Dalam banyak hal, Amerika cenderung cepat dalam membuat keputusan sendiri,
tanpa mengandalkan orang lain. Hampir semua deskripsi pekerjaan memuat “works well
without supervision” dan “a self-starter” yang mencerminkan kemandirian. masalah dapat
diselesaikan dan keputusan dibuat pada tingkat terendah yang bisa mereka lakukan dalam
sebuah organisasi. Meminta bantuan kepada orang lain akan terlihat seperti individu yang
lemah, terutama ketika masalah terjadi pada bidang di mana pekerja tersebut memiliki
tanggung jawab atau seorang ahli dalam bidang tersebut. Amerika lebih menekankan
tindakan cepat daripada menghabiskan waktu dengan menganalisis masalah, sesuai
dengan ujaran di Amerika, “Just do it” dan “Let’s get this show on the road” menunjukkan
preferensi mereka untuk melakukan apapun tanpa harus repot-repot melakukan analisis
terlebih dulu. Bagi orang Jepang, ada tiga masalah berkaitan dengan kebiasaan non-kolektif
seperti itu. Pertama, ketika Amerika tidak melaporkan masalah-masalah mereka, mereka
akan memerlukan lebih banyak waktu untuk mencari solusinya sementara Jepang telah
melakukan analisis lebih dulu. Kedua, meskipun Amerika telah “memperbaiki” masalah
tersebut, namun mereka mereka memperbaiki sendiri—masalah tidak akan terangkat ke
permukaan hingga pada tingkatan yang lebih kritis, di mana akan lebih sulit untuk
diselesaikan. Ketiga, dua situasi di atas membuat Jepang merasa prihatin sebab mereka
tidak mendapatkan gambaran yang jelas mengenai otoritas pengambilan keputusan
Amerika. Menerapkan sistemhourensou untuk menjaga komunikasi dengan orang Jepang
mungkin terlihat menghabiskan waktu, namun hal ini akan meningkatkan kepercayaan satu
sama lain dalam pengambilan keputusan. Dengan tidak menyelesaikan apapun sendirian,
individu mendapatkan lebih banyak kepercayaan dan otoritas dalam kinerjanya (Pringle,
2012).
Ini merupakan perbedaan besar yang mengontraskan Jepang dan Amerika dalam
kultur manajanemen bisnisnya. Berbanding terbalik dengan Amerika, konsultasi dalam tim
untuk menemukan solusi merupakan hal yang lumrah di Jepang, mereka bekerja secara
kolektif dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini mungkin juga berakar dari kultur bercocok
tanam orang Jepang, sistem pertanian yang mengandalkan kerja sama segenap penduduk
desa untuk menciptakan hasil yang baik. Selanjutnya, orang yang bersikeras mengatasi
permasalahannya sendirian disebut “a lone wolf” atau “serigala yang sendirian”, sebutan
bagi mereka yang tidak bisa bekerja sama dengan baik dengan orang lain. Pendek kata,
Jepang mengandalkan kerjasama dalam kelompok sementara Amerika fokus pada
kemandirian individu.
Rakyat Jepang sejak dahulu kala mempunyai satu sikap hidup yang dinamakan “
Makoto “ atau dapat diterjemahkan menjadi kesungguh-sungguhan atau dalam bahasa
Inggris “ Sincerety “. Yang dimaksudkan dengan sikap “ Makoto “ adalah sikap yang
menjunjung tinggi kemurnian dalam batin dan motivasi, dan yang menolak adanya tujuan
yang semata-mata hanya berguna bagi diri sendiri. Apakah dilakukan dengan penuh
kejujuran dan kesungguh-sungguhan.
Oleh sebab itu yang menjadi titik pusat perhatian bukanlah hasil perbuatan,
melainkan perbuatannya itu sendiri. Dengan begitu, buat orang Jepang sukses atau gagal
dalam usaha tidak merupakan perhatian utama. Sebab orang Jepang senantiasa
dirangsang bathin maupun lahir. Sehingga apapun yang mereka kerjakan senantiasa
dilakukan dengan penuh kesungguh-sungguhan.
Hubungan pemimpin dan anggota di Jepang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor
emosional dibandingkan dengan dunia barat.Sikap kepemimpinan di Jepang banyak
dipengaruhi oleh etik bushido yang diwariskan oleh
samurai.Kesedrehanaan,patriotisme,keberanian bertindak, kesungguh-sungguhan dalam
bekerja,semuanya berpengaruh pada pemimpin dalam segala sektor. Sebagai contoh,di
pabrik Komatsu yang memproduksi alat-alat besar ,para anggota setiap minggu
mengadakan musyawarah selama 1 jam dalam kelompok kerjanya.
Dalam musyawarah itu mereka membicarakan hal-hal yang perlu dilakukan untuk
meningkatkan produktifitas.Perhatian pemimpin yang besar kepda anggota tidak hanya
terbatas pada pekerjaan,tetapi juga di luar pekerjaan.Sampai perkawinanpun diatur oleh
perusahaan.Karena itu perasaan “turut memiliki” amat besar pada seluruh anggota,termasuk
kaum buruh.Jdi dedikasi orang Jepang pada pekerjaannya pada hakekatnya merupakan
suatu self-interest.
Kaum buruh di Jepang tidak takut kehilangan pekerjaanya,karena mereka yakin
pimpinan kan menemukan pekerjaan baru bagi mereka.Dan memang demikian
adanya,dimana pimpinan menganggapkaum buruh tidak sekedar sebagai faktor
produksi,mealinkan manusia atau kelompok atau organisasi yang hraus diberikan
solidaritasanya.
c. Management personil
Sistem pekerjaan di Jepang adalah seumur hidup ini berarti bahwa seorang bekerja
dalam lingkungan kementrian atau perusahaan tertentu sampai usia pensiun.Ia tidak akan
dikeluarkan dan umumnya ia juga tidak pindah ke kementrian atau perusahaan lain.Ada
orang mengatakan orang yang mendapatkan pekerjaan dalam perusahaan Jepang pada
hakekatnya dalah memsuki suatu kelompok tertentu (to joint a group).
Sebenarnya keunggulan Jepang dalam produksi mobil sekarang ini bukan karena
hebatnya Indusru mobil Jepang,tetapi adalah hasil analisa Jepang atas informasi yang
dikumpulkan mengenai kedaan minyak bumi ,selera masyarakat AS dan Eropa dan
teknologi baru.Karena daya saing tiap-tiap perusahaan tinggi dan selalu berusaha
mengalahkan perusahaan sejenis,termasuk yang ada di Jepang,maka pengumpulan
informasi dan pemanfaatannya harus sangat intensif.Jepang sering diolok-olok ,bahwa ia
hanya pandai meniru hasil orang lain.Ini tidak sepenuhnya benar,pada kenyataanya ketika
masih berada di bawah memang ia masih meniru,kemudian ia kemudian mulai
menyempurnakan produksinya shingga mengalahkan pihak yang tadinya ditiru.
Berikut ini hendak kami paparkan mengenai manajemen Jepang. Perhatian pokok dalam
pembahasan kami adalah manajemen Jepang modern, dan bukan manajemen Jepang
tradisional.
Bentuk khas dari manajemen Jepang adalah organisasi Gemeinschaft. Terdapat iklim di
mana hubungan antar pribadi antara manajer dan karyawan di satu pihak dan antar
karyawan di pihak lain bersifat hangat, dan semua pihak bekerja sama berdasarkan
keyakinan bersama bahwa kesemuanya merupakan bagian dari perusahaan yang sama.
Perusahaan adalah paduan dari modal ( uang dan barang ) dengan manusia-manusianya.
Sasaran perusahaan Jepang bukan maksimalisasi keuntungan, tetapi terjaminnya
kelangsungan dan perkembangan perusahaan sendiri. Mengejar untung hanyalah sarana,
bukan tujuan.
f. Ikatan perburuhan
Serikat-serikat buruh di Jepang bergabung secara kolektif dalam merunding masalah upah
dan lain-lain yang berkaitan, dengan manajemen. Serikat buruh Jepang juga
diorganisasikan menjadi federasi-federasi dalam industri sejenis.
Manajeman barat kuat dalam tanggung jawab individual, tetapi lemah dalam tanggung
jawab kelompok. Maka dari itu, kalau keduanya diintegrasikan, manajemen modern akan
mampu untuk mencapai hasil maksimal yang mungkin. Salah satu contoh integrasi. “
Pengambilan – keputusan – kelompok adalah salah satu hal dimana kelompok terlibat
secara intim dalam pengambilan keputusan.
Will Durant, dalam tulisannya, pernah mengatakan bahwa bangsa Jepang adalah
bangsa yang kompleks dengan berbagai kontradiksi : penuh perasaan dan realis, peka dan
bersikap sosial, periang dan pendiam, mudah tergerak hati dan dapat menahan diri, penuh
humor dan menyukai kenikmatan, ramah menyenangkan, tetapi kadang-kala juga kejam.
Kenyataannya, dengan areal kurang dari 0,1 persen luas seluruh muka bumi dan 3,0
persen penduduk dunia; seluruh penghasilan nasional Jepang bisa mencapai tiga kali lipat
dari penghasilan Asia Tenggara. Dedikasi demikian tinggi terhadap pekerjaan dan
perusahaan yang dimiliki oleh setiap orang Jepang telah membentuk para pengusaha
Jepang menjadi “ manusia-manusia organisasi”. Mereka segan menentang orang lain dan
yang penting, mereka mau membaurkan diri ke dalam lingkungannya. “ Bertindak bersama
atau aksi kolektif “
Beberapa ciri menyolok dari perilaku kehidupan bangsa Jepang dan praktek-praktek bisnis
para pengusaha Jepang. Diharapkan agar pengetahuan dan pengertian tentang ciri-ciri
khusus ini sedikit banyak bisa membantu orang-orang asing mencapai persetujuan :
Bangsa Jepang segan memamerkan kekuatan bisnis dan keahlian istimewanya secara terus
terang dalam menyelesaikan perselisihan hukum lewat perundingan, tanpa melalui saluran
pengadilan.
Ciri-ciri lain yang dipaksakan pada zaman feudal adalah paham bahwa kaum awam tidak
boleh memiliki harta kekayaannya. Bangsa Jepang cenderung menyembunyikan
perasaannya.. Jangan beranggapan bahwa setiap orang Jepang yang anda jumpai bisa
berbahasa Inggris.
Pada tahun 1970 Jepang memiliki sejumlah besar kaum muda yang, menurut
professor Kazuo Noda dari Universitas St. Paul, dianggap sebagai orang asing – bangsa
dari kebudayaan lain. orang Jepang adalah bangsa yang kompleks : dengan jiwa dan
kesombongan orang Perancis, darah panas dan sifat seni orang Itali, semangat dan sifat
dagang orang Amerika, kepekaan dan kekikiran orang Yahudi. Semua ini diramu jadi satu
menciptakan orang Jepang. Singkatnya orang Jepang adalah bangsa yang sulit dimengerti,
tetapi perlu dipelajari. Jepang adalah negeri yang memiliki sejarah dan budaya sangat
menarik untuk dipelajari.
Sumber : https://www.google.com
https://elqorni.wordpress.com/2015/12/24/manajemen-jepang