pendidikan yang bertujuan menjadikan peserta didiknya mandiri atau tidak bergantung
kepada orang lain dan dapat mengembangkan potensi yang ada pada dirinya masing-masing.
Dengan cara menuntun dan mengarahkan anak didiknya untuk mencapai kodratnya dan
kebahagiaannya serta keselamatannya, juga agar mereka berguna bagi nusa dan bangsa juga
agamanya sehingga dapat mengangkat martabat negaranya kelak. Tidak salah jika Indonesia
menjadikan seorang sosok pahlawan pendidikan Ki Hadjar Dewantara menjadi Bapak
Pendidikan Nasiaonal.
Pendidikan di Indonesia harusnya tidak memakai syarat paksaan. Momong, among,
ngemong. Caranya tidaklah memaksa, guru hanya diharuskan mencampuri kehidupan anak
didik atau peserta didik kalau ternyata dirinya ada di atas jalan yang salah. Tiada memakai
dasar “regering, tucht en orde” tetapi “orde en vrede” (tertib dan damai, tata tentrem). Guru
akan selalu menjaga kelangsungan kehidupan batin sang anak dan harus lah ia dijauhkan dari
tiap-tiap paksaan. Tetapi guru pun tiada akan ”nguja” (membiarkan) anak-anak. Guru hanya
harus mengamat-amati, agar anak dapat bertumbuh menurut kodrat. Tucht (hukuman) itu
maksudnya untuk mencegah kejahatan. Dan sebelum terjadi kesalahannya, aturan
hukumannya sudah tersedia.
Orde (ketertiban) yang dimaksudkan dalam pendidikan Barat teranglah sudah hanya
paksaan dan hukuman. Dari sebab itu dasar pendidikan yang digagas oleh Ki Hadjar
Dewantara menjadi orde en vrede, tertib dan damai, inilah yang akan dapat menentukan
syarat-syarat sendiri, yang tiada akan bisa bersifat paksaan. Dan oleh karenanya, maka
hukuman yang tiada setimpal dengan kesalahannya pun tidak akan peserta didik dapatkan.
Semua itu adalah syarat-syarat guru yang hendak berusaha mendatangkan rakyat yang
merdeka, dalam arti kata yang sebenar-benarnya yaitu lahirnya tiada terperintah, batinnya
bisa memerintah sendiri dan dapat berdiri sendiri karena kekuatan sendiri.20 Adapun
pendidikan nasional merupakan pendidikan yang merujuk kepada kebudayaan bangsa sendiri
dan mengutamakan masyarakat.
Oleh sebab tersebut, Ki Hadjar Dewantara menawarkan sistem among yang
menyokong kodrat alam anak-anak didik, bukan dengan perintah dan larangan, tetapi dengan
tuntunan dan bimbingan, sehingga perkembangan batin anak dapat berkembang dengan baik
sesuai dengan kodratnya. Sistem among ini didasarkan pada dua hal, yaitu:
1. Kemerdekaan sebagai syarat untuk menggerakkan dan menghidupkan kekuatan lahir dan
batin, sehingga dapat hidup merdeka
2. Kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan
secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya. Untuk merealisasikan pemikirannya tersebut, maka
didirikanlah perguruan Taman Siswa.
Pada kongres pertamanya tahun 1947, Ki Hadjar Dewantara mempertegas
pemikirannya dengan mengemukakan lima asas yang dikenal dengan Panca Darma. Filosofi
yang digunakan bukanlah sembarangan. Ia beranggapan bahwa selama ini kita belajar di
kelas dengan empat dinding yang menjulang ke atas, jendela yang begitu tinggi dan
menyebabkan peserta didik tidak bisa melihat alam secara bebas, ditambah lagi dengan
pajangan para pahlawan yang mimiknya begitu menyeramkan. Itu semua membuat batasan
antara kita sebagai manusia dan alam. Maka dari itu ia menyarankan untuk belajar tiga
dinding agar tidak ada perbedaan di antara kita. Mengingat filosofi yang dimiliki oleh orang
Padang yaitu alam takamang, jadi guru di mana menjadikan alam sebagai guru dalam
kehidupan ini.
Pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang hingga saat ini digunakan oleh pendidikan
Indonesia yaitu Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani (di
depan memberi teladan, di tengah memberi bimbingan, di belakang memberi dorongan).
Semboyan tersebut ikut mengantarkan Indonesia pada kemerdekaannya dan memberikan
euforia yang begitu besar bagi warga Indonesia. Semboyannya yang paling terkenal yaitu
“Tut Wuri Handayani” yang hingga saat ini selalu tertempel di topi, dasi, dan tidak jarang
juga di dada setiap siswa siswi Indonesia dari SD sampai SMA. Dalam dunia pendidikan, Ki
Hadjar Dewantara lebih mengedepankan pada tiga ajaran pokok (tiga fatwa pendidikan
Taman Siswa), yaitu:
1. Tetep, antep, dan mantep. Ketetapan pikiran dan batin itulah yang akan menentukan
kualitas seseorang. Dan jika tetep dan antep itu sudah ada, maka mantep itu datang juga
yakni tiada dapat diundurkan lagi.
2. Ngandel, kandel, dan bandel. Percaya akan memberikan pendirian yang tegak. Maka
kemudiannya kandel (berani) dan bandel (tidak lekas ketakutan, tawakal) akan menyusul
sendiri.
3. Neng, ning, nung, nang. Kesucian pikiran dan kebatinan yang didapat dengan ketenangan
hati, itulah yang mendatangkan kekuasaan. Dan kalau sudah ada ketiga-tiganya itu, maka
kemenangan akan jadi bahagia.
Pertama, tetep, antep, mantep. Artinya, dalam menjalankan sistem pendidikan, maka
pertama-tama yang harus dibentuk (baik guru maupun murid) adalah dengan membentuk
ketetapan pikiran dan jiwa, memberikan jaminan pada keyakinan sendiri, dan membentuk
kemantapan dalam memegang prinsip hidup yang diyakini. Istilah tetep dalam filosofinya
adalah mengajarkan guru dan murid untuk memiliki ketetapan cara berpikir yang selaras
dengan nilai-nilai sosial dan budaya bangsa sendiri. Dengan filosofi antep, Ki Hadjar
Dewantara berusaha untuk menumbuhkan keyakinan pada guru dan murid bahwa pendidikan
dapat diibaratkan sebagai kendaraan yang mengantarkan seseorang pada kepercayaan diri dan
sikap pemberani. Istilah mantep adalah usaha yang ia lakukan untuk menumbuhkan
keyakinan pada guru dan murid bahwa pendidikan adalah upaya yang menghantarkan
seseorang untuk memajukan dirinya. Sehingga memiliki orietasi yang jelas untuk meraih
impian dan cita-citanya.
Dengan memiliki sikap yang tetep, antep, dan mantep maka Ki Hadjar Dewantara
berharap murid-murid Taman Siswa dapat tumbuh menjadi manusia-manusia yang memiliki
kualitas lahir dan batin. Sehingga akan memberikan manfaat besar bagi diri, keluarga dan
masyarakat sesuai dengan zaman yang dilaluinya. Lalu kedua, ngandel, kandel, dan bandel.
Ngandel di sini Ki Hadjar Dewantara maksudkan bahwa sistem pendidikan itu harus dapat
berdiri tegak di atas nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang bermartabat, tanpa ada campur
aduk dengan budaya-budaya Barat yang dipenuhi dengan kebebasan. Kandel atau seseorang
yang berpendirian tegak adalah mereka yang memiliki prinsip yang kuat dalam hidupnya.
Dengan memiliki kepribadian kandel, ia berharap pendidikan yang diterapkan di Taman
Siswa dapat membentuk murid maupun gurunya untuk menjadi pribadi yang berani, memiliki
kewibawaan dan memiliki sikap ulet dalam memegang prinsip hidupnya. Dan bandel
maksudnya bahwa seseorang yang berpendidikan harus memiliki jiwa yang tahan banting,
tidak mudah menyerah saat menghadapi kegagalan-kegagalan dalam hidup. Dengan memiliki
sikap ngandel, kandel, dan bandel, maka Ki Hadjar Dewantara berharap murid-murid Taman
Siswa dapat tumbuh menjadi manusia-manusia yang unggul, berani memegang teguh
kebenaran dan memiliki nyali yang besar dalam menghadapi perubahan-perubahan hidup,
seiring dan sejalan dengan perkembangan zaman
Dan ketiga, neng, ning, nung, dan nang. Filosofi ini Ki Hadjar Dewantara maksudkan
bahwa pendidikan harus dilakukan dengan tujuan untuk membentuk kepribadian yang
religius. Sebab kepandaian dan kedalaman ilmu seseorang tidak akan pernah memiliki makna
jika tidak didasari dengan keyakinan bahwa semua ilmu itu bersumber dari Gusti Allah. Oleh
karenanya, pendidikan harus diarahkan untuk memperoleh kesenangan hati dan jiwa (neng),
membuat seseorang semakin mengingat Sang Maha Kuasa, dalam keheningan (ning),
membuat seseorang memperoleh ketenangan hidup secara lahir dan batin (nang), dan
membuat seseorang semakin merenungi kekurangan-kekurangan dirinya (nung). Dengan
menerapkan filosofi neng, ning, nung, dan nang maka Ki Hadjar Dewantara berharap murid-
murid Taman Siswa dapat tumbuh menjadi pribadi yang tidak hanya berwawasan pikirannya.
Tapi juga menjadi pribadi yang memiliki kesucian pikiran, ketenangan batin, kepandaian
melakukan evaluasi diri, dan semakin dekat dengan Sang Maha Kuasa dengan kesediannya
untuk melakukan tirakat (mengingat-Nya dalam keheningan).
Terbukti dengan terkenalnya pemikiran dia seperti sistem among hingga terbentuknya
Taman Siswa yang dikenal pula dengan lima asas atau Panca Darma, konsep belajar tiga
dinding, tiga fatwa pendidikan Taman Siswa yang dikenal dengan tetep, antep, mantep,
nganel, kandel, bandel dan neng, ning, nang, nung. Serta yang sangat amat terkenal yaitu
filosofi pendidikannya yang dikenal dengan Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun
Karso, dan Tut Wuri Handayani yang menjadi simbol pendidikan saat ini.