Siswa dapat tumbuh menjadi manusia-manusia yang memiliki
kualitas lahir dan batin. Sehingga akan memberikan manfaat besar bagi diri, keluarga dan
masyarakat sesuai dengan zaman yang dilaluinya. Lalu kedua, ngandel, kandel, dan bandel.
Ngandel di sini Ki Hadjar Dewantara maksudkan bahwa sistem pendidikan itu harus dapat
berdiri tegak di atas nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang bermartabat, tanpa ada campur
aduk dengan budaya-budaya Barat yang dipenuhi dengan kebebasan. Kandel atau seseorang
yang berpendirian tegak adalah mereka yang memiliki prinsip yang kuat dalam hidupnya.
Dengan memiliki kepribadian kandel, ia berharap pendidikan yang diterapkan di Taman
Siswa dapat membentuk murid maupun gurunya untuk menjadi pribadi yang berani, memiliki
kewibawaan dan memiliki sikap ulet dalam memegang prinsip hidupnya. Dan bandel
maksudnya bahwa seseorang yang berpendidikan harus memiliki jiwa yang tahan banting,
tidak mudah menyerah saat menghadapi kegagalan-kegagalan dalam hidup. Dengan memiliki
sikap ngandel, kandel, dan bandel, maka Ki Hadjar Dewantara berharap murid-murid Taman
Siswa dapat tumbuh menjadi manusia-manusia yang unggul, berani memegang teguh
kebenaran dan memiliki nyali yang besar dalam menghadapi perubahan-perubahan hidup,
seiring dan sejalan dengan perkembangan zaman
Dan ketiga, neng, ning, nung, dan nang. Filosofi ini Ki Hadjar Dewantara maksudkan
bahwa pendidikan harus dilakukan dengan tujuan untuk membentuk kepribadian yang
religius. Sebab kepandaian dan kedalaman ilmu seseorang tidak akan pernah memiliki makna
jika tidak didasari dengan keyakinan bahwa semua ilmu itu bersumber dari Gusti Allah. Oleh
karenanya, pendidikan harus diarahkan untuk memperoleh kesenangan hati dan jiwa (neng),
membuat seseorang semakin mengingat Sang Maha Kuasa, dalam keheningan (ning),
membuat seseorang memperoleh ketenangan hidup secara lahir dan batin (nang), dan
membuat seseorang semakin merenungi kekurangan-kekurangan dirinya (nung). Dengan
menerapkan filosofi neng, ning, nung, dan nang maka Ki Hadjar Dewantara berharap murid-
murid Taman Siswa dapat tumbuh menjadi pribadi yang tidak hanya berwawasan pikirannya.
Tapi juga menjadi pribadi yang memiliki kesucian pikiran, ketenangan batin, kepandaian
melakukan evaluasi diri, dan semakin dekat dengan Sang Maha Kuasa dengan kesediannya
untuk melakukan tirakat (mengingat-Nya dalam keheningan).
Terbukti dengan terkenalnya pemikiran dia seperti sistem among hingga terbentuknya
Taman Siswa yang dikenal pula dengan lima asas atau Panca Darma, konsep belajar tiga
dinding, tiga fatwa pendidikan Taman Siswa yang dikenal dengan tetep, antep, mantep,
nganel, kandel, bandel dan neng, ning, nang, nung. Serta yang sangat amat terkenal yaitu
filosofi pendidikannya yang dikenal dengan Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun
Karso, dan Tut Wuri Handayani yang menjadi simbol pendidikan saat ini.

Pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang Guru di Indonesia Menurut Ki Hadjar


Dewantara dalam Uyoh Sadulloh yang dikutip dari Ahmadi dan Uhbiyati, bahwasannya
mendidik adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka
sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan
kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
Guru dapat dikatakan sebagai ujung tombak kegiatan sekolah. Tanpa adanya guru,
kegiatan belajar mengajar di sekolah tidaklah berjalan baik. Karena tugasnya mengajar, maka
guru harus mempunyai wewenang mengajar berdasarkan kualifikasi sebagai tenaga pengajar.
Sebagai tenaga pengajar, setiap guru/pengajar harus memiliki kemampuan profesional dalam
bidang proses belajar mengajar atau pembelajaran. Dengan kemampuan itu, guru dapat
melaksanakan perannya, yakni:
 Sebagai fasilitator, yang menyediakan kemudahan-kemudahan bagi siswa untuk
melakukan kegiatan belajar.
 Sebagai pembimbing, yang membantu siswa mengatasi kesulitan dalam proses
pembelajaran.
 Sebagai penyedia lingkungan, yang berupaya menciptakan lingkungan yang menantang
siswa agar melakukan kegiatan belajar
 Sebagai komunikator, yang melakukan komunikasi dengan siswa dan masyarakat.
 Sebagai model, yang mampu memberikan contoh baik kepada siswanya agar berperilaku
baik.
 Sebagai elevator, yang melakukan penilaian terhadap kemajuan belajar siswa.
 Sebagai inovator, yang turut menyebarluaskan usaha-usaha pembaruan kepada
masyarakat. 8. Sebagai agen moral dan politik, yang turut membina moral masyarakat,
peserta didik, serta menunjang upaya-upaya pembangunan.
 Sebagai agen kognitif, yang menyebarkan ilmu pengetahuan kepada peserta didik dan
masyarakat.
 Sebagai manajer, yang memimpin kelompok siswa dalam kelas sehingga proses
pembelajaran berhasil.
Pandangan modern seperti yang dikemukakan oleh Adam dan Dickley bahwa peran
guru sesungguhnya sangat luas, meliputi: guru sebagai pengajar (teacher as an instructor),
guru sebagai pembimbing (teacher as a counsellor), guru sebagai ilmuwan (teacher as
scientist), guru sebagai pribadi (teacher as a person).
Bahkan dalam arti yang lebih luas, di mana sekolah merupakan atau berfungsi juga
sebagai penghubung antara ilmu dan teknologi dengan masyarakat, di mana sekolah
merupakan lembaga yang turut mengemban tugas memodernisasi masyarakat dan di mana
sekolah turut serta secara aktif dalam pembangunan. Maka dengan demikian peranan guru
menjadi lebih luas, yaitu meliputi juga: guru sebagai penghubung (teacher as communicator),
guru sebagai modernisator, guru sebagai pembangun (teacher as constructor).
1. Guru sebagai pengajar Guru bertugas memberikan pengajaran di dalam sekolah (kelas). Ia
menyampaikan pelajaran agar peserta didik memahami dengan baik semua pengetahuan yang
telah disampaikan. Selain dari itu ia juga berusaha agar terjadi perubahan sikap,
keterampilan, kebiasaan, hubungan sosial, apresiasi, dan sebagainya melalui pengajaran yang
diberikannya. Untuk mencapai tujuan-tujuan itu, maka guru perlu memahami sedalam-
dalamnya pengetahuan yang akan menjadi tanggung jawabnya dan menguasai dengan baik
metode dan teknik.
2. Guru sebagai pembimbing Guru berkewajiban memberikan bantuan kepada peserta didik
agar mereka mampu menemukan masalahnya sendiri, memecahkan masalahnya sendiri,
mengenal diri sendiri, dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Para peserta didik
membutuhkan bantuan guru dalam hal mengatasi kesulitan-kesulitan pribadi, kesulitan
pendidikan, kesulitan memilih pekerjaan, kesulitan dalam hubungan sosial, dan interpersonal.
Dan harus dipahami bahwa pembimbing yang terdekat dengan peserta didik adalah guru itu
sendiri.
3. Guru sebagai pemimpin Sekolah dan kelas adalah suatu oraganisasi, di mana guru adalah
sebagai pemimpinnya. Guru berkewajiban mengadakan supervisi atas kegiatan belajar peserta
didik, membuat rencana pengajaran bagi kelasnya, mengadakan manajemen belajar sebaik-
baiknya, melakukan manajemen kelas, dan mengatur disiplin kelas secara demokratis.
Dengan kegiatan manajemen ini guru ingin menciptakan lingkungan belajar yang serasi,
menyenangkan dan merangsang dorongan belajar para anggota kelas.
4. Guru sebagai ilmuwan Guru dipandang sebagai orang yang paling berpengetahuan. Dia
bukan saja berkewajiban menyampaikan pengetahuan yang dimilikinya kepada peserta didik,
tetapi juga berkewajiban mengembangkan pengetahuan itu terus menerus dan memupuk
pengetahuan yang telah dimilikinya.
5. Guru sebagai pribadi Sebagai pribadi setiap guru harus memiliki sifat-sifat yang disenangi
oleh para peserta didiknya, oleh orang tua, dan oleh masyarakat. Sifat-sifat itu sangat
diperlukan agar ia dapat melaksanakan pengajaran secara efektif. Karena itu guru wajib
berusaha memupuk sifat-sifat pribadinya sendiri (intern) dan mengembangkan sifat-sifat
pribadi yang disenangi oleh pihak luar (ekstern). Tegasnya bahwa setiap guru perlu sekali
memiliki sifat-sifat pribadi, baik kepentingan jabatannya maupun untuk kepentingan dirinya
sendiri sebagai warga negara masyarakat.
6. Guru sebagai penghubung Sekolah berdiri di antara dua lapangan, yakni di satu pihak
mengemban tugas menyampaikan dan mewariskan ilmu, teknologi, dan kebudayakan yang
terus menerus berkembang dengan lajunya, dan di lain pihak ia bertugas menampung
aspirasi, masalah, kebutuhan, minat, dan tuntutan masyarakat. Di antara kedua lapangan
inilah sekolah memegang peranannya sebagai penghubung di mana guru berfungsi sebagai
pelaksana.
7. Guru sebagai pembaharu Guru memegang peranan sebagai pembaharu, oleh karena
melalui kegiatan guru menyampaikan ilmu dan teknologi, contoh-contoh yang baik dan lain-
lain, maka akan menanamkan jiwa pembaharuan di kalangan peserta didik.
8. Guru sebagai pembangunan Seorang guru baik sebagai pribadi maupun sebagai guru
profesional dapat menggunakan setiap kesempatan yang ada untuk membantu berhasilnya
rencana pembangunan masyarakat.
Pendidikan yang terbaik bagi anak-anak Inlander menurut Ki Hadjar Dewantara
adalah dengan memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada mereka untuk meningkatkan
potensi, kemudian mengekspresikannya dengan cara yang kreatif dan bertanggung jawab.
Untuk menjalankan misi dalam menerapkan pendidikan seperti itu bagi anak-anak Inlander,
Ki Hadjar Dewantara menerapkan tiga semboyan pendidikan di sekolah Taman Siswa. Ketiga
semboyan pendidikan yang diterapkan di sekolah Taman Siswa itu sebagai berikut: Pertama,
ing ngarsa sung tulodo, apabila pendidik di depan ia harus memberi contoh yang baik
terhadap anak didiknya. Ing ngarsa artinya di depan, sung/asung artinya memberi, dan tulodo
yang artinya contoh.
Dengan kata lain seorang guru adalah pendidik yang harus memberi teladan yang
baik kepada anak didiknya. Sebab guru adalah seorang figur panutan yang harus digugu dan
ditiru semua perkataan dan perbuatannya. Atau dalam pengertian lain ing ngarsa sung tulodo,
artinya seorang pendidik selalu berada di depan untuk memberi teladan. Ia adalah pemimpin
yang memberi contoh dalam perkataan dan perbuatannya sehingga pantas diteladani oleh
para peserta didik Kedua, ing madya mangun karsa, apabila pendidik berada di tengahtengah
bersama anak didiknya ia harus mendorong kemauan anak, membangkitkan kreativitas dan
hasrat untuk berinisiatif dan berbuat. Ing madya artinya di tengah tengah, mangun yang
artinya membangun, dan karso yang berarti kehendak atau kemauan.
Maksud lainnya ialah bahwa seorang guru adalah pendidik yang selalu berada di
tengah-tengah peserta didik. Terus-menerus membangun dan menumbuhkan semangat
peserta didik untuk terus menorehkan karya. Seorang guru juga berkewajiban mengajak
peserta didik untuk menggali ide dan gagasan, sehingga mereka dapat berkembang menjadi
manusia yang cerdas dan berwawasan.38 Atau ing madya mangun karso, artinya seorang
pendidik selalu berada di tengah-tengah para peserta didik dan terus-menerus
memprakasai/memotivasi peserta didiknya produktif dalam berkarya.
Ketiga, tut wuri handayani, berasal dari bahasa Jawa yaitu: “tut wuri” yang berarti
mengikuti dari belakang, dan “handayani” yang berarti mendorong, memotivasi, atau
membangkitkan semangat. Dari arti katanya dapat ditafsirkan bahwa tut wuri handayani ialah
mengakui adanya pembawaan, bakat, ataupun potensi yang dimiliki anak yang dibawa sejak
lahir. Dengan kata tut wuri pendidik diharapkan dapat melihat, menemukan dan memahami
bakat atau potensi yang muncul dan terlihat pada anak didik untuk selanjutnya
mengembangkan pertumbuhan yang sewajarnya dari potensi-potensi tersebut.40 Seorang
guru adalah pendidik yang terus-menerus memberikan dorongan semangat dan menunjukkan
arah yang benar untuk anak didiknya.
Dalam arti lain bahwa tut wuri handayani, seorang pendidik selalu mendukung dan
menopang (mendorong) para muridnya berkarya ke arah yang benar bagi hidup masyarakat.
Pendidik mengikuti para muridnya dari belakang, memberi kemerdekaan bergerak dan
mempengaruhi mereka dengan kekuatannya, kalau perlu dengan paksaan dan ketegasan
apabila kebebasan yang diberikan kepada para murid itu dipergunakan untuk menyeleweng
dan akan membahayakan hidupnya.
Proses implementasi atau pelaksanaan  terintegrasi ke dalam mata pelajaran,
pengembangan diri dan budaya sekolah. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan
Nasional telah melakukan berbagai upaya dalam menanamkan nilai-nilai karakter
disekolah. Salah satunya adalah dengan membuat buku pedoman sekolah yang
dikeluarkan oleh Kemendiknas.
Agar implementasi nilai-nilai pendidikan karakter di sekolah dapat berjalan
dengan baik, maka hal yang harus dilakukan, diantaranya:
1. teladan dari guru, kepala sekolah, dan pemangku kebijakan sekolah;
2. pendidikan karakter dilaksanakan secar konsisten dan secara terus menerus;
dan
3. penanaman nilainilai karakter yang utama. Nilai-nilai pendidikan karakter juga
harus diterapkan lewat kebiasaan kehidupan sehari hari disekolah melalui
budaya sekolah (Pedoman Depdiknas,2011:15-20).
Menurut pedoman sekolah yang dikeluarkan oleh Kemendiknas.proses
implementasi nilai-nilai pendidikan karakter  di sekolah dapat dilakukan melalui:
a. Implementasi Pendidikan Karakter Dalam Kurikulum
Kurikulum dalam istilah pendidikan sebagaimana pendapat Ronald C. Doll
(dalam Mudlofir, 2011:1) menyatakan, “the curriculum of a school is the formal and informal
content and process by which learner gain knowledge and understanding, develope, skills and
alter attitudes appreciations and values under the auspice of that school” (kurikulum sekolah
adalah muatan dan proses, baik formal maupun informal yang diperuntukkan bagi
pembelajar untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman, mengembangkan
keahlian dan mengubah apresiasi sikap dan nilai dengan bantuan sekolah). 
Atau dengan kata lain kurikulum merupakan rencana atau penunjuk arah
pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang kemudian diwujudkan dalam suatu
rangkaian proses pembelajaran. Tujuan pendidikan sendiri akan membantu siswa dalam
mengembangangkan potensi agar mampu menghadapi tantangan, menghadapi
probelematika hidup dan persaingan dalam dunia kerja sehingga mereka mampu
mengatasi problematika tersebut secara arif dan kreatif. Dan yang kita kenal saat ini
adalah kurikulum 2013 yang berbasis karakter.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa kurikulum merupakan serangkaian
rencana, penunjuk arah untuk mencapai suatu tujuan pendidikan. Dengan demikian
sekolah diarahkan untuk memunculkan nilai-nilai tersebut. Baik dalam kegiatan
pembelajaran dan dalam budaya sekolah melalui serangkaian pembiasaan. Proses
pengintegrasian nilai-nilai karakter dalam pengembangan kurikulum merupakan
salah upaya dalam mengimplementasikan nilai karakter dalam kurikulum. 
Contoh dari pengembangan dokumen kurikulum yang mengandung nilai-nilai pendidikan
karakter misalnya adalah prioritas dalam mengembangkan kejujuran, religius, disiplin
dengan mengintegrasikannya dalam RPP dan melaksanakannya dalam pembelajaran.
Contoh lain adalah dengan menyusun peraturan dan tata tertib sekolah yang berisi
tentang unsur-unsur yang berkaitan dengan pendidikan karakter.

b. Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran


Implementasi pendidikan karakter dalam pembelajaran yang dimaksud disini
adalah pada mata pelajaran yang ada di sekolah. Implementasi pendidikan karakter
dalam pembelajaran harus dilakukan dengan strategi yang matang dengan melihat
kondisi dan kemampuan siswa serta lingkungan sekitarnya. Hal tersebut sejalan dengan
Wagiran yang menyatakan bahwa:
“Pelaksanaan integrasi karakter dalam pendidikan memiliki prinsip-prinsip umum
seperti:
(1) tidak mengubah sistem pendidikan yang berlaku,
(2) tidak mengubah kurikulum,
(3) pembelajaran menggunakan prinsip learning to know, learning to learn, learning to
be, dan learning to live together, dan
(4) dilaksanakan secara kontekstual sehingga terjadi pertautan antara pendidikan dan
kebutuhan nyata siswa” Wagiran (2011:197). 
Mengimplementasikan nilai-nilai karakter pada pembelajaran bertujuan untuk
menanamkan nilai-nilai pada siswa akan pentingnya pendidikan karakter, sehingga
mereka mampu menginternalisasikan nilai-nilai tersebut tingkah laku sehari-hari. 
Dalam kurikulum 2013 pengimplementasian nilai-nilai  pendidikan  karakter di
setiap mata pelajaran dapat dilakukan dengan mengintegrasikan nilai-nilai pendidikan
karakter ke dalam Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD).
Selanjutnya kompetensi dasar yang dapat diintegrasikan dengan nilai-nilai
pendidikan karakter tersebut dikembangkan pada Rencana Program Pembelajaran
(RPP). Guru berperan dalam mengintegrasikan dan mengembangkan nilai-nilai karakter
ke dalam proses pembelajaran yang menyenangkan dan dapat diterima siswa sesuai
dengan Kurikulum. 
Proses pembelajaran didasarkan pada upaya menguasai kompetensi pada
tingkat yang memuaskan dengan memperhatikan karakteristik konten kompetensi
dimana pengetahuan adalah konten yang bersifat tuntas (mastery). Keterampilan kognitif
dan psikomotorik adalah kemampuan penguasaan konten yang dapat dilatihkan.
Sedangkan sikap adalah kemampuan penguasaan konten yang lebih sulit
dikembangkan dan memerlukan proses pendidikan yang tidak langsung (Uji Publik
Kurikulum 2013, 2012:5-6). 

c. Budaya Sekolah Sekolah merupakan suatu lembaga yang dirancang untuk


melaksanakan
proses belajar mengajar antara guru dengan murid. Sistem pendidikan di
sekolah merupakan sistem pendidikan formal yang mana pelaksanaannya dilakukan
secara terencana dan terperinci.Sekolah berfungsi mengembangkan kemampuan siswa
dari segi hard skill, soft skill serta nilai-nilai kebaikan dalam diri mereka. Hal tersebut
sejalan dengan Sjarkawi (2006: 42), yang mengemukakan bahwa sekolah  sebagai
lembaga pendidikan bertanggung jawab untuk meningkatkan kemampuan berpikir dan
kecakapan siswa dalam menetapkan suatu keputusan untuk bertindak atau untuk tidak
bertindak.
Greer (1997: 3) mendefinisikan budaya  sekolah  sebagai  keyakinan,  kebijakan, 
norma, dan  kebiasaan di  dalam  sekolah  yang dapat dibentuk, diperkuat, dan
dipelihara melalui  pimpinan  dan  guru-guru  di  sekolah. Berdasarkan pendapat
tersebut kebudayaan dapat didefinisikan sebagai serangkaian kebiasaan , aturan,
aturan moral, keyakinan dalam sekolah yang dibentuk, diperkuat, dan dipelihara melalui
pimpinan, guru-guru di sekolah, serta warga sekolah. Orang tua juga dapat
memonitoring kegiatan yang berkaitan dengan implementasi nilai-nilai karakter di
sekolah, selain berperan dalam penanaman nilai karakter di dilingkungan keluarga
tentunya. 
Proses pengembangan karakter siswa di sekolah menurut Zamroni (2011:178),
memiliki pola: rencanakan, laksanakan, refleksi dan apa langkah selanjutnya. Tentu saja
dengan pelaksanaan yang dilakukan secara berkesinambungan dan terus menerus. Hal
tersebut dimaksudkan agar pendidikan karakter memanfaatkan pengalaman yang telah
dilalui, tidak mengulang kesalahan, dan senantiasa memperbaiki tindakan yang telah
dilakukan. Proses yang berkesinambungan tersebut diwujudkan dalam pembiasaan dan
budaya sekolah. Hal tersebut sejalan dengan kutipan berikut.

Anda mungkin juga menyukai