Anda di halaman 1dari 6

Refleksi Diri: Rumah HOS Tjokroaminoto

Pada tanggal 12 Juli 2019, kelompok kami melakukan PKL di tiga tempat. Tempat
pertama kami lakukan di Museum HOS Tjokroaminoto. Kami bertiga berangkat pukul 08.00
dengan menggunakan sepeda motor dan tiba disana pukul 08.30. Museum ini bertempat di Jl.
Peneleh gang VII no. 29. Saat kami datang museum belum dibuka karena jam bukanya
adalah pukul 09.00. Mendekati jam buka, seorang petugas yang menjaga dan membersihkan
museum datang. Setelah museum dibuka, salah satu dari kami mengisi buku tamu yang ada di
dekat pintu masuk untuk perwakilan. Kedatangan kami disambut dengan ramah dan terbuka.
Saat masuk ke dalam, kondisi museum itu rapi dan tertata. Di lantai 1 ada ruang tamu, buku-
buku bersejarah, kamar Alm. Tjokroaminoto, foto anak-anak yang pernah kos bersama
beliau, baju, dan beberapa perabotan yang beliau gunakan. Sambil menunggu pemandu
museum datang, kami berkeliling, foto-foto dan juga membaca tulisan tentang beliau dan isi
museum tersebut. Alm. Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto lahir di Ponorogo, Jawa
Timur, 16 Agustus 1883 dan meninggal di Yogyakarta, Indonesia, 17 Desember 1934 . Alm.
Tjokroaminoto juga merupakan salah satu pemimpin organisasi pertama di Indonesia, yaitu
Sarekat Islam (SI). Setelah berkeliling, kami menemukan sebuah tangga dan bertanya kepada
bapak yang berjaga. Dia menjelaskan bahwa di lantai atas dulunya digunakan untuk kamar
kos yang berisi 6 orang, yaitu Munawar Musso, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, Raden
Darsono Notosudirdjo, Semaun, Alimin dan juga Presiden pertama Republik Indonesia,
Soekarno. Karena penasaran, saya memutuskan untuk naik terlebih dahulu dan melihat
isinya. Ternyata terdapat 3 tikar, 3 meja kecil, dan 1 cermin. Setelah memfoto, saya
memutuskan untuk segera turun karena tangga tersebut cukup curam.
Tak lama setelah berkeliling, pak Yanuar selaku pemandu museum datang dan kami
pun segera melakukan wawancara di ruang tamu. Banyak informasi yang kami dapat dari pak
Yanuar ini. Museum ini dikelola oleh Pemkot (Pemerintah Kota) kemudian diresmikan oleh
Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini pada 27 November 2017. Pak Yanuar berada disini
sejak 2017 sebelum museum diresmikan. Museum ini dibuka pukul 09.00-17.00 pada hari
Selasa-Minggu dengan 1 pemandu dan 1 bagian kebersihan. Jumlah pengunjung yang datang
kadang ramai kadang sepi. Jika mendekati hari besar (Pahlawan, Proklamasi), rata-rata
jumlah pengunjung yang datang dapat mencapai 400 orang. Namun pada hari biasa,
pengunjung yang datang tidak terlalu banyak dikarenakan museum ini berdampingan dengan
rumah penduduk dan tempatnya agak tersembunyi. Mayoritas pengunjung yang datang
adalah pelajar karena mendapat tugas dari sekolah untuk berkunjung ditempat bersejarah.
Museum ini juga pernah dilakukan renovasi besar-besaran pada tahun 2011. Untuk benda dan
barang-barang yang terdapat di dalam museum dibuat semirip mungkin dengan keadaan yang
sebelumnya. Beliau menjelaskan bahwa barang peninggalan yang asli hanya buku saja dan
itu pun milik anak Alm. Kami sempat bertanya mengenai perbedaan orang zaman dulu
dengan sekarang tentang sejarah. Beliau menjawab orang zaman dulu ikut terjun langsung ke
lapangan dan benar-benar merasakan tidak enaknya suasana di saat itu. Maka dari itu mereka
berjuang demi kemenangan dan kemerdekaan untuk kesejahteraan masyarakatnya.
Sedangkan saat ini orang tidak terlibat langsung dan lebih mengganggap remeh sejarah.
Beliau ingin mengupayakan agar masyakarat di era sekarang mampu untuk menghargai dan
bisa belajar dari sejarah. Upaya ini beliau lakukan dengan memposting foto-foto di media
sosial untuk memikat pengunjung datang ke museum. Kami juga bertanya terkait pendapat
pak Yanuar tentang pentingnya Pancasila dan penerapannya. Beliau menjawab bahwa
Pancasila dan penerapannya sangat penting. Karena Pancasila telah ada sejak dulu dan
melalui Pancasila kita memiliki arah dan tujuan yang jelas untuk kemerdekaan Indonesia.
Beliau berkata bahwa sila Pancasila yang berpengaruh adalah sila ke-3, yaitu Persatuan
Indonesia. Menurutnya, sila ini yang mempersatukan bangsa Indonesia. Orang zaman dulu
memiliki solidaritas yang tinggi dan tidak mementingkan kepentingannya sendiri sehingga
mereka dapat menyatukan pendapat untuk membangun bangsa yang merdeka. Berbeda
dengan sekarang dimana banyak orang mementingkan ego dan membuat kelompok-
kelompok kecil yang mengkotak-kotakkan mereka.
Waktu telah menunjukkan pukul 10.30, setelah selesai wawancara kami juga berfoto
dengan pak Yanuar untuk dokumentasi laporan PKL. Sungguh pengalaman PKL yang
menyenangkan. Saya pribadi menjadi lebih mengerti tentang sejarah di tempat ini. Tentang
perjuangan para tokoh yang benar-benar mengupayakan kesejarteraan rakyatnya. Saya juga
belajar untuk menghargai dan meneladani hal-hal baik dari para tokoh dan mampu
menerapkannya pada masa sekarang. Selain pengetahuan yang saya dapat, saya juga belajar
cara berkomunikasi yang baik saat wawancara.
Refleksi Diri: Museum Dr. Soetomo
Di tanggal yang sama 12 Juli 2019, setelah menuju tempat PKL pertama kami
lanjutkan ke tempat selanjutnya, yaitu Museum Dr. Soetomo. Jarak 2 lokasi ini kurang lebih
15 menit. Pukul 11.00 kami sampai di Museum Dr. Soetomo yang terletak di Jl. Bubutan
No.85-87. Museum ini dibuka pukul 08.00-16.00 setiap harinya. Saat kami sampai di sana,
kondisi lingkungannya bersih dan rapi yang menandakan museum ini terawat dengan baik. Di
dalam museum, kami bertemu dengan 2 orang pemandu, yaitu pak Agata dan mbak Kiki.
Mereka menyambut kami dengan ramah dan sopan. Mereka juga menjelaskan bahwa di
Museum Dr. Soetomo ini dibagi menjadi 3 area, yaitu museum itu sendiri, pendopo, dan
makan Dr. Soetomo. Museumnya terdiri dari 2 lantai. Lantai 1 berisi tentang riwayat hidup,
biografi Dr. Soetomo dan peta pulau Jawa. Di lantai 2 berisi alat-alat kerja Dr. Soetomo, meja
dan kursi untuk diruang tamu, foto beliau saat praktek kerja, dan beberapa berkas lainnya
milik Dr. Soetomo. Sembari melihat-lihat, kami juga mengambil foto untuk dokumentasi
laporan. Kami juga menanyakan apakah barang disini asli peninggalan Dr. Soetomo, pak
Agata selaku pemandu menjawab iya kecuali lemari kayu di lantai 2. Setelah berkeliling di
museum, pak Agata mengarahkan kami ke pendopo. Di pendopo ini terdapat pengalaman Dr.
Soetomo dalam mendirikan organisasinya saat berada di Belanda. Organisasi ini salah
satunya adalah GNI. Saat beliau kembali ke Indonesia tepatnya di Surabaya, beliau juga
tahun 1924 mendirikan Indonesian Study Club, tahun 1930 mendirikan Partai Bangsa
Indonesia, dan pada tahun 1935 mendirikan Parindra (Partai Indonesia Raya). Selain itu, di
pendopo juga terdapat satu set gamelan. Gamelan ini digunakan untuk latihan tari remong
pada hari Sabtu sore menjelang malam. Selain itu ada mesin stensil pencetak majalah
Penjebar Semangat yang beliau gunakan dulu untuk dan juga ada mata uang yang
memaparkan wajah Dr. Soetomo sebagai penghargaan. Sampai sekarang, majalah tersebut
masih dicetak setiap Kamis dan bahasa yang digunakan adalah bahasa jawa. Lokasi
pencetakan ini masih satu tempat dengan museum Dr. Soetomo. Alasan penggunaan bahasa
jawa ini karena orang dulu tidak terlalu mengenal bahasa Indonesia dan lebih memahami
bahasa jawa, sekaligus untuk melestarikan budaya berbahasa jawa. Setelah dari pendopo,
kami diarahkan menuju makan Dr. Soetomo. Di makam ini terdapat biografi lahir dan
meninggalnya beliau. Kami menyempatkan waktu beberapa menit untuk berdoa di depan
makam beliau.
Setelah selesai, kami kembali ke dalam museum dan melakukan wawancara kepada
pak Agata dan mbak Kiki. Kami bertanya apakah tempat ini dulunya adalah museum ternyata
bukan. Tempat ini dulunya bekas Bank Indonesia yang pertama. Kami juga menanyakan hal
lain seperti seberapa pentingnya sejarah menurut mereka. Mereka pun sepakat berkata bahwa
sejarah itu penting, karena dari sejarah kita dapat mengetahui dan belajar banyak hal tentang
mereka. Salah satunya perjuangan Dr. Soetomo yang menjadi dokter demi kesejahteraan
masyarakatnya. Dari sejarah kita juga dapat meneladani tokoh-tokoh yang lain. Mereka juga
berpendapat untuk mau mempelajari sejarah harus ada kesadaran dan timbul dari dalam diri
mereka. Karena jika dengan paksaan tidak akan berpengaruh banyak bagi mereka. Kami juga
bertanya mengenai pengunjung yang datang. Ternyata pengunjung yang datang cukup
banyak terutama pada hari besar (Proklamasi, Pahlawan). Jika hari biasa kurang lebih sama
tempat PKL sebelumnya, yaitu tidak terlalu ramai. Mereka berkata salah satu cara untuk
menarik pengunjung agar datang dengan mempromosikan atau memposting foto melalui
media sosial. Selain itu mereka juga memperkenalkan majalah Penjebar Semangat kepada
para wisatawan yang berkunjung. Kami juga sempat bertanya mengenai tanggapan mereka
bila museum ini dikaitkan dengan Pancasila. Mereka menjawab bila dikaitkan dengan
Pancasila, sila yang masuk adalah sila ke-3 dan ke-4. Alasan mereka memilih sila ini kurang
lebih sama dengan pendapat pak Yanuar saat kita PKL di tempat pertama. Untuk sila ke-4
karena Dr. Soetomo menerapkan prinsip gotong royong dimana rasa kekeluargaan dan
kemasyarakatan beliau sangat dikenal. Beliau mengupayakan apapun agar masyarakatnya
memiliki hidup yang layak dan sejahtera. Prinsip gotong royong ini juga dapat kita terapkan
dalam kehidupan sehari-hari kita yang menandakan bahwa kita membutuhkan orang lain
dalam hidup. Setelah selesai melakukan wawancara tak lupa kami juga meminta foto bersama
dengan pak Agata dan mbak Kiki. Kemudian kami beristirahat sebentar dan melanjutkan
pergi ke tempat PKL selanjutnya pada pukul 12.30. Banyak hal yang saya dapatkan saat
berkunjung di Museum Dr. Soetomo ini. Saya dapat mengerti bagaimana perjuangan dan
peran beliau dulunya yang hingga sekarang membawa dampak yang luar biasa. Saya juga
menjadi mengerti biografi beliau dari lahir sampai dia mendapat gelar doktor. Tak hanya itu,
saya juga tau tempat pencetakan majalah Penjebar Semangat yang dari dulu membuat saya
penasaran. Saya semakin berpendapat bahwa mempelajari sejarah tak sepenuhnya
membosankan, asalkan kita mengerti tujuan pembelajaran tersebut dan dapat menerapkannya
dengan metode yang menyenangkan.
Refleksi Diri: Museum 10 November
Masih ditanggal yang sama 12 Juli 2019, kelompok kami melakukan observasi di
tempat PKL ketiga, yaitu Museum 10 November. Observasi ini kami lakukan di siang hari
pukul 12.45 tepatnya selesai mengunjungi Museum Dr. Soetomo. Sesampainya di tempat,
kondisi pengunjung saat itu sedikit. Lingkungan disekitar lokasi bersih dan rapi menyatakan
bahwa pengurus museum menjaganya dengan baik. Untuk memasuki area museum
dikenakan biaya 5000 rupiah, namun jika membawa kartu pelajar dapat masuk secara gratis.
Di dalam museum terdapat berbagai macam benda bersejarah, termasuk rekaman
kemerdekaan ataupun rekaman edukasi yang menjelaskan cerita di masa lampau. Museum ini
dibagi menjadi 2 lantai. Lantai pertama berisi rekaman proklamasi Bung Tomo, seragam dan
alat perang zaman dulu, ada juga ruang teater untuk pemutaran video singkat kurang lebih 10
menit mengenai perjuang Arek-Arek Suroboyo dalam meraih dan memperjuangkan
kesejahteraan, dan patung perjuangan ditengah-tengah museum. Di lantai dua kurang lebih
sama, yaitu seragam dan alat perang zaman dulu, diorama statis yang memutarkan video
edukasi tentang peperangan maupun diskusi orang zaman dulu, teks-teks atau naskah pidato,
dan juga piramida terbaik yang berisi tokoh-tokoh yang berperan pada waktu itu. Kami
memutuskan untuk mengelilingi lantai 1 sekaligus belajar dan sempat mendengarkan
rekaman pidato Bung Tomo. Kami juga menyepatkan berfoto dengan koleksi yang ada di
museum tersebut dan menonton teater film singkat perjuangan Arek-Arek Suroboyo.
Kemudian barulah kamu naik ke lantai 2 menggunakan tangga. Saat di lantai 2 kami juga
melakukan hal yang sama, yaitu foto dan melihat sekeliling. Kami juga memasuki ruang
diorama statis dan melihat salah satu film edukasi yang ada di sana. Sungguh teknologi yang
sangat unik dan membuat kita dapat belajar sejarah dengan lebih menarik dan tidak
membosankan karena dilengkapi gambar, video dan suara.
Saat sedang berkeliling, kami bertemu dengan pengunjung yang juga sedang
mengambil foto dan melihat-lihat. Kami memutuskan untuk menghampirinya dan
mewawancarai sekaligus meminta pendapat. Nama pengunjung itu adalah Randy dan dia
berasal dari Jakarta. Dia datang ke museum itu karena tertarik ingin belajar lebih mengenai
perjuangan Arek-Arek Suroboyo dan juga ingin menambah wawasan tentang kota Surabaya.
Kami juga meminta pendapat mengenai sila Pancasila terkait museum ini. Dia menjawab
bahwa ini berkaitan dengan sila ke-3. Karena perjuangan mereka yang sungguh ingin
merdeka dan berdaulat mengobarkan semangat serta tekat mereka untuk tidak pantang
menyerah, terus maju hingga mencapai yang namanya kesejahteraan bersama. Hal ini
hendaknya kita teladani dan terapkan di masa sekarang agar tidak terjadi perpecahan di sana
sini. Selain Randy, ada sekumpulan mahasiswa yang juga berkunjung di museum pada siang
itu. Kami pun mendekati mereka dan meminta pendapat terkait museum dan kaitannya
dengan sila Pancasila. Salah satu dari mereka yang bernama Tina menjawab bahwa dia ingin
mengetahui dan menambah wawasan tentang sejarah perjuangan di Surabaya. Menurutnya,
belajar dari sejarah itu perlu karena dari sejarahlah kita dapat mengetahui betapa besar
perjuangan para pahlawan demi membela bangsa dan negaranya. Tanpa mereka kita tidak
akan mencapai yang namanya kemerdekaan. Dia berpendapat bahwa masyarakat sekarang
terkadang dengan mudahnya melupakan dan meninggalkan sejarah. Untuk itu harus dimulai
dari diri kita sendiri dalam menghargai dan memperjuangkan agar sejarah itu tidak hilang.
Bila dikaitkan dengan Pancasila, dia berpendapat bahwa sila ke-3 yang cocok karena
membahas terkait Persantuan Indonesia melalui pejuangan para tokoh kemerdekaan yang
dengan semangat dan pantang menyerah benar-benar mengupayakan apapun demi
bangsanya.
Dari pendapat kedua orang tersebut, saya belajar bahwa kita memang tidak boleh
meremehkan atau meninggalkan begitu saja sejarah perjuangan pahlawan di masa itu.
Sebaliknya kita harus mampu menerapkan dan melajutkan perjuangan mereka dengan
membangun kehidupan yang baik dikeseharian kita. Setelah berdiskusi dengan para
pengunjung, kami memutuskan untuk keluar dari museum. Fasilitas disini cukup lengkap,
mulai dari lahan parkir, taman, toilet, serta adanya kantin di pintu keluar museum. Di area
menuju pintu keluar museum, terdapat Monumen Tugu Pahlawan dimana dibangun untuk
memperingati perjuangan Arek-Arek Suroboyo dan tokoh pahlawan lainnya. Ada juga
makam pahlawan dan meriam di sekitar lokasi Tugu Pahlawan. Setelah berkeliling kami juga
mengambil foto untuk dokumentasi laporan PKL. Kemudian kami memutuskan pulang pada
pukul 13.30. Sungguh pengalaman belajar sejarah yang juga menyenangkan. Saya belajar
banyak hal terutama kisah perjuangan di Surabaya. Semangat mereka, tekat dan pengorbanan
yang mereka lakukan sangat luar biasa dan dikenang hingga sekarang. Saya juga belajar
untuk lebih menghargai mereka yang telah berjuang dan tidak dengan mudah melupakan
sejarah. Selain itu saya juga belajar untuk mengutarakan pendapat saat bertanya atau
menjawab orang lain dan menjaga sopan santun saat sedang berkunjung di museum. Meski
satu hari ini sangat melelahkan, tapi saya sangat senang karena mendapat banyak ilmu dan
wawasan baru. Juga menemukan metode yang membuat belajar sejarah menjadi
menyenangkan adalah berkunjung di museum.

Anda mungkin juga menyukai