Anda di halaman 1dari 3

contoh, pada tahun 1990 Pusat Studi masing.

Studi etnografi (FANTA, 2004) tentang


Ketahanan Pangan dan Gizi (PSKPG), Lem- kerawanan pangan di enam negara yang ber-
baga Penelitian IPB bekerjasama dengan De- beda termasuk USA menggunakan indikator:
partemen Kesehatan melakukan penelitian 1) ketidakcukupan asupan makanan secara
analisis data ketahanan pangan secara intensif individu, 2) efek fisik akibat kelaparan, 3)
di Provinsi Jatim, NTB, dan NTT dengan unit rendahnya ketersediaan pangan rumah tangga,
analisis rumah tangga. Kriteria ketahanan 4) rendahnya tingkat kecukupan zat gizi, 5)
pangan adalah tingkat kecukupan energi rata- ketidakpastian tambahan pangan mendatang,
rata per hari per unit konsumen selama satu 6) menurunnya pilihan dan kontrol terhadap
tahun. Selanjutnya definisi rumah tangga pangan, dan 7) menurunnya kesepakatan/
rawan pangan adalah rumah tangga yang penerimaan sosial.
konsumsi energi selama setahun ≤ 70 persen Di mata dunia internasional, Indonesia
dan tidak terdapat bulan-bulan yang konsumsi dinilai berhasil menurunkan tingkat kemiskinan
energinya ≥ 70 persen (kerawanan pangan dan kelaparan, walaupun belum sepenuhnya
kronis) atau rumah tangga yang konsumsi memenuhi capaian yang ditargetkan dalam
energinya ≤ 70 persen dan terdapat bulan- MDGs, yakni penurunan tingkat kemiskinan
bulan yang konsumsi energinya ≥ 70 persen dan kelaparan 50 persen selama tahun 1990-
(rawan pangan transien). BKP juga melakukan 2015. Capain MDGs menurut indikator propor-
analisis kerawanan pangan dengan menggu- si penduduk yang menderita kelaparan di
nakan indikator tersebut (BKP, 2013). Indonesia dalam kurun waktu 1990-2015 di-
Hasil kajian Baldi et al. (2013) di sajikan pada Tabel 5 (Bappenas, 2012).
empat kabupaten/kota (Timor Tengah Selatan, Untuk indikator kekurangan gizi (berat
Sam-pang, Surabaya dan Brebes) dengan badan rendah), data tahun 2010 mencapai
menggunakan metode Cost of Diet (CoD), 17,9 persen, sedangkan kondisi tahun 2013
yakni suatu alat analisis untuk menilai ketahan-
justru makin buruk (19,6%), sehingga untuk
an pangan dan gizi di suatu wilayah, antara
mencapai 15,5 persen harus menurunkan 4,1
lain dapat mengkombinasikan indikator penge-
persen. Berdasarkan data tahun 2010 kondisi
luaran dengan informasi tentang apa yang
ini diprediksi akan tercapai (Bappenas, 2012),
dikonsumsi dan berapa banyak pengeluaran
namun bila mengacu dari data 2013 maka
yang dihabiskan untuk belanja makanan, serta
akan lebih berat untuk mencapai penurunan
status gizi balita. Analisis CoD merupakan
tersebut. Oleh karena itu, kesehatan anak
entry point yang berguna untuk melihat
harus mulai diperhatikan sejak 1.000 hari
kendala dan permasalahan dalam pencapaian
pertama sehingga percepatan perbaikan gizi
ketahanan gizi yang berbeda antar daerah
pada periode 1000 hari pertama kehidupan
serta solusinya. Sebagai contoh, Timor Tengah
perlu menjadi prioritas pembangunan kesehat-
Selatan, dengan hanya 20 persen rumah
an (Kemenkes, 2012). Kondisi gizi kurang dan
tangga mampu LACON (Locally Adapted Cost
gizi buruk bervariasi antarwilayah di Indonesia.
Optimized Nutritious Diet) dan prevalensi
Di antara 33 provinsi, terdapat 3 provinsi ter-
stunting sangat tinggi, akan membutuhkan
masuk kategori prevalensi sangat tinggi, yaitu
tidak hanya intervensi perubahan perilaku
Sulawesi Barat, Papua Barat, dan Nusa
komunikasi, tetapi juga beberapa jenis transfer
Tenggara Timur.
makanan khusus, terutama ditargetkan pada
kelompok rentan (misalnya, 1.000 hari per- Indikator proporsi penduduk dengan
tama, ibu hamil dan menyusui, dan anak-anak asupan kalori di bawah tingkat gizi minimum
usia di bawah 2 tahun). Dengan demikian, masih jauh dari target yang ingin dicapai. Ber-
menggabungkan intervensi tersebut dengan dasarkan analisis data Susenas Bappenas
uang tunai atau voucher transfer ke rumah (2012) menunjukkan bahwa pada tahun 2011
tangga juga dapat menjadi solusi. Sebaliknya jumlah penduduk yang mengkonsumsi energi
di daerah dengan tingkat keterjangkauan lebih kurang dari 1.400 kkal (sangat rawan pangan)
baik, seperti perkotaan Surabaya (80% rumah mencapai 14,65 persen, sangat berat untuk
tangga mampu LACON), penekanan intervensi dapat menurunkan 6,15 persen. Hal yang
sesuai target untuk 20 persen termiskin dari sama untuk penduduk yang mengkonsumsi
rumah tangga di wilayah tersebut, akan <2.000 kkal. Untuk itu, diperlukan perhatian
menjadi solusi yang lebih cocok. Analisis ini khusus dalam meningkatkan ketahanan
menyimpulkan bahwa solusi penanganan pangan rumah tangga. Sementara itu, Tanziha
masalah gizi akan berbeda antarwilayah et al. (2010) menganalisis faktor determinan
sesuai dengan kondisi di wilayah masing- kerawanan pangan dan hubungannya dengan

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Volume 32 No. 1, Juli 2014: 1 – 17

10
Tabel 5. Capaian MDGs Berdasarkan Indikator Proporsi Penduduk yang Menderita Kelaparan, 1990-
2015

Indikator Acuan dasar Saat ini Target MDGs Status


Prevalensi balita dengan berat 31,00% (1989)* 17,90% (2010)** 15,5% Akan tercapai
badan rendah/kekurangan gizi 19,6% (2013)**
Prevalensi balita gizi buruk 7,20% (1989)* 4,90% (2010)** 3,6% Akan tercapai
5,7% (2013)**
Prevalensi balita gizi kurang 23,80% (1989)* 13,0% (2010)** 11,9% Akan tercapai
13,9% (2013)**
Proporsi penduduk dengan asupan Perlu perhatian
kalori di bawah tingkat gizi minimum khusus
- 1.400 kkal/kapita/hari 17,00% (1990) * 14,65% (2011) * 8,50%
- 2.000 kkal/kapita/hari 64,21% (1990) * 60,03% (2011) * 35,32%
*
Keterangan : BPS, Susenas
**
Kemenkes, Riskesdas
Sumber : Bappenas (2012), diolah

tingkat kecukupan energi. Hasil analisis me- diktif, bila kemiskinan semakin menurun mesti-
nunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh nya kejadian rawan pangan juga menurun.
nyata terhadap tingkat konsumsi energi (TKE) Dari sisi indikator kemiskinan BPS
rumah tangga adalah pengeluaran per kapita, (BPS, 2013) mendefinisikan garis kemiskinan
intensitas kerawanan pangan, dan jumlah ang- sebagai nilai rupiah yang harus dikeluarkan
gota rumah tangga (JART). Tingkat intensitas
seseorang dalam sebulan agar dapat meme-
kerawanan pangan merupakan tingkat ke-
nuhi kebutuhan dasar asupan kalori sebesar
seringan rumah tangga mengalami kerawanan
2.100 kkal/hari per kapita (garis kemiskinan
pangan. Dengan demikian, semakin sering
makanan) ditambah kebutuhan minimum non-
mengalami rawan pangan maka TKE semakin
makanan yang merupakan kebutuhan dasar
rendah. Demikian halnya dengan faktor JART,
seseorang, yaitu papan, sandang, sekolah,
semakin banyak JART maka TKE cenderung
semakin rendah. Oleh karena itu, program transportasi, serta kebutuhan individu dan
keluarga berencana (KB) masih sangat relevan rumah tangga dasar lainnya (garis kemiskinan
dalam mengantisipasi masalah tersebut. non makanan). Sementara itu, rawan pangan
seperti telah dijelaskan di muka bahwa kerawan-
an pangan adalah suatu kondisi ketidakcukup-
KARAKTERISTIK WILAYAH/RUMAH an pangan yang dialami daerah, masyarakat
TANGGA RAWAN PANGAN atau rumah tangga pada waktu tertentu untuk
DAN RAWAN GIZI KRONIS memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi
pertumbuhan dan kesehatan masyarakat. Dari
Kemiskinan berhubungan sangat erat dengan kedua indikator tersebut dapat disimpulkan
kerawanan pangan dalam dua dimensi (BKP, bahwa walaupun nilai rupiah yang dikeluarkan
2010) yaitu dari (1) kedalamannya, dibedakan sudah setara kebutuhan minimal (2100 kkal)
dengan kategori ringan, sedang, dan berat; rupanya tidak selalu menjamin ketahanan
serta (2) jangka waktu/periode kejadian, pangan rumah tangga yang bersangkutan. Hal
dengan katagori kronis untuk jangka panjang ini bisa dimungkinkan bila nilai rupiah tersebut
dan transien untuk jangka pendek/fluktuasi. tidak dibelanjakan pangan yang berkualitas,
Data empiris menunjukkan bahwa menurunnya sehingga secara riil asupan energi (kkal) yang
jumlah penduduk miskin di Indonesia (periode dikonsumsi rumah tangga belum memenuhi
2005-2010) memberikan indikasi menurunnya kebutuhan minimum asupan energi. Kajian
jumlah penduduk yang rentan terhadap rawan Saliem et al. (2001) menunjukkan bahwa kon-
pangan. Namun demikian, data periode 2008- disi tersebut bisa terjadi, di mana pengeluaran
2011 menunjukkan hal yang berbeda bahwa pangan rumah tangga <60 persen (tergolong
penduduk rawan pangan semakin banyak. Fe- tidak miskin) tetapi konsumsi energinya kurang
nomena ini menunjukkan kondisi yang kontra- 80 persen dari kecukupan (dari sisi asupan

PENDEKATAN RAWAN PANGAN DAN GIZI: BESARAN, KARAKTERISTIK, DAN PENYEBABNYA Tri Bastuti Purwantini

11
konsumsi energi termasuk rawan pangan). an) masih rendah; c) proporsi penduduk mis-
Lebih lanjut dijelaskan bahwa rumah tangga kin masih tinggi; d) sebagian besar penduduk
tersebut dikategorikan kurang pangan. Kondisi bergantung pada sektor pertanian; e) sarana
ini mengindikasikan ketidakpahaman rumah dan prasarana pendidikan, kesehatan, trans-
tangga tentang pola pengeluaran pangan dan portasi dan akses terhadap permodalan ter-
pengetahuan gizi, sehingga perlu sosialisasi batas. Karakteristik seperti di atas juga menjadi
dan penyuluhan tentang pentingnya asupan akar penyebab utama terjadinya rawan pa-
pangan seimbang. ngan dan gizi kronis di Kabupaten Jayawijaya
(Papua).
Tampak bahwa karakteristik wilayah
Karakteristik Wilayah Rawan Pangan dan
rawan pangan bervariasi antarwilayah, kondisi
Rawan Gizi Kronis
ini juga sangat dipengaruhi dengan kondisi
Badan Penelitian dan Pengembangan Per- wilayah, kebiasaan, dan budaya adat setem-
tanian telah melakukan identifikasi wilayah pat, sehingga bagaimana masyarakat dapat
miskin di 27 provinsi di Indonesia pada tahun mengelola sumber daya alam dan lingkungan
1991-1993 dengan menelaah secara kompre- dengan kapasitas sumber daya manusia yang
hensif berbagai karakteristik wilayah yang di- tinggal di wilayah tersebut agar bisa hidup
duga sebagai penyebab terjadinya wilayah layak. Kondisi tersebut dapat dikatakan bahwa
miskin (P/SE, 1991/1992; P/SE, 1992/1993). secara kultural masyarakat terbelenggu de-
Hasil temuan tersebut menunjukkan bahwa ka- ngan keadaan, sehingga sulit keluar dari ke-
rakteristik wilayah miskin yang identik dengan miskinan atau rawan pangan. Namun demikian,
wilayah rawan pangan adalah: a) sumber daya kondisi ini bisa dihilangkan atau dikurangi
alam: lahan kurang subur, dominan lahan ke- dengan mengabaikan faktor-faktor yang meng-
ring, pendayagunaan lahan tidak optimal dan halanginya untuk melakukan perubahan ke
adanya degradasi lahan, sumber daya air arah tingkat kehidupan yang lebih baik.
untuk kebutuhan pertanian relatif terbatas, b)
teknologi: adopsi teknologi rendah, ketesedia-
an sarana produksi terbatas, adanya serangan Karakteristik Rumah Tangga Rawan
hama/penyakit, c) sumber daya manusia: Pangan dan Rawan Gizi Kronis
tingkat pendidikan rendah, produktivitas tenaga Menurut WHO (2010), masalah kesehatan
kerja rendah, tingkat kesehatan masyarakat masyarakat dianggap serius bila prevalensi
rendah, lapangan pekerjaan terbatas, adanya gizi buruk-kurang antara 20,0-29,0 persen, dan
tradisi atau adat istiadat yang menghambat, prevalensi sangat tinggi bila ≥30 persen. Data
dan d) sarana/prasarana dan kelembagaan: empiris (Badan Litbangkes, 2013) menunjuk-
daerah terisolir, modal terbatas, kelembagaan kan bahwa di Indonesia terdapat 18 provinsi
sarana produksi pertanian tidak berfungsi dalam kondisi gizi buruk-kurang 20,0-29,0
maksimal, pemilikan/penguasaan lahan sem- persen, sementara masih terdapat 3 provinsi
pit, sistem bagi hasil tidak adil dan tingkat upah dengan prevalensi sangat tinggi (>30%),
yang rendah; terbatasnya sarana jalan, trans- sehingga secara agregat prevalensi gizi buruk-
portasi, pendidikan, kesehatan dan sarana un- kurang di Indonesia tergolong tinggi.
tuk pemasaran hasil produksi pertanian. De-
Karakteristik kelompok masyarakat
ngan memahami karakteristik tersebut yang di-
rawan pangan adalah sebagian besar petani/
tandai dengan berbagai keterbatasan dari ber-
buruh tani, bertempat tinggal di perdesaan
bagai sisi, ini menunjukkan bahwa lingkungan
yang menggantungkan hidupnya dari sektor
yang kurang mendukung merupakan akar pe-
pertanian dan ekonomi perdesaan serta belum
nyebab kerawanan pangan atau kemiskinan.
memiliki posisi tawar yang menguntungkan
Hasil penelitian Ariani et al. (2008), di (Sekretariat DKP, 2002). Sementara itu, menu-
Jawa Timur, Kalimantan Barat, dan Papua rut Rimbawan dan Baliwati (2002), kelompok
menunjukkan hal yang searah, di mana karak- masyarakat rawan terhadap pangan dan gizi
teristik wilayah rawan pangan dan gizi kronis dapat dibedakan seperti berikut: 1) lokasi/
antara lain dicirikan dengan: a) topografi beru- tempat tinggalnya di masyarakat disebut rawan
pa perbukitan/gunung-gunung, dengan iklim ekologis, misalnya daerah terpencil, 2) kedu-
yang tidak menentu (kasus di Papua) dan dukan/posisinya di masyarakat disebut rawan
dataran rendah dengan curah hujan yang sosio-ekonomis, misalnya kelompok miskin,
sedikit (kasus di Jatim dan Kalbar); b) kualitas dan 3) umur dan jenis kelamin disebut rawan
sumber daya manusia (pendidikan, keterampil- biologis, misalnya bayi dan anak sekolah,

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Volume 32 No. 1, Juli 2014: 1 – 17

12

Anda mungkin juga menyukai