Anda di halaman 1dari 57

PEMANFAATAN KLOROFIL SEBAGAI LABEL CERDAS

INDIKATOR WARNA

EDDWINA AIDILA FITRIA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pemanfaatan klorofil


sebagai label cerdas indikator warna adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, November 2015

Eddwina Aidila Fitria


NIM F351120031
RINGKASAN

EDDWINA AIDILA FITRIA. Pemanfaatan Klorofil sebagai label cerdas indikator


warna. Dibimbing oleh ENDANG WARSIKI dan INDAH YULIASIH

Kemasan cerdas (Smart packaging) merupakan suatu kemasan yang memiliki


indikator yang berfungsi untuk memberikan informasi kepada konsumen tentang
kelayakan produk yang dikemas. TTI (Time Temperature Indicator) merupakan salah
satu jenis kemasan cerdas yang dapat menginformasikan jika terjadi penyimpangan
suhu selama penyimpanan produk. Pengembangan aplikasi sensor indikator sebagai
label cerdas (TTI) terus menerus dilakukan, salah satunya label cerdas dalam bentuk
film. Untuk mempermudah penggunaan, film diberi tambahan pewarna yang berfungsi
sebagai indikator. Pada penelitian ini, film indikator dibuat dengan bahan dasar khitosan
dan PVA dengan perbandingan 40:60. Indikator pewarna pada film, didapat dari ekstrak
klorofil yang sesuai yang berasal dari daun suji, singkong dan pepaya.
Penelitian ini bertujuan (i) menganalisa stabilitas ekstrak klorofil yang sesuai
sebagai pewarna indikator; (ii) menganalisa kinerja perubahan warna indikator pada
berbagai suhu penyimpanan dan (iii) mengembangkan model kinetika perubahan warna
label indikator klorofil. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama,
pemilihan ekstrak klorofil yang sesuai sebagai pewarna indikator. Metode yang
digunakan adalah melihat stabilitas masing-masing ekstrak klorofil terhadap 3 faktor
yaitu pengaruh karena pH, suhu dan cahaya. Hasil penelitian menunjukkan klorofil
daun singkong (Manihot esculenta crantz) berwarna lebih hijau dan mengalami
penurunan nilai absorban lebih cepat dibandingkan dengan daun suji dan pepaya.
Klorofil ini sesuai untuk label indikator warna karena saat diaplikasikan degradasi
warna label mengalami perubahan yang signifikan dan mudah dilihat secara visual.
Tahap kedua yaitu pembuatan film indikator dan menguji stabilitas label indikator pada
5 penyimpanan suhu yang berbeda, yaitu pada suhu -10±2oC, 2±2oC, 17±2oC, 25±2oC
dan 50±2oC. Perubahan warna yang terjadi pada label dilihat secara visual dan diukur
dengan kromameter untuk mendapatkan nilai L, a dan b yang kemudian dihitung nilai
o
hue dan ∆E. Tahap ketiga yaitu mengembangkan model kinetika reaksi perubahan
warna klorofil dengan menggunakan persamaan Arrhenius.
Perubahan warna yang terjadi yaitu dari hijau menjadi hijau kekuningan hingga
kuning kecoklatan. Semakin tinggi suhu penyimpanan maka perubahan warna semakin
cepat terjadi. Penyimpanan label pada suhu 50±2oC mengalami perubahan warna
selama 5 jam, sebaliknya semakin rendah suhu maka waktu yang dibutuhkan semakin
lama untuk melakukan perubahan warna hingga 108 hari pada suhu -10±2oC.
Pengembangan model kinetika reaksi perubahan warna label indikator didasarkan pada
nilai ohue. Perubahan warna klorofil pada label indikator dapat menggunakan persamaan
Arrhenius dengan reaksi ordo 0 dan ordo 1. Dari hasil plot nilai ln k dan 1/T, maka
persamaan untuk model kinetika perubahan warna label yang dihasilkan pada ordo 0
adalah ln k = 9,22.1010 e -15294,7/T dengan energi aktivasi sebesar 15,2947 kkal/mol dan
ordo 1 adalah ln k = 1,81.1012 e -19891,9/T dengan energi aktivasi sebesar 19,8919
kkal/mol. Model ini dapat digunakan untuk memprediksi penurunan kualitas sebuah
produk sesuai dengan kinetika model yang dihasilkan.

Kata kunci: Label cerdas, klorofil, model kinetika


SUMMARY

EDDWINA AIDILA FITRIA. The use of chlorophyll as smart labels color


indicator. Supervised by ENDANG WARSIKI and INDAH YULIASIH.

Smart packaging is a packaging that has an indicator to give information to


consumers about the quality of the product. Time Temperature Indicator (TTI) is
one type of smart packaging that can inform if that occur a deviation in temperature
during the storage. The development of sensor indicator application as smart label
(TTI) continuously has been done, one of smart label form is a film. For ease to use
it, the film is added a colour as indicator. In this research, the film indicator was
made from chitosan and PVA with ratio 40:60. Colour indicator in film, extracted
from a suitable chlorophyll that derived from suji leaves, cassava and papaya.
The research was aimed (i) to analyze the stability of extracted chlorophyll
that suitable for colour indicator; (ii) to analyze the discolouration indicator
performance in various storage temperature and (iii) to develop a kinetic model of
discolouration chlorophyll indicator label. This research was conducted in three
stages. The first stage was to select the extracted chlorophyll that suitable as colour
indicator. Stability test of each extracted chlorophyll agains three factors analyzed:
the influence of pH, temperature and light. Cassava chlorophyll is suitable to be
applied as color indicator of the label was the greenen than others, and close rates
absorbance value decreased faster than suji and papaya chlorophyll. It would be
resulted on easly degrade and the changing it was visually significant different. The
second stage was producing the film indicator and testing the indicator stability at
5 different temperatures : 10±2oC, 2±2oC, 17±2oC, 25±2oC and 50±2oC. The
discolouration that occur on the label could be seen visually and measured with
kromameter to obtain the value of L, a and b and then calculated the value of ohue
and ∆E. The third stage was to develop the kinetic model of chlorophyll
discolouration using Arrhenius equation.
The discolouration of the smart label was from green to yellow-green until
yellow-brown. The higher of storage temperature, the faster the discolouration will
occur in 5 hours at 50±2oC. And the other way round, the lower the temperature,
the longest the time required to changed the colour until 108 days at -10±2oC. oHue
was used as a parameter to develop a kinetic model of the color change indicator
label. The kinetic model of chlorophyll discolouration was developed by Arrhenius
equation using ordo 0 and ordo 1. The plot of ln k value and 1/T has resulted on the
equation for kinetic model discolouration label and these value were k = 9,22.1010
e -15294,7/T with activation energy of 15,2947 kkal/mol for ordo 0 and k = 1,81.1012
e -19891,9/T with activation energy of 19,8919 kkal/mol for ordo 1. The model could
predict the quality change of some product accordance with the kinetic model.

Keywords : Smart label, chlorophyll, kinetic model


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PEMANFAATAN KLOROFIL SEBAGAI LABEL CERDAS
INDIKATOR WARNA

EDDWINA AIDILA FITRIA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Emmy Darmawati, MSi
Judul Tesis : Pemanfaatan Klorofil sebagai Label Cerdas Indikator Warna
Nama : Eddwina Aidila Fitria
NIM : F351120031

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Endang Warsiki STP,MSi Dr Indah Yuliasih STP,MSi


Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Teknologi Industri Pertanian

Dr Ir Machfud, MS Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Sidang Tesis : 15 Oktober 2015 Tanggal Lulus :


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2014 ini adalah
kemasan cerdas, dengan judul Pemanfaatan Klorofil sebagai Label Cerdas Indikator
Warna.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Endang Warsiki STP. MSi dan
Ibu Dr. Indah Yuliasih STP.MSi selaku Tim komisi pembimbing atas perhatian,
waktu, saran dan petunjuk yang diberikan selama bimbingan sehingga penyusunan
tesis ini dapat di selesaikan. Di samping itu, ungkapan terima kasih tak terhingga
untuk papa tercinta Drs.H Darul Chutni, mama tercinta Hj.Erfina Razali S.Sos,
abang tersayang Edvan Prayudha SE, kakak tercinta Sri Anggraini S.Farm Apt dan
Keponaan paling tersayang Faiz Ivan Pradana dan Ghazali Ivan Mahendra atas
perhatian, kasih sayang dan dukungan dalam proses meraih Master ini. Untuk
sahabat-sahabat yang selalu mendukung dalam penyelesaian studi GENGGONK
UNIVERSITY (Elfa Susanti Thamrin STP MSi, Elfira Febriani STP MSi, Nina
Hairiyah STP MSi, Nova Alemina Sitepu STP MSi, Mohammad Rafi SPi MSi),
Teguh Pratama Puji Pamungkas SP.MSi, Bapak Dr.Ir Novizar Nazir MSi, Rekan-
rekan Pascasarjana TIP 2012, Teman-teman IMPACS IPB (Pak Azrifirwan, Pak
Bonar, Oktari Ega STP, Bg Doni SP, Nela Eska Putri STP, dll), teman-teman di
Kostan Bu Made (Mbak Ludfia Kurniasari SE, Mbak Padma, Mbak Asih, Nanda
Triandita STP, Kak Sri Novalina SPt MP, (Alm) Bg Rudi Hermansyah STP MP,
Bu Siluh, Mbak Eva dan Mbak Endah), teman-teman THPZero7 Unand (Panji
Iskandar STP, Wellyalina STP MP, Rika Rosadi STP, Yogi Hadiputra STP, Wellya
Sari STP, Vonny Fauziah STP, Nezly Nurlia Lubis STP), Novitra, teman-teman
TIP S2 dan S3, Rekan di FORUM WACANA IPB masa bakti 2012-2013 dan
seluruh staf departemen Teknologi Industri Pertanian IPB terima kasih atas diskusi,
persahabatan dan motivasi yang selalu diberikan. Semoga karya ilmiah ini
bermanfaat.

Bogor, November 2015

Eddwina Aidila Fitria


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL i
DAFTAR GAMBAR i
DAFTAR LAMPIRAN ii

1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Ruang Lingkup Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 3
Kemasan Cerdas 3
Matriks Film Pembawa Warna pada Label Cerdas 4
Bahan Pewarna sebagai Indikator 7
Pengukuran Warna 9
Pengembangan Model Kinetika Perubahan Warna 10

3 METODE PENELITIAN 12
Bahan dan alat 12
Metode penelitian 12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 17


Analisis Ekstrak Klorofil Daun Suji, Singkong dan Pepaya 17
Uji Stabilitas Ekstrak Klorofil 17
Pembuatan dan Uji Ketebalan Film Indikator 25
Stabilitas Warna Label Film Selama Penyimpanan 26
Model Kinetika Perubahan Warna Label Film Indikator Klorofil 33

5. KESIMPULAN DAN SARAN 35


Kesimpulan 35
Saran 36

DAFTAR PUSTAKA 36
LAMPIRAN 40
DAFTAR TABEL

1. Beberapa indikator TTI penentu kesegaran produk 4


2. Karakteristik fisik polivinil alkohol 5
3. Berbagai rasio klorofil a dan b pada beberapa jenis daun 8
4. Analisis ekstrak klorofil daun suji, singkong dan pepaya 16
5. Nilai konstanta laju reaksi dan nilai koefisien korelasi dari ordo 0 dan ordo 1 33
6. Model kinetika perubahan warna klorofil pada label indikator 34

DAFTAR GAMBAR

1. Struktur kimia khitin dan khitosan 6


2. Struktur kimia klorofil beserta turunannya 9
3. Diagram chroma dan hue 10
4. Diagram alir pembuatan dan pemilihan ekstrak klorofil 14
5. Diagram alir pembuatan film indikator 14
6. Diagram alir penelitian tahap 2 15
7. Nilai absorban klorofil pada panjang gelombang 645 dan 663 17
8. Perubahan warna ekstrak klorofil dari pH 1-7 pada pengenceran 10-2 18
9. Perubahan klorofil menjadi beberapa senyawa turunannya 19
10. Perubahan nilai absorban klorofil a dan klorofil b 20
11. Perubahan warna klorofil daun suji, singkong dan pepaya pada
penyimpanan suhu ruang 21
12. Perubahan warna klorofil daun suji, singkong dan pepaya pada
penyimpanan suhu refrigerator 21
13. Perubahan nilai absorban klorofil a dan b 22
14. Perubahan warna klorofil daun suji, singkong dan pepaya pada
penyimpanan dengan cahaya terang 23
15. Perubahan warna klorofil daun suji, singkong dan pepaya pada
penyimpanan tanpa cahaya 23
16. Film indikator warna klorofil sebelum dan sesudah dikeringkan 25
17. Perubahan warna label film indikator klorofil pada suhu
50±1oC, 27±2oC 17±2oC, 2±2oC dan -10±2oC 26
18. Hubungan lama penyimpanan terhadap nilai L label indikator 27
19. Hubungan lama penyimpanan terhadap nilai a label indikator 28
20. Hubungan lama penyimpanan terhadap nilai b label indikator 29
21. Hubungan lama penyimpanan terhadap nilai ∆E label indikator 30
22. Hubungan lama penyimpanan terhadap nilai ohue label indikator 31
23. Perubahan warna label indikator berbagai suhu (diagram chroma dan hue) 32
24. Hubungan antara nilai ohue dan lama penyimpanan pada suhu
dengan menggunakan ordo 0 32
25. Hubungan antara nilai hue dan lama penyimpanan pada suhu
dengan menggunakan ordo 1 33
26. Plot 1/T dengan ln k untuk perubahan warna klorofil pada label indikator 34
DAFTAR LAMPIRAN

1. Prosedur analisis ekstrak klorofil 41


2. Proses pembuatan larutan khitosan dan PVA 43
1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kemasan tidak hanya dilihat sebagai wadah, tetapi mempunyai peranan penting
dalam memberikan informasi tentang produk yang dikemas. Terlepas dari itu, fungsi
lain dari kemasan adalah sebagai kenyamanan, pemasaran, dan komunikasi. Kemasan
harus memastikan produk tidak tumpah atau bocor. Kemasan menjadikan produk mudah
dibawa dan kemasan yang menarik akan membantu meningkatkan pemasaran produk.
Komunikasi antara konsumen dan produsen diperankan oleh kemasan dalam
menampilkan informasi seperti berat bahan, sumber bahan, nilai gizi dan tanggal
kedaluwarsa (Nofrida et al. 2013). Inovasi kemasan merupakan salah satu aspek penting
dalam pengembangan produk baru. Salah satu perkembangan baru dalam teknologi
kemasan yaitu kemasan cerdas.
Kemasan cerdas adalah sistem melekat sebagai label, yang dimasukan ke dalam
kemasan, atau dicetak ke bahan kemasan untuk memantau kualitas produk (Kerry dan
Butler 2008). Kemasan cerdas ini dapat memberikan informasi kepada konsumen
mengenai kerusakan produk apabila tidak diperlakukan sesuai syarat penyimpanan dan
memberikan informasi lebih rinci seluruh rantai suplai serta distribusi produk, sehingga
keamanan produk konsumen lebih terjamin (Nofrida et al. 2013).
Aplikasi kemasan cerdas di negara lain telah banyak digunakan. Sebuah
perusahan di Amerika telah menggunakan kemasan cerdas sebagai sensor untuk
mendeteksi penurunan mutu pada produk. Tujuan perusahaan tersebut adalah untuk
memberikan informasi lebih kepada konsumen mengenai produk mereka mulai dari
pengemasan produk hingga waktu konsumsi. Kemasan ini diberi nama The Fresh-
Check®, yaitu kemasan yang dilengkapi label seukuran perangko dan ditempelkan di
kemasan luar produk makanan segar dan obat-obatan (Fortin dan Goodwin 2008). Label
tersebut menggunakan metode Time Temperature Indicator (TTI) untuk mendeteksi
penurunan mutu produk yang terjadi.
TTI (Time Temperature Indicator) adalah label cerdas yang dapat
menginformasikan jika terjadi penyimpangan suhu selama penyimpanan produk. Secara
umum, kemasan ini hanya berupa plastik film yang disertai dengan indikator yang
bekerja atau bereaksi terhadap waktu dan suhu penyimpanan dari lingkungan sekitar
kemasan yang ada (Day 2008).
Penggembangan aplikasi sensor label cerdas terus menerus dilakukan.
Pengembangan yang tengah dilakukan, yaitu label cerdas dengan bentuk film. Biasanya
untuk mempermudah penggunaan, film diberi tambahan warna sebagai indikator.
Warna itu akan berubah dengan mekanisme tertentu yang akan berasosiasi dengan
perubahan mutu produk. Penelitian tentang TTI telah banyak dilakukan, diantaranya
Pacquit et al. (2007) telah membuat matriks polimer berwarna yang sensitif terhadap
pH. Responnya ditemukan berkorelasi dengan perubahan populasi mikroba pada ikan.
Riyanto et al. (2010) meneliti tentang sensor smart packaging dari khitosan-asetat, PVA
dan bromthymol blue (BTB) yang memperlihatkan adanya kecenderungan yang nyata
dalam mendeteksi tingkat kebusukan fillet ikan nila. Warsiki et al. (2010) telah meneliti
mengenai kemasan antimikrobal dengan bahan aktif ekstrak bawang putih. Warsiki dan
putri (2012) meneliti tentang label cerdas indikator warna dari pewarna alami dan
sintetis, kemudian Setiautami dan Warsiki (2013) juga telah melakukan penelitian label
2

cerdas menggunakan pewarna antosianin dari buah bit serta Nofrida et al. (2013) dan
Warsiki et al. (2013) juga telah membuat label cerdas berbahan dasar khitosan dan PVA
dengan penambahan pewarna antosianin dan diaplikasikan untuk mendeteksi kerusakan
susu pasteurisasi.
Berdasarkan penelitian tersebut, peneliti menggunakan indikator warna untuk
mengetahui perubahan mutu produk yang dikemas dengan terjadinya proses degradasi
warna pada label indikator. Namun, terdapat kekurangan dari penelitian tersebut yaitu
hanya melihat terjadinya perubahan warna secara visual dan perhitungan respon total
perubahan warna tanpa mengkaji lebih dalam tentang permodelan kinetika perubahan
warna dengan suhu sehingga dapat memprediksi kualitas pangan dengan melihat
terjadinya perubahan warna. Selain itu, indikator warna yang digunakan pada label
menggunakan warna “merah” dan mengalami perubahan menjadi “kuning”. Biasanya,
secara umum konsumen mengindikasikan “hijau” sebagai warna produk segar dan
“merah” sebagai produk tidak layak konsumsi. Untuk itu, pengembangan label cerdas
masih perlu dilakukan. Salah satunya pengembangan label indikator dengan zat wana
hijau yang akan berubah menjadi kuning/coklat serta dilakukan pengembangan model
kinetika perubahan warna pada label indikator tersebut. Pewarna alami yang
memungkinkan untuk dapat diaplikasikan pada label yang memberikan perubahan
warna hijau adalah pigmen berasal dari klorofil.
Klorofil telah lama diketahui dapat dimanfaatkan sebagai pewarna alami.
Ketersediaan klorofil di alam sangat besar. Gross (1991) menyatakan kadar klorofil rata-
rata daun sebesar 1 % berdasarkan basis kering. Ketersediaan yang banyak di alam
menjadikan klorofil berpeluang sebagai pewarna alami. Klorofil mudah mengalami
degragasi warna selama proses pengolahan, hal ini disebabkan karena lepasnya ion Mg2+
pada pusat struktur klorofil. Fenomena ini dapat dimanfaatkan dan diintegrasikan untuk
label indikator akibat kerusakan produk karena pengaruh suhu sehingga pewarna ini
cocok digunakan sebagai pewarna indikator.
Penelitian mengenai permodelan sebelumnya telah banyak dilakukan tetapi
permodelan perubahan degradasi klorofil pada label indikator selama penyimpanan
belum dikembangkan. Penelitian Dermesonlouoglou et al. (2007) memodelkan kinetika
reaksi dari perubahan mutu tomat selama penyimpanan pada suhu dingin sedangkan
Goncalves et al. (2011) mengembangkan model kinetika yang dilihat dari degradasi
kinetika perubahan warna, vitamin C dan drip loss brokoli selama penyimpanan
isothermal dan non ishotermal. Saxena (2012) telah menggunakan model kinetika untuk
mengamati perubahan kualitas bahan pertanian, yaitu perubahan warna pada nangka
selama proses pengeringan. Masithoh et al. (2013) juga telah mengembangkan model
dengan melihat perubahan kualitas tomat selama penyimpanan. Choi et al. (2014)
melakukan penelitian kinetika perubahan warna yang dimodelkan dengan kinetika ordo
reaksi 0 dan laju respon waktu dimodelkan dengan persamaan Arrhenius.

Perumusan masalah
Peran utama kemasan dalam industri makanan/minuman adalah untuk
melindungi produk, memberikan informasi tentang produk yang dikemas dan
mempermudah distribusi suatu produk. Sistem penanganan yang tidak sesuai akan
mempercepat kerusakan mutu suatu produk terutama produk yang rentan terhadap suhu
sehinga kerusakan lebih cepat terjadi dari tanggal kadaluarsa.
3

Kemasan cerdas merupakan suatu sistem yang dapat memberikan informasi


tentang produk yang dikemas tanpa harus memperhatikan tanggal kadaluarsa. TTI (Time
Temperature Indikator) adalah salah satu bentuk dari kemasan cerdas yang dapat
menginformasikan jika terjadi kesalahan suhu selama penyimpanan produk. Penelitian
tentang label TTI ini telah banyak dilakukan untuk mendeteksi penurunan mutu suatu
produk.
Klorofil merupakan salah satu pewarna alami yang dikenal sebagai bahan yang
sensitif terhadap perubahan suhu, sehingga berpotensi digunakan sebagai indikator
mutu dengan menggunakan motede TTI. Sumber klorofil berasal dari hijau dedaunan,
untuk itu perlu dilakukan pengkajian beberapa sumber klorofil yang potensial yaitu daun
suji, daun singkong dan daun pepaya.
Perubahan warna klorofil dipengaruhi oleh perubahan suhu sehingga perlu
dikembangkan dalam bentuk model kinetika menggunakan permodelan Arrhenius
untuk menghasilkan model matematik hubungan perubahan klorofil terhadap suhu.

Tujuan
1. Menganalisa stabilitas ekstrak klorofil yang sesuai sebagai pewarma indikator.
2. Menganalisa kinerja perubahan warna label indikator pada berbagai penyimpanan
suhu.
3. Mengembangkan model kinetika perubahan warna label cerdas.

Manfaat Penelitian
1. Menghasilkan sumber klorofil yang baik dan potensial digunakan sebagai indikator
warna untuk label cerdas.
2. Memformulasikan sebuah kinetika model hubungan perubahan warna klorofil
terhadap suhu sehingga dapat digunakan untuk memprediksi kualitas produk selama
dalam distribusi dan penyimpanan.

Ruang Lingkup Penelitian


Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada (i) tiga jenis sumber klorofil dari daun
suji, daun pepaya dan dan singkong; (ii) mengkaji mengenai perubahan warna film
indikator warna selama penyimpanan melalui perubahan nilai L, a, b, ohue dan ΔE dan
(iii) mengembangkan model kinetika perubahan warna label film.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Kemasan cerdas/Smart packaging

Kemasan cerdas adalah sistem melekat sebagai label, yang dimasukan ke dalam
kemasan, atau dicetak ke bahan kemasan untuk memantau kualitas produk (Kerry dan
Butler 2008). Kemasan cerdas ini dapat memberikan informasi kepada konsumen
mengenai kerusakan produk apabila tidak diperlakukan sesuai syarat penyimpanan,
melacak titik-titik kritis, dan memberikan informasi lebih rinci seluruh rantai suplai dan
4

distribusi produk, sehingga keamanan produk konsumen lebih terjamin.Teknik kemasan


cerdas yang ada saat ini mempunyai indikator untuk suhu dan indikator O2. Indikator
ini bertujuan untuk menunjukkan apakah mutu produk didalamnya sudah menurun,
sebelum produk tersebut menjadi rusak (Kerry dan Butler 2008).
Kuswandi et al. (2011) menyatakan bahwa smart packaging merupakan sebuah
sensor yang dapat memonitoring tentang kualitas dan keamanan pangan dan memiliki
potensi besar dalam pengembangan sistem penginderaan baru yang terintegrasi dalam
kemasan makanan. Smolander (2008) telah merangkum beberapa perkembangan dalam
riset indikator kesegaran produk perikanan dari beberapa peneliti smart packaging.
Salah satu pengembangan dari smart packaging adalah Time Temperature
Indicator (TTI). TTI merupakan kemasan cerdas yang dapat menginformasikan jika
terjadi kesalahan suhu selama penyimpanan produk dan juga menduga sisa umur dari
produk pangan. Secara umum, kemasan ini hanya berupa plastik film yang disertai
dengan indikator yang bekerja atau bereaksi terhadap waktu dan suhu penyimpanan dari
lingkungan sekitar kemasan yang ada (Day 2008). Pengembangan TTI sudah banyak
dilakukan, diantaranya indikator warna untuk memantau fermentasi dan umur simpan
kimchi dengan menggunakan perubahan pH sebagai sensor untuk perubahan warna
pada kemasan produk tersebut. Di negara-negara maju sudah banyak penelitian yang
dilakukan dalam mengembangkan TTI dan indikator warna sebagai kemasan cerdas,
diantaranya 3M Monitor Mark yang merupakan merek paten dari USA yang
mengembangkan TTI untuk produk segar, Fresh-check (USA) yang mengembangkan
kemasan cerdas untuk mengetahui besarnya paparan cahaya selama penyimpanan dan
OnVu yang merupakan produk TTI dari Switzerland
Pada umumnya, output dari alat TTI adalah berupa perubahan atau pergerakan
warna, atau kombinasi keduanya (Kerry and Butler 2008). Label TTI yang diletakkan
pada kemasan pangan, akan memberikan informasi mengenai panas yang masuk ke
dalam kemasan selama distribusinya, biasanya ditunjukkan dengan respon yang dapat
dilihat dalam bentuk deformasi mekanis, perubahan warna atau pergerakan warna.
Ratusan paten telah dikeluarkan untuk penemuan-penemuan mengenai TTI, tapi hanya
sedikit yang digunakan secara komersial. Beberapa indikator penentu kesegaran produk
yang digunakan pada berbagai smart packaging dapat dilihat pada Tabel 1.
Pada penelitian yang dilakukan Warsiki dan Putri (2012) pembuatan film cerdas
menggunakan khitosan sebagai bahan dasar yang memiliki sifat cukup tebal, lentur,
mudah dilepaskan dari plat kaca dan tidak mudah pecah. Peneliti menggunakan pewarna
sintetik sebagai indikator warna karena memiliki kestabilan warna ketika dicampurkan
ke dalam larutan film yang dipanaskan. Film indikator warna ini diaplikasikan pada
buah nanas potong untuk mengetahui perubahan mutu buah nanas selama penyimpanan
seiring dengan terjadinya penurunan pH pada buah nanas potong.
Pada penelitian Warsiki et al. (2013) film indikator khitosan-PVA dengan
penambahan pewarna alami antosianin daun erpa menyebutkan bahwa film ini stabil
pada suhu freezer dan suhu refrigerator, dan sangat mudah berubah warna pada
penyimpanan suhu ruang dan suhu 40oC dengan penyinaran matahari. Film indikator
warna erpa yang mengandung antosianin mengalami perubahan warna selama
penyimpanan. Hal ini karena, antosianin rentan terhadap peningkatan suhu dan cahaya
yang menyebabkan antosianin terdegradasi lebih cepat, sehingga warna indikator
berubah dari merah menjadi kekuningan.
5

Tabel 1. Beberapa indikator penentu kesegaran produk yang digunakan pada TTI
“smart packaging”
Metabolit yang Indikator potensial dan prinsip sensor Produk indikator
dideteksi Kesegaran
komersial
Gas-gas basa DTN pada komponen volatil dari produk It’s Fresh™ (It’s
volatil dalam kemasan bereaksi dan merubah Fresh! Inc.)
warna dari pewarna indiator

Komponen Reaksi dilihat berdasarkan perubahan Fresh Taq


nitrogen volatil warna menggunakan pewarna sensitif pH, (USA), freshQ
(TMA, DMA, atau dengan sensor optik (USA)
Amonia)

Produk degradasi Test strip, biosensor elektrokimia Transia GmbH


ATP berdasarkan penentuan enzimatis, kontak (Jerman)
langsung dengan makanan

Komponen DTN pada komponen volatil sulfur dari Freshness


sulfur kemasan, reaksi berdasarkan perubahan Guard Indicator
warna mioglobin, atau perubahan warna (Finlandia)
lembaran perak skala nano

Sumber: Smolander 2008

Matriks Film Pembawa Warna pada Label Cerdas

PVA (Polivinil Alkohol)

Polivinil alkohol merupakan suatu material yang dibuat melalui proses


alkoholisis dari polivinil asetat . Polivinil alkohol memiliki sifat tidak berwarna, padatan
termoplastik yang tidak larut pada sebagian besar pelarut organik dan minyak, tetapi
larut dalam air bila jumlah dari gugus hidroksil dari polimer tersebut cukup tinggi
(Harper dan Petrie 2003). Polivinil alkohol memiliki permeabilitas uap air terendah dari
semua polimer komersial tetapi sensitivitas airnya telah membatasi penggunaannya
(Beswick & Dunn 2002). Wujud dari polivinil alkohol berupa serbuk (powder)
berwarna putih dan memiliki densitas 1,2000-1,3020 g/cm3 serta dapat larut dalam air
pada suhu 80oC (Sheftel 2000).
Secara komersial, polivinil alkohol adalah plastik yang paling penting dalam
pembuatan film yang dapat larut dalam air. Hal ini ditandai dengan kemampuannya
dalam pembentukan film, pengemulsi, dan sifat adesifnya. Polivinil alkohol memiliki
kekuatan tarik yang tinggi, fleksibilitas yang baik, dan sifat penghalang oksigen yang
baik (Ogur 2005). Aplikasi dari polivinil alkohol sudah meliputi banyak bidang.
Hodgkinson & Taylor (2000) melaporkan polivinil alkohol banyak diaplikasikan dalam
bidang kesehatan (biomedical), bahan pembuat deterjen, lem dan film. Karakter fisik
dari polivinil alkohol disajikan pada Tabel 2.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Warsiki et al. (2013), peneliti menggunakan
PVA dan khitosan sebagai bahan dasar pembatan film untuk label cerdas. Perbandingan
antara PVA dan khitosan sebanyak yaitu 60% PVA dan 40% khitosan telah layak
dihasilkan film dengan karakteristik yang bagus secara visual.
6

Tabel 2 karakteristik fisik polivinil alkohol


Karakteristik Satuan Nilai
3
Densitas (g/cm ) 1,19 – 1,31
Titik leleh (oC) 180 – 240
o
Titik didih ( C) 228
Suhu penguraian (oC) 180

Khitosan

Khitosan merupakan produk dari proses deasetilasi khitin yang merupakan


komponen utama eksoskeleton dari kelas krustacea. Khitosan adalah kopolimer linier
yang tersusun oleh 2000-3000 monomer D-glukosamin (GlcN) dalam ikatan β (1-4)
yang terdiri dari 2-asetil-2-deoksi-D-glukopiranosa dan 2-amino-2-deoksi- β -D-
glukopiranosa (Prashanth dan Tharanathan 2007). Berat molekul khitosan sebesar 1,24
x 106 Dalton sedangkan derajat deasetilasinya adalah sekitar 80%-85% (Krajewska
2004).
Khitin dan khitosan tergolong ke dalan hidrokoloid yaitu polimer rantai panjang
yang terlarut atau terdispensi dalam air yang berfungsi sebagai pengental maupun
sebagai pembentuk viskositas produk. Khitin dan khitosan telah dimanfaatkan dalam
berbagai keperluan seperti: industri gula (Toharisman 2007), industri perikanan (Irianto
dan Soesilo 2007), industri kulit untuk perekat, industri makanan (Restuccia et al. 2010),
kemasan antimikroba (Rojas et al. 2007, Warsiki et al. 2009, Quintafalla dan Vincini
2002). Hoagland dan Parris 1996 menyatakan alasan membuat film dari khitosan karena
dapat membentuk film dan membran dengan baik, sifat kationik selama pembentukan
film merupakan interaksi elektrostatik dengan anionik.
Khitosan mempunyai gugus amino bebas polikationik, pengkelat, dan
pembentuk dispersi dalam larutan asam asetat. Bila khitosan dilarutkan dalam asam
maka khitosan akan menjadi polimer kationik dengan struktur linear sehingga a dapat
digunakan dalam proses flokulasi, pembentuk film atau imobilisasi dalam berbagai
reagen biologi termasuk enzim (Rinaudo 2006). Proses kationisasi mengarah kepada
pembentukan grup yang fungsional (OH dan NH). Khitosan yang larut dalam asam
memiliki keunikan yakni mampu membentuk gel yang stabil dan membentuk muatan
dwi kutub, yaitu muatan positif pada gugus NH dan muatan negatif pada gugus
karboksilat (Krajewska 2004). Struktur khitin dan khitosan dapat dilihat pada Gambar
1.

Gambar 1 Struktur kimia (a) Khitin (b) Khitosan (Prashanth dan Tharanathan 2007)

Berdasarkan berbagai penelitian plastik film kemasan saat ini, penggunaan


khitosan sebagai bahan dasar film kemasan merupakan bentuk penelitian yang paling
7

banyak dilakukan. Warsiki et al. (2011) misalnya, menyatakan Film kitosan dengan
penambahan ekstrak bawang putih secara umum lebih baik daripada film kitosan tanpa
penambahan ekstrak bawang putih. Penelitian yang dilakukan oleh Mussaddad (2002)
menyimpulkan bahwa edible dari khitosan terbukti efektif dalam menekan laju respirasi
buah tomat selama penyimpanan, baik terhadap buah yang disimpan di suhu kamar (28-
30oC; RH 45-60%) maupun di suhu dingin (9-12 oC; RH 60-70%). Pangabean (2010)
mendapatkan hasil konsentrasi khitosan yang terpilih bagi edible khitosan untuk buah
nenas terolah minimal adalah 1,5% yang menghasilkan laju respirasi buah terendah
dibandingkan dengan konsentrasi kitosan 1% dan tanpa kitosan. Rahardyani (2011)
telah mengaplikasikan edible coating sebagai penentuan mutu daging sapi, peneliti
menyatakan bahwa daging sapi yang dengan perlakuan kitosan 3% memiliki nilai
terbaik dalam menghambat pertumbuhan mikroba.

Gliserol sebagai plasticizer

Gliserol ialah suatu trihidroksi alkohol yang terdiri atas tiga atom karbon. Setiap
karbon mempunyai gugus -OH. Gliserol diperoleh dari hasil penyabunan lemak atau
minyak adalah suatu zat cair yang tidak berwarna dan mempunyai rasa yang agak manis.
Gliserol larut baik dalam air dan tidak larut dalam eter. Gliserol digunakan dalam
industri farmasi dan kosmetika sebagai bahan dalam preparat yang dihasilkan. Di
samping itu gliserol berguna bagi untuk sintesis lemak di dalam tubuh (Hakiki 2010).
Gliserol adalah plasticizer dengan titik didih yang tinggi, larut dalam air, polar,
non volatile dan dapat bercampur dengan protein. Gliserol merupakan molekul
hidrofilik dengan berat molekul rendah, mudah masuk ke dalam rantai protein dan dapat
menyusun ikatan hidrogen dengan gugus reaktif protein (Galietta et al. 1998). Sifat-sifat
tersebut yang menyebabkan gliserol cocok digunakan sebagai plasticizer, karena
gliserol berbentuk cair, bentuk cair gliserol lebih menguntungkan karena mudah
tercampur dalam larutan film dan terlarut dalam air (Anker et al. 2000). Penelitian
Bozdemir dan Tutas (2003) menunjukkan bahwa gliserol merupakan plasticizer dengan
kemampuan menurunkan ikatan hidrogen antar polimer yang terbesar sedangkan
sorbitol merupakan yang terkecil dibandingkan dengan plasticizer lain seperti propilen
glikol dan polietilen glikol. Namun ikatan hidrogen antar polimer yang kuat akan
membuat film yang terbentuk menjadi keras dan kurang fleksibel, dan begitu pula
sebaliknya.
Menurut Nofrida (2013) penambahan plasticizer yaitu gliserol mempengaruhi
tingkat elastisitas film yang dihasilkan. Semakin banyak penambahan plasticizer, maka
elastisitas film akan semakin tinggi. Penambahan plasticizer akan menghindari film dari
keretakan selama penanganan maupun penyimpanan yang dapat mengurangi sifat-sifat
tahanan film (Sumarto 2008).

Bahan Pewarna sebagai Indikator


Klorofil

Klorofil adalah pigmen berwarna hijau yang terdapat dalam kloroplas bersama-
sama dengan karoten dan xantofil pada semua makhluk hidup yang mampu melakukan
fotosintetis. Pada semua tanaman hijau, sebagian besar klorofil berada dalam dua bentuk
yaitu klorofil-a dan klorofil-b. Klorofil-a bersifat kurang polar dan berwarna biru hijau,
8

sedangkan klorofil-b bersifat polar dan berwarna kuning hijau. Klorofil berwarna hijau
karena menyerap secara kuat daerah merah dan biru dari spektrum cahaya visibel
(Astawan 2008).
Perbandingan klorofil-a dan klorofil-b yaitu 3:1. Rumus molekul klorofil-a
adalah C55H72N4O5Mg, sedangkan klorofil-b adalah C55H70N4O6Mg. Klorofil-b berbeda
dengan klorofil-a karena mempunyai satu grup formil (-CH) menggantikan grup metil
pada posisi 3 dari klorofil-a. Klorofil-a adalah struktur tetrapirol melalui ikatan Mg,
sedangkan subsitusi metil pada posisi 1,3,5, dan 8, vinil pada posisi 2, etil pada posisi 4,
propinat yang diesterifikasi dengan fitil alcohol (fitol) pada posisi 7, keton pada posisi
9 dan karbometoksi pada posisi 10 (Hermansyah 2012). Beberapa rasio klorofil-a dan b
pada berbagai jenis daun disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Berbagai Rasio Klorofil a dan b pada Berbagai Jenis Daun


Jenis Kandungan klorofil (µg/g bahan)
a b Total Rasio
Daun singkong 2853,2 1114,3 3967,5 2,6:1
Daun katuk 1688,1 513,9 2202,0 3,3:1
Daun poh-pohan 1495,4 587,1 2013,5 2,9:1
Daun kangkung 1493,6 519,9 2013,5 2,9:1
Daun bayam 1205,0 255,9 1460,9 4,7:1
Daun kemangi 842,9 479,8 1322,7 1,8:1
Caisin 815,0 393,1 1208,1 2,1:1
Selada 482,7 148,6 631,3 3,2:1
Alang-alang 1831,2 495,1 2326,3 3,7:1
Rumput gajah 2123,7 549,5 2673,2 3,9:1

Sumber: Alsuhendra 2004

Klorofil termasuk pigmen non polar dan harus diekstrak dengan pelarut organik
(metanol, etanol, aseton) dengan kepolaran tertentu (Sedjati et al. 2012). Untuk
mendapatkan pewarn alami klorofil, senyawa ini cocok di ekstrak dengan pelarut
organik, tetapi jika diaplikasikan sebagai indikator warna pada label cerdas klorofil
cukup diekstrak degan air. Pelarut organik contohnya aseton akan mengikat klorofil dan
menghasilkan warna hijau yang relatif stabil, sedangkan air bersifat melepas klorofil
yang dapat berubah warna jika terkena suhu tinggi. Kelebihan klorofil adalah perubahan
warna yang lambat dari hijau ke kuning sehingga pewarna ini digunakan sebagai warna
indikator label untuk produk yang mempunyai massa simpan yang relatif lama. Menurut
penelitian Putri et al. (2012) ekstraksi klorofil daun suji, penggunan larutan ekstrak
alkohol 85% dan aseton 85% memiliki daya ekstraksi pigmen klorofil yang lebih besar
dibandingkan air sebagai larutan pengekstrak. Bentuk strutur kimia klorofil dapat dilihat
pada Gambar 2.
9

Gambar 2 Struktur kimia klorofil a dan b beserta turunannya (Gross 1991)

Berdasarkan penelitian Limantara dan Rahayu (2008) kandungan klorofil dalam


daun suji sekitar 2053,8 µg/g. Sedangkan berdasarkan Hakim kandungan klorofil dalam
daun suji sekitar 3773µg/g dengan rasio klorofil a dan b sebesar 2:1. Kandungan klorofil
a lebih besar dari kandungan klorofil b. Ekstrak klorofil telah banyak diaplikasikan pada
produk pangan. Hermansyah (2012) telah mengaplikasikan ekstrak liquid klorofil daun
cincau pada minuman teh hijau. Klorofil juga telah diteliti dapat diaplikasikan pada
kosmetik, deterjen, tekstil dan obat-obatan (Paul et al. 2001).

Antosianin

Antosianin merupakan salah satu zat pewarna alami yang berwarna ungu
kemerah-merahan yang banyak terdapat pada tumbuh-tumbuhan. Pigmen ini berperan
terhadap timbulnya warna merah hingga ungu pada beberapa bunga, buah dan daun .
Antosianin telah banyak digunakan sebagai pewarna, khususnya minuman, karena
banyak pewarna sintetis diketahui bersifat toksik dan karsinogenik (Francis 1999).
Antosianin merupakan senyawa flavonoid yang memiliki kemampuan sebagai
antioksidan. Umumnya senyawa flavonoid berfungsi sebagai antioksidan primer,
chelator dan scavenger terhadap superoksida anion. Antosianin dalam bentuk aglikon
lebih aktif daripada bentuk glikosidanya (Santoso 2006). Senyawa antosianin mudah
larut dalam air sehingga dalam penanganan buah sebelum pengolahan perlu
diperhatikan agar komposisi warna awal yang dikandung buah dapat dipertahankan
(Winarno 1997).
Menurut Winarti et al. (2008), pada kondisi asam antosianin berubah warna
menjadi merah, keadaan netral antosianin berubah warna menjadi ungu muda dan pada
keadaan basa berwarna biru. Pigmen antosianin lebih stabil dalam keadaan asam
dibandingkan dalam keadaan basa. Kerusakan antosianin memiliki beberapa faktor yang
membatasi, antara lain ketidakstabilannya terhadap cahaya dan panas serta rentan
mengalami degradasi. Peningkatan pH (pH 4 - 6) menunjukkan warna antosianin
memudar karena kation flavilium yang berwarna merah mengalami hidrasi menjadi
bentuk struktur tidak berwarna karbinol. Sedangkan pada pH 7 dan 8 warna antosianin
menjadi biru keunguan disebabkan pembentukan struktur kuinoidal biru yang tidak
stabil (Violalita 2010).
Stabilitas antosianin dipengaruhi oleh pH, suhu dan cahaya. Suhu dan cahaya
cenderung dapat menurunkan nilai absorban ekstrak antosianin. Ekstrak antosianin telah
banyak dimanfaatkan pada produk pangan, contohnya aplikasi antosianin dari buah
senduduk yang dilakukan oleh Violalita (2010), peneliti mengaplikasikan antosianin
10

untuk produk sirup, agar-agar dan es krim. Pada penelitian yang dilakukan oleh Warsiki
dan Setiautami (2013), peneliti mengaplikasikan antosianin dari buah bit sebagai
pewarna alami label cerdas. Pada penelitian ini, metode terbaik yang digunakan adalah
metode oles dengan volume terbaik yang digunakan untuk mengoleskan pewarna alami
pada film 6 ml per 400 cm2. Nofrida (2013) juga mengaplikasikan antosianin dari daun
erpa untuk label cerdas indikator warna dan diaplikasikan pada produk susu pasteurisasi.

Pengukuran Warna

Pada umumnya sistem CIELAB yang biasa digunakan (Macdougall 2002)


dibandingkan metode pengukuran lainnya seperti sistem output warna CIE dan Hunter
Lab. Sistem CIE menggambarkan warna dengan simbol Y, sistem Hunter Lab
mendefinisikan warna sebagai XYZ dan sistem CIELAB mendefinisikan warna sebagai
L*, a*, b* dan persyaratan tambahan seperti ohue (h), nilai kroma (C) dan jumlah
perbedaan warna (ΔE) (Macdougall 2002).
Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan warna dengan interval nilai 0 (hitam)
hingga 100 (putih). Nilai a menunjukkan cahaya pantul sehingga menghasilkan warna
kromatik campuran warna merah hijau. Nilai a positif menunjukkan derajat kemerahan
sedangkan a negatif menunjukkan derajat kehijauan. Nilai b menunjukkan cahaya pantul
yang menghasilkan warna kromatik campuran biru kuning. Nilai b positif menunjukkan
derajat kekuningan sedangkan b negatif derajat kebiruan. Nilai ohue menunjukkan
derajat kroma yang merujuk pada kisaran warna kromatik yang dilihat indera
penglihatan. Nilai ∆E merupakan total perubahan warna selama penyimpanan (Nofrida
2013).
Perubahan warna pada label cerdas TTI diukur dengan kromameter yang
dinyatakan sebagai total perubahan warna (ΔE) :

∆E = [(ΔL)2 + (Δa)2+( Δb)2]1/2 (1)

Dimana:
∆L = L sampel – L standar
∆a = a sampel – a standar
∆b = b sampel – b standar

Dimana ΔL* adalah tingkat kecerahan antara inisiasi dan waktu interval, Δa*
perbedaan kehijauan (-60) dan kemerahan (+60), Δb* adalah perbedaan kebiruan (-60)
dan kekuningan (+60) (Nofrida 2013). Nilai perubahan warna yang menyatakan warna
sebenarnya dinyatakan pada nilai oHue:
o
Hue = tan-1 (b/a) (2)

Nilai ohue didapat dari perhitungan nilai invers tangen dengan perbandingan b dan
a. oHue dikuantisasi dengan nilai dari 0 sampai 255; 0 menyatakan merah, lalu memutar
nilai-nilai spektrum tersebut kembali lagi ke 0 untuk menyatakan merah lagi. Ini dapat
dipandang sebagai sudut dari 0° sampai 360°.
11

Gambar 3 Diagram chroma dan hue

Pengembangan Model Kinetika Perubahan Warna

Model kinetika reaksi kimia telah banyak digunakan oleh berbagai peneliti untuk
menggambarkan perilaku perubahan mutu produk dalam pengolahan dan pengawetan
hasil pertanian berupa pangan maupun non pangan (Priyanto 2009). Suradi (2005) telah
membandingkan mutu daging sapi yang disimpan pada suhu ruang dan suhu refrigerasi
dengan menggunakan model kinetika Arrhenius berdasarkan nilai TVB dah pH.
Dermesonlouoglou et al. (2007) juga telah membuat model kinetika dari perubahan
mutu potongan tomat segar dan tomat beku. Saxena (2012) menggunakan model
kinetika untuk mengamati perubahan kualitas bahan pertanian, yaitu perubahan warna
pada nangka selama proses pengeringan. Amalia (2012) juga telah mengembangkan
model kinetika dengan menduga umur simpan produk fish nugget dengan model
Arrhenius. Masithoh et al. (2013) mengembangkan model dengan melihat perubahan
kualitas tomat selama penyimpanan.
Pendekatan analisis dan model kinetika telah dibuktikan banyak manfaat dalam
dalam memperoleh data dasar untuk pengembangan produk baru. Nasruddin (2009)
menggunakan data kinetika reaksi perengkahan dengan katalis zeolit untuk
mengembangkan fuel hayati dari minyak jarak. Jokic et al. (2009), melaporkan kinetika
pengeringan apel dalam kaitannya dengan mutu dan kondisi proses pengeringan. Frantz
(2006) melaporkan kinetika klaster nano pada film tipis dan permukaan. Kajian dan
publikasi kinetika perubahan sifat fisiko kimia dan fenomena fisik dalam upaya
pengembangan produk baru di bidang pangan meningkat pesat sejak beberapa tahun ini.
Kajian kinetika memberikan gambaran yang lebih tepat mengenai karakteristik produk
baru serta pendugaan perilaku yang lebih tepat dalam penggunaannya oleh konsumen
(Priyanto 2009). Pengembangan model dengan parameter perubahan warna pernah
diteliti oleh Martins dan Silfa (2002) yang melihat perubahan sifat fisiko kimia dan
perubahan warna akibat degradasi klorofil pada kacang hijau yang dibekukan.
Perubahan warna mengikuti orde nol (0) atau orde satu (1) tergantung dari
parameter yang ditetapkan. Persamaan 3 dan 4 menunjukkan persamaan dasar kinetika
reaksi orde 0 dan 1, secara berurutan (Mashitoh et al. 2013).

Q = Qo – k.t (3)
Q / Q o = e-k.t (4)
12

Q dan Q 0 = ohue saat t = t dan t = 0


k = konstanta laju reaksi dan t = waktu

Arrhenius menyatakan bahwa hubungan suhu terhadap reaksi atau perubahan yang
terjadi dapat dinyatakan seperti Persamaan 5 (Chang 1990).

k = k0 e-Ea/RT (5)

Dengan k adalah konstanta laju reaksi, k0 adalah faktor frekuensi, Ea adalah energi
aktifasi, R adalah konstanta gas, serta T adalah suhu mutlak. Apabila pada Persamaan 5
diubah menjadi fungsi logaritma maka menjadi persamaan 6:

ln k = ln k0 – Ea/RT (6)

3 METODE PENELITIAN

Bahan dan alat

Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan film dalam penelitian ini yaitu
serbuk khitosan, polivinil alkohol (PVA), serta bahan sumber pewarna klorofil yaitu
daun suji (Pleomele angustifolia N. E. Brown), daun singkong (Manihot esculenta
crantz) jenis manggu dan daun papaya (Carica papaya L) jenis merah delima. Daun
yang digunakan adalah daun yang berwarna hijau pekat (daun yang sudah tua). Alat
yang digunakan dalam penelitian ini adalah oven/inkubator, homogenizer, cetakan kaca
(20×15 cm)2, magnetic stirer, shaker, dan neraca analitik. Untuk analisis fisik
menggunakan pH meter, micrometer, spektrofotometer, dan kromameter.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam 3 tahap. Tahap pertama ditujukan untuk


mendapatkan ekstrak klorofil terbaik sebagai pewarna film Tahap kedua ditujukan
untuk menganalisa ketebalan film indikator yang didapat dan menguji stabilitas warna
film terhadap penyimpanan berbagai suhu dan tahap ketiga difokuskan untuk
mengembangkan model kinetika perubahan warna indikator film.

Ekstraksi dan uji stabilitas klorofil

Persiapan Sampel

Bahan baku yang digunakan terdiri dari tiga macam tanaman yaitu: daun suji
(Pleomele angustifolia N. E. Brown), daun singkong (Manihot esculenta crantz) jenis
manggu dan daun papaya (Carica papaya L) jenis merah delima. Bahan baku
13

dibersihkan dan dikering anginkan, kemudian dipotong kecil-kecil ± 1 cm dengan tujuan


untuk mempermudah proses ekstraksi.

Ekstraksi Klorofil

Proses ekstraksi klorofil untuk memperoleh ekstrak klorofil dengan urutan sebagai
berikut: bahan baku yang telah dipotong kecil-kecil, kemudian masing-masing di
timbang berdasarkan kebutuhan. Setelah itu, sumber klorofil ditambahkan dengan
aquades (1:2) sebagai pengekstrak kemudian dihaluskan dengan blender dengan
kecepatan 40.000 rpm. Sumber klorofil yang telah diekstrak kemudian disaring dengan
kain saring halus (60 mesh). Ekstrak kemudian dianalisis pH dan kadar klorofilnya
(posedur analisa disajikan pada Lampiran 1). Semua proses dilakukan dalam kondisi
terhindar dari cahaya (ruang gelap). Ekstrak yang diperoleh kemudian dilakukan uji
stabilitas klorofil terhadap pH, cahaya dan suhu untuk menentukan ekstrak terbaik yang
akan digunakan untuk penelitian selanjutnya.

Uji Stabilitas Ekstrak Klorofil (Effendi 1991) yang dimodifikasi

Pengujian stabilitas ekstrak klorofil daun suji, daun singkong dan daun pepaya
dilakukan terhadap 3 faktor yaitu : pengaruh pH, cahaya dan suhu penyimpanan. Ekstrak
klorofil terpilih berdasarkan pada nilai absorban, dimana nilai absorban dipengaruhi
oleh pH, suhu dan cahaya saat penyimpanan. Ekstrak klorofil yang terpilih merupakan
ekstrak yang memiliki kecepatan penurunan nilai absorban dari masing-masing uji yang
dilakukan. Nilai absorban menunjukkan kepekatan warna dari ekstrak klorofil.

Stabilitas terhadap pH
Pengaruh pH terhadap stabilitas ekstrak klorofil dilakukan dengan cara mengukur
nilai absorban ekstrak pada panjang gelombang 645 dan 663 pada pH 1 sampai 7.
Ekstrak klorofil diencerkan dengan konsentrasi 10% lalu larutan ekstrak diatur pHnya
dengan menggunakan larutan NaOH atau HCl hingga diperoleh ekstrak dengan pH
antara 1 sampai 7, jika terbentuk endapan maka endapan tersebut harus disaring. Larutan
ekstrak yang telah diatur pHnya diukur nilai absorban maksimum pada panjang
gombang yang telah ditentukan. Pengukuan dilakukan dengan spektrofotometer UV-
Vis (Prosedur analisa disajikan pada Lampiran 1).

Stabilitas terhadap suhu

Pengaruh suhu terhadap kestabilan ekstrak klorofil diamati dengan mengukur nilai
absorbansi pada panjang gelombang 645 dan 663 nm. Pada penelitian ini digunakan 2
kondisi penyimpanan dengan tingkat suhu yang berbeda yaitu pada suhu ruang (25±2oC)
dan refrigerator (2±2oC). Pengamatan dilakukan setiap hari selama 5 hari. Cara
kerjanya adalah eksrak klorofil diencerkan dengan air sampai konsentrasi 10 %
kemudian larutan ekstrak disimpan sesuai tingkat suhu yang digunakan. Masing-masing
ekstrak diukur nilai absorbannya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis
(Prosedur analisa dapat dilihat pada Lampiran 1).
14

Stabilitas terhadap cahaya

Pengaruh intensitas cahaya terhadap stabilitas ekstrak hijau klorofil diamati


dengan jalan mengukur nilai absorban ekstrak pada panjang gelombang 645 (Klorofil
a) dan 663 (klorofil b). Dalam penelitian ini digunakan dua kondisi penyimpanan
dengan intensitas cahaya yang berbeda yaitu penyimpanan dengan intensitas cahaya
rendah (tanpa cahaya) dan penyimpanan dengan intensitas cahaya tinggi (300 lux).
Pengukuran dilakukan setiap hari selama 5 hari. Cara kerjanya adalah eksrak klorofil
diencerkan dengan konsentrasi 10 %, selanjutnya larutan ekstrak disimpan dalam
ruangan gelap dan sebagian dalam ruang bercahaya. Masing-masing ekstrak diukur nilai
absorbannya setiap hari dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis (Prosedur
analisa dapat dilihat pada Lampiran 1). Diagram alir penelitian pada tahap ini dapat
dilihat pada Gambar 4.

Mulai

Bahan baku

Pencucian

Pengeringan (diangin-anginkan)
Sumber klorofil : aquades
Penghalusan (1:2)

Penyaringan Ampas

Ekstrak pewarna klorofil

 Pengukuran pH dan Kadar


klorofil
 Uji stabilitas klorofil : pH,

Ekstrak klorofil terpilih

Selesai

Gambar 4 Diagram alir pembuatan dan pemilihan ekstrak klorofil terbaik

Ketebalan (Nofrida 2013)


Ketebalan film diukur dengan micrometer scrup. Alat ini memiliki ketelitian
sampai 0,01 mm. Pengukuran dilakukan 5 titik berbeda kemudian hasilnya dirata-
ratakan dalam satuan mm (Prosedur pengukuran ketebalan dapat dilihat pada Lampiran
1).
15

Mulai

Larutan PVA : larutan khitosan


(60:40) + gliserol 1%

Homogenisasi Penambahan ekstrak klorofil

Pencetakan dengan cetakan


(20 × 15 cm)2

Pengeringan suhu 50oC selama 30 jam

Film indikator

Selesai

Gambar 5 Diagram alir pembuatan film indikator

Uji Stabilitas Film Indikator Warna Sebagai Label Cerdas (Nofrida et al. 2013)

Analisis perubahan warna indikator ini dilakukan untuk mengetahui perubahan


warna pada lembaran film. Film dipotong dalam ukuran 3 cm ×3 cm kemudian disimpan
pada 5 suhu yang berbeda, yaitu pada suhu freezer (-10±-2)ºC),refrigerator (2±2oC),
AC (17±2ºC), suhu ruang (25±2oC), dan suhu panas (50±2oC). Prosedur penyimpanan
label film indikator warna klorofil dapat dilihat pada Gambar 6.
Perubahan warna film indikator selama masa simpan, dilihat secara visual dan
dikuantifikasi dengan kromameter untuk mendapatkan nilai L, a dan b (Prosedur analisa
disajikan pada Lampiran 1).
Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan warna dengan interval nilai 0 (hitam)
hingga 100 (putih). Nilai a menunjukkan cahaya pantul sehingga menghasilkan warna
kromatik campuran warna merah hijau. Nilai a positif menunjukkan derajat kemerahan
sedangkan a negatif menunjukkan derajat kehijauan. Nilai b menunjukkan cahaya pantul
yang menghasilkan warna kromatik campuran biru kuning. Nilai b positif menunjukkan
derajat kekuningan sedangkan b negatif derajat kebiruan. Nilai ohue menunjukkan
derajat kroma yang merujuk pada kisaran warna kromatik yang dilihat indera
penglihatan. Nilai ∆E merupakan total perubahan warna selama penyimpanan (Nofrida
2013).
16

Mulai

Film indikator

Penyimpanan

Suhu (-10± Suhu 2±2oC Suhu 17±2oC Suhu 25±2ºC Suhu 50±2ºC
2oC)

Pengukuran L, a, b, °hue dan ∆E

Pengembangan model kinetika dengan


parameter nilai °hue

Selesai

Gambar 6 Diagram alir uji stabilitas film pada penyimpanan berbagai suhu

Pengembangan model kinetika perubahan warna

Pada tahap ini nilai ohue dijadikan sebagai parameter, kemudian ditentukan
kinetika ordo reaksi dari perubahan warna pada label. Penentuan ordo ditentukan
dengan menggunakan persamaan 3 dan 4 (pada sub bab 2.5) dengan memplot data ohue
terhadap lama penyimpanan pada masing-masing suhu yang akan menghasilkan garis
linier, persamaan dan nilai koefisien korelasi (R2).
Tahap selanjutnya, menganalisa hubungan antara suhu dengan perubahan warna
film indikator dengan menghitung nilai k berdasarkan persamaan (5). Apabila nilai k
diubah menjadi fungsi logaritma maka dihitung nilai ln k sesuai persamaan (6). Langkah
selanjutnya, dengan menggunakan persamaan Arrhenius dengan memplot nilai ln k dan
1/T pada perubahan warna klorofil pada label. Hasil analisis regresi linier dari plot data
1/T dan ln k akan didapat persamaan dan nilai energi aktivasi (Ea).

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis ekstrak klorofil

Ekstraksi diawali dengan menghancurkan ketiga jenis daun untuk memecah


jaringan menggunakan blender. Semakin cepat waktu pemecahan jaringan daun,
kerusakan dan perubahan yang terjadi pada senyawa klorofil selama proses menjadi
minimal (Alsuhendra 2004). Analasis yang diuji pada ketiga jenis daun ini yaitu
pengukuran pH dan uji kadar klorofil. Pengujian ini dilakukan dengan tujuan untuk
17

mengetahui stabilitas pH dari klorofil dan mengetahui jumlah kadar klorofil yang
terekstrak pada ketiga jenis daun. Pengukuran pH diperoleh hasil yang tidak jauh
berbeda. Hasil pH dapat dilihat pada Tabel 4. Menurut Alsuhendra (2004) klorofil relatif
stabil pada pH netral (6-7). Pada pH asam (3-5) klorofil mengalami reaksi dan
menghasilkan berbagai senyawa turunan klorofil. Pada suasana asam, atom Mg2+ akan
diganti dengan atom H sehingga terbentuk senyawa yang disebut feofitin yang berwarna
kecoklatan (Prasetyo et al. 2012).

Tabel 4 Hasil analisis ekstrak klorofil


Jenis daun pH Total klorofil
Daun suji 7.00 388.83 mg/L
Daun singkong 7.08 376.82 mg/L
Daun pepaya 7.03 362.58 mg/L

Pengujian kadar total klorofil dari ketiga jenis ekstak telah disajikan pada Tabel 4.
Hasil pengukuran terhadap kandungan klorofil menunjukkan bahwa semua sampel daun
yang diuji memiliki kandungan klorofil yang tidak jauh berbeda. Dari data tersebut
dapat dilihat bahwa daun suji memiliki kadar klorofil lebih tinggi dibandingkan daun
singkong dan pepaya. Hal ini disebabkan adanya perbedaan spesies, varieats, derajat
kematangan, tempat tumbuh dan faktor lainnya (Alsuhendra 2004). Daun yang diuji
pada penelitian ini adalah daun yang tua yang berwarna hijau pekat. Untuk daun
singkong dan daun pepaya digunakan daun yang berumur ± 3 bulan dan diambil daun
urutan ke 3 dari pucuk, sedangkan daun suji yang digunakan yang berwarna hijau pekat.
Warna hijau pada daun dan sayuran disebabkan oleh pigmen klorofil yang terdiri dari a
dan b yang tersimpan didalam kloroplas. Dedaunan yang berwarna hijau tua, lebih
banyak mengandung klorofil a, sebaliknya dedaunan yang berwarna hijau muda lebih
banyak mengandung klorofil b. Berdasarkan faktor umur tanaman, maka dapat
dikatakan bahwa makin tua umur tanaman akan menghasilkan kandungan klorofil yang
semakin tinggi (Setiari dan Nurchayati 2009). Semakin tinggi kandungan klorofil
dedaunan atau sayuran, semakin hijau warna daun (Alsuhendra 2004).

Uji stabilitas ekstrak klorofil

Pengujian stabilitas klorofil daun singkong, pepaya dan suji diukur dengan
menggunakan spektrofotometer. Pengujian stabilitas klorofil ini bertujuan untuk
mendapatkan ekstrak klorofil yang terbaik diaplikasikan pada film indikator warna
khitosan + PVA. Ekstrak warna yang diinginkan adalah warna hijau klorofil yang dapat
berubah warna karena penyimpanan pada berbagai suhu. Pemilihan warna ini dilihat
dari penurunan nilai absorban dan perubahan warna yang terjadi. Pengujian stabilitas
ini meliputi: pengaruh terhadap pH, suhu dan cahaya.

Uji stabilitas ekstrak terhadap derajat keasaman (pH)

Pengaruh pH terhadap stabilitas klorofil dilakukan dengan cara, mengamati


dengan jalan mengukur nilai absorban pada panjang gelombang 645 (klorofil a) dan 663
(klorofil b) nm pada pH 1 sampai 7. Nilai absorban dapat dilihat pada Gambar 7 berikut
ini.
18

1
Klorofil Daun Suji

NIlai absorban λ 645


0,8
Klorofil Daun singkong
0,6
Klorofil Daun pepaya
0,4
0,2
0
1 2 3 4 5 6 7
Nilai pH
(a)
1,4
Klorofil daun suji
Nilai absorban λ 663

1,2
1 Klorofil daun singkong
0,8
Klorofil daun pepaya
0,6
0,4
0,2
0
1 2 3 4 5 6 7
Nilai pH
(b)

Gambar 7 Nilai absorban ekstrak klorofil a (a) dan ekstrak klorofil b (b)

Dari Gambar di atas dapat dilihat bahwa nilai absorban tertinggi terdapat pada pH
7. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan dengan Prasetyo et al (2012) dan
Hermansyah (2012) yang menyatakan bahwa pada titik netral (7-8) klorofil relatif stabil
dibandingkan pada pH asam (3-5). Ketidakstabilan struktur klorofil mengakibatkan
terjadinya reaksi feofitinisasi. Gross (1991) menyatakan bahwa reaksi feofitinisasi
reaksi pembentukan feofitin yang bewarna hijau kecoklatan. Reaksi ini terjadi karena
terlepasnya ion Mg2+ dari pusat cincin molekul klorofil. Perubahan warna yang
dihasilkan dari pH 1 sampai 7 dapat dilihat pada Gambar 8 .
Klorofil merupakan porifin yang mengandung cincin dasar tetrapirol, dimana
keempat cincin berikatan dengan ion Mg2+, dan memiliki cincin isosiklik yang kelima
yang berada dekat dengan cincin pirol ketiga. Pada cincin keempat, substituen asam
propionat diesterifikasi oleh gugus fitol, suatu diterpen alkohol (C20H39OH), yang
bersifat hidrofobik. Jika gugus ini dihilangkan dari struktur intinya maka klorofil
berubah menjadi turunannya yang bersifat hidrofilik (Gross 1991). Rumus molekul
klorofil-a adalah C55H72N4O5Mg, sedangkan klorofil-b adalah C55H70N4O6Mg.
Klorofil-b berbeda dengan klorofil-a karena mempunyai satu grup forthil (-CHO)
menggantikan grup metil pada posisi 3 dari klorofil (Gross 1991).
19

(A)

(B)

(C)

Gambar 8 Perubahan warna ekstrak klorofil dari pH 1-7 pengenceran 10-2 pada (A)
daun suji (B) daun singkong (C) daun pepaya

Salah satu sifat kimia klorofil yang penting adalah kelabilan yang ekstrim, seperti
sensitif terhadap cahaya ultraviolet, panas, oksigen, dan degradasi kimia. Klorofil dapat
terdegradasi secara kimia, yang meliputi reaksi feofitinisasi, reaksi pembentukan
klorofilid, dan reaksi oksidasi (Gross 1991).
Dari Gambar 8 dilihat bahwa semakin rendah pH ekstrak (ekstrak semakin asam)
maka absorban maksimum dari absorban cenderung menurun. Pada pH 1-3 warna yang
dihasilkan adalah warna kuning kecoklatan, semakin tinggi pH warna yg dihasilkan
menjadi hijau dan stabil pada pH 7 (netral). Penurunan intensitas warna yang dihasilkan
disebabkan karena terjadinya perubahan struktur molekul klorofil menjadi feofitin
(berwarna kuning). Degradasi pigmen klorofil terjadi pada pH rendah, hal ini yang
memicu terjadinya proses feofitinasi (Arfandi et al. 2013). Feofitinasi atau demetalasi
(pelepasan ion Mg2+), pelepasan gugus fitol, oksidasi dan alomerisasi (oksidasi cincin
V) merupakan beberapa bentuk degradasi klorofil menjadi turunannya. Beberapa dari
perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 9. Menurut Gross (1991), Feofitin-a dan
b mudah didapat dari klorofil dengan perlakuan asam, sehingga melepaskan magnesium.
Selain dapat bereaksi dengan asam, klorofil juga dapat bereaksi dengan basa yang
menghasilkan gugus bernama filin (phyllins) yaitu sebuah komponen porpirin bergugus
magnesium.
20

Gambar 9 Perubahan klorofil menjadi beberapa senyawa turunannya

Klorofil yang berwarna hijau dapat berubah menjadi hijau kecoklatan dan
mungkin berubah menjadi coklat akibat adanya perlakuan-perlakuan selama
pengolahan seperti perlakuan asam, panas tinggi dan browning enzimatis (Putri et al
2012). Menurut Hermansyah (2012) degradasi klorofil dipengaruhi oleh pH. Pengaruh
pH asam pada klorofil menyebabkan semakin banyak terlepasnya ion Mg2+. Peristiwa
ini terjadi karena protein yang mengadakan ikatan kompleks dengan molekul klorofil
menjadi terdenaturasi, sehingga sumbangan ikatan yang berasal dari ligan protein
dalam mempertahankan ion Mg2+ menjadi berkurang. Di dalam asam lemah ion Mg2+
pada inti porifin dari senyawa klorofil akan tersubsitusi oleh ion H+ yang akan
menyebabkan berubahnya wana hijau (pH netral) menjadi kuning kecoklatan (pH
asam), yaitu warna feofitin. Senyawa klorofil merupakan senyawa yang cukup peka
terhadap perubahan cahaya, temperatur, pH dan oksigen.

Uji stabilitas ekstrak terhadap suhu ruang dan refrigerator

Stabilitas ekstrak yang disimpan pada suhu ruang (25±2oC) dan refrigerator
(2±2oC) dilakukan pengujian selama 5 hari dengan cara melihat perubahan nilai
absorban pada panjang gelombang 645 (klorofil a) dan 663 (klorofil b) nm. Kemudian
dilihat perubahan warna yang terjadi. Perubahan nilai absorban selama penyimpanan
dapat dilihat pada Gambar 10.
Dari Gambar tersebut dapat dilihat bahwa semakin lama penyimpanan maka
nilai absorban yang dihasilkan menurun. Penurunan panjang gelombang diakibatkan
karena terjadinya kerusakan struktur klorofil akibat adanya reaksi oksidasi enzimatik
selama penyimpanan. Menurut Hermansyah (2012), reaksi oksidasi enzimatik terjadi
dengan adanya enzim lipoksigenase yang terdapat di sebagian besar sayuran dan buah-
buahan. Enzim lipoksigenase diidentifikasi sebagai enzim yang memberikan pengaruh
pemucatan pada klorofil-a dan klorofil-b dengan kehadiran lemak dan oksigen.
Menurut Gross (1991) kerusakan warna hijau menjadi kuning kecoklatan pada sayuran
diakibatkan karena penyimpanan.
21

Nilai absorban λ 645 1 Suhu ruang Suhu refrigerator

0,8

0,6 Suji

0,4 Singkong
Pepaya
0,2

0
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Lama penyimpanan (hari) Lama penyimpanan (hari)
(A)
1,4 Suhu ruang Suhu refrigerator
1,2
Nilai absorban λ 663

1
0,8 Suji
0,6 Singkong
0,4
Pepaya
0,2
0
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Lama penyimpanan (hari) Lama penyimpanan (hari)
(B)

Gambar 10 Perubahan nilai absorban klorofil (A) a dan (B) b

. Selama penyimpanan terjadinya degradasi struktur klorofil sehingga ion Mg2+


pada cincin porfirinnya terlepas yang ditandai dengan terjadinya perubahan warna.
Perubahan warna pada penyimpanan dengan suhu ruang dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Perubahan warna klorofil (1) daun suji; (2) daun singkong; (3) daun
pepaya pada penyimpanan suhu ruang selama (a) 1 hari, (b) 2 hari, (c)
3 hari, (d) 4 hari, (e) 5 hari
22

Penyimpanan selama 5 hari pada suhu refrigerator menunjukkan penurunan


intensitas warna yang lebih rendah dibandingkan penyimpanan klorofil pada suhu ruang.
Perubahan warna klorofil yang disimpan pada refrigerator dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12 Perubahan warna klorofil (1) daun suji; (2) daun singkong; (3) daun
pepaya pada penyimpanan refrigerator selama (a) 1 hari, (b) 2 hari, (c) 3
hari, (d) 4 hari, (e) 5 hari

Dari ketiga jenis daun tersebut, daun suji memiliki nilai absorban tertinggi pada
panjang gelombang 645 dan 663. Panjang gelombang 645 dan 663 digunakan untuk
menguji kadar klorofil a dan klorofil b. Jadi dapat disimpulkan bahwa kandungan klorofil
tertinggi terdapat pada daun suji kemudian daun singkong dan daun pepaya.
Intensitas warna hijau terlihat bahwa penyimpanan pada suhu ruang mengalami
perubahan warna dari hijau menjadi kuning kecoklatan. Oleh karena itu selama
penyimpanan pada suhu ruang mengalami proses degradasi struktur klorofil sehingga
lepasnya ion Mg2+ pada pusat cincin klorofil menjadi feofitin yang ditandai dengan terjadi
perubahan warna menjadi coklat. Menurut gross (1991), degradasi klorofil dapat
disebabkan oleh reaksi oksidasi. Cincin isosiklik dapat teroksidasi membentuk klorofil
teralomerasi dan pecahnya cincin tetrapirol membentuk produk yang tidak bewarna. Reaksi
oksidasi dapat dibagi menjadi reaksi oksidasi enzimatik dan reaksi oksidasi non enzimatik.
Reaksi oksidasi ini terjadi karena adanya pemanasan dan selama penyimpanan.

Uji stabilitas ekstak terhadap cahaya

Pengujian stabilitas ekstrak terhadap cahaya dilakukan dengan 2 cara yaitu


penyimpanan pada ruang bercahaya terang dan ruang gelap selama 5 hari. Kemudian
diamati pergeseran panjang gelombang dan perubahan warna pada ekstrak. Nilai absorban
pada panjang gelombang 645 dan 663 nm selama penyimpan pada ruang bercahaya dan
tanpa cahaya mengalami penurunan. Penyimpanan klorofil pada ruang bercahaya lebih
mudah mengalami penurunan dibandingkan penyimpanan ada ruang gelap tanpa cahaya.
Hal ini diakibatkan karena struktur klorofil yang tidak stabil terhadap cahaya. Menurut
Gross (1991), klorofil sangat peka terhadap cahaya, jika mengenai klorofil kurang dari 1
detik dapat mengakibatkan reaksi protopigmen. Perubahan nilai absorban selama
penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 13.
23

1 Ruang Cahaya Ruang gelap

0,8
Nilai absorban λ 645

0,6 Suji
0,4 Singkong

0,2 Pepaya

0
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Lama penyimpanan (hari) Lama penyimpanan (hari)
(A)

1,4 Ruang cahaya Ruang gelap


1,2
Nilai absorban λ 663

1
0,8 Suji
0,6
Singkong
0,4
Pepaya
0,2
0
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Lama penyimpanan (hari) Lama penyimpanan (hari)

(B)

Gambar 13 Perubahan nilai absorban klorofil (A) a dan (B) b

Dari Gambar 13 dapat dilihat bahwa, semakin lama waktu penyimpanan akan
menurunkan mutu klorofil yang dihasilkan. Penyimpanan pada ruang tanpa cahaya
memiliki tingkat stabilitas lebih baik dibandingkan ruang yang bercahaya. Hal ini sesuai
dengan sifat klorofil yang peka terhadap cahaya. Perubahan warna yang terjadi pada
penyimpanan cahaya terang sangat signifikan. Semakin lama penyimpanan, warna yang
ditimbulkan semakin pucat. Perubahan warna klorofil yang disimpan pada cahaya terang
dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14 Perubahan warna klorofil (1) daun suji; (2) daun singkong; (3) daun
pepaya pada penyimpanan cahaya terang selama (a) 1 hari, (b) 2 hari,
(c) 3 hari, (d) 4 hari, (e) 5 hari
24

Hal ini juga didukung oleh Gross (1991) bahwa dengan adanya pemanasan akan
memberikan pengaruh kerusakan klorofil dengan membentuk pheophytin. Penyebab lain
turunnya warna dan kadar klorofil pada ekstrak pada penyimpanan ruang bercahaya
meningkatnya aktifitas enzimatisnya, sehingga meningkat pula degradasi klorofil menjadi
feofitin (Putri et al. 2012). Pemanasan yang terjadi akibat penyimpanan pada ruang yang
bercahaya dapat mengakibatkan denaturasi protein sehingga klorofil menjadi tidak
terlindungi lagi (Sari 2005). Kerusakan klorofil yang terjadi saat terkena cahaya terang
terjadi karena rusaknya cincin porifin, sehingga sifat spektral klorofil yang dimiliki semula
menjadi hilang. Aktifitas enzim lipoksigenase terhadap suatu senyawa bukan klorofil dapat
menghasilkan radikal bebas. Radikal bebas ini selanjutnya yang dapat memecah klorofil
(Nurdin 2009).
Ekstrak klorofil yang disimpan pada ruang gelap mengalami penurunan intensitas
warna yang tidak berbeda nyata. Perubahan warna ekstrak klorofil yang disimpan pada
ruang tanpa cahaya dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15 Perubahan warna klorofil (1) daun suji (2) daun singkong (3) daun pepaya
pada penyimpanan tanpa cahaya (a) 1 hari (b) 2 hari (c) 3 hari (d) 4 hari (e)
5 hari

Klorofil terdapat dalam bentuk terikat secara kompleks dengan molekul protein. Jika
klorofil mengalami pemanasan atau terkena cahaya, maka senyawa kompleks tersebut akan
mengalami denaturasi, sehingga klorofil akan dibebaskan. Klorofil bebas ini sangat tidak
stabil, dan ion Mg2+ yang terdapat di dalamnya dapat dengan mudah digantikan oleh ion
H+. Akibatnya warna hijau klorofil berubah menjadi kecoklatan bahkan semakin pucat
karena terbentukanya beberapa turunan klorofil seperti fiofitin, feoforbid, dll (Muchtadi
1992). Klorofil dalam jaringan tanaman dilindungi dari getah tanaman yang asam melalui
pembentukan ikatan dengan protein, tetapi ikatan ini dengan mudah terpecah saat
penyimpanan dan pengolahan (Hutchings 1994). Menurut Alsuhendra (2004) proses
oksidasi dan alomerisasi sering terjadi pada saat penyimpanan yang mengakibatkan
hilangnya warna hijau. Peristiwa ini umumnya dibantu oleh enzim-enzim seperti katalase,
peroksidase, lipoksidase dan klorofil oksidase.
Dari uji stabilitas klorofil yang dilakukan, ekstrak warna klorofil terbaik yang dapat
diaplikasikan pada film indikator warna adalah ekstrak klorofil dari daun singkong.
Pemilihan ini berdasarkan, uji klorofil tehadap pH, suhu dan cahaya pada ekstrak daun
singkong mengalami penurunan nilai absorbansi lebih cepat dibandingkan ekstrak daun
suji dan daun pepaya. Jadi saat aplikasi pada film, warna yang dihasilkan berwarna hijau
dan perubahan warna yang jelas secara visual. Pada penelitian ini, daun suji memiliki kadar
25

klorofil lebih tinggi dibandingkan daun singkong dan pepaya, dapat dilihat pada total
klorofil yang didapat dan nilai absorban awal. Semakin banyak klorofil yang terekstrak
maka warna yang dihasilkan akan semakin pekat. Klorofil merupakan pigmen hijau
sehingga memiliki kecenderungan sebagai warna yang terbagi dalam warna gelap, karena
jumlah klorofil pada suji yang lebih tinggi, maka warna yang dihasilkan akan menjadi gelap
dan tidak hijau. Hal ini sesuai dengan penelitian Putri et al. (2012) yang mendapatkan
warna suji lebih gelap dan menurunkan tingkat kecerahan karena kandungan klorofil yang
tinggi.

Pembuatan dan ketebalan film indikator

Dalam pembuatan film ini, pelarut yang digunakan untuk melarutkan khitosan
yaitu menggunakan asam asetat 1%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pangabean (2010)
bahwa khitosan memiliki sifat larut dalam larutan asam dengan pH kurang dari 6 seperti
asam asetat, asam format dan asam laktat. Sementara itu, untuk melarutkan PVA, cukup
menggunakan air atau aquades yang telah dipanaskan hingga mencapai suhu 80oC, hal ini
sesuai dengan perlakuan Nofrida (2012) dan pernyataan Sheftel (2000) bahwa PVA dapat
larut pada air dengan suhu 80oC. Agar film yang dihasilkan lebih lentur dan elastis, pada
penelitian ini dilakukan penambahan gliserol 1% sesuai perlakuan Nofrida (2012).
Pembuatan matriks film dicampur dengan perbandingan 60:40 dari PVA dan khitosan.
Perbandingan ini dipilih karna menghasilkan film yang lebih baik secara fisik (Nofrida
2012).
Perlakuan penambahan ekstrak klorofil dilakukan dengan konsentrasi 25 mL
pewarna /100 mL larutan film ke dalam campuran 60:40 PVA dan khitosan lalu
dikeringkan pada suhu 50oC selama 30 jam dan menghasilkan film indikator dengan
hijau.Warna pada film dapat dilihat pada Gambar 16.
Setelah mendapatkan film indikator klorofil, ketebalan merupakan salah satu
parameter untuk mengetahui karakteristik film yang dibuat. Ketebalan film dipengaruhi
oleh jumlah volume larutan film yang dicetak pada cetakan plat kaca. Semakin banyak
larutan, maka film yang dihasilkan semakin tebal. Film ini dicetak dengan cetakan
berukuran (20×15 cm)2 dengan volume larutan film 200 mL. Nilai ketebalan yang didapat
setelah terbentuk film indikator klorofil yaitu 0.22 mm. Ketebalan juga dipengaruhi oleh
kekentalan atau viskositas larutan film yang digunakan, semakin besar persentase padatan
bahan baku dan plasticizer yang digunakan maka akan semakin meningkatkan ketebalan
film yang dihasilkan (Nofrida 2012).

(a) (b)
Gambar 16 Film indikator warna klorofil (a) sebelum dikeringkan (b) sesudah
dikeringkan
26

Ghanim (2012) juga menyebutkan ketebalan pada film diduga oleh adanya ikatan
hidrogen yang terbentuk akibat interaksi yang terbentuk antara gugus hidroksil dan
amino dari khitosan dengan gugus hidroksil PVA yang menyebabkan kedua bahan
tersebut terikat kuat dan membentuk suatu padatan yang menyebabkan padatan tersebut
menjadi sulit menguap dan berubah menjadi film. Raymond et al. (2006) menyatakan
bahwa gugus hidroksil dan gugus amina yang berinteraksi dalam ikatan hidrogen
menjadikan suatu larutan menjadi lebih sulit menguap dari senyawa lain. Gontard et al.
(1993) menambahkan, bahwa ketebalan film dipengaruhi oleh jumlah padatan yang
terdapat pada larutan. Semakin banyak jumlah padatan maka film yang terbentuk akan
semakin tebal. Hal lain yang mempengaruhi ketebalan film menurut Park et al. (1995)
diantaranya adalah luas cetakan, volume larutan, dan jumlah padatan dalam larutan.

Stabilitas warna film selama penyimpanan

Warna dapat didefinisikan secara obyektif/fisik sebagai sifat cahaya yang


dipancarkan, atau secara subyektif/psikologis merupakan bagian dari pengalaman
indera pengelihatan. Secara obyektif atau fisik, warna dapat diberikan oleh panjang
gelombang. Dilihat dari panjang gelombang, cahaya yang tampak oleh mata merupakan
salah satu bentuk pancaran energi yang merupakan bagian yang sempit dari gelombang
elektromagnetik. Warna juga merupakan indikator mutu suatu produk (Warsiki dan
Putri 2012).
Dari hasil uji yang dilakukan, secara umum terjadi perubahan warna pada film
indikator selama penyimpanan. Perubahan warna yang terjadi yaitu dari hijau menjadi
hijau kekuningan hingga kuning kecoklatan. Pada film yang disimpan pada suhu tinggi
(50±2oC) film mengalami perubahan menjadi kuning kecoklatan secara visual selama 5
jam. Pada suhu ruang (25±2oC) mengalami perubahan warna menjadi kuning kecoklatan
pada jam ke 7. Untuk film yang disimpan pada suhu (17±2oC) secara visual warna film
yang terjadi menjadi hijau kekuningan. Perubahan warna ini terjadi pada jam ke 17.
Selanjutnya, penyimpanan film dilakukan pada suhu rendah (2±2oC) perubahan warna
yang terjadi tidak begitu siknifikan secara visual. Warna yang didapat hijau kekuningan
pada hari ke 16 begitu juga dengan penyimpanan pada suhu freezer (-10±2oC)
penyimpanan dilakukan hingga hari ke 108 dan perubahan yang terjadi menjadi hijau
kekuningan. Perubahan warna film indikator warna klorofil dapat dilihat pada Gambar
17.
27

Gambar 17 Perubahan warna film indikator warna klorofil pada suhu: (a) 50±2oC
(b) 25±2oC (c) 17±2oC (d) 2±2oC (e) -10±2oC

Nilai L

Nilai L merupakan nilai yang menunjukkan tingkat kecerahan. Menurut QIAO et


al. (2001) nilai L berkorelasi negatif terhadap pH. Semakin rendah nilai pH akan
menghasilkan nilai L yang semakin meningkat. Kisaran nilai L antara 0 (gelap/hitam)
dan 100 (terang/putih) (Nofrida 2012). Warna awal yang dihasilkan adalah hijau,
semakin lama disimpan warna yang didapat semakin gelap. Penyimpanan pada suhu
50±2oC menghasilkan warna kuning kecoklatan pada penyimpanan jam ke 5. Nilai L
yang dihasilkan juga turun seiring dengan perubahan warna pada film indikator klorofil
ini. Penurunan terjadi dari nilai 26,21 menjadi 13,97. Perubahan reaksi kimia mulai
terjadi sejak jam ke 2. Warna hijau menjadi kuning kecoklatan merupakan perubahan
reaksi klorofil menjadi feofitin. Selanjutnya, pada penyimpanan suhu ruang (25±2oC)
perubahan warna kuning kecoklatan terjadi pada jam ke 7. Warna yang dihasilkan juga
semakin gelap dan terjadi penurunan nilai L menjadi 17,21. Pada penyimpanan suhu
17±2oC, perubahan warna menjadi hijau kekuningan terjadi pada jam ke 17. Penurunan
nilai L dari awal menjadi 22,57. Selanjutnya, film indikator klorofil ini disimpan pada
suhu rendah yaitu pada suhu 2±2oC dan suhu -10±2oC. Perubahan nilai L pada
28

penyimpanan suhu 2±2oC menjadi 23,71 dan 23,02 pada suhu -10±2oC. Hubungan nilai
L dengan lama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 18.
27 27

25
26
Suhu -10 23
Nilai L

Nilai L
Suhu 2
25 21
Suhu 17
19
24 Suhu 27
17 Suhu 50
23 15
0 50 100 150 0 5 10 15 20
Lama penyimpanan (hari) Lama penyimpanan (jam)

(a) (b)
Gambar 18 Hubungan lama penyimpanan terhadap nilai L label indikator

Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa setiap suhu memiliki nilai L yang berbeda.
Semakin lama penyimpanan film makan nilai L yang didapatkan semakin menurun.
Penurunan nilai L ini, seiring dengan perubahan struktur kimia klorofil menjadi
turunannya. Warna awal yang berwarna hijau, berubah menjadi hijau kekuningan
hingga kuning kecoklatan. Pernyataan ini didukung oleh Fennema (1996), bahwa
adanya penerapan panas akan mempercepat pembentukan feofitin yang memiliki warna
hijau kekuningan (olive green). Feofitin adalah salah satu jenis turunan klorofil yang
melepaskan Mg2+ dan menggantinya dengan H+. Hal ini dapat terjadi karena Mg2+
merupakan gugus paling lemah pada struktur klorofil yang mudah diserang akibat
radikal bebas (Muchtadi 1992). Hutchings (1994) juga meyebutkan pemanasan
berpengaruh terhadap reaksi feofitin yaitu terlepasnya ion Mg2+ pada senyawa klorofil
dan disubsitusi oleh ion H+ yang menyebabkan berubahnya warna hijau menjadi
kecoklatan.

Nilai a

Menurut Nofrida (2012), nilai a positif (+a) menunjukkan sampel memiliki derajat
kemerahan, sedangkan nilai a negatif (-a) menunjukkan sampel memiliki derajat
kehijauan. Sampel film klorofil memiliki warna hijau. Secara keseluruhan, nilai a yang
didapat pada setiap penyimpanan mengalami peningkatan. Pada penyimpanan pada
suhu 50±2oC nilai meningkat dari -14,46 menjadi -2,97. Pada penyimpanan dengan suhu
25±2oC nilai a meningkat menjadi -3,07. Selanjutnya, pada penyimpanan dengan suhu
17±2oC nilai a yang didapat juga mengalami peningkatan menjadi -5,46. Pada
penyimpanan dengan suhu rendah, nilai a tetap mengalami kenaikan walaupun tidak
begitu signifikan, suhu 2±2oC mengalami kenaikan menjadi -6,65 dan pada suhu -10±-
2oC menjadi -11,32. Hubungan antara lama penyimpanan terhadap sampel yang
disimpan pada berbagai suhu, dapat dilihat pada Gambar 19.
29

Lama penyimpanan (jam)


Lama penyimpanan (hari) 0
0
0 5 10 15 20
0 50 100 150
-0,1 -0,1

-0,2 Suhu -10 -0,2

Nilai a
Nilai a

Suhu 2
-0,3 -0,3 Suhu 17
Suhu 27
-0,4 -0,4
Suhu 50

-0,5 -0,5

(a) (b)
Gambar 19 Hubungan lama penyimpanan terhadap nilai a label indikator

Kenaikan nilai a menunjukkan sample mengalami perubahan wana dari hijau


menjadi hijau kekuningan hingga kuning kecoklatan yang memiliki nilai lebih tinggi.
Pada Gambar 19 dapat dilihat, setiap grafik memiliki nilai yang semakin meningkat.
Peningkatan nilai a ini seiring dengan perubahan warna pada sampel. Pemanasan selama
penyimpanan sampel merupakan proses fisika yang dapat mengakibatkan kerusakan
klorofil dan mengubah derajat warna kehijauan. Pemanasan dapat mengakibatkan
denaturasi protein sehingga klorofil menjadi tidak terlindungi lagi. Selama pemanasan,
asam-asam organik dalam jaringan dibebaskan yang mengakibatkan pembentukan
feofitin. Pemanasan juga memberi pengaruh terhadap aktifitas enzim klorofilase dan
enzim lipoksigenase (Prasetyo et al. 2012).

Nilai b

Nilai b merupakan nilai yang menunjukkan derajat kekuningan dengan nilai b


negatif (-b) dan menunjukkan derajat kebiruan dengan nilai b positif (+b). Perubahan
nilai b setiap penyimpanan sampel pada suhu yanh berbeda dapat dilhat pada Gambar
20.
Klorofil merupakan ester dan larut dalam kebanyakan pelarut organik. Dalam
larutan, klorofil bersifat fluoresen. Satu karakteristik penting dari klorofil adalah
kelabilannya yang esktrim, yaitu sensitif terkhadap cahaya, panas dan oksigen (Nurdin
2009). Pada Gambar 20, dapat dilihat bahwa nilai b mengalami penurunan pada setiap
penyimpanan pada berbagai suhu. Pada penyimpanan dengan suhu -10±-2oC, nilai b
sedikit mengalami penurunan nilai dari 47,45 menjadi 43,79 dalam waktu
penyimpanan hingga 3 bulan. Pada penyimpanan dengan suhu 2±2oC nilai b juga
mengalami penurunan menjadi 35,02 dalam waktu 2 minggu. Pada suhu 17±2oC
sampel yang disimpan mengalami penurunan nilai b menjadi 34,97. Selanjutnya, nilai
b yang didapat dari penyimpanan dengan suhu 25±2oC menjadi 23,97 dan pada suhu
50±2oC mengalami penurunan menjadi 23,21. Penurunan yang yang terjadi seiring
dengan perubahan warna klorofil yang dari hijau menjadi hijau kekuningan hingga
kuning kecoklatan
30

50 50
48 Suhu 50
46 45 Suhu 27
44
40 Suhu 17
42
Nilai b

Suhu 2

Nilai b
40 35
38 Suhu -10
36 30
34
25
32
30 20
0 15 30 45 60 75 90 105 120 0 5 10 15 20
Lama penyimpanan Lama penyimpanan

(a) (b)
Gambar 20 Hubungan lama penyimpanan terhadap nilai b label indikator

Pembentukan klorofil a dipengaruhi oleh adanya cahaya yang mereduksi


protoklorofilida menjadi klorofil a yang kemudian dioksidasi mejadi klorofil b.
Terbentuknya klorofil b yang lebih banyak pada keadaan ternaungi diduga karena
adanya ketidakseimbangan pembentukan klorofil akibat pengurangan intensitas radiasi.
Sementara konversi menjadi klorofil b relatif tidak dipengaruhi oleh intensitas secara
langsung (Prasetyo et al. 2012). Klorofil a merupakan klorofil dengan warna hijau
kebiruan dengan susunan kimia C55H72MgN4O5. Pada susunan klorofil a, atom logam
Mg akan diikat dengan N dari 2 cincin pirol dengan ikatan kovalen biasa serta oleh 2
atom N dari cincin pirol lainnya dengan ikatan kovalen koordinat di mana N dari pirol
yang akan menyumbangkan pasangan elektronnya utuk dipakai bersama dengan Mg.
Sedangkan klorofil b merupakan klorofil dengan warna hijau kekuningan dengan
susunan kimia C55H70MgN4O6. Klorofil jenis ini memiliki struktur yang sama dengan
klorofil a, kecuali pada posisi 3 terdapat gugus formil, bukan gugus metil yang dimiliki
klorofil a. Struktur molekul dari klorofil a, klorofil b serta hemoglobin yang mana
struktur molekulnya bermiripan dengan struktur molekul dari klorofil.

Nilai ∆E

Nilai perbedaan warna total atau total color difference biasa disebut ∆E. Nilai ΔE
merupakan atribut nilai yang menjadi parameter terjadinya perubahan warna secara
keseluruhan. Semakin tinggi nilai ΔE menunjukkan lebih besarnya total perubahan
warna sampel selama penyimpanan, sedangkan semakin kecil nilai ΔE menunjukkan
perubahan warna sampel selama penyimpanan relatif kecil (Hutchings 1999). Semakin
besar nilai ΔE, menunjukkan menurunnya intensitas warna yang jauh berbeda terhadap
warna semula. Perubahan nilai ΔE label indikator untuk masing-masing suhu
penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 21.
31

16 35
14 Suhu 50
30
12 Suhu 25
25
10 Suhu 17

Nilai ∆E
Suhu 2 20
Nilai ∆E

8
Suhu -10
6 15

4 10
2 5
0 0
0 20 40 60 80 100 120 0 5 10 15 20
-2
Lama penyimpanan (hari) Lama penyimpanan (jam)

(a) (b)
Gambar 21 Hubungan lama penyimpanan terhadap nilai ∆E label indikator

Perubahan warna pada label indikator klorofil menunjukkan bahwa lama


penyimpanan dan suhu berpengaruh terhadap warna. Peningkatan suhu dan lama
penyimpanan juga berpengaruh terhadap peningkatan nilai ∆E. Dari Gambar 21 dapat
dilihat, bahwa semakin rendah suhu, maka nilai ∆E yang didapat semakin kecil. Dari
penelitian ini, dapat dilihat bahwa nilai ∆E tertinggi terdapat pada suhu 50±2oC selama
5 jam penyimpanan dan nilai terendah didapat pada penyimpan suhu terendah yaitu -
10±2oC. Hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Wanihsuksombat et al.
(2010) dan Nofrida (2013) bahwa semakin tinggi suhu, maka semakin tinggi nilai ∆E
yang didapat, seiiring dengan lamanya waktu penyimpanan label indikator.

Nilai oHue

Menyatakan warna sebenarnya, seperti merah, violet, dan kuning. ohue digunakan
untuk membedakan warna-warna dan menentukan kemerahan (redness), kehijauan
(greenness) dari cahaya. oHue berasosiasi dengan panjang gelombang cahaya, dan bila
kita menyebut warna merah, violet, atau kuning, kita sebenarnya menspesifikasikan
o
hue-nya. Perubahan nilai ohue label indikator untuk masing-masing suhu penyimpanan
dapat dilihat pada Gambar 22.
Nilai ohue awal untuk semua suhu adalah 72,05 yang menunjukkan warna hijau
pada label indikator klorofil. Semakin lama penyimpanan maka nilai ohue pada masing-
masing suhu mengalami peningkatan dengan lama penyimpanan yang berbeda.
Semakin tinggi suhu penyimpanan maka semakin tinggi nilai ohue yang menandakan
terjadinya perubahan warna. Peningkatan nilai ohue juga menandakan kerusakan
klorofil pada label. Hal ini menunjukkan bahwa struktur dari klorofil mengalami
degradasi selama penyimpanan pada setiap suhu.
32

80 84
79 Suhu -10
82
78 Suhu 2

77 80
Nilai hue

Nilai hue
76 78
75 Suhu 17
76 Suhu 27
74
74 Suhu 50
73
72 72
0 50 100 150 0 5 10 15 20
Lama penyimpanan (hari) Lama penyimpanan (jam)
(a) (b)
Gambar 22 Hubungan lama penyimpanan terhadap nilai ohue label indikator

Perubahan warna bisa diakibatkan oleh enzim, oksigen, suhu. Umumnya, terdapat
tiga reaksi yang dapat menjelaskan degradasi klorofil, yaitu reaksi feofitinasi,
pembentukan klorofilid dan oksidasi. Reaksi feofitin adalah bentuk klorofil yang
kehilangan ion Mg2+ sehingga warna yang diekspresikan bukan hijau melainkan hijau
kecoklatan. Klorofil a diketahui mengalami reaksi feofitinasi lima sampai sepuluh kali
lebih cepat dibandingkan dengan klorofil b. Reaksi ini akan berjalan lebih cepat jika
terkena panas (Kyzlink 1990). Panas mempercepat reaksi feofitinasi karena dapat
mendenaturasi protein.
Reaksi kedua yaitu reaksi pembentukan klorofilid. Klorofilid dapat terbentuk dari
reaksi hidrolisis pada suasana asam maupun basa. Biasanya reaksi terjadi akibat aktifitas
enzim klorofilase. Enzim ini terdapat hampir pada semua tanaman yang mampu
menghidrolisis rantai fitol. Pada kondisi normal, enzim ini terikat kuat secara fisik pada
lipoprotein lamela sehingga tidak bereaksi hidrolisis klorofil. Enzim ini akan aktif jika
berada pada pelarut organik atau pada temperature 65-70 oC pada pelarut air (Gross
1991). Klorofilid yang dihasilkan pada reaksi hidrolisis ini masih mengekspresikan
warna hijau seperti klorofil tetapi lebih larut air. Lebih lanjut, klorofilid dapat menjadi
feoforbit, yaitu senyawa klorofilid yang kehilangan ion Mg2+ dan digantikan oleh ion
hidrogen. Reaksi oksidasi klorofil menghasilkan produk yang tidak berwarna akibat dari
teralomerasinya klorofil dan pecahnya cincin tetrapirol (Clydesdale dan Francis 1976).
Reaksi oksidasi ini dapat terjadi secara enzimatis maupun non enzimatis. Oksidasi
secara enzimatis melibatkan enzim lipoksigenase yang terdapat pada sebagian besar
sayuran dan buah-buahan.
Pada penelitian ini dilakukan penyimpanan pada label indikator warna klorofil
dengan berbagai penyimpanan suhu. Suhu 50±2oC memiliki peningkatan nilai ohue dan
lama penyimpan yang lebih cepat sedangkan pada suhu -10±2oC peningkatan nilai ohue
dan lama penyimpanan yang lebih lambat. Perubahan nilai ohue yang terjadi pada
penyimpanan suhu 50±2oC adalah 82,71. Peningkatan nilai hue juga terjadi
penyimpanan suhu lainnya, suhu 25±2oC peningkatan nilai menjadi 82,50, selanjutnya
pada suhu 17±2oC menjadi 81,13. Penyimpan label pada suhu rendah mengalami
peningkatan nilai hue yang tidak begitu signifikan dibandingkan suhu sebelumnya, pada
suhu 2±2oC menjadi 79,25 dan pada suhu -10±2oC menjadi 75,51. Perubahan masing-
masing warna label pada berbagai penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 23.
33

Gambar 23 Perubahan warna label indikator pada berbagai suhu

Model kinetika perubahan warna label indikator klorofil

Berdasarkan nilai ohue maka penentuan orde reaksi dilakukan dengan memplot
o
data hue terhadap lama penyimpanan pada masing-masing suhu penyimpanan dengan
menggunakan Persamaan 3 dan 4. Berdasarkan plot data tersebut didapat hasil garis
linier pada masing-masing ordo. Hasil persamaan dapat dilihat pada Gambar 24 dan
Gambar 25.
80

79 y = 0,0164x + 72,742 y = 1,9846x + 72,635


84 R² = 0,960
R² = 0,965
78 y = 1,4582x + 72,465
82 R² = 0,982
Suhu -10
77 80
Suhu 2
ln k

76 78 y = 0,5062x + 72,981
ln k

R² = 0,941
75 76
Suhu 17
74 y = 0,0009x + 73,253 74
R² = 0,916 Suhu 27
73 72
Suhu 50
72 70
0 1000 2000 3000 0 5 10 15 20
Lama penyimpanan (jam) Lama penyimpanan (jam)
Gambar 24 Hubungan antara nilai ln k dan lama penyimpanan pada berbagai suhu
dengan menggunakan ordo 0
34

4,38 4,44 y = 0,0255x + 4,2867


R² = 0,964
y = 0,0002x + 4,2874 4,42 y = 0,0188x + 4,2846
4,36 R² = 0,966 R² = 0,983
Suhu -10 4,4
Suhu 2 4,38
4,34

ln k
ln k

4,36 y = 0,0066x + 4,291


R² = 0,942
4,32 4,34
Suhu 17
y = 0,00005x + 4,2939 4,32
4,3 Suhu 27
R² = 0,914
4,3
Suhu 50
4,28 4,28
0 500 1000 1500 2000 2500 3000 0 5 10 15 20
Lama penyimpanan (jam) Lama penyimpanan (jam)

Gambar 25 Hubungan antara nilai ln k dan lama penyimpanan pada berbagai suhu dengan
menggunakan ordo 1

Arrhenius menyatakan bahwa hubungan suhu terhadap reaksi atau perubahan


yang terjadi dapat menggunakan persamaan 5 dan apabila diubah menjadi fungsi
logaritma menjadi persamaan 6. Dari hasil plot data pada Gambar 24 dan 25, maka
didapat nilai konstanta laju reaksi (k) pada peyimpanan berbagai suhu yang dijabarkan
pada Tabel 5.

Tabel 5 Nilai konstanta laju reaksi (k) dan nilai koefisien korelasi (R2) dari ordo 0
dan ordo 1

Ordo 0 Ordo 1
Suhu Suhu
(°C) (°K) k (jam-1) R2 (°C) (°K) k (jam-1) R2

50 323 1,985 0,960 50 323 0,02550 0,964


27 300 1,458 0,982 27 300 0,01880 0,983
17 290 0,506 0,941 17 290 0,00660 0,942
2 275 0,160 0,965 2 275 0,00020 0,966
-10 263 0,009 0,916 -10 263 0,00005 0,914

Tabel 5 menunjukkan konstanta laju reaksi (k) dan nilai koefisien korelasi (R2)
dari masing-masing penyimpanan suhu pada ordo 0 dan ordo 1. Perubahan warna label
klorofil pada penelitian ini, dapat menggunakan ordo 0 dan 1. Hal ini dikarenakan, nilai
koefisien yang tidak berbeda nyata. Pada penelitian yang dilakukan oleh Amalia (2012)
untuk menentukan mutu dipilih parameter yang memilki nilai koefisien korelasi (R2)
yang cukup besar (>0,75). Untuk mendapatkan energi aktifasi (Ea) dan persamaan
perubahan warna label indikator, maka dilakukan dengan membuat plot nilai 1/T dan ln
k . Hasil analisis regresi linier dari plot 1/T dan ln k pada ordo 0 didapat persamaan y =
-7697,4x + 25,247 (R2 = 0,910 ). Dari persamaan ini diperoleh nilai Ea (Energi aktivasi)
sebesar 15,2947 kkal/mol, (R = nilai tetapan gas 1,987 kal/mol). Persamaan regresi pada
ordo 1 adalah y = -10011x + 28,223 (R2 = 0,920 ), dengan nilai energi aktivasi sebesar
35

19,8919 kkal/mol. Energi aktivasi tersebut mempunyai arti bahwa besarnya energi
minimal yang dibutuhkan molekul pada label indikator untuk menurunkan pewarna
klorofil sebesar 15,2947 kkal/mol (pada ordo 0) dan 19,8919 kkal/mol (pada ordo 1).
Nilai k diperoleh dari ln k -7697,4x (1/T) + 25,247 (R2 = 0,910) pada ordo 0 dan begitu
selanjutnya. Hasil plot nilai 1/T dan ln k pada masing-masing ordo dapat dilihat pada
Gambar 26.

2 Ordo 0 Ordo 1
0
1
0,002 0,0025 0,003 0,0035 0,004
0 -2
0 0,001 0,002 0,003 0,004
-1 -4
ln k

-2

ln k
-6
-3
-8
y = -7697,4x + 25,247
-4
R² = 0,910 y = -10011x + 28,223
-10 R² = 0,920
-5

-6 -12
1/T 1/T

Gambar 26 Plot 1/T dengan ln k untuk perubahan warna pada label indikator

Degradasi warna label pada penelitian ini mengikuti reaksi ordo 0 dan 1. Dimana
parameter yang digunakan adalah kenaikan nilai °hue. Dari hasil plot data pada Gambar
26, maka persamaan untuk model kinetika perubahan warna label indikator dapat dilihat
pada Tabel 6.

Tabel 6 Model kinetika perubahan warna klorofil pada label indikator


Ordo Model kinetika
0 k = 9,22.1010 e -15294,7/T
1 k = 1,81.1012 e -19891,9/T

Konstanta laju reaksi perubahan klorofil akan semakin besar seiring dengan
kenaikan suhu. Uji statistik menunjukkan koefisien determinasi (R2) antara nilai
logaritma natural k dengan lama penyimpanan menggunakan kinetika yang
dikembangkan adalah berkisar antara 0,914 – 0,983. Penggunakan ordo 0 dan ordo 1
pada persamaan Arrhenius telah banyak dilakukan. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Amalia (2012), ordo 0 dimanfaatkan untuk menduga umur simpan pada produk nugget
ikan dengan merk dagang Fish nugget ‘’so lite’’. Dasar asumsinya adalah aktifitas
mikroba pada berbagai kondisi suhu penyimpanan. Selanjutnya, penggunakan ordo 1
juga dimanfaatkan oleh berbagai peneliti. Renate et al. (2014) membuat model kinetika
degradasi capcaisin pada cabai merah giling dengan berbagai kondisi suhu
penyimpanan. Masithoh et al. (2013) menyatakan bahwa penurunan karoten, asam sitrat
dan kadar vitamin C pada tomat didekati dengan regresi linier ordo 1. Degradasi warna,
vitamin C dan dripp loss pada brokoli juga menggunakan persamaan Arrhenius dengan
36

ordo 1 (Goncalves et al. 2011). Untuk menentukan perubahan warna klorofil menjadi
turunannya, Prangdimurti (2007) juga memanfaatkan reaksi ordo 1 pada penelitian yang
dilakukannya.

5 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Ekstrak klorofil pada daun suji, singkong dan pepaya stabil pada pH netral
dibandingkan pH asam. Untuk aplikasi klorofil, ekstrak klorofil daun singkong dipilih
sebagai pewarna indikator pada film. Pemilihan ini berdasarkan, tingkat stabilitas
terhadap pH, cahaya dan suhu ekstrak daun singkong lebih mudah mengalami
penurunan nilai absorban dibandingkan ekstrak daun suji dan daun pepaya. Daun suji
memiliki kadar klorofil tertinggi dibandingkan daun singkong dan pepaya, hal ini
berpengaruh terhadap tingkat kecerahan jika diaplikasikan pada label indikator.
Perubahan warna label dilihat secara visual mengalami perubahan dari hijau
menjadi hijau kekuningan hingga kuning kecoklatan. Kisaran nilai ohue sampel berada
pada 73o hingga 83o dan berada pada kuadran ke 2. Semakin tinggi suhu, maka
perubahan warna yang dihasilkan semakin cepat.
Model Arrhenius dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan model kinetika
perubahan warna klorofil pada label indikator. perubahan warna ini dapat menggunakan
ordo 0 maupun ordo 1 dengan parameter nilai °hue. Permodelan yang dihasilkan untuk
ordo 0 adalah k = 9,22.1010 e -15294,7/T dan untuk ordo 1 adalah k = 1,81.1012 e -19891,9/T .
Pengembangan model ini dapat digunakan untuk menduga umur simpan label jika
disimpan pada kondisi suhu yang berbeda.

Saran

Untuk peneliti selanjutnya disarankan dapat menguji label dan produk yang
sesuai sehingga menghasilkan model hubungan kinetika perubahan warna indikator
dengan perubahan mutu produk

DAFTAR PUSTAKA

Alsuhendra. 2004. Daya anti-Aterosklerosis Zn-turunan klorofil dari daun singkong


(Manihot esculenta Crantz) pada kelinci percobaan. [Disertasi]. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Amalia U. 2012. Pendugaan umur simpan produk nugget ikan dengan merk dagang
Fish nugget ‘’so lite’’. Jurnal saintek perikanan 8(1).
Anker M, Mats S, Anne MH. 2000. Relationship between the Microstructure and the
mechanical and barrier properties of whey protein films. Journal agritechnologi
food chemistry 48: 3806-3816.
Arfandi A, Ratnawulan, Darvina Y. 2013. Proses pembentukan feofitin daun suji
sebagai bahan aktif photosensitizer akibat pemberian variasi suhu. Journal
pillar of physics 1: 68-76.
37

Astawan M, Andreas L K. 2008. Khasiat warna-warni makanan. Jakarta. PT


Gramedia Pustaka Utama.
Beswick RH, Dunn DJ. 2002. Plastics in packaging. Shrophsire: Rapra Technology,
Ltd.
Bozdemir OA, Tutas M. 2003. Plasticizer effect on water vapour permeability
properties of locust bean gum based edible film. Turkey journal chemistry 2:
4-8.
Choi DY, Jung SW, Kim TJ, Lee SJ. 2014. A prototype of time temperature integrator
(TTI) with microbeads-entrapped microorganisms maintained at a constant
concentration. Journal of Food Engineering 120:118-123.
Clydesdale FM, Francis FJ. 1976. Pigment in: Fennema OR (ed). Principless Of Food
Science. New York. Di Dalam Pewarna alami untuk pangan. Bogor:
SEAFAST Center.
Day BPF. 2008. Active Packaging of Food. Di dalam: Smart packaging technologies
for fast moving consumer goods. Willey John (Eds). 75-96, England: John
Wiley & Sons Ltd.
Fennema OR. 1996. Food Chemistry. 3rd Ed. New York: Marcel Dekker.
Francis FJ. 1999. Colorants. Minnesota USA. Eagan Press.
Fortin C, Goodwin HL Jr. 2008. Valuation of temp-time’s fresh-check® Indicator on
perishable food products in belgium. The Southern Agricultural Economics
Association Annual Meeting Dallas. February 2-5. Texas.
Galietta G, Gioia L, Guilbert S, Cuq B. 1998. Mechanical and thermomechanical
properties of films based on whey Proteins as affected by plasticizer and
crosslinking agents. Journal Dairy Science 81: 3123-3130.
Goncalves E, Abreu M, Brando T, Silva C. 2011. Degradation kinetics of colour,
vitamin C and drip loss in frozen broccoli (Brassica oleracea L. Ssp. Italica)
during storage at isothermal and non isothermal conditions. International
Journal of refrigeration 34: 2136-2144.
Gontard N, Gilbert S. 1994. Biopackaging technology and properties of edible
biodegradable material of agricultural origin. Di dalam: Food packaging and
preservation. Wesport: The AVI Publ.
Groos J. 1991. Pigments in vegetable, chlorophylls and carotenoids. New York: Van
Nostrand Reinhold.
Hakiki R. 2010. Penentuan zat pereduksi pada gliserin dengan menggunakan
spektrofotometer uv-visible. [Tesis]. Medan. Universitas Sumatera Utara
Harper CA, Petrie EM. 2003. Plastics material and process. New Jersey: John Wiley
& Sons, Inc.
Hermansyah R. 2012. Karakteristik mutu ekstrak liquid klorofil daun cincau hijau
(Premna Oblongifolia Merr) serta aplikasi pada minuman the hijau.[Tesis].
Padang. Universitas Andalas.
Hutchings JB. 1994. Food color and appearance. London: Blackie Academic &
Profesional.
Hutchings JB. 1999. Food color and appereance. 2nd ed. Maryland: Aspen pub.
Hodgkinson N, Taylor M. 2000. Thermoplastic polyvinyl alcohol. Journal material
world 8: 24-25.
Kerry J. Butler P. 2008. Smart packaging technologies for fast moving consumer
goods. England: John wiley & sons, Ltd.
38

Kuswandi B, Wicaksono Y, Jayus, Abdullah A, Heng LY, Ahad M. 2011. Sensor for
monitoring of food quality and safety. Electron Journal sens & instrumen food
quality. 5: 137-146, doi 10.1007/s11694-011-9120-x.
Krajewska B. 2004. Membrane based processes performed with use of
chitin/chitosan materials. Journal Separation and purification technology 41:
305–312.
Kyzlink V. 1990. Principles of food preservation. Di Dalam Pewarna alami untuk
pangan. Bogor: SEAFAST Center.
Limantara L, Rahayu P. 2008. Sains dan teknologi pigmen. Di dalam Prosiding
seminar nasional pigmen. Salatiga. 5 September 2008.
MacDougall. 2002. Colour in food: Improving quality. Washington : CRC Press
Masithoh RE, Rahardjo B, Sutiarso L, Harjoko A. 2013. Model kinetika perubahan
kualitas tomat selama penyimpanan. Jurnal Teknologi Pertanian. 14(1): 21-28.
Muchtadi D. 1995. Teknologi dan mutu makanan kaleng. Jakarta. Pustaka Sinar
Harapan.
Musaddad D. 2002. Mempelajari efektifitas pelapis edible khitosan pada buah tomat
segar selama penyimpanan di suhu kamar dan suhu dingin. [Tesis]. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Nofrida R, Warsiki E, Yuliasih I. 2013. Film indikator warna daun erpa sebagai
kemasan cerdas untuk produk rentan suhu dan cahaya. [Tesis]. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Nurdin. 2009. Pembuatan bubuk ekstak cu-turunan klorofil daun cincau (Premna
Oblongfolia Merr) dan uji praklinis untuk pencegahan aterosklorosis.
[Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Ogur E. 2005. Polyvinyl alcohol: materials, processing and applications. United
Kingdom: Smithers Rapra Technology.
Pacquit A, Frisby J, Diamond D, Lau KT, Farrell A, Quilty B, Diamond D. 2007.
Development of a smart packaging for the monitoring of fish spoilage. Journal
Food Chemistry 102: 466-470.
Pangabean YW. 2010. Pengaruh edible film kitosan terhadap umur simpan mutu
buah nenas (Ananas Comosus L. Merr) segar terolah minimal selama
penyimpanan atmosfer termodifikasi. [Skripsi]. Bogor: Insitut Pertanian
Bogor.
Paul BK, Moulik SP. 2001. Uses and applications of microemulsions. Journal Current
science 80: 990-1001.
Prangdimurti E. 2007. Aktivitas antioksidan dan hiprokolesterolemik ekstrak daun
suji (Pleomele angustifolia N.E. Brown). [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Prashanth KVH, Tharanathan RN. 2007. Chitin/chitosan: modifications and their
unlimited application potential an overview. Journal Food Science and
Technologi 8:117-131.
Prasetyo S, Sunjaya H, Yanuar Y. 2012. Pengaruh rasio massa daun suji / pelarut,
temperatur dan jenis pelarut pada ekstraksi klorofil daun suji secara batch
dengan pengontakan dispersi. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat. Bandung: Universitas Katolik Prahayangan.
Priyanto G. 1997. Kinetika perubahan mutu sari buah nanas dalam proses aseptik.
[Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
39

Putri WDR, Zubaidah E, Sholahudin. 2012. Ekstraksi pewarna alami daun suji kajian
pengaruh blanching dan jenis bahan pengekstrak. Jurnal Tenologi Pertanian 4:
13-24.
Quintavalla S, Vicini L. 2002. Antimicrobial food packaging in meat industry.
Electron Journal Food science 62: 373-380, doi 10.1016/S0309-
1740(02)00121-3.
Rahardyani R. 2011. Efek daya hambat kitosan sebagai edible coating terhadap mutu
daging sapi selama penyimpanan suhu dingin. [Skripsi]. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Renate D, Pratama F, Yuliati K, Priyanto G. 2014. Model kinetika degradasi
capcaisin cabe merah giling pada berbagai kondisi suhu penyimpanan. Jurnal
Agriteknologi 34 (3).
Restuccia D, Spizzirri G, Parisi, Cirillo G, Curcio M, Lemma F,Puoci F, Vinci G,
Picci N. 2010. New EU regulation aspects and global market of active and
intelligent packaging for food industry applications. Journal Food Control 21:
1425-1435.
Riyanto B, Maddu A, Hasnedi YW. 2010. Kemasan cerdas pendeteksi kebusukan
filet ikan nila. Jurnal pengolahan Hasil Perikanan Indonesia 13(2).
Rinaudo M. 2006. Chitin and chitosan: properties and applications. Journal polymer
science 31: 603–632.
Rojas MA, Rosa M, Massilia R, Fortuni RCS, Bustillos RJA, Mchugh TH, Belloso
OM. 2007. Apple puree alginate edible coating as carrier of antimicrobial
agents to prolong shelf-life of fresh-cut apples. Electron Journal postharvbio
45: 254-264, doi 10.1016/j.postharvbio.2007.01017.
Santoso U. 2006. Pengaruh pemanasan terhadap aktivitas antioksidan ekstrak ubi
jalar. Journal Agritechnology 26 (4).
Sari KW. 2005. Studi kemampuan pengikatan kolesterol oleh ekstrak daun suji
(Pleomele Angustifolia N. E. Brown) dalam simulasi sistem pencernaan in
vitro.[Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor
Saxena A, Maity S, Raju, Bawa A. 2012. Degradation kinetics of colour and total
carotenoids in jackfruit (Artocarpus heterophyllus) bulb slice during hot air
drying. Electron Journal food Bioprocess Technologi. Doi:10.1007/s11747-
010-0409-2.
Sedjati S, Yudiati E, Suryono. 2012. Profil Pigmen Polar dan Non Polar Mikroalga
Laut Spirulina sp.dan Potensinya sebagai Pewarna Alami. Jurnal Ilmu
kelautan 17: 176-181.
Setiari N, Nurchayati Y. 2009. Eksplorasi kandungan klorofil pada beberapa sayuran
hijau sebagai alternatif bahan dasar food suplemen. BIOMA 11(1): 6-11
Setiautami A, Warsiki E. 2013. Pembuatan Kemasan Cerdas Indikator Warna
Dengan Pewarna Bit (B.Vulgaris L.Var Cicla L.). Jurnal teknologi industri
pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Sheftel VO. 2000. Indirect Food Additives and Polymer: Migration and Toxicology.
New york: CRC Press.
Smolander M. 2008. Freshness Indicators for Food Packaging. Di dalam Smart
Packaging Technologies for Fast Moving Consumer Goods. England: John
wiley & sons Ltd.
Park HJ, Chinnan MS. 1995. Gas and Water Vapor Properties of Edible Films from
Protein and Cellulosics Materials. Journal Food Engineering. 25:497-507.
40

Prangdimurti E. 2007. Kapasitas antioksidan dan daya hipokolesterolemik ekstrak


daun suji (Pleomele angustifolia N.E. Brown). [Disertasi]. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Putri WDR, Zubaidah E, Sholahudin. 2012. Ekstraksi Pewarna Alami Daun Suji,
Kajian Pengaruh Blanching dan Jenis Bahan Pengekstrak. Jurnal Teknologi
Pertanian 4(1): 13-24.
Toharisman A. 2007. Peluang pemanfaatan enzim kitinase di industri gula. P3GI
Violalita F. 2010. Ekstraksi pigmen antosianin buah senduduk (Melastoma
Malabathricum L.) dan aplikasinya pada pangan. [Tesis]. Padang: Universitas
Andalas.
Wanihsuksombat C, Hongtrakul V, Suppakul P. 2010. Development and
characterization of a prototype of a lactic acid based time temperature indicator
for monitoring food product quality. Journal Food Engineering 100: 427–434.
Warsiki E, Sunarti TC, Damanik R. 2010. Pengembangan kemasan antimikrobial
untuk memperpanjang umur simpan produk pangan. Di dalam Prosiding
seminar hasil-hasil penelitian IPB 2009. Bogor. Desember 2010.
Warsiki E, Sianturi J, Sunarti TC. 2011. Evaluasi sifat fisis-mekanis dan
permeabilitas film berbahan khitosan. Jurnal Teknologi Industri Pertanian
21(3): 139-145.
Warsiki E, Putri CDW. 2012. Pembuatan label/film indikator warna dengan pewarna
alami dan sintetis. Jurnal Agroindustri Indonesia. 1(2): 82 – 87
Warsiki E, Nofrida R,Yuliasih I. 2013. Pemanfaatan daun erpha (Aervha
sanguinolenta) untuk label cerdas indikator warna. Jurnal industri pertanian
Indonesia.18(1): 15-19.
Winarno. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Winarti S, Sarofa U, Angrahini D. 2008. Ekstraksi dan stabilitas warna ubi jalar ungu
(Ipomoea batatas L) sebagai pewarna alami. Jurnal Teknik Kimia 3(1).
41

Lampiran 1. Prosedur analisa ekstrak klorofil

1. Nilai pH
Lakukan kalibrasi alat pH meter dengan larutan buffer sesuai instruksi kerja alat
setiap kali akan melakukan pengukuran. Keringkan dengan kertas tisu selanjutnya bilas
elektroda dengan aquades. Celupkan elektroda ke dalam contoh uji sampai pH meter
menunjukkan pembacaan yang tetap. Catat hasil pembacaan skala atau angka tampilan
pada pH meter (SNI 06-6989.11-2004).

2. Kadar klorofil
Pengukuran kadar total klorofil dalam ekstrak dilakukan dengan mengadopsi
prosedur Gross (1991). Sejumlah ekstrak (1,5 ml) dicampur dengan 8,5 ml aseton
99.5%, kemudian dibiarkan selama 1 malam dalam refrigerator. Selanjutnya campuran
disentrifugasi pada 3000 rpm selama 10 menit. Untuk menganalisis kadar total klorofil,
dilakukan pengukuran langsung terhadap absorbansi pada panjang gelombang 645 dan
663 nm. Perhitungan kadar klorofil dilakukan dengan menggunakan rumus berikut :

Total klorofil (mg/L) = 20.2 A 645.0 nm + 8.02 A 663.0 nm , atau

Total klorofil (mg/L) = (1000/34.5) A 652 nm

3. Pengukuran Absorbansi
Pengukuran absorbansi dilakukan dengan mesin spektofotometer. Mulanya,
mesin dinyalakan dengan menekan tombol ‘power’ di bagian belakang mesin (tombol
di sebelah kiri bawah). Tunggu hingga 30 menit untuk memanaskan mesin sebelum
dilakukan pengukuran sampel. Tekan tombol A/T/C, pilih absorbance (A). Bersihkan
cuvet dengan aquades, bersihkan dengan tisu hingga bagian dalam cuvet tidak
mengandung aquades lagi. Ukur absorbansi blanko dengan memasukkan larutan blanko
ke dalam cuvet (volume minimal hingga ¾ dari tinggi cuvet). Bersihkan bagian luar
cuvet yang transparan dari debu dan bekas jari tangan. Masukkan cuvet ke dalam cell
holder pada sample chamber. Cuvet harus diletakkan hingga sampai dasar cell. Tutup
sample chamber. Kemudian, Tekan tombol untuk mengatur blanko pada konsentrasi 0
Pilih panjang gelombang (645 dan 663 nm) yang akan digunakan untuk mengukur
sampel dengan menekan tombol. Bersikan cuvet lagi dengan tisu. Siapkan sampel
(ekstrak klorofil) yang akan diukur, pastikan sampel homogen sebelum memasukkan ke
dalam cuvet. Masukkan sampel ke dalam cuvet hingga volume minimal ¾ dari tinggi
cuvet. Pastikan bagian luar cuvet bersih dari debu dan bekas jari tangan. Masukkan
cuvet ke dalam cell holder, tutup sample chamber dan membaca absorbansinya. Ambil
sampel dari cuvet, bersihkan dan ganti dengan sampel baru. Jika pengukuran semua
sampel sudah selesai, matikan mesin, bersihkan cuvet dan keringkan.
42

4. Analisis warna
Pengukuran dilakukan dengan menggunakan kromameter Minolta CR 200.
Alat dikalibrasi dengan obyek standar putih dari CR 200. Pengukuran warna
dilakukan dengan cara meletakkan sampel label film pada lubang yang terdapat
di tengah plat hitam, kemudian ditutup dengan kaca. Pemotretan
dengan kromameter dilakukan sebanyak tiga kali pada masing-masing sampel.
Sistem warna yang digunakan adalah 42tirre warna Hunter. Menurut Soekarto
(1985), 42tirre warna Hunter Lab memiliki tiga atribut yaitu nilai L, a, dan b.
Nilai L menunjukkan kecerahan sampel (warna kromatis, 0: hitam sampai 100:
putih). Warna kromatik merah sampai hijau ditunjukkan oleh nilai a (a: 0 sampai
100 untuk warna merah, a: 0 sampai -80 untuk warna hijau). Warna kromatik
biru sampai kuning ditunjukkan oleh nilai b (b: 0 sampai 70 untuk warna kuning,
b: 0 sampai -70 untuk warna biru). Pengukuran juga dilakukan terhadap nilai ohue
dan ΔE. Nilai ohue dihitung dengan persamaan 1 dan 2 (Pada sub bab 2.4).

5. Uji ketebalan

Mulanya buka pengunci micrometer sekrup sehingga selubung dapat


bergerak, kemudian letakkan film yang akan diukur di antara rahang. Titik uji
ketebalan dapat dilihat pada gambar dibawah. Kemudian putar gigi geset pada
selubung pemutar sampai terdengan suara “klik”. Hentikan pemutaran, lalu kunci
kembali micrometer sekrup agar skala tidak berubah. Baca skala utama apakah
menunjukkan satuan atau tengahan satuan. Baca skala nonius yang tepat segaris
dengan skala utama. Hitung hasil pengukuran dengan cara menjumlahkan skala
utama dengan skala nonius, kemudian jumlahkan atau kurangi dengan ketelitian
mikrometer sekrup. Setelah menguji 5 titik yang berbeda, hasil tersebut di rata-
ratakan.
43

Lampiran 2. Proses pembuatan larutan khitosan 3% dan larutan PVA 3%


(Nofrida 2013)

1. Proses pembuatan larutan khitosan 3%


Larutan khitosan 3% dibuat sebanyak 500 mL. Khitosan dalam bentuk serbuh
sebanyak 15g ditambahkan asan asetat 1% hingga volume 250 mL, kemudian
ditambahkan aquades hingga mencapai 500 mL. Larutan khitosan 3% kemudian
dihomogenkan selama 10 menit dengan magnetig 43tirrer.

2. Proses pembuatan larutan PVA 3%


Larutan PVA 3% dibuat sebanyak 500 ml. PVA serbuk sebanyak 15 g
ditambahkan aquades bersuhu 80 oC hingga mencapai volume 500 mL. Selanjutnya
larutan PVA diaduk hingga merata selama 20 menit secara manual dengan suhu stabil.
Larutan PVA diambil dalam jumlah tertentu sesuai dengan komposisi yang dibutuhkan
dalam pembuatan kemasan cerdas.
44

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bukittinggi, Sumatera Barat pada tanggal 7 Mei


1989 sebagai anak ke-2 dari Papa Drs. H Darul Chutni dan mama Hj
Erfina Razali S.Sos. Jenjang pendidikan penulis dimulai dari SD
Kartika I-12 Padang Tahun 1995-2001, SMP Negeri 4 Padang tahun
2001-2004, SMA Negeri 6 Padang tahun 2004-2007. Pendidikan
Sarjana ditempuh di Program Studi Teknologi Hasil Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas sejak 2007 dan
lulus pada tahun 2011. Pada tahun 2012 penulis diterima di Program Studi Teknologi
Industri Pertanian pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Penulis memiliki minat keilmuan di bidang Teknik pengemasan cerdas atau smart
packaging. Di masa perkuliahan, penulis aktif di lembaga Forum Wacana Pascasarjana
IPB tahun 2013. Salah satu jurnal penelitian ini sedang dalam tahap review di JTIP IPB
dengan Judul Model Kinetika Perubahan Warna Label Indikator dari Klorofil Daun
Singkong (Manihot Esculenta Crantz).

Anda mungkin juga menyukai