Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM II


AKHLAK DALAM DIRI PRIBADI

Ditulis oleh:

Nama NIM
HANIFAH ANGGUN OCTAVIA 19023000062
MAYANG AZZAHRA DIKA R 19023000068

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MERDEKA
MALANG
2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat, taufik,
serta hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami selaku penulis dapat menyelesaikan tugas
makalah Pendidikan Agama II dengan tema Akhlak dalam Diri Sendiri ini dengan tepat waktu.

Dalam makalah ini, kami mengkaji atau mengulas beberapa hal yaitu tentang
pengertian akhlak terhadap diri sendiri, macam-macam akhlak terhadap diri sendiri, serta
akhlak terpuji terhadap diri sendiri. Dengan didalamnya mencakup menjaga dan merawat jiwa
dan raga, mengekang hawa nafsu dan mensucikan jiwa serta menghindari mengkonsumsi
barang yang haram.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada pihak-pihak yang telah mendukung
dalam penyelesaian makalah ini:

1. Dr. Suharti yang telah memberikan arahan kepada kami dalam pembuatan makalah ini.
2. Orang tua kami yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materiil sehingga
makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
3. Serta teman-teman kami dan semua pihak yang telah memberikan dukungan dan
semangat dalam pembuatan makalah ini.

Kami selaku penulis menyadari bahwa masih perlu adanya penyempurnaan dalam
makalah ini, untuk itu kami mengharapkan saran, kritik, dan masukan yang bersifat konstruktif
dan membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Semoga makalah Pendidikan Agama II dengan tema Akhlak Dalam Diri Sendiri ini
dapat memberikan manfaat bagi pembaca serta khususnya bagi penulis sebagai penerapan
dalam kehidupan sehari-hari serta penambah wawasan dan pengetahuan.

Wassalamualaikum wr.wb

Malang, 10 April 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ 2

DAFTAR ISI ........................................................................................................................ 3

BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................................... 4

1.1 Latar Belakang Masalah ............................................................................................... 4

1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................................ 5

1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................................ 5

1.4 Manfaat Penulisan........................................................................................................ 5

BAB 2 PEMBAHASAN ...................................................................................................... 6

2.1 Pengertian Akhlak Terhadap Diri Sendiri ......................................................................6

2.2 Macam-Macam Akhlak Terhadap Diri Sendiri ..............................................................7

2.3 Bentuk-Bentuk Akhlak Terpuji Terhadap Diri Sendiri ..................................................9

2.4 Manfaat Akhlak Terhadap Diri Sendiri.........................................................................11

2.5 Menjaga dan Merawat Jiwa dan Raga...........................................................................11

2.6 Mengekang Hawa Nafsu dan Mensucikan Jiwa............................................................13

2.7 Menghindari Mengkonsumsi Barang yang Haram........................................................15

BAB 3 PENUTUP...................................................................................................................22

1.1 Kesimpulan ..................................................................................................................22


1.2 Saran.............................................................................................................................23

DAFTAR PUSAKA ...............................................................................................................24

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Akhlak terhadap diri sendiri pada dasarnya mutlak diperlukan oleh semua manusia
utamanya bagi seluruh umat muslim. Seorang muslim adalah pemimpin bagi dirinya sendiri.
Siapapun dia, seorang muslim tentu akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang telah
diperbuat terhadap dirinya sendiri. Oleh karena itulah, Islam memandang bahwa setiap muslim
harus menunaikan etika dan akhlak yang baik terhadap dirinya sendiri, sebelum ia berakhlak
yang baik terhadap orang lain. Dan ternyata hal ini sering dilalaikan oleh kebanyakan kaum
muslimin.

Secara garis besar, akhlak seorang muslim terhadap dirinya dibagi menjadi tiga bagian
yaitu: terhadap fisiknya, terhadap akalnya, dan terhadap hatinya. Karena memang setiap insan
memiliki tiga komponen tersebut dan kita dituntut untuk memberikan hak kita terhadap diri
kita sendiri dalam ketiga unsur yang terdapat dalam dirinya tersebut. Namun, tanpa disadari
seseorang telah berakhlak tidak baik pada dirinya sendiri. Misalnya saja merokok, seorang
perokok bisa dikatakan berakhlak tidak baik pada dirinya sendiri. Karena dengan merokok,
lama kelamaan akan menyebabkan paru-paru menjadi rusak dan hal itu sama artinya dengan
kita tidak menjaga tubuh kita dengan baik atau berakhlak tidak baik pada diri sendiri. Ada satu
hal yang kerap kali dilakukan oleh seseorang yang menurut pelakunya adalah hal biasa namun
hal tersebut juga termasuk akhlak tidak baik pada diri sendiri yaitu begadang. Orang yang tidur
terlalu larut malam sehingga hal itu dapat menyebabkan daya tahan tubuh berkurang.

Jadi, sebagai manusia atau sebagai seorang muslim yang baik hendaklah kita selalu
berakhlak baik dalam hal apapun. Karena sesungguhnya, Allah SWT menciptakan manusia
dengan tujuan utama penciptaannya adalah untuk beribadah. Ibadah dalam pengertian secara
umum yaitu melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya dengan penuh
kesadaran dan keikhlasan. Manusia diperintahkan-Nya untuk menjaga, memelihara, dan
mengembangkan semua yang ada untuk kesejahteraan dan kebahagiaan hidup. Dan Allah SWT
sangat membenci manusia yang melakukan tindakan merusak yang ada. Karena Allah SWT
membenci tindakan yang merusak maka orang yang cerdas akan meninggalkan perbuatan itu,
menyadari bahwa jika melakukan perbuatan terlarang akan berakibat pada kesengsaraan hidup

4
di dunia dan terlebih-lebih lagi di akhirat kelak, sebagai tempat hidup yang sebenarnya. Untuk
itulah materi akhlak terhadap diri sendiri ini sangatlah penting untuk dipahami, dipelajari dan
diteladani.

1.2 Rumusan Masalah

Makalah dengan Tema Akhlak dalam diri sendiri ini kami susun dengan rumusan masalah
sebagai berikut:

1. Apa pengertian akhlak terhadap diri sendiri?


2. Apa saja macam-macam akhlak terhadap diri sendiri itu?
3. Apa saja bentuk-bentuk akhlak terpuji terhadap diri sendiri itu?
4. Apa saja manfaat akhlak terhadap diri sendiri?
5. Bagaimana menjaga dan merawat jiwa dan raga?
6. Bagaimana mengekang hawa nafsu dan mensucikan jiwa?
7. Bagaimana menghindari mengkonsumsi barang yang haram?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah:

1. Agar pembaca dapat memahami tentang arti dan pentingnya akhlak terhadap diri
sendiri.
2. Agar kita sebagai umat muslim senantiasa berakhlak baik dalam hal apapun karena
Allah SWT menciptakan kita pada dasarnya untuk menjadi kholifah di bumi.
3. Agar pembaca senantiasa ingat kepada Allah SWT dan berakhlak baik terhadap diri
sendiri dalam kehidupan sehari-hari.

1.4 Manfaat Penulisan

1. Sebagai penambah wawasan tentang apa itu akhlak terhadap diri sendiri serta
pentingnya akhlak tehadap diri sendiri bagi kehidupan.
2. Sebagai pemacu dalam melaksanakan akhlak baik terhadap diri sendiri, yang sering kali
dilupakan bahwa hal itu merupakan hal yang penting.
3. Sebagai referensi, sehingga baik penulis maupun pembaca dapat lebih menghargai diri
sendiri dalam menjalani kehidupan di dunia.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Akhlak Terhadap Diri Sendiri

Menurut etimologi kata akhlak berasal dari bahasa Arab ‫ اخالق‬bentuk jamak dari
mufradnya khuluq ‫ خلق‬yang berarti “budi pekerti”. Sedangkan menurut terminologi, kata
“budi pekerti”, budi adalah yang ada pada manusia, berhubungan dengan kesadaran yang
didorong oleh pemikiran, ratio.

Budi disebut juga karakter. Pekerti adalah apa yang terlihat pada manusia karena
didorong oleh perasaan hati yang disebut behaviour. Jadi, budi pekerti adalah perpaduan dari
hasil rasio dan rasa yang bermanifestasi pada karsa dan tingkah laku manusia.

Yang dimaksud dengan akhlak terhadap diri sendiri adalah sikap seseorang terhadap
diri pribadinya baik itu jasmani sifatnya atau rohani. Manusia dapat diperbaiki akhlaknya
dengan menghilangkan akhlak-akhlak tercela. Di sinilah terletak tujuan pokok agama, yakni
mengajarkan dan menawarkan sejumlah nilai moral atau akhlak mulia agar mereka menjadi
baik dan bahagia dengan melatih diri untuk melakukan hal yang terbaik. Iman tidak akan
sempurna kecuali dengan menghiasi diri dengan Akhlak.

Kita harus adil dalam memperlakukan diri kita dan jangan pernah memaksa diri kita
untuk melakukan sesuatu yang tidak baik atau bahkan membahayakan jiwa. Sesuatu yang
membahayakan jiwa bisa bersifat fisik atau psikis. Misalnya kita melakukan hal-hal yang bisa
membuat tubuh kita menderita. Seperti: terlalu banyak begadang, sehingga daya tahan tubuh
berkurang, merokok, yang dapat menyebabkan paru-paru kita rusak, mengkonsumsi obat
terlarang, dan minuman keras yang dapat membahayakan jantung dan otak kita. Untuk itu kita
harus bisa bersikap atau berakhlak baik terhadap tubuh kita. Selain itu sesuatu yang dapat
membahayakan diri kita itu bisa bersifat psikis. Misalkan iri, dengki, munafik, dan lain
sebagainya. Hal itu semua dapat membahayakan jiwa kita. Semua itu merupakan penyakit hati
yang harus kita hindari. Hati yang berpenyakit seperti iri, dengki, munafik, dan lain sebagainya
akan sulit sekali menerima kebenaran, karena hati tidak hanya menjadi tempat kebenaran dan
iman tetapi hati juga bisa berubah menjadi tempat kejahatan dan kekufuran.

Untuk menghindari hal tersebut di atas maka kita dituntut untuk mengenali berbagai
macam penyakit hati yang dapat merubah hati kita, yang tadinya merupakan tempat kebaikan

6
dan keimanan menjadi tempat keburukan dan kekufuran. Seperti yang telah dikatakan bahwa
diantara penyakit hati adalah iri, dengki, dan munafik. Maka kita harus mengenali penyakit hati
tersebut.

1. Macam penyakit hati yaitu:


a. Dengki, orang pendengki adalah orang yang paling rugi. Ia tidak mendapatkan apapun
dari sifat buruknya itu. Bahkan pahala kebaikan yang dimilikinya akan terhapus. Islam
tidak membenarkan kedengkian. Rasulullah bersabda: "Abu Hurairah r.a.
meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "hati-hatilah pada kedengkian karena
kedengkian menghapuskan kebajikan, seperti api yang melahap minyak." (H.R. Abu
Dawud)
b. Munafik, orang munafik adalah orang yang berpura-pura atau ingkar. Apa yang mereka
ucapkan tidak sama dengan apa yang ada di hati dan tindakannya. Adapun tanda-tanda
orang munafik ada tiga. Hal ini dijelaskan dalam hadits, yaitu:

‫ إذا حدث كذب وإذا وعد أخلف وإذا اؤتمن‬,‫قال رسول هللا صلعم "ايت المنافقين ثالث‬: ‫عن ابي هريرة رضي هللا عنه قال‬
‫خان‬

Dari Abu hurairah r.a. Rasulullah berkata: " tanda-tanda orang munafik ada tiga, jika ia
berbicara ia berdusta, jika berjanji ia mengingkari, dan jika diberi amanat ia
berkhianat." (H.R. Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan an-Nisa'i)

2.2 Macam-Macam Akhlak Terhadap Diri Sendiri

1. Berakhlak terhadap jasmani


a. Menjaga kebersihan dirinya

Islam menjadikan kebersihan sebagian dari Iman. Ia menekankan kebersihan


secara menyeluruh meliputi pakaian dan juga badan. Rasulullah memerintahkan
sahabat-sahabatnya supaya memakai pakaian yang bersih, baik, dan rapi
terutamanya pada hari Jumat, memakai wewangian.

b. Menjaga makan minumnya

Bersederhanalah dalam makan minum, berlebihan atau melampaui dilarang


dalam Islam. Sebaiknya sepertiga dari perut dikhaskan untuk makanan, sepertiga
untuk minuman, dan sepertiga untuk bernafas.

7
c. Tidak mengabaikan latihan jasmaninya

Riyadhah atau latihan jasmani amat penting dalam penjagaan kesehatan, walau
bagaimanapun ia dilakukan menurut etika yang ditetapkan oleh Islam tanpa
mengabaikan hak-hak Allah, diri, keluarga, masyarakat dan sebagainya. Dalam arti
ia tidak mengabaikan kewajiban sembahyang sesuai kemampuan diri, adat
bermasyarakat dan lainnya.

d. Rupa diri
Seorang muslim mestilah mempunyai rupa diri yang baik. Islam tidak pernah
mengizinkan budaya tidak senonoh, compang-camping, kusut, dan lainnya. Islam
adalah agama yang mempunyai rupa diri dan tidak mengharamkan yang baik.
Seseorang yang menjadikan rupa diri sebagai alasan tindakannya sebagai zuhud dan
tawaduk, ini tidak dapat diterima karena Rasulullah yang bersifat zuhud dan
tawaduk tidak melakukan begitu. Islam tidak melarang umatnya menggunakan
nikmat Allah kepadanya asalkan tidak melampaui batas dan takabur.

2. Berakhlak terhadap akalnya


a. Memenuhi akalnya dengan ilmu

Akhlak Muslim ialah menjaganya agar tidak rusak dengan mengambil sesuatu
yang memabukkan dan menghayalkan. Islam menyuruh supaya membangun
potensi akal hingga ke tahap maksimum, salah satu cara memanfaatkan akal ialah
mengisinya dengan ilmu. Ilmu fardh‘ain yang menjadi asas bagi diri seseorang
muslim hendaklah diutamakan karena ilmu ini mampu dipelajari oleh siapa saja,
asalkan dia berakal dan cukup umur. Nabi Muhammad menempati kedudukan
sebagai manusia sempurna. Allah menciptakan microcosmos, manusia sempurna,
dan insan kamil dengan perantaraan kesadaran keilahian-Nya diungkap pada diri
sendiri. Untuk itulah manusia harus berusaha untuk bisa menjadi insan kamil.

b. Penguasaan ilmu

Sepatutnya umat Islamlah yang selayaknya menjadi pemandu ilmu supaya


manusia dapat bertemu dengan kebenaran. Kekufuran (kufur akan nikmat) dan
kealfaan umat terhadap pengabaian penguasaan ilmu ini. Perkara utama yang patut
diketahui ialah pengetahuan terhadap kitab Allah, bacaannya, tajwidnya, dan
tafsirnya. Kemudian hadits-hadits Rasul, sirah, sejarah sahabat, ulama, dan juga

8
sejarah Islam, hukum-hukum ibadah serta muamalah. Sementara itu umat islam
hendaklah membuka tingkat pikirannya kepada segala bentuk ilmu, termasuk juga
bahasa asing supaya pemindahan ilmu berlaku dengan cepat. Rasulullah pernah
menyuruh Zaid bin Tsabit supaya belajar bahasa Yahudi dan Syiria. Diantara
sahabat Rasululllah, Abdullah bin Zubair merupakan sahabat yang memahami dan
menguasai bahasa asing. Beliau mempunyai seratus orang khadam yang masing-
masing bertutur kata berlainan dan apabila berhubungan dengan mereka, dia
menggunakan bahasa yang dituturkan oleh mereka.

3. Berakhlak terhadap jiwa

Manusia pada umumnya tahu benar bahwa jasad perlu disucikan selalu, begitu
juga dengan jiwa. Pembinaan akhlak secara efektif dengan memperhatikan faktor
kejiwaan, menurut ahli penelitian para psikolog bahwa kejiwaan manusia berbeda-
beda menurut perbedaan tingkat usia. Untuk itu perlu adanya suatu cara dalam
membersihkan jiwa manusia. Pembersihan jiwa beda dengan pembersihan jasad.
Ada beberapa cara:

a. Bertaubat
b. Bermuraqabah
c. Bermuhasabah
d. Bermujahadah
e. Memperbanyak ibadah
f. Menghadiri lembaga-lembaga ilmu

2.3 Bentuk-Bentuk Akhlak Terpuji Terhadap Diri Sendiri

1. Berilmu
a. Nilai positif berilmu bagi diri sendiri
1) Memperoleh kepuasan batin
2) Dapat mencapai taraf hidup yang lebih baik
3) Dapat melaksanakan ajaran agama secara benar
4) Dapat menambah keimanan kepada Allah SWT
5) Memperoleh pahala di sisi Allah SWT
6) Terangkat derajatnya

9
b. Nilai positif berilmu bagi orang lain
1) Memberi jalan terang dalam memberi petunjuk, pengarahan, dan saran
2) Tempat orang bertanya dalam mengatasi masalah
3) Dapat membantu orang lain dalam menyelesaikan persoalannya
c. Membiasakan bersikap berilmu
1) Memiliki semangat untuk menguasai ilmu tentang hal-hal yang belum diketahui
2) Rajin mendatangi lembaga-lembaga ilmu untuk memperoleh tambahan ilmu
3) Rajin mendatangi pengajian untuk memperoleh ilmu keagamaan
4) Cukup ringan mengeluarkan biaya demi tercapainya suatu ilmu
5) Gemar bergaul dengan orang yang berilmu untuk mendapatkan tambahan ilmu
2. Kerja keras
a. Nilai positif kerja keras
1) Terpuji dalam pandangan Allah SWT
2) Terpuji dalam pandangan sesama manusia
3) Dapat diharapkan mencapai hasil yang maksimal sehingga lebih semangat
4) Tercukupinya kebutuhan hidup karena Allah memberikan rahmat untuk
hambanya yang mau berusaha
5) Memperoleh kepercayaan dari sesama manusia
b. Membiasakan bersikap kerja keras
1) Selalu menyadari bahwa hasil dari jerih payahnya sendiri lebih terpuji dan mulia
daripada menerima pemberian orang lain
2) Islam memuji sikap kerja keras dan mencela meminta-minta
3) Memiliki semboyan tidak suka mempersulit orang lain
4) Menyadari sepenuhnya bahwa memberi lebih mulia daripada meminta
3. Kreatif, produktif, inovatif
a. Nilai positif kreatif, produktif, inovatif.
1) Dapat mengikuti perkembangan zaman
2) Memperoleh hasil yang cukup banyak dari karyanya
3) Tercukupi kebutuhan hidupnya
4) Memperoleh kepuasan batin
5) Bertambah banyaknya hubungan persaudaraan
b. Membiasakan bersikap kreatif, produktif, inovatif
1) Berusaha untuk menciptakan lapangan kerja baru
2) Berusaha mengembangkan kemampuan yang dimiliki
10
3) Mengutamakan kualitas produk dengan harga yang terjangkau di pasaran
4) Memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
5) Selalu mengadakan evaluasi hasil usahanya
6) Memiliki tekad bahwa besok harus lebih baik dari hari ini

2.4 Manfaat Akhlak Terhadap Diri Sendiri

1. Berakhlak terhadap jasmani:

a. Jauh dari penyakit karena sering menjaga kebersihan

b. Tubuh menjadi sehat dan selalu bugar

c. Menjadikan badan kuat dan tidak mudah lemah

2. Berakhlak terhadap akalnya:

a. Memperoleh banyak ilmu

b. Dapat mengamalkan ilmu yang kita peroleh untuk orang lain

c. Membantu orang lain

d. Mendapat pahala dari Allah SWT

3. Berakhlak terhadap jiwa:

a. Selalu dalam lindungan Allah SWT

b. Jauh dari perbuatan yang buruk

c. Selalu ingat kepada Allah SWT

2.5 Menjaga dan Merawat Jiwa dan Raga

Adapun cara untuk memelihara akhlak terhadap diri sendiri antara lain:

a. Sabar, yaitu perilaku seseorang terhadap dirinya sendiri sebagai hasil dari
pengendalian nafsu dan penerimaan terhadap apa yang menimpanya. Sabar
diungkapkan ketika melaksanakan perintah, menjauhi larangan dan ketika ditimpa
musibah.
b. Syukur, yaitu sikap berterima kasih atas pemberian nikmat Allah yang tidak bisa
terhitung banyaknya. Syukur diungkapkan dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Syukur

11
dengan ucapan adalah memuji Allah dengan bacaan alhamdulillah, sedangkan syukur
dengan perbuatan dilakukan dengan menggunakan dan memanfaatkan nikmat Allah
sesuai dengan aturan-Nya.
c. Tawaduk, yaitu rendah hati, selalu menghargai siapa saja yang dihadapinya, orang tua,
muda, kaya atau miskin. Sikap tawaduk melahirkan ketenangan jiwa, menjauhkan dari
sifat iri dan dengki yang menyiksa diri sendiri dan tidak menyenangkan orang lain.
d. Shidiq, artinya benar atau jujur. Seorang muslim dituntut selalu berada dalam keadaan
benar lahir batin, yaitu benar hati, benar perkataan, dan benar perbuatan.
e. Amanah, artinya dapat dipercaya. Sifat amanah memang lahir dari kekuatan iman.
Semakin menipis keimanan seseorang, semakin pudar pula sifat amanah pada dirinya.
Antara keduanya terdapat ikatan yang sangat erat sekali. Rasulullah SAW bersabda
bahwa “tidak (sempurna) iman seseorang yang tidak amanah dan tidak (sempurna)
agama orang yang tidak menunaikan janji.” (HR. Ahmad)
f. Istiqamah, yaitu sikap teguh dalam mempertahankan keimanan dan keislaman
meskipun menghadapi berbagai macam tantangan dan godaan. Perintah supaya
beristiqamah dinyatakan dalam Al-Quran pada surat Al- Fushshilat ayat 6 yang artinya
“Katakanlah bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan
kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka istiqamahlah
menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya. Dan kecelakaan yang besarlah
bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya.” Shalat juga merupakan mekanisme
untuk membersihkan hati dan mensucikan diri dari kotoran-kotoran dosa dan
kecenderungan melakukan perbuatan dosa.
g. Iffah, yaitu menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik dan memelihara kehormatan
diri dari segala hal yang akan merendahkan, merusak, dan menjatuhkannya. Nilai dan
wibawa seseorang tidak ditentukan oleh kekayaan dan jabatannya dan tidak pula
ditentukan oleh bentuk rupanya, tetapi ditentukan oleh kehormatan dirinya.
h. Pemaaf, yaitu sikap suka memberi maaf terhadap kesalahan orang lain tanpa ada rasa
benci dan keinginan untuk membalas. Islam mengajarkan kita untuk dapat memaafkan
kesalahan orang lain tanpa harus menunggu permohonan maaf dari yang bersalah.

12
2.6 Mengekang hawa nafsu dan mensucikan jiwa
a. Pengertian Hawa Nafsu

Hawa nafsu adalah sebuah perasaan atau kekuatan emosional yang besar dalam diri
seorang manusia berkaitan secara langsung dengan pemikiran atau fantasi seseorang. Hawa
nafsu merupakan kekuatan psikologis yang kuat yang menyebabkan suatu hasrat atau
keinginan intens terhadap suatu objek atau situasi demi pemenuhan emosi tersebut.

Ketiga perkataan ini (hawa, nafsu dan syahwat) berasal dari bahasa Arab. Hawa ( ‫ الهوى‬sangat
cinta; kehendak) Nafsu ( ‫ النفس‬roh; nyawa; jiwa; tubuh; diri seseorang; kehendak; niat; selera;
usaha dan Syahwat ( ‫ الشهوة‬keinginan untuk mendapatkan yang lazat; berahi.

Nafsu berasal dari bahasa Arab, yaiitu nafsun yang artinya niat. Nafsu ialah keinginan
hati yang kuat. Nafsu merupakan kumpulan dari kekuatan amanah dan sahwat yang ada pada
manusia. Menurut Agus Sudjanto nafsu ialah hasrat yang besar dan kuat, ia dapat
mempengaruhi seluruh fungsi jiwa. Hawa nafsu ini bergerak dan berkuasa di dalam kesadaran.
Nafsu memiliki kecenderungan dan keinginan yang sangat kuat, ia memengaruhi jiwa
seseorang, inilah yang disebut hawa nafsu.

Menurut Kartini Kartono, nafsu ialah dorongan batin yang sangat kuat, memiliki
kecenderungan yang sangat hebat sehingga dapat menganggu keseimbangan fisik. Dilihat dari
definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Nafsu ialah suatu gejolak jiwa yang selalu
mengarah kepada hal – hal yang mendesak, kemudian diikuti dengan keinginan pada diri
seseorang untuk mencapai tujuan tertentu. Nafsu selalu mendorong kepada hal negatif yang
perlu diperbaii dan dibina. Cara membina Nafsu ialah dengan TAZKIYAT AN-NAFSI, maksudnya
pembersihan jiwa dan juga meliputi pembinaan dan pengembangan jiwa.

b. Hawa Nafsu Mempengaruhi Perilaku

Secara bahasa al-hawa adalah kecenderungan, keinginan atau kecintaan secara mutlak.
Namun, dalam penggunaannya, kata al-hawâ itu jika disebutkan secara mutlak maka yang
dimaksudkan adalah kecenderungan pada apa yang menyalahi kebenaran.

Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Ashqalani dalam Fath al-Bârî mengatakan tentang hadis ini:
Al-Baihaqi telah mengeluarkan di dalam Al-Madkhal dan Ibn ‘Abd al-Barr dalam Bayân al-
‘Ilmi dari jamaah tabi’in seperti al-Hasan, Ibn Sirin, Syuraih, asy-Sya’bi dan an-Nakha’i
dengan sanad-sanad baik; tentang celaan terhadap perkataan semata menurut ra’yu (pikiran).
Semua itu dihimpun oleh hadis penuturan Abu Hurairah ra. “Tidak sempurna iman seseorang

13
di antara kalian hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” Hadis ini dikeluarkan
oleh Al-Hasan bin Sufyan dan lainnya. Para perawinya tsiqah dan an-Nawawi telah
mensahihkan hadis ini di akhir Al-Arba’un.

Dalam hadis ini Rasulullah saw, menjelaskan bagaimana seharusnya seseorang


memperlakukan al-hawa supaya imannya sempurna. Menurut Ibn Manzhur dalam lisan al-
‘Arab, hawâ an-nafsi adalah keinginan jiwa. Para ahli bahasa mengatakan al-hawa adalah
kecintaan manusia terhadap sesuatu dan dominannya kecintaan itu atas dirinya. Abu al- ‘Abbas
al-Fayyumi dalam Mishbah al-Munir menjelaskan, al-hawa adalah jika kamu menyukai
sesuatu dan terkait dengannya. Kemudian kata al-hawa digunakan untuk menyebut
kecenderungan jiwa dan penyimpangannya ke arah sesuatu lalu digunakan untuk menyebut
kecenderungan yang tercela.

Di dalam At-Ta’rifat, al-Jurjani menjelaskan bahwa al-hawa adalah kecenderungan


jiwa (mayl an-nafsi) pada syahwat yang menyenangkannya tanpa alasan syariah. Muhammad
Rawas Qal’ah Ji di dalam Mu’jam Lughah al-Fuqaha’ juga menjelaskan al-hawa adalah
kecenderungan jiwa pada apa yang disukai tanpa memperhatikan hukum syariah dalam hal itu.

Jadi secara bahasa al-hawa adalah kecenderungan, keinginan atau kecintaan secara
mutlak. Namun dalam penggunaannya kata al-hawa itu jika disebutkan secara mutlak maka
yang dimaksudkan adalah kecenderungan pada apa yang menyalahi kebenaran.

Sementara itu, makna “la yu`minu ahadukum” adalah iman yang paripurna bukan
menafikan iman. Sebab orang yang hawa nafsunya tidak mengikuti syariah sehingga ia
bermaksiat secara umum kemaksiatan itu tidak menjadikan dirinya kafir.

Dengan demikian hadis ini bermakna; seseorang tidak akan mencapai derajat mukmin
yang paripurna imannya sampai seluruh keinginan, kecenderungan dan kecintaannya
mengikuti apa yang dibawa oleh Rasul saw; baik perintah, larangan ataupun yang lainnya.
Dengan itu ia menyukai apa yang diperintahkan dan tidak menyukai apa yang dilarang.

Dalam Al-Qur’an hawa nafsu dijelaskan dalam surat:

Surat AL-Jaatsiyah: 45

‫علَى ش َِريعَ ٍة ِم َن ْاْل َ ْم ِر فَاتَّبِ ْع َها َو ََل تَتَّبِ ْع أَ ْه َواء الَّذِي‬


َ َ‫ث ُ َّم َجعَ ْلنَاك‬

14
Arinya: “Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan
(agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang
tidak mengetahui. ( QS.Al Jaatsiyah : 45 )

c. Kemampuan Manusia Mengendalikan Hawa Nafsu

- ‫ع ِة‬
َ ‫صر‬
ُّ ‫ش ِد يدُ بِا ل‬ َ َ‫ "ل‬: ‫ قأ َل‬,‫سلَّ َم‬
َّ ‫يس ا ل‬ َ ‫علَي ِه َو‬ َ ِ‫ أَ َّن َرسُو َل هللا‬-ُ‫عنه‬
َ ُ‫صلي ا هلل‬ ِ ‫عن أَ بِي ه َُري َرةَ َر‬
َ ُ‫ضي ا هلل‬ َ ,

‫ب‬
ِ ‫ض‬ َ ‫ش ِد يدُ ا لَّذِي يَم ِلكُ نَف‬
َ َ‫سهُ عِندَ ا لغ‬ َّ ‫" ِإ نَّ َما ا ل‬

Artinya: Abu Hurairah r.a. berkata Rasulullah saw bersabda: Bukan seorang kuat karena
bergulat, tetapi orang yang kuat itu ialah yang sanggup menahan hawa nafsunya ketika marah
(Bukhari, Muslim)

َ ‫ " َمن َك‬: ‫سلَّ َم قَا َل‬


- ‫ظ َم غَيظا َو ه َُو قَا ِد ر‬ َ ُ‫صلَّي ا هلل‬
َ ‫علَي ِه َو‬ َ ِ‫ أَ َّن َر سُو َل هللا‬,ِ‫عن أَ بِيه‬
َ ,ٍ‫بن ُمعَا ذ‬
ِ ‫سه ٍل‬
َ ‫عن‬

‫ِين َما شَا َء‬ ِ ‫ع َّز َو َج َّل عَ لَي ُر ُءو ِس ا لخَل ِء‬
ِ ‫ق يَو َم ا ل ِقيَا َم ِة َحتَّي يُخَيِ َرهُ ا هللُ مِنَ ال ُحو ِر ا لع‬ َ َ‫ د‬,ُ‫علَي أَن يُن ِفذَه‬
َ ُ‫عا هُ ا هلل‬ َ "
Artinya: Barangsiapa yang menahan amarah padahal dia mampu untuk melampiaskan
marahnya itu namun ia tidak melampiakannya maka nati pada hari kiamat Allah memenuhi
hatinya dengan kerida’an.

2.7 Menghindari mengkonsumsi barang yang haram

Makanan halal secara dzatiyah (subtansi barangnya), menurut sayyid sabiq dibagi
dalam dua kategori, yaitu jamad (benda mati) dan hayawan (binatang). Jadi pada intinya
makanan halal adalah makanan yang baik yang dibolehkan memakannya menurut ajaran Islam,
yaitu sesuai dalam Al Qur’an dan Al - hadits.

Sebagian muslim tidak mempedulikan apa yang masuk dalam perutnya. Asal enak dan
ekonomis, akhirnya disantap. Tidak tahu manakah yang halal, manakah yang haram. Padahal
makanan, minuman dan hasil nafkah dari yang haram sangat berpengaruh sekali dalam
kehidupan seorang muslim bahkan untuk kehidupan akhiratnya setelah kematian. Baik pada
terkabulnya do’a amalan sholehnya dan kesehatan dirinya bisa dipengaruhi dari makanan yang
ia konsumsi setiap harinya. Oleh karena itu seorang muslim begitu urgent untuk mempelajari
halal dan haramnya makanan.

Ciri-Ciri Makanan Haram

Dalam ayat ini telah dijelaskan bahwa makanan yang diharamkan diantaranya :

15
a. Bangkai, yang termasuk kategori bangkai adalah hewan yang mati dengan tidak
disembelih termasuk didalamnya hewan yang mati tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk
dan diterkam oleh hewan buas, kecuali yang sempat kita menyembelihnya, hanya
bangkai ikan dan belalang saja yang boleh kita makan.
b. Darah, sering pula diistilahkan dengan darah yang mengalir, maksudnya adalah darah
yang keluar pada waktu penyembelihan (mengalir) sedangkan darah yang tersisa
setelah penyembelihan yang ada pada daging setelah dibersihkan dibolehkan. Dua
macam darah yang dibolehkan yaitu jantung dan limpa.
c. Babi, apapun yang berasal dari babi hukumnya haram baik darahnya, dagingnya,
maupun tulangnya.
d. Binatang yang ketika disembelih menyebut selain nama Allah.

Firman Allah Swt. dalam surat Al-Baqarah ayat 168:

َ ‫يَا أَيُّ َها النَّاُس ُكلُوا ِ َّمما فِي ْاْل ِرض َحالَل َطيﱢبا َوَل تَتَّبُُِ عوا ُخﻄَُُ واِت الَّ ْشي‬
‫ﻄاِنإِنَّهُ لَُُ ْﻜم َعُدﱞو ُمبِين‬

Artinya: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi,
dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan karena sesungguhnya setan itu adalah
musuh yang nyata bagimu” (Q.S Al-Baqarah: 168).

Sabda Rasulullah Saw:

Artinya: “ Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir radhiallahuanhu dia berkata: Saya mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan
yang haram itu jelas. Diantara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar)
yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia
telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara
syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala
yang menggembalakan hewan gembalaannya disekitar (ladang) yang dilarang untuk
memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja
memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. Ketahuilah bahwa dalam
diri ini terdapat segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia
buruk, maka buruklah seluruh tubuh; ketahuilah bahwa dia adalah hati. (Riwayat Bukhari dan
Muslim).

16
Jadi dapat disimpulkan bahwa syarat - syarat produk pangan halal menurut syariat Islam
adalah:

a. Halal dzatnya
b. Halal cara memperolehnya
c. Halal dalam memprosesnya
d. Halal dalam penyimpanannya
e. Halal dalam pengangkutannya dan
f. Halal dalam penyajiannya.

Agar terhindar dari mengkonsumsi barang haram sebaiknya kita lebih waspada dengan
apa yang kita konsumsi. Dan juga mencermati ciri ciri makanan yang halal.

1) Makanan haram mempengaruhi do’a

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

‫ت‬ َّ ‫الرسُ ُل كُلُوا مِ َن ال‬


ِ ‫ﻄ ِي َبا‬ ُّ ‫سلِينَ فَقَا َل ( َيا أَيُّ َها‬ َ ْ‫ط ِيبا َو ِإ َّن َّللاَّ َ أَ َم َر ا ْل ُمؤْ ِمنِي َن ِب َما أَ َم َر ِب ِه ا ْل ُمر‬ َّ ‫ط ِيب َلَ َي ْق َب ُل ِإ‬
َ ‫َل‬ ُ ‫« أَيُّ َها ال َّن‬
َ َ َّ‫اس ِإ َّن َّللا‬
‫سف ََر‬ َّ ‫ ث ُ َّم ذَك ََر‬.» )‫ت َما َرزَ ْقنَاكُ ْم‬
َّ ‫الر ُج َل ُيﻄِي ُل ال‬ َ ‫علِيم) َوقَا َل ( َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا كُلُوا م ِْن‬
ِ ‫ط ِي َبا‬ َ َ‫صالِحا ِإ ِنى ِب َما تَ ْع َملُون‬ َ ‫َوا ْع َملُوا‬
َ‫ِى بِا ْل َح َر ِام فَأَنَّى يُ ْستَ َجابُ ِلذَلِك‬
َ ‫ﻄعَ ُمهُ َح َرام َو َم ْش َربُهُ َح َرام َو َم ْلبَسُهُ َح َرام َوغُذ‬
ْ ‫ب َو َم‬
ِ ‫ب يَا َر‬ َّ ‫أَ ْشعَثَ أَ ْغبَ َر يَ ُمدُّ يَدَ ْي ِه إِلَى ال‬
ِ ‫س َما ِء يَا َر‬

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thoyyib (baik). Allah tidak akan menerima
sesuatu melainkan dari yang thoyyib (baik). Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan
kepada orang-orang mukmin seperti yang diperintahkan-Nya kepada para Rasul. Firman-
Nya: ‘Wahai para Rasul! Makanlah makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal
shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ Dan Allah juga
berfirman: ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki yang baik-baik yang telah
kami rezekikan kepadamu.'” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan
tentang seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya kusut,
masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo’a: “Wahai
Tuhanku, wahai Tuhanku.” Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari
yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dari yang haram, maka
bagaimanakah Allah akan memperkenankan do’anya?” (HR. Muslim no. 1015)

Begitu pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada Sa’ad,

‫أطب مﻄعمك تﻜن مستجاب الدعوة‬

17
“Perbaikilah makananmu, maka do’amu akan mustajab.” (HR. Thobroni dalam Ash
Shoghir. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if jiddan sebagaimana dalam As
Silsilah Adh Dho’ifah 1812)

Ada yang bertanya kepada Sa’ad bin Abi Waqqosh,

‫ ما رفعتُ إلى فمي لقمة إَل وأنا عالم من أين‬: ‫تُستجابُ دعوتُك من بين أصحاب رسول هللا – صلى هللا عليه وسلم – ؟ فقال‬
. ‫ ومن أين خرجت‬، ‫مجيئُها‬

“Apa yang membuat do’amu mudah dikabulkan dibanding para sahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam lainnya?” “Saya tidaklah memasukkan satu suapan ke dalam mulutku
melainkan saya mengetahui dari manakah datangnya dan dari mana akan keluar,” jawab Sa’ad.

Dari Sahl bin ‘Abdillah, ia berkata

‫من أكل الحالل أربعين يوما أُجيبَت دعوتُه‬

“Barang siapa memakan makanan halal selama 40 hari, maka do’anya akan mudah
dikabulkan.”

Yusuf bin Asbath berkata,

. ‫بلغنا أنَّ دعا َء العبد يحبس عن السماوات بسو ِء المﻄعم‬

“Telah sampai pada kami bahwa do’a seorang hamba tertahan di langit karena sebab makanan
jelek (haram) yang ia konsumsi.”

Gemar melakukan ketaatan secara umum, sebenarnya adalah jalan mudah terkabulnya do’a.
Sehingga tidak terbatas pada mengonsumsi makanan yang halal, namun segala ketaatan akan
memudahkan terkabulnya do’a. Sebaliknya kemaksiatan menjadi sebab penghalang
terkabulnya do’a.

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, “Melakukan ketaatan memudahkan terkabulnya


do’a. Oleh karenanya pada kisah tiga orang yang masuk dan tertutup dalam suatu goa, batu
besar yang menutupi mereka menjadi terbuka karena sebab amalan yang mereka sebut. Di

18
mana mereka melakukan amalan tersebut ikhlas karena Allah Ta’ala. Mereka berdo’a pada
Allah dengan menyebut amalan sholeh tersebut sehingga doa mereka pun terkabul.”

Wahb bin Munabbih berkata,

َّ ‫ﻄيِبُ َوا ْلعَ َم ُل ال‬


} ‫صا ِل ُح يَرْ فَعُه‬ َّ ‫صعَدُ ا ْل َﻜ ِل ُم ال‬
ْ َ‫ { إِلَ ْي ِه ي‬: ‫ ثم تال قوله تعالى‬، ‫العم ُل الصال ُح يبلغ الدعاء‬

“Amalan sholeh akan memudahkan tersampainya (terkabulnya) do’a. Lalu beliau membaca
firman Allah Ta’ala, “Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang
saleh dinaikkan-Nya.” (QS. Fathir: 10)

Dari Umar ia berkata,

‫حرم هللا يقب ُل هللا الدعاء والتسبي َح‬


َّ ‫بالورع عما‬

“Dengan sikap waro’ (hati-hati) terhadap larangan Allah, Dia akan mudah mengabulkan do’a
dan memperkanankan tasbih (dzikir subhanallah).”

2) Rizki dan makanan halal mewariskan amalan sholeh

Rizki dan makanan yang halal adalah bekal dan sekaligus pengobar semangat untuk
beramal shaleh. Buktinya adalah firman Allah Ta’ala,

َ َ‫صا ِل ًحا ِإنِِّي ِب َما تَ ْع َملُون‬


‫علِيم‬ َ ‫ت َوا ْع َملُوا‬ َّ َ‫الرسُ ُل كُلُوا مِن‬
ِ ‫الط ِِّيبَا‬ ُّ ‫يَا أَيُّ َها‬

“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang thoyyib (yang baik), dan kerjakanlah amal
yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al
Mu’minun: 51). Sa’id bin Jubair dan Adh Dhohak mengatakan bahwa yang dimaksud makanan
yang thoyyib adalah makanan yang halal (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 10: 126).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala pada ayat ini memerintahkan para
rasul ‘alaihimush sholaatu was salaam untuk memakan makanan yang halal dan beramal
sholeh. Penyandingan dua perintah ini adalah isyarat bahwa makanan halal adalah pembangkit
amal shaleh. Oleh karena itu, para Nabi benar-benar memperhatikan bagaimana memperoleh
yang halal. Para Nabi mencontohkan pada kita kebaikan dengan perkataan, amalan, teladan

19
dan nasehat. Semoga Allah memberi pada mereka balasan karena telah member contoh yang
baik pada para hamba.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 10: 126).

Bila selama ini kita merasa malas dan berat untuk beramal? Alangkah baiknya bila kita
mengoreksi kembali makanan dan minuman yang masuk ke perut kita. Jangan-jangan ada yang
perlu ditinjau ulang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ِإنَّ ا ْل َخي َْر َلَ يَأْتِى ِإَلَّ ِب َخي ٍْر أَ َو َخيْر ه َُو‬

“Sesungguhnya yang baik tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan. Namun benarkah harta
benda itu kebaikan yang sejati?” (HR. Bukhari no. 2842 dan Muslim no. 1052)

3) Makanan halal bisa sebagai pencegah dan penawar berbagai penyakit

Allah Ta’ala berfirman,

‫ي ٍء ِم ْنهُ نَ ْفسا فَﻜُلُوهُ هَنِيئا َم ِريئا‬ َ ‫صدُقَاتِ ِه َّن نِحْ لَة فَإِ ْن ِط ْب َن لَﻜُ ْم‬
َ ‫ع ْن‬
ْ ‫ش‬ َ ِ‫َوآَتُوا الن‬
َ ‫سا َء‬

“Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin
itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang
hanii’ (baik) lagi marii-a (baik akibatnya).” (QS. An Nisa’: 4).

Al Qurthubi menukilkan dari sebagian ulama’ tafsir bahwa maksud firman Allah Ta’ala “‫َهنِيئًا‬
‫ ” َم ِريئًا‬adalah, “Hanii’ ialah yang baik lagi enak dimakan dan tidak memiliki efek negatif.
Sedangkan marii-a ialah yang tidak menimbulkan efek samping pasca dimakan, mudah
dicerna dan tidak menimbulkan peyakit atau gangguan.” (Tafsir Al Qurthubi, 5:27). Tentu saja
makanan yang haram menimbulkan efek samping ketika dikonsumsi. Oleh karenanya, jika kita
sering mengidap berbagai macam penyakit, koreksilah makanan kita. Sesungguhnya yang baik
tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan.

4) Di akhirat, neraka lebih pantas menyantap jasad yang tumbuh dari yang haram

Dari Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

‫ار أَ ْولَى بِ ِه‬ ِ ْ‫َم ْن نَبَتَ لَحْ ُمهُ مِنَ السُّح‬


ُ َّ‫ت فَالن‬

20
“Siapa yang dagingnya tumbuh dari pekerjaan yang tidak halal, maka neraka pantas
untuknya.” (HR. Ibnu Hibban 11: 315, Al Hakim dalam mustadroknya 4: 141. Hadits ini shahih
kata Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ no. 4519)

Lihatlah begitu bahayanya mengonsumsi makanan haram dan dampak dari pekerjaan yang
tidak halal sehingga mempengaruhi do’a, kesehatan, amalan kebaikan, dan terakhir,
mendapatkan siksaan di akhirat dari daging yang berasal dari yang haram.

َ‫ع َّم ْن س َِواك‬ ْ َ‫ع ْن َح َرامِكَ َوأَ ْغنِنَا ِبف‬


َ َ‫ضلِك‬ َ ‫اللَّ ُه َّم ا ْك ِفنَا ِب َح‬
َ َ‫اللِك‬

Allahummak-finaa bi halaalika ‘an haroomika, wa agh-ninaa bi fadh-lika ‘amman siwaak

“Ya Allah, limpahkanlah kecukupan kepada kami dengan rizqi-Mu yang halal dari memakan
harta yang Engkau haramkan, dan cukupkanlah kami dengan kemurahan-Mu dari
mengharapkan uluran tangan selain-Mu.” (HR. Tirmidzi no. 3563 dan Ahmad 1: 153. Syaikh
Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

21
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari pembahasan tentang akhlak terhadap diri sendiri maka dapat disimpulkan bahwa:

1) Akhlak terhadap diri sendiri adalah sikap seseorang terhadap diri pribadinya baik itu
jasmani sifatnya atau ruhani.
2) Akhlak terhadap diri sendiri dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu akhlak
terhadap jasmani, akhlak terhadap akal, dan akhlak terhadap jiwa.
3) Bentuk-bentuk akhlak terpuji terhadap diri sendiri adalah berilmu, kerja keras, kreatif,
produktif, dan inovatif.
4) Manfaat akhlak terhadap diri sendiri:
a. Berakhlak terhadap jasmani: Jauh dari penyakit karena sering menjaga
kebersihan, tubuh menjadi sehat dan selalu bugar, menjadikan badan kuat dan
tidak mudah lemah.
b. Berakhlak terhadap akalnya: Memperoleh banyak ilmu, dapat mengamalkan ilmu
yang kita peroleh untuk orang lain, membantu orang lain, mendapat pahala dari
Allah SWT.
c. Berakhlak terhadap jiwa: selalu dalam lindungan Allah SWT, jauh dari perbuatan
yang buruk, selalu ingat kepada Allah SWT.
5) Cara Menjaga dan Merawat Jiwa dan Raga meliputi sabar, syukur, tawaduk, shidiq,
amanah, istiqamah, iffah, dan pemaaf.
6) Mengekang hawa nafsu dan mensucikan jiwa: Nafsu berasal dari bahasa Arab, yaitu
nafsun yang artinya niat. Nafsu ialah keinginan hati yang kuat. Nafsu merupakan
kumpulan dari kekuatan amanah dan sahwat yang ada pada manusia. Jadi kita sebagai
manusia harus mampu mengendalikan hawa nafsu. Lebih baik jika kita dapat
mengendalikan hawa nafsu terhadap hal hal yang baik maupun yang buruk. Contoh
dapat menahan amarah merupakan mengendalikan hawa nafsu dalam keburukan.
7) Menghindari mengkonsumsi barang yang haram: makanan yang diharamkan
diantaranya: Bangkai, darah, babi, dan binatang yang ketika disembelih menyebut
selain nama Allah. Makanan halal secara dzatiyah (subtansi barangnya), menurut
sayyid sabiq dibagi dalam dua kategori, yaitu jamad (benda mati) dan hayawan
(binatang). Jadi pada intinya makanan halal adalah makanan yang baik yang dibolehkan

22
memakannya menurut ajaran Islam, yaitu sesuai dalam Al Qur’an dan Al - hadits.
Sebagian muslim tidak mempedulikan apa yang masuk dalam perutnya. Asal enak dan
ekonomis, akhirnya disantap. Tidak tahu manakah yang halal, manakah yang haram.
Padahal makanan, minuman dan hasil nafkah dari yang haram sangat berpengaruh
sekali dalam kehidupan seorang muslim bahkan untuk kehidupan akhiratnya setelah
kematian. Baik pada terkabulnya do’a amalan sholehnya dan kesehatan dirinya bisa
dipengaruhi dari makanan yang ia konsumsi setiap harinya. Oleh karena itu seorang
muslim begitu urgent untuk mempelajari halal dan haramnya makanan.

3.2 Saran

1) Dengan adanya pembahasan tentang akhlak terhadap diri sendiri ini diharapkan
pembaca dapat menentukan sikap yang baik terhadap dirinya sehingga jasmani dan
ruhaninya tetap terjaga.
2) Akan lebih baik apabila setiap manusia senantiasa melakukan akhlak terpuji bagi
dirinya sendiri dengan demikian manusia akan bisa menjadi insan kamil.
3) Semoga pembaca lebih berusaha untuk memahami dan menerapkan akhlak-akhlak
kharimah utamanya akhlak terhadap dirinya sendiri sehingga kehidupannya selalu
disertai dengan kebahagiaan.

23
DAFTAR PUSTAKA

Hajjaj, Muhammad Fauqi, Tasawuf Islam dan Akhlak, Jakarta: Amzah, 2011

Teguh, Moral Islam dan Moral Jawa, Jember: CSS Jember, 2008

Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002

Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006

Teguh, Moral Islam dan Moral Jawa (Jember: CSS Jember, 2008), hlm. 4

Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlak (Jakarta: Amzah, 2001), hlm. 239 Ibid.,
hlm. 245

Simuh, Tasawuf dan Perkembangan dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002),
hlm. 142

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 166

https://rumaysho.com/2185-pengaruh-makanan-yang-haram.html

24

Anda mungkin juga menyukai