INDIKATOR WARNA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PEMANFAATAN KLOROFIL SEBAGAI LABEL CERDAS
INDIKATOR WARNA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Emmy Darmawati, MSi
Judul Tesis : Pemanfaatan Klorofil sebagai Label Cerdas Indikator Warna
Nama : Eddwina Aidila Fitria
NIM : F351120031
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2014 ini adalah
kemasan cerdas, dengan judul Pemanfaatan Klorofil sebagai Label Cerdas Indikator
Warna.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Endang Warsiki STP. MSi dan
Ibu Dr. Indah Yuliasih STP.MSi selaku Tim komisi pembimbing atas perhatian,
waktu, saran dan petunjuk yang diberikan selama bimbingan sehingga penyusunan
tesis ini dapat di selesaikan. Di samping itu, ungkapan terima kasih tak terhingga
untuk papa tercinta Drs.H Darul Chutni, mama tercinta Hj.Erfina Razali S.Sos,
abang tersayang Edvan Prayudha SE, kakak tercinta Sri Anggraini S.Farm Apt dan
Keponaan paling tersayang Faiz Ivan Pradana dan Ghazali Ivan Mahendra atas
perhatian, kasih sayang dan dukungan dalam proses meraih Master ini. Untuk
sahabat-sahabat yang selalu mendukung dalam penyelesaian studi GENGGONK
UNIVERSITY (Elfa Susanti Thamrin STP MSi, Elfira Febriani STP MSi, Nina
Hairiyah STP MSi, Nova Alemina Sitepu STP MSi, Mohammad Rafi SPi MSi),
Teguh Pratama Puji Pamungkas SP.MSi, Bapak Dr.Ir Novizar Nazir MSi, Rekan-
rekan Pascasarjana TIP 2012, Teman-teman IMPACS IPB (Pak Azrifirwan, Pak
Bonar, Oktari Ega STP, Bg Doni SP, Nela Eska Putri STP, dll), teman-teman di
Kostan Bu Made (Mbak Ludfia Kurniasari SE, Mbak Padma, Mbak Asih, Nanda
Triandita STP, Kak Sri Novalina SPt MP, (Alm) Bg Rudi Hermansyah STP MP,
Bu Siluh, Mbak Eva dan Mbak Endah), teman-teman THPZero7 Unand (Panji
Iskandar STP, Wellyalina STP MP, Rika Rosadi STP, Yogi Hadiputra STP, Wellya
Sari STP, Vonny Fauziah STP, Nezly Nurlia Lubis STP), Novitra, teman-teman
TIP S2 dan S3, Rekan di FORUM WACANA IPB masa bakti 2012-2013 dan
seluruh staf departemen Teknologi Industri Pertanian IPB terima kasih atas diskusi,
persahabatan dan motivasi yang selalu diberikan. Semoga karya ilmiah ini
bermanfaat.
DAFTAR TABEL i
DAFTAR GAMBAR i
DAFTAR LAMPIRAN ii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Ruang Lingkup Penelitian 3
2 TINJAUAN PUSTAKA 3
Kemasan Cerdas 3
Matriks Film Pembawa Warna pada Label Cerdas 4
Bahan Pewarna sebagai Indikator 7
Pengukuran Warna 9
Pengembangan Model Kinetika Perubahan Warna 10
3 METODE PENELITIAN 12
Bahan dan alat 12
Metode penelitian 12
DAFTAR PUSTAKA 36
LAMPIRAN 40
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
Latar Belakang
Kemasan tidak hanya dilihat sebagai wadah, tetapi mempunyai peranan penting
dalam memberikan informasi tentang produk yang dikemas. Terlepas dari itu, fungsi
lain dari kemasan adalah sebagai kenyamanan, pemasaran, dan komunikasi. Kemasan
harus memastikan produk tidak tumpah atau bocor. Kemasan menjadikan produk mudah
dibawa dan kemasan yang menarik akan membantu meningkatkan pemasaran produk.
Komunikasi antara konsumen dan produsen diperankan oleh kemasan dalam
menampilkan informasi seperti berat bahan, sumber bahan, nilai gizi dan tanggal
kedaluwarsa (Nofrida et al. 2013). Inovasi kemasan merupakan salah satu aspek penting
dalam pengembangan produk baru. Salah satu perkembangan baru dalam teknologi
kemasan yaitu kemasan cerdas.
Kemasan cerdas adalah sistem melekat sebagai label, yang dimasukan ke dalam
kemasan, atau dicetak ke bahan kemasan untuk memantau kualitas produk (Kerry dan
Butler 2008). Kemasan cerdas ini dapat memberikan informasi kepada konsumen
mengenai kerusakan produk apabila tidak diperlakukan sesuai syarat penyimpanan dan
memberikan informasi lebih rinci seluruh rantai suplai serta distribusi produk, sehingga
keamanan produk konsumen lebih terjamin (Nofrida et al. 2013).
Aplikasi kemasan cerdas di negara lain telah banyak digunakan. Sebuah
perusahan di Amerika telah menggunakan kemasan cerdas sebagai sensor untuk
mendeteksi penurunan mutu pada produk. Tujuan perusahaan tersebut adalah untuk
memberikan informasi lebih kepada konsumen mengenai produk mereka mulai dari
pengemasan produk hingga waktu konsumsi. Kemasan ini diberi nama The Fresh-
Check®, yaitu kemasan yang dilengkapi label seukuran perangko dan ditempelkan di
kemasan luar produk makanan segar dan obat-obatan (Fortin dan Goodwin 2008). Label
tersebut menggunakan metode Time Temperature Indicator (TTI) untuk mendeteksi
penurunan mutu produk yang terjadi.
TTI (Time Temperature Indicator) adalah label cerdas yang dapat
menginformasikan jika terjadi penyimpangan suhu selama penyimpanan produk. Secara
umum, kemasan ini hanya berupa plastik film yang disertai dengan indikator yang
bekerja atau bereaksi terhadap waktu dan suhu penyimpanan dari lingkungan sekitar
kemasan yang ada (Day 2008).
Penggembangan aplikasi sensor label cerdas terus menerus dilakukan.
Pengembangan yang tengah dilakukan, yaitu label cerdas dengan bentuk film. Biasanya
untuk mempermudah penggunaan, film diberi tambahan warna sebagai indikator.
Warna itu akan berubah dengan mekanisme tertentu yang akan berasosiasi dengan
perubahan mutu produk. Penelitian tentang TTI telah banyak dilakukan, diantaranya
Pacquit et al. (2007) telah membuat matriks polimer berwarna yang sensitif terhadap
pH. Responnya ditemukan berkorelasi dengan perubahan populasi mikroba pada ikan.
Riyanto et al. (2010) meneliti tentang sensor smart packaging dari khitosan-asetat, PVA
dan bromthymol blue (BTB) yang memperlihatkan adanya kecenderungan yang nyata
dalam mendeteksi tingkat kebusukan fillet ikan nila. Warsiki et al. (2010) telah meneliti
mengenai kemasan antimikrobal dengan bahan aktif ekstrak bawang putih. Warsiki dan
putri (2012) meneliti tentang label cerdas indikator warna dari pewarna alami dan
sintetis, kemudian Setiautami dan Warsiki (2013) juga telah melakukan penelitian label
2
cerdas menggunakan pewarna antosianin dari buah bit serta Nofrida et al. (2013) dan
Warsiki et al. (2013) juga telah membuat label cerdas berbahan dasar khitosan dan PVA
dengan penambahan pewarna antosianin dan diaplikasikan untuk mendeteksi kerusakan
susu pasteurisasi.
Berdasarkan penelitian tersebut, peneliti menggunakan indikator warna untuk
mengetahui perubahan mutu produk yang dikemas dengan terjadinya proses degradasi
warna pada label indikator. Namun, terdapat kekurangan dari penelitian tersebut yaitu
hanya melihat terjadinya perubahan warna secara visual dan perhitungan respon total
perubahan warna tanpa mengkaji lebih dalam tentang permodelan kinetika perubahan
warna dengan suhu sehingga dapat memprediksi kualitas pangan dengan melihat
terjadinya perubahan warna. Selain itu, indikator warna yang digunakan pada label
menggunakan warna “merah” dan mengalami perubahan menjadi “kuning”. Biasanya,
secara umum konsumen mengindikasikan “hijau” sebagai warna produk segar dan
“merah” sebagai produk tidak layak konsumsi. Untuk itu, pengembangan label cerdas
masih perlu dilakukan. Salah satunya pengembangan label indikator dengan zat wana
hijau yang akan berubah menjadi kuning/coklat serta dilakukan pengembangan model
kinetika perubahan warna pada label indikator tersebut. Pewarna alami yang
memungkinkan untuk dapat diaplikasikan pada label yang memberikan perubahan
warna hijau adalah pigmen berasal dari klorofil.
Klorofil telah lama diketahui dapat dimanfaatkan sebagai pewarna alami.
Ketersediaan klorofil di alam sangat besar. Gross (1991) menyatakan kadar klorofil rata-
rata daun sebesar 1 % berdasarkan basis kering. Ketersediaan yang banyak di alam
menjadikan klorofil berpeluang sebagai pewarna alami. Klorofil mudah mengalami
degragasi warna selama proses pengolahan, hal ini disebabkan karena lepasnya ion Mg2+
pada pusat struktur klorofil. Fenomena ini dapat dimanfaatkan dan diintegrasikan untuk
label indikator akibat kerusakan produk karena pengaruh suhu sehingga pewarna ini
cocok digunakan sebagai pewarna indikator.
Penelitian mengenai permodelan sebelumnya telah banyak dilakukan tetapi
permodelan perubahan degradasi klorofil pada label indikator selama penyimpanan
belum dikembangkan. Penelitian Dermesonlouoglou et al. (2007) memodelkan kinetika
reaksi dari perubahan mutu tomat selama penyimpanan pada suhu dingin sedangkan
Goncalves et al. (2011) mengembangkan model kinetika yang dilihat dari degradasi
kinetika perubahan warna, vitamin C dan drip loss brokoli selama penyimpanan
isothermal dan non ishotermal. Saxena (2012) telah menggunakan model kinetika untuk
mengamati perubahan kualitas bahan pertanian, yaitu perubahan warna pada nangka
selama proses pengeringan. Masithoh et al. (2013) juga telah mengembangkan model
dengan melihat perubahan kualitas tomat selama penyimpanan. Choi et al. (2014)
melakukan penelitian kinetika perubahan warna yang dimodelkan dengan kinetika ordo
reaksi 0 dan laju respon waktu dimodelkan dengan persamaan Arrhenius.
Perumusan masalah
Peran utama kemasan dalam industri makanan/minuman adalah untuk
melindungi produk, memberikan informasi tentang produk yang dikemas dan
mempermudah distribusi suatu produk. Sistem penanganan yang tidak sesuai akan
mempercepat kerusakan mutu suatu produk terutama produk yang rentan terhadap suhu
sehinga kerusakan lebih cepat terjadi dari tanggal kadaluarsa.
3
Tujuan
1. Menganalisa stabilitas ekstrak klorofil yang sesuai sebagai pewarma indikator.
2. Menganalisa kinerja perubahan warna label indikator pada berbagai penyimpanan
suhu.
3. Mengembangkan model kinetika perubahan warna label cerdas.
Manfaat Penelitian
1. Menghasilkan sumber klorofil yang baik dan potensial digunakan sebagai indikator
warna untuk label cerdas.
2. Memformulasikan sebuah kinetika model hubungan perubahan warna klorofil
terhadap suhu sehingga dapat digunakan untuk memprediksi kualitas produk selama
dalam distribusi dan penyimpanan.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Kemasan cerdas adalah sistem melekat sebagai label, yang dimasukan ke dalam
kemasan, atau dicetak ke bahan kemasan untuk memantau kualitas produk (Kerry dan
Butler 2008). Kemasan cerdas ini dapat memberikan informasi kepada konsumen
mengenai kerusakan produk apabila tidak diperlakukan sesuai syarat penyimpanan,
melacak titik-titik kritis, dan memberikan informasi lebih rinci seluruh rantai suplai dan
4
Tabel 1. Beberapa indikator penentu kesegaran produk yang digunakan pada TTI
“smart packaging”
Metabolit yang Indikator potensial dan prinsip sensor Produk indikator
dideteksi Kesegaran
komersial
Gas-gas basa DTN pada komponen volatil dari produk It’s Fresh™ (It’s
volatil dalam kemasan bereaksi dan merubah Fresh! Inc.)
warna dari pewarna indiator
Khitosan
Gambar 1 Struktur kimia (a) Khitin (b) Khitosan (Prashanth dan Tharanathan 2007)
banyak dilakukan. Warsiki et al. (2011) misalnya, menyatakan Film kitosan dengan
penambahan ekstrak bawang putih secara umum lebih baik daripada film kitosan tanpa
penambahan ekstrak bawang putih. Penelitian yang dilakukan oleh Mussaddad (2002)
menyimpulkan bahwa edible dari khitosan terbukti efektif dalam menekan laju respirasi
buah tomat selama penyimpanan, baik terhadap buah yang disimpan di suhu kamar (28-
30oC; RH 45-60%) maupun di suhu dingin (9-12 oC; RH 60-70%). Pangabean (2010)
mendapatkan hasil konsentrasi khitosan yang terpilih bagi edible khitosan untuk buah
nenas terolah minimal adalah 1,5% yang menghasilkan laju respirasi buah terendah
dibandingkan dengan konsentrasi kitosan 1% dan tanpa kitosan. Rahardyani (2011)
telah mengaplikasikan edible coating sebagai penentuan mutu daging sapi, peneliti
menyatakan bahwa daging sapi yang dengan perlakuan kitosan 3% memiliki nilai
terbaik dalam menghambat pertumbuhan mikroba.
Gliserol ialah suatu trihidroksi alkohol yang terdiri atas tiga atom karbon. Setiap
karbon mempunyai gugus -OH. Gliserol diperoleh dari hasil penyabunan lemak atau
minyak adalah suatu zat cair yang tidak berwarna dan mempunyai rasa yang agak manis.
Gliserol larut baik dalam air dan tidak larut dalam eter. Gliserol digunakan dalam
industri farmasi dan kosmetika sebagai bahan dalam preparat yang dihasilkan. Di
samping itu gliserol berguna bagi untuk sintesis lemak di dalam tubuh (Hakiki 2010).
Gliserol adalah plasticizer dengan titik didih yang tinggi, larut dalam air, polar,
non volatile dan dapat bercampur dengan protein. Gliserol merupakan molekul
hidrofilik dengan berat molekul rendah, mudah masuk ke dalam rantai protein dan dapat
menyusun ikatan hidrogen dengan gugus reaktif protein (Galietta et al. 1998). Sifat-sifat
tersebut yang menyebabkan gliserol cocok digunakan sebagai plasticizer, karena
gliserol berbentuk cair, bentuk cair gliserol lebih menguntungkan karena mudah
tercampur dalam larutan film dan terlarut dalam air (Anker et al. 2000). Penelitian
Bozdemir dan Tutas (2003) menunjukkan bahwa gliserol merupakan plasticizer dengan
kemampuan menurunkan ikatan hidrogen antar polimer yang terbesar sedangkan
sorbitol merupakan yang terkecil dibandingkan dengan plasticizer lain seperti propilen
glikol dan polietilen glikol. Namun ikatan hidrogen antar polimer yang kuat akan
membuat film yang terbentuk menjadi keras dan kurang fleksibel, dan begitu pula
sebaliknya.
Menurut Nofrida (2013) penambahan plasticizer yaitu gliserol mempengaruhi
tingkat elastisitas film yang dihasilkan. Semakin banyak penambahan plasticizer, maka
elastisitas film akan semakin tinggi. Penambahan plasticizer akan menghindari film dari
keretakan selama penanganan maupun penyimpanan yang dapat mengurangi sifat-sifat
tahanan film (Sumarto 2008).
Klorofil adalah pigmen berwarna hijau yang terdapat dalam kloroplas bersama-
sama dengan karoten dan xantofil pada semua makhluk hidup yang mampu melakukan
fotosintetis. Pada semua tanaman hijau, sebagian besar klorofil berada dalam dua bentuk
yaitu klorofil-a dan klorofil-b. Klorofil-a bersifat kurang polar dan berwarna biru hijau,
8
sedangkan klorofil-b bersifat polar dan berwarna kuning hijau. Klorofil berwarna hijau
karena menyerap secara kuat daerah merah dan biru dari spektrum cahaya visibel
(Astawan 2008).
Perbandingan klorofil-a dan klorofil-b yaitu 3:1. Rumus molekul klorofil-a
adalah C55H72N4O5Mg, sedangkan klorofil-b adalah C55H70N4O6Mg. Klorofil-b berbeda
dengan klorofil-a karena mempunyai satu grup formil (-CH) menggantikan grup metil
pada posisi 3 dari klorofil-a. Klorofil-a adalah struktur tetrapirol melalui ikatan Mg,
sedangkan subsitusi metil pada posisi 1,3,5, dan 8, vinil pada posisi 2, etil pada posisi 4,
propinat yang diesterifikasi dengan fitil alcohol (fitol) pada posisi 7, keton pada posisi
9 dan karbometoksi pada posisi 10 (Hermansyah 2012). Beberapa rasio klorofil-a dan b
pada berbagai jenis daun disajikan pada Tabel 3.
Klorofil termasuk pigmen non polar dan harus diekstrak dengan pelarut organik
(metanol, etanol, aseton) dengan kepolaran tertentu (Sedjati et al. 2012). Untuk
mendapatkan pewarn alami klorofil, senyawa ini cocok di ekstrak dengan pelarut
organik, tetapi jika diaplikasikan sebagai indikator warna pada label cerdas klorofil
cukup diekstrak degan air. Pelarut organik contohnya aseton akan mengikat klorofil dan
menghasilkan warna hijau yang relatif stabil, sedangkan air bersifat melepas klorofil
yang dapat berubah warna jika terkena suhu tinggi. Kelebihan klorofil adalah perubahan
warna yang lambat dari hijau ke kuning sehingga pewarna ini digunakan sebagai warna
indikator label untuk produk yang mempunyai massa simpan yang relatif lama. Menurut
penelitian Putri et al. (2012) ekstraksi klorofil daun suji, penggunan larutan ekstrak
alkohol 85% dan aseton 85% memiliki daya ekstraksi pigmen klorofil yang lebih besar
dibandingkan air sebagai larutan pengekstrak. Bentuk strutur kimia klorofil dapat dilihat
pada Gambar 2.
9
Antosianin
Antosianin merupakan salah satu zat pewarna alami yang berwarna ungu
kemerah-merahan yang banyak terdapat pada tumbuh-tumbuhan. Pigmen ini berperan
terhadap timbulnya warna merah hingga ungu pada beberapa bunga, buah dan daun .
Antosianin telah banyak digunakan sebagai pewarna, khususnya minuman, karena
banyak pewarna sintetis diketahui bersifat toksik dan karsinogenik (Francis 1999).
Antosianin merupakan senyawa flavonoid yang memiliki kemampuan sebagai
antioksidan. Umumnya senyawa flavonoid berfungsi sebagai antioksidan primer,
chelator dan scavenger terhadap superoksida anion. Antosianin dalam bentuk aglikon
lebih aktif daripada bentuk glikosidanya (Santoso 2006). Senyawa antosianin mudah
larut dalam air sehingga dalam penanganan buah sebelum pengolahan perlu
diperhatikan agar komposisi warna awal yang dikandung buah dapat dipertahankan
(Winarno 1997).
Menurut Winarti et al. (2008), pada kondisi asam antosianin berubah warna
menjadi merah, keadaan netral antosianin berubah warna menjadi ungu muda dan pada
keadaan basa berwarna biru. Pigmen antosianin lebih stabil dalam keadaan asam
dibandingkan dalam keadaan basa. Kerusakan antosianin memiliki beberapa faktor yang
membatasi, antara lain ketidakstabilannya terhadap cahaya dan panas serta rentan
mengalami degradasi. Peningkatan pH (pH 4 - 6) menunjukkan warna antosianin
memudar karena kation flavilium yang berwarna merah mengalami hidrasi menjadi
bentuk struktur tidak berwarna karbinol. Sedangkan pada pH 7 dan 8 warna antosianin
menjadi biru keunguan disebabkan pembentukan struktur kuinoidal biru yang tidak
stabil (Violalita 2010).
Stabilitas antosianin dipengaruhi oleh pH, suhu dan cahaya. Suhu dan cahaya
cenderung dapat menurunkan nilai absorban ekstrak antosianin. Ekstrak antosianin telah
banyak dimanfaatkan pada produk pangan, contohnya aplikasi antosianin dari buah
senduduk yang dilakukan oleh Violalita (2010), peneliti mengaplikasikan antosianin
10
untuk produk sirup, agar-agar dan es krim. Pada penelitian yang dilakukan oleh Warsiki
dan Setiautami (2013), peneliti mengaplikasikan antosianin dari buah bit sebagai
pewarna alami label cerdas. Pada penelitian ini, metode terbaik yang digunakan adalah
metode oles dengan volume terbaik yang digunakan untuk mengoleskan pewarna alami
pada film 6 ml per 400 cm2. Nofrida (2013) juga mengaplikasikan antosianin dari daun
erpa untuk label cerdas indikator warna dan diaplikasikan pada produk susu pasteurisasi.
Pengukuran Warna
Dimana:
∆L = L sampel – L standar
∆a = a sampel – a standar
∆b = b sampel – b standar
Dimana ΔL* adalah tingkat kecerahan antara inisiasi dan waktu interval, Δa*
perbedaan kehijauan (-60) dan kemerahan (+60), Δb* adalah perbedaan kebiruan (-60)
dan kekuningan (+60) (Nofrida 2013). Nilai perubahan warna yang menyatakan warna
sebenarnya dinyatakan pada nilai oHue:
o
Hue = tan-1 (b/a) (2)
Nilai ohue didapat dari perhitungan nilai invers tangen dengan perbandingan b dan
a. oHue dikuantisasi dengan nilai dari 0 sampai 255; 0 menyatakan merah, lalu memutar
nilai-nilai spektrum tersebut kembali lagi ke 0 untuk menyatakan merah lagi. Ini dapat
dipandang sebagai sudut dari 0° sampai 360°.
11
Model kinetika reaksi kimia telah banyak digunakan oleh berbagai peneliti untuk
menggambarkan perilaku perubahan mutu produk dalam pengolahan dan pengawetan
hasil pertanian berupa pangan maupun non pangan (Priyanto 2009). Suradi (2005) telah
membandingkan mutu daging sapi yang disimpan pada suhu ruang dan suhu refrigerasi
dengan menggunakan model kinetika Arrhenius berdasarkan nilai TVB dah pH.
Dermesonlouoglou et al. (2007) juga telah membuat model kinetika dari perubahan
mutu potongan tomat segar dan tomat beku. Saxena (2012) menggunakan model
kinetika untuk mengamati perubahan kualitas bahan pertanian, yaitu perubahan warna
pada nangka selama proses pengeringan. Amalia (2012) juga telah mengembangkan
model kinetika dengan menduga umur simpan produk fish nugget dengan model
Arrhenius. Masithoh et al. (2013) mengembangkan model dengan melihat perubahan
kualitas tomat selama penyimpanan.
Pendekatan analisis dan model kinetika telah dibuktikan banyak manfaat dalam
dalam memperoleh data dasar untuk pengembangan produk baru. Nasruddin (2009)
menggunakan data kinetika reaksi perengkahan dengan katalis zeolit untuk
mengembangkan fuel hayati dari minyak jarak. Jokic et al. (2009), melaporkan kinetika
pengeringan apel dalam kaitannya dengan mutu dan kondisi proses pengeringan. Frantz
(2006) melaporkan kinetika klaster nano pada film tipis dan permukaan. Kajian dan
publikasi kinetika perubahan sifat fisiko kimia dan fenomena fisik dalam upaya
pengembangan produk baru di bidang pangan meningkat pesat sejak beberapa tahun ini.
Kajian kinetika memberikan gambaran yang lebih tepat mengenai karakteristik produk
baru serta pendugaan perilaku yang lebih tepat dalam penggunaannya oleh konsumen
(Priyanto 2009). Pengembangan model dengan parameter perubahan warna pernah
diteliti oleh Martins dan Silfa (2002) yang melihat perubahan sifat fisiko kimia dan
perubahan warna akibat degradasi klorofil pada kacang hijau yang dibekukan.
Perubahan warna mengikuti orde nol (0) atau orde satu (1) tergantung dari
parameter yang ditetapkan. Persamaan 3 dan 4 menunjukkan persamaan dasar kinetika
reaksi orde 0 dan 1, secara berurutan (Mashitoh et al. 2013).
Q = Qo – k.t (3)
Q / Q o = e-k.t (4)
12
Arrhenius menyatakan bahwa hubungan suhu terhadap reaksi atau perubahan yang
terjadi dapat dinyatakan seperti Persamaan 5 (Chang 1990).
k = k0 e-Ea/RT (5)
Dengan k adalah konstanta laju reaksi, k0 adalah faktor frekuensi, Ea adalah energi
aktifasi, R adalah konstanta gas, serta T adalah suhu mutlak. Apabila pada Persamaan 5
diubah menjadi fungsi logaritma maka menjadi persamaan 6:
ln k = ln k0 – Ea/RT (6)
3 METODE PENELITIAN
Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan film dalam penelitian ini yaitu
serbuk khitosan, polivinil alkohol (PVA), serta bahan sumber pewarna klorofil yaitu
daun suji (Pleomele angustifolia N. E. Brown), daun singkong (Manihot esculenta
crantz) jenis manggu dan daun papaya (Carica papaya L) jenis merah delima. Daun
yang digunakan adalah daun yang berwarna hijau pekat (daun yang sudah tua). Alat
yang digunakan dalam penelitian ini adalah oven/inkubator, homogenizer, cetakan kaca
(20×15 cm)2, magnetic stirer, shaker, dan neraca analitik. Untuk analisis fisik
menggunakan pH meter, micrometer, spektrofotometer, dan kromameter.
Metode Penelitian
Persiapan Sampel
Bahan baku yang digunakan terdiri dari tiga macam tanaman yaitu: daun suji
(Pleomele angustifolia N. E. Brown), daun singkong (Manihot esculenta crantz) jenis
manggu dan daun papaya (Carica papaya L) jenis merah delima. Bahan baku
13
Ekstraksi Klorofil
Proses ekstraksi klorofil untuk memperoleh ekstrak klorofil dengan urutan sebagai
berikut: bahan baku yang telah dipotong kecil-kecil, kemudian masing-masing di
timbang berdasarkan kebutuhan. Setelah itu, sumber klorofil ditambahkan dengan
aquades (1:2) sebagai pengekstrak kemudian dihaluskan dengan blender dengan
kecepatan 40.000 rpm. Sumber klorofil yang telah diekstrak kemudian disaring dengan
kain saring halus (60 mesh). Ekstrak kemudian dianalisis pH dan kadar klorofilnya
(posedur analisa disajikan pada Lampiran 1). Semua proses dilakukan dalam kondisi
terhindar dari cahaya (ruang gelap). Ekstrak yang diperoleh kemudian dilakukan uji
stabilitas klorofil terhadap pH, cahaya dan suhu untuk menentukan ekstrak terbaik yang
akan digunakan untuk penelitian selanjutnya.
Pengujian stabilitas ekstrak klorofil daun suji, daun singkong dan daun pepaya
dilakukan terhadap 3 faktor yaitu : pengaruh pH, cahaya dan suhu penyimpanan. Ekstrak
klorofil terpilih berdasarkan pada nilai absorban, dimana nilai absorban dipengaruhi
oleh pH, suhu dan cahaya saat penyimpanan. Ekstrak klorofil yang terpilih merupakan
ekstrak yang memiliki kecepatan penurunan nilai absorban dari masing-masing uji yang
dilakukan. Nilai absorban menunjukkan kepekatan warna dari ekstrak klorofil.
Stabilitas terhadap pH
Pengaruh pH terhadap stabilitas ekstrak klorofil dilakukan dengan cara mengukur
nilai absorban ekstrak pada panjang gelombang 645 dan 663 pada pH 1 sampai 7.
Ekstrak klorofil diencerkan dengan konsentrasi 10% lalu larutan ekstrak diatur pHnya
dengan menggunakan larutan NaOH atau HCl hingga diperoleh ekstrak dengan pH
antara 1 sampai 7, jika terbentuk endapan maka endapan tersebut harus disaring. Larutan
ekstrak yang telah diatur pHnya diukur nilai absorban maksimum pada panjang
gombang yang telah ditentukan. Pengukuan dilakukan dengan spektrofotometer UV-
Vis (Prosedur analisa disajikan pada Lampiran 1).
Pengaruh suhu terhadap kestabilan ekstrak klorofil diamati dengan mengukur nilai
absorbansi pada panjang gelombang 645 dan 663 nm. Pada penelitian ini digunakan 2
kondisi penyimpanan dengan tingkat suhu yang berbeda yaitu pada suhu ruang (25±2oC)
dan refrigerator (2±2oC). Pengamatan dilakukan setiap hari selama 5 hari. Cara
kerjanya adalah eksrak klorofil diencerkan dengan air sampai konsentrasi 10 %
kemudian larutan ekstrak disimpan sesuai tingkat suhu yang digunakan. Masing-masing
ekstrak diukur nilai absorbannya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis
(Prosedur analisa dapat dilihat pada Lampiran 1).
14
Mulai
Bahan baku
Pencucian
Pengeringan (diangin-anginkan)
Sumber klorofil : aquades
Penghalusan (1:2)
Penyaringan Ampas
Selesai
Mulai
Film indikator
Selesai
Uji Stabilitas Film Indikator Warna Sebagai Label Cerdas (Nofrida et al. 2013)
Mulai
Film indikator
Penyimpanan
Suhu (-10± Suhu 2±2oC Suhu 17±2oC Suhu 25±2ºC Suhu 50±2ºC
2oC)
Selesai
Gambar 6 Diagram alir uji stabilitas film pada penyimpanan berbagai suhu
Pada tahap ini nilai ohue dijadikan sebagai parameter, kemudian ditentukan
kinetika ordo reaksi dari perubahan warna pada label. Penentuan ordo ditentukan
dengan menggunakan persamaan 3 dan 4 (pada sub bab 2.5) dengan memplot data ohue
terhadap lama penyimpanan pada masing-masing suhu yang akan menghasilkan garis
linier, persamaan dan nilai koefisien korelasi (R2).
Tahap selanjutnya, menganalisa hubungan antara suhu dengan perubahan warna
film indikator dengan menghitung nilai k berdasarkan persamaan (5). Apabila nilai k
diubah menjadi fungsi logaritma maka dihitung nilai ln k sesuai persamaan (6). Langkah
selanjutnya, dengan menggunakan persamaan Arrhenius dengan memplot nilai ln k dan
1/T pada perubahan warna klorofil pada label. Hasil analisis regresi linier dari plot data
1/T dan ln k akan didapat persamaan dan nilai energi aktivasi (Ea).
mengetahui stabilitas pH dari klorofil dan mengetahui jumlah kadar klorofil yang
terekstrak pada ketiga jenis daun. Pengukuran pH diperoleh hasil yang tidak jauh
berbeda. Hasil pH dapat dilihat pada Tabel 4. Menurut Alsuhendra (2004) klorofil relatif
stabil pada pH netral (6-7). Pada pH asam (3-5) klorofil mengalami reaksi dan
menghasilkan berbagai senyawa turunan klorofil. Pada suasana asam, atom Mg2+ akan
diganti dengan atom H sehingga terbentuk senyawa yang disebut feofitin yang berwarna
kecoklatan (Prasetyo et al. 2012).
Pengujian kadar total klorofil dari ketiga jenis ekstak telah disajikan pada Tabel 4.
Hasil pengukuran terhadap kandungan klorofil menunjukkan bahwa semua sampel daun
yang diuji memiliki kandungan klorofil yang tidak jauh berbeda. Dari data tersebut
dapat dilihat bahwa daun suji memiliki kadar klorofil lebih tinggi dibandingkan daun
singkong dan pepaya. Hal ini disebabkan adanya perbedaan spesies, varieats, derajat
kematangan, tempat tumbuh dan faktor lainnya (Alsuhendra 2004). Daun yang diuji
pada penelitian ini adalah daun yang tua yang berwarna hijau pekat. Untuk daun
singkong dan daun pepaya digunakan daun yang berumur ± 3 bulan dan diambil daun
urutan ke 3 dari pucuk, sedangkan daun suji yang digunakan yang berwarna hijau pekat.
Warna hijau pada daun dan sayuran disebabkan oleh pigmen klorofil yang terdiri dari a
dan b yang tersimpan didalam kloroplas. Dedaunan yang berwarna hijau tua, lebih
banyak mengandung klorofil a, sebaliknya dedaunan yang berwarna hijau muda lebih
banyak mengandung klorofil b. Berdasarkan faktor umur tanaman, maka dapat
dikatakan bahwa makin tua umur tanaman akan menghasilkan kandungan klorofil yang
semakin tinggi (Setiari dan Nurchayati 2009). Semakin tinggi kandungan klorofil
dedaunan atau sayuran, semakin hijau warna daun (Alsuhendra 2004).
Pengujian stabilitas klorofil daun singkong, pepaya dan suji diukur dengan
menggunakan spektrofotometer. Pengujian stabilitas klorofil ini bertujuan untuk
mendapatkan ekstrak klorofil yang terbaik diaplikasikan pada film indikator warna
khitosan + PVA. Ekstrak warna yang diinginkan adalah warna hijau klorofil yang dapat
berubah warna karena penyimpanan pada berbagai suhu. Pemilihan warna ini dilihat
dari penurunan nilai absorban dan perubahan warna yang terjadi. Pengujian stabilitas
ini meliputi: pengaruh terhadap pH, suhu dan cahaya.
1
Klorofil Daun Suji
1,2
1 Klorofil daun singkong
0,8
Klorofil daun pepaya
0,6
0,4
0,2
0
1 2 3 4 5 6 7
Nilai pH
(b)
Gambar 7 Nilai absorban ekstrak klorofil a (a) dan ekstrak klorofil b (b)
Dari Gambar di atas dapat dilihat bahwa nilai absorban tertinggi terdapat pada pH
7. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan dengan Prasetyo et al (2012) dan
Hermansyah (2012) yang menyatakan bahwa pada titik netral (7-8) klorofil relatif stabil
dibandingkan pada pH asam (3-5). Ketidakstabilan struktur klorofil mengakibatkan
terjadinya reaksi feofitinisasi. Gross (1991) menyatakan bahwa reaksi feofitinisasi
reaksi pembentukan feofitin yang bewarna hijau kecoklatan. Reaksi ini terjadi karena
terlepasnya ion Mg2+ dari pusat cincin molekul klorofil. Perubahan warna yang
dihasilkan dari pH 1 sampai 7 dapat dilihat pada Gambar 8 .
Klorofil merupakan porifin yang mengandung cincin dasar tetrapirol, dimana
keempat cincin berikatan dengan ion Mg2+, dan memiliki cincin isosiklik yang kelima
yang berada dekat dengan cincin pirol ketiga. Pada cincin keempat, substituen asam
propionat diesterifikasi oleh gugus fitol, suatu diterpen alkohol (C20H39OH), yang
bersifat hidrofobik. Jika gugus ini dihilangkan dari struktur intinya maka klorofil
berubah menjadi turunannya yang bersifat hidrofilik (Gross 1991). Rumus molekul
klorofil-a adalah C55H72N4O5Mg, sedangkan klorofil-b adalah C55H70N4O6Mg.
Klorofil-b berbeda dengan klorofil-a karena mempunyai satu grup forthil (-CHO)
menggantikan grup metil pada posisi 3 dari klorofil (Gross 1991).
19
(A)
(B)
(C)
Gambar 8 Perubahan warna ekstrak klorofil dari pH 1-7 pengenceran 10-2 pada (A)
daun suji (B) daun singkong (C) daun pepaya
Salah satu sifat kimia klorofil yang penting adalah kelabilan yang ekstrim, seperti
sensitif terhadap cahaya ultraviolet, panas, oksigen, dan degradasi kimia. Klorofil dapat
terdegradasi secara kimia, yang meliputi reaksi feofitinisasi, reaksi pembentukan
klorofilid, dan reaksi oksidasi (Gross 1991).
Dari Gambar 8 dilihat bahwa semakin rendah pH ekstrak (ekstrak semakin asam)
maka absorban maksimum dari absorban cenderung menurun. Pada pH 1-3 warna yang
dihasilkan adalah warna kuning kecoklatan, semakin tinggi pH warna yg dihasilkan
menjadi hijau dan stabil pada pH 7 (netral). Penurunan intensitas warna yang dihasilkan
disebabkan karena terjadinya perubahan struktur molekul klorofil menjadi feofitin
(berwarna kuning). Degradasi pigmen klorofil terjadi pada pH rendah, hal ini yang
memicu terjadinya proses feofitinasi (Arfandi et al. 2013). Feofitinasi atau demetalasi
(pelepasan ion Mg2+), pelepasan gugus fitol, oksidasi dan alomerisasi (oksidasi cincin
V) merupakan beberapa bentuk degradasi klorofil menjadi turunannya. Beberapa dari
perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 9. Menurut Gross (1991), Feofitin-a dan
b mudah didapat dari klorofil dengan perlakuan asam, sehingga melepaskan magnesium.
Selain dapat bereaksi dengan asam, klorofil juga dapat bereaksi dengan basa yang
menghasilkan gugus bernama filin (phyllins) yaitu sebuah komponen porpirin bergugus
magnesium.
20
Klorofil yang berwarna hijau dapat berubah menjadi hijau kecoklatan dan
mungkin berubah menjadi coklat akibat adanya perlakuan-perlakuan selama
pengolahan seperti perlakuan asam, panas tinggi dan browning enzimatis (Putri et al
2012). Menurut Hermansyah (2012) degradasi klorofil dipengaruhi oleh pH. Pengaruh
pH asam pada klorofil menyebabkan semakin banyak terlepasnya ion Mg2+. Peristiwa
ini terjadi karena protein yang mengadakan ikatan kompleks dengan molekul klorofil
menjadi terdenaturasi, sehingga sumbangan ikatan yang berasal dari ligan protein
dalam mempertahankan ion Mg2+ menjadi berkurang. Di dalam asam lemah ion Mg2+
pada inti porifin dari senyawa klorofil akan tersubsitusi oleh ion H+ yang akan
menyebabkan berubahnya wana hijau (pH netral) menjadi kuning kecoklatan (pH
asam), yaitu warna feofitin. Senyawa klorofil merupakan senyawa yang cukup peka
terhadap perubahan cahaya, temperatur, pH dan oksigen.
Stabilitas ekstrak yang disimpan pada suhu ruang (25±2oC) dan refrigerator
(2±2oC) dilakukan pengujian selama 5 hari dengan cara melihat perubahan nilai
absorban pada panjang gelombang 645 (klorofil a) dan 663 (klorofil b) nm. Kemudian
dilihat perubahan warna yang terjadi. Perubahan nilai absorban selama penyimpanan
dapat dilihat pada Gambar 10.
Dari Gambar tersebut dapat dilihat bahwa semakin lama penyimpanan maka
nilai absorban yang dihasilkan menurun. Penurunan panjang gelombang diakibatkan
karena terjadinya kerusakan struktur klorofil akibat adanya reaksi oksidasi enzimatik
selama penyimpanan. Menurut Hermansyah (2012), reaksi oksidasi enzimatik terjadi
dengan adanya enzim lipoksigenase yang terdapat di sebagian besar sayuran dan buah-
buahan. Enzim lipoksigenase diidentifikasi sebagai enzim yang memberikan pengaruh
pemucatan pada klorofil-a dan klorofil-b dengan kehadiran lemak dan oksigen.
Menurut Gross (1991) kerusakan warna hijau menjadi kuning kecoklatan pada sayuran
diakibatkan karena penyimpanan.
21
0,8
0,6 Suji
0,4 Singkong
Pepaya
0,2
0
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Lama penyimpanan (hari) Lama penyimpanan (hari)
(A)
1,4 Suhu ruang Suhu refrigerator
1,2
Nilai absorban λ 663
1
0,8 Suji
0,6 Singkong
0,4
Pepaya
0,2
0
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Lama penyimpanan (hari) Lama penyimpanan (hari)
(B)
Gambar 11 Perubahan warna klorofil (1) daun suji; (2) daun singkong; (3) daun
pepaya pada penyimpanan suhu ruang selama (a) 1 hari, (b) 2 hari, (c)
3 hari, (d) 4 hari, (e) 5 hari
22
Gambar 12 Perubahan warna klorofil (1) daun suji; (2) daun singkong; (3) daun
pepaya pada penyimpanan refrigerator selama (a) 1 hari, (b) 2 hari, (c) 3
hari, (d) 4 hari, (e) 5 hari
Dari ketiga jenis daun tersebut, daun suji memiliki nilai absorban tertinggi pada
panjang gelombang 645 dan 663. Panjang gelombang 645 dan 663 digunakan untuk
menguji kadar klorofil a dan klorofil b. Jadi dapat disimpulkan bahwa kandungan klorofil
tertinggi terdapat pada daun suji kemudian daun singkong dan daun pepaya.
Intensitas warna hijau terlihat bahwa penyimpanan pada suhu ruang mengalami
perubahan warna dari hijau menjadi kuning kecoklatan. Oleh karena itu selama
penyimpanan pada suhu ruang mengalami proses degradasi struktur klorofil sehingga
lepasnya ion Mg2+ pada pusat cincin klorofil menjadi feofitin yang ditandai dengan terjadi
perubahan warna menjadi coklat. Menurut gross (1991), degradasi klorofil dapat
disebabkan oleh reaksi oksidasi. Cincin isosiklik dapat teroksidasi membentuk klorofil
teralomerasi dan pecahnya cincin tetrapirol membentuk produk yang tidak bewarna. Reaksi
oksidasi dapat dibagi menjadi reaksi oksidasi enzimatik dan reaksi oksidasi non enzimatik.
Reaksi oksidasi ini terjadi karena adanya pemanasan dan selama penyimpanan.
0,8
Nilai absorban λ 645
0,6 Suji
0,4 Singkong
0,2 Pepaya
0
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Lama penyimpanan (hari) Lama penyimpanan (hari)
(A)
1
0,8 Suji
0,6
Singkong
0,4
Pepaya
0,2
0
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Lama penyimpanan (hari) Lama penyimpanan (hari)
(B)
Dari Gambar 13 dapat dilihat bahwa, semakin lama waktu penyimpanan akan
menurunkan mutu klorofil yang dihasilkan. Penyimpanan pada ruang tanpa cahaya
memiliki tingkat stabilitas lebih baik dibandingkan ruang yang bercahaya. Hal ini sesuai
dengan sifat klorofil yang peka terhadap cahaya. Perubahan warna yang terjadi pada
penyimpanan cahaya terang sangat signifikan. Semakin lama penyimpanan, warna yang
ditimbulkan semakin pucat. Perubahan warna klorofil yang disimpan pada cahaya terang
dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14 Perubahan warna klorofil (1) daun suji; (2) daun singkong; (3) daun
pepaya pada penyimpanan cahaya terang selama (a) 1 hari, (b) 2 hari,
(c) 3 hari, (d) 4 hari, (e) 5 hari
24
Hal ini juga didukung oleh Gross (1991) bahwa dengan adanya pemanasan akan
memberikan pengaruh kerusakan klorofil dengan membentuk pheophytin. Penyebab lain
turunnya warna dan kadar klorofil pada ekstrak pada penyimpanan ruang bercahaya
meningkatnya aktifitas enzimatisnya, sehingga meningkat pula degradasi klorofil menjadi
feofitin (Putri et al. 2012). Pemanasan yang terjadi akibat penyimpanan pada ruang yang
bercahaya dapat mengakibatkan denaturasi protein sehingga klorofil menjadi tidak
terlindungi lagi (Sari 2005). Kerusakan klorofil yang terjadi saat terkena cahaya terang
terjadi karena rusaknya cincin porifin, sehingga sifat spektral klorofil yang dimiliki semula
menjadi hilang. Aktifitas enzim lipoksigenase terhadap suatu senyawa bukan klorofil dapat
menghasilkan radikal bebas. Radikal bebas ini selanjutnya yang dapat memecah klorofil
(Nurdin 2009).
Ekstrak klorofil yang disimpan pada ruang gelap mengalami penurunan intensitas
warna yang tidak berbeda nyata. Perubahan warna ekstrak klorofil yang disimpan pada
ruang tanpa cahaya dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15 Perubahan warna klorofil (1) daun suji (2) daun singkong (3) daun pepaya
pada penyimpanan tanpa cahaya (a) 1 hari (b) 2 hari (c) 3 hari (d) 4 hari (e)
5 hari
Klorofil terdapat dalam bentuk terikat secara kompleks dengan molekul protein. Jika
klorofil mengalami pemanasan atau terkena cahaya, maka senyawa kompleks tersebut akan
mengalami denaturasi, sehingga klorofil akan dibebaskan. Klorofil bebas ini sangat tidak
stabil, dan ion Mg2+ yang terdapat di dalamnya dapat dengan mudah digantikan oleh ion
H+. Akibatnya warna hijau klorofil berubah menjadi kecoklatan bahkan semakin pucat
karena terbentukanya beberapa turunan klorofil seperti fiofitin, feoforbid, dll (Muchtadi
1992). Klorofil dalam jaringan tanaman dilindungi dari getah tanaman yang asam melalui
pembentukan ikatan dengan protein, tetapi ikatan ini dengan mudah terpecah saat
penyimpanan dan pengolahan (Hutchings 1994). Menurut Alsuhendra (2004) proses
oksidasi dan alomerisasi sering terjadi pada saat penyimpanan yang mengakibatkan
hilangnya warna hijau. Peristiwa ini umumnya dibantu oleh enzim-enzim seperti katalase,
peroksidase, lipoksidase dan klorofil oksidase.
Dari uji stabilitas klorofil yang dilakukan, ekstrak warna klorofil terbaik yang dapat
diaplikasikan pada film indikator warna adalah ekstrak klorofil dari daun singkong.
Pemilihan ini berdasarkan, uji klorofil tehadap pH, suhu dan cahaya pada ekstrak daun
singkong mengalami penurunan nilai absorbansi lebih cepat dibandingkan ekstrak daun
suji dan daun pepaya. Jadi saat aplikasi pada film, warna yang dihasilkan berwarna hijau
dan perubahan warna yang jelas secara visual. Pada penelitian ini, daun suji memiliki kadar
25
klorofil lebih tinggi dibandingkan daun singkong dan pepaya, dapat dilihat pada total
klorofil yang didapat dan nilai absorban awal. Semakin banyak klorofil yang terekstrak
maka warna yang dihasilkan akan semakin pekat. Klorofil merupakan pigmen hijau
sehingga memiliki kecenderungan sebagai warna yang terbagi dalam warna gelap, karena
jumlah klorofil pada suji yang lebih tinggi, maka warna yang dihasilkan akan menjadi gelap
dan tidak hijau. Hal ini sesuai dengan penelitian Putri et al. (2012) yang mendapatkan
warna suji lebih gelap dan menurunkan tingkat kecerahan karena kandungan klorofil yang
tinggi.
Dalam pembuatan film ini, pelarut yang digunakan untuk melarutkan khitosan
yaitu menggunakan asam asetat 1%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pangabean (2010)
bahwa khitosan memiliki sifat larut dalam larutan asam dengan pH kurang dari 6 seperti
asam asetat, asam format dan asam laktat. Sementara itu, untuk melarutkan PVA, cukup
menggunakan air atau aquades yang telah dipanaskan hingga mencapai suhu 80oC, hal ini
sesuai dengan perlakuan Nofrida (2012) dan pernyataan Sheftel (2000) bahwa PVA dapat
larut pada air dengan suhu 80oC. Agar film yang dihasilkan lebih lentur dan elastis, pada
penelitian ini dilakukan penambahan gliserol 1% sesuai perlakuan Nofrida (2012).
Pembuatan matriks film dicampur dengan perbandingan 60:40 dari PVA dan khitosan.
Perbandingan ini dipilih karna menghasilkan film yang lebih baik secara fisik (Nofrida
2012).
Perlakuan penambahan ekstrak klorofil dilakukan dengan konsentrasi 25 mL
pewarna /100 mL larutan film ke dalam campuran 60:40 PVA dan khitosan lalu
dikeringkan pada suhu 50oC selama 30 jam dan menghasilkan film indikator dengan
hijau.Warna pada film dapat dilihat pada Gambar 16.
Setelah mendapatkan film indikator klorofil, ketebalan merupakan salah satu
parameter untuk mengetahui karakteristik film yang dibuat. Ketebalan film dipengaruhi
oleh jumlah volume larutan film yang dicetak pada cetakan plat kaca. Semakin banyak
larutan, maka film yang dihasilkan semakin tebal. Film ini dicetak dengan cetakan
berukuran (20×15 cm)2 dengan volume larutan film 200 mL. Nilai ketebalan yang didapat
setelah terbentuk film indikator klorofil yaitu 0.22 mm. Ketebalan juga dipengaruhi oleh
kekentalan atau viskositas larutan film yang digunakan, semakin besar persentase padatan
bahan baku dan plasticizer yang digunakan maka akan semakin meningkatkan ketebalan
film yang dihasilkan (Nofrida 2012).
(a) (b)
Gambar 16 Film indikator warna klorofil (a) sebelum dikeringkan (b) sesudah
dikeringkan
26
Ghanim (2012) juga menyebutkan ketebalan pada film diduga oleh adanya ikatan
hidrogen yang terbentuk akibat interaksi yang terbentuk antara gugus hidroksil dan
amino dari khitosan dengan gugus hidroksil PVA yang menyebabkan kedua bahan
tersebut terikat kuat dan membentuk suatu padatan yang menyebabkan padatan tersebut
menjadi sulit menguap dan berubah menjadi film. Raymond et al. (2006) menyatakan
bahwa gugus hidroksil dan gugus amina yang berinteraksi dalam ikatan hidrogen
menjadikan suatu larutan menjadi lebih sulit menguap dari senyawa lain. Gontard et al.
(1993) menambahkan, bahwa ketebalan film dipengaruhi oleh jumlah padatan yang
terdapat pada larutan. Semakin banyak jumlah padatan maka film yang terbentuk akan
semakin tebal. Hal lain yang mempengaruhi ketebalan film menurut Park et al. (1995)
diantaranya adalah luas cetakan, volume larutan, dan jumlah padatan dalam larutan.
Gambar 17 Perubahan warna film indikator warna klorofil pada suhu: (a) 50±2oC
(b) 25±2oC (c) 17±2oC (d) 2±2oC (e) -10±2oC
Nilai L
penyimpanan suhu 2±2oC menjadi 23,71 dan 23,02 pada suhu -10±2oC. Hubungan nilai
L dengan lama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 18.
27 27
25
26
Suhu -10 23
Nilai L
Nilai L
Suhu 2
25 21
Suhu 17
19
24 Suhu 27
17 Suhu 50
23 15
0 50 100 150 0 5 10 15 20
Lama penyimpanan (hari) Lama penyimpanan (jam)
(a) (b)
Gambar 18 Hubungan lama penyimpanan terhadap nilai L label indikator
Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa setiap suhu memiliki nilai L yang berbeda.
Semakin lama penyimpanan film makan nilai L yang didapatkan semakin menurun.
Penurunan nilai L ini, seiring dengan perubahan struktur kimia klorofil menjadi
turunannya. Warna awal yang berwarna hijau, berubah menjadi hijau kekuningan
hingga kuning kecoklatan. Pernyataan ini didukung oleh Fennema (1996), bahwa
adanya penerapan panas akan mempercepat pembentukan feofitin yang memiliki warna
hijau kekuningan (olive green). Feofitin adalah salah satu jenis turunan klorofil yang
melepaskan Mg2+ dan menggantinya dengan H+. Hal ini dapat terjadi karena Mg2+
merupakan gugus paling lemah pada struktur klorofil yang mudah diserang akibat
radikal bebas (Muchtadi 1992). Hutchings (1994) juga meyebutkan pemanasan
berpengaruh terhadap reaksi feofitin yaitu terlepasnya ion Mg2+ pada senyawa klorofil
dan disubsitusi oleh ion H+ yang menyebabkan berubahnya warna hijau menjadi
kecoklatan.
Nilai a
Menurut Nofrida (2012), nilai a positif (+a) menunjukkan sampel memiliki derajat
kemerahan, sedangkan nilai a negatif (-a) menunjukkan sampel memiliki derajat
kehijauan. Sampel film klorofil memiliki warna hijau. Secara keseluruhan, nilai a yang
didapat pada setiap penyimpanan mengalami peningkatan. Pada penyimpanan pada
suhu 50±2oC nilai meningkat dari -14,46 menjadi -2,97. Pada penyimpanan dengan suhu
25±2oC nilai a meningkat menjadi -3,07. Selanjutnya, pada penyimpanan dengan suhu
17±2oC nilai a yang didapat juga mengalami peningkatan menjadi -5,46. Pada
penyimpanan dengan suhu rendah, nilai a tetap mengalami kenaikan walaupun tidak
begitu signifikan, suhu 2±2oC mengalami kenaikan menjadi -6,65 dan pada suhu -10±-
2oC menjadi -11,32. Hubungan antara lama penyimpanan terhadap sampel yang
disimpan pada berbagai suhu, dapat dilihat pada Gambar 19.
29
Nilai a
Nilai a
Suhu 2
-0,3 -0,3 Suhu 17
Suhu 27
-0,4 -0,4
Suhu 50
-0,5 -0,5
(a) (b)
Gambar 19 Hubungan lama penyimpanan terhadap nilai a label indikator
Nilai b
50 50
48 Suhu 50
46 45 Suhu 27
44
40 Suhu 17
42
Nilai b
Suhu 2
Nilai b
40 35
38 Suhu -10
36 30
34
25
32
30 20
0 15 30 45 60 75 90 105 120 0 5 10 15 20
Lama penyimpanan Lama penyimpanan
(a) (b)
Gambar 20 Hubungan lama penyimpanan terhadap nilai b label indikator
Nilai ∆E
Nilai perbedaan warna total atau total color difference biasa disebut ∆E. Nilai ΔE
merupakan atribut nilai yang menjadi parameter terjadinya perubahan warna secara
keseluruhan. Semakin tinggi nilai ΔE menunjukkan lebih besarnya total perubahan
warna sampel selama penyimpanan, sedangkan semakin kecil nilai ΔE menunjukkan
perubahan warna sampel selama penyimpanan relatif kecil (Hutchings 1999). Semakin
besar nilai ΔE, menunjukkan menurunnya intensitas warna yang jauh berbeda terhadap
warna semula. Perubahan nilai ΔE label indikator untuk masing-masing suhu
penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 21.
31
16 35
14 Suhu 50
30
12 Suhu 25
25
10 Suhu 17
Nilai ∆E
Suhu 2 20
Nilai ∆E
8
Suhu -10
6 15
4 10
2 5
0 0
0 20 40 60 80 100 120 0 5 10 15 20
-2
Lama penyimpanan (hari) Lama penyimpanan (jam)
(a) (b)
Gambar 21 Hubungan lama penyimpanan terhadap nilai ∆E label indikator
Nilai oHue
Menyatakan warna sebenarnya, seperti merah, violet, dan kuning. ohue digunakan
untuk membedakan warna-warna dan menentukan kemerahan (redness), kehijauan
(greenness) dari cahaya. oHue berasosiasi dengan panjang gelombang cahaya, dan bila
kita menyebut warna merah, violet, atau kuning, kita sebenarnya menspesifikasikan
o
hue-nya. Perubahan nilai ohue label indikator untuk masing-masing suhu penyimpanan
dapat dilihat pada Gambar 22.
Nilai ohue awal untuk semua suhu adalah 72,05 yang menunjukkan warna hijau
pada label indikator klorofil. Semakin lama penyimpanan maka nilai ohue pada masing-
masing suhu mengalami peningkatan dengan lama penyimpanan yang berbeda.
Semakin tinggi suhu penyimpanan maka semakin tinggi nilai ohue yang menandakan
terjadinya perubahan warna. Peningkatan nilai ohue juga menandakan kerusakan
klorofil pada label. Hal ini menunjukkan bahwa struktur dari klorofil mengalami
degradasi selama penyimpanan pada setiap suhu.
32
80 84
79 Suhu -10
82
78 Suhu 2
77 80
Nilai hue
Nilai hue
76 78
75 Suhu 17
76 Suhu 27
74
74 Suhu 50
73
72 72
0 50 100 150 0 5 10 15 20
Lama penyimpanan (hari) Lama penyimpanan (jam)
(a) (b)
Gambar 22 Hubungan lama penyimpanan terhadap nilai ohue label indikator
Perubahan warna bisa diakibatkan oleh enzim, oksigen, suhu. Umumnya, terdapat
tiga reaksi yang dapat menjelaskan degradasi klorofil, yaitu reaksi feofitinasi,
pembentukan klorofilid dan oksidasi. Reaksi feofitin adalah bentuk klorofil yang
kehilangan ion Mg2+ sehingga warna yang diekspresikan bukan hijau melainkan hijau
kecoklatan. Klorofil a diketahui mengalami reaksi feofitinasi lima sampai sepuluh kali
lebih cepat dibandingkan dengan klorofil b. Reaksi ini akan berjalan lebih cepat jika
terkena panas (Kyzlink 1990). Panas mempercepat reaksi feofitinasi karena dapat
mendenaturasi protein.
Reaksi kedua yaitu reaksi pembentukan klorofilid. Klorofilid dapat terbentuk dari
reaksi hidrolisis pada suasana asam maupun basa. Biasanya reaksi terjadi akibat aktifitas
enzim klorofilase. Enzim ini terdapat hampir pada semua tanaman yang mampu
menghidrolisis rantai fitol. Pada kondisi normal, enzim ini terikat kuat secara fisik pada
lipoprotein lamela sehingga tidak bereaksi hidrolisis klorofil. Enzim ini akan aktif jika
berada pada pelarut organik atau pada temperature 65-70 oC pada pelarut air (Gross
1991). Klorofilid yang dihasilkan pada reaksi hidrolisis ini masih mengekspresikan
warna hijau seperti klorofil tetapi lebih larut air. Lebih lanjut, klorofilid dapat menjadi
feoforbit, yaitu senyawa klorofilid yang kehilangan ion Mg2+ dan digantikan oleh ion
hidrogen. Reaksi oksidasi klorofil menghasilkan produk yang tidak berwarna akibat dari
teralomerasinya klorofil dan pecahnya cincin tetrapirol (Clydesdale dan Francis 1976).
Reaksi oksidasi ini dapat terjadi secara enzimatis maupun non enzimatis. Oksidasi
secara enzimatis melibatkan enzim lipoksigenase yang terdapat pada sebagian besar
sayuran dan buah-buahan.
Pada penelitian ini dilakukan penyimpanan pada label indikator warna klorofil
dengan berbagai penyimpanan suhu. Suhu 50±2oC memiliki peningkatan nilai ohue dan
lama penyimpan yang lebih cepat sedangkan pada suhu -10±2oC peningkatan nilai ohue
dan lama penyimpanan yang lebih lambat. Perubahan nilai ohue yang terjadi pada
penyimpanan suhu 50±2oC adalah 82,71. Peningkatan nilai hue juga terjadi
penyimpanan suhu lainnya, suhu 25±2oC peningkatan nilai menjadi 82,50, selanjutnya
pada suhu 17±2oC menjadi 81,13. Penyimpan label pada suhu rendah mengalami
peningkatan nilai hue yang tidak begitu signifikan dibandingkan suhu sebelumnya, pada
suhu 2±2oC menjadi 79,25 dan pada suhu -10±2oC menjadi 75,51. Perubahan masing-
masing warna label pada berbagai penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 23.
33
Berdasarkan nilai ohue maka penentuan orde reaksi dilakukan dengan memplot
o
data hue terhadap lama penyimpanan pada masing-masing suhu penyimpanan dengan
menggunakan Persamaan 3 dan 4. Berdasarkan plot data tersebut didapat hasil garis
linier pada masing-masing ordo. Hasil persamaan dapat dilihat pada Gambar 24 dan
Gambar 25.
80
76 78 y = 0,5062x + 72,981
ln k
R² = 0,941
75 76
Suhu 17
74 y = 0,0009x + 73,253 74
R² = 0,916 Suhu 27
73 72
Suhu 50
72 70
0 1000 2000 3000 0 5 10 15 20
Lama penyimpanan (jam) Lama penyimpanan (jam)
Gambar 24 Hubungan antara nilai ln k dan lama penyimpanan pada berbagai suhu
dengan menggunakan ordo 0
34
ln k
ln k
Gambar 25 Hubungan antara nilai ln k dan lama penyimpanan pada berbagai suhu dengan
menggunakan ordo 1
Tabel 5 Nilai konstanta laju reaksi (k) dan nilai koefisien korelasi (R2) dari ordo 0
dan ordo 1
Ordo 0 Ordo 1
Suhu Suhu
(°C) (°K) k (jam-1) R2 (°C) (°K) k (jam-1) R2
Tabel 5 menunjukkan konstanta laju reaksi (k) dan nilai koefisien korelasi (R2)
dari masing-masing penyimpanan suhu pada ordo 0 dan ordo 1. Perubahan warna label
klorofil pada penelitian ini, dapat menggunakan ordo 0 dan 1. Hal ini dikarenakan, nilai
koefisien yang tidak berbeda nyata. Pada penelitian yang dilakukan oleh Amalia (2012)
untuk menentukan mutu dipilih parameter yang memilki nilai koefisien korelasi (R2)
yang cukup besar (>0,75). Untuk mendapatkan energi aktifasi (Ea) dan persamaan
perubahan warna label indikator, maka dilakukan dengan membuat plot nilai 1/T dan ln
k . Hasil analisis regresi linier dari plot 1/T dan ln k pada ordo 0 didapat persamaan y =
-7697,4x + 25,247 (R2 = 0,910 ). Dari persamaan ini diperoleh nilai Ea (Energi aktivasi)
sebesar 15,2947 kkal/mol, (R = nilai tetapan gas 1,987 kal/mol). Persamaan regresi pada
ordo 1 adalah y = -10011x + 28,223 (R2 = 0,920 ), dengan nilai energi aktivasi sebesar
35
19,8919 kkal/mol. Energi aktivasi tersebut mempunyai arti bahwa besarnya energi
minimal yang dibutuhkan molekul pada label indikator untuk menurunkan pewarna
klorofil sebesar 15,2947 kkal/mol (pada ordo 0) dan 19,8919 kkal/mol (pada ordo 1).
Nilai k diperoleh dari ln k -7697,4x (1/T) + 25,247 (R2 = 0,910) pada ordo 0 dan begitu
selanjutnya. Hasil plot nilai 1/T dan ln k pada masing-masing ordo dapat dilihat pada
Gambar 26.
2 Ordo 0 Ordo 1
0
1
0,002 0,0025 0,003 0,0035 0,004
0 -2
0 0,001 0,002 0,003 0,004
-1 -4
ln k
-2
ln k
-6
-3
-8
y = -7697,4x + 25,247
-4
R² = 0,910 y = -10011x + 28,223
-10 R² = 0,920
-5
-6 -12
1/T 1/T
Gambar 26 Plot 1/T dengan ln k untuk perubahan warna pada label indikator
Degradasi warna label pada penelitian ini mengikuti reaksi ordo 0 dan 1. Dimana
parameter yang digunakan adalah kenaikan nilai °hue. Dari hasil plot data pada Gambar
26, maka persamaan untuk model kinetika perubahan warna label indikator dapat dilihat
pada Tabel 6.
Konstanta laju reaksi perubahan klorofil akan semakin besar seiring dengan
kenaikan suhu. Uji statistik menunjukkan koefisien determinasi (R2) antara nilai
logaritma natural k dengan lama penyimpanan menggunakan kinetika yang
dikembangkan adalah berkisar antara 0,914 – 0,983. Penggunakan ordo 0 dan ordo 1
pada persamaan Arrhenius telah banyak dilakukan. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Amalia (2012), ordo 0 dimanfaatkan untuk menduga umur simpan pada produk nugget
ikan dengan merk dagang Fish nugget ‘’so lite’’. Dasar asumsinya adalah aktifitas
mikroba pada berbagai kondisi suhu penyimpanan. Selanjutnya, penggunakan ordo 1
juga dimanfaatkan oleh berbagai peneliti. Renate et al. (2014) membuat model kinetika
degradasi capcaisin pada cabai merah giling dengan berbagai kondisi suhu
penyimpanan. Masithoh et al. (2013) menyatakan bahwa penurunan karoten, asam sitrat
dan kadar vitamin C pada tomat didekati dengan regresi linier ordo 1. Degradasi warna,
vitamin C dan dripp loss pada brokoli juga menggunakan persamaan Arrhenius dengan
36
ordo 1 (Goncalves et al. 2011). Untuk menentukan perubahan warna klorofil menjadi
turunannya, Prangdimurti (2007) juga memanfaatkan reaksi ordo 1 pada penelitian yang
dilakukannya.
Kesimpulan
Ekstrak klorofil pada daun suji, singkong dan pepaya stabil pada pH netral
dibandingkan pH asam. Untuk aplikasi klorofil, ekstrak klorofil daun singkong dipilih
sebagai pewarna indikator pada film. Pemilihan ini berdasarkan, tingkat stabilitas
terhadap pH, cahaya dan suhu ekstrak daun singkong lebih mudah mengalami
penurunan nilai absorban dibandingkan ekstrak daun suji dan daun pepaya. Daun suji
memiliki kadar klorofil tertinggi dibandingkan daun singkong dan pepaya, hal ini
berpengaruh terhadap tingkat kecerahan jika diaplikasikan pada label indikator.
Perubahan warna label dilihat secara visual mengalami perubahan dari hijau
menjadi hijau kekuningan hingga kuning kecoklatan. Kisaran nilai ohue sampel berada
pada 73o hingga 83o dan berada pada kuadran ke 2. Semakin tinggi suhu, maka
perubahan warna yang dihasilkan semakin cepat.
Model Arrhenius dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan model kinetika
perubahan warna klorofil pada label indikator. perubahan warna ini dapat menggunakan
ordo 0 maupun ordo 1 dengan parameter nilai °hue. Permodelan yang dihasilkan untuk
ordo 0 adalah k = 9,22.1010 e -15294,7/T dan untuk ordo 1 adalah k = 1,81.1012 e -19891,9/T .
Pengembangan model ini dapat digunakan untuk menduga umur simpan label jika
disimpan pada kondisi suhu yang berbeda.
Saran
Untuk peneliti selanjutnya disarankan dapat menguji label dan produk yang
sesuai sehingga menghasilkan model hubungan kinetika perubahan warna indikator
dengan perubahan mutu produk
DAFTAR PUSTAKA
Kuswandi B, Wicaksono Y, Jayus, Abdullah A, Heng LY, Ahad M. 2011. Sensor for
monitoring of food quality and safety. Electron Journal sens & instrumen food
quality. 5: 137-146, doi 10.1007/s11694-011-9120-x.
Krajewska B. 2004. Membrane based processes performed with use of
chitin/chitosan materials. Journal Separation and purification technology 41:
305–312.
Kyzlink V. 1990. Principles of food preservation. Di Dalam Pewarna alami untuk
pangan. Bogor: SEAFAST Center.
Limantara L, Rahayu P. 2008. Sains dan teknologi pigmen. Di dalam Prosiding
seminar nasional pigmen. Salatiga. 5 September 2008.
MacDougall. 2002. Colour in food: Improving quality. Washington : CRC Press
Masithoh RE, Rahardjo B, Sutiarso L, Harjoko A. 2013. Model kinetika perubahan
kualitas tomat selama penyimpanan. Jurnal Teknologi Pertanian. 14(1): 21-28.
Muchtadi D. 1995. Teknologi dan mutu makanan kaleng. Jakarta. Pustaka Sinar
Harapan.
Musaddad D. 2002. Mempelajari efektifitas pelapis edible khitosan pada buah tomat
segar selama penyimpanan di suhu kamar dan suhu dingin. [Tesis]. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Nofrida R, Warsiki E, Yuliasih I. 2013. Film indikator warna daun erpa sebagai
kemasan cerdas untuk produk rentan suhu dan cahaya. [Tesis]. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Nurdin. 2009. Pembuatan bubuk ekstak cu-turunan klorofil daun cincau (Premna
Oblongfolia Merr) dan uji praklinis untuk pencegahan aterosklorosis.
[Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Ogur E. 2005. Polyvinyl alcohol: materials, processing and applications. United
Kingdom: Smithers Rapra Technology.
Pacquit A, Frisby J, Diamond D, Lau KT, Farrell A, Quilty B, Diamond D. 2007.
Development of a smart packaging for the monitoring of fish spoilage. Journal
Food Chemistry 102: 466-470.
Pangabean YW. 2010. Pengaruh edible film kitosan terhadap umur simpan mutu
buah nenas (Ananas Comosus L. Merr) segar terolah minimal selama
penyimpanan atmosfer termodifikasi. [Skripsi]. Bogor: Insitut Pertanian
Bogor.
Paul BK, Moulik SP. 2001. Uses and applications of microemulsions. Journal Current
science 80: 990-1001.
Prangdimurti E. 2007. Aktivitas antioksidan dan hiprokolesterolemik ekstrak daun
suji (Pleomele angustifolia N.E. Brown). [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Prashanth KVH, Tharanathan RN. 2007. Chitin/chitosan: modifications and their
unlimited application potential an overview. Journal Food Science and
Technologi 8:117-131.
Prasetyo S, Sunjaya H, Yanuar Y. 2012. Pengaruh rasio massa daun suji / pelarut,
temperatur dan jenis pelarut pada ekstraksi klorofil daun suji secara batch
dengan pengontakan dispersi. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat. Bandung: Universitas Katolik Prahayangan.
Priyanto G. 1997. Kinetika perubahan mutu sari buah nanas dalam proses aseptik.
[Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
39
Putri WDR, Zubaidah E, Sholahudin. 2012. Ekstraksi pewarna alami daun suji kajian
pengaruh blanching dan jenis bahan pengekstrak. Jurnal Tenologi Pertanian 4:
13-24.
Quintavalla S, Vicini L. 2002. Antimicrobial food packaging in meat industry.
Electron Journal Food science 62: 373-380, doi 10.1016/S0309-
1740(02)00121-3.
Rahardyani R. 2011. Efek daya hambat kitosan sebagai edible coating terhadap mutu
daging sapi selama penyimpanan suhu dingin. [Skripsi]. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Renate D, Pratama F, Yuliati K, Priyanto G. 2014. Model kinetika degradasi
capcaisin cabe merah giling pada berbagai kondisi suhu penyimpanan. Jurnal
Agriteknologi 34 (3).
Restuccia D, Spizzirri G, Parisi, Cirillo G, Curcio M, Lemma F,Puoci F, Vinci G,
Picci N. 2010. New EU regulation aspects and global market of active and
intelligent packaging for food industry applications. Journal Food Control 21:
1425-1435.
Riyanto B, Maddu A, Hasnedi YW. 2010. Kemasan cerdas pendeteksi kebusukan
filet ikan nila. Jurnal pengolahan Hasil Perikanan Indonesia 13(2).
Rinaudo M. 2006. Chitin and chitosan: properties and applications. Journal polymer
science 31: 603–632.
Rojas MA, Rosa M, Massilia R, Fortuni RCS, Bustillos RJA, Mchugh TH, Belloso
OM. 2007. Apple puree alginate edible coating as carrier of antimicrobial
agents to prolong shelf-life of fresh-cut apples. Electron Journal postharvbio
45: 254-264, doi 10.1016/j.postharvbio.2007.01017.
Santoso U. 2006. Pengaruh pemanasan terhadap aktivitas antioksidan ekstrak ubi
jalar. Journal Agritechnology 26 (4).
Sari KW. 2005. Studi kemampuan pengikatan kolesterol oleh ekstrak daun suji
(Pleomele Angustifolia N. E. Brown) dalam simulasi sistem pencernaan in
vitro.[Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor
Saxena A, Maity S, Raju, Bawa A. 2012. Degradation kinetics of colour and total
carotenoids in jackfruit (Artocarpus heterophyllus) bulb slice during hot air
drying. Electron Journal food Bioprocess Technologi. Doi:10.1007/s11747-
010-0409-2.
Sedjati S, Yudiati E, Suryono. 2012. Profil Pigmen Polar dan Non Polar Mikroalga
Laut Spirulina sp.dan Potensinya sebagai Pewarna Alami. Jurnal Ilmu
kelautan 17: 176-181.
Setiari N, Nurchayati Y. 2009. Eksplorasi kandungan klorofil pada beberapa sayuran
hijau sebagai alternatif bahan dasar food suplemen. BIOMA 11(1): 6-11
Setiautami A, Warsiki E. 2013. Pembuatan Kemasan Cerdas Indikator Warna
Dengan Pewarna Bit (B.Vulgaris L.Var Cicla L.). Jurnal teknologi industri
pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Sheftel VO. 2000. Indirect Food Additives and Polymer: Migration and Toxicology.
New york: CRC Press.
Smolander M. 2008. Freshness Indicators for Food Packaging. Di dalam Smart
Packaging Technologies for Fast Moving Consumer Goods. England: John
wiley & sons Ltd.
Park HJ, Chinnan MS. 1995. Gas and Water Vapor Properties of Edible Films from
Protein and Cellulosics Materials. Journal Food Engineering. 25:497-507.
40
1. Nilai pH
Lakukan kalibrasi alat pH meter dengan larutan buffer sesuai instruksi kerja alat
setiap kali akan melakukan pengukuran. Keringkan dengan kertas tisu selanjutnya bilas
elektroda dengan aquades. Celupkan elektroda ke dalam contoh uji sampai pH meter
menunjukkan pembacaan yang tetap. Catat hasil pembacaan skala atau angka tampilan
pada pH meter (SNI 06-6989.11-2004).
2. Kadar klorofil
Pengukuran kadar total klorofil dalam ekstrak dilakukan dengan mengadopsi
prosedur Gross (1991). Sejumlah ekstrak (1,5 ml) dicampur dengan 8,5 ml aseton
99.5%, kemudian dibiarkan selama 1 malam dalam refrigerator. Selanjutnya campuran
disentrifugasi pada 3000 rpm selama 10 menit. Untuk menganalisis kadar total klorofil,
dilakukan pengukuran langsung terhadap absorbansi pada panjang gelombang 645 dan
663 nm. Perhitungan kadar klorofil dilakukan dengan menggunakan rumus berikut :
3. Pengukuran Absorbansi
Pengukuran absorbansi dilakukan dengan mesin spektofotometer. Mulanya,
mesin dinyalakan dengan menekan tombol ‘power’ di bagian belakang mesin (tombol
di sebelah kiri bawah). Tunggu hingga 30 menit untuk memanaskan mesin sebelum
dilakukan pengukuran sampel. Tekan tombol A/T/C, pilih absorbance (A). Bersihkan
cuvet dengan aquades, bersihkan dengan tisu hingga bagian dalam cuvet tidak
mengandung aquades lagi. Ukur absorbansi blanko dengan memasukkan larutan blanko
ke dalam cuvet (volume minimal hingga ¾ dari tinggi cuvet). Bersihkan bagian luar
cuvet yang transparan dari debu dan bekas jari tangan. Masukkan cuvet ke dalam cell
holder pada sample chamber. Cuvet harus diletakkan hingga sampai dasar cell. Tutup
sample chamber. Kemudian, Tekan tombol untuk mengatur blanko pada konsentrasi 0
Pilih panjang gelombang (645 dan 663 nm) yang akan digunakan untuk mengukur
sampel dengan menekan tombol. Bersikan cuvet lagi dengan tisu. Siapkan sampel
(ekstrak klorofil) yang akan diukur, pastikan sampel homogen sebelum memasukkan ke
dalam cuvet. Masukkan sampel ke dalam cuvet hingga volume minimal ¾ dari tinggi
cuvet. Pastikan bagian luar cuvet bersih dari debu dan bekas jari tangan. Masukkan
cuvet ke dalam cell holder, tutup sample chamber dan membaca absorbansinya. Ambil
sampel dari cuvet, bersihkan dan ganti dengan sampel baru. Jika pengukuran semua
sampel sudah selesai, matikan mesin, bersihkan cuvet dan keringkan.
42
4. Analisis warna
Pengukuran dilakukan dengan menggunakan kromameter Minolta CR 200.
Alat dikalibrasi dengan obyek standar putih dari CR 200. Pengukuran warna
dilakukan dengan cara meletakkan sampel label film pada lubang yang terdapat
di tengah plat hitam, kemudian ditutup dengan kaca. Pemotretan
dengan kromameter dilakukan sebanyak tiga kali pada masing-masing sampel.
Sistem warna yang digunakan adalah 42tirre warna Hunter. Menurut Soekarto
(1985), 42tirre warna Hunter Lab memiliki tiga atribut yaitu nilai L, a, dan b.
Nilai L menunjukkan kecerahan sampel (warna kromatis, 0: hitam sampai 100:
putih). Warna kromatik merah sampai hijau ditunjukkan oleh nilai a (a: 0 sampai
100 untuk warna merah, a: 0 sampai -80 untuk warna hijau). Warna kromatik
biru sampai kuning ditunjukkan oleh nilai b (b: 0 sampai 70 untuk warna kuning,
b: 0 sampai -70 untuk warna biru). Pengukuran juga dilakukan terhadap nilai ohue
dan ΔE. Nilai ohue dihitung dengan persamaan 1 dan 2 (Pada sub bab 2.4).
5. Uji ketebalan
RIWAYAT HIDUP