Anda di halaman 1dari 26

A.

Kedudukan Diagnostik Kesulitan Belajar dalam Belajar

Kesulitan belajar yang dialami individu atau siswa yang belajar dapat diidentifikasi
melalui faktor-faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar. Faktor-faktor kesulitan
belajar yang berasal dari dalam diri siswa sangat terkait dengan kondisi-kondisi fisiologis dan
psikologisnya ketika belajar sedangkan faktorfaktor kesulitan belajar yang berasal dari luar diri
siswa banyak yang bersumber pada kurangnya fasilitas, sebagai salah satu faktor penunjang
keberhasilan aktivitas atau perbuatan belajar. Ketidakberhasilan dalam proses belajar mengajar
untuk mencapai suatu ketuntasan materi tidak dapat dilihat hanya pada satu faktor saja, akan
tetapi banyak faktor yang terlibat dan mempengaruhi dalam proses belajar mengajar. Faktor yang
dapat dipersoalkan adalah: siswa yang belajar, jenis kesulitan yang dihadapi dan kegiatan-
kegiatan dalam proses belajar. Jadi, yang terpenting dalam kegiatan proses diagnosis kesulitan
belajar adalah menemukan letak kesulitan belajar dan jenis kesulitan belajar yang dihadapi siswa
agar pengajaran perbaikan (learning corrective) yang dilakukan dapat dilaksanakan secara efektif
dan efisien. Proses belajar merupakan hal yang kompleks, di mana siswa sendiri yang
menentukan terjadi atau tidak terjadinya aktivitas atau perbuatan belajar. Dalam kegiatan-
kegiatan belajarnya, siswa menghadapi masalah-masalah secara intern dan ekstern. Jika siswa
tidak dapat mengatasi masalahnya, maka siswa tidak dapat belajar dengan baik.

Dimyati dan Mudjiono (1994 : 228 – 235) mengatakan: Faktor-faktor intern yang dialami dan
dihayati oleh siswa yang berpengaruh pada proses belajar adalah sebagai berikut:

1. Sikap terhadap belajar

2. Motivasi belajar

3. Konsentrasi belajar

4. Mengolah bahan belajar

5. Menyimpan perolehan hasil belajar

6. Menggali hasil belajar yang tersimpan

7. Kemampuan berprestasi atau unjuk hasil kerja

8. Rasa percaya diri siswa


9. Inteligensi dan keberhasilan belajar

10. Kebiasaan belajar

11. Cita-cita siswa.

Selanjutnya, berdasarkan faktor-faktor ekstern ditinjau dari siswa, ditemukan beberapa


faktor yang berpengaruh pada aktivitas belajar. Dimyati dan Mudjiono, (1994) menyebutkan
faktor-faktor tersebut, sebagai berikut:

1. Guru sebagai pembina siswa belajar

2. Prasarana dan sarana pembelajaran

3. Kebijakan penilaian

4. Lingkungan sosial siswa di sekolah

5. Kurikulum sekolah.

Dalam Buku II Modul Diagnostik Kesulitan Belajar dan Pengajaran Remedial,


Depdikbud Universitas Terbuka (1985) menjelaskan: Bila telah ditemukan bahwa sejumlah
siswa tidak memenuhi kriteria persyaratan ketuntasan materi yang ditetapkan, maka kegiatan
diagnosis terutama harus ditujukan kepada:

1. Bakat yang dimiliki siswa yang berbeda antara satu dari yang lainnya,

2. Ketekunan dan tingkat usaha yang dilakukan siswa dalam menguasai bahan yang dipelajarinya

3. Waktu yang tersedia untuk menguasai ruang lingkup tertentu sesuai dengan bakat siswa yang
sifatnya individual dan usaha yang dilakukannya

4. Kualitas pengajaran yang tersedia yang dapat sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan serta
karakteristik individu

5. Kemampuan siswa untuk memahami tugas-tugas belajarnya

6. Tingkat dari jenis kesulitan yang diderita siswa sehingga dapat ditentukan perbaikannya apa
dengan cukup mengulang dengan cara yang sama mengambil alternatif kegiatan lain melalui
pengajaran remedial.
Jadi, proses diagnosis kesulitan belajar adalah menemukan kesulitan belajar siswa dan
menentukan kemungkinan cara mengatasinya dengan memperhitungkan faktor-faktor yang
mempengaruhi keberhasilan kegiatan belajar.

B. Pengertian Kesulitan Belajar

Pada umumnya, “kesulitan belajar” merupakan suatu kondisi tertentu yang ditandai
dengan adanya hambatan-hambatan dalam kegiatan mencapai suatu tujuan, sehingga
memerlukan usaha yang lebih keras untuk dapat mengatasinya. Prayitno, dalam buku Bahan
Pelatihan Bimbingan dan Konseling (Dari “Pola Tidak Jelas ke Pola Tujuh Belas”) Materi
Layanan Pembelajaran, Depdikbud (1995/1996:1-2) menjelaskan: Kesulitan belajar dapat
diartikan sebagai suatu kondisi dalam proses belajar mengajar yang ditandai dengan adanya
hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar yang optimal. Hambatan-hambatan
tersebut mungkin dirasakan atau mungkin tidak dirasakan oleh siswa yang bersangkutan. Jenis
hambatan ini dapat bersifat psikologis, sosiologis dan fisiologis dalam keseluruhan proses belajar
mengajar.

Dapat dikatakan bahwa siswa yang mengalami kesulitan belajar akan mengalami
hambatan dalam proses mencapai hasil belajarnya, sehingga prestasi yang dicapainya berada
dibawah yang semestinya. Alan O. Ross (1974), mengatakan “A learning difficulty represente a
discrepancy between a chill’s estimated academic potential and his actual level of academic
performance”.

Selanjutnya, bila dikembangkan pemahaman konsep kesulitan belajar maka pengertian kesulitan
belajar mempunyai suatu pengertian yang sangat luas dan mendalam, termasuk pengertian-
pengertian: “learning disorder”, “learning disabilities”, “learning disfunction”,
“underachiever”, dan “slow learners”. Dari kesulitan-kesulitan belajar di atas dapat dijelaskan
sebagai berikut:

Learning disorder atau kekacauan belajar adalah keadaan di mana proses belajar seseorang
terganggu karena timbulnya respons yang bertentangan. Learning disabilities atau
ketidakmampuan belajar adalah mengacu kepada gejala dimana anak tidak mampu belajar atau
menghindari belajar, sehingga hasil belajar yang dicapai berada di bawah potensi intelektualnya.
Learning disfunction, mengacu kepada gejala dimana proses belajar tidak berfungsi dengan baik,
meskipun sebenarnya anak tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat dria,
atau gangguangangguan psikologis lainnya. Underachiever, adalah mengacu kepada anak-anak
yang memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong diatas normal, tetapi prestasi belajarnya
tergolong rendah. Kemudian, slow learner (lambat belajar) adalah anakanak yang lambat dalam
proses belajarnya, sehingga anak tersebut membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan
dengan sekelompok anak lain yang memiliki taraf intelektual yang sama. Individu yang
tergolong dalam pengertian-pengertian tersebut di atas, akan mengalami kesulitan belajar yang
ditandai dengan adanya hambatan-hambatan dalam proses belajarnya. Kesulitan belajar, pada
dasarnya merupakan suatu gejala yang nampak dalam berbagai jenis manifestasi tingkah
lakunya. Gejala kesulitan belajar akan dimanifestasikan baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam berbagai bentuk tingkah laku. Sesuai dengan pengertian kesulitan belajar di atas,
tingkah laku yang

dimanifestasikannya ditandai dengan adanya hambatan-hambatan tertentu. Gejala ini akan


nampak dalam aspek-aspek motoris, kognitif, konatif dan afektif, baik dalam proses maupun
hasil belajar yang dicapainya. Beberapa ciri tingkah laku yang merupakan pernyataan
manifestasi gejala kesulitan belajar, antara lain:

a. Menunjukkan hasil belajar yang rendah di bawah rata-rata nilai yang dicapai oleh
kelompoknya atau di bawah potensi yang dimilikinya.

b. Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang telah dilakukan. Mungkin ada siswa
yang selalu berusaha untuk belajar dengan giat, tapi nilainya yang dicapainya selalu rendah.

c. Lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajar. Ia selalu tertinggal dari kawan-
kawannya dalam menyelesaikan tugas-tugas sesuai dengan waktu yang tersedia.

d. Menunjukkan sikap-sikap yang kurang wajar, seperti acuh tak acuh, menentang, berpura-
pura, dusta dan sebagainya.

e. Menunjukkan tingkah laku yang berkelainan, seperti membolos, datang terlambat, tidak
mengerjakan pekerjaan rumah, mengganggu di dalam atau di luar kelas, tidak mau mencatat
pelajaran, tidak teratur dalam kegiatan belajar, mengasingkan diri, tersisihkan, tidak mau bekerja
sama, dan sebagainya.
f. Menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, seperti pemurung, mudah tersinggung,
pemarah, tidak atau kurang gembira dalam menghadapi situasi tertentu.

Sejalan dengan apa yang dikemukakan di atas Burton (1952 : 622 – 624)
mengidentifikasikan seseorang siswa itu dapat dipandang atau dapat diduga sebagai mengalami
kesulitan belajar, apabila yang bersangkutan menunjukkan kegagalan (failure) tertentu dalam
mencapai tujuan-tujuan belajarnya. Oleh karena itu, Burton mendefinisikan kegagalan belajar,
sebagai berikut:

1. Siswa dikatakan gagal, apabila dalam batas waktu tertentu yang bersangkutan tidak mencapai
ukuran tingkat keberhasilan atau tingkat penguasaan (mastery level), minimal dalam pelajaran
tertentu seperti yang telah ditetapkan oleh orang dewasa atau guru (criterion referenced).

2. Siswa dikatakan gagal, apabila yang bersangkutan tidak dapat mengerjakan atau mencapai
prestasi yang semestinya (berdasarkan ukuran tingkat kemampuannya, inteligensi, bakat), ia
diramalkan (predicted) akan dapat mengerjakannya atau mencapai prestasi tersebut.

3. Siswa dikatakan gagal, apabila yang bersangkutan tidak dapat mewujudkan tugas tugas
perkembangan, termasuk penyesuaian sosial, sesuai dengan pola organismiknya (his organismic
pattern) pada fase perkembangan tertentu seperti yang berlaku bagi kelompok sosial dan usia
yang bersangkutan (norm referenced).

4. Siswa dikatakan gagal, apabila yang bersangkutan tidak berhasil mencapai tingkat penguasaan
(mastery level) yang diperlukan sebagai prasyarat (prerequisiti) bagi kelanjutan (continuity) pada
tingkat pelajaran berikutnya.

Dengan demikian dari empat pengertian kesulitan belajar atau kegagalan belajar di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa seorang siswa dapat diduga sebagai mengalami kesulitan belajar,
apabila yang bersangkutan tidak berhasil mencapai taraf kualifikasi hasil belajar tertentu dan
dalam batas-batas tertentu.

C. Prosedur dan Teknik Diagnostik Kesulitan Belajar (DKB)

Salah satu tugas lembaga pendidikan formal adalah menciptakan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada setiap siswa untuk mengembangkan dirinya secara optimal sesuai dengan
kemampuan, bakat, minat dan potensi diri yag dimilikinya, dan sesuai pula dengan lingkungan
yang ada. Kenyataan masih juga dijumpai, bahwa ada sementara siswa yang memperoleh
prestasi hasil belajarnya jauh di bawah ukuran rata-rata (average) atau norma yang telah
ditetapkan bila dibandingkan dengan teman-teman dalam kelompoknya. Banyak pula dijumpai
sejumlah siswa, secara potensial diharapkan memperoleh hasil yang tinggi, akan tetapi
prestasinya biasabiasa saja, bahkan mungkin lebih rendah dari teman lain yang potensinya lebih
kurang dari dirinya. Untuk mengetahui potensi seorang siswa, dapat dilihat dari prestasi
sebelumnya dengan melakukan observasi atau akan lebih teliti bila digunakan tes psikologis,
misalnya lewat tes inteligensi atau tes bakat. Apabila ada indikasi, bahwa mereka mengalami
kesulitan dalam aktivitas belajarnya, maka mereka membutuhkan bantuan secara tepat dan dapat
dilakukan dengan segera. Bantuan yang diberikan itu, akan berhasil dan dapat dilaksanakan
secara efektif apabila kita secara teliti dapat memahami sifat kesulitan yang dialami, mengetahui
secara tepat faktor yang menyebabkannya serta menemukan berbagai cara mengatasinya yang
relevan dengan faktor penyebabnya.

Prayitno dalam Buku Bahan Pelatihan Bimbingan dan Konseling (Dari “Pola Tidak Jelas
ke Pola Tujuh Belas”) Materi Layanan Pembelajaran, Depdikbud (1996) mengatakan bahwa
secara skematik langkah-langkah diagnostik dan remedial kesulitan belajar untuk kegiatan
bimbingan belajar, sebagai berikut:

1 2
Identifikasi ------------------------------------------> Identifikasi
Kasus Masalah

5 4 3
Rekomendasi <---------- Progosis <--------- Identifikasi
Referal Faktor Penyebab

6 Pengulangan
Remedial -----------------------------------------> Pengayaan
Pengukuhan
Percepatan

Berikut ini, penjelasan skema di atas tentang langkah-langkah diagnostik dan remedial
kesulitan belajar, sebagai berikut :

1. Identifikasi Kasus

Pada langkah ini, menentukan siswa mana yang diduga mengalami kesulitan belajar.

Cara-cara yang ditempuh dalam langkah ini, sebagai berikut:

a. Menandai siswa dalam satu kelas untuk kelompok yang diperkirakan mengalami
kesulitan belajar.

b. Caranya, ialah dengan membandingkan posisi atau kedudukan prestasi siswa dengan
prestasi kelompok atau dengan kriteria tingkat keberhasilan yang telah ditetapkan.

c. Teknik yang ditempuh dapat bermacam-macam, antara lain:

(1) Meneliti nilai hasil ujian semester yang tercantum dalam laporan hasil belajar (buku
leger), dan kemudian membandingkan dengan nilai rata-rata kelompok atau dengan
kriteria yang telah ditentukan.

(2) Mengobservasi kegiatan siswa dalam proses belajar mengajar, siswa yang berperilaku
menyimpang dalam proses belajar mengajar diperkirakan akan mengalami kesulitan
belajar.

2. Identifikasi Masalah

Setelah menentukan dan memprioritaskan siswa mana yang diduga mengalami kesulitan
belajar, maka langkah berikutnya adalah menentukan atau melokalisasikan pada bidang studi apa
dan pada aspek mana siswa tersebut mengalami kesulitan. Antara bidang studi tentu saja ada
bedanya, karena itu guru bedang studi lebih mengetahuinya. Pada tahap ini kerjasama antara
petugas bimbingan dan konseling, wali kelas, guru bidang studi akan sangat membantu siswa
dalam mengatasi kesulitan belajarnya. Cara dan alat yang dapat digunakan, antara lain:

a. Cara yang langsung dapat digunakan oleh guru, misalnya:


(1) Tes diagnostik yang dibuat oleh guru untuk bidang studi masing-masing, seperti untuk bidang
studi Matematika, IPA, IPS, Bahasa dan yang lainnya. Dengan tes diagnostik ini dapat
diketemukan karakteristik dan sifat kesulitan belajar yang dialami siswa.

(2) Bila tes diagnostik belum tersedia, guru bisa menggunakan hasil ujian siswa sebagai bahan
untuk dianalisis. Apabila tes yang digunakan dalam ujian tersebut memiliki taraf validitas yang
tinggi, tentu akan mengandung unsur diagnosis yang tinggi. Sehingga dengan tes prestasi hasil
belajar pun, seandainya valid dalam batas-batas tertentu akan dapat mengdiagnosis kesulitan
belajar siswa.

(3) Memeriksa buku catatan atau pekerjaan siswa. Hasil analisis dalam aspek ini pun akan
membantu dalam mendiagnosis kesulitan belajar siswa. Mungkin pula untuk melengkapi data di
atas, bisa bekerjasama dengan orang tua atau pihak lain yang erat kaitannya dengan lembaga
sekolah. Caranya, antara lain:

a. Menggunakan tes diagnostik yang sudah standar

b. Wawancara khusus oleh ahli yang berwewenang dalam bidang ini.

c. Mengadakan observasi yang intensif, baik di dalam lingkungan rumah maupun di luar
rumah.

d. Wawancara dengan guru pembimbing dan wali kelas, dengan orang tua atau dengan
teman-teman di sekolah.

3. Identifikasi Faktor Penyebab Kesulitan Belajar

Faktor penyebab kesulitan belajar dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu faktor internal
dan faktor eksternal.

a. Faktor internal, yaitu faktor-faktor yang berasal dalam diri siswa itu sendiri. Hal ini antara
lain, disebabkan oleh:

(1) Kelemahan fisik, pancaindera, syaraf, cacat karena sakit, dan sebagainya.

(2) Kelemahan mental: faktor kecerdasan, seperti inteligensi dan bakat yang dapat diketahui
dengan tes psikologis.

(3) Gangguan-gangguan yang bersifat emosional.


(4) Sikap kebiasaan yang salah dalam mempelajari materi pelajaran.

(5) Belum memiliki pengetahuan dan kecakapan dasar yang dibutuhkan untuk memahami materi
pelajaran lebih lanjut.

b. Faktor eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar diri siswa, sebagai penyebab kesulitan
belajar, antara lain:

(1) Situasi atau proses belajar mengajar yang tidak merangsang siswa untuk aktif antisipatif
(kurang memungkinkan siswa untuk belajar secara aktif “student active learning”).

(2) Sifat kurikulum yang kurang fleksibel.

(3) Beban studi yang terlampau berat.

(4) Metode mengajar yang kurang menarik

(5) Kurangnya alat dan sumber untuk kegiatan belajar

(6) Situasi rumah yang kurang kondusif untuk belajar.

Untuk memperoleh berbagai informasi di atas, dapat menggunakan berbagai cara dan
bekerjasama dengan berbagai pihak yang berhubungan dengan kegiatan ini. Misalnya, untuk
mendapatkan informasi tentang keadaan fisik siswa, perlu bekerjasama dengan dokter atau klinik
sekolah, untuk memperoleh data tentang kemampuan potensial siswa dapat bekerjasama dengan
petugas bimbingan dan konseling (konselor) atau dengan psikolog, untuk mengetahui sikap dan
kebiasaan belajar siswa dapat mengamatinya secara langsung di kelas, menggunakan skala sikap
dan kebiasaan belajar, wawancara dengan wali kelas, dengan orang tua, dengan siswa itu sendiri,
atau dengan teman-temannya, dan masih banyak cara yang dapat ditempuh.

4. Prognosis/Perkiraan Kemungkinan Bantuan

Setelah mengetahui letak kesulitan belajar yang dialami siswa, jenis dan sifat kesulitan
dengan faktor-faktor penyebabnya, maka akan dapat memperkirakan kemungkinan bantuan atau
tindakan yang tepat untuk membantu kesulitan belajar siswa. Pada langkah ini, dapat
menyimpulkan tentang:

a. Apakah siswa masih dapat ditolong untuk dapat mengatasi kesulitan belajarnya atau tidak ?
b. Berapa waktu yang dibutuhkan untuk mengatasi kesulitan yang dialami siswa tersebut ?

c. Kapan dan di mana pertolongan itu dapat diberikan ?

d. Siapa yang dapat memberikan pertolongan ?

e. Bagaimana caranya agar siswa dapat ditolong secara efektif ?

f. Siapa sajakah yang perlu dilibatkan atau disertakan dalam membantu siswa tersebut, dan
apakah peranan atau sumbangan yang dapat diberikan masingmasing pihak dalam menolong
siswa tersebut ?

5. Referal

Pada langkah ini, menyusun suatu rencana atau alternatif bantuan yang akan dilaksanakan.
Rencana ini hendaknya mencakup:

a. Cara-cara yang harus ditempuh untuk menyembuhkan kesulitan belajar yang dialami siswa
yang bersangkutan.

b. Menjaga agar kesulitan yang serupa jangan sampai terulang lagi. Dalam membuat rencana
kegiatan untuk pelaksanaan sebagai alternatif bantuan sebaiknya, didiskusikan dan
dikomunikasikan dengan pihak-pihak yang dipandang berkepentingan, yang diperkirakan kelak
terlibat dalam proses pemberian bantuan. Prosedur dan langkah-langkah diagnosis kesulitan
belajar di atas, tampaknya lebih cenderung bersifat kuratif, dalam arti upaya mendeteksi siswa
yang diduga mengalami kesulitan belajar setelah kegiatan belajar selesai dilaksanakan atau
setelah

diketahui prestasi belajar/hasil belajar siswa. Namun, dapat juga mengembangkan suatu prosedur
diagnostik yang tidak hanya bersifat kuratif, tetapi juga dapat bersifat preventive developmental.
Misalnya, sebelum pelajaran dimulai dapat memberikan test entering behavior atau pretest. Data
yang diperoleh dengan tes tersebut dapat dijadikan dasar untuk memprediksi taraf kesiapan untuk
mengikuti pelajaran. Dari data yang diperoleh siswa dapat dikelompokkan ke dalam beberapa
kelompok yang lebih homogen, sehingga memudahkan untuk memperlakukannya dalam
mengajar. Cara ini merupakan tidakan atau upaya pencegahan (preventive). Contoh lain, selama
proses belajar mengajar berlangsung, guru dapat mengamati kegiatan dan pekerjaan siswa
dengan begitu guru dapat mengetahui kekeliruankekeliruan yang dibuat oleh siswa dan dengan
segera dan langsung memberikan upaya bantuan. Dalam kegiatan ini adalah merupakan upaya
diagnostik yang lebih bersifat pengembangan (developmental) karena dengan upaya itu siswa
pada setiap saat dapat memperbaiki kekeliruannya sehingga sangat diharapkan dapat
memperoleh kemajuan belajar secara kontinyu. Kemajuan belajar siswa dilihat sebagai suatu
indikasi adanya perubahan kearah kemajuan yang ditunjukkan dengan prestasi belajar yang
diperoleh siswa.

Dalam melaksanakan pengajaran remedial, bahwa boleh jadi akan terjadi pengulangan
(repetition), pengayaan (enrichment), pengukuhan (reinforcement), dan percepatan
(acceleration). Karena itu, meyangkut segala kegiatan dan pelaksanaannya hendaknya dicermati
dengan sungguh-sungguh agar hasilnya memuaskan dan optimal keberhasilannya. Remedial
yang dilakukan oleh guru, untuk

mengetahui ada tidaknya perubahan pada diri siswa, perlu dilakukan evaluasi kembali.

D. Konsep Dasar Pengajaran Remedial

Pengajaran Remedial, yaitu suatu proses kegiatan pelaksanaan program belajar mengajar
khusus bersifat individual, diberikan kepada siswa yang mengalami kesulitan belajar, yang
bersifat mengoreksi (menyembuhkan) siswa yang mengalami gangguan belajar tersebut sehingga
dapat mengikuti proses belajar mengajar secara klasikal kembali untuk mencapai prestasi
optimal. Jika tidak dilakukan program pengajaran remedial, maka siswa tersebut secara
kumulatif akan semakin ketinggalan dan tidak dapat mengikuti proses belajar mengajar secara
klasikal. Akibatnya siswa semakin merasa rendah diri karena rendah prestasi. Ada pula siswa
yang rendah prestasi tidak dapat mengikuti proses belajar mengajar secara klasikal, terus mencari
kompensasi dengan mengganggu suasana kelas, berbuat ramai, melempar teman, mencari
perhatian. Karena itu, guru harus memahami pentingnya pengajaran remedial dan sanggup
melaksanakannya.

E. Prosedur Pengajaran Remedial

Dalam pelaksanaannya, pengajaran remedial mengikuti prosedur, sebagai berikut:


1. Langkah pertama: Penelaahan Kembali Kasus

Guru menelaah kembali secara lebih dalam tentang siswa yang akan diberi bantuan. Dari
diagnosis kesulitan belajar yang sudah diperoleh lebih dahulu guru perlu menelaah lebih jauh
untuk memperoleh gambaran secara definitif tentang siswa yang dihadapi, permasalahannya,
kelemahannya, letak kelemahan, penyebab utama kelemahan, berat ringannya kelemahan,
apakah perlu bantuan ahli lain, merencanakan waktu dan siapa yang melaksanakan.

2. Langkah kedua: Alternatif Tindakan

Setelah memperoleh gambaran lengkap tentang siswa, baru direncanakan alternatif


tindakan, sesuai dengan karakteristik kesulitan siswa. Alternatif pilihan tindakan bagi kasus
yang mendapatkan kesulitan di dalam belajar, maka langsung saja melakukan remedial, dan jika
ditemukan kasus yang memiliki kesulitan belajar dan memiliki masalah di luar itu, seperti
masalah sosial psikologis dan sebagainya, maka sebelum diremedial kasus harus mendapatkan
layanan konseling, layanan psikologis dan atau layanan psikoterapis terlebih dahulu.

Alternatif tindakan ini dapat berupa:

a. Mengulang bahan yang telah diberikan dan diberi petunjuk-petunjuk:

(1) Memahami istilah-istilah kunci/pokok yang ada dalam TIK.

(2) Memberi tanda bagian-bagian penting yang merupakan kelemahan siswa.

(3) Membuat pertanyaan-pertanyaan untuk mengarahkan siswa.

(4) Memberi dorongan dan semangat belajar.

(5) Menyediakan bahan-bahan lain untuk mempermudah.

(6) Mendiskusikan kesulitan-kesulitan siswa.

b. Memberi kegiatan lain yang setara dengan kegiatan belajar mengajar yang sudah ditempuh.
Disini dimaksudkan untuk memperkaya bahan yang telah diberikan kepada siswa, misalnya:

(1) Kegiatan apa yang harus dikerjakan siswa.

(2) Bahan apa yang dapat menunjang kegiatan yang sedang dilakukan.
(3) Bagian mana yang harus mendapat penekanan.

(4) Pertanyaan apa yang diajukan untuk memusatkan pada inti masalah.

(5) Cara yang baik untuk menguasai bahan.

c. Tindakan yang berupa referal


Jika kesulitan belajar disebabkan oleh faktor sosial, pribadi, psikologis yang di luar
jangkauan guru, maka guru melakukan alih tangan kepada ahli lain, misalnya: konselor,
psikolog, terapis, psikiater, sosiolog, dan sebagainya.

3. Langkah ketiga: Evaluasi Pengajaran Remedial


Pada akhir pengajaran remedial perlu dilakukan evaluasi, seberapa pengajaran remedial
tersebut meningkatkan prestasi belajar. Tujuannya untuk mencapai tingkat kebehasilan 75%
menguasai bahan. Jika belum berhasil, kemudian dilakukan diagnosis kembali, prognosis dan
pengajaran remedial berikutnya; demikian seterusnya sampai beberapa siklus hingga tercapai
tingkat keberhasilan tersebut.

F. Pendekatan dan Metode Pengajaran Remedial

Ada tiga pendekatan pengajaran remedial, yaitu:

1. Pendekatan Pencegahan (preventive approach)

Sebelum proses belajar mengajar dimulai guru seharusnya berusaha dengan berbagai cara
untuk mengetahui kondisi awal para siswa, dan memprediksi beberapa siswa yang mungkin akan
mengalami kesulitan. Dengan demikian, guru dapat mencegah kesulitan berkembang secara
berlarut-larut dengan menggunakan multi media, multi metode, alat peraga yang lengkap dan
gaya mengajar yang menarik dalam proses belajar mengajar.

2. Pendekatan Penyembuhan (curative approach)

Pendekatan ini diberikan terhadap siswa yang nyata-nyata telah mengalami kesulitan
dalam mengikuti proses belajar mengajar. Gejalanya, prestasi belajar sangat rendah
dibandingkan dengan kriteria, misalnya 75% penguasaan bahan.
3. Pendekatan Perkembangan (developmental approach)

Guru dituntut senantiasa mengikuti perkembangan siswa secara sistematis.Caranya, guru


secara terus menerus memonitor kegiatan siswa selama proses belajar mengajar. Setiap menemui
hambatan, segera dipecahkan bersama siswa secara terus menerus.

A. Pengertian Kesehatan Mental


Istilah “kesehatan mental” diambil dari konsep mental hygiene. Kata “mental” diambil
dari bahasa Yunani, pengertiannya sama dengan psyche dalam bahas latin yang artinya psikis,
jiwa atau kejiwaan. Kesehatan mental merupakan bagian dari psikologi agama, terus
berkembang dengan pesat. jadi dapat diambil kesimpulan bahwa mental hygiene berarti mental
yang sehat atau kesehatan mental. Sedangkan yang dimaksud Kesehatan mental adalah
terhindarnya seseorang dari keluhan dan gangguan mental baik berupa neurosis maupun psikosis
(penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial). Mental yang sehat tidak akan mudah terganggu
oleh Stressor (Penyebab terjadinya stres) orang yang memiliki mental sehat berarti mampu
menahan diri dari tekanan-tekanan yang datang dari dirinya sendiri dan lingkungannya. Noto
Soedirdjo, menyatakan bahwa ciri-ciri orang yang memiliki kesehatan mental adalah Memiliki
kemampuan diri untuk bertahan dari tekanan-tekanan yang datang dari lingkungannya.
Sedangkan menurut Clausen Karentanan (Susceptibility) Keberadaan seseorang terhadap stressor
berbeda-beda karena faktor genetic, proses belajar dan budaya yang ada dilingkungannya, juga
intensitas stressor yang diterima oleh seseorang dengan orang lain juga berbeda.
Zakiah Daradjat mendefinisikan kesehatan mental dengan beberapa pengertian :
1. Terhindarnya orang dari gejala – gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala – gejala
penyakit jiwa (psychose).
2. Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain dan
masyarakat serta lingkungan dimana ia hidup.
3. Pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan
segala potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga
membawa kepada kebahagian diri dan orang lain, serta terhindar dari gangguan –
gangguan dan penyakit jiwa..
4. Terwujudnya keharmonisan yang sungguh – sungguh antara fungsi – fungsi jiwa, serta
mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem – problem biasa yang terjadi, dan
merasakan secara positif kebahagian dan kemampuan dirinya.
Jadi Kesehatan mental adalah keserasian atau kesesuaian antara seluruh aspek psikologis dan
dimiliki oleh seorang untuk dikembangkan secara optimal agar individu mampu melakukan
kehidupan-kehidupan sesuai dengan tuntutan-tuntutan atau nilai-nilai yang berlaku secara
individual, kelompok maupun masyarakat luas sehingga yang sehat baik secara mental maupun
secara sosial. Kesehatan mental pada manusia itu dipengaruhi oleh faktor internal dan external.
Keduanya saling mempengaruhi dan dapat menyebabkan mental yang sakit sehingga bisa
menyebabkan gangguan jiwa dan penyakit jiwa.
1. Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri seseorang seperti sifat, bakat,
keturunan dan sebagainya. Contoh sifat yaitu seperti sifat jahat, baik, pemarah, dengki, iri,
pemalu, pemberani, dan lain sebagainya. Contoh bakat yakni misalnya bakat melukis, bermain
musik, menciptakan lagu, akting, dan lain-lain. Sedangkan aspek keturunan seperti turunan
emosi, intelektualitas, potensi diri, dan sebagainya.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal merupakan faktor yang berada di luar diri seseorang yang dapat
mempengaruhi mental seseorang. Lingkungan eksternal yang paling dekat dengan seorang
manusia adalah keluarga seperti orang tua, anak, istri, kakak, adik, kakek-nenek, dan masih
banyak lagi lainnya. Faktor luar lain yang berpengaruh yaitu seperti hukum, politik, sosial
budaya, agama, pemerintah, pendidikan, pekerjaan, masyarakat, dan sebagainya. Faktor eksternal
yang baik dapat menjaga mental seseorang, namun faktor external yang buruk / tidak baik dapat
berpotensi menimbulkan mental tidak sehat.
Selanjutnya selain kedua factor tersebut yang dapat mempengaruhi kesehatan mental,
juga dapat dipengaruhi oleh aspek psikis manusia. Aspek psikis manusia pada dasarnya
merupakan satu kesatuan dengan sistem biologis, sebagai sub sistem dari eksistensi manusia,
maka aspek psikis selalu berinteraksi dengan keseluruhan aspek kemanusiaan. Karena itulah
aspek psikis tidak dapat dipisahkan untuk melihat jiwa manusia. Ada beberapa aspek psikis yang
turut berpengaruh terhadap kesehatan mental, antara lain :

 Pengalaman awal
Pengalaman awal merupakan segenap pengalaman-pengalaman yang terjadi pada
individu terutama yang terjadi di masa lalunya. Pengalaman awal ini adalah merupakan bagian
penting dan bahkan sangat menentukan bagi kondisi mental individu di kemudian hari.
 Kebutuhan
Pemenuhan kebutuhan dapat meningkatkan kesehatan mental seseorang. Orang yang
telah mencapai kebutuhan aktualisasi yaitu orang yang mengeksploitasi dan segenap kemampuan
bakat, ketrampilannya sepenuhnya, akan mencapai tingkatan apa yang disebut dengan tingkatan
pengalaman puncak. Dalam berbagai penelitian ditemukan bahwa orang-orang yang mengalami
gangguan mental, disebabkan oleh ketidakmampuan individu memenuhi kebutuhan-
kebutuhannya. Kebutuhan yang dimaksud di sini adalah kebutuhan dasar yang tersusun secara
hirarki. Kebutuhan biologis, kebutuhan rasa aman, meliputi kebutuhan dicintai, kebutuhan harga
diri, pengetahuan, keindahan dan kebutuhan aktualisasi diri.

B. Ciri-ciri Kesehatan Mental


Ciri-ciri kesehatan mental dikelompokkan kedalam enam kategori, yaitu:
1. Memiliki sikap batin (Attidude) yang positif terhadap dirinya sendiri.
2. Aktualisasi diri
3. Mampu mengadakan integrasi dengan fungsi-fungsi yang psikis ada
4. Mampu berotonom terhadap diri sendiri (Mandiri)
5. Memiliki persepsi yang obyektif terhadap realitas yang ada
6. Mampu menselaraskan kondisi lingkungan dengan diri sendiri.
Pada abad 17 kondisi suatu pasien yang sakit hanya diidentifikasi dengan medis, namun pada
perkembangannya pada abad 19 para ahli kedokteran menyadari bahwa adanya hubungan antara
penyakit dengan kondisi dan psikis manusia. Hubungan timbal balik ini menyebabkan manusia
menderita gangguan fisik yang disebabkan oleh gangguan mental (Somapsikotis) dan sebaliknya
gangguan mental dapat menyebabkan penyakit fisik (Psikomatik).
Memasuki abad 19 konsep kesehatan mental mulai berkembang dengan pesatnya namun
apabila ditinjau lebih mendalam teori-teori yang berkembang tentang kesehatan mental masih
bersifat sekuler, pusat perhatian dan kajian dari kesehatan mental tersebut adalah kehidupan di
dunia, pribadi yang sehat dalam menghadapi masalah dan menjalani kehidupan hanya
berorientasi pada konsep sekarang ini dan disini, tanpa memikirkan adanya hubungan antara
masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Orang yang sehat mental akan senantiasa
merasa aman dan bahagia dalam kondisi apapun, ia juga akan melakukan intropeksi atas segala
hal yang dilakukannya sehingga ia akan mampu mengontrol dan mengendalikan dirinya sendiri.
Solusi terbaik untuk dapat mengatasi masalah-masalah kesehatan mental adalah dengan
mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari, kesehatan mental seseorang dapat
ditandai dengan kemampuan orang tersebut dalam penyesuaian diri dengan lingkungannya,
mampu mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sendiri semaksimal mungkin untuk
menggapai ridho Allah SWT, serta dengan mengembangkan seluruh aspek kecerdasan, baik
kesehatan spiritual, emosi maupun kecerdasan intelektual.
Hal ini dapat ditarik kesimpulan karena pada dasarnya hidup adalah proses penyesuaian diri
terhadap seluruh aspek kehidupan, orang yang tidak mampu beradaptasi dengan lingkungannya
akan gagal dalam menjalani kehidupannya. Manusia diciptakan untuk hidup bersama,
bermasyarakat, saling membutuhkan satu sama lain dan selalu berinteraksi. Seseorang dapat
berusaha memelihara kesehatan mentalnya dengan menegakkan prinsip-prinsipnya dalam
kehidupan, yaitu :
1. Mempunyai self image atau gambaran dan sikap terhadap diri sendiri yang positif.
2. Memiliki interaksi diri atau keseimbangan fungsi-fungsi jiwa dalam menghadapi
problema hidup termasuk stress.
3. Mampu mengaktualisasikan secara optimal guna berproses mencapai kematangan.
4. Mampu bersosialisasi dan menerima kehadiran orang lain
5. Menemukan minat dan kepuasan atas pekerjaan yang dilakukan
6. Memiliki falsafah atau agama yang dapat memberikan makna dan tujuan bagi hidupnya.
7. Mawas diri atau memiliki control terhadap segala kegiatan yang muncul
8. Memiliki perasaan benar dan sikap yang bertanggung jawab atas perbuatan-
perbuatannya.
Manusia sebagai mahkluk yang memiliki banyak keterbatasan kerap kali mengalami
perasaan yang takut, cemas, sedih, bimbang dan sebagainya. Dalam psikologi gangguan atau
penyakit jiwa akrab di isitilahkan dengan psikopatologi. Ada dua macam psikopatologi pertama
Neurosis dan yang kedua Psikosis. Sementara dari H. Tarmidzi membagi psikopatologi menjadi
6 macam, selain 2 yang sudah disebutkan diatas dia mengemukakan yang lainnya : Psikomatik,
kelainan kepribadian, deviasi seksual, dan retardasi mental.

C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Mental Sehat


    a. Internal
1. Faktor internal adalah yang berasal dari dalam diri seseorang, misalnya sifat pemarah,
halus, talenta dibidang kesenian, dan sebagainya.
2. Faktor keturunan juga cenderung memegang peran terhadap mental seseorang, misalnya
intelektualitas, emosi dan potensi. Contoh intelektualitas: mampu menyelesaikan masalah
dengan bijak.
    b. Eksternal
Yang dimaksud dengan faktor eksternal adalah faktor-faktor yang ada di luar diri
manusia dan dapat mempengaruhi mental (cara berfikir dan cara berperasaan berdasarkan
hati nuraninya). Misalnya pendidikan agama (keyakinan), status sosial, hukum, budaya,
dan sistem pemerintahan. Lingkungan keluarga, masyarakat dan pekerjaan juga dapat
mempengaruhi kesehatan mental baik secara positif maupun negatif. Contoh positif: jika
dalam keluarga terbiasa hidup teratur, maka dalam bekerja sehari-hari juga akan
cenderung disiplin. Sebaliknya kebiasaan berbohong di rumah dapat mengarah ke
perbuatan korupsi di kantor.

D. Ciri-ciri Mental Sehat


Menurut pemahaman dari pakar agama, orang yang bermental sehat adalah mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut:
1. Jujur (sidik), yaitu orang yang setia, ikhlas, bertanggungjawab, terbuka dan tulus.
2. Terpercaya (amanah), yaitu orang yang dapat dipercaya baik dalam bersikap, berbicara
maupun dalam berbuat, jadi tidak munafik.
3. Adil yaitu orang yang bisa melihat dan menempatkan permasalahan secara proporsional,
obyektif, tidak pilih kasih.
4. Konsisten (istiqomah), yaitu orang yang taat azas, berprinsip, sehingga tidak mudah
terombang-ambing oleh lingkungan.
5. Dapat bekerja sama, yaitu orang yang dengan mudah dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungan.
Dari berbagai sumber selain ciri-ciri sebagaimana telah dikemukakan, masih dapat
dikemukakan beberapa ciri mental yang juga merupakan cerminan dari sifat-sifat berbudi pekerti
luhur (Sedyawati, dkk.1997) sebagai berikut:
1. Beriman dan bertakwa, yaitu perilaku yang menunjukkan adanya rasa percaya dan yakin
disertai kepatuhan dan ketaatan dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-
Nya.
2. Bertanggungjawab, yaitu perilaku yang konsekuen, konsisten dan berani menanggung
segala resiko atas apa yang dilakukannya.
3. Berfikir positif, yaitu perilaku yang rasional, kritis, bijak, obyektif dan optimis.
4. Sikap hormat dan sopan santun, menghargai orang lain, dan berperilaku tertib sesuai adat
istiadat atau norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
5. Dewasa, yaitu perilaku yang wajar, terkendali, tidak kekanak-kanakan.
6. Disiplin, yaitu perilaku yang menunjukkan pola hidup tertib, teratur dan taat pada
aturan/tatanan.
7. Menghargai waktu, yaitu perilaku yang menunjukkan pentingnya memanfaatkan waktu
secara optimal untuk kegiatan-kegiatan yang positif.

E. Pendekatan Kesehatan Mental


1. Orientasi Klasik
Orientasi klasik yang umumnya digunakan dalam kedokteran termasuk psikiatri mengartikan
sehat sebagai kondisi tanpa keluhan, baik fisik maupun mental. Orang yang sehat adalah orang
yang tidak mempunyai keluhan tentang keadaan fisik dan mentalnya. Sehat fisik artinya tidak
ada keluhan fisik. Sedang sehat mental artinya tidak ada keluhan mental. Dalam ranah psikologi,
pengertian sehat seperti ini banyak menimbulkan masalah ketika kita berurusan dengan orang-
orang yang mengalami gangguan jiwa yang gejalanya adalah kehilangan kontak dengan realitas.
Orang-orang seperti itu tidak merasa ada keluhan dengan dirinya meski hilang kesadaran dan tak
mampu mengurus dirinya secara layak. Pengertian sehat mental dari orientasi klasik kurang
memadai untuk digunakan dalam konteks psikologi. Mengatasi kekurangan itu dikembangkan
pengertian baru dari kata ‘sehat’. Sehat atau tidaknya seseorang secara mental belakangan ini
lebih ditentukan oleh kemampuan penyesuaian diri terhadap lingkungan. Orang yang memiliki
kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungannya dapat digolongkan sehat mental.
Sebaliknya orang yang tidak dapat menyesuaikan diri digolongkan sebagai tidak sehat mental.

2. Orientasi Penyesuaian Diri


Dengan menggunakan orientasi penyesuaian diri, pengertian sehat mental tidak dapat
dilepaskan dari konteks lingkungan tempat individu hidup. Oleh karena kaitannya dengan
standar norma lingkungan terutama norma sosial dan budaya, kita tidak dapat menentukan sehat
atau tidaknya mental seseorang dari kondisi kejiwaannya semata. Ukuran sehat mental
didasarkan juga pada hubungan antara individu dengan lingkungannya. Seseorang yang dalam
masyarakat tertentu digolongkan tidak sehat atau sakit mental bisa jadi dianggap sangat sehat
mental dalam masyarakat lain. Artinya batasan sehat atau sakit mental bukan sesuatu yang
absolut. Berkaitan dengan relativitas batasan sehat mental, ada gejala lain yang juga perlu
dipertimbangkan. Kita sering melihat seseorang yang menampilkan perilaku yang diterima oleh
lingkungan pada satu waktu dan menampilkan perilaku yang bertentangan dengan norma
lingkungan di waktu lain. Misalnya ia melakukan agresi yang berakibat kerugian fisik pada
orang lain pada saat suasana hatinya tidak enak tetapi sangat dermawan pada saat suasana
hatinya sedang enak. Dapat dikatakan bahwa orang itu sehat mental pada waktu tertentu dan
tidak sehat mental pada waktu lain. Lalu secara keseluruhan bagaimana kita menilainya?
Sehatkah mentalnya? Atau sakit? Orang itu tidak dapat dinilai sebagai sehat mental dan tidak
sehat mental sekaligus.
Dengan contoh di atas dapat kita pahami bahwa tidak ada garis yang tegas dan universal
yang membedakan orang sehat mental dari orang sakit mental. Oleh karenanya kita tidak dapat
begitu saja memberikan cap ‘sehat mental’ atau ‘tidak sehat mental’ pada seseorang. Sehat atau
sakit mental bukan dua hal yang secara tegas terpisah. Sehat atau tidak sehat mental berada
dalam satu garis dengan derajat yang berbeda. Artinya kita hanya dapat menentukan derajat sehat
atau tidaknya seseorang. Dengan kata lain kita hanya bicara soal ‘kesehatan mental’ jika kita
berangkat dari pandangan bahwa pada umumnya manusia adalah makhluk sehat mental, atau
‘ketidak-sehatan mental’ jika kita memandang pada umumnya manusia adalah makhluk tidak
sehat mental. Berdasarkan orientasi penyesuaian diri, kesehatan mental perlu dipahami sebagai
kondisi kepribadian seseorang secara keseluruhan. Penentuan derajat kesehatan mental seseorang
bukan hanya berdasarkan jiwanya tetapi juga berkaitan dengan proses pertumbuhan dan
perkembangan seseorang dalam lingkungannya.
3. Orientasi Pengembangan Potensi
Seseorang dikatakan mencapai taraf kesehatan jiwa, bila ia mendapat  kesempatan untuk
mengembangkan potensialitasnya menuju kedewasaan, ia bisa dihargai oleh orang lain dan
dirinya sendiri. Dalam psiko-terapi (Perawatan Jiwa) ternyata yang menjadi pengendali utama
dalam setiap tindakan dan perbuatan seseorang bukanlah akal pikiran semata-mata, akan tetapi
yang lebih penting dan kadang-kadang sangat menentukan adalah perasaan. Telah terbukti
bahwa tidak selamanya perasaan tunduk kepada pikiran, bahkan sering terjadi sebaliknya,
pikiran tunduk kepada perasaan. Dapat dikatakan bahwa keharmonisan antara pikiran dan
perasaanlah yang membuat tindakan seseorang tampak matang dan wajar.
Sehingga dapat dikatakan bahwa tujuan Hygiene mental atau kesehatan mental adalah
mencegah timbulnya gangguan mental dan gangguan emosi, mengurangi atau menyembuhkan
penyakit jiwa serta memajukan jiwa. Menjaga hubungan sosial akan dapat mewujudkan
tercapainya tujuan masyarakat membawa kepada tercapainya tujuan-tujuan perseorangan
sekaligus. Kita tidak dapat menganggap bahwa kesehatan mental hanya sekedar usaha untuk
mencapai kebahagiaan masyarakat, karena kebahagiaan masyarakat itu tidak akan menimbulkan
kebahagiaan dan kemampuan individu secara otomatis, kecuali jika kita masukkan dalam
pertimbangan kita, kurang bahagia dan kurang menyentuh aspek individu, dengan sendirinya
akan mengurangi kebahagiaan dan kemampuan sosial.

F. LANGKAH-LANGKAH TERWUJUDNYA KESEHATAN MENTAL


Langkah-langkah terwujudnya kesehatan mental adalah :
1. Usaha yang bersifat preventif yaitu usaha  mengadakan pencegahan dengan cara
mengurangi sebab-sebab gangguan mental atau penyakit mental.
2. Usaha  yang   bersifat   kuratif  yaitu  usaha  perbaikan  atau  pengembalian
keseimbangan terhadap gangguan mental dan penyakit mental melalui terapi
3. Usaha preservatif yaitu usaha pemeliharaan atau penjagaan agar keadaan yang seimbang
tetap terjaga dengan baik
Pelaksaanaan langkah-langkah tersebut di atas harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi
maksudnya dapat berdiri sendiri atau terjadi secara serentak. Dalam dunia pendidikan siswa
didik dan juga guru diharapkan sehat mentalnya agar dalam memberi dan menerima pelajaran
dapat berjalan lancar oleh karena usaha-usaha untuk menjaga kesehatan mental harus
diupayakan.

G. UPAYA PROMOTIF DAN PREVENTIF MENURUT LEAVEL DAN


CLARK UNTUK    MEWUJUDKAN KESEHATAN MENTAL
a. Pengertian Promotif dan Preventif
1. Secara Umum
 Upaya promotif adalah untuk meningkatkan status atau derajat kesehatan yang optimal,
dan merupakan langkah awal yang sangat penting dalam pelayanan antenatal yang ada,
dengan menitikberatkan pada kegiatan promotif.
 Upaya preventif merupakan upaya promosi kesehatan untuk mencegah terjadinya
penyakit. Sasarannya adalah kelompok dengan resiko lebih tinggi.
1. Menurut Leavell and Clark
Upaya promotif san preventif merupakan suatu pendidikan kesehatan, dimana suatu
penerapan konsep pendidikan di dalam bidang kesehatan berupa suatu kegiatan untuk membantu
individu, kelompok atau masyarakat dalam meningkatkan kemampuan atau perilakunya.
Manfaat Upaya Promotif dan Preventif (Leavel and Clark)
2. Menurunkan angka kesakitan
3. Meningkatkan presentase kasus yang di deteksi dini
4. Menurunkan kejadian komplikasi
5. Meningkatkan kualitas hidup

Upaya Promotif dan Preventif menurut Leavell and Clark


Leavell dan Clark dalam bukunya “ Preventive Medicine for the Doctor in his    Community” ,
membagi usaha pencegahan penyakit dalam 5 tingkatan yang dapat dilakukan  pada masa
sebelum sakit dan pada masa sakit.
Usaha-usaha pencegahan itu adalah :
1. Masa sebelum sakit
 Mempertinggi nilai kesehatan (health promotion)
 Memberikan perlindungan khusus terhadap suatu penyakit ( spesific protection

      2. Pada masa sakit


 mengenal dan mengetahui jenis penyakit pada tingakt awal, serta mengadakan
pengobatan yang tepat dan segera (early diagnosis and prompt treatment)
 Pembatasan kecacatan dan berusaha untuk menghilangkan gangguan kemampuan bekerja
yang diakibatkan suatu penyakit (disibility limitation)
 Rehabilitasi (rehabilitation)

 H. TINGKAT-TINGKAT USAHA PENCEGAHAN


1. MEMPERTINGGI NILAI KESEHATAN (HEALTH PROMOTION)
Usaha ini merupakan pelayanan terhadap pemeliharaan kesehatan pada umumnya.
Beberapa usaha diantaranya :
 Penyediaan makanan sehat cukup kualitas maupun kuantitasnya.
 Perbaikan hygiene dan sanitasi lingkungan, seperti : penyediaan air rumah tangga yang
baik, perbaikan cara pembuangan sampah, kotoran dan air limbah dan sebagainya.
 Pendidikan kesehatan kepada masyarakat
 Usaha kesehatan jiwa agar tercapai perkembangan kepribadian yang baik

2. MEMBERIKAN PERLINDUNGAN KHUSUS TERHADAP SUATU PENYAKIT


(SPECIFIC PROTECTION)
Usaha ini merupakan tindakan pencegahan terhadap penyakit-penyakit tertentu. 
Beberapa usaha diantaranya adalah :
 Vaksinasi untuk mencegah penyakit-penyakit tertentu
 Isolasi penderita penyakit menular
 Pencegahan terjadinya kecelakaan baik di tempat-tempat umum maupun di tempat kerja
3. MENGENAL DAN MENGETAHUI JENIS PENYAKIT PADA TINGKAT AWAL
SERTA MENGADAKAN PENGOBATAN YANG TEPAT DAN SEGERA
Tujuan utama dari usaha ini adalah :
 Pengobatan yang setepat-tepatnya dan secepatnya dari seytiap jenis penyakit sehingga
tercapai penyembuhan yang sempurna dan segera
 Pencegahan menular kepada orang lain, bila penyakitnya menular
 Mencegah terjadinya kecacatan yang diakibatkan suatu penyakit

Beberapa usaha diantaranya :


 Mencari penderita di dalam masyarakat dengan jalan pemeriksaan misalnya pemeriksaan
darah, rontgen, paru-paru dsb, serta memberikan pengobatan
 Mencari semua orang yang telah berhubungan dengan penderita penyakit menular
(contact person) untuk diawasi agar bila penyakitnya timbul dapat diberikan segera
pengobatan dan tindakan-tindakan yang lain misalnya isolasi, desinfeksi, dsb.
 Pendidikan kesehatan kepada masyarakat agar mereka dapat mengenal gejala penyakit
pada tingkat awal dan segera mencari pengobatan. Masyarakat perlu menyadari bahwa
berhasil atau tidaknya usaha pengobatan, tidak hanya tergantung pada baiknya jenis obat
serta keahlian tenaga kesehatnnya, melainkan juga tergantung pada kapan pengobatan itu
diberikan. Pengobatan yang terlambat akan menyebabkan usaha penyembuhan menjadi
lebih sulit, bahkan mungkin tidak dapat sembuh lagi misalnya pengobatan kanker
(neoplasma) yang terlambat.  Kemungkinan kecacatan terjadi lebih besar penderitaan si
sakit menjadi lebih lama, biaya untuk pengobatan dan perawatan menjadi lebih besar.

4. PEMBATASAN KECACATAN DAN BERUSAHA UNTUK MENGHILANGKAN


GANGGUAN KEMAPUAN BEKERJA YANG DIAKIBATKAN SUATU
PENYAKIT
Usaha ini merupakan lanjutan dari usaha poin c, yaitu dengan pengobatan dan
perawatan yang sempurna agar penderita sembuh kembali dan tidak cacat. Bila sudah
terjadi kecacatan, maka dicegah agar kecacatan tersebut tidak bertamabah berat 
(dibatasi), fungsi dari alat tubuh yang menjadi cacat ini dipertahankan semaksimal
mungkin.

        5. REHABILITASI  (REHABILITATION)


Rehabilitasi adalah usaha untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam
masyarakat, sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna
untuk dirinya dan masyarakat, semaksimalnya sesuai dengan kemampuannya.
Rehabilitasi ini terdiri atas :
a. Rehabilitasi fisik.
Yaitu agar bekas penderita memperoleh perbaikan fisik semaksimalnya.
Misalnya, seorang yang karena kecelakaan, patah kakinya, perlu mendapatkan
rehabilitasi dari kaki yang patah yaitu denganmempergunakan kaki buatan yang
fungsinya sama dengan kaki yang sesungguhnya.
b. Rehabilitasi mental.
Yaitu agar bekas penderita dapat menyusuaikan diri dalam hubungan perorangan
dan social secara memuaskan .seringkali bersamaan dengan terjadinya cacat badania
muncul pula kelainan-kelaianan atau gangguan mental.untuk hal ini bekas penderita perlu
mendapatkan bimbingan kejiwaan sebelum kembali kedalam masyarakat.
c. Rehabilitasi social vokasional.
Yaitu agar bekas penderita menempati suatu pekerjaan/jabatan dalam masyarakat
dengan kapasitas kerja yang semaksimalnya sesuai dengan kemampuan dan ketidak
mampuannya.
d. Rehabilitasi aesthetis
Usaha rehabilitasi aesthetis perlu dilakukan untuk mengembalikan rasa
keindahan, walaupun kadang-kadang fungsi dari alat tubuhnya itu sendiri tidak dapat
dikembalikan misalnya: misalnya penggunaan mata palsu.
Usaha pengembalian bekas penderita ini kedalam masyarakat, memerlukan
bantuan dan pengertian dari segenap anggota masyarakat untuk dapat mengerti dan
memahami keandaan mereka (fisik mental dan kemampuannya) sehingga memudahkan
mereka dalam proses penyesuian dirinya dalam masyarakat dalam keadan yang sekarang
ini.
Sikap yang diharapkan dari warga masyarakat adalah sesuai dengan falsafah
pancasila yang berdasarkan unsure kemanusian dan keadailan social. Mereka yang
direhabilitasi ini memerlukan bantuan dari setiap warga masyarakat, bukan hanya
berdasarkan belas kasian semata-mata, melainkan juga berdasarkan hak asasinya sebagai
manusia.

I. Daftar Pustaka

Alan O. Ross. 1974. Psychological Disorder of Children. Mc. Graw-Hill Kogakusha

Ltd. Tokyo.

Burton H. W. 1952. The Guidance of Learning Activities. N.Y. Appleton CenturyCraffts. Inc.

Depdikbud, Universitas Terbuka.1984/1985. Modul Diagnostik Kesulitan Belajar dan

Pengajaran Remedial. Jakarta.sugiyanto@uny.ac.id | 132

Dimyati & Mudjiono.1994. Belajar dan Pembelajaran. Direktorat Jenderal

Pendidikan Tinggi, Depdikbud. Jakarta.

Prayitno. 1995/1995. Materi Layanan Pembelajaran. Bahan Pelatihan n Bimbingan

dan Konseling (“Dari Pola Tidak Jelas ke Pola Tujuh Belas”). Depdikbud.

Jakarta

Anda mungkin juga menyukai