Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN

LABORATORIUM REPRODUKSI VETERINER


“Demonstrasi Kedudukan Fetus”

GRUP S (GELOMBANG 7)

Oleh :

Inti Sari Pati Rejeki Ulina Sianturi 0709005049


I Ketut Tri Cahyadi 1009005007
Claudia Murti Andari 1009005018
Satria Yanuwardani Setiawan 1109005001
Putu Angga Andika Putera 1109005013
Putu Juninata 1109005021
Nur Hanifah Septiani 1109005034
Kadek Andre Sulaksana 1109005045
Dewa Ayu Widia Kusuma Ningrat 1109005075
Ida Bagus Gde Rama Wisesa 1109005083
Elizabeth Liliane Sadipun 1109005086

LABORATORIUM REPRODUKSI VETERINER


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
I. Pendahuluan
Distokia berasal dari Bahasa Yunani ( dys = sulit ; tokos = kelahiran ) yang
berarti kesulitan kelahiran. Distokia merupakan suatu kondisi dimana tahap pertama,
terutama tahap kedua dari proses kelahiran sangat diperpanjang, sulit atau tidak
mungkin dilaksanakan oleh hewan induk tanpa bantuan manusia ( Toelihere, 2010 ).
Kejadian distokia pada sapi sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh banyak factor (
Jackson, 2007 ), yaitu :

1. Faktor lingkungan
a. Pakan. Hewan yang diberi pakan yang buruk dan berada paada kondisi
yang buruk dapat mengalami tinggkat distokia yang tinggi dan
mengurangi daya hidup pedet. Pemberian pakan yang banyak dapat
meningkatkan berat anak, timbunan lemak intrapelvis, distokia, dan
resiko laserasi vagina.
b. Penyakit. Hipokalsemia pada saat menjelang kelahiran, merupakan salah
satu penyebab inersia uterine primer.
c. Induksi kelahiran.
2. Faktor intrinsik.
a. Umur, pernah melahirkan sebelumnya, berat badan, dan ukuran pelvis.
Kejadian distokia yang lebih tinggi terlihat pada sapi dara yang
dikawinkan sewaktu muda, yang pertumbuhannya tidak bagus, dan pada
kelahiran pertama mereka. Jarak eksternal diantara tuber coxae harus
lebih besar dari 40 cm sebelum sapi dara dikawinkan untuk mengurangi
kejadian distokia.
b. Ras. Angka kejadian distokia pada sapi perah lebih tinggi dibandingkan
dengan sapi potong.
c. Berat badan, jenis kelamin, dan ukuran anak sapi. Banyak penelitian
yang menunjukan bahwa kejadian distokia meningkat seiring dengan
peningkatan berat badan dan ukuran tubuh anak sapi. Anak sapi jantan
umunya memiliki berat badan yang lebih besar dan masa kebuntingan
yang lebih lama dibandingkan dengan anak sapi betina.
d. Lama kebuntingan. Pada sapi bunting yang lebih tua, berat anak sapi
dapat meningkat rata-rata 0,5 kg/hari dan panjang tulang fetus
meningkat. Kedua faktor tersebut meningkatkan kejaadian distokia.
e. Presentasi anak sapi. Kejadian distokia dan lahir mati tertinggi adalah
pada anak sapi dengan presentasi posterior.

Penyebab distokia ada dua, yakni sebab-sebab dasar dan sebab-sebab


langsung. Sebab-sebab dasar distokia dapat dibagi dalam sebab-sebab herediter,
nutrisional dan manajemen, traumatic, penyakit menular, dan sebab-sebab campuran.
Kebanyakan distokia dapat ditimbulkan oleh dua atau lebih sebab. Sedangkan pada
sebab-sebab langsung distokia, dibagi atas sebab-sebab maternal dan sebab-sebab
fetus ( Toelihere, 2010 ).

Kasus distokia merupakan keadaan gawat darurat yang harus segera


ditangani. Penanganan terhadap distokia dapat dibagi atas empat cara yaitu mutasi,
tarik paksa, fetotomi, dan section caesaria ( Toelihere, 2010 ).

a. Mutasi adalah cara penanggulangan distokia dimana fetus dikembalikan


ke presentasi, posisi dan postur yang normal melaui repulse, rotasi, versi
dan pembetulan atau perentangan ekstremitas.
b. Tarik paksa adalah pengeluaran fetus dari saluran induk dengan
menggunakan kekuatan atau tarikan dari luar. Penarikan paksa dapat
dilakukan bila terjadi kelemahan uterus dan fetus tidak ikut menstimulir
perejanan. Tindakan ini dilakukan apabila sudah diadakan anestesi
epidural dan sesudah mutasi.
c. Fetotomi adalah pemotongan fetus untuk mengurangi ukurannya dengan
menyisihkan berbagai bagian tertentu fetus. Fetotomi harus dilakukan
dengan hati-hati karena dapat menyebabkan perlukaan atau rupture
uterus oleh alat-alat atau oleh tulang-tulang tajam.
d. Section caesaria atau pembedahan caesar adalah pengeluaran fetus
melalui laparohisterotomi. Indikasi dari bedah Caesar adalah distokia
karena hewan betina yang belum tumbuh dewasa, dilatasi dan relaksasi
serviks yang tidak sempurna, fetus terlampau besar secara abnormal dan
indikasi lain meliputi torsio uteri, hidrops amnii dan allantois, stenosa
vagina, mumifikasi fetus, stenosa saluran kelahiran akibat utmor atau
bekas luka pada saluran kelamin di daerah pelvis.

II. Materi dan Metode


A. Alat dan Bahan:
 Boneka sapi
 Tulang coxae sapi
 Kamera
 Tali
B. Cara Kerja:
 Boneka sapi diletakkan pada bagian cranial os pelvis sapi seolah-olah fetus
berada dalam ruang abdomen.
 Atur kedudukan fetus dari presentasi, posisi dan postur fetus dari normal
sampai abnormal.
 Sebelum dilakukan penanganan pada kasus distokia tersebut, sebaiknya
difoto terlebih dahulu sehingga dokumentasi tersebut dapat disimpan untuk
dipelajari lebih lanjut.
 Kedudukan fetus yang abnormal dilakukan penanganan yang tepat sehingga
seolah-olah fetus dapat dikeluarkan dari cavum pelvis.
NO KEDUDUKAN FETUS
GAMBAR KETERANGAN
1  Presentasi : Longitudinal anterior
 Posisi : Dorso sacral
 Postur : Normal
 Prognosa : Fausta

2  Presentasi : Longitudinal anterior


 Posisi : Dorso sacral
 Postur : Neck flexion
 Prognosa : Fausta - dubius
 Penanganan : Fiksasi ujung kedua kaki
fetus yang terjulur dengan
menggunakan tali, lalu repulsi sambil
lindungi ujung teracak agar tidak
melukai saluran reproduksi induk.
Ekstensi leher fetus sehingga posisi
kepala bertumpu pada kedua kaki
depan, setelah itu lakukan tarik paksa.
3  Presentasi : Longitudinal anterior
 Posisi : Dorso sacral
 Postur : Unilateral carpal flexion
 Prognosa : Fausta - dubius
 Penanganan : Fiksasi kepala fetus dan
ujung kaki yang terjulur, lalu repulsi
sambil lindungi ujung teracak agar
tidak melukai saluran reproduksi induk.
Ekstensi bagian carpal flexion sehingga
menjadi postur yang normal, setelah itu
lakukan tarik paksa.
NO KEDUDUKAN FETUS
GAMBAR KETERANGAN
4  Presentasi : Longitudinal anterior
 Posisi : Dorso sacral
 Postur : Unilateral elbow flexion
 Prognosa : Fausta - dubius
 Penanganan : Fiksasi kaki fetus yang
terjulur dengan menggunakan tali, lalu
lakukan repulsi. Ekstensi elbow flexion
sehingga posturnya menjadi carpal
flexion. Repulsi fetus kembali sambil
lindungi ujung teracak agar tidak
melukai saluran reproduksi induk, lalu
ektensi carpal flexion sehingga menjadi
postur yang normal. Setelah itu lakukan
tarik paksa.
5  Presentasi : Longitudinal anterior
 Posisi : Dorso pubis
 Postur : Normal
 Prognosa : Fausta - dubius
 Penanganan : Fiksasi kedua kaki fetus
yang terjulur, lalu lakukan repulsi.
Rotasi fetus 180º searah jarum jam atau
tergantung arah tali pusar sehingga
posisinya menjadi dorso sacral,
kemudian lakukan tarik paksa.
6  Presentasi : Transversal dorsal
 Posisi : Chepalo illial dextra
 Prognosa : Dubius - infausta
 Penanganan : Repulsi bagian bawah
fetus, kemudian versi agar menjadi
presentasi longitudinal anterior, posisi
dorso illial sinistra. Repulsi fetus,
kemudian rotasi 90º searah jarum jam,
sehingga posisi menjadi dorso sacral
dengan postur bilateral elbow flexion.
Fiksasi mandibula fetus kemudian
repulsi lalu ekstensi salah satu kaki
yang mengalami elbow flexion
sehingga postur menjadi carpal flexion.
Repulsi lalu ekstensi carpal flexion
menjadi postur normal. Fiksasi kaki
yang menjulur dengan menggunakan
tali. Lakukan repulsi, lalu ekstensi
bagian elbow flexion menjadi postur
carpal flexion. Repulsi kembali,
ekstensi carpal flexion menjadi postur
normal. Selanjutnya lakukan tarik
paksa.
7  Presentasi : Transversal ventral
 Posisi : Chepalo illial dextra
 Prognosa : Infausta - dubius
 Penanganan : Fiksasi kaki depan fetus
dengan menggunakan tali, repulsi
sambil melakukan versi sehingga
menjadi presentasi longitudinal anterior
dengan posisi dorso ilial dextra. Repulsi
fetus kembali kemudian lakukan rotasi
90º berlawanan arah jarum jam
sehingga posisi fetus menjadi dorso
sacral, kemudian lakukan tarik paksa.
NO KEDUDUKAN FETUS
GAMBAR KETERANGAN
8  Presentasi : Longitudinal posterior
 Posisi : Dorso sacral
 Postur : Normal
 Prognosa : Fausta

9  Presentasi : Longitudinal posterior


 Posisi : Dorso illial sinistra
 Postur : Unilateral tarsal flexion
 Prognosa : Fausta - dubius
 Penanganan : Fiksasi kaki yang terjulur
dengan menggunakan tali, lalu repulsi
fetus sambil lindungi ujung teracak agar
tidak melukai saluran reproduksi induk.
Rotasi 90º searah jarum jam sehingga
posisi fetus menjadi dorso sacral.
Repulsi fetus lalu ekstensi tarsal flexion
sehingga menjadi postur normal.
Setelah itu lakukan tarik paksa.
10  Presentasi : Longitudinal posterior
 Posisi : Dorso sacral
 Postur : Unilateral tarsal flexion
 Prognosa : Fausta - dubius
 Penanganan : Fiksasi kaki yang terjulur
dengan menggunakan tali, repulsi
sambil lindungi ujung teracak agar
tidak melukai saluran reproduksi induk.
Ekstensi tarsal flexion menjadi postur
normal, setelah itu lakukan tarik paksa.
NO KEDUDUKAN FETUS
GAMBAR KETERANGAN
11  Presentasi : Longitudinal posterior
 Posisi : Dorso sacral
 Postur : Unilateral hip flexio
 Prognosa : Fausta - dubius
 Penanganan : Fiksasi kaki yang
menjulur menggunakan tali, repulsi
dengan menarik sendi loncat, sehingga
postur menjadi unilateral tarsal flexion.
Repulsi fetus kembali, lalu ekstensi
tarsal flexion sehingga menjadi postur
normal. Selanjutnya lakukan tarik
paksa.
12  Presentasi : Longitudinal posterior
 Posisi : Dorso illial dextra
 Prognosa : Fausta – dubius
 Penanganan: Fiksasi kedua kaki fetus
yang terjulur menggunakan tali. Repulsi
fetus, kemudian rotasi 90º berlawanan
dengan arah jarum jam sehingga
posisinya menjadi dorso sacral.
Selanjutnya lakukan tarik paksa.

Anda mungkin juga menyukai