Anda di halaman 1dari 8

Nama : Hannah Salamah Putri

Lokal : D

NIM : 1610112137

TUGAS MATA KULIAH KEPEMIMPINAN TENTANG ETOS KERJA BANGSA


JEPANG

"5S" Etos Kerja Masyarakat Jepang Yang Mendunia

Jepang selama ini kita kenal sebagai salah satu negara didunia yang memiliki etos kerja yang
hebat.Etos kerja yang baik ini menimbulkan suatu dampak kemajuan teknologi dan penguasaan
teknologi,serta mempengaruhi pertumbuhan ekonomi negara jepang itu sendiri.

etos kerja orang jepang terkenal dari dulu selama perang dunia ke 2 jepang yang merupakan
negara kecil dapat menguasai sebagian besar wilayah asia dan Amerika Serikat sempat
diluluhlantahkan (pearl harbour) hingga akhirnya bertekuk lutut setelah hirosima dan nagasaki di
bom atom oleh sekutu. Semangat dan pantang menyerah merupakan ciri orang jepang, dari
semboyan samurai yang menyatakan Lebih baik mati dari pada berkalang malu, ada juga
istilah MAKOTO yang artinya bekerja dengan giat semangat,jujur serta ketulusan.belum lagi
semangat dan semboyan serta falsafah yang lain yang dapat memacu kerja dan membentuk etos
kerja para pekerja diluar negara jepang. kita lihat perusahaan yang cukup terkenal yaitu
KENWOOD, yang bergerak didunia elektronika yaitu dibidang akustik home teater ,sounsistem
dan alat komunikasi berupa HT dan Car comunication. Kenwood Singapura bergerak dibidang
radio komunikasi HT dan CAR yang memiliki anak cabang di Addpluss Tech Indonesia yang
berlokasi di Bintan.hampir 85 % produk kenwood yang tersebar kepenjuru dunia diproduksi di
sini.
Perusahaan sebesar KENWOOD memiliki besik yang sangat sederhana untuk membentuk
etos kerja para karyawannya (Kebetulan Penulis pernah bekerja disini) mereka menggunakan
Housekeeping alias bersih-bersih sebagai landasan untuk membentuk etos kerja para
karyawannya. dan landasan ini merupakan suatu kebanggaan tersendiri dari para
karyawannya.Housekeeping tersebut dikenal sebagai 5s atau dalam bahasa Inggris dikenal
dengan 5c, 5S adalah metode untuk mengelola kerja, terutama kerja bersama susunannya sebagai
berikut :

1. Tahap 1 Seiri (?) Sorting: memulai dengan mengetahui semua prtalatan, materi, dll, di
areal kawasan/lokasi/tempat yang kita pakai dan bekerja dng hanya menyimpan barang-
barang penting yang kita butuhkan. barang yang tidak terpakai harus disimpan atau
dibuang.(ditaruh pada tempat tersendiri diluar areal kerja kita)

2. Tahap 2 Seiton (?) Tetapkan dalam Urutan: berfokus pada tertib kerja. Mengatur semua
peralatan, perlengkapan, dan bagian, dalam suatu urutan serta kondisi harus bersih

3. Tahap 3 Seiso? (?) Sweeping: Pembersihan sistematis atau kebutuhan untuk


memelihara kerja bersih serta rapi mengklasifikasi barang sesuai dengan fungsi dan
kegunaannya. Aktivitas sehari-hari di akhir setiap shift, yang bekerja atas areal
dibersihkan dan semuanya sudah dikembalikan ke tempatnya, sehingga mudah untuk
mengetahui apa dan di mana pergi ke tahu kapan di mana semuanya harus sangat penting
di sini. Kuncinya adalah bahwa menjaga kebersihan harus menjadi bagian dari pekerjaan
sehari-hari yang kadang-kadang tidak melakukan aktivitas bila hal terlalu kotor

4. Tahap 4 Seiketsu (?) Standardising countinew: standar kerja praktik atau operasi dalam
mode standar dan konsisten. Semua orang tahu persis apa-nya adalah tanggung jawab.

5. Tahap 5 Shitsuke (?) Membenarkan: merujuk kepada menjaga dan memeriksa standar.
Setelah sebelumnya 4S dari mereka telah dibentuk menjadi cara baru untuk beroperasi.
Mempertahankan fokus pada cara baru ini beroperasi, dan tidak membiarkan sebuah
bertahap menolak kembali ke jalan yang lama beroperasi. Namun, ketika muncul masalah
seperti yang disarankan perbaikan atau cara kerja baru, atau sebuah tool baru, atau baru
keluaran syarat maka review yang pertama adalah dari 4S sesuai.atau langkah ke 5
merupakan komitmen dari ke 4 langkah sebelumnya.

ternyata bukan saja jepang yang menerapka sistem ini akan tetapi telah diadopsi oleh sebagian
negara-negara maju seperti AS,dan negara-negara eropa.sistem ini juga dijadikan basic sebagai
basic manufacturing didunia. Hasilnya karyawan akan menjadi disiplin,bertanggung jawab
penuh terhadap tugasnya,ruang lingkungan kerja yang bersih dan mempermudah dalam
melakukan pekerjaan.

Orang Jepang sanggup berkorban dengan bekerja lembur tanpa mengharap bayaran atau
imbalan. Mereka merasa lebih dihargai jika diberikan tugas pekerjaan yang berat dan menantang.
Bagi mereka, jika hasil produksi meningkat dan perusahaan mendapat keuntungan besar, secara
otomatis mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal. Dalam pikiran dan jiwa mereka,
hanya ada keinginan untuk melakukan pekerjaan sebaik mungkin dan mencurahkan seluruh
komitmen pada pekerjaan. Pada tahun 1960, rata-rata jam kerja pekerja di Jepang adalah 2.450
jam/tahun. Pada tahun 1992 jumlah itu menurun menjadi 2.017 jam/tahun. Namun, jam kerja itu
masih lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata jam kerja di negara lain, misalnya Amerika
(1.957 jam/tahun), Inggris (1.911 jam/tahun), Jerman (1.870 jam/tahun), dan Prancis (1.680
jam/tahun). Ukuran nilai dan status orang Jepang didasarkan pada disiplin kerja dan jumlah
waktu yang dihabiskannya di tempat kerja. Keadaan ini tentu sangat berbeda dengan budaya
kerja orang atau bangsa Indonesia yang biasanya selalu ingin pulang lebih cepat. Di Jepang,
orang yang pulang kerja lebih cepat selalu diberi berbagai stigma negatif, dianggap sebagai
pekerja yang tidak penting, malas dan tidak produktif.

Sikap patriotisme bangsa Jepang juga menjadi salah satu faktor yang membantu
keberhasilan ekonomi negaranya. Bangsa Jepang bangga dengan produk buatan negerinya
sendiri. Mereka juga menjadi pengguna utama produk lokal dan pada saat yang sama juga
mencoba mempromosikan produk made in Japan ke seluruh dunia mulai dari makanan, teknologi
sampai tradisi dan budaya. Dimana saja mereka berada bangsa Jepang selalu mempertahankan
identitas dan jatidiri mereka. Minat dan kecintaan bangsa Jepang terhadap ilmu membuat mereka
merendahkan diri untuk belajar dan memanfaatkan apa yang telah mereka pelajari. Mereka
menggunakan ilmu yang diperoleh untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan "produk Barat"
demi memenuhi kepentingan pasar dan kebutuhan konsumen. Bangsa Jepang memang pintar
meniru tetapi mereka memiliki daya inovasi yang lebih tinggi. Pihak Barat memakai proses
logika, rasional dan kajian empiris untuk menghasilkan sebuah inovasi. Namun bangsa Jepang
melibatkan aspek "emosi dan intuisi" untuk menghasilkan inovasi yang sesuai dengan selera
pasar.

Ciri-ciri etos kerja dan budaya kerja orang Jepang.

Bekerja untuk kesenangan, bukan untuk gaji semata. Tentu saja orang Jepang juga tidak
bekerja tanpa gaji atau dengan gaji yang rendah. Tetapi kalau gajinya lumayan, orang
Jepang bekerja untuk kesenangan. Jika ditanya Seandainya anda menjadi milyuner dan
tidak usah bekerja, anda berhenti bekerja ?, kebanyakan orang Jepang menjawab, Saya
tidak berhenti, terus bekerja. Bagi orang Jepang kerja itu seperti permainan yang
bermain bersama dengan kawan yang akrab. Biasanya di Jepang kerja dilakukan oleh
satu tim. Dia ingin berhasil dalam permainan ini, dan ingin menaikkan kemampuan diri
sendiri. Dan bagi dia kawan-kawan yang saling mempercayai sangat penting. Karena
permainan terlalu menarik, dia kadang-kadang lupa pulang ke rumah. Fenomena ini
disebut work holic oleh orang asing.

Mendewakan langganan. Memang melanggar ajaran Islam, etos kerja orang Jepang
mendewakan client/langganan sebagai Tuhan. Okyaku sama ha kamisama desu
(Langganan adalah tuhan.) Kata itu dikenal oleh semua orang Jepang. Kata ini sudah
motto bisnis di Jepang. Perusahaan Jepang berusaha mewujudkan permintaan dari
langganan secepat mungkin, dan berusaha mengembangkan hubungan erat dan panjang
dengan langganan.

Bisnis adalah perang. Orang Jepang yang di dunia bisnis menganggap bisnis sebagai
perang melawan perusahaan lain. Untuk menang perang, perlu strategi dan pandangan
jangka panjang. Budaya bisnis Jepang lebih mementingkan keuntungan jangka panjang.
Supaya menang perang seharusnya diadakan persiapan lengkap untuk bertempur setenaga
kuat. Semua orang Jepang tahu pribahasa Hara ga hette ha ikusa ha dekinu (Kalau
lapar tidak bisa bertempur.) Oleh karena itu orang Jepang tidak akan pernah menerima
kebiasaan puasa. Bagi orang Jepang, untuk bekerja harus makan dan mempersiapkan
kondisi lengkap.
Untuk melancarkan urusan pekerjaannya, orang Jepang memegang teguh prinsip tepat waktu
dengan tertib dan disiplin, khususnya dalam sektor perindustrian dan perdagangan.

Untuk itu, tidak ada alasan bagi Indonesia tidak bisa menjadi seperti Jepang. Indonesia
memiliki sumber alam melimpah dari pada Jepang, tenaga manusia murah, infrastruktur yang
baik, dan kedudukan geografis yang strategis. Tergantung kemauan, komitmen dan langkah pasti
pemerintah serta masyarakatnya dalam mengaplikasikan formula ekonomi yang ampuh tersebut.
Jika bangsa Jepang bisa melakukannya, maka tidak ada alasan untuk kita gagal
melaksanakannya. Kekuasaan ada ditangan kita dan bukan terletak pada negara.

Etos kerja bangsa Indonesia.

Insititute for Management of Development, Swiss, World Competitiveness Book (2007),


memberitakan bahwa pada tahun 2005, peringkat produktivitas kerja Indonesia berada pada
posisi 59 dari 60 negara yang disurvei. Atau semakin turun ketimbang tahun 2001 yang
mencapai urutan 46. Sementara itu negara-negara Asia lainnya berada di atas Indonesia seperti
Singapura (peringkat 1), Thailand (27), Malaysia (28), Korea (29), Cina (31), India (39), dan
Filipina (49). Urutan peringkat ini berkaitan juga dengan kinerja pada dimensi lainnya yakni
pada Economic Performance pada tahun 2005 berada pada urutan buncit yakni ke 60, Business
Efficiency (59), dan Government Efficiency (55). Lagi-lagi diduga kuat bahwa semuanya itu
karena "mutu sumberdaya manusia Indonesia yang tidak mampu bersaing". Juga mungkin karena
faktor budaya kerja yang juga masih lemah dan tidak merata. Bisa dibayangkan dengan kondisi
krisis finansial global belakangan ini bisa-bisa posisi Indonesia akan bertahan kalau tidak ada
proses remedi yang tepat.

Produktivitas kerja jangan dipandang dari ukuran fisik saja. Dalam pemahaman tentang
produktifitas dan produktif disitu terkandung aspek sistem nilai. Manusia produktif menilai
produktivitas dan produktif adalah berdasarkan sikap mental. "Hari ini harus lebih baik dari
hari kemarin; hari esok harus lebih baik dari hari ini". Jadi kalau seseorang bekerja, dia akan
selalu berorientasi pada faktor produktivitas kerja di atas atau minimal sama dengan standar
kerja dari waktu ke waktu. Bekerja produktif sudah sebagai panggilan jiwa dan kental dengan
amanah. Dengan kata lain sikap tersebut sudah terinternalisasi. Tanpa diinstruksikan dia akan
mampu untuk bertindak produktif. Itulah yang disebut dengan budaya kerja positif (produktif).
Sementara itu budaya bekerja produktif mengandung komponen-komponen : (1) pemahaman
substansi dasar tentang bekerja. (2) sikap terhadap karyawanan. (3) perilaku ketika bekerja. (4)
etos kerja. (5) sikap terhadap waktu. Pertanyaannya apakah semua kita (sebagai bangsa
Indonesia) sudah berbudaya kerja produktif ?

Budaya kerja produktif di Indonesia, belum merata. Bekerja masih dianggap sebagai sesuatu
yang rutin. Bahkan di sebagian karyawan, bisa jadi bekerja dianggap sebagai beban dan paksaan
terutama bagi orang yang malas. Pemahaman karyawan tentang budaya kerja positif masih
lemah. Budaya organisasi atau budaya perusahaan masih belum banyak dijumpai. Hal ini jugalah
yang agaknya kurang mendukung terciptanya budaya produktivitas kerja. Perusahaan belum
mengganggap sikap produktif sebagai suatu sistem nilai. Seolah-olah karyawan tidak memiliki
sistem nilai apa yang harus dipegang dan dilaksanakan. Karena itu tidak jarang perusahaan yang
mengabaikan kesejahteraan karyawan termasuk upah minimumnya. Ditambah dengan rata-rata
pendidikan karyawan yang relatif masih rendah maka produktivitas pun rendah. Karena itu tidak
heran produktivitas kerja di Indonesia termasuk yang terrendah dibanding dengan negara-negara
lain di Asia. Mengapa bisa seperti itu ?

Hal demikian bisa dijelaskan lewat formula matematika sederhana. Produktivitas kerja
merupakan rasio dari keluaran/output dengan inputnya. Bentuk output dapat berupa barang dan
jasa. Sementara input berupa jumlah waktu kerja, kondisi mutu dan fisik karyawan, tingkat upah
dan gaji, teknologi yang dipakai dsan sebagainya. Jadi output yang dihasilkan sangat dipengaruhi
oleh faktor input yang digunakan. Dengan demikian produktivitas kerja di Indonesia relatif
rendah karena memang rendahnya faktor-faktor kualitas fisik, tingkat pendidikan, etos kerja, dan
tingkat upah dari karyawan. Hal ini ditunjukkan pula oleh angka indeks pembangunan manusia
di Indonesia (gizi, pendidikan, kesehatan) yang relatif lebih rendah dibanding di negara-negara
tetangga.
Seharusnya faktor-faktor tersebut perlu dikuasai secara seimbang agar para karyawan
mampu mencapai produktivitas yang standar. Pendidikan dan pelatihan perlu terus
dikembangkan disamping penyediaan akses teknologi. Kompetensi (pengetahuan, sikap dan
ketrampilan) karyawan menjadi tuntutan pasar kerja yang semakin mendesak. Dengan kata lain
suasana proses pembelajaran plus dukungan kesejahteraan karyawan perlu terus dikembangkan.
Etos kerja orang Indonesia adalah :

Munafik atau hipokrit. Suka berpura-pura, lain di mulut lain di hati.

Enggan bertanggung jawab. Suka mencari kambing hitam.

Berjiwa feodal, gemar upacara, suka dihormati daripada menghormati dan lebih
mementingkan status daripada prestasi.

Percaya takhyul, gemar hal keramat, mistis dan gaib.

Berwatak lemah, kurang kuat mempertahankan keyakinan, plinplan, dan gampang


terintimidasi. Dari kesemuanya, hanya ada satu yang positif, yaitu

Artistik; dekat dengan alam. Dengan melihat keadaan saat ini, ini merupakan kenyataan
pahit, yang memang tidak bisa kita pungkiri, dan memang begitu adanya.

Namun lanjutnya, dari 220 juta jiwa rakyat Indonesia, tidak semua memiliki etos kerja yang
buruk seperti tersebut di atas. Masih ada organisasi yang peduli dan mau mengubah etos kerja
yang disematkan ke bangsa Indonesia saat ini. Kita harapkan etos kerja yang diterapkan tersebut
bisa diimplementasikan dalam kerja nyata dan akan lebih baik lagi jika hal positif tersebut
menyebar kepada semua Organisasi kerja di seluruh Indonesia.

Lebih jauh lagi, bangsa Indonesia adalah negara yang kaya dan merupakan bangsa yang
besar. Indonesia dikarunia sumber daya alam yang melimpah ruah dan jumlah penduduk yang
besar. Dan itu merupakan modal untuk mewujudkan masyarakat yang makmur dan sejahtera.
Namun pada kenyataannya hingga saat ini rakyat miskin semakin bertambah banyak,
pengangguran semakin meningkat, dan banyak anak yang tidak mempunyai kesempatan untuk
bersekolah.

Salah satu faktor rendahnya etos kerja yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yaitu negatifnya
keteladanan yang ditunjukkan oleh para pemimpinnya. Mereka merupakan model bagi
masyarakat yang bukan hanya memiliki kekuasaan formal, namun juga kekuasaan nonformal
yang justru sering disalahgunakan.

Bukan bermaksud untuk membandingkan Negara kita dengan Negara Jepang, tetapi saya
berharap dengan adanya perbandingan ini diharapkan kita dapat mengambil kebaikan
didalamnya. Agar Negara kita bisa menjadi Negara yang memiliki etos kerja yang lebih baik lagi
dari sebelumnya. Dan bisa membuat Negara kita menjadi Negara yang maju sama seperti Negara
Jepang tersebut. Tentunya itu semua akan terjadi apabila kita memiliki kesadaran dari diri kita
masing-masing.

Anda mungkin juga menyukai