Anda di halaman 1dari 1

Seseorang bertanya padaku mengenai kegiatan apa yang kiranya cocok untuk mengembangkan

karakter diri dari anggota organisasi yang dipimpinnya. Mungkin saja pertanyaannya yang demikian
dilatar-belakangi oleh keadaan yang tidak menentu terjadi pada kelompok kesenian ini. Ia juga
mengutarakan, sesungguhnya ia sendiri juga ingin menggali potensi diri di bidang lain, selain akting.

“suka membaca ?”, aku bertanya.

“Ya kadang-kadang aja.”, jawabnya membalasiku. “Tapi kalau suka sih suka.”, lanjutnya.

“Teruskan saja membaca, buku apapun itu. Kemudian barangkali mau, menulislah, dan jadikan
buku.”

Ia pun diam. Seperti sedang mencerna apa yang kuanjurkan itu. Sebuah terobosan yang menurutku
itu adalah hal yang penting untuk dilakukan oleh para pegiat kesenian. Hematku, waktu itu, dengan
membaca— orang akan mendapat banyak pengetahuan dan pengalaman; sedangkan dengan
menulis, seseorang (seniman) dapat menyampaikan ekspresi dari perasaan dan pengetahuannya,
tanpa harus melalui pelafalan secara langsung.

Toh, kedua hal tersebut yang akhir-akhir ini sering dilewatkan begitu saja oleh para insan pegiat seni.
Padahal keduanya sangat penting ditempuh untuk memupuk kualitas berpikir seseorang. Namun,
ternyata susah. Kebanyakan dari mereka lebih suka berkesenian tanpa harus membaca dan menulis,
atau bahkan hanya dengan grubyak-grubyuk kesana dan kemari mereka mengakui diri mereka
sebagai pegiat seni.

“Lantas bagaimana caranya ?”, ia bertanya tentang sesuatu yang sesungguhnya aku tak tahu harus
memberikan jawaban apa.

“Ya segera saja dimulai. Bisa dengan cara kaubuat pelatihan dulu, mungkin. Dimulai dari yang paling
mudah untuk dilakukan dulu lah. Misal puisi, cerpen, atau hal sejenis. Selepas dari pelatihan menulis
itu, kau bisa kumpulkan tulisan-tulisan karya teman-temanmu, kemudian kaubentuk tim untuk
melangkah ke jenjang berikutnya seperti editing, lay-out, hingga masuk ke penerbitan.”

Dia mengangguk. Seperti sudah paham dengan apa yang harus dilakukan.

***

Suatu hari, diadakanlah sebuah kegiatan bertajuk pelatihan kepenulisan sastra yang berfokus pada
puisi dan yang berkenaan dengannya. Momentum yang selain bertujuan untuk melatih para anggota
dalam menulis puisi, kesempatan itu juga dimanfaatkan untuk penerbitan antologi puisi bersama
para anggota, dan alumni organisasi kesenian pelaksana kegiatan ini. Jadi, karya-karya hasil
pelatihan ini nantinya (yang termasuk) akan menjadi bahan diterbitkannya sebuah Antologi Puisi.

Tiga pemateri dihadirkan sekaligus. Ketiganya menyampaikan materi sesuai jatah/bagian dan
pengalaman masing-masing. Para peserta pun tampak menyimak dengan seksama. Tapi yang
namanya baru belajaran, tentu karya-karya hasil dari pelatihan ini belum bisa dikata layak disebut
sebagai puisi, apalagi jika kemudian diterbitkan dan dipublikasikan secara umum. Meski tiga
pemateri itu dianggap telah mumpuni di bidangnya, namun apakah bisa menjamin sebuah karya
seseorang bisa bagus ? Belum tentu, bukan!?? Tentu butuh proses panjang untuk itu.

Anda mungkin juga menyukai