Oleh:
Dosen Farmasi
Buku petunjuk ini disusun berdasarkan pada materi kuliah Teknologi dan
Formulasi Sediaan Farmasi III dengan mengacu pada referensi mata kuliah
Teknologi dan Formulasi Sediaan Farmasi III. Akhir kata, buku petunjuk
praktikum ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu kritik dan saran masih
dibutuhkan untuk membantu penyempurnaan praktikum ini agar sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan.
Tim Penyusun
1
DAFTAR ISI
PRAKTIKUM I
PRAKTIKUM II
PRAKTIKUM III
PRAKTIKUM IV
PRAKTIKUM V
2
TATA TERTIB PRAKTIKUM
3
praktikum wajib mengganti alat tersebut dengan yang baru dan jenis
yang sama.
9. Praktikan wajib membuat jurnal praktikum (BAB I, II, dan III) dan
laporan praktikum lengkap sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan
10. Praktikan wajib membawa jurnal praktikum sesuai tema yang telah
ditetapkan sebagai syarat mengikuti praktikum. Praktikan yang tidak
mengumpulkan jurnal sementara tidak diperkenankan mengikuti
praktikum
11. Praktikan wajib mengikuti resposi praktikum dan wajib memenuhi
persyaratan untuk mengikuti responsi praktikum yang telah ditetapkan
12. Praktikan yang tidak mengikuti praktikum dua kali nerturut-turut dengan
alasan yang tidak jelas dianggap mengundurkan diri dan wajib mengulang
praktikum di semester selanjutnya
13. Hal-hal yang belum ditetapkan akan diatur lebih lanjut
4
VISI
MISI
5
DESKRIPSI MODUL PRAKTIKUM TEKNOLOGI DAN FORMULASI
SEDIAAN FARMASI III
1. Latar Belakang
Strata Satu Farmasi menjadi salah satu program studi di Fakultas
Ilmu Kesehatan Universitas Ibrahimy Sukorejo-Situbondo, Jawa Timur
yang didirikan pada tahun 2018. Beberapa upaya terus dilakukan oleh
seluruh komponen staf maupun pengajar agar fakultas ilmu kesehatan
Universias Ibrahimy mampu mencetak lulusan yang berkualitas dengan
tetap mempertahankan karakter muslim sebagai khaira ummah. Salah
satunya dengan terus menyesuaikan dan menyempurnakan kurikulum
agar sesuai dengan standar nasional. Hal ini juga terus diupayakan
pada sistem pembelajaran yang diterapkan, baik berupa penyampaian
teori maupun praktikum.
Praktikum merupakan komponen pembelajaran dalam pendidikan
farmasi yang wajib ditempuh oleh setiap calon sarjana farmasi. Hal ini
sejalan dengan yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 44
Tahun 2015 tentang Standar Nasional Perguruan Tinggi. Pasal 13 Ayat
4 dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2015 menyebutkan, salah
satu bentuk pembelajaran yang dapat diterapkan dalam sistem
perkuliahan dapat berupa praktikum maupun praktik lapang. Praktikum
menjadi salah satu hal penting sebagai sarana untuk menerapkan serta
mengaplikasikan teori yang diperoleh secara aktual. Berdasarkan hal
tersebut, dirasa penting untuk melaksanakan praktikum Teknologi dan
Formulasi Sediaan Farmasi III untuk memberikan bekal pengetahuan
analisis simplisia dan macam-macam serbuk simplisia kepada
mahasiswa.
2. Struktur Modul
Mata kuliah Praktikum Teknologi dan Formulasi Sediaan Farmasi
III adalah mata kuliah praktikum yang diperuntukkan bagi mahasiswa
semester V, dimana pada mata kuliah ini akan dibahas tetapan
kromatografi, nilai derajat ionisasi, program komputer Chemoffice
2008, dan analisis HKSA. Pada Praktikum Teknologi dan Formulasi
Sediaan Farmasi III terdapat 5 tema yang akan dilaksanakan, tema
6
tersebut diantaranya:
7
PRAKTIKUM I
STERILISASI ALAT
I. Tujuan
1. Mahasiswa mampu melakukan pencucian alat dengan prosedur yang
benar
2. Mahasiswa mampu melakukan peyiapan untuk proses sterilisasi basah
3. Mahasiswa mampu melakukan sterilisasi panas basah sesuai dengan benar
dan membahas proses sterilisasi yang telah dilakukan
II. Teori
Sterilisasi adalah suatu proses yang menghancurkan semua bentuk kehidupan
mikroba, termasuk spora, pada permukaan benda mati. Prosesnya dapat berupa
pemanasan, pemberian zat kimia, radiasi, atau filtrasi (Gruen demann dan
Fernsebner, 2006). Sterilisasi dalam pengertian medis merupakan suatu proses
dengan metode tertentu dapat memberikan hasil akhir, yaitu suatu bentuk keadaan
yang tidak dapatditunjukkan lagi adanya mikroorganisme hidup (Darmadi, 2008).
A. Macam-macam metode sterilisasi
Cara sterilisasi yang tepat tergantung pada jenis alat dan sifat bahan yang
disterilkan. Macam-macam sterilisasi :
1. Sterilisasi Radiasi
Metode sterilisasi radiasi ini dapat dilakukan dengan beberapa cara , yaitu :
a. Ultraviolet
Ultraviolet merupakan gelombang elektromagnetik dengan panjang
gelombang 100-400 mm dengan efek optimal pada 254 nm. Sumbernya
adalah lampu uap merkuri dengan daya tembus hanya 0,01-0,2 mm.
Ultraviolet digunakan untuk sterilisasi ruangan pada penggunaan aseptik
(Lukas, 2006).
b. Ion
Mekanisme sterilisasi radiasi menggunakan ion mengikuti teori
tumbukan yaitu sinar langsung menghantam pusat kehidupan mikroba
(kromosom) atau secara tidak langsung dengan sinar terlebih dahulu
membentuk molekul dan mengubahnya menjadi bentuk radikatnya yang
8
menyebabkan terjadinya reaksi sekunder pada bagian molekul DNA
mikroba (Lukas, 2006).
c. Gamma
Gamma bersumber dari CO60 dan Cs137 dengan aktivitas sebesar 50-500
kilo curie serta memiliki daya tembus sangat tinggi. Dosis efektifitasnya
adalah 2,5 MRad. Gamma digunakan untuk mensterilkan alat-alat yang
terbuat dari logam, karet serta bahan sintesis seperti polietilen (Lukas,
2006).
2. Sterilisasi mekanik/Filtrasi
9
Sterilisasi alat –alat yang terbuat dari karet atau alay yang sensitif
terhadap pemasanan/kelembapan yaitu dengan menggunakan metode
panas basah. Metode sterilisasi ini memakai alat bernama autoklaf, yang
bekerja dengan tekanan uap. Standar teknis untuk sterilisasi ini adalah
tekanan uap dengan temperatur 1210C selama 15-20 menit. Digunakan
metode sterilisasi panas basah dikarenakan alat-alat yang disterilisasi
dengan panas basah adalah alat-alat yang yang terbuat dari kaca yang
mudah mengembang, alat-alat berbahan kare, serta alat-alat yang
memiliki skala ( Gelas ukur, beker glas, dll). Sehingga jika disterilisasi
dengan metode panas kering secara terus menerus maka skala yang ada
pada alat akan memudar dan hilang (Eddy Efrianto, dkk. 2008).
4. Metode secara kimia
Digunakan pada alat/bahan yang tidak tahan panas atau untuk kondisi aseptis
(Sterilisasi meja kerja dan tangan). Bahan kimia yang dapat digunakan adalah
Alkohol, asam parasetat, formaldehid dll(Indra, 2008).
B. Bahan Kemas Primer
Bahan kemas yang kontak langsung dengan bahan yang dikemas, dinyatakan
sebagai bahan kemas primer, contohnya strip/blister, botol, ampul, vial, plastik
dan lain-lain. Sedangkan pembungkus selanjutnya seperti kotak terlipat karton
dan sebagainya dinamakan bahan kemas sekunder (Voight, 1995).
Ada beberapa pengemas steril antara lain :
1. Ampul
Ampul adalah wadah berbentuk silindris terbuat dari gelas, yang memiliki
ujung runcing (leher) dan bidang dasar datar ukuran normalnya adalah 1,
2, 5, 10, 20, kadang – kadang juga 25 atau 30 ml. Ampul adalah wadah
takaran tunggal, oleh karena total jumlah cairannya ditentukan
pemakainannya untuk satu kali injeksi (Voight, 1995).
2. Vial
Vial adalah salah satu wadah dari bentuk sediaan steril yang umumnya
digunakan pada dosis ganda dan memiliki kapasitas atau volume 0,5-100
ml. Vial dapat berupa takaran tunggal atau ganda. Digunakan untuk
mewadahi serbuk bahan obat, larutan atau suspensi dengan volume
10
sebanyak 5 mL atau lebih besar. Bila diperdagangan, botol ini ditutup
dengan sejenis logam yang dapat dirobek atau ditembus oleh jarum injeksi
untuk menghisap cairan injeksi. (Voight, 1995).
3. Botol infus, keduanya merupakan wadah takaran tunggal ataupun takaran
ganda.
4. Disposable syringe.
11
d. Fleksibel
e. Ada yang bersifat transparan
f. Mudah dihancurkan dengan incenerasi
g. Dapat disterisasikan dengan autoclave
Sedangkan kerugiannya antaralain :
a. Titik lebur rendah, hal ini berpengaruh pada sterilisasi.
b. Dapat ditembus oksigen dan uap air, berpengaruh pada isinya dan bisa
menyebabkan oksidasi.
c. Ada beberapa zat yang dapat diadsobsi oleh plastik, seperti insulin, zat
pengawet dll.
d. Ada beberapa plastik yang dapat meleleh pada proses incenerasi.
3. Karet
12
tidak digunakan pada pencucian aluminium karena bersifat asam
sehingga dapat merusak logam aluminium dan menyebabkan korosif.
b. Tepol 1% bersifat sebagai detergen yang bebas asam stearat. Merupakan
surfaktan yang mempunyai gugus lipofil dan gugus hidrofil. Gugus
lipofil akan mengikat lemak sedangkan gugus hidrofil akan tertarik oleh
aqaudest pada proses pencucian.
c. Na2CO3 membersihkan kotoran lemak. Berfungsi sebagai detergen dan
buffer padapH diatas 8,4.
d. Etanol 70% digunakan untuk membersihkan karet karena karet
mempunyai pori pori yang terdapat partikel asing.
e. Campuran etanol:air (1:1) bersifat semipolar sehingga bisa melarutkan
kotoran-kotoran yang bersifat lipofil dan hidrofil sehingga mudah
terbawa ketika dibilas.
13
16 Botoltetesmata 2 Autoklaf - 121oC 30 menit
17 Botol talk 2 Oven – 180oC 30 menit
18 Vial 4 Oven – 180oC 30 menit
2. Persiapan Bahan
1) Alkali
2) Detergen
3) Purified water
4) Aqua demineralisasi yang disaring
5) Non – pyrogen water
6) Air untuk injeksi ( water for injection )
7) HCl encer
8) Aquadest
9) Larutan tepol 1%
10) Larutan Na2CO3 0.5%
11) HCl 2%
12) Etanol 70%
14
3) Didihkan alat alumunium dengan air selama 15 menit,
kemudian dibilas
4) Didihkan kembali dengan aquades selama 15 menit kemudian
dibilas dengan aquades sebanyak 3 kali.
c. Pencucian Karet
Alat-alat yang berbahan karet antara lain: karet pipet tetes, tutup
vial, tutup botol karet, botol tetes, karet botol infus.
1) Alat yang berbahan karet direndam dalam HCl 2% selama 15
menit
2) Kemudian direndam dalam larutan Tepol 1% dan Na2CO3
0.5% dan didihkan selama 1 hari (Ulangi prosedur perendaman
dan ad larutan tetap jernih maksimal 3 kali)
3) Alat berbahan karet kemudian direndam dengan aquadest dan
dididihkan selama 30 menit
4) Rendam dengan etanol 70%, bilas dan ulangi sampai larutan
jernih
d. Pengeringan Alat
1) Alat yang telah dicuci dikeringkan menggunakan oven 100 –
105oC selama 10 menit, dalam keadaan terbalik dan dibungkus
2) Menutup rapat oven atau alat ditutup dengan kertas yang
terbungkus uap air untuk menghindari debu selama
pengeringan berlangsung
e. Pembungkusan Alat
1) Alat-alat yang kering (Beaker glass, erlenmeyer, gelas ukur)
dibungkus dengan cara ditutup kertas perkamen lalu diikat
dengan tali
2) Alat berupa ampul ditutup menggunakan alumunium foil
3) Membungkus tiap alat dalam kantung rangkap dua
15
Contoh cara membungkus objek sterilisasi:
16
PRAKTIKUM II
PEMBUATAN TALK STERIL
I. Tujuan
1. Mahasiswa mampu menyusun formula talk steril
2. Mahasiswa mampu mengkaji dan melakukan persiapan proses sterilisasi
panas kering
3. Mahasiswa mampu membuat sediaan talk steril dan melakukan
sterilisasi panas kering dengan benar
II. Teori
Produk steril yang banyak diproduksi di industri farmasi adalah dalam
bentuk larutan terbagi (ampul) dan bentuk serbuk padat siap untuk digunakan
dengan diencerkan terlebih dahulu dengan larutan pembawa (vial). Sediaan
parental, bisa diberikan dengan berbagai rute: intra vena (i.v), sub cutan (s.c),
intradermal, intramuskular (i.m), intra articular, dan intrathecal. Bentuk sediaan
sangat mempengaruhi cara (rute) pemberian. Sediaan bentuk suspensi, misalnya
tidak akan pernah diberikan secara intravena yang langsung masuk ke dalam
pembuluh darah karena adanya bahaya hambatan kapiler dari partikel yang
tidak larut, meskipun suspensi yang dibuat telah diberikan dengan ukuran
partikel dari fase dispersi yang dikontrol dengan hati – hati. Demikian pula obat
yang diberikan secara intraspinal (jaringan syaraf di otak), hanya bisa diberikan
dengan larutan dengan kemurnian paling tinggi, oleh karena sensivitas jaringan
syaraf terhadap iritasi dan kontaminasi (Priyambodo, B., 2007).
Talk mengandung sedikit alumunium silikat yang merupakan bahan
alam yang terkadang mengandung beberapa mikroba seperti Chlostridium
welchii, Chlostridium tetani, dan Bacillus antrachis. Menurut Martindale, talk
steril memilki beberapa fungsi anatara lain sclerosant setelah terjadi drainase
ganas pada efusi pleura dan pneumotoraks spontan berulang. Mekanisme aksi
terapetik talk yang dimasukkan kedalam rongga pleura diduga dapat
mengurangi reaksi inflamasi dengan meningkatkan kerja pleura, mengurangi
celah yang ada dalam pleura dan menghindari reakumulasi cairan pleura. Selain
itu, talk untuk efusi pleura bekerja dengan mengeluarkan udara, darah atau
17
cairan lain dalam paru-paru, mengembangkan paru-paru dan mencegah cairan
atau udara kembali kedalam paru-paru. Talk memiliki ukuran partikel yang
kecil sehingga mudah terpenetrasi kedalam rongga pleura dan menghasilkan
onset yang cepat (Amin, et al, 2007).
V. Cara Kerja
1. Dibuka pembungkus alat bagian luar yang telah steril di ruang kelas 3.
2. Disemprot pembungkus pertama dengan alkohol pada ruang kelas 2.
3. Dibuka pembungkus pertama dan meletakan kaca arloji pada timbangan
analitik digital.
4. Ditimbang 10 gram talk dengan spatula yang telah steril.
5. Dimasukan talk pada wadah dan ditutup wadah.
6. Diulangi menimbang ,dimasukan ke dalam wadah, dan ditutup wadah.
7. Disterilisasi sediaan dalam oven dengan suhu 1800C selama 20 menit.
18
LEMBAR HASIL PERCOBAAN
19
B. Kemasan Sekunder
C. Brosur
20
PRAKTIKUM III
I. Tujuan
1. Mahasiswa mampu menyusun formula sediaan suspensi steril
2. Mahasiswa mampu menyusun dan melakukan prosedur kerja aseptis
dengan benar
3. Mahasiswa mampu melakukan pengolahan data, menganalisis dan
membahas masalah dalam pembuatan sediaan
II. Teori
Suspensi farmasi adalah dispersi kasar, dimana partikel padat yang tak larut
terdispersi dalam medium cair. Partikelnya mempunyai diameter yang sebagian
besar lebih dari 0,1 mikron. Beberapa partikel terlihat dibawah mikroskop
menunjukan gerakan Brown bila dispersinya mempunyai viskositas yang rendah,
(Anief, 2000).
Suspensi dapat dibuat dengan cara :
1. Metode dispersi
2. Metode presipitasi dan ada 3 macam :
a. Presipitasi dengan pelarut organik
b. Presipitasi dengan perubahan pH dari media
c. Presipitasi dengan dekomposisi rangkap, (Voight, 1994).
Suspensi obat suntik harus steril, mudah disuntikan dan tidak menyumbat
jarum suntik. Suspensi obat mata harus steril dan zat yang terdispersi harus sangat
halus, bila untuk dosis ganda harus mengandung bakterisida. Pada etiket harus
tertera kocok dahulu dan disimpan dalam wadah tertutup baik dan disimpan
ditempat sejuk, (Anief, 1997).
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk
yang harus dilarutkan atau disespensikan lebih dahulu sebelum digunakan, yang
disuntikan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau
selput lendir. Injeksi diracik dengan melarutkan, mengelmusikan atau
mensuspensikan sejumlah obat dalam sejumlah pelarut atau dengan mengisikan
sejumlah obat ke dalam wadah dosis tunggal atau wadah dosis ganda. Suatu kerja
21
optimal dan tersatukan dari larutan obat yang diberikan secara parenteral
kemudian hanya diberikan jika persyaratan berikut terpenuhi :
1. Penyesuaian dari kandungan bahan obat yang dinyatakan dan nyata-nyata
terdapat, tidak ada penurunan kerja selama penyimpanan melalui perusakan
secara kimia dari obat dan sebagainya.
2. Penggunaan wadah yang cocok, yang tidak hanya menginginkan suatu
pengambilan steril, melainkan juga menolak antaraksi antara beban obat dan
materi dinding. Tersatukan tanpa reaksi. Untukitu yang
bertanggungjawabterutamabebaskuman, bebaspirogen, bahanpelarut yang
netralsecarafisiologis, isotoni,isohidri, bebasbahanterapung, (Depkes,1979).
Suspensi untuk injeksi terkontitusi adalah sediaan padat kering dengan bahan
pembawa yang sesuai untuk membentuk larutan yang memenuhi semua
persyaratan untuk suspensi.Steril setelah penambahan bahan yang sesuai.
Keuntungan dari suspensi Parental :
• Hal ini lebih baik untuk penggunaan terapi obat yang tidak larut dalam
pelarut konvensi.
• Dalam dosis ini dari terjadi peningkatan resistensi terhadap hidrolisis &
oksidasi sebagai obat hadir dalam padat dari.
• Formulasi obat yang dilepaskan dikendalikan mungkin dalam bentuk
sediaan ini.
• Ada penghapusan hati first fast effect.
Kekurangan dari suspensi Parental :
• Kesulitan dalam formulasi: parenteral suspensi membatasi perumus
dalam memilih bahan-bahan, yang parenteral diterima sebagai
pensuspensi, viskositas merangsang agen, membasahi agen, stabilisator
dan pengawet.
• Kesulitan dalam pembuatan: fasilitas khusus diperlukan untuk menjaga
kondisi aseptik untuk proses manufaktur seperti: kristalisasi,
pengurangan ukuran partikel, pembasahan, sterilisasi Stabilisasi suspensi
untuk periode antara pembuatan & menggunakan hadir sejumlah
masalah. misalnya padatan secara bertahap menetap & Mei kue,
menyebabkan kesulitan dalam redispersion sebelum digunakan.
22
Pemeliharaan stabilitas fisik sangat sulit dalam bentuk sediaan ini.
Mungkin ada kemungkinan non-keseragaman dosis pada saat
administrasi.
Suspensi parenteral dikembangkan karena alasan berikut : Obat-obatan, yang
tidak larut dan sulit untuk dirumuskan sebagai solusi. Untuk obat yang lebih stabil
ketika ditangguhkan dari dalam bentuk larutan. Ketika ada kebutuhan untuk
mengembangkan bentuk sediaan memiliki rilis terbelakang atau dikendalikan
obat.
23
LEMBAR HASIL PRAKTIKUM
1.2 Indikasi
1.3 Kontraindikasi
1.6 Dosis
1.7 Penyimpanan
24
II. PRAFORMULASI
2.1 Tinjauan Bahan
1. Tinjauan Bahan Aktif (Hidrokortison)
2. Dosis
3. Cara Pemakaian
25
III. FORMULASI
3.1 Formulasi Baku/Standar
(Boleh menggunakan lebih dari 1 formula baku dan sertakan sumbernya)
3.3 Permasalahan
3.4 Solusi
3.5 Perhitungan
26
3.6 Penimbangan Bahan
Penimbangan
No Bahan Fungsi
sediaan (±10%)
1
2
3
4
5
dst
4.2 Bahan
27
V. EVALUASI SEDIAAN
5.1 Uji Organoleptis
5.2 Uji pH
28
PRAKTIKUM IV
PEBUATAN INFUS KCl 0,38%
I. Tujuan
1. Mahasiswa mampu menyusun formula sediaan infus KCl
2. Mahasiswa mampu menyusun dan melakukan prosedur kerja
untuk membuat sediaan infus steril sesuai dengan CPOB
3. Mahasiswa mampu melakukan pengolahan data, menganalisis dan
membahas masalah dalam pembuatan sediaan infus steril KCl
II. Teori
Menurut Farmakope Indonesia edisi III Hal. 12 Menurut FI Edisi III halaman
12, infus intravenous adalah sediaan steril berupa larutan atau emulsi, bebas
pirogen dan sedapat mungkin dibuat isotonis terhadap darah, disuntikkan
langsung ke dalam vena, dengan volume relatife banyak. Kecuali dinyatakan lain,
infus intravenous tidak diperbolehkan mengandung bakteriasida dan zat dapar.
Larutan untuk infus intravenous harus jernih dan praktis bebas partikel.
Menurut Farmakope Indonesia edisi IV Hal. 10 Pengertian infus adalah
sediaan parenteral volume besar merupakan sediaan cair steril yang mengandung
obat yang dikemas dalam wadah 100 ml atau lebih dan ditujukan untuk manusia.
Infus adalah larutan injeksi dosis tunggal untuk intravena dan dikemas dalam
wadah lebih dari 100 ml.
Menurut Ansel halaman 448 Larutan sediaan parenteral volume besar
digunakan dalam terapi pemeliharaan untuk pasien-pasien yang akan atau sudah
dioperasi, atau untuk penderita yang tidk sadar dan tidak dapat menerima cairan,
elektrolit dan nutrisi lewat mulut. Larutan-larutan ini dapat juga diberikan dalam
terapi pengganti pada penderita yang mengalami kehilangan banyak cairan dan
elektrolit yang beat.
Menurut Moh. Anief, Infus adalah larutan dalam jumlah besar terhitung
mulai dari 100 mL yang diberikan melalui intravena tetes demi tetes dengan
bantuan peralatan yang cocok. Asupan air dan elektrolit dapat terjadi melalui
makanan dan minuman dan dikeluarkan dalam jumlah relatif sama. Ketika terjadi
29
gangguan hemostatif, maka tubuh harus segera mendapatkan terapi untuk
mengembalikan air dan elektrolit.
Dalam pembuatan infus atau cairan intravena dikemas dalam bentuk dosis
tunggal dalam wadah plastik atau gelas, steril, bebas pirogen serta bebas partikel-
partikel lain. Oleh karena volume yang besar, pengawet tidak pernah digunakan
dalam infus intravena biasanya mengandung zat-zat amino, dekstrosa, elektrolit
dan vitamin. Walaupun cairan infus intravena yang diinginkan adalah larutan
yang isotonis untuk menetralisir trauma pada pembuluh darah. Namun cairan
Hipotonis maupun Hipertonis dapat digunakan untuk meminimalisir pembuluh
darah, larutan hipertonis diberikan dalam kecepatan yang lambat. (Anief, 1993).
Infus merupakan sediaan steril, berupa larutan atau emulsi dengan air sebagai
fase kontinu; biasanya dibuat isotonis dengan darah. Prinsipnya infus
dimaksudkan untuk pemberian dalam volume yang besar. Infus tidak
mengandung tambahan berupa pengawet antimikroba.Larutan untuk infus,
diperiksa secara visible pada kondisi yang sesuai, adalah jernih dan praktis bebas
partikel-partikel. Emulsi pada infus tidak menujukkan adanya pemisahan fase.
(British Pharmaceutical 2001,1804)
Keuntungan pemberian secara intravena:
1. Dapat digunakan untuk pemberian obat agar bekerja cepat, seperti pada
keadaan gawat.
2. Dapat digunakan untuk penderita yang tidak dapat diajak bekerja sama
dengan baik, tidak sadar, tidak dapat atau tidak tahan menerima
pengobatan melalui oral.
3. Penyerapan dan absorbsi dapat diatur.
30
LEMBAR HASIL PRAKTIKUM
1.2 Indikasi
1.3 Kontraindikasi
1.6 Dosis
1.7 Penyimpanan
31
II. PRAFORMULASI
2.1 Tinjauan Bahan
1. Tinjauan Bahan Aktif (KCl)
2. Dosis
3. Cara Pemakaian
32
III. FORMULASI
3.1 Formulasi Baku/Standar
(Boleh menggunakan lebih dari 1 formula baku dan sertakan sumbernya)
3.3 Permasalahan
3.4 Solusi
3.5 Perhitungan
33
3.6 Penimbangan Bahan
Penimbangan
No Bahan Fungsi
sediaan (±10%)
1
2
3
4
5
dst
4.2 Bahan
34
V. EVALUASI SEDIAAN
5.1 Uji Organoleptis
5.2 Uji pH
35
PRAKTIKUM V
PEMBUATAN TETES MATA KLORAMFENIKOL 0,5%
I. Tujuan
1. Mahasiswa mampu menyusun formula sediaan tetes mata kloramfenikol
2. Mahasiswa mampu menyusun dan melakukan prosedur kerja pembuatan
sediaan tets mata kloramfenikol sesuai CPOB
3. Mahasiswa mampu melakukan pengolahan data, menganalisis dan
membahas permasalahan dalam pembuatan sediaan tetes mata
kloramfenikol
II. Teori
Larutan obat mata adalah larutan steril, bebas partikel asing, merupakan
sediaan yang dibuat dan dikemas sedemikian rupa hingga sesuai digunakan pada
mata (Anonim, 1995). Sedangkan menurut Ansel, tetes mata adalah cairan steril
atau larutan berminyak atau suspensi yang ditujukan untuk dimasukkan ke dalam
saccus conjungtival. Mereka dapat mengandung bahan-bahan antimikroba seperti
antibiotik, bahan antiinflamasi seperti kortikosteroid, obat miotik seperti
fisostigmin sulfat atau obat midriatik seperti atropin sulfat (Ansel, 1989).
Pembuatan tetes mata pada dasarnya dilakukan pada kondisi kerja aseptik
dimana penggunaan air yang sempurna serta material wadah dan penutup yang
diproses dulu dengan anti bakterial menjadi sangat penting artinya (Voight,
1995). Tetes mata kloramfenikol adalah larutan steril kloramfenikol.
Mengandung kloramfenikol, C11H12Cl2N2O5, tidak kurang dari 90,0% dan tidak
lebih dari 130,0% dar jumlah yang tertera pada etiket (Anonim, 1995).
Faktor-faktor dibawah ini sangat penting dalam sediaan larutan mata:
1. Ketelitian dan kebersihan dalam penyiapan larutan;
2. Sterilitas akhir dari collyrium dan kehadiran bahan antimikroba yang
efektif untuk menghambat pertumbuhan dari banyak mikroorganisme
selama penggunaan dari sediaan;
3. Isotonisitas dari larutan; pH yang pantas dalam pembawa untuk
menghasilkan stabilitas yang optimum. (Akbar, 2010)
36
Sediaan untuk mata terdiri dari bermacan-macam tipe produk yang berbeda.
Sediaan ini bisa berupa larutan (tetes mata/pencuci mata), suspensi atau salep.
Kadang-kadang injeksi mata digunakan dalam kasus khusus. Sediaan mata sama
dengan sediaan steril lainnya yaitu harus steril dan bebas dari bahan partikulat.
Dengan pengecualian jumlah tertentu dari injeksi mata, sediaan untuk mata
adalah bentuk sediaan topikal yang digunakan untuk efek lokal dan karena itu
tidak perlu untuk bebas pirogen. Syarat-syarat harus dipertimbangkan dalam
pembuatan dan kontrol terhadap produk optalmik yaitu sterilitas pengawet,
kejernihan bahan aktif, buffer viskositas, pH stabilitas, dan isotonisitas.
Keuntungan sediaan tetes mata antara lain secara umum larutan berair lebih
stabil daripada salep dan tidak menganggu penglihatan ketika digunakan.
Sedangkan kerugian sediaan tetes mata yaitu waktu kontak yang relatif singkat
antara obat dan permukaan yang terabsorsi.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan tetes mata yaitu:
1. Cuci tangan
2. Dengan satu tangan, tarik perlahan-lahan kelopak mata bagian bawah
3. Jika penetesnya terpisah, tekan bola karetnya sekali ketika penetes
dimasukkan ke dalam botol untuk membawa larutan ke dalam penetes.
4. Tempatkan penetes di atas mata, teteskan obat ke dalam kelopak mata
bagian bawah sambil melihat ke atas jangan menyentuhkan penetes pada
mata atau jari.
5. Lepaskan kelopak mata, coba untuk menjaga mata tetap terbuka dan
jangan berkedip paling kurang 30 detik
6. Jika penetesnya terpisah, tempatkan kembali pada botol dan tutup rapat
7. Jika penetesnya terpisah, selalu tempatkan penetes dengan ujung
menghadap ke bawah
8. Jangan pernah menyentuhkan penetes denga permukaan apapun
9. Jangan mencuci penetes
10. Ketika penetes diletakkan diatas botol, hindari kontaminasi pada tutup
ketika dipindahkan
37
11. Ketika penetes adalah permanen dalam botol, ketika dihasilkan oleh
industri farmasi untuk farmasis, peraturan yang sama digunkahn
menghindari kontaminasi
12. Jangan pernah menggunakan tetes mata yang telah mengalami perubahan
warna
13. Jika anda mempunyai lebih dari satu botol dari tetes yang sama, buka
hanya satu botol saja
14. Jika menggunakan lebih dari satu jenis tetes pada waktu yang sama,
tunggu beberapa menit sebelum menggunakan tetes mata yang lain
15. Sangat membantu penggunaan obat dengan latihan memakai obat di
depan cermin
16. Setelah penggunaan tetes mata jangan menutup mata terlalu rapat dan
tidak berkedip lebih sering dari biasanya karena dapat menghilangkan
obat tempat kerjanya.
Sebagian besar zat aktif yang digunakan untuk sediaan mata bersifat larut air,
basa lemah atau dipilih bentuk garamnya yang larut air. Sifat-sifat fisikokimia
yang harus diperhatikan dalam memilih garam untuk formulasi larutan optalmik
yaitu:
1. Kelarutan
2. Stabilitas
3. pH stabilitas dan kapasitas dapar
4. Kompatibilitas dengan bahan lain dalam formula. Bentuk garam yang biasa
digunakan adalah garam hidroklorida, sulfat, dan nitrat. Sedangkan untuk zat
aktif yang berupa asam lemah, biasanya digunakan garam natrium
Larutan obat mata dapat dikemas dalam wadah takaran ganda bila digunakan
secara perorangan pada pasien dan bila tidak terdapat kerusakan pada permukaan
mata. Wadah larutan obat mata harus tertutup rapat dan disegel untuk menjamin
sterilitas pada pemakaian pertama. Sedangkan untuk penggunaan pembedahan,
disamping steril, larutan obat mata tidak boleh mengandung antibakteri karena
dapat mengiritasi jaringan mata.
38
LEMBAR HASIL PRAKTIKUM
1.9 Indikasi
1.10 Kontraindikasi
1.13 Dosis
1.14 Penyimpanan
39
VIII. PRAFORMULASI
8.1 Tinjauan Bahan
3. Tinjauan Bahan Aktif (Kloramfenikol)
5. Dosis
6. Cara Pemakaian
40
IX. FORMULASI
9.1 Formulasi Baku/Standar
(Boleh menggunakan lebih dari 1 formula baku dan sertakan sumbernya)
9.3 Permasalahan
9.4 Solusi
9.5 Perhitungan
41
9.6 Penimbangan Bahan
Penimbangan
No Bahan Fungsi
sediaan (±10%)
1
2
3
4
5
dst
10.2 Bahan
42
XI. EVALUASI SEDIAAN
11.1 Uji Organoleptis
11.2 Uji pH
43
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, K. 2010. Sterilisasi Tetes Mata. (cited 2011, April 9). Available at :
http://www.m2pc.web.id/2010/06/sterilisasi-tetes-mata.html
American Pharmaceutical Association. 2006. Handbook of Pharmaceutical
Excipients, 5th edition. London : The Pharmaceutical Press.
Amin, dan Masna. 2007. Indikasi dan Prosedur Pleurodesis. Majalah Kedokteran
Indonesia. Vol. 57
Amin. Zulfakmi dan Masna. Ina. 2007. Indikasi dan Prosedur Pleurodesis.
Volume 57, No. 4.
Anief,Moh. 2006. Ilmu Meracik Obat:Teori dan Praktik. Gadjah Mada University
Press: Yogyakarta
Anonym. 2006. Sterile talc powder. Woburn : Bryan corporation.
Ansel, H. C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, edisi keempat. Jakarta :
UI Press.
Ansel, Howard C. 2008. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Edisi Keempat. UI-
Press: Jakarta
Ansel, Howard C., et al. Bentuk Sediaan Farmasetis & Sistem Penghantaran
Obat Edisi 9. Penerbit Buku Kedokteran, 2013.
Aulton Michael E, Taylor Kevin M.G, 2013. Aulton's Pharmaceutics: The Design
and Manufacture of Medicines. Elsevier Healt Science
Bolet, A. J. 1956. The Intrinsic Viscosity of Synovial Fluid Hyaluronic Acid.
Journal of Laboratory and Clinical Medicne, 48, 721.
Boylan, James C. 2003. Handbook of Pharmaceutical Excipients.Washington
Dan, S., Ganan, E.N.N.I., Lucky, D., & Mp, P. 2015. Bio. Unsoed.Ac.Id.
Darmadi. 2008. Infeksi Nosokomial Problematika dan Pengendaliannya.
SalembaMedika. Jakarta
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia, edis IV.
Jakarta : Departemen Kesehaan RI.
Department of Pharmaceutical Sciences. 1982. Martindale the Extra
Pharmacopoeia, twenty eight edition. London : The pharmaceutical Press.
44
Durgin, Sr. Jane dan Zachary Hanan. 2004.Delmar Learning's Pharmacy Practice
for Technicians.3rdedition. New York: Delmar Learning
Eddy Efrianto, dkk. 2018. Pengawasan Mutu Bahan/Produk Pangan Jilid 2.
Jakarta: Penerbit Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Edwards, Jo, ed. 2000. Normal Joint Structure. Notes on Rheumatology.
University College London. Archived.
Hadioetomo, R. S..1985. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek. PT. Jakarta :
Gramedia.
Hui, Alexander et al. 2012. A Systems Biology Approach to Synovial Joint
Lubrication in Health, Injury, and Disease. Systems Biology and Medicine.
Wiley Interdisciplinary Reviews 4 (1): 15–7.
Indra. 2018 Mikrobiologi dan Prasitologi I. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Jay et al. 2000. Lubricin is A Product of Megakaryocyte Stimulating Factor Gene
Expression by Human Synovial Fibroblasts. J Rheumatol. 27 (3): 594–600.
Jebens, H. E, dan Jones. 1959. On The Viscosity and pH of Synovial Fluid and
The pH of Blood. Batersea General Hospital and Royal Fre Hospital Schol
of Medicne. 388-400 7.
Katzung, B. G. 2004. Farmakologi Dasar Dan Klinik. Jakarta: Salemba Medika
Khairani, L.. 2012. Management Gangrene Fournier. Nusa Tenggara Barat:
Fakultas KedokteranUniversitas Mataram.
Lachman, L, et al. Teori dan Praktek Farmasi Industri. Jilid 3. Jakarta: UI Press.
Lukas, Stefanus. 2006. FormulasiSteril. Yogyakarta :Andi.
Lund, W. 1994. The Pharmaceutical Codex, Twelfth Edition. London : PhP
McEvoy, G. K. 2002. AHFS Drug Information. USA : American Society of
Health System Pharmcists.
Niazi. 2004. Hand book of Pharmaceutical Manufacturing Formulations Sterile
Products Volume 4.Washington DC: CRC Press
Priyambodo, B..2007. Manajemen Farmasi Industri. Yogyakarta: Global Pustaka
Utama,
Reynold, James EF. 1982. Martindal The Extra Pharmacopoeia 28.
Pharmaceutical press: London
45
Rgmaisyah. 2009. Tetes mata. (cited 2011, April 9). Available at :
http://rgmaisyah.wordpress.com/2009/06/06/tetes-mata/
Rowe J, Raymond. Sheskey J, Paul. Quinin E, Marian. 1986. Handbook of
Pharmaceutical Excipients. London
Sundblad, L. 1953. Studies on Hyaluronic Acid in Synovial Fluids. Acta Societais
Medicorum Upsaliensi, 58, 13.
Swidarmoko, Boedi. 2010. Pulmonologi Intervensi Gawat Darurat Napas.
Jakarta : Fakultas Kedokteran UI
Teller MN, Brown GB. 1977.Carcinogenicity of carboxymethylcellulose in rats.
Proc Am Assoc Cancer Res; 18: 225
Tjay, T. H. dan Rahardja K. 2008. Obat-Obat Penting. Jakarta : Elex Media
Komputindo
Tortora G. J., Derrickson B. 2009. Principles of Anatomy and Physiology. 12th
ed. John Wiley & Sons
Voigt, R., 1995, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Warman M. 2003. Delineating Biologic Pathways Involved in Skeletal Growth
and Homeostasis Through The Study of Rare Mendelian Diseases that
Affect Bones and Joints. Arthritis Research & Therapy. 5 (Suppl 3): S2
Wattimena, J.R., Gwan, Tan Siang. 1968. Dasar-dasar Pembuatan dan Resep-
resep Obat Suntik I. Tarate: Bandung
Yuliarti, Nurheti. 2010. Kultur Jaringan Tanaman Skala Rumah Tangga.
Yogyakarta : Andi Press.
46