Anda di halaman 1dari 12

1

ARTIKEL
Studi terhadap Komunitas Kaili di Desa Raranggonau
Kabupaten Sigi
By.
NURAEDAH1

ABSTRAK

Komunitas Kaili sebagai suatu suku bangsa mayoritas bermukim di


Kabupaten Sigi. Umumnya komunitas suku bangsa tersebut hidup sebagai
petani, mereka yang mendiami daerah pantai, sedikit yang menjadi nelayan.
Kalaupun ada hanyalah sekedar pekerjaan sampingan. Desa yang menjadi
perhatian adalah desa di sebuah lereng bukit. Desa itu bernama desa
Raranggonau. Desa sesungguhnya adalah tatanan yang unik. Pada satu sisi ia
sebagai tatanan wilayah, yang merupakan suatu entitas yang homogen. Setiap
penduduk desa terutama pada tahap perkembangan primer adalah sebuah entitas
yang homogen (geneologis), mendiami suatu lingkungan yang kecil yang
memiliki ikatan primordal yang masih cukup tinggi, serta kelembagaan sosial
(adat) yang hampir-hampir homogen pula.2
Mengacu pada konsep Redfield, desa Roronggonau dikategorikan sebagai
sebuah komunitas yang tidak lagi terisolasi atau disebutnya sebagai “Peasent
Community”atau bersifat lebih terbuka, karena memiliki hubungan dengan
komunitas-komunitas lain, seperti karena adanya ikatan perkawinan dengan
komunitas yang berasal dari komunitas Kulawi, yang dilakukan karena merasa
seperasaan sentimen keagamaan seperti menikah karena memiliki agama yang
sama yakni kristen.
Jenis penelitian adalah kualitatif, dengan lokasi penelitian dilakukan di
desa Raranggonau Kabupaten Sigi. Data terkait komunitas ini diperoleh melalui
observasi langsung dan wawancara bebas terpimpin, kemudian data yang
diperoleh dianalisis dengan cara reduksi data, display data dan verifikasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Desa Raranggonau masih bersifat
tradisional, masih mempercayai adanya kekuatan roh yang berada di luar diri
manusia.Kepercayaan terhadap adanya kekuatan roh itu diwujudkan dalam
kegiatan upacara Balia. Balia adalah kegiatan yang dilakukan secara tradisional
untuk mengobati berbagai jenis penyakit. Pengobatan Balia dilakukan oleh
dukun (bayasa dalam bahasa Kaili). Balia untuk komunitas Kaili di desa
Raranggonau selain untuk pengobatan juga ada balia untuk pertanian, seperti
upacara yang berkenaan dengan kesuburan tanah, menolak wabah, hama
tanaman, keselamatan para petani selama mengolah kebun atau ladang mereka.
Komunitas juga memiliki unsur-unsur perasaan komuniti (community

1
Dosen tetap pada FKIP Universitas Tadulako, dan kini mahasiwa pada program kekhususan
Sosiologi, di UNM.
2
Radi A.Gany, Demokratisasi Masyarakat Desa:Dinamika Politik dan Kelembagaan Politik
Desa Pemberdayaan Ekonomi Desa: http://www.fppm.org/makalah%20radi%20gany.htm (online),
diakses tanggal 4/2/2004.hal.9.
2

sentiment), unsur-unsur perasaan komunitas ini terdiri atas tiga bagian, yang
meliputi seperasaan, sepenanggungan dan saling membutuhkan.
Kata kunci:

PENDAHULUAN

Orang Kaili adalah adalah suatu suku bangsa yang mendiami daerah
Sulawesi Tengah. Awal abad XVI kerajaan yang ada di Sulawesi Tengah antara
lain Banawa, Sigi,Biromaru, Tawaeli, Pantoloan, Sindue, Dolo,Bangga, Tatanga,
Palu, Sibalaya, Kulawi,Parigi, Kasimbar,Moutong,Lambunu,Pamona,
Pekurehua, Ondae,Mori, Banggai, dan Buol.Di Pantai teluk Tomini ada juga
kerajaan tua seperti Sipayo dan Bondoyo tapi berita-berita tentang kerajaan tua
tersebut tidak ada lagi.
Buku karya Al.C.Kruijt De West Toraja van Midden Celebes,3 membagi
lima golongan penduduk di wilayah suku Toraja barat berdasarkan lingkungan
bahasanya sebagai berikut:
a. Golongan penduduk Kaili mendiami daerah Banawa, Tawaeli, Palu,
Dolo, Topoatara, Parigi dan Sausu.
b. Golongan penduduk Sigi mendiami Sigi, Palolo, Biromaru,
Raranggonau, Bangga, Pakuli, Sibalaya, dan Sidondo.
c. Golongan penduduk Pakawa mendiami daerah Balaroa, Rondingo,
Tamado, Dombu, Binggi, Kabuyu, Konggone, Rio, dan Tinauka.
d. Golongan penduduk Kulawi mendiami daerah Kulawi, Tamuku,
Lowitoro, Lindu dan Tuwa.
e. Golongan penduduk Koro mendiami daerah Moa, Pili, Gimpu,
Karangana, Mapahi, Banasu, Palempea, Penea, Kantevu,Unu, Lowe
Siwangi,Towunu, Karosa,Masimbu dan Towoni.
Untuk jelasnya dapat dituliskan bahwa untuk Sulawesi Tengah wilayah
Sigi merupakan wilayah yang banyak memiliki dialek bahasa.Walaupun tadinya
bahasa itu merupakan satu rumpun yaitu bahasa Ledo. Bahasa Ledo ini dapat
dimengerti oleh semua penduduk sekalipun dalam pergaulan sehari-harinya
menggunakan bahasanya sendiri. Jenis bahasa di Sulawesi Tengah serta daerah-
daerah pemakaiannya adalah: (1). Bahasa Ledo daerah pemakaiannya Palu,
Kalukubula, Biromaru, Dolo, Raranggonau, (2)Bahasa Tara daerah
pemakaiannya Talise, Kawatuna, dan Parigi, (3)Bahasa Rai daerah
pemakaiannya Tawaeli dan Tosale, (4)Bahasa Ija di Bora (5)Bahasa Edo di
Sidondo dan Pesaku (6)Bahasa Ado di Pandere, Pakuli dan Sibalaya, (7)Bahasa
Tea di Palolo 8)Bahasa Tado di Lindu, (9) Bahasa Moma di Kulawi, Bolapapu,
Toro, Tunungku dan Lowi, (10)Bahasa Uma dan Tipikoro di Winatu, Gimpu,
Pili, Penna, Kante wu, Lawe, Tuwulu.(11)Bahasa Aria di Karangana,Mapohi
dan Banasu.(12)Bahasa Undo di Banawa dan Loli. (12)Bahasa Doa di Tamado,
Rondingo.Di samping itu ada lagi bahasa daerah di teluk tomini yaitu bahasa

3
Depdikbud, 1996/1997, Sejarah Daerah Sulawesi Tengah, Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Sulawesi Tengah, Jakarta.Lihat
hal.45-46.
3

Lauje, Tajio, dan Tialo yang pemakaiannya dijumpai di wilayah Tomini dan
Moutong.
Suku Bangsa yang mendiami wilayah Sulawesi Tengah di tinjau dari
lokasi penelitian, mayoritas mempergunakan bahasa Kaili, oleh penulis disebut
Komunitas4 Kaili. Komunitas Kaili di Raranggonau memiliki kebiasaan atau
tradisi dan bentuk bahasa, yakni bahasa Kaili. Komunitas Kaili sebagai suatu
suku bangsa mayoritas bermukim di Kabupaten Sigi. Umumnya komunitas suku
bangsa tersebut hidup sebagai petani, mereka yang mendiami daerah pantai,
sedikit yang menjadi nelayan. Kalaupun ada hanyalah sekedar pekerjaan
sampingan. Desa yang menjadi perhatian adalah desa di sebuah lereng bukit.
Desa itu bernama desa Raranggonau. Desa sesungguhnya adalah tatanan yang
unik. Pada satu sisi ia sebagai tatanan wilayah, yang merupakan suatu entitas
yang homogen. Setiap penduduk desa terutama pada tahap perkembangan
primer adalah sebuah entitas yang homogen (geneologis), mendiami suatu
lingkungan yang kecil yang memiliki ikatan primordal yang masih cukup tinggi,
serta kelembagaan sosial (adat) yang hampir-hampir homogen pula.5

SUATU KAJIAN SOSIAL KOMUNITAS KAILI DI LERENG BUKIT


KABUPATEN SIGI

Mengacu pada konsep Redfield, desa Roronggonau dikategorikan sebagai


sebuah komunitas yang tidak lagi terisolasi atau disebutnya sebagai “Peasent
Community”atau bersifat lebih terbuka, karena memiliki hubungan dengan
komunitas-komunitas lain, seperti karena adanya ikatan perkawinan dengan
komunitas yang berasal dari komunitas Kulawi, yang dilakukan karena merasa
seperasaan sentimen keagamaan seperti menikah karena memiliki agama yang
sama yakni kristen.
Komunitas juga memiliki unsur-unsur perasaan komuniti (community
sentiment), menurut Soerjono Soekanto6 unsur-unsur perasaan komunitas terdiri
atas tiga bagian, yang meliputi seperasaan, sepenanggungan dan saling
memerlukan. Komponen ini untuk komunitas Kaili di desa Raranggonau
dimiliki berdasarkan uraian yang akan diketengahkan kemudian.

4
Menurut Ross komunitas adalah sejumlah keluarga dan individu-individu yang menempati
sebuah wilayah yang saling berdekatan, ditandai oleh aspek-aspek kehidupan bersamaseperti kesamaan
dalam cara produksi, kebiasaan atau tradisi dan bentuk bahasa, lihat dalam Esrom Aritonang, et al, 2001,
Pendampingan Komunitas Pedesaan, sekretariat Bina Desa/IndHRRa: Jakarta, hal.40.
5
Radi A.Gany, Demokratisasi Masyarakat Desa:Dinamika Politik dan Kelembagaan Politik Desa
Pemberdayaan Ekonomi Desa:Http://www.fppm.org/makalah%20radi%20gany.htm (online), diakses
tanggal 4/2/2004.hal.9.
6
Menurut Soerjono Soekanto unsur-unsur perasaan komuniti (community sentiment), antara lain,
a).seperasaan :unsur seperasaan akibat seseorang berusaha untuk mengidentifikasi dirinya dengan
sebanyak mungkin orang dalam kelompok tersebut, sehingga kesemuanya dapat menyebutkan dirinya
sebagai “kelompok kami” “perasaan kami” dan lain sebagainya.b)Sepenanggungan:setiap individu sadar
akan peranannya dalam kelompok dan keadaan masyarakat sendiri memungkinkan peranannya, dalam
kelompok dijalankan, sehingga dia mempunyai kedudukan yang pasti dalam darah dagingnya
sendiri.c)Saling memerlukan:Individu yang tergabung dalam masyarakat setempat merasakan dirinya
tergabung dalam masyarakat setempat merasakan dirinya tergantung pada “komunitinya” yang meliputi
kebutuhan fisik maupun kebutuhan-kebutuhan psikologis. Lihat Soerjono Soekanto, 2003, Sosiologi
Suatu Pengantar,PT.RajaGrafindo Persada:Jakarta, hal.150-151.
4

Suku Kaili yang berada di desa Raranggonau, pada umumnya sebagai


petani dan pekerja ladang menetap. Mereka terdiri dari kurang lebih 431.000
orang. Warisan nilai-nilai lama, masih terasa mewakili. Makna dan konsep
sosiologis-kultural masyarakat desa Raranggonau masih sangat kental dan
membumi pada komunitas Kaili tersebut.Hal tersebut dapat dibuktikan dari
perasaan kesatuan pemukiman (teritorial) yang terletak di sebuah lereng bukit
dengan kesatuan sosial hidup yang mendapat pengaruh luar,namun lebih banyak
berhubungan dengan komunitas desa mereka sendiri.Untuk mencapai lokasi
hanya dengan kendaraan roda dua, namun sekitar tahun 1990-an, masih harus
dilewati dengan jalan kaki atau naik kuda sebagai alat transportasi. Dari ibukota
kabupaten dapat dicapai dengan waktu kurang lebih 2 jam dengan kendaraan
roda dua. Sedangkan berjalan kaki kurang lebih tujuh sampai delapan jam. Jarak
dari ibukota Propinsi mencapai 45 km. Sebagai orang awam yang baru
memasuki rute perjalanan yang terjal dan curam sekali dengan ketinggian dari
atas pemukaan laut mencapai 640 meter, membuat bulu roma bergidik
merinding. Biasanya penulis7, untuk memasuki desa tersebut harus berjalan
kaki, walaupun dengan susah payah, hal tersebut terjadi ketika jalanan yang
curam dan terjal menakutkan sekali. Ketika musim hujan berjalan, maka jalanan
lebih parah lagi, longsor di sana-sini, jalanan begitu licin, salah melangkah bisa
masuk jurang menganga, jadi nyawa taruhannya. Sampai di wilayah desa maka
yang pertama di dapat adalah dua buah rumah yang terbuat dari dinding sayatan
bambu. Kemudian kurang lebih 15 meter berjalan, maka akan didapati gereja
kecil, tempat beribadah Kristen Protestan. Gereja tersebut dapat menampung 30
sampai 50 jamaah yang kadang sampai diluar pintu.Kurang lebih lima meter
ditemukan SD Inpres untuk wilayah tertinggal. Mayoritas penduduknya
beragama Kristen Protestan dan selebihnya Katolik, juga satu keluarga muslim
yang bertugas sebagai bidan desa. Di mana rumahnya difungsikan sebagai
tempat bertugas sekaligus buka warung kecil-kecilan yang berisi keperluan
sehari-hari, seperti gula, sampo, sabun, mie instan dan-lain kebutuhan sehari-
hari. Pola pemukiman dari gambaran tersebut di atas berpencar, setiap
pemencaran terdiri atas 4-7 kelompok rumah, yang dihubungkan dengan jalan
setapak dan hutan liar, jadi antara kelompok rumah tersebut cukup berjauhan.
Terbentuknya komunitas juga ditetapkan berdasarkan ikatan kepentingan, karena
adanya ikatan kesamaan pandangan, kesamaan tujuan, kesamaan masalah dan
kesamaan kebutuhan tanpa memandang asal usul wilayah, kedudukan sosial
ekonomi, jenjang usia dan jenis kelamin, sebagai contoh kebutuhan akan air
bersih untuk desa Raranggonau masih sulit terpenuhi untuk satu desa, di desa
itu hanya satu buah tempat penampungan air berdekatan dengan rumah bidan
desa. Ketika penampungan air tersebut menipis, maka warga desa harus turun
gunung untuk mendapatkan air bersih ditempuh dengan jalan kaki 4 sampai 5
jam.

7
Penulis pada tahun 2005-2007 pernah menjadi FDI (Fasilitator Desa Intensif).Untuk wilayah Sigi
Biromaru dengan pokja Raranggonau dan Tompu, dua lokasi yang berbeda, namun memiliki resiko
yang sama-sama besar untuk mencapai lokasi. Kemudian pada tanggal 12,13 dan 14 Oktober 2009
mengadakan perjalanan kesana dengan kendaraan roda dua,ditemani aparat setempat bernama Andi
Irwan yang memiliki lokasi kerja di POLSEK Biromaru.
5

Ikatan relasi sosial masih terasa begitu kental yang melahirkan rasa
kesatuan sosial (komunitas), itu terjadi karena adanya ikatan darah, perkawinan,
tetangga dan karena kepentingan bersama dalam hubungan kerja seperti dalam
pertanian, pertukangan, perkawinan dan sebagainya. Semua warga merasa
dalam suatu ikatan warga dan satu kesatuan hidup setempat (community).
Desa Raranggonau masih bersifat tradisional, masih mempercayai adanya
kekuatan roh yang berada di luar diri manusia. Kepercayaan terhadap adanya
kekuatan roh itu diwujudkan dalam kegiatan upacara Balia. Balia adalah
kegiatan yang dilakukan secara tradisional untuk mengobati berbagai jenis
penyakit. Pengobatan Balia dilakukan oleh dukun (bayasa dalam bahasa Kaili).
Balia untuk komunitas Kaili di desa Raranggonau selain untuk pengobatan juga
ada balia untuk pertanian, seperti upacara yang berkenaan dengan kesuburan
tanah, menolak wabah, hama tanaman, keselamatan para petani selama
mengolah kebun atau ladang mereka.
Pengobatan dapat dilakukan secara massal sebagai bentuk ikatan
seperasaan dalam kelompoknya. Pada unsur seperasaan ini, kepentingan
individu diselaraskan dengan kepentingan-kepentingan kelompok, sehingga
merasa sebagai satu kesatuan kelompok masyarakat desa Raranggonau, yang
dapat diselaraskan dengan struktur sosial masyarakatnya.
Berdasarkan teknis pelaksanaannya, pengobatan Balia8 digolongkan atas
tiga bagian, yakni :
a. Tambilangi, adapun alat-alat yang digunakan adalah tambur, gong,
tombak. Hewan persembahannya berupa kambing dan juga babi. Acara
pengobatan dilakukan dengan ritual, pada awal pengobatannya, orang yang
sakit ditempatkan pada tempat yang sudah ditentukan. Pengobatan diawali
dengan memanggil roh oleh dukun yang nantinya akan mengobati orang yang
sakit. Pemanggilan roh ini dilakukan dengan pemukulan gong dan tambur
sampai sando kemasukan roh dan kesurupan. Setelah Sando kemasukan roh,
kemudian sando melakukan pengobatan dengan cara memegang sebuah
tombak bersama keluarga yang sakit (yang diobati) untuk menusuk hewan
persembahan hingga mati. Maksud penusukan hewan sesembahan diharapkan
penyakit akan segera sembuh dan tidak akan kembali lagi.
b. Jinja, dengan bahan dan alat berupa perahu, ayam, beras pulut empat
warna, yakni merah, putih, kuning dan hitam, berbagai macam kue (yang
manis-manis), pisang dan buah-buahan secukupnya, dan uang logam.
Pelaksanaannya; bahan-bahan tersebut dialirkan ke aliran sungai, kemudian
dilepaskan ke sungai yang mengalir dengan pimpinan sando. Pelepasan
perahu kecil beserta isinya dimaksudkan sebagai sesaji yang dipersembahkan
kepada roh halus (penguasa alam), dengan tujuan menyembuhkan penyakit.
Di samping itu jinja berfungsi sebagai acara tolak bala agar terhindar dari
bencana dan berbagai musibah.
c. Torilapi, bahan dan alatnya berupa tongkat, tambur, gong, ayam.
Pengobatan dalam Torilapi dilaksanakan pada masyarakat yang miskin.
Penduduk (orang sakit) di tempatkan dalam posisi tertentu. Dukun
memegang tombak sambil menyanyi dan menari diiringi pemukulan tambur
8
Hasil wawancara dengan Markus pada tanggal 12 Oktober 2010 didesa Raranggonau.
6

dan gong oleh bule. Setelah Sando kesurupan dilanjutkan dengan memotong
ayam dengan menggunakan tombak bersama keluarga orang sakit yang
diawali dengan pembacaan mantra-mantra.
Sementara Balia yang berhubungan dengan pertanian, disebut dengan
Balia Tampilangi, yaitu balia yang digunakan dalam bidang pertanian. Balia
Tampilangi adalah balia yang umum digunakan dalam upacara pertanian. Balia
Tampilangi menampakkan ciri menggunakan tombak bercabang dan bertaji pada
saat upacara balia dilaksanakan. Upacara jenis 9 ini dilakukan dalam beberapa
tahap, Pertama adalah tahap persiapan. Tahap ini dimulai dengan libu
(musyawarah) dewan pemimpin pertanian. Dalam libu dibicarakan waktu
pelaksanaannya.Disiapkan alat-alat perlengkapan upacara seperti gendang, gong
dan sebagainya. Kedua, adalah tahap pelaksanaan. Bila waktu yang
direncanakan tiba seluruh penyelenggaraan dan partisipan hadir termasuk
penyelenggara upacara yaitu Sando, yang dibantu oleh para Tobalia ( para
penari yang mudah kesurupan) yang disebut topokoro balia.Mereka nantaro di
bawah iringan bunyi gendang dan gong yang bertalu-talu dan seterusnya
mengadakan acara moraro (menombak babi) sebagai korban. Ketiga, Upacara
pesta makan, dari korban dalam upacara tersebut pada siang harinya di
Bantaya.
Upacara Balia Tampilangi diadakan dalam rangka mengajukan
permohonan, sesembahan dan perlindungan kepada penguasa alam, agar
terhindar dari malapetaka, bencana alam sebagai akibat dari kecerobohan,
keacuhan dan kelalaian manusia berkomunikasi dengan dunia gaib. Cara ini
merupakan permohonan agar supaya mereka membuka dan mengolah kebun
baru untuk mendapatkan hasil yang melimpah, terhindar dari hama dan bahaya
yang mengancam pertanian dan kehidupan mereka pada umumnya.Upacara
Balia Tampilangi adalah rangkaian upacara yang berkaitan dengan upacara ada
ntana (upacara adat pengolahan tanah) yaitu saat membuka ladang baru sampai
dengan selesai panen.
Upacara Balia Tampilangi berlangsung pada malam hari, dan kadang
dilaksanakan dua sampai tiga malam berturut-turut. Upacara ini diselenggarakan
pada saat bibit padi atau bibit coklat atau merica siap tanam, karena ladang
selesai diolah dan menjelang penanaman benih (motuda). Jarak waktu itu
digunakan untuk mengadakan upacara balia, sebagai salah satu upacara yang
mengandung makna tersendiri, yaitu pemujaan dewa.
Penyelenggaraan Balia Tampilangi diselenggarakan di halaman Bantaya,
adalah suatu tempat khusus yang dibangun sebagai tempat berkumpul dan
bermusyawarah para petani sebagai pendukung upacara dan sekaligus menjadi
pusat kegiatan bersama selama membuka ladang baru sampai selesai
panen.Bantaya dibangun secara gotong royong oleh seluruh anggota. Upacara
dipimpin oleh Sando dan Tolanggara atau biasa disebut Topokoro Balia
kemasukan roh halus. Mereka terdiri dari laki-laki dan wanita sering pula anak-
anak atau orang tua.

9
Hasil wawancara dengan Randa pada tanggal 13 Oktober 2010 di desa Raranggonau.
7

Pemukul Gendang terdiri dari dua sampai tiga orang dan sering pula
diiringi dengan gong. Mereka disebut Bule.10Orang yang terlibat dalam upacara
tersebut ialah seluruh pimpinan penyelenggara pertanian yakni; ulutumba,
pemimpin proses upacara ada ntana, panuntu adalah wakil atau pembantu
pelaksana dari ulutumba, pagane (pawang) adalah orang yang ahli dan bertugas
membacakan mantra-mantra (gane) serta menyampaikan harapan dan doa
kepada penguasa langit dan bumi (nokimba’a), togura nutana, bertugas sebagai
hakim yag mengadili perkara-perkara sengketa, pengaduan yang berkaitan
dengan pelanggaran pertanian, maradika ntana bertugas sebagai penguasa dan
pemimpin pertanian secara keseluruhan dan suro sebagai penghubung atau
pesuruh yang bertugas menghubungi anggota-anggota dalam rangka
mensukseskan tugas-tugas dalam bidang pertanian.
Semakin beraneka ragamnya lapangan hidup di semua sektor pedesaan
tidak demikian halnya pada komunitas desa Raranggonau, untuk mendapatkan
sumber hidup, maka kelompok-kelompok petani dan lapangan kerjanya masih
orientasi pada ladang dan pertanian sawah tadah hujan, juga rasa keterikatan
genealogis masih menjadi tali penghubung relasi sosial masyarakat ini.
Dasar geneologis nampaknya kuat sebagai syarat terciptanya hubungan-
hubungan atau interaksi sosial, tanpa dibatasi teritorial tertentu. 11 Suku Kaili
terutama di komunitas desa Raranggonau yang sejak dahulu telah terbuka
dengan dunia luar, perkawinan dengan penduduk pendatang, juga dengan
adanya agen pembaharu seperti LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) juga para
tenaga FDI(Fasilitator Desa Intensif) sebagai tenaga trampil untuk merekrut
warga mengikuti pendidikan luar sekolah melalui kejar Paket A, B dan C, lewat
pendidikan non formal dengan tenaga tutor yang didatangkan dari tutor-tutor
dari Ibukota Propinsi, juga tutor dari wilayah kabupaten Sigi yang memiliki
kemampuan dan paruh waktu turun ke desa.
Hubungan kerjasama antara Komunitas Kaili di desa Raranggonau pada
setiap kegiatan terlihat harmonis dan baik tanpa merasa ada yang lebih di antara
anggota masyarakat. Kalaupun ada perasaan merasa lebih, bukan karena
kesukuan melainkan karena kondisi ekonomi masing-masing warga yang
memiliki lahan perladangan yang lebih luas.
Kondisi sosial ekonomi inilah yang memicu penulis untuk menuangkan
gagasan mengantar pemerhati sosial untuk melihat bagaimana bangunan
Nosarara-Nosabatutu perlu dilestarikan dan dijadikan sebagai tiang penyanggah
keharmonisan di sebuah komunitas untuk kemudian dilestarikan disetiap
generasi untuk menjadi sebuah kearifan lokal.
Nosarara Nosabatutu sebagai ungkapan kata, dalam perbendaharaan sosial
budaya to kaili, dijumpai pada hampir sub dialek bahasa Kaili di Kabupaten
Sigi.Pada sub dialek bahasa to potorai (Tawaeli, Labuan, dan Sindue),kata

10
Bule adalah orang yang ahli memukul gendang dalam berbagai bunyi dan nada yang
memudahkan dan memberikan semangat Topokoro Balia tersebut kemasukan roh halus. Sehingga
mampu melompat-lompat dengan gaya bebas kesana kemari.Hasil wawancara dengan Martinus di desa
Raranggonau pada tanggal 14 Oktober 2009 di desa Raranggonau.
11
Depdikbud, 1985, Upacara Tradisional dalam Kaitannya dengan Peristiwa Alam dan
Kepercayaan Daerah Sulawesi Tengah, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah:
Jakarta,lihat hal.14.
8

ungkapan yang mengandung makna yang sama dengan Nosarara


yaitu :“Nosalara” (rara = lara), dan ungkapan nosabatutu hampir digunakan
pada semua sub dialek to Kaili, termasuk komunitas to Kaili di desa
Raranggonau.
Nosarara terdiri dari dua kata awalan dan kata dasar. ( Nosa = awalan,
rara dan batutu keduanya kata benda. Rara atau lara bermakna majemuk (1)
hati (2) di dalam sebuah ruang tertutup (3) tempat menyimpan sesuatu yang
terbuat dari kain atau sejenisnya, berbentuk kantongan segi empat yang pada
bagian atas diberi tali pengikat (pangguru) seperti tali papuru (celana dalam).
Tali dimasukkan dalam lipatan bagian atas yang memudahkan di buka dan di
tutup dengan cara melepas ikatan.
Tulisan ini mencoba melihat makna dua ungkapan secara terpisah baik
dalam makna denotatif atau makna konotatif. Makna denotatif menunjukkan
makna kata yang sesungguhnya baik kata dasarnya (rara, batutu) maupun kata
awalan (bentukan katanya-nosa). Makna konotatif bisa dilihat dari penggunaan
kata atau dalam konteks sosiologis dan kultural dalam satu komunitas to kaili.12

a. Makna Denotatif
Kata Nosa adalah awalan seperti juga kata nosi. Nosa sebagai awalan
selalu dirangkai dengan kata benda, seperti nosabatutu, nosabanua, nosangapa,
nosalara, nosambanga, nosa (ngg) ura (kura = belanga).
Sebagai awalan kata, nosa juga terangkai dengan kata kerja seperti nosa
(mpa) ngaji, nosampaturu,nosamaturu dan sebagainya.
Awalan kata nosa dalam konteks sosiologis yaitu :nompakasangu
(menunjukkan adanya) (1)unsur kesatuan kelompok/komunitas (2) unsur
kebersamaan dalam berbagai hal/keadaan.
Nosarara (Ledo) juga mengandung banyak makna :1) Nosangurara
(hati), 2) Nosanguraa (darah), 3)Nosampesusu (bersaudara).Kata lara (rai) atau
rara (ledo), mengandung makna lain yang juga digunakan dalam percakapan
sehari-hari. Rara menunjukkan tempat pada bagian dalam (Bagian dalam dari
sesuatu yang yang tertutup) seperti : rarantaiku (dalam hatiku, di dalam
perutku)rara lamari (lemari), rara laci,rarampeti(peti)dan sebagainya.Bisa juga
makna dalam hubungan sosiologis dan kultural seperti “rara ponjambokoa”
raramparuja, rarantalua, raranggayu, rarampangale.Rarapojambokoa
menunjukkan “keadaan dimana seseorang berada di dalam ikatan
perkawinan.”Ri rara pojambokoa, rajagai kedo ante totua”(ketika sedang
berada di dalam ikatan perkawinan, hendaknya menjaga perilaku kepada orang
tua).
Raramparauja (sawah), rarantalua (kebun), rarampangale (hutan
belantara) menunjukkan tempat (area) atau bagian dalam sawah, kebun dan
hutan tersebut.Nosarara (nosalara) dalam bahasa Kaili lebih menunjukkan
makna konotatif daripada denotatif. Nosarara mengandung arti nosanguraa,
nosampesuvu. Nosarara menunjuk pada makna “adanya satu ikatan (hubungan

12
Lihat Makalah yang disampaikan oleh H.Syamsuddin.H.Chalid, Nosarara Nosabatutu,
Disampaikan pada kegiatan Diskusi yang Diselenggarakan FKIP Universitas Tadulako Palu pada
tanggal 28 Maret 2007 di FKIP UNTAD.
9

darah (geneologis) dan atau karena ikatan hubungan perkawinan dalam satu
komunitas to Kaili.
Orang yang tidak dikenal asal usulnya keluarga dan kampungnya dalam
bahasa Kaili dianggap sebagai orang asing. Mereka itu disebut “tona le nisani
unu nuapuna”. Rai Rinjani unu nuapuna (rai).
Ketika to Kaili sudah kawin mawin dengan suku pendatang dan telah
menghasilkan keturunan dan telah menetap tinggal di tanah Kaili, sejak ratus
tahun lalu maka asal usul mereka tidak lagi dipertanyakan. Mereka telah
menjadi bagian dari keluarga komunitas to Kaili. Mereka itu termasuk sarara =
Salara.
Nosa batutu = Nosangu palisa (rai),nosangupomboli,nosanguasala (dari
rahim ibu yang sama).Nosabatutu bisa berarti suatu keluarga (komunitas)
memiliki batutu yang sama (nosangu batutu) dan digunakan sebagai alat
menyimpan “uang”, seperangkat alat khusus, seperti alat penyimpan pomongoa
(alat makan sirih).

b. Makna Konotatif
Ketika ingin mengangkat satu ungkapan menjadi “ ide sosiologis” sebagai
alat perekat persaudaraan, atau komunitas, maka satu ungkapan dapat diberi
makna sosiologis-kultural yang luas, tanpa mengurangi makna asli (yang
sesungguhnya). Nosarara Nosabatutu dapat diberi makna yang lebih dalam,
baik dilihat dari hubungan sosiologis-kultural. Nosarara Nosabatutu dapat
diberi makna yang lebih dalam, baik dilihat dari hubungan sosiologis-kultural.
Nosarara menunjukkan makna ikatan kekeluargaan karena ikatan (hubungan)
darah (geneologis) dan ikatan perkawinan, terutama antar suku (komunitas) to
kaili di desa Raranggonau.
Nosabatutu dapat bermakna bahwa suatu komunitas mempunyai
tempat/wadah menyimpan harta/kekayaan dan peralatan untuk kepentingan
bersama secara bersama-sama menggunakan isi batutu dalam bentuk uang
harta(kekayaan) untuk kepentingan komunitas tersebut.
Secara normatif, to pasabatutu (komunitas yang menggunakan “batutu”
yang sama sebagai tempat menyimpan harta/kekayaan, tidak pernah berani
menyimpan dan memanfaatkan dana dari batutu (pundi-pundi) untuk
kepentingan pribadinya saja.

Toposabatutu memiliki ciri budaya sebagai berikut:

a. Hanya menyimpan (hasil pendapatannya) di dalam batutu bersama


komunitasnya.
b. Hanya mengambil dan memanfaatkan (dana/benda) berharga isi batutu
tersebut untuk kepentingan bersama komunitasnya.
c. Semua anggota komunitas berupaya memiliki saham untuk ditabung dan
dimanfaatkan bersama.
d. Mendapatkan sumber hidup di sini dan hasilnya dipakai membangun di sini.
10

Topesarara mengandung arti :

a. Mempunyai komitmen dan semangat kekeluargaan dan persaudaraan (saling


mengunjungi dan memberi perhatian) seperti nosipanjayo, nositora, nosiayo.
b. Secara sosial psikologis anggota komunitas merasa dalam satu ikatan darah,
ikatan komunitas dan ikatan kepentingan bersama (topasalara-topasabatutu).
c. Komunitas itu memiliki simpati dan empati tinggi, terhadap anggota
komunitasnya, ketika ditimpa musibah dan atau ketika
“mosusa”atau”mosalia”.
d. Siap membela dan berkorban untuk kepentingan bersama, ketika ditimpa
musibah, dengan menyisihkan dana pribadi.
e. Membangun budaya gotong-royong (baik di bidang sosial, ekonomi,
pertanian dan sebagainya (Hasil wawancara dengan Tahwiri Labontina di
desa Sidera).
Bila ciri budaya komunitas toposalara-toposabatutu digunakan sebagai
“jargon” perekat sosial kultural to kaili di desa Raranggonau, maka makna
tersebut dapat diperluas, tanpa kehilangan makna dan ciri khas kandungan
makna kedua ungkapan tersebut.Ungkapan “Kita Pura hii nosarara nosabatutu”
dapat bermakna luas sama seperti jargon persatuan masyarakat Minahasa “ Kita
Samua Basudara”.
Secara terminologi kata nosarara mengandung empat macam komitmen
yang harus ditegakkan, yaitu:

a. Komitmen persaudaraan yang kuat. Artinya bahwa setiap warga masyarakat


harus menjadi keluarga besar sebagai orang-orang yang bersaudara atau
bersatu asal kejadian. Dengan demikian tidak boleh ada rasa atau anggapan
bukan bersaudara antara sesama anggota masyarakat.
b. Komitmen persatuan yang erat.Artinya bahwa setiap warga masyarakat harus
bersatu padu dalam melakukan setiap kegiatan, yang dalam hal ini
diwujudkan dalam sifat gotong-royong seperti nosidondo, nobalibalia,
nokajulu dan sebagainya.
c. Komitmen kebersamaan yang erat.Artinya bahwa setiap warga masyarakat
harus bersama-sama untuk mengatasi segala sesuatu masalah bersama dengan
tidak memandang adanya perbedaan status sosial, pangkat, kedudukan dan
sebagainya. Jadi di sini dilihat hanyalah persamaan, bukan perbedaan.
d. Komitmen kekeluargaan yang utuh.Artinya bahwa setiap warga masyarakat
harus menempatkan dirinya dalam satu ikatan atau kewargaan yang besar
sehingga bila ada seorang warga masyarakat yang ditimpa bencana, maka
seluruh anggota masyarakat harus membantu menyelesaikan masalah yang
dihadapi anggota masyarakat yang bersangkutan.
Selanjutnya kata nosabatutu, secara terminologi mengandung beberapa
komitmen sebagai berikut:
a. Komitmen rasa senasib dan sepenanggungan. Artinya bahwa setiap anggota
masyarakat harus menempatkan dirinya sebagai anggota masyarakat yang
memiliki nasib yang sama sehingga setiap kesulitan seseorang merupakan
kesulitan bagi seluruh anggota masyarakat lainnya. Dengan demikian beban
11

hidup seseorang juga merupakan beban hidup bagi yang lainnya.Dalam hal
ini tentu berkaitan dengan masalah hidup dan kehidupan khususnya dalam
bidang ekonomi.
b. Komitmen menghargai dan memelihara kekayaan yang ada (baik kekayaan
alam/lingkungan maupun kekayaan pribadi. Untuk itu kekayaan yang ada
dalam lingkungan masyarakat desa, kampung, kota, dan sebagainya adalah
kekayaan bersama yang harus dilestarikan dan dipelihara secara bersama-
sama untuk kepentingan bersama pula. Dalam hal ini perlu adanya rasa
memiliki, sehingga tercipta rasa tanggung jawab bersama atas milik
masyarakat.
c. Komitmen kerahasiaan. Artinya bahwa setiap anggota masyarakat memiliki
beban moral kerahasiaan terhadap apa yang menjadi milik bersama maupun
milik pribadi, untuk tidak bukakan rahasia itu kepada orang atau pihak-pihak
lain yang tidak bertanggung jawab.Hal ini berkaitan dengan kerahasiaan
pemerintah, masyarakat maupun individu yang ada dalam lingkungan
masyarakat.Hal ini dimaksudkan untuk menghindari adanya penghianatan.
d. Komitmen kewaspadaan.Artinya bahwa setiap anggota masyarakat harus
waspada terhadap hal-hal yang merugikan masyarakat seperti pencurian,
perampokan, penyalahgunaan hak dan kewajiban.
Delapan komitmen yang dibangun melalui ungkapan nosarara nosabatutu
berkaitan dengan nilai falsafah leluhur untuk membangun suatu peradaban yang
kuat, kebudayaan yang tangguh dalam hal pembentukan karakter (caracter
building) bagi komunitas kaili di desa Raranggonau dan secara keseluruhan di
lembah Kaili.

KESIMPULAN

Terbentuknya komunitas juga ditetapkan berdasarkan ikatan kepentingan,


karena adanya ikatan kesamaan pandangan, kesamaan tujuan, kesamaan
masalah dan kesamaan kebutuhan tanpa memandang asal usul wilayah,
kedudukan sosial ekonomi, jenjang usia dan jenis kelamin. Ikatan relasi sosial
masih terasa begitu kental yang melahirkan rasa kesatuan sosial (komunitas), itu
terjadi karena adanya ikatan darah, perkawinan, tetangga dan karena
kepentingan bersama dalam hubungan kerja seperti dalam pertanian,
pertukangan, perkawinan dan sebagainya. Semua warga merasa dalam suatu
ikatan warga dan satu kesatuan hidup setempat (community).
Komunitas Kaili di desa Raranggonau masih bersifat tradisional, masih
mempercayai adanya kekuatan roh yang berada di luar diri manusia.
Kepercayaan terhadap adanya kekuatan roh itu diwujudkan dalam kegiatan
upacara Balia. Pengobatan Balia dilakukan oleh dukun (bayasa dalam bahasa
Kaili).
12

DAFTAR PUSTAKA

Depdikbud, 1996/1997, Sejarah Daerah Sulawesi Tengah, Direktorat Sejarah


dan Nilai Tradisional Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya
Sulawesi Tengah, Jakarta.Lihat hal.45-46.

-------------, 1985, Upacara Tradisional dalam Kaitannya dengan Peristiwa


Alam dan Kepercayaan Daerah Sulawesi Tengah, Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Kebudayaan Daerah: Jakarta,lihat hal.14.

Esrom Aritonang,et al, 2001, Pendampingan Komunitas Pedesaan, sekretariat


Bina Desa/IndHRRa: Jakarta, hal.40.

Lihat Makalah yang disampaikan oleh H.Syamsuddin.H.Chalid, Nosarara


Nosabatutu, Disampaikan pada kegiatan Diskusi yang Diselenggarakan
FKIP Universitas Tadulako Palu pada tanggal 28 Maret 2007 di FKIP
UNTAD.

Radi A.Gany, Demokratisasi Masyarakat Desa:Dinamika Politik dan


Kelembagaan Politik Desa. Pemberdayaan Ekonomi Desa: http://www.
fppm.org/makalah %20 radi%20gany.htm (online), diakses tanggal
4/2/2004.hal.9.

Redfield, Robert. 1963. The Litle Community, Peasant Society and Culture. The
University of Chicago Press, The University of Toronto Press: Chicago
dan London, Toronto dan Canada.

Soerjono Soekanto, 2003, Sosiologi Suatu Pengantar,PT.RajaGrafindo


Persada:Jakarta, hal.150-151.

Anda mungkin juga menyukai