Anda di halaman 1dari 349

SAINS, FILSAFAT,

AGAMA, PANDEMI
sebuah diskursus pemikiran

Goenawan Mohamad | A.S. Laksana | Nirwan Ahmad Arsuka |


Ulil Abshar Abdalla | Hasanudin Abdurrakhman |
Taufiqurrahman | Jamil Massa | Dwi Pranoto | Lukas Luwarso |
Dunia Filsafat Ledalero | Nuruddin Asyhadie | Azis Anwar
Fachrudin | Ardi Kresna Crenata | F. Budi Hardiman | Fitzerald
Kennedy Sitorus | Farid Gaban | Budi Munawar Rachman |
Hamid Basyaib | Sabrang M Damar Panuluh | Bambang
Sugiharto | Asrudin Azwar | Mirza Jaka Suryanta | Agus Sudibyo
| Alois Wisnuhardana | Haryo Aswicahyono
Nama penulis disusun berdasarkan kronologi waktu penulisan dan akan
diperbarui setiap ada nama baru yang masuk

1
DAFTAR ISI
PENGANTAR DISKURSUS TUMBUH ......................................................................................... 4
I. 17 Mei: Goenawan Mohamad: “Pasti”................................................................................... 9
II. 20 Mei: Goenawan Mohamad: “Risalah Sains dan Beberapa Masalahnya” ................... 11
III. 28 Mei: A.S. Laksana: “Sains dan Hal-hal Baiknya” ...................................................... 13
IV. 31 Mei: Goenawan Mohamad: “Sains dan Masalah-masalahnya, Sulak dan Dua
Kesalahannya” .............................................................................................................................. 22
V. 1 Juni: Nirwan Ahmad Arsuka: “Sains dan Sport” .............................................................. 29
VI. 1 Juni: Ulil Abshar Abdalla: “Qutbiisme dan Kepongahan Saintifik: Mengapa Al-
Ghazali Masih Relevan Sekarang?” ........................................................................................... 31
VII. 1 Juni: Hasanudin Abdurakhman: “Uli, Sains Itu Tidak Pongah, Cuma Tidak Berbagi
Kebenaran”.................................................................................................................................... 36
VIII. 2 Juni: Taufiqurrahman: “Sains Memang Tidak Sempurna, Tapi Ia Adalah Jenis
Pengetahuan Terbaik yang Mungkin Kita Punya” ..................................................................... 39
IX. 2 Juni: Hasanudin Abdurakhman: “Kritik Kepada Saintisme” ....................................... 45
X. 2 Juni: Jamil Massa: tidak ada judul.................................................................................... 47
XI. 2 Juni: Dwi Pranoto: “Heidegger dan Pengabaian Goenawan Mohamad” .................. 49
XII. 3 Juni: Lukas Luwarso: Kepastian Sains dan Pencarian Kebenaran”.......................... 52
XIII. 2 Juni: Dunia Filsafat Ledalero: “Kasus Galileo Galilei”................................................. 60
XIV. 2 Juni: Nuruddin Asyhadie: tidak ada judul..................................................................... 70
XV. 3 Juni: Azis Anwar Fachrudin: “Saintisme Bukan Istilah Peyoratif” .............................. 71
XVI. 3 Juni: Goenawan Mohamad: “Tanggapan Terhadap Nirwan” ..................................... 75
XVII. 3 Juni: Ardi Kresna Crenata: “Sains, Agama, dan Kesalahan Kita”.......................... 78
XVIII. 3 Juni: Ulil Abshar Abdalla: “Antara Sains dan Soto” ................................................. 83
XIX. 3 Juni: F. Budi Hardiman: Saintisme dan Momok-momok Lain .................................... 88
XX. 4 Juni: Goenawan Mohamad: “Maaf, Tanpa Judul” ....................................................... 93
XXI. 5 Juni: Fitzerald Kennedy Sitorus: “Tentang Garis Demarkasi Antara Sains dan
Filsafat dan Kematian Metafisika” ............................................................................................. 100
XXII. 4 Juni: Farid Gaban: “Sains dan Pemihakan” ........................................................... 115
XXIII. 5 Juni: Nirwan Ahmad Arsuka: “Sains di Tengah Wabah Corona” ......................... 118
XXIV. 5 Juni: Budi Munawar Rachman: “Perbedaan Sains dan Saintisme” ..................... 124
XXV. 6 Juni: Hamid Basyaib: “Tentang Cicak Sains dan Ekor Filsafat”........................... 134
XXVI. 6 Juni: Husain Heriyanto: tidak ada judul .................................................................. 138
XXVII. 8 Juni: A.S. Laksana: Sains yang Meringkus, Manusia yang Tidak Aman ............ 144
XXVIII. 10 Juni: Sabrang Damar Panuluh: “Mempertanyakan Kebenaran Real World
Science dan Pengkhianatan Matematika” ................................................................................ 158

2
XXIX. 9 Juni: Lukas Luwarso: “Trilema Sains, Agama, dan Filsafat” ................................ 170
XXX. 9 Juni: Bambang Sugiharto: Masih Perlukah Sains, Filsafat, dan Agama” ............ 185
XXXI. 12 Juni: Goenawan Mohamad: “Sebuah Tempat yang Bersih dan Lampunya
Terang untuk Sains” ................................................................................................................... 202
XXXII. 12 Juni: Taufiqurrahman: “Menghindari Jebakan Skeptisisme dan Fideisme” ...... 215
XXXIII. 13 Juni: Asrudin Azwar dan Mirza Jaka Suryana: “Sains, Saintis, dan Vaksin
Corona: Jalan Keluar GM dan A.S. Laksana” .......................................................................... 226
XXXIV. 15 Juni: Hamid Basyaib: “Romantisisme dan Falasi Memedi Goenawan
Mohamad” 230
XXXV. 16 Juni: Hamid Basyaib: “Romantisisme dan Falasi Memedi Goenawan Mohamad”
240
XXXVI. 17 Juni: Hamid Basyaib: “Romantisisme dan Falasi Memedi Goenawan
Mohamad” 248
XXXVII. 19 Juni: Goenawan Mohamad: “Aku Mengkritikmu dengan Agenda yang
Sederhana”.................................................................................................................................. 258
XXXVIII. 19 Juni: Ulil Abshar Abdalla: “Tentang Korelasionisme” ...................................... 264
XXXIX. 19 Juni: Hamid Basyaib: “Romantisisme dan Falasi Memedi Goenawan
Mohamad” 266
XL. 20 Juni: Hamid Basyaib: “Romantisisme dan Falasi Memedi Goenawan Mohamad”
273
XLI. 21 Juni: Hamid Basyaib: : “Romantisisme dan Falasi Memedi Goenawan Mohamad”
280
XLII. 21 Juni: Lukas Luwarso: “Sains, Filsafat, dan Storytelling” ..................................... 291
XLIII. 22 Juni: Lukas Luwarso: “Sains, Filsafat, dan Storytelling” ..................................... 295
XLIV. 23 Juni: Agus Sudibyo: Sains, Instrumentalisasi, dan Keterbukaan Terhadap “Yang
Lain” 308
XLV. 24 Juni: Alois Wisnuhardana: “Sains, Transhuman, dan Digital Realm” ................ 313
XLVI. 24 Juni: Goenawan Mohamad: “Scientia? Sapienta? Sains dan Atheisme Baru”. 319
XLVII. 25 Juni: A.S. Laksana: “Humanisme, Sebuah Panggilan Moral” ............................ 327
XLVIII. 26 Juni: Lukas Luwarso: “Empati untuk Para Penafsir dan Pencari Makna” ..... 335
26 Juni: Haryo Aswicahyono: “Merenungkan Konflik Agama dan Sains”.............................. 344
XLIX. 27 Juni: Goenawan Mohamad: “Einstein, Tuhan….................................................. 346

3
PENGANTAR DISKURSUS TUMBUH

SAINS, FILSAFAT, AGAMA, PANDEMI:


KACAMATA TUKANG CATAT
Alois Wisnuhardana

Diskusi tentang sains, filsafat, agama, yang ramai di Facebook dan


media online non-mainstream ini dipicu oleh sebuah diskusi yang
melibatkan dokter-dokter Indonesia dan menghadirkan Goenawan
Mohamad (GM, Mas Goen) sebagai salah satu narasumber.

Mengambil tema “Berkhidmat pada SaAins” diskusi dalam webinar


yang kemudian diunggah di Youtube Channel Perhimpunan Dokter
Umum Indonesia (PDUI) kemudian menimbulkan polemik pemikiran
sangat serius, setelah A.S. Laksana mengulas apa yang disampaikan
oleh GM di forum tersebut. Sulak, panggilannya, juga mengutip
tulisan GM beberapa hari sebelumnya.

Jika video yang diunggah oleh PDUI itu baru ditonton kurang dari dua
ribu kali sejak diunggah 20 Mei hingga 3 pekan kemudian, tulisan
Sulak telah memancing banyak pemikir dan peminat topik tersebut
untuk masuk ke arena gelanggang. Berbeda nasibnya dengan video
diskusi yang kalah jauh dengan video “Keke Bukan Boneka” yang
sudah ditonton lebih dari 32 juta kali hanya dalam dua pekan sejak
diunggah.

Tapi diskusi tersebut menimbulkan kegairahan baru yang belum


pernah terjadi sebelumnya di ruang media non-mainstream dan
media sosial, yang memang lebih suka mengunyah hal-hal renyah dan
remeh. Puluhan orang masuk gelanggang dengan berbagai sudut
pandangnya, menyampaikan argumen dan pandangan tentang sains,
agama, dan filsafat, dan saling beradu kekayaan pemikiran yang
mereka tabung dari buku dan dokumen serta pengalaman hidup
masing-masing.

Sebagian memandang diskusi tersebut setara dengan “Polemik


Kebudayaan” pada tahun-tahun 1935, ketika Sutan Takdir Alisjahbana
memantik diskusi dan berdebat dengan Sanusi Pane, Purbatjaraka,
Tjindarbumi, Ki Hajar Dewantara, Adinegoro, dan lain-lainnya

4
tentang sebuah tema yang sangat hangat ketika itu: kebudayaan dan
pendidikan. Kongruen dengan diskusi hari ini, hanya saja dengan
topik yang berbeda.

Saya mengumpulkan pelbagai tanggapan dari para pihak yang muncul


tentang topik itu di lini masa Facebook. Tentu saja ada yang
tercecer, karena saya menggarap pekerjaan sambilan ini di tengah-
tengah kesibukan mahadahsyat belakangan ini lantaran harus terus-
terusan bekerja dari rumah, zoominar tiada henti sampai pusing
memilih dan mengikuti yang mana, lantaran tidak bisa bepergian ke
mana-mana oleh sebab pandemi.

Saya sempat dibujuk oleh salah seorang intelektual yang saya


hormati dan kawan sejak masih mahasiswa semasa di Jogja, M. Najib
Azca, untuk ikut masuk gelanggang.

Tapi saya menyadari keterbatasan literatur dan perhatian saya


belakangan ini tentang topik yang dibahas. Saya tahu tentang
Avogadro itu bukan dari kitab filsafat tapi dari buku pelajaran SMA
kelas 1 dulu. Tak pernah baca induknya. Saya kenal nama Niels Bohr,
Mike Rutherford, atau Werner Heisenberg, juga dari buku lusuh
terbitan Ganeca Exact Bandung lungsuran kakak saya. Bukan dari
buku Princeton atau Harvard atau apapun yang keren-keren itu. Saya
tahu Cartesius atau Rene Descartes, dari diktat mata kuliah
Matematika Dasar yang harus saya ulang itu.

Nama-nama dan buku-buku yang dikutip para penulis dalam uraian


mereka sebagian memang tidak asing, karena saya berlatar belakang
ilmu eksakta, tetapi rak buku saya lebih banyak berisi buku-buku
ilmu sosial dan filsafat. Sebagian lagi sangat gelap, bahkan melihat
wujud bukunya dalam rupa cetak atau PDF pun belum pernah.

Oleh karena itu saya memilih jalan lain, dengan mencoba


mengumpulkan serakan pemikiran tersebut ke dalam satu dokumen
yang kronologis.

Lantaran pangkal mulanya adalah diskusi webinar di 20 Mei itu, saya


transkripkan apa yang dikatakan GM di forum tersebut sebagai
pelengkap bahan.

Dan karena otak saya sering terganggu ketika melihat kata-kata


yang tak ditulis tepat secara harfiah oleh para penulis, saya

5
merapikan –sekali lagi merapikan saja—supaya dokumen ini bisa
dinikmati oleh orang-orang yang lebih luas. Menulis nama GM
misalnya, bahkan tidak mudah bagi sebagian orang. Gun atau Goen.
Moh atau Muh atau Moch atau malah Mokh? M dobel atau M tunggal?
Hasanudin atau Hasanuddin? Abdur atau Abdul? Rakhman atau
Rachman atau Rahman? Dan masih banyak lagi. Baru urusan nama.
Belum yang lain-lain, karena para pemikir itu, mungkin tidak begitu
hirau atas hal remeh-temeh begini.

Belum lagi perbedaan penulisan untuk pengertian yang sama. Ada


yang menulis filsuf, ada yang filosof, ada yang filsuf. Yang begini-
begini terasa mengganggu mata saya, dan saya paksa untuk dirapikan.

Ketika mulai memeriksa setiap kata, saya kemudian menemukan


beberapa pernyataan besar yang dikutip berkali-kali. Saya
mengunyahnya dan membahasakan dengan kata-kata saya sendiri:
“Ilmu itu mengungkapkan, tetapi sekaligus menyembunyikan dan
mereduksi.”

Pernyataan penting tersebut membawa saya ke ingatan masa silam.


Lagi-lagi waktu SMA, ketika belajar ilmu kimia, yang kemudian
membawa saya mendalami satu tingkat formal di universitas,
pelajaran pertama dari kimia yang masih nyantol di kepala adalah
unsur-unsur dan bagaimana reaksi-reaksinya. Dari unsur, saya
diajak untuk membedah bentuk kembangan dari unsur itu seperti ion,
molekul, senyawa ke kombinasi yang lebih luas, dan masuk ke
peneropongan mendalam dari unsur yang terdiri atas atom-atom dan
proton elektron neutron.

Makanya, modal utama dalam ilmu kimia adalah pengenalan lengkap


atas tabel sistem periodik unsur-unsur yang dulu dibagi ke dalam 8
golongan, dari yang Alkali, Alkali Tanah, Lantanida, Aktinida, sampai
dengan Logam Mulia. Yang tersisa dalam ingatan dari tabel itu hari
ini cuma unsur Golongan Alkali: H, Li, Na, K, Rb,Cs, Fr. Itupun karena
gurunya waktu itu mengajarinya dengan membuat jembatan keledai
dengan memanjangkannya dalam kalimat yang mudah diingat: (H)ari,
(Li)bur (Na)nti (K)ita (R)e(b)ut (C)inta (s)ejati (Fr)ansisca.

Saya tak tahu Fransisca sekarang ada di mana atau cinta sejatinya
dimiliki siapa.

6
Dan memang ketika mempelajari unsur dan menelanjangi hingga
elektron-proton, atau menyatukannya dalam reaksi rumit asam
basa, penguraian atau penggabungan atau menjadi senyawa, selalu
terjadi efek perubahan, reduksi, ataupun penghilangan. Tentu saja
energinya tidak hilang, karena hukumnya terumuskan James Perscott
Joule dan kemudian menjadi abadi hingga hari ini: “Energi tak dapat
diciptakan atau dihilangkan, hanya berubah bentuk.” Rumusan
tersebut menjadi dasar pertama hukum termodinamika.

Penghilangan itu disadari dan dicatat sebagai suatu metode eksak


untuk mengamati objek lebih dalam, yang dalam bahasanya Mas
Sabrang Damar Panuluh, merupakan observable world. Reaksi dalam
dunia Real world, tentu jauh lebih kompleks daripada yang diamati
dalam observable world, karena skala meraksasa dan variabelnya
makin rumit.

Karena keterbatasan ingatan yang sudah membentang lebih dari 30


tahun tersebut, makanya, saya memilih untuk mengompilasi
perdebatan para pemikir tersebut dan merasa inferior untuk masuk
gelanggang diskusi dan pemikiran. Pilihannya adalah mengunyah
semuanya, dan mencatat apa yang bernas dari gagasan dan
perdebatan mereka, menyatukannya menjadi dokumen yang tumbuh.

Di situlah saya merasa bisa menyumbang dalam diskursus besar ini.


Sekaligus belajar dan mengunyah tentang yang mereka percakapkan.
Jadi, yang begitu-begitu saja yang saya rapikan.

Upaya membuat dokumen tumbuh ini juga didorong oleh niat untuk
menemukan lebih banyak pemikiran. Siapa tahu jika disatukan dalam
dokumen yang tunggal akan menggugah lebih banyak orang untuk
masuk dan turun gelanggang meramaikan diskusi yang makin
dimudahkan berkat adanya teknologi hari ini. Produk sains yang
mereka bicarakan itu.

Maka, jika ada tautan pemikiran lain yang belum terekam dalam
catatan saya, silakan sampaikan utasnya di sini, sehingga serpihan
pemikiran dari banyak orang ini makin lengkap dan utuh. Syaratnya
cuma satu: identitas penulisnya jelas, dan pemikirannya inheren
dengan topik yang dibahas, sehingga orang-orang yang berminat
pada diskusinya makin terangsang untuk menyampaikan gagasannya.

7
Buku digital dari diskusi tersebut sudah ada dalam format PDF.
Catatan diskusi tersebut sudah saya rapikan ejaan dan strukturnya
secara urutan waktu dan sudah melampaui 300 halaman. Dengan
dipolakan dan diatur, siapapun yang tertarik, bisa ikut menikmati
dan lebih mudah mengikuti.

Jika ada yang berminat, silakan japri dan saya akan kirimkan
kompilasinya. Saya juga sangat berterima kasih jika ada yang
berkenan untuk mengirimkan tautan baru dari siapapun
penulis/pemikir yang ikut masuk dalam gelanggang diskusi.

Buat apa?

Supaya wacana media sosial kita juga diwarnai oleh perdebatan dan
diskusi yang lain. Yang lebih bernas. Yang lebih berisi. Bukan oleh
video seorang ustadz yang membahas lagu “Balonku” dan meletus
balon hijau atau “Naik-naik ke Puncak Gunung” di mana di situ
banyak pohon cemara.

Salam hangat.

8
I. 17 Mei: Goenawan Mohamad: “Pasti”

PASTI

Tujuan ilmu adalah kebenaran, bukan kepastian — Karl Popper

Dari abad ke abad, wabah adalah ketidakpastian. Juga sekarang. Ilmu


pengetahuan selalu menjanjikan jawab yang meyakinkan, tapi
bersamaan dengan itu juga hidup dari pertanyaan dan perdebatan.
Apa yang kemarin kita ketahui tentang COVID-19, hari ini tak sebulat
sebelumnya. Virus, yang, menurut seorang pakar “tak terdapat pada
manusia enam bulan yang lalu”, kini membingungkan mereka yang
bergulat mengalahkannya. Bahkan sekarang kembali diperdengarkan
suara bahwa bahaya COVID-19 sesungguhnya dilebih-lebihkan.

Saya termasuk yang berharap begitu, seraya kurang percaya — tapi


apa yang sebenarnya bisa saya percaya dengan pasti? Pernah
dikatakan sang virus tak akan membunuh anak-anak. Tapi baru-baru
ini di kota New York bocah berumur lima tahun mati dengan gejala
tertular. Pernah dikatakan, kita harus tinggal di rumah, tapi
kemarin ada berita, di rumah pun tak ada jaminan selamat.

“Di sepanjang zaman, banyak hal berubah dalam ilmu,” kata seorang
dokter ahli di Boston yang dikutip.

Washington Post pekan lalu ketika membahas COVID-19. “Teori


dibikin dan dibuang. Hipotesis ditarik dicabut.” Lalu ia
menambahkan: “Artinya kita sedang belajar.”

Tak ada yang baru dalam kata-kata itu, sementara ada yang
dilupakan, bahwa kita tak hidup “di sepanjang zaman”. Kita —apalagi
orang awam— dikepung ketidaktahuan, ditodong ancaman sakit dan
kematian, dan semua terjadi hari ini. Kita tak sempat meninjau
“sepanjang zaman”. Kita esok harus memutuskan: sampai kapan kota
kita ditutup? Sampai berapa lama kehidupan ekonomi dihentikan,
dengan korban yang tak jarang tragis, seperti seorang anak
perempuan India berumur 12 yang mati ketika harus berjalan kaki
kembali ke kampungnya — 150 km dari kota yang dilokdon dan
merebut sumber hidupnya?

9
Para pakar epidemi umumnya menjawab, (dengan segala niat baik,
juga dengan masygul): “Situasi ini masih akan lama…”

Jawaban itu memang tak dimaksudkan menghibur. Ia menyiapkan kita


agar tak punya ilusi. Tapi lebih jauh mungkin akan dipersoalkan:
ketika ilmu pengetahuan belum punya kesimpulan tentang sang
virus, waktu yang “lama” itu akan bisa mengubah rasa ketakpastian
jadi gugatan: bagaimana para ilmuwan secara moral mempertanggung
jawabkan apa yang mereka katakan dan sarankan, jika yang mereka
kemukakan belum sebuah kesimpulan? Bahwa mereka sebenarnya
“sedang belajar”?

Tak mudah menjawab ini —tak mudah bagi para ilmuwan. Sama tak
mudahnya bagi pengambil keputusan politik yang menentukan sebuah
kebijakan dengan dibantu ilmu pengetahuan yang masih bertanya-
tanya.

Apalagi dewasa ini mulai ada rasa cemas bahwa perlombaan riset di
pelbagai lembaga keilmuan — yang diukur KPI, “key performance
indicators” — pelan-pelan merusak semangat keilmuan. Para
ilmuwan didorong-dorong untuk mencapai hasil yang mengesankan.
Ilmu ingin cepat menjawab dan mulai malas bertanya. Para periset
yang berangkat dari rasa ingin tahu dipinggirkan, sementara
pimpinan lembaga yang harus mencari dana dan nama membayangi
tiap proyek peneletian. Di masa pandemi yang cepat menyebar ini,
ada desakan lain, yang bukan main-main: niat menyelamatkan
kehidupan.

Di masa lalu —yang berlum benar-benar lalu— ada jalan lain dari
situasi bertanya-tanya. Orang bisa menyodorkan sesuatu yang di
luar dirinya. Menanggungkan cemas di pundak sendiri memang
terlalu berat. Maka di Eropa, selama pandemi besar abad ke-13,
beberapa ribu orang Yahudi — ya, mereka orang lain— dibakar hidup-
hidup. Atau, orang merujuk nasib dan bintang-bintang. Atau, lebih
sering, Tuhan.

Ketika mereka sendiri resah atau takut menyalahkan Tuhan sebagai


pencipta malapetaka, para agamawan membangun theodice — sebuah
pembelaan buat Tuhan: Tuhan yang baik dan adil tentu selalu punya
alasan yang mulia. Ia menguji kita — juga menguji anak India yang
mati di jalan itu. Sebuah mala dalam bumi ciptaan Tuhan selalu

10
dimaksudkan baik, meskipun yang menikmati kebaikan umumnya
mereka yang bukan sekelas si gadis yang kelaparan itu…

Sebenarnya bisa juga manusia menolak menghalalkan mala yang


menimpanya — menolak bahwa itu “desain niat baik Tuhan”. Manusia
bisa menanggungkan mala tanpa pernah melihat rencana penghiburan
Ilahi.

Levinas, misalnya, filsuf Yahudi-Prancis itu, yang mengalami


kekejaman Hitler terhadap orang-orang Yahudi, lebih suka
berbicara tentang agama yang tanpa janji, tanpa penghiburan: “iman
tanpa theodice”.

Dengan kata lain, ia ingin menunjukkan ia bisa beriman kepada Tuhan


yang tidak senantiasa adil. Tanpa Tuhan yang demikian sekalipun,
toh manusia tetap bisa jadi saksi dan pelaku kebaikan — tetap bisa
mengalami keadilan sebagai “ruh” yang tak pernah jera membayangi
dan menyeru, dalam sejarah yang fana.

Tapi ini tak ringan dizinjing. Di zaman modern, penjelasan-


penjelasan berubah, bahkan sejak masa Shakespere di abad ke-16,
ketika wabah datang berkali-kali. Salah satu tokoh dalam lakon
“All’s Well That Ends Well” berkata: “Kini dikatakan, mukjizat telah
berlalu; kini kita punya orang-orang yang berfilsafat, untuk
membuat hal-hal yang supranatural dan tanpa sebab menjadi sesuatu
yang modern dan biasa saja.”

Ada yang didapat di masa modern itu, tapi juga ada yang hilang. Kita
tak menyerah ke sebuah ketakutan yang tak kita pahami, tapi dengan
itu “kita meremehkan rasa ngeri, berlindung dalam sesuatu yang
seakan-akan pengetahuan”, ensconcing ourselves into seeming
knowledge.

Kata “seakan-akan” di sana terasa ngilu, atau lucu, atau jujur.

II. 20 Mei: Goenawan Mohamad: “Risalah Sains dan Beberapa Masalahnya”

RISALAH SAINS DAN BEBERAPA


MASALAHNYA

11
Disampaikan pada webinar Hari Kebangkitan Nasional dengan tema
“Berkhidmat pada Sains”

Saya bukan saintis dan tidak punya latar belakang pendidikan sains.
Saya akan susah payah berbicara, dan lebih susah-payah lagi
berkhidmat kepada sains. Bagi saya sains seperti halnya kesenian,
dunia yang lebih saya kenal, bukanlah sebuah bidang kerja atau
keahlian, yang harus disikapi dengan khidmat tetapi dengan kritis.

Tadi disebut peran sains dalam pandemi ini, dan memang menjadi
sangat penting di Indonesia dan juga di mana-mana. Keputusan
publik yang penting dalam pandemi ini umumnya didasarkan pada
pendapat pada ilmuwan. Terutama para epedemiologist dan
virologist, meskipun sains bukan segala-galanya.

Ada satu percakapan yang melibatkan Einstein di Princeton tahun


1946. Para saintis ditanya, “Anda bisa membuat bom atom. Bisa
menelaah struktur atom, tapi tidak bisa mendevice secara politik,
yang membikin atom tidak merusak kita?”

Einstein menjawab: “Itu sederhana. Sebab politik lebih susah


daripada fisika.”

Einstein tidak mengglorifikasi sains. Dan memang tidak sepatutnya


diglorifikasi. Dalam banyak hal sains itu pemilik problem. Dan itu
bukan soal baru. Sains itu prestasinya luar biasa dan karena itu
memperoleh otoritasnya.

Dalam pemikiran mutakhir, mulai abad ke-19 mulai ada kritik


terhadap sains. Martin Heidegger mengatakan: “Science doesn’t
think.”

Pada mulanya adalah ketika Galileo Galilei mengubah paradigma


sains berdasarkan matematika. Edmund Husserl mengatakan Galileo
dalam menemukan paradigma matematika dan pada saat yang sama
objek-objek dalam kehidupan menjadi angka-angka dan terlepas
dari akar-akar primordialnya dalam kehidupannya. Lalu sains
disibukkan menjadi alat untuk mencapai tujuan. Akhir-akhir ini
malah terjadi kompetisi, bukan dimulai oleh para periset, tetapi

12
oleh badan-badan atau ketua badan yang mengusahakan funding dan
sebagainya, dan itu diarahkan untuk memecahkan soal.

Ilmu atau sains punya dua peran, yaitu menafsirkan dunia dan
mengubah dunia. Sekarang menafsirkan dunia sudah disisihkan
menjadi mengubah dunia. Dengan prestasi yang hebat, sains kemudian
membuat jarak dengan kehidupan. Ilmu bukan tidak berguna, justru
berguna, tetapi ada hal-hal lain yang terlepas dari ilmu. Einstein
bilang sederhana dan agak lucu, bahwa politik lebih sukar dari ilmu.
Ada hal-hal yang lebih rumit/complicated yang tidak dapat
dipecahkan oleh ilmu.

Jika ilmu mengklaim bisa menjadi agul-agul untuk menyelesaikan


semuanya, termasuk mengatasi pandemi, saya kira agak sombong.
Popper bilang, ilmu menuju kebenaran, bukan kepastian. Ketika
tindakan harus dilakukan, kepastian diperlukan. Tetapi kepastian
akan selalu luput oleh ilmu. Problemnya adalah ilmu tidak
memberikan formula yang selesai dan di situlah kekuatan ilmu.

Bukan keulungan pemikiran ilmu melainkan penyelamatan manusia,


dan itulah yang dilakukan oleh dokter-dokter STOVIA, yang
dipersonifikasi oleh Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo. Dokter Tjipto
adalah pahlawan yang melawan wabah.

Lulusan STOVIA belum dianggap dokter oleh orang-orang Belanda.


Dalam melawan wabah, komitmennya adalah menyelamatkan orang
yang sengsara, bukan mengunggulkan ilmu. Mencari jawab pada
COVID-19 juga repot. Yang paling baik adalah yang dilakukan dokter
dan perawat di rumah sakit. Itu sumbangan terbesar, bukan keilmuan
tetapi pengabdian.

III. 28 Mei: A.S. Laksana: “Sains dan Hal-hal Baiknya”

SAINS DAN HAL-HAL BAIKNYA


Catatan untuk Goenawan Mohamad

“Semua yang hidup pasti mati; jika tidak sekarang besok, jika tidak
besok lusa, pekan depan, bulan depan, tahun depan, atau sekian tahun

13
lagi, tetapi kematian pasti tiba. Itu penemuan terbaik manusia
tentang dirinya,” kata Steve Jobs dalam ceramahnya di Stanford
University, 12 Juni 2005.

Dan itu masih penemuan terbaik, setidaknya sampai saat ini.

Cerita selanjutnya, berkenaan dengan apa yang terjadi setelah


kematian, tergantung pada informasi yang Anda yakini, atau, lebih
tepat, yang diyakini oleh orang tua Anda: Pada umumnya tiap-tiap
orang meyakini apa yang diyakini oleh orang tua masing-masing.

Jika orang tua Anda meyakini informasi bahwa orang yang mati akan
pergi ke surga atau neraka, Anda akan cenderung meyakini pula
kebenaran informasi itu. Dalam keyakinan ini, kematian hanyalah
awal dari kehidupan yang sebenarnya di mana seseorang akan
mendapatkan berkah sepanjang hidup atau siksa yang kekal.

Kita tahu itu bukan satu-satunya informasi tentang keadaan


manusia setelah ajal. Adherents, sebuah lembaga independen dan
non-religius yang memantau jumlah dan skala agama-agama,
mencatat ada sekitar 4.300 agama di muka bumi; dari mereka kita bisa
mendapatkan beragam informasi tentang apa yang terjadi setelah
orang meninggal. Dari pemeluk scientology kita mendapatkan
informasi bahwa setelah meninggal manusia akan dijemput oleh
piring terbang.

Apa pun informasi yang Anda yakini, kemungkinan besar Anda tidak
memilih sendiri keyakinan itu. Setidaknya, itu yang terjadi dalam
tradisi para pemeluk agama-agama besar, Kristen, Islam, Hindu,
Budha, dan Yahudi; anak-anak tidak memilih sendiri agama mereka.
Orang tua yang memilihkan agama untuk mereka sejak mereka kanak-
kanak atau bahkan sejak hari pertama kelahiran.

Ada kasus-kasus orang memilih sendiri setelah dewasa, berpindah


dari satu agama ke agama lain, tetapi itu hanya kasus individual dan
jumlahnya tidak banyak. Perpindahan massal hanya terjadi karena
penaklukan—sebuah tindakan suci di masa lalu, tetapi terkutuk jika
dilakukan sekarang.

***

14
Sekalipun kita memiliki keyakinan bahwa manusia pasti mati,
kebanyakan dari kita menc ointai kehidupan. Kita memutuskan
berdiam di rumah saja di masa Corona, mengikuti informasi yang
disampaikan oleh para saintis, karena kita masih ingin
mempertahankan kehidupan.

Ada satu-dua perlawanan di masa-masa awal; beberapa muncul dalam


bentuk celoteh serampangan (misalnya "COVID-19 tidak masuk ke
Indonesia karena setiap hari kita makan nasi kucing, jadi kebal.”),
dan beberapa bersandar pada argumen keagamaan bahwa kita tidak
perlu takut pada Corona, kita hanya perlu takut pada Tuhan, bahwa
Tuhan lebih besar dari Corona, bahwa Tuhan punya kehendak baik
dengan menurunkan wabah.

Mereka percaya diri karena tidak memiliki informasi tentang apa


yang sedang mereka hadapi. Mereka membuat kelakar atau tindakan
sembrono tanpa menyadari risikonya.

Pada masa lalu, ketika agama-agama menjadi penguasa semua


informasi tentang kehidupan dan kematian, dan bersamaan dengan
itu pemimpin agama memiliki kekuasaan tak terbendung untuk
memerintah dan menghukum, seruan sekusut apa pun dari pemuka
agama akan diterima sebagai kebenaran.

Goenawan Mohamad, dalam salah satu Catatan Pinggir-nya,


menyampaikan bahwa di masa lalu, ketika sampar mewabah, salah
satu ikhtiar religius untuk mengakhiri penderitaan akibat wabah
tersebut adalah dengan membakar hidup-hidup orang Yahudi.

Hari ini kita menganggap itu tindakan gila.

Kegilaan yang sama tidak mungkin dilakukan lagi sekarang, di saat


kita menghadapi wabah Corona. Meski ada gejala-gejala
serampangan yang disebabkan oleh ketidaktahuan yang keras kepala,
tetapi jelas kita tidak mungkin membakar manusia, dari ras mana
pun, dan meyakini dengan itu wabah akan berakhir. Kita bahkan tidak
akan sudi melakukan pembakaran kalaupun unsur manusia diganti
dengan tujuh ekor anak ayam.

Informasi-informasi saintifik membuat pengetahuan kita membaik


dan momentum berjangkitnya wabah, disadari atau tidak, telah
menjadi pendorong yang efektif bagi penerimaan kita terhadap

15
sains. Tidak ada informasi yang bisa diandalkan kecuali yang datang
dari kalangan sains, dan yang terjadi kali ini sungguh menakjubkan:
Orang tidak mengamuk ketika mereka diminta menghentikan
kegiatan-kegiatan keagamaan yang bersifat kerumunan. Para
pendakwah yang keras menjadi lebih pendiam. Mereka mematuhi
keputusan-keputusan yang dibuat berdasarkan informasi saintifik.

Kepatuhan umum itu tampaknya membangkitkan rasa percaya diri di


kalangan ilmuwan kita dan untuk kali pertama kita menyaksikan
munculnya niat untuk memberi apresiasi tinggi dan terang-terangan
kepada sains: Ikatan Dokter Indonesia memperingati hari
kebangkitan nasional, 20 Mei, dengan diskusi bertema “Berkhidmat
pada Sains”, dengan pembicara Farid Anfasa Moeloek (bekas Menteri
Kesehatan), Sangkot Marzuki (Direktur Lembaga Biologi Meolekular
Eijkman, 1992-2014), dan Goenawan Mohamad (penulis Catatan
Pinggir).

Dibandingkan dua pembicara lainnya, Goenawan cenderung tidak


sepakat pada tema diskusi sore itu. Dan kegundahannya sudah tampak
sehari sebelum diskusi. Dalam poster pengumuman, ia mula-mula
tercantum akan membawakan materi “Risalah Sains: Ikhtiar
membangun peradaban.” Kemudian ia meralat dan mengganti
materinya dengan judul “Risalah Sains dan Beberapa Masalahnya.”

Diskusi berjalan datar, dengan sopan-santun religius yang memakan


waktu di antara orang-orang yang diminta berpendapat. Beberapa
dari mereka, termasuk moderator diskusi, berbicara seolah dengan
setelan otomatis: Mereka memulai pembicaraan dengan puji syukur
ke hadirat Allah dan salawat dan salam kepada nabi—seperti dalam
pengajian.

Ajakan untuk berkhidmat pada sains itu kemudian disanggah oleh


Goenawan Mohamad, yang lebih memilih berkhidmat pada Hegel dan
Heidegger dan para filsuf romantik Jerman, dengan menyampaikan
anekdot tentang Einstein. “Politik lebih rumit dibandingkan fisika,”
kata Einstein sebagaimana dituturkan oleh Goenawan. Mungkin ia
ingin menyampaikan, dengan anekdot itu, bahwa sains tidak perlu
dilebih-lebihkan, buktinya Einstein sendiri mengatakan politik
lebih rumit.

16
Sebetulnya tidak mengejutkan bahwa Goenawan berpendapat seperti
itu. Dalam beberapa kolom Catatan Pinggir sepanjang berkecamuknya
wabah, ia telah beberapa kali menyatakan sikap skeptisnya, dan
mungkin ketidakpercayaannya, terhadap sains. Ia, seperti biasa,
rajin memberi kita rujukan ke masa lampau, membandingkan wabah
berabad-abad lalu dengan wabah hari ini, dan menyimpulkan bahwa
situasinya masih sama. “Kembali Entah yang menyembul ke depan,”
tulisnya dalam kolom “Entah.”

Dalam kolom lainnya yang berjudul “Pasti” ia membuat pernyataan


sewenang-wenang tentang ilmu pengetahuan: “Ilmu pengetahuan
selalu menjanjikan jawab yang meyakinkan, tapi bersamaan dengan
itu juga hidup dari pertanyaan dan perdebatan. Apa yang kemarin
kita ketahui tentang COVID-19 hari ini tak sebulat sebelumnya.”

Ia melupakan karakteristik sains melalui pernyataan itu. Sains


tidak pernah menjanjikan kepastian, tidak pula mengklaim “akulah
jawabnya” sebagaimana yang ia tulis untuk menutup kolom “Entah”.
Kebenaran dalam sains adalah kebenaran mutakhir, bukan kebenaran
akhir, sebab tidak ada kebenaran final dalam sains. Dengan
karakteristik sains yang seperti itu, pernyataan selalu ada entah
tentu akan benar dengan sendirinya. Itu hampir sebuah truisme.

Dalam pandangannya yang muram dan sengit terhadap sains, ia


seperti sengaja melupakan bahwa pengetahuan dan kecakapan
manusia saat ini sudah sangat membaik, dalam banyak hal. Di masa
lalu keputusan-keputusan krusial sering didasarkan pada informasi
yang tidak akurat.

Di masa sekarang, dengan sains yang selalu ia cibir, manusia mampu


mendeteksi secara cepat apa penyebab wabah, seperti apa bentuk
virusnya, dan apa yang harus dilakukan untuk mencegah
penularannya sementara solusi yang manjur diupayakan. Dan solusi
paling manjur hanya bisa didapatkan ketika informasi yang dimiliki
sudah memadai.

Apa yang oleh Goenawan dikeluhkan sebagai ketidakpastian


informasi—“Apa yang kemarin kita ketahui tentang COVID-19 hari
ini tak sebulat sebelumnya.”—sesungguhnya adalah proses yang
wajar di kalangan saintis untuk mendapatkan informasi seakurat
mungkin.

17
Dan bukankah perbaikan informasi dalam hitungan “kemarin” jauh
lebih baik ketimbang ralat yang dilakukan ketika semuanya sudah
terlambat? Kita bisa membandingkan kecepatan ini dengan
kelambatan dalam kasus apa saja yang terjadi berabad-abad lalu.
Dengan kasus Jeanne d’Arc di abad kelima belas, misalnya. Gadis 19
tahun itu dinyatakan bid’ah dan dibakar hidup-hidup di kayu salib
dan vonis terhadapnya baru diralat oleh Paus dua puluh satu tahun
kemudian melalui pengadilan ulang. Lima abad setelah kematiannya,
di abad ke-20, ia ditahbiskan sebagai orang suci agama Katolik.

Saya pikir kesanggupan manusia untuk menangani urusan-urusan


besar dan kecepatan menemukan informasi-informasi baru yang
lebih akurat untuk pemecahan masalah adalah sebuah bukti
kemajuan. Dalam urusan wabah, kita tidak bisa menyamakan respons
ilmu pengetahuan hari ini dengan keputusasaan manusia di abad ke-
14 menghadapi sampar yang berlangsung dua puluh tahun dan
membunuh antara 75-200 juta orang, atau membandingkannya dengan
cara orang menangani wabah cacar dan dua kali pes di Meksiko
sepanjang abad ke-16 yang membunuh 22 juta orang di negeri itu.

Yang membedakan antara wabah-wabah di masa lalu dan wabah hari


ini adalah kualitas informasi tentang cara menghadapinya. Di masa
lalu informasi untuk menangani wabah datang dari kalangan agama
dan tindakan yang dilakukan bisa di luar nalar. Waktu yang panjang
dan jumlah orang yang mati menunjukkan bahwa mereka membuat
keputusan dengan informasi yang meleset. Di masa sekarang
informasi datang dari ilmuwan sains dan, berdasarkan itu, kita
melakukan hal-hal yang relevan untuk mencegah penularannya.

Tentu masalah akan selalu ada; selama manusia hidup dan melakukan
aktivitas, selalu akan terbuka kemungkinan munculnya masalah, dan
itu bahkan bisa terjadi dalam situasi normal, tidak hanya ketika
wabah.

Namun, lepas dari ketidaksukaan pribadi Goenawan Mohamad


terhadap sains, pesannya tetap bisa disepakati bahwa sains harus
dikritisi, terutama agar penerapannya tidak merusak kehidupan
(bom atom, pemanasan global, penggundulan hutan adalah sedikit
contoh dari efek buruk kemajuan teknologi, dan kemajuan teknologi
adalah anak kandung sains).

18
Yang terasa mengganggu dalam diskusi “Berkhidmat pada Sains”
adalah cara ia merendahkan derajat sains dengan mengajukan
anekdot tentang Albert Einstein dan politik yang lebih rumit
dibandingkan fisika. Itu sebuah simplifikasi, jika bukan falasi—
dalam penalaran kita mengenalnya sebagai kekeliruan appeal to
authority.

Hanya karena Einstein berkata seperti itu, bukan berarti fisika, dan
secara umum sains, adalah hal yang remeh-temeh. Ada banyak hal
lain di luar politik yang bagi Einstein niscaya lebih rumit ketimbang
fisika, misalnya merenda sweater musim dingin, membuat kruistik,
atau mengarang novel.

Saya tidak tahu seserius apa ajakan untuk berkhidmat pada sains.
Mungkin itu efek dari kepercayaan diri yang naik, atau semacam
euforia, di kalangan saintis karena di masa pandemi ini orang betul-
betul menaruh kepercayaan dan harapan kepada sains. Mungkin juga
itu sekadar percakapan menunggu waktu buka puasa. Namun, serius
atau tidak serius ajakan itu, ketika seseorang yang dianggap pemikir
dihadirkan dalam diskusi, ia tentu dihadirkan tidak untuk
menyodorkan falasi.

***

Sejarah manusia membuktikan bahwa informasi adalah sumber


kekuatan, juga sumber kekuasaan. Di masa ketika seorang pemimpin
dipilih dengan prinsip primus inter pares atau yang paling unggul di
antara sesamanya, penguasa informasi selalu menempati posisi
tinggi di dalam masyarakat. Manusia menghargai dukun dan shaman
sebab mereka dianggap menguasai informasi dari sumber yang tak
bisa dijangkau oleh kebanyakan orang. Mereka menguasai informasi
dari langit atau dari makhluk-makhluk gaib.

Berkembangnya agama-agama besar makin memperkuat posisi


pemilik informasi dari langit atau dari makhluk gaib ini. Kekuasaan
mereka besar dan informasi yang mereka sampaikan menjadi
kebenaran mutlak. Kita tahu bagaimana gereja di Eropa pernah
begitu berkuasa, tak bisa dibantah, dan orang-orang yang
menyampaikan informasi yang tak sejalan dengan informasi gereja
adalah pendosa yang harus diluruskan atau dibasmi.

19
Para filsuf dan pemikir dan saintis generasi awal adalah orang-
orang yang sering menjadi korban, sebab berpikir adalah tindakan
yang membahayakan iman dan bisa menyesatkan orang banyak dan
begitu pula temuan-temuan sains.

Galileo Galilei, seorang filsuf, astronom, dan figur sentral dalam


revolusi sains abad ke-17, harus mengakui dosanya kepada gereja
karena menyatakan dukungan terhadap teori Copernicus bahwa
matahari berada di pusat semesta dan bumi mengelilingi matahari,
sementara gereja mengimani hal yang sebaliknya bahwa matahari
mengelilingi bumi.

Pada 22 Juni 1633, setelah empat kali dipanggil oleh lembaga


inkuisisi, ia dipaksa berlutut untuk mendengarkan kesalahannya
dibacakan. Selanjutnya ia harus mengucapkan dan menandatangani
sumpah mengakui kesalahan, mengutuk ajaran sesat, dan memohon
pengampunan:

“Saya telah diadili secara keras sebagai tersangka bid'ah, yaitu


telah mempercayai bahwa matahari berada di pusat semesta dan
tidak bergerak, dan bahwa bumi tidak berada di pusat dan ia
bergerak. Namun, saya berharap sudilah kiranya Yang Mulia dan
semua orang Kristen yang taat menghilangkan semua kecurigaan
terhadap saya. Saya menyatakan dengan hati dan iman yang tulus
bahwa saya mengutuk dan membenci kesalahan dan ajaran sesat yang
disebutkan, dan semua kesalahan, bid'ah, dan sekte yang
bertentangan dengan Gereja Katolik Suci.”

Itu adegan yang mencabik-cabik emosi untuk dibayangkan di masa


sekarang.

Tetapi sains tak bisa dibendung, bahkan oleh iman yang gemar
menghukum. Para saintis terus memproduksi informasi baru, dan
banyak informasi yang mereka sampaikan telah menggugurkan
informasi-informasi agama dan juga spekulasi filsafat. Apa boleh
buat, itu tak terhindarkan. Agama adalah sistem tertutup yang
informasi-informasinya tidak bisa direvisi.

Filsafat, meski acapkali bertentangan dengan agama, kurang lebih


serupa juga dalam pengertian bahwa tiap-tiap aliran filsafat
berusaha menegakkan dirinya sendiri. Keduanya, baik agama maupun
filsafat, sama-sama berupaya membangun monumen masing-masing.
20
Bedanya, agama menyampaikan informasi-informasi yang sangat
mudah dicerna dan menyandarkan kebenarannya pada iman para
pemeluk, sementara filsafat menyodorkan informasi yang rumit dan
membuktikan kebenaran falsafinya dengan penalaran yang ketat.

Dari jenis-jenis informasi yang disodorkan, filsafat jelas


menawarkan formulasi yang lebih canggih dibandingkan agama.
Tetapi dalam cara memproduksi informasi, keduanya masih serupa:
masing-masing berdiri sendiri; masing-masing sempurna, atau
merasa sempurna, dengan keadaan semula. Dalam perumpamaan yang
paling dekat dengan situasi hari ini, keduanya ibarat komputer
stand-alone (tidak terhubung ke jaringan atau perangkat komputer
lain, ed).

Dibandingkan dengan mereka, sains adalah komputer jaringan. Dan


memang kekuatan sains adalah kekuatan jaringan. Dalam situasi
pandemi saat ini, ilmuwan satu dan ilmuwan lain saling terhubung
seperti komputer yang terhubung dalam satu jaringan besar. Tetapi
dalam situasi apa pun, mereka bekerja seperti itu. Temuan-temuan
saat ini adalah kelanjutan, dan penyempurnaan, dari temuan-temuan
sebelumnya.

Informasi-informasi saintifik bersifat falsifiable —ia bisa


didukung kebenarannya maupun diuji kesalahannya melalui
penalaran, eksperimen, riset, maupun uji laboratorium.
Karakteristik falsifiability itulah yang menyebabkan kebenaran
dalam sains tidak pernah final. Ia, karenanya, tampak seperti sebuah
proyek raksasa yang melibatkan banyak orang dari banyak tempat.

Yang mungkin mengecewakan bagi banyak orang adalah sains tidak


memberi makna pada kematian dan tidak pula mengurusi hakikat
keberadaan manusia di muka bumi. Ia tidak akan pernah menawarkan
informasi-informasi spekulatif tentang kematian, sepuitik apa pun
kedengarannya. Dan ia juga tidak menyediakan tempat bagi takhayul,
sebuah gejala yang oleh Goethe dinyatakan sebagai “puisi bagi
kehidupan sehari-hari.”

Goethe benar dengan perumpamaan itu. Pemujaan terhadap batu-


batuan, misalnya, atau ritual menyambut roh nenek moyang yang
datang tiap Rabu malam, atau arak-arakan besar untuk
mengantarkan jenazah mengikuti tradisi kuno —Anda bisa

21
menambahkan contoh lain sampai tak terhingga— adalah perbuatan-
perbuatan yang puitik. Para penggemar fotografi akan mendapatkan
gambar-gambar indah dari ritual-ritual semacam itu.

Para ilmuwan sains memandang kematian, dan segala kelemahan


ragawi manusia, sebagai tantangan. Mereka menganggap kematian
adalah problem teknis, dan untuk setiap problem teknis niscaya ada
solusi teknisnya— hal yang mudah dianggap sebagai sikap takabur
dalam pandangan orang beriman.

Cara pandang para saintis pun mungkin terasa merendahkan derajat


kemanusiaan: mereka melihat manusia, makhluk dhaif yang
mendefinisikan dirinya sebagai wakil Tuhan di bumi, tidak lebih
hanyalah mesin. Namun justru cara pandang seperti itulah yang
memungkinkan sains mengembangkan prosedur dan teknologi
pencangkokan hati, ginjal, jantung, dan sebagainya; kurang lebih
sama dengan montir mengganti karburator, busi, atau knalpot yang
sudah jebol.

Mereka belum berhasil dalam proyek ambisius untuk mewujudkan


kehidupan yang abadi, dan, kalaupun berhasil, kita mungkin tidak
akan mengalami masa itu. Untuk saat ini, kita tetap harus menerima
kefanaan kita. Keberhasilan sains sejauh ini baru pada tahap
memperpanjang harapan hidup manusia. Selama dua abad terakhir,
harapan hidup rata-rata telah melonjak dari di bawah 40 menjadi 72
tahun di seluruh dunia, dan lebih dari 80 di beberapa negara maju.
Tetapi ini pun sudah merupakan capaian yang patut disyukuri,
termasuk oleh penggemar filsafat: Sains membuat mereka memiliki
umur lebih panjang untuk menekuni pemikiran dan membaca buku-
buku kesukaan.

***

IV. 31 Mei: Goenawan Mohamad: “Sains dan Masalah-masalahnya, Sulak dan Dua
Kesalahannya”

SAINS DAN MASALAH-MASALAHNYA, SULAK


DAN DUA KESALAHANNYA
22
Jawaban untuk A.S. Laksana

Saya senang membaca A.S. Laksana menulis sebuah esai untuk saya:
sebuah kritik atas pandangan saya tentang sains. Saya juga senang
membaca dua kesalahannya di situ —plus satu kekurangan yang
penting.

***

Kesalahan pertama: A.S. Laksana (selanjutnya saya sebut lebih akrab:


“Sulak”) mengatakan bahwa “Goenawan Mohamad lebih berkhidmat
pada Hegel dan Heidegger dan para romantik Jerman”.

Saya yakin Sulak menggunakan kata “berkhidmat” sebagai ucapan


hiperbolis. Itu boleh saja, meskipun harus segera saya katakan
bahwa Hegel dan Heidegger dua orang filosof, yang dihormati dengan
sedikit berbeda dari bintang film: apresiasi saya tak pernah
berdasarkan orangnya, melainkan karyanya — bahkan karyanya yang
tertentu saja. Jika saya misalnya menyukai pemikiran Heidegger
tentang lukisan Paul Klee, Cezanne, atau puisi Hölderlin, juga
kritiknya atas sains, tak berarti saya akan menyetujui, apalagi
berkhidmat, kepada seluruh pandangannya yang sering tak mudah
saya pahami.

Yang pasti: saya tak cocok dengan pemikiran Hegel. Entah dari
Google mana Sulak menemukan informasi bahwa saya “[lebih]
berkhidmat pada Hegel”. Sebab, dalam pelbagai soal, saya seorang
“anti-Hegelian”, meskipun tidak galak.

Marxisme, terutama, melalui pemikiran Theodor W Adorno, membuat


saya menolak sepenuhnya idealisme pemikir abad ke-19 yang
menulis “Phänomenologie des Geistes” ini. Hegel, misalnya,
mengatakan bahwa semua yang aktual, yang ada, “wirklich”, adalah
rasional. Saya sepakat dengan Adorno bahwa ini sejenis sudut
pandang totaliter yang tak memungkinkan yang beda, yang ganjil,
yang tak disangka-sangka.

Lalu bagaimana saya disebut “berkhidmat pada Hegel”, apalagi dalam


pembicaraan tentang sains? Saya tahu sedikit pandangan Hegel
tentang agama dan seni, tapi sama sekali tak tahu bagaimana ia
memandang sains.

23
***

Kesalahan kedua: Sulak mengira saya orang yang percaya bahwa sains
menjanjikan kepastian. Di sini, ia telah sangat salah membaca.

Sebab inilah yang saya tulis dalam Catatan Pinggir (yang juga
dikutip Sulak): “Ilmu pengetahuan selalu menjanjikan jawab yang
meyakinkan, tapi bersamaan dengan itu juga hidup dari pertanyaan
dan perdebatan“.

Bagi Sulak, kalimat ini adalah“pernyataan sewenang-wenang tentang


ilmu pengetahuan”. Padahal yang saya maksudkan adalah sebuah
paradoks: di satu pihak ilmu pengetahuan menjanjikan jawab yang
meyakinkan (catat: saya tak memakai kata ‘kepastian’), di lain pihak
ia tidak akan hidup tanpa pertanyaan dan perdebatan. Dengan kata
lain, bagi saya, pertanyaan dan perdebatan adalah sesuatu yang
esensial dalam kehidupan sains.

Dalam hal ini, saya rada Popperian. Meskipun prinsip falsifikasi


Popper bisa diperdebatkan cocoknya buat semua cabang ilmu, tapi
dengan itu tokoh filsafat ilmu ini menuntut sains berkembang
dengan “rigour” yang tanpa kompromi: dengan “rasionalisme kritis”,
para ilmuwan harus siap membantah teori mereka sendiri. Teori
ilmiah bagi Popper selalu berada dalam keadaan “belum dibantah”.
Penemuan ilmu selalu bersifat “provisional”. Kepastian bukan
tujuannya. Tulisan saya di halaman Facebook saya 17 Mei yang lalu
bahkan saya awali dengan kutipan dari Popper: “Tujuan ilmu adalah
kebenaran, bukan kepastian”.

Jika Sulak sempat membaca buah pikiran Popper barang sedikit, ia


akan menemukan kalimat-kalimat yang sejajar penuh dengan
pandangan saya:

“Despite my admiration for scientific knowledge, I am not an


adherent of scientism. For scientism dogmatically asserts the
authority of scientific knowledge; whereas I do not believe in any
authority and have always resisted dogmatism; and I continue to
resist it, especially in science. I am opposed to the thesis that the
scientist must believe in his theory…”

***

24
Pandangan Popper ini diperlukan kini, sebagai “caveat” kepada sains.
Ketika sains menjadi panglima — ketika masyarakat menonjolkan
(“asserts”) otoritas pengetahuan ilmiah untuk menjelaskan pelbagai
hal — sains akan terdorong mengedepankan kepastian, bukan masuk
ke dalam proses pencarian kebenaran. Otoritas tanpa kepastian sama
dengan hakim garis tanpa garis.

Seperti dalam usaha mengatasi epidemi sekarang: otoritas, bahkan


supremasi, epidemologi akan membuat dia tidak diharapkan
memaklumkan, seraya mengutip Popper, bahwa sainsnya sebenarnya
”the art of systematic over-simplification”. Dalam posisi sebagai
sumber utama, ilmu ini mau tak mau didorong “mengistirahatkan”
prosesnya sendiri. Ia tak bisa berpanjang-panjang melakukan riset
— dan berbantah — untuk misalnya menentukan sifat virus yang jadi
biang keladi epidemi.

Tapi tendensi mempromosikan kepastian itu sebenarnya telah lama


terjadi di dunia sains, dengan atau tanpa COVID-19. Dewasa ini,
dengan beberapa perkecualian, perkembangan ilmu makin
diterjemahkan sebagai perkembangan riset dan inovasi, sebagaimana
diukur GII (Global Innovation Index).

Dalam persaingan modal dan kekuatan politik yang terus-menerus,


investasi dalam bidang riset & pengembangan —yang dijadikan
landasan teknologi baru dan pertumbuhan ekonomi— makin
mendorong sains bukan lagi sebuah metode menafsirkan dunia,
melainkan sebagai pendukung teknologi. Kepastian, kegunaan, hasil
temuan untuk diterapkan —itulah yang kini menggerakkan lembaga-
lembaga riset dan pendanaannya. Bukan kebetulan jika kini teori
relativitas Einstein, misalnya —yang pada awalnya dikagumi tapi
tak jelas “untuk apa”— makin diberi arti dalam kaitannya dengan,
misalnya, navigasi GPS.

Sebuah gejala yang perlu disimak: kata “Wissenschaft,” yang pernah


lazim dalam teori ilmu pengetahuan di Jerman, yang berakar pada
kata “wissen” (mengetahui), kini tergeser pengertian “sains”. Kata
“sains” yang masuk ke dalam bahasa Indonesia, mungkin melalui
Malaysia, adalah salinan dari istilah yang dipakai dalam risalah-
risalah Anglo-Saxon, “science”. Berasal dari kata Latin “scientia”,
(dengan kata dasar “sciens”), yang berarti mempunyai pengetahuan,
sains memang berakar dari pengertian yang tak berbeda dengan
25
“Wissenschaft”. Tapi sains makin lama makin hanya diwakili ilmu-
ilmu alam, atau ilmu dengan riset yang didukung kuantifikasi.

***

Kini izinkan saya menunjukkan kekurangan Sulak dalam tulisannya,


“Sains dan Hal-hal Baiknya”.

Pertama-tama, ia keliru jika mengaitkan pandangan saya dengan


“ketidaksukaan pribadi” terhadap sains. Dasar pandangan saya
kepada sains akan saya jelaskan dalam beberapa paragraf mendatang,
dan pasti bukan karena sains pernah menolak cinta saya hingga saya
tak tergila-gila kepadanya.

Sekarang kritik saya kepada kritik Sulak: dalam mengedepankan


“hal-hal baik” sains, Sulak membandingkannya— bahkan
mengonfrontasikannya — dengan keyakinan agama. Bagi saya, ini
mirip menggebuki memedi (orang-orangan) sawah; kita merasa jadi
kuat karena bisa mengalahkan sesuatu yang hanya seram dalam
khayalan orang.

Celakanya, Sulak hanya mengulang apa yang sudah sering dipakai


sebagai penggebuk. Kita yang pernah dengan asyik membaca novel
Umberto Eco, “Il nome de la rosa” (“The Name of the Rose”), sudah
tahu bagaimana cerita fiktif yang seru dengan latar Eropa abad ke-
12 ini berakhir. Jorge, rahib tua yang mengharamkan humor dan
mencurigai pemikiran terbuka, kalah. Kita bertepuk. Kita lebih
senang lagi William of Baskerville menang. Tokoh ini personifikasi
dari semangat keilmuan, orang yang bekerja dengan pembuktian
empiris; ia datang dari Inggris, dari mana empirisme berkumandang
lima abad kemudian.

Nama “Baskerville” mengingatkan kita akan salah satu cerita


Sherlock Holmes, detektif yang memecahkan misteri kejahatan
dengan cara seorang virolog menemukan penyebab pilek jenis baru.
Dengan kata lain, thema “sains versus dogma” atau “sains versus
agama” sudah lama dimamah biak, dan kita umumnya setuju siapa
yang harus diberi aplaus.

Sebab itu ketika saya mengemukakan pandangan kritis atas sains,


saya sesungguhnya (dan ini yang tak dipahami Sulak) ingin
meletakkan perdebatan di dalam kancah pemikiran yang jauh dari

26
“Jorge-isme”. Kesempatan kali ini akan saya pakai dengan
mengundang Husserl.

Edmund Husserl (1859-1938), kita tahu, pelopor fenomenologi dengan


pengaruh yang luas dan panjang. Saya ikut mencicipi pengaruhnya
sedikit ketika saya sebentar kuliah di Fakultas Psikologi UI, di
mana, waktu itu, fenomenologi membantu menjelaskan banyak
masalah psikologi sebagai ilmu.

Dalam karya besarnya terakhir, “Die Krisis der europaischen


Wissenschaften und die transzendentale Phänomenologie”, Husserl
membahas krisis ilmu pengetahuan Eropa dan peran fenomenologi
transendental. Ia menunjukkan krisis itu menyangkut fondasi ilmu-
ilmu itu sendiri. Ia menyebut Galileo, yang oleh Einstein disebut
sebagai “bapak sains modern” sebagai seorang penemu besar dengan
dua efek. Galielo, kata Husserl, adalah “ein entdeckender und
verdeckender Genius”, (“jenius yang menemukan dan sekaligus
menyembunyikan”).

Terobosan Galileo terbesar bukan dalam dunia astronomi, tapi, kata


Husserl, dalam merumuskan ide ilmu-ilmu alam sebagai sesuatu yang
matematis, suatu pendekatan yang di abad ke-7 sama sekali baru.
Orang Italia yang dicurigai Gereja ini memang terkenal dengan
kesimpulannya bahwa alam semesta, “ditulis dalam bahasa
matematika, dan hurufnya adalah segitiga, lingkaran, dan bentuk-
bentuk geometris lain”.

Dengan pandangan itu, menurut Husserl, ilmu-ilmu alam


memproduksi “Geschlossenheit”, kerangka abstraksi yang tertutup
bagi —dan menjauh dari— apa yang konkret dan unik dalam
pengalaman. Dengan sains modern yang dasarnya diletakkan Galileo,
dunia yang tercerap indera diselimuti “jubah idea”, “Ideenkleid”, dan
diberi makna baru. Keberhasilan perspektif ilmiah modern ini
dahsyat, dan telah mengubah bukan saja pengetahuan manusia
tentang dunia, tapi juga manusia sebagai subjek yang mengetahui.
Bahkan mengubah arti rasionalitas itu sendiri.

Husserl memang tak membahas pemikiran Galileo seutuhnya, tapi


kritiknya kepada sains adalah alasan dasar yang kuat bagi
fenomenologi sebagai pendekatan alternatif. Dengan kritik Husserl
kita bisa melihat bagaimana dunia yang diletakkan dalam kerangka

27
matematis merepresentasikan “Lebenswelt”, dunia kehidupan,
dengan mereduksinya — atau untuk memakai istilah Husserl,
“menyembunyikan”-nya.

Memang dengan demikian sains bisa berkembang pesat, tapi ia lebih


berperan sebagai si pengubah dunia, bukan si penafsir — untuk
meminjam dikotomi Marx tentang tugas filsafat. Sains, dengan
kecanggihan eksperimennya, dengan kapasitas mengkalkulasi dan
mengukurnya, makin berkembang menjadi “techne”, atau cara yang
efektif dan efisien mencapai hasil yang ditargetkan. Bersama itu,
rasionalitas hanya berarti “Zweckrationalität”, pengertian
termasyhur yang diperkenalkan Weber; “akal instrumental” ini
mendominasi dunia modern dengan segala dampak negatifnya.

Dalam hubungan itulah Heidegger mengatakan bahwa “sains tidak


berpikir”. Ucapan kontroversial ini tak berarti ingin mengatakan
bahwa sains adalah dunia kebodohan. Bagi Heidegger — ia
mengembangkan serta meradikalisir kritik Husserl — berpikir
berarti bukan (semata-mata) berpikir kalkulatif.

Dalam risalahnya, “Die Frage nach dem Ding”, Heidegger menguraikan


lebih lanjut keterbatasan sains dengan sifatnya yang matematis. Ia
menjelaskannya dengan merujuk makna yang tersirat dalam kata “ta
mathemata”. Arti kata Yunani itu, menurut Heidegger, “apa yang kita
ketahui tentang hal ihwal lebih dulu”.

Sains bersifat matematis karena ia tidak menangkap realitas


sebagai sesuatu yang langsung, tanpa mediasi, tapi sudah terlebih
dahulu diposisikan dalam kerangka. Jika Husserl menyebut
“Geschlossenheit”, Heidegger memperkenalkan istilahnya yang lebih
beredar, “Gestell”. Sains “membaca” realitas dalam bentuk sudah
dalam pigura, dan dengan itulah ia menangkap dan mengendalikan
realitas. Menangkap dan mengendalikan itu penting: dalam tatapan
sains, dunia hadir sebagai reservoir, bahan yang dicadangkan untuk
sewaktu-waktu dipergunakan —yang menunjukkan, seperti
disinggung Heidegger— hubungan asali antara sains dan teknologi.

Dunia, tentu saja, tidak sekadar yang ada dalam ukuran itu.
Sayangnya, para ilmuwan sering tak sadar akan itu. Gaston
Bachelard, yang bertentangan dengan Heidegger dalam pandangannya

28
tentang sains, mengakui: “Para saintis lebih meyakini realisme
pengukurannya ketimbang kenyataan objeknya.”

Sebab itu para penganjur yang meyakini sains sebagai pemandu


kehidupan di dunia yang konkret dan sebab itu rumit —para penganut
“scientism” yang disebut Popper— hanya memperlihatkan pandangan
yang sempit, tapi pongah. Setidaknya mereka tak mengenal kritik
atas sains yang berkembang dalam dunia pemikiran modern — bukan
dalam dunia ustad Felix Siauw.

Saya bisa mengerti jika Sulak punya harapan besar (jangan-jangan


berlebihan?) ketika ia terpesona mengikuti prestasi sains selama
beberapa masa terakhir. Daya ilmu-ilmu modern yang sejak Galileo
didukung keampuhan matematis memang menyilaukan.

Tapi saya ingin mengingatkan, seorang matematikawan besar pernah


menyebut hubungan matematika dengan kekecewaan: ilmu ini sungguh
muskil, dan kita gegabah untuk begitu saja menggunakannya
menerjemahkan semesta.

“We are told that by its aid the stars are weighed and the billions of
molecules in a drop of water are counted. Yet, like the ghost of
Hamlet's father, this great science eludes the efforts of our mental
weapons to grasp it.” — Alfred North Whitehead, dalam “An
Introduction to Mathematics”.

***

Demikianlah, Bung, jawaban dan penjelasan saya. Jika saya banyak


menyebut nama-nama yang keren, itu buat menunjukkan saya bukan
sendirian — bukan pula punya alasan pribadi — untuk tak memandang
sains dengan mata berbinar-binar.

Jakarta, 31 Mei 2020.

V. 1 Juni: Nirwan Ahmad Arsuka: “Sains dan Sport”

SAINS DAN SPORT


- Untuk GM, Ulil, Sulak, dan Hamid

29
Benarkah sains itu tidak berpikir, pongah, dan mengagulkan diri?

Metode ilmiah, atau lebih luas lagi "metasains" yang dilembagakan


oleh para saintis, adalah pengakuan akan keterbatasan sains, yang
dengan tandas membantah semua tuduhan di atas. Metasains itu yang
mencegah para saintis tulen mengafirkan dan menyuruh bakar pihak
lain yang berbeda pendapat dengannya.

Tapi untuk menghormati kawan debat, baiklah kita terima dulu saja
tuduhan terhadap sains, tuduhan tua yang tak mampu memperbarui
diri, dan yang yakin bahwa sains tak sanggup berproses mengoreksi
dan melampaui diri. Sesekali mengalah bolehlah. Katakanlah sains
memang pongah dan gemar mengagulkan diri. Terus kenapa? Dosa?

Kembali kita bisa belajar dari sport, khususnya dari tokoh yang
diberi gelar "Sportsman of the Century" (Sports Illustrated) dan
"Sports Personality of the Century" (BBC poll): Muhammad Ali.

Ali yang besar mulut itu memang menyebut dirinya "petinju yang
paling ilmiah" di arena laga. Prestasinya yang tak tertandingi oleh
petinju lain, bahkan oleh atlet manapun di abad ke-20 itu tentu saja
dahsyat, tapi akan tampak jomplang jika dibandingkan dengan
prestasi sains. Tidak sekelaslah. Tapi karena itu, kalimat-kalimat
pongah dan mengagulkan diri yang dilontarkan Ali, akan cukup
pantas jika dipinjam sebentar oleh sains, untuk main-main saja.
Misalnya:

“Braggin' is when a person says something and can’t do it. I do what


I say.”

“It's hard to be humble when you're as great as I am."

“If you even dream of beating me you'd better wake up and apologize.”

"I am the greatest, I said that even before I knew I was."

"I shook up the world. Me! Whee!"

"I’m not the greatest. I’m the double greatest. Not only do I knock
‘em out, I pick the round. I’m the boldest, the prettiest, the most
superior, most scientific, most skillfullest fighter in the ring
today.”

30
Kalimat-kalimat Ali ini jelas luar biasa pongah, namun bisa terasa
menghibur, karena mengandung kejujuran yang brutal tanpa tedeng
aling-aling. Ali memang pongah, tapi ia bukan pembual. Selain
baris-baris yang bisa dituduh gemar mengagulkan diri, Ali juga
dicatat meninggalkan kalimat ini:

"Only a man who knows what it is like to be defeated can reach down
to the bottom of his soul and come up with the extra ounce of power
it takes to win when the match is even."

https://www.usatoday.com/…/muhammad-ali-best-quot…/85370850/

Seperti Ali, sains juga bisa mencicipi rasa "kalah". Pandemi Sars-
COV-2 atau COVID-19 itu membuat kedudukan sains kalah sementara.
Tapi, seperti Ali yang tak gentar mempertahankan pendiriannya,
para saintis pun akan terus berusaha "merogoh dasar jiwanya". Dan
seperti halnya perjuangan Ali serta para atlet tulen lain,
perjuangan sains juga bisa menunjukkan "the beauty and the
universal celebration of human spirit."

VI. 1 Juni: Ulil Abshar Abdalla: “Qutbiisme dan Kepongahan Saintifik: Mengapa Al-
Ghazali Masih Relevan Sekarang?”

"QUTBIISME" DAN KEPONGAHAN SAINTIFIK:


MENGAPA AL-GHAZALI MASIH RELEVAN
SEKARANG?

Qutbiisme di sini merujuk kepada sosok Sayyid Qutb, seorang ideolog


Ikhwanul Muslimin yang mati digantung oleh presiden Mesir Gamal
Abdul Nasser pada 1966 karena pandangan-pandangannya yang
menghasut umat Islam untuk melawan pemerintah yang dianggapnya
kafir dan "thaghut".

Istilah "Qutbiisme" di sini saya pakai untuk menamai sebuah cara


pandang terhadap segala sesuatu yang ditandai dengan banyak hal,
tetapi dua di antaranya paling menonjol.

31
Pertama, kepongahan yang terbit karena seseorang "merasa" telah
memegang kebenaran mutlak.

Kedua, "self-righteousness", yaitu perasaan paling "saleh" sendiri,


sementara orang lain berada di "lorong kesesatan" dan karena itu
perlu diselamatkan.

Qutbiisme tidak semata-mata merupakan gejala keagamaan, tetapi


bisa juga mengambil bentuk yang sekular, sebagaimana akan tampak
dalam bagian terakhir catatan ini.

Saya pernah mengidap "penyakit" Qutbiisme ini dalam dua tahap


hidup saya. Pertama, waktu saya masih belia dan terpukau oleh
gagasan-gagasan Sayyid Qutb, terutama dalam bukunya "Ma'alim fi
al-Thariq", sebuah manifesto yang ditulis oleh Qutb dengan bahasa
Arab yang indah dan elegan.

Buku ini telah menyihir saya pada saat saya baru berumur sekitar 19
tahun. Manifesto ini telah mengilhami ribuan belia Muslim di
seluruh dunia, mendorong mereka menjadi fundamentalis-radikal
dan terperosok dalam gejala takfir (mudah mengafirkan orang lain).

Setelah membaca buku ini, selama beberapa saat saya sempat


tenggelam dalam semacam "pengalaman mabuk". Dalam periode
"mabuk" inilah saya pernah berpikir dengan amat pongah bahwa
semua orang di sekitar saya adalah "jahiliyyah", berada dalam
kegelapan akidah. Sayalah satu-satunya orang yang "ngekepi"
(memeluk) akidah paling benar. Untungnya, saya hanya "merasa" saja,
dan tidak pernah mengutarakannya secara lisan.

Saya sembuh dari "mabuk" ini karena gagasan-gagasan pembaharuan


Islamnya Cak Nur (Nurcholish Madjid) dan Gus Dur (Abdurrahman
Wahid). Saya sebetulnya sudah membaca gagasan-gagasan dua
santri-pemikir dari Jombang itu jauh sebelum berkenalan dengan
pikiran Sayyid Qutb.

Saat tersihir oleh ide-ide Qutb, saya sebetulnya sedang "lupa". Tak
lama berselang, saya mulai merasakan hal yang aneh pada gagasan
Qutb. Saya merasa, jika diterus-teruskan, pandangan Qutbian ini
bisa membawa saya kepada sikap hidup yang "totaliter", mutlak-
mutlakan.

32
Setelah sembuh dari penyakit ini, saya kemudian menjalani
"petualangan pemikiran" yang asyik. Inilah masa-masa dalam hidup
saya yang paling indah. Dan saya bersyukur kepada Tuhan karena
diberikan kesempatan untuk menikmati petualangan ini. Tetapi ada
jebakan juga di sana. Di ujung petualangan ini, saya pernah nyaris
"terpeleset" dalam jebakan Qutbiisme yang lain. Yaitu jebakan yang
ingin saya sebut "saintisme".

Saintisme di sini saya maksudkan sebagai pandangan yang melihat


sains modern --terutama sains dalam pengertian ilmu-ilmu
kealaman-- sebagai model paradigmatik bagi pengetahuan manusia
yang paling sempurna, karena memberikan dasar-dasar pengetahuan
yang pasti dengan berbasis data-data empiris.

Saya bukanlah seseorang yang belajar sains kealaman. Pendidikan


saya adalah Jurumiyah dan Taqrib -- dua kitab elementer dalam tata
bahasa Arab dan ilmu fikih yang diajarkan di pesantren tradisional.
Tetapi, dalam petualangan pemikiran itu, dan dalam interaksi saya
dengan sejumlah kawan, saya akhirnya berjumpa dengan banyak
literatur populer di bidang sains. Saya mulai berkenalan dengan
buku-bukunya Richard Dawkins, Lawrence Krauss, Stephen Hawking,
Carl Sagan, Richard Feynman, Steven Weinberg, E. O. Wilson, Steven
Pinker, Peter Atkins, Victor Stenger, dan masih banyak yang lain
lagi.

Saya amat menikmati literatur tentang sains ini. Minimal, melalui


bacaan-bacaan itu saya mengenal bagaimana sains modern memahami
pertanyaan-pertanyaan penting dalam hidup manusia: bagaimana
asal mula alam raya ini, bagaimana asal mula kehidupan di muka
bumi, bagaimana masyarakat binatang dan manusia bekerja,
bagaimana fenomena kesadaran manusia mesti dijelaskan, dan
sebagainya.

Saya sempat "mabuk" sebentar dalam periode saintisme ini. Pada


masa ini, saya sempat tergoda sejenak untuk berpandangan bahwa
sains modern lah yang bisa dianggap paling sukses menjelaskan
"kehidupan". Ilmu-ilmu lain bersifat inferior.

Ya, saya hanya mabuk sebentar saja. Saya disadarkan kembali setelah
mulai merasakan keanehan di kalangan para pendukung sains ini.
Mereka memiliki watak-watak yang agak mirip dengan para penganut

33
Qutbiisme-religius -- pongah, dan merasa dirinya secara moral
berada di ketinggian, mengatasi orang-orang lain; self-
righteousness.

Pada titik inilah kemudian saya berkenalan dengan gagasan-gagasan


seorang matematikawan dan filsuf Amerika, David Berlinski (dia
meraih gelar Ph.D dalam bidang filsafat dari Princeton University).
Dia menulis buku dengan judul yang agak "provokatif": "Devil's
Delusion -- Atheism and its scientific pretension" (2008). Buku ini
jelas merupakan sanggahan yang blak-blakan atas buku Richard
Dawkins yang terkenal: "God's Delusion" (2006) dan buku-buku para
"new atheists" yang lain seperti Sam Harris dan Daniel Dennett.

Salah satu paragraf yang "nyambung" dengan pengalaman saya dalam


bukunya Berlinski ini berkenaan dengan "kepongahan" sebagian
saintis dan para pendukung sains modern. Dalam bagian pengantar,
Berlinski, antara lain, menulis:

"Occupied by their own concerns, a great many men and women have
a dull, hurt, angry sense of being oppressed by the sciences. They
are frustrated by endless SCIENTIFIC BOASTING (huruf besar dari
saya, UAA). They suspect that as an istitution, the scientific
community holds them in contempt. They feel no little distaste for
those speaking in its name. They are right to feel this way. I have
written this book for them."

Secara ringkas, Berlinski mengatakan bahwa banyak orang yang


merasa jengkel karena kepongahan saintifik (scientific boasting)
yang diperagakan oleh komunitas sains. Mereka seperti dipojokkan
oleh para pendukung sains, karena hanya diberikan dua pilihan: sains
atau agama; kalau sains benar, maka dengan sendirinya agama salah.

Saya merasa diwakili oleh Berlinski melalui kalimatnya yang blak-


blakan ini. Berlinski bukanlah seorang penganut agama. Dia
menggambarkan dirinya sebagai Yahudi sekular yang tak pernah
pergi ke sinagog. Tetapi dia ikut dibuat jengkel dan senewen oleh
gejala "scientific boasting" itu.

Saya adalah orang yang tak suka pada kepongahan -- baik


kepongahan religius atau sekular. Gagasan-gagasan Islam liberal
yang pernah saya kemukakan pada awal tahun 2000an dulu adalah
persis untuk mengkritik "kepongahan religius" yang diperagakan
34
oleh sebagian kaum muslim fundamentalis-radikal dengan berbagai
spektrumnya.

Pada sisi lain, saya juga memiliki kejengkelan yang tak kalah
mendalam terhadap kepongahan sekuler yang saya lihat pada
fenomena "saintisme" --sebuah cara pandang yang melihat sains
sebagai satu-satunya penjelas yang tepat terhadap Kehidupan
dengan "k" besar. Sementara yang lain, terutama agama, adalah
takhayul dan khurafat yang merupakan sisa-sisa dari masa kanak-
kanak manusia.

Saya tumbuh dalam lingkungan Islam tradisional (baca: NU) dan


menghirup oksigen kultural bernama ajaran tawadlu', "ethics of
humility", tidak suka menghakimi pihak lain yang berbeda.
Kepongahan adalah hal yang paling ditabukan dalam kultur di mana
saya tumbuh; kecuali jika "diprovokasi" secara tidak proporsional
oleh pihak lain: apa boleh buat.

Setiap bentuk kepongahan, baik religius ataupun sekular, langsung


menimbulkan refleks penolakan pada diri saya. Saya sekarang bisa
memahami dengan simpatik "kejengkelan" al-Ghazali terhadap para
filsuf (baca: saintis) pada zamannya seperti ia utarakan dalam
otobiografinya yang saya "balah" (dikaji dengan metode bandongan
ala pesantren) selama bulan puasa kemaren, berjudul "al-Munqidh
min al-Dalāl".

Apa yang ditulis al-Ghazali hampir seribu tahun lalu menggaungkan


pandangan serupa yang ditulis oleh Berlinski pada abad ini. Baik al-
Ghazali maupun Berlinski hendak membedakan antara "sains" dan
"saintisme".

Sains adalah suatu statement mengenai fakta-fakta kealaman yang


didukung oleh "evidence" yang kokoh, atau "burhan" dalam bahasa al-
Ghazali. Sementara saintisme adalah ideologi yang dipeluk oleh para
praktisi sains dengan mengatas-namakan sains. Saintisme adalah
"pretense" (dalam bahasa Berlinski) atas nama sains, tetapi bukan
sains itu sendiri.

Sebagaimana setiap "pretense", dia bisa kebablasan dan melahirkan


sikap-sikap yang menjengkelkan seperti "scientific boasting",
kepongahan saintifik itu. Ini tergambar, misalnya, dalam pernyataan

35
Peter Atkins, seorang ahli kimia dari Inggris yang mengajar di
Universitas Oxford:

"... there is can be no denying the proposition that science is the


best procedure yet discovered for exposing the fundamental truths
about the world. By its combination of careful experimentation
guided by theory, and its elaboration and improvement of theory
based on experiments it inspired, it has shown itself to be of
enormous power for the elucidation and control of nature... No other
mode of discovery has proved to be so effective or to contribute so
much towards the achievement of the aspirations of humanity."
(Peter Atkins, "Science as Truth").

"Pretense" seperti inilah yang dikritik oleh para sarjana seperti al-
Ghazali, Berlinski, atau John Lennox (seorang matematikawan dari
Universitas Oxford yang menulis buku berjudul "God's Undertaker:
Has Science Buried God?"). Yang dikritik oleh orang-orang seperti
al-Ghazali bukanlah filsafat atau sains per se, melainkan "asumsi-
asumsi ideologis" yang bersembunyi di balik otoritas sains.

Saya tetap mengagumi sains. Di mata saya, sains adalah salah satu
(bukan satu-satunya!) bentuk pengetahuan manusia yang
dianugerahkan oleh Tuhan untuk kemaslahatan mereka. Yang tidak
saya kagumi adalah saintisme dan "kepongahan saintifik", atau
kepongahan-kepongahan lainnya.

Sekian.

VII. 1 Juni: Hasanudin Abdurakhman: “Uli, Sains Itu Tidak Pongah, Cuma Tidak
Berbagi Kebenaran”

ULIL, SAINS ITU TIDAK PONGAH, CUMA


TIDAK BERBAGI KEBENARAN

Ulil Abshar Abdalla menulis soal kepongahan sains.

36
Apa sih? Yang dia tuding adalah pandangan "saintisme" yang
menganggap sains adalah satu-satunya penjelas soal Kehidupan,
huruf "k" ditulis dengan huruf besar.

Saya tak sepenuhnya paham dengan apa yang dimaksud kepongahan


oleh Ulil. Juga apa yang dia maksud dengan Kehidupan, karena tak ada
penjelasan soal itu. Tapi setahu saya sains memang tak mau berbagi
soal kebenaran.

Sains misalnya, menjelaskan asal muasal kehidupan dengan teori


evolusi. Kehidupan sekarang, dengan begitu banyak ragam spesies
makhluk hidup, menurut sains, berasal dari proses evolusi. Sains
belum bisa menjawab bagaimana makhluk hidup paling awal muncul
dari senyawa-senyawa organik. Tapi sains hanya menerima atau
menganut penjelasan itu. Bahwa kehidupan berasal dari evolusi
organisme sederhana, kemudian berevolusi menjadi makhluk yang
lebih kompleks, lalu terus berevolusi menjadi berbagai spesies,
termasuk spesies homo sapiens, yaitu kita ini.

Sains tidak pongah, karena mengaku pada hal-hal yang dia belum
tahu, seperti soal bagaimana senyawa organik menjadi organisme
tadi. Tapi sains tidak berbagi kebenaran, khususnya dengan agama.
Agama punya teorinya sendiri soal bagaimana munculnya makhluk-
makhluk itu. Yaitu diciptakan oleh Tuhan.

Manusia, menurut teori agama, diciptakan secara khusus oleh Tuhan,


dengan tanah sebagai bahan bakunya. Sains tidak peduli soal itu.
Tidak menggubrisnya. Juga tidak mempertimbangkannya sebagai
suatu kemungkian yang bisa diadopsi dalam sains. Dalam ungkapan
kasar, bagi sains teori itu nonsense. Nah, anggapan nonsense ini yang
dianggap Ulil sebagai kepongahan.

Kaum agamawan bersikap beragam terhadap sains. Ada yang


menganggap sains itu sesat. Ada yang menganggap sains dan agama
itu paralel. Paralel maksudnya adalah narasi-narasi agama soal
alam masih bisa cocok dengan narasi sains. Bagi saya, maaaf saja,
yang terjadi adalah pencocokan. Sesuatu yang jelas-jelas tidak
cocok, ditekuk-tekuk, supaya nampak cocok. Cukup menghibur, tapi
tidak benar.

Ada pula kelompok yang tidak mau membenturkan keduanya. Quraish


Shihab, saya kira, masuk dalam kelompok ini. Sains dan agama harus
37
berjalan sendiri-sendiri. Sains tidak bisa menyalahkan agama, juga
tidak perlu jadi pembenarnya.

Sains tidak merambah ke wilayah agama. Benturan terjadi karena


keduanya sesekali membicarakan subjek yang sama, yaitu alam. Sains
menjelaskan alam dari hasil obervasi dan olah pikir matematis.
Sains membuat model alam semesta dari secuil informasi yang ia
miliki. Agama menjelaskan alam semesta dengan Tuhan sebagai
pencipta dan pengaturnya. Tapi penjelasan agama itu sama sekali
tidak direken oleh sains. Sains sama sekali tidak merujuk ke
penjelasan itu.

Yang repot merujuk ke sains adalah kaum agamawan. Tadinya mereka


percaya bahwa alam semesta diciptakan secara instan oleh Tuhan.
Lalu mereka beralih ke pandangan bahwa ada proses dalam
penciptaan itu, karena sains menunjukkan adanya proses. Konyolnya,
ada yang menerima dan memakai teori sains sebagian, tapi menolak
sebagian yang lain, yaitu teori evolusi tadi.

Reaksi sains? Tidak me-reken (memedulikan). Tidak ada rumusan


sains yang diubah karena keberatan agama. Tidak pula sains
menjadikan penjelasan agama itu sebagai sesuatu yang patut
dipertimbangkan. Sekali lagi, dalam narasi tertentu bisa dikatakan
bahwa sains menganggapnya nonsense. Apakah ini pongah? Kalau mau
dianggap pongah, ya monggo. Tapi itu tidak mengubah apapun.

Apakah sains menjelaskan semua hal? Tidak.

Sains tidak berminat menjelaskan hal-hal lain di luar subjek yang


ia tekuni. Narasi agama soal alam gaib dan Tuhan tidak digubris oleh
sains. Kalau agama menjelaskan soal-soal itu, sains tidak peduli.
Ilmuwan, misalnya, tidak berusaha mencari tahu bagaimana proses
seorang perempuan bisa hamil tanpa suami, atau orang bisa naik ke
langit. Kalau wilayah itu mau dimonopoli oleh agama, ya monggo.
Tidak peduli itu bisa dimaknai sebagai sains menganggap bahwa hal-
hal itu bukan subjeknya, bisa juga karena menganggapnya non-sense.
Inikah yang disebut pongah oleh Ulil? Kalau iya pun, sekali lagi itu
tak mengubah apapun soal sains maupun perilaku ilmuwan terhadap
sains.

Bagi sains, sejauh yang saya tahu, hanya ada kehidupan, tidak ada
Kehidupan. Saya mencoba menafsir Kehidupan itu adalah berbagai
38
dimensi non-jasadi, atau dunia pasca dunia fisik, yang dijelaskan
oleh agama. Orang beragama boleh yakin soal itu, sains tidak
keberatan. Tapi sekali lagi, sains tidak peduli.

Kalau bagi Ulil ada ruang kompromi di mana sains dan agama bisa
cocok dan rukun, saya ingin tahu dalam hal apa yang dia maksud.
Kalau ada ruang di mana sains mau berbagi kebenaran dengan agama,
saya ingin tahu.

VIII. 2 Juni: Taufiqurrahman: “Sains Memang Tidak Sempurna, Tapi Ia Adalah Jenis
Pengetahuan Terbaik yang Mungkin Kita Punya”

SAINS MEMANG TIDAK SEMPURNA, TAPI IA


ADALAH JENIS PENGETAHUAN TERBAIK
YANG MUNGKIN KITA PUNYA
Catatan untuk GM dan Ulil

Goenawan Mohamad (GM), sang budayawan adiluhung itu, memang


seorang peragu—walau mungkin ia jenis peragu yang syahdu. Kali ini
ia ragu pada ilmu (science). Ia mengutip Popper, Husserl, dan
Heidegger untuk mempertahankan keraguannya. Namun, sejauh mana
keraguan GM pada sains itu dapat dipertahankan?

Ulil, yang juga dikenal sebagai tokoh liberal sebagaimana GM,


mengungkapkan ketidaksukaannya pada saintisme—yang ia bedakan
dari sains. Ia kagum pada sains, tapi jengkel dengan saintisme.
Sebab, menurutnya, saintisme adalah sebuah “kepongahan saintifik”
dan sains per se tidak meniscayakan saintisme. Namun, mungkinkah
sains tanpa saintisme? Juga seberapa relevan kritiknya terhadap
apa yang ia sebut “saintisme” itu?

***

39
Dalam tanggapannya untuk kritik A.S. Laksana, GM merasa perlu
untuk mengutip Popper, karena pandangan Popper dianggap sebagai
“caveat”, protes, terhadap sains.

Benarkah? Tidak!

Ini justru kembali membuktikan kebiasaan buruk GM dalam menulis


esai: “cherry-picking” kutipan. Ia sengaja memilah-milih
pernyataan pemikir-pemikir besar untuk mengonfirmasi
pandangannya sendiri sembari menyembunyikan pernyataan lain dari
pemikir yang sama. Itulah yang disebut sebagai “confirmation bias”.

Mari kita lihat bagaimana GM melakukan “confirmation bias”.

GM mencomot separuh paragraf dari kuliah Popper yang berjudul


“Knowledge and the Shaping of Reality: The Search for a Better
World”:

“Despite my admiration for scientific knowledge, I am not an


adherent of scientism. For scientism dogmatically asserts the
authority of scientific knowledge; whereas I do not believe in any
authority and have always resisted dogmatism; and I continue to
resist it, especially in science. I am opposed to the thesis that the
scientist must believe in his theory…”

Potongan separuh paragraf itu sebenarnya punya konteks khusus,


tetapi oleh GM digunakan untuk mengonfirmasi pandangannya
sendiri yang berusaha memberi protes pada sains.

Popper bukan jenis pemikir yang meragukan sains —sebagaimana GM.


Paragraf yang dikutip GM itu sebenarnya bukan pandangan Popper
tentang sains, melainkan hanya klarifikasi terhadap pernyataan
sebelumnya yang, kata Popper, ”will doubtless lead to my being
associated with ‘positivism’ or with ‘scientism’ once again”.

Apa pernyataan Popper sebelum paragraf tersebut? Ia menulis:

“We live in a time in which irrationalism has once more become


fashionable. Consequently, I want to begin by declaring that I regard
scientific knowledge as the best and most important kind of
knowledge we have—though I am far from regarding it as the only
one”.

40
Meskipun bukan satu-satunya, kata Popper, pengetahuan ilmiah
merupakan jenis pengetahuan terbaik dan terpenting yang kita
punya. Ini membuktikan bahwa potongan paragraf Popper yang
dikutip GM itu —bahkan keseluruhan pemikiran Popper sendiri—
tidak tepat dijadikan sebagai alat protes pada sains. Bahkan
kriteria keterbantahan (falsifiabilty) dalam falsifikasionisme
Popper sebenarnya merupakan lanjutan dari tradisi positivisme
logis yang membuat demarkasi antara sains dan non-sains atau
pseudosains. Artinya, baik Popper maupun kaum positivis logis
sama-sama mengakui perlunya ada pembedaan tegas antara sains dan
nonsains. Hanya saja kedua pihak itu mengajukan kriteria pembedaan
yang berbeda: positivisme logis mengajukan kriteria keterbuktikan
(verifiability); sementara Popper mengajukan kriteria
keterbantahan (falsifiabilty).

Jadi, alih-alih memprotes sains, falsifikasionisme Popper hanya


mengkritik cara positivisme membedakan sains dan nonsains.

Itu kekeliruan pertama GM. Hal kedua yang membuat esai GM itu
kurang berdasar adalah saat ia membuat proposisi implikatif:

“Ketika sains menjadi panglima — ketika masyarakat menonjolkan


(“asserts”) otoritas pengetahuan ilmiah untuk menjelaskan pelbagai
hal — sains akan terdorong mengedepankan kepastian, bukan masuk
ke dalam proses pencarian kebenaran”

“Dalam posisi sebagai sumber utama, ilmu ini mau tak mau didorong
“mengistirahatkan” prosesnya sendiri. Ia tak bisa berpanjang-
panjang melakukan riset”.

Dua premis tersebut jelas merupakan klaim besar yang menuntut


pembuktian: Benarkah ketika sains menjadi panglima, sains akan
terdorong mengedepankan kepastian? Benarkah ketika ilmu
dijadikan sebagai sumber utama, ilmu pasti berhenti berproses
mencari kebenaran? Itu semua mungkin hanya benar dalam pikiran GM
sendiri. Sebab apa yang membuat sains spesial, yang membuatnya
layak dijadikan sumber utama memahami dunia alamiah, adalah
adanya prinsip umum dalam komunitas ilmiah yang—oleh Lee
McIntyre—disebut “scientific attitude”: bahwa ilmuwan mesti punya
kesiapan untuk mengubah teorinya jika ada bukti empiris yang
menyangkalnya.

41
Dengan prinsip itu, alih-alih menjadi produk pengetahuan yang
beku, sains tak lain adalah sebuah proses yang akan melahirkan
“scientific progress”. Artinya, kita memercayai sains untuk menjadi
panglima dalam memahami dunia alamiah bukan karena ia
menjanjikan kepastian, melainkan karena ia bisa mengoreksi dirinya
sendiri (self-correcting) di hadapan data-data baru yang terus
bermunculan. Begitu sains tak lagi bisa mengoreksi dirinya sendiri,
maka ia bukan lagi sains, tetapi sudah berubah menjadi dogma.
Dengan demikian, secara epistemologis, tidak ada korelasi niscaya
antara sains sebagai panglima dengan sains yang mencari kepastian.
Sebab, semakin ia tidak pasti—dalam arti: terus memperbaiki diri—
maka sains semakin layak kita percayai.

Satu-satunya kritik GM terhadap sains yang cukup berdasar adalah


saat ia memanggil Husserl dan Heidegger. Namun, bagi saya, kritik
Husserl terhadap sains itu juga sedikit problematik. Apa yang
Husserl maksud sebagai “Krisis” dalam The Crisis of European
Sciences and Transcendental Phenomenology adalah hilangnya
kebermaknaan sains bagi dunia-kehidupan (Lebenswelt) yang secara
langsung dialami oleh manusia. Karenanya, bagian pertama buku ini
adalah “The Crisis of the Sciences as an Expression of the Radical
Life-Crisis of European Humanity”.

Dengan kata lain, apa yang disebut sebagai “krisis sains” di situ
bukanlah krisis epistemologis yang terjadi pada sains itu sendiri,
melainkan krisis kemanusiaan yang—kata Husserl—disebabkan oleh
sains yang bekerja dengan fondasi matematika. Sains menjadi jauh
dari dunia yang konkret, dunia yang kita hidupi bersama. Di situ
sains menjadi sesuatu yang nirmanusia.

Maka, untuk mengatasi krisis kemanusiaan yang disebabkannya, sains


mesti mengubah fondasinya: dari matematika ke fenomenologi
transendental. Sains seharusnya tidak berangkat dari kalkulasi
matematis, tetapi dari pengalaman langsung manusia dalam dunia
kehidupannya.

Tawaran itu, jika diterapkan pada bidang ilmu seperti antropologi


dan etnografi, mungkin cukup besar signifikansinya. Namun, begitu
diterapkan pada ilmu alam, ia justru akan menyulitkan ilmuwan
untuk bekerja. Bagaimana cara ilmuwan untuk punya pengalaman
langsung tentang virus, misalnya? Apakah ia perlu diinfeksi virus
42
terlebih dahulu agar pengetahuannya tentang virus menjadi
pengetahuan yang valid? Jika memang harus demikian, tidak akan ada
lagi orang yang mau menjadi ahli virologi, kecuali mungkin tuan GM
sendiri.

Kritik Heidegger terhadap sains—juga terhadap teknologi—bisa


saya terima: bahwa dunia yang tampil melalui sains (juga melalui
teknologi) adalah dunia yang telah mengalami pembingkaian
(enframing). Pembingkaian inilah, kata Heidegger, yang menjadi
esensi dari teknologi. Namun, pertanyaannya: memangnya ada jenis
pengetahuan lain yang tidak membingkai atau—dalam istilah GM—
“mereduksi” objeknya? Menghadapi pertanyaan ini, Heidegger di fase
akhir pemikirannya kemudian melirik puisi. Di situlah kritik
Heidegger terhadap sains pada akhirnya tidak menghasilkan apa-
apa, selain hanya kata-kata penuh metafora.

***

Tulisan panjang Ulil, yang banyak menyebut nama ilmuwan dan filsuf
(alias: name-dropping), sebenarnya hanya punya satu poin bahwa ia
tidak suka dengan saintisme yang ia definisikan sebagai “pandangan
yang melihat sains modern—terutama sains dalam pengertian ilmu-
ilmu kealaman—sebagai model paradigmatik bagi pengetahuan
manusia yang paling sempurna, karena memberikan dasar-dasar
pengetahuan yang pasti dengan berbasis data-data empiris”.
Selebihnya adalah otobiografi intelektual Ulil sendiri.

Saya tidak akan mengomentari perjalanan intelektual Ulil sebab ia


memang tidak penting untuk polemik ini. Saya hanya akan
menunjukkan satu kekeliruan dan satu kelemahan Ulil dalam
mengungkapkan ketidaksukaannya pada saintisme.

Ulil keliru mendefinisikan saintisme. Dalam arti yang diberikan oleh


kamus, “scientism” setidaknya punya dua pengertian: 1) methods and
attitudes typical of or attributed to the natural scientist; dan 2) an
exaggerated trust in the efficacy of the methods of natural science
applied to all areas of investigation (as in philosophy, the social
sciences, and the humanities).

Pengertian pertama merupakan pengertian asali dari saintisme.


Dalam lingkup pengertian itu, Mario Bunge kemudian mendefinisikan
saintisme sebagai “the thesis that all cognitive problems
43
concerning the world are best tackled adopting the scientific
approach, also called ‘the spirit of science’ and ‘the scientific
attitude’.”

Semua persoalan pengetahuan tentang dunia sebaiknya diselesaikan


dengan menggunakan pendekatan ilmiah atau “sikap ilmiah”. Itulah
poin utama tesis saintisme yang muncul di tengah gerakan
Pencerahan Prancis abad ke-18. Di dalam tesis ini, sama sekali tidak
ada kepongahan seperti yang dituduhkan oleh Ulil; saintisme justru
merupakan antitesis dari sikap keras kepala. Ilmuwan harus selalu
tunduk pada bukti-bukti empiris yang ditemuinya, bukan pada
keyakinan personal atau bahkan teori yang telah dirumuskannya.

Dalam pengertian inilah, kata Bunge, “para ilmuwan mempraktikkan


saintisme bahkan meskipun mereka tidak pernah mengenal kata itu”.
Apakah salah jika ilmuwan alam menuntut orang yang menekuni
bidang-bidang keilmuan lain seperti ilmu sosial untuk memiliki
sikap ilmiah yang sama? Saya pikir, baik secara etis maupun
epistemologis, tidak ada yang salah dalam tesis semacam itu.

Namun, belakangan istilah 'saintisme' digunakan dalam pengertian


peyoratif seperti pada arti kedua yang diberikan oleh kamus. Ia
menjadi semacam kartu joker (wild-card) yang bisa digunakan untuk
mencemooh ilmuwan mana saja tanpa kriteria yang jelas. Begitu ada
ilmuwan yang membeberkan temuan ilmiah yang bertentangan dengan
keyakinan personal seseorang, maka kartu joker ini bisa dikeluarkan
dengan menuduh ilmuwan tersebut mengidap penyakit saintisme.

Dalam pengertian peyoratif itulah, Ulil menyusun definisinya


tentang saintisme. Namun, dalam pengertian peyoratifnya sekalipun,
saintisme sebenarnya tak seremeh yang digambarkan Ulil sebagai
“kepongahan saintifik”. Ia adalah sebentuk reduksionisme yang
termanifestasi dalam naturalisme. Naturalisme, dalam dua varian
utamanya, dibangun di atas dasar ontologis dan epistemologis yang
rigid; sementara kritik Ulil terhadapnya hanyalah kritik etis yang
tampak begitu lemah—jika bukan malah tidak punya dasar sama
sekali, selain hanya dasar ketidaksukaan pribadi.

Kritik berdasarkan ketidaksukaan tidak pernah membuktikan apa pun


tentang hal yang dikritiknya. Kita bisa tidak suka terhadap apa saja,
tanpa membuktikan bahwa ia salah. Hukum gravitasi akan tetap sahih

44
dan terus bekerja, betapa pun kita membencinya. Jika Ulil memang
hendak mengkritik naturalisme, semestinya ia membangun kritik
metodologis atau ontologis. Tanpa kritik semacam itu, kritiknya
terhadap naturalisme hanya akan menjadi kritik yang tidak relevan
dan juga tak berdasar.

***

Catatan ini bukan untuk mengagung-agungkan sains. Sains tetap


bukan sesuatu yang sempurna. Namun, ia adalah satu-satunya
pengetahuan terbaik tentang dunia alamiah yang mungkin kita punya.
Dan filsafat adalah cara paling tepat untuk melakukan evaluasi
kritis terhadapnya.

IX. 2 Juni: Hasanudin Abdurakhman: “Kritik Kepada Saintisme”

KRITIK KEPADA SAINTISME

Apa sih saintisme itu?

Definisinya ada seabreg. Salah satunya adalah pandangan yang


menganggap sains sebagai jalan absolut dan satu-satunya untuk
mengetahui kebenaran. Ada juga yang bilang bahwa saintisme itu
adalah kepercayaan bahwa metode ilmu alam atau hal-hal yang
dikenal dalam ilmu alam membentuk satu-satunya unsur yang patut
untuk mencari tahu. Yang agak "nelangsa" definisinya adalah
pandangan yang mengeliminasi dimensi psikologis atau spiritual
pada pengalaman.

Apakah ada orang-orang yang menyebut diri mereka menjalankan


saintisme? Sejauh yang saya bisa ketahui, tidak ada. Saintisme
sepertinya julukan, atau lebih tepatnya, ejekan terhadap orang-
orang yang terlalu percaya diri dengan metode sains, lalu merambah
ke hal-hal yang menurut para pengkritik mereka sudah di luar
wilayah sains.

Contohnya adalah Stephen Hawking. Salah satu ucapannya yang


menjengkelkan banyak orang adalah bahwa peran filsuf tidak ada lagi

45
dalam sains. Yang tersisa bagi mereka, tulis Hawking, adalah analisa
bahasa. Itu ditulis Hawking dalam buku The Brief History of Time.

Hawking sebenarnya sedang menjelaskan bagaimana sains


berkembang. Dulu sains dimulai oleh para filsuf. Mereka adalah
orang-orang yang berbeda dari orang kebanyakan. Mereka
mengamati, berpikir, dan membuat kesimpulan. Sayangnya, mereka
tidak melakukan pengukuran. Akibatnya, banyak kesimpulan mereka
yang salah.

Para pemikir di masa selanjutnya mengambil jalan yang berbeda.


Mereka melakukan pengamatan kuantitatif, lalu menyusun rumusan
hukum-hukum alam. Lahirlah sains. Lalu sains berkembang. Lha,
memang kenyataan bahwa tidak ada lagi porsi kerja filsuf. Kalau mau
dipandang dari sudut sains, filsuf cuma ngoceh-ngoceh memberi
makna pada temuan-temuan sains, tidak berkontribusi pada proses
perumusannya, dan seringkali makna yang mereka tempelkan pada
rumusan sains itu tak tepat pula. Masuk dalam kelompok ini adalah
para pemikir agama.

Ungkapan Hawking itu terdengar menyakitkan bagi para filsuf yang


merasa mewarisi hak untuk mengklaim diri sebagai inisiator sains.
Ibaratnya, mereka mau bilang, tanpa kami para filsuf mana ada sains.
Mirip dengan klaim sebagian orang Islam, bahwa tanpa didahului
orang Islam sains Barat tidak akan pernah ada.

Betul bahwa sains diinisiasi oleh filsuf. Betul pula bahwa sains
modern berpijak di atas pencapaian yang dibuat oleh para ilmuwan
muslim. Tapi semua itu sudah berlalu. Itu tinggal sejarah saja.

Apakah filsuf tidak boleh berkontribusi? Ya monggo saja. Apakah


agamawan boleh berkontribusi? Silakan. Tapi sanggupkah mereka
mengikuti protokol sains? Itu mungkin masalahnya.

Tulisan Hawking yang lain, yang juga memicu kemarahan, adalah


ketika dia mengatakan bahwa Tuhan tidak terlibat dalam penciptaan
alam semesta. Ketika Hawking bicara Tuhan dengan metode sains, ia
bisa dituduh telah melampaui sains, karena Tuhan bukan lagi wilayah
kajian sains.

Namun saya memahami ungkapan Hawking itu. Sederhana saja.


Bawalah narasi-narasi agama yang membahas tentang bagaimana

46
Tuhan versi agama itu menciptakan dan mengatur alam semesta,
niscaya yang akan kita dapatkan adalah narasi-narasi yang tak
cocok dengan sains modern. Karena itu Hawking berkesimpulan,
Tuhan yang dipercayai melalui agama-agama itu bukan Tuhan yang
menciptakan dan mengatur alam semesta ini.

Orang lain yang juga disorot adalah Sam Harris. Harris melakukan
sejumlah eksperimen yang menunjukkan bahwa gagasan soal agama
dan Tuhan, ritual-ritual, adalah hasil kerja otak belaka. Artinya,
gagasan tentang Tuhan adalah produk pikiran manusia belaka.
Temuan-temuan Harris ini sudah banyak dibantah.

Tapi sejauh yang saya tahu bantahan itu tidak spesifik mengatakan
bahwa gagasan tentang Tuhan tidak berasal dari otak. Yang dibantah
adalah klaim bahwa di otak ada spot khusus yang berperan mengolah
gagasan tentang Tuhan. Riset mutakhir menunjukkan bahwa gagasan
tentang Tuhan bisa diproses di bagian yang sama dalam otak dengan
gagasan tentang sains.

Orang tak suka dengan kesimpulan bahwa gagasan tetang Tuhan itu
diproduksi otak. Mereka percaya bahwa gagasan tentang Tuhan
dibisikkan atau disampaikan oleh Tuhan sendiri kepada manusia,
khususnya melalui orang-orang suci. Ya monggo sih. Silakan
buktikan bahwa pengetahuan itu berasal dari Tuhan. Gimana cara
membuktikannya?

Apakah saya pongah dengan pertanyaan itu?

X. 2 Juni: Jamil Massa: tidak ada judul

TANPA JUDUL

Seorang teman mengatakan kalau scientist adalah orang yang


menjadikan sains sebagai agama. Sejujurnya, tanpa mengurangi rasa
hormat, definisi tersebut adalah definisi paling rusak dan paling
sok tahu yang pernah saya baca.

47
Di wikipedia, definisi scientist adalah “someone who conducts
scientific research to advance knowledge in an area of interest.”

Di kamus Oxford, definisinya menjadi semakin sempit lagi menjadi “a


person who studies one or more of the natural sciences (for example,
physics, chemistry, and biology)”. Kamus Cambridge pun setali tiga
uang.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V cukup menerjemahkannya


menjadi saintis yakni “ahli ilmu pengetahuan, khususnya ilmu
pengetahuan alam.”

Ada lagi istilah saintisme yaitu “penggunaan metode ilmiah untuk


memperoleh pengetahuan, baik dalam sains dasar maupun di bidang
penelitian lainnya.”

Pendeknya, tidak ada itu pengertian scientist atau saintis sebagai


orang yang menjadikan sains sebagai agama. Perkaranya sederhana,
konsepsi agama adalah soal keimanan dan keyakinan yang
dilanjutkan dengan penyembahan total. Sains sebaliknya, memulai
segalanya dari skeptisisme; kecurigaan, yang dilanjutkan dengan
penyelidikan.

Kecelakaan besar bagi siapa pun yang memaksakan konsepsi satu


dicocok-cocokan dengan konsepsi yang lain.

Adapun soal Richard Dawkins yang katanya pongah itu, aha, saya
belum berani berpendapat panjang lebar sebab saya belum baca
bukunya The God Delusion. Saya baru punya The Greatest Show on
Earth (Pertunjukan Paling Agung di Bumi) dan enak banget membaca
gagasannya di buku itu.

Tapi, membaca komentar beberapa teman, saya pikir wajar Dawkins


bersikap anti-agama sebagai reaksinya atas apa yang kerap menimpa
para saintis sejak Hypatia, Giordano Bruno, Gallileo Galilei, Charles
Darwin, sampai sekarang. Bagaimana kaum pencinta ilmu
pengetahuan kerap dirongrong tuduhan heresy dan penistaan agama.

Itu cuma terjadi di dunia Barat? Tidak juga. Ilmuwan-ilmuwan


muslim abad pertengahan pun tak lolos dari perlakuan yang kurang
lebih sama. Coba cek biografinya Ibnu Sina, Al-Kindi dan Al-

48
Khawarizmy. Mereka adalah para ilmuwan yang dikagumi Barat tapi
dicap sesat oleh kaum mereka sendiri di zaman itu.

Kemudian mereka dirayakan penuh romantisme di zaman ini. Iya,


dirayakan doang.

Di satu titik, teman saya benar, di dunia yang fana ini ada orang-
orang yang entah dengan alasan apa menjadikan sains sebagai agama.
Tapi namanya bukan scientist, melainkan scientolog. Agamanya
disebut scientology.

Nah, scientology inilah mungkin pengejawantahan dari tabrak-


tabrakan konsepsi yang saya maksud di atas.

Di kalangan saintis, scientology ini tidak dianggap sama sekali.


Cuma kultus eksentrik yang bawa-bawa nama sains. Ndak tahu apakah
kaum agamawan akan menganggap mereka sebuah agama atau bukan.

XI. 2 Juni: Dwi Pranoto: “Heidegger dan Pengabaian Goenawan Mohamad”

HEIDEGGER
DAN PENGABAIAN GOENAWAN MOHAMAD

Tulisan A.S. Laksana “Sains dan Hal-Hal Baiknya” dan sanggahan


Goenawan Mohamad “Sains dan Masalah-Masalahnya, Sulak dan Dua
Kesalahannya”, sebenarnya sama-sama menyokong sains. Namun
keduanya dipisahkan oleh sains sebagai praksis dan “sains sebagai
ide”.

Oleh karenanya, A.S. Laksana dalam “Sains dan Hal-Hal Baiknya”


lebih menyodorkan bukti-bukti mengenai manfaat sains untuk
memecahkan masalah aktual dan memudahkan kerja manusia.

Pada sisi lain, Goenawan berupaya membawa sains lebih pada


semacam situasi-situasi kritisnya yang ditandai oleh kejumudan.

Sebelum kita melangkah lebih jauh, harus dijelaskan di sini bahwa


apa yang disebut “sains sebagai ide” adalah seperti meletakan sains
di atas meja operasi: menginterogasi, mengamati, mendiskrepsikan,

49
mendefinisikan, dan menilai. Tentu saja, GM tidak secara ketat
melakukan langkah-langkah itu dalam tulisannya. Namun, yang
pasti, GM meletakan sains sebagai objek; persis seperti ia
menggunakan Karl Popper untuk membela sikap skeptisnya terhadap
sains.

Hal ini membuat GM berada di "luar" sains dan membedakannya dengan


posisi A.S. Laksana yang relatif di "dalam" sains. Namun, apa yang
mesti diingat, percakapan antara A.S. Laksana dan GM berada di dalam
pandemi COVID-19.

Problem paling kentara dari sanggahan Goenawan dalam “Sains dan


Masalah-masalahnya” adalah ia tidak mengacu pada masalah aktual,
pandemi COVID-19, sebagai tantangan yang harus dijawab sains saat
ini.

Sanggahan Goenawan juga melepaskan diri dari kecenderungan anti-


sains dalam masyarakat Indonesia hari ini. Padahal, “Sains dan Hal-
hal Baiknya”, bagaimanapun, meletakkan dirinya dalam dua hal itu.

Akibatnya, sanggahan Goenawan Mohamad hanya mempersoalkan


“berkhidmat kepada Hegel dan Heideger” dan itupun dilepaskan dari
sifat relatifnya terhadap “berkhidmat pada sains”. Saya tidak ingin
berbantah mengenai apakah GM “anti-Hegel” atau tidak. Tapi
penilaian GM terhadap A.S. Laksana, perihal “berkhidmat kepada
Hegel dan Heidegger”, tidak ditarik dari kasusnya secara utuh. Alih-
alih, GM justru merefleksikan clausa “berkhidmat kepada Hegel dan
Heidegger” melalui sejarah dirinya sendiri.

Problem pengabaian pandemi dan kecenderungan penanggapan sosial


terhadapnya membawa GM ke kekeliruan selanjutnya. Bukan soal
“kepastian sains” yang disanggahnya, yang bagaimanapun adalah
kesalahan pembacaan A.S. Laksana atas pernyataan GM.

Mungkin serangan A.S. Laksana yang memparalelkan “kritik-kritik”


GM terhadap sains dengan “serangan gereja atas Galileo” meleset
dari posisionalitas GM. Namun, serangan A.S. Laksana tersebut juga
mesti sekaligus dibaca sebagai respons terhadap kecenderungan
semangat anti-sains yang dihembuskan dalam dalih-dalih
keagamaan di musim pandemi ini. Dari pada menanggapi serangan A.S.
Laksana dalam kerangka kasus aktual, GM malah menyebut

50
pernyataan-pernyataan A.S. Laksana sebagai usang sembari
menegakan posisionalitasnya sendiri.

Problem pengabaian pandemi ini berlanjut saat GM berpidato


tentang fenomenologi Heidegger. Maksudnya, GM tidak membawa
pandemi COVID-19 “melampaui” tatapan sains dalam terang
fenomenologi Heidegger.

Hal ini tampaknya berakar pada pemahaman GM yang keliru atas


pikiran-pikiran Heidegger. Bila GM benar membaca “What is Thing?”
(saya tidak bisa bahasa Jerman, jadi tak membaca “Die Frage nach
dem Ding”) ia pasti tahu bahwa Heidegger meletakkan pikiran-
pikiran filsafatnya dalam lapangan yang total berbeda dengan sains
dan tidak dapat dibandingkan. “However, with our question we stand
outside the sciences, and the knowledge for which our question is
neither better nor worse but totally different”.

Jadi pikiran-pikiran Heidegger tidak dapat digunakan untuk


menggebuki sains. Selain itu, pengoperasian istilah Gestell dalam
tulisan GM benar-benar jauh dari Heidegger. “Gestell” yang dalam
bahasa Inggris sering diterjemahkan “Enframing” bukan berarti
“’membaca’ realitas dalam bentuk sudah dalam pigura”.

Gestell (dalam “What is Thing?” saya tidak menemukan Gestell, saya


menemukannya dalam “The Questioning Concerning Technology”)
adalah semacam titik berangkat atau posisionalitas dari himpunan
sains/teknologi, manusia, dan alam yang di dalamnya bersemayam
potensionalitas suatu kelahiran atau penyingkapan kebenaran,
semacam suatu ruang yang menyimpan bakal bringing-forth, bakal
poiesis. Heidegger tidak bicara sains/teknologi sebagai suatu
prosedur ilmiah dan/atau hal apapun yang ilmiah, tapi esensi
sains/teknologi.

Ia menghilangkan kategori-kategori sains seperti sosiologi,


epidemologi, fisika, biologi. Artinya ia tidak membedakan
pembangkit listrik tenaga nuklir dengan bom atom, tidak
membedakan mesin panen dengan instalasi gas beracun untuk
“memanen” orang-orang Yahudi di kamp konsentrasi. Bergeser
sedikit dari posisi yang diambil Heidegger dalam memandang esensi,
kita akan menemukan pengabaian keputusan etik dan pilihan-pilihan
politis yang memerosokan kita ke dalam kekejian. Saya khawatir,

51
pengabaian GM terhadap pandemi terjadi karena pengambilan posisi
yang demikian.

XII. 3 Juni: Lukas Luwarso: Kepastian Sains dan Pencarian Kebenaran”

KEPASTIAN SAINS
DAN PENCARIAN KEBENARAN

Menarik membaca esai Goenawan Mohamad (GM) tentang “Sains dan


Masalah-masalahnya”, menanggapi tulisan A.S. Laksana, “Sains dan
Hal-hal Baiknya.”

Uraian GM membawa saya, peminat sains dan filsafat, ke perdebatan


nostalgic wacana intelektual paruh pertama era 1900-an. GM
memanggil nama-nama filsuf besar, seperti Edmund Husserl, Martin
Heidegger, dan Karl Popper untuk menegaskan posisi sentimennya
pada sains.

Filsuf besar dengan pemikiran besar memang memikat untuk


diundang dalam perdebatan tema yang esoterik, seperti ihwal
kepastian atau kebenaran. Dan faktual, memang perang gagasan di
masa lalu, yang kemudian kerap memunculkan “isme-isme” mazhab
pemikiran atau ideologi, selalu menarik sebagai kajian. Sangat
inspiratif untuk menggugah dan mengasah intelektualitas, sebagai
refleksi atas perubahan, perkembangan, kemajuan, termasuk
kemandekan.

Dialektika pemikiran besar dalam upaya menafsirkan dunia telah


melahirkan sejumlah “mazhab” berpikir. Dari rasionalisme,
empirisme, idealisme, positivisme, post-modernisme, dan entah apa
lagi.

Para pemikir besar berdialektika dan berkontradiksi sejak awal


mula munculnya fajar pemikiran. Tesis Heraklitus dengan panta rhei
(realitas selalu berubah) mendapat antitesis Permenides (realitas
abadi, tak pernah berubah), dan Plato men-sintesis: yang berubah
cuma realitas fisik, realitas ide tidak berubah.

52
Dialektika pemikiran berlanjut menyangkut epistemologi,
“bagaimana kita tahu apa yang kita ketahui tentang realitas”. Antara
pemikir yang berparadigma rasionalisme (Rene Descartes),
empirisme (David Hume), kritisisme (Immanuel Kant), idealisme
(Hegel), Intuisionisme (Henri Bergson), Positivisme (AugusteComte),
fenomenologi (Edmund Husserl), hermeneutika (Martin Heidegger),
rasionalisme-kritis (Karl Popper), post-strukturalisme (Derrida,
Lyotard). Masing-masing menawarkan perspektif untuk menafsirkan
dunia, untuk mendapatkan kepastian dan kebenaran.

Diskusi soal tema besar bIsa didekati dengan dua cara, dengan
merujuk dan menelaah gagasan-gagasan sebagai rangkaian
compendium pemikiran yang saling menegasi, melengkapi, dan
memperkuat. Atau memilih paradigma spesifik yang selaras dengan
cara berpikir kita dalam membidik persoalan. Mengangkat tesis atau
persoalan baru, sebagai metode dialektis untuk memancing
pemikiran, meskipun menggunakan paradigma lama.

Sains sebagai metode berpikir untuk memahami atau menafsirkan


dunia muncul dari proses dialektika pemikiran manusia yang
panjang. Namun metode sains sebagai cara mendeskripsikan dunia
berbasis bukti yang bisa diuji, baru muncul sekitar 300 tahun
terakhir.

Mengupas sains bisa dilakukan dengan membongkar basis


paradigmatiknya (seperti yang coba dilakukan GM), atau mengurai
pencapaian dan temuan-temuannya, khususnya temuan baru, yang
berkorelasi dalam perubahan paradigma pemikiran.

GM mengritik sains dengan pendekatan “fenomenologi” Husserl,


“hermeneutik” Heidegger, dan “rasionalisme-kritis” Karl Popper.
Beberapa poin kritiknya adalah: (1) Sains bukan lagi metode
menafsirkan dunia, melainkan hanya pendukung teknologi, sebagai si
pengubah dunia. (2) Sains menjadi panglima otoritas pengetahuan
ilmiah, mengedepankan kepastian, bukan pencarian kebenaran; (3)
Penganut “scientiesm” berpandangan sempit, tapi pongah. Tak
mengenal kritik atas sains yang berkembang dalam dunia pemikiran
modern; (4) Sains hanya diwakili ilmu alam, atau ilmu riset
kuantifikasi.

53
Sejumlah poin gugatan pada dunia sains yang cukup menohok. Narasi
GM mengajak kita untuk kembali menyoal basis paradigma sains, yang
pernah dipertanyakan para pemikir besar pada zamannya. Namun di
tahun 2020, sains terbukti terus berkembang pesat dan membuat
berbagai penemuan baru dan membuka pemahaman baru. Wacana yang
dipaparkan GM menyoal sains terasa bernuansa nostalgik, kalau
bukan anakronistik.

Sebagai pemaparan historiografi perdebatan pemikiran, kritik GM


terhadap sains mungkin valid. Namun mempersoalkan sains, antara
lain, karena kecewa epidemiologi sebagai “otoritas” tidak segera
bisa memberi “kepastian” tentang wabah COVID-19 adalah
hiperbolik. GM mengajak sains agar “mau tak mau perlu
mengistirahatkan prosesnya sendiri”.

Sembari mengutip “the art of systematic over-simplification” Karl


Popper, GM menggugat sains: “tak bisa berpanjang-panjang
melakukan riset — dan berbantah — untuk misalnya menentukan
sifat virus yang jadi biang keladi epidemi.”

Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk merespons poin-poin tudingan


GM pada sains, melainkan sekadar sebagai pendamping. Melengkapi
beberapa hal yang terlewat dari tulisan GM, terkait paradigma sains.

Kepastian Sains

Dalam artikel “Paradigms lost” (Aeon, 2015), David Barash, ahli


biologi evolusioner, menyebut sains bukan sekadar tubuh
pengetahuan, namun proses dinamis rekonfigurasi pengetahuan yang
terus berproses dan berubah. Berdiam diri (istirahat) adalah satu
hal yang sains tidak akan lakukan. Terlebih dalam situasi krisis
kemanusiaan. Memahami realitas melalui sains adalah kerja yang
terus berlangsung (work in progress).

Progres yang tak bisa dihentikan untuk memahami bagaimana dunia


bekerja, dengan terus meningkatkan akurasi dan validitasnya.
Siapapun yang memiliki aspirasi untuk selalu well-informed perlu
mengetahui bukan hanya temuan-temuan sains yang penting, namun
juga pada esensi paradigma sains.

54
Berbeda dari ideologi, sains adalah proses berpikir yang fleksibel
untuk menerima perubahan sejalan dengan perkembangan pemahaman
tentang dunia. Thomas Kuhn dalam “The Structure of Scientific
Revolution” menegaskan, pengetahuan berkembang melalui revolusi
sains —perubahan paradigma— secara radikal. Paradigma baru
menggantikan yang lama, setiap perubahan paradigma membentuk
pemahaman baru. Revolusi sains mirip revolusi sosial, namun tanpa
genangan darah.

Artikel Lori Chandler “Science Doesn't Find Truth, It Understands


Change,” (Bigthink, 2015), mendeteksi gejala merebaknya sentimen
negatif pada sains, termasuk di kalangan terpelajar. Meskipun orang
umumnya menyukai manfaat sains, namun sikap bingung kerap terjadi
dalam memahami apa itu sains.

Ketidakpercayaan (distrust) pada sains merebak karena adanya


perubahan atau ketidakpastian (pengetahuan kesehatan sering tidak
pasti, soal bahaya kolesterol, misalnya). Sementara manusia ingin
segala sesuatu serba pasti, jika hari ini terjadi pandemi, maunya
lusa sudah tersedia obat atau vaksinnya.

Terkait sifat virus penyebab pandemi COVID-19, misalnya,


ketidakjelasan menyangkut asal virus dan ketidakpastian
pengobatannya, menyebabkan sebagian orang lebih menyukai teori
konspirasi ketimbang penjelasan saintifik. Bahwa meneliti mutasi
virus dan sifatnya—termasuk pembuatan vaksin serta obatnya—
tidak mudah dan perlu waktu, sepertinya sulit diterima. Tidak heran
jika orang kemudian memilih penjelasan teori konspirasi yang serba
pasti.

Manusia baru mengetahui keberadaan virus pada 1892. Penemunya


ahli tanaman dari Rusia, Dmitri Ivanovsky, botanis yang kemudian
dikenal sebagai bapak virologi. Ivanovsky tidak sengaja menemukan
virus saat meneliti penyakit yang menyerang perkebunan tembakau.
Sejak penemuan itu, sedikit demi sedikit “dunia virus” mulai
terungkap. Dunia mikroba baru, yang sebelumnya sama sekali tidak
diketahui.

Setelah “berkenalan” dengan virus lebih dari 100 tahun, hingga saat
ini saintis belum sepenuhnya mampu memahami dengan pasti
organisme ini. Bukan cuma karena ukurannya sangat kecil, namun

55
juga karena keanekaragamannya. Virus dengan cepat mampu
bermutasi menjadi jenis baru. Yang sejauh ini diketahui,
penyebabnya COVID-19 adalah virus baru dari keluarga virus Corona.
Keluarga virus ini memicu wabah SARS (Severe acute respiratory
syndrome) di 29 negara, pada 2002-2003. Virus ini dinamai SARS-
CoV-1, sementara COVID-19 diamai virus SARS-CoV-2. Sumber asal
virus diperkirakan sama, dari kelelawar. Virus biang keladi COVID-
19 sudah diidentifikasi, namun masih perlu waktu untuk bisa
mengatasinya.

Sains mengakumulasi pengetahuan, melakukan validasi dan


invalidasi, seringkali memerlukan waktu yang panjang. Ketika alat
untuk mengobservasi dan meneliti alam semakin canggih (dari
mikroskop elektron hingga teleskop Hubble), dunia mikro sub-
partikel atom dan dunia makro galaksi semakin tervalidasi.

Informasi dan pengetahuan terus terakumulasi, berbagai penemuan


baru terus terungkap. Dunia terus menerus membuka misterinya pada
sains. Pengetahuan dan informasi baru mengubah perspektif manusia.
Dulu bumi dikira datar, matahari dan bintang mengelilingi bumi, kini
kita tahu itu salah.

Saat ini sejumlah fakta saintifik dinegasi dan dipersoalkan—dari


bumi datar, pendaratan manusia di bulan, perubahan iklim, bahaya
vaksinasi, hingga COVID-19 senjata biologis buatan manusia. Tentu,
mempertanyakan fakta sains sah-sah saja, sejauh berbasis pada
metode sains.

Persoalannya, orang lebih menyukai teori konspirasi atau asumsi


yang membuat nyaman, ketimbang fakta sains yang merisaukan. Atau
berpaling pada pseudo-sains, sejauh memberikan penjelasan yang
menyenangkan.

Karl Popper dalam risalahnya “Conjectures and Refutations”


mengulas problem yang membedakan sains dan pseudo-sains.
Memilah astronomi dengan astrologi; membedakan teori evolusi
dengan kreasionisme (intelligent design); atau ilmu alam dengan
ilmu sosial (humaniora). Melalui penerapan prinsip falsifikasi,
Popper membuat garis demarkasi yang jelas antara yang sains dengan
yang bukan.

56
Popper mengajukan “Thesis of refutability” sebagai metode menguji
teori sains, yaitu dapat disalahkan. Pernyataan atau hipotesis
bersifat saintifik jika dimungkinkan untuk disangkal. Popper
membuat analogi “angsa putih” yang terkenal. Tugas sains bukan
memverifikasi bahwa semua angsa putih, karena asumsi angsa pasti
putih. Tugas sains justru berupaya mencari angsa hitam sebagai
falsifikasi atas cara berpikir induktif bahwa angsa pasti putih.

Popper membandingkan Teori Relativitas Einstein dengan Teori


Dialektika Sejarah Karl Marx dan Teori Psikoanalisis Sigmund Freud.
Dengan menggunakan metode falsifikasi, bagi Popper, Teori Einstein
lebih saintifik dari teori Marx dan Freud. Menyangkal Teori
Relativitas cukup mudah, dengan membuktikan cahaya tidak berbelok
di seputar matahari, seperti yang Einstein prediksi.

Jika cahaya lurus-lurus saja maka teorinya salah. Menyalahkan


teori Marx atau Freud jauh lebih sulit, terlalu banyak variabel yang
inkonsisten dan sulit diprediksi, sehingga sulit difalsifikasi. Teori
Marx dan teori Freud tidak bisa sepenuhnya dianggap sains.

Popper mengamini kritik David Hume pada logika induktif yang


secara logis sulit dijustifikasi. Kebenaran induktif bersifat
psikologis (contoh, karena terbit setiap malam, maka bulan pasti
muncul nanti malam; mangga muda hijau masam, maka semua mangga
hijau pasti masam).

Popper bukan cuma sepakat dengan Hume dalam soal kritik atas
logika induktif, namun menjabarkan dalam metode falsifikasi untuk
menolak “kepastian” semu.

Dalam “The Logic of Scientific Discovery,” Popper menyebut, alih-


alih memberi kepastian definitif (mutlak), kebenaran sains bersifat
tentatif dan aproksimatif. Satu teori sains diamini karena
pemaparannya lebih baik dan lebih akurat. Teori gravitasi Newton
yang selama 200 tahun dianggap "kebenaran", kemudian terbukti
tidak cukup akurat dalam memprediksi revolusi planet Merkuri
mengelilingi matahari.

Teori Relativitas Einstein bisa lebih akurat dari Teori Newton—


namun bukan berarti Teori Gravitasi salah atau tidak berlaku lagi.
Boleh jadi Teori Einstein juga akan direvisi suatu saat nanti. Sains
tidak menawarkan kepastian absolut, selalu terbuka untuk dikoreksi
57
dan diperbaiki. Ini adalah ciri kerendahan hati etos saintifik; bahwa
sains sebagai produk ingenuitas manusia bisa keliru atau kurang
akurat.

Popper menyebut diri penganut pemikiran critical rasionalism,


kombinasi dari ontologi empiris dengan epistemologi rasionalis. Ia
bersikap rasional kritis untuk mengeliminasi “dogmatisme” dalam
sains, khususnya sebagai kritik atas paradigma Positivisme yang
diusung Auguste Comte. “Karena pengetahuan kita terbatas,
sedangkan ketidaktahuan kita tak terbatas.” Ia memastikan, tugas
sains bukan mencari (memverifikasi) kebenaran, melainkan
mengeliminasi (mengurangi) kesalahan, agar kebenaran bisa semakin
didekati. Bagi Popper: Truth is beyond human authority.

Pencarian Kebenaran

Upaya “mencari kebenaran”, terinspirasi pemikiran Popper, perlu


dimulai dengan membuat garis pemisah yang jelas antara sikap
subjektif dan objektif. Dengan metode demarkasi sains vs pseudo-
sains dan falsifikasi. Dimulai dengan memilah antara yang epistemik
(bagaimana kita tahu) dengan yang ontologis (realitas yang ada).

Upaya mencari kebenaran bersifat subjektif. Tidak ada pengetahuan


epistemik yang objektif. Termasuk sains dengan metode ilmiahnya.
Pengetahuan epistemik adalah konstruksi manusia. Kita menamai
susunan atom, struktur kimia, organisme, spesies, hingga sistem
planet dan galaksi secara arbriter berbasis konsensus (dalam hal ini
konsensus subjektif saintis dan ilmuwan).

Menafsirkan realitas ontologis adalah upaya mencari makna hidup.


Pencarian makna lazimnya adalah wilayah agama, spiritualitas, atau
filsafat. Sains tidak menyentuh pemaknaan, karena abstrak.
Pertanyaan saintifik yang valid bukanlah “apa makna kehidupan”,
melainkan “bagaimana membuat hidup lebih bermakna”. Makna hidup
pada akhirnya harus dihadapkan atau didamaikan dengan “hal-hal
yang tidak menyenangkan” dengan dunia. Misalnya soal penderitaan,
ketidak-adilan, kejahatan, termasuk pandemi.

Manusia tidak perlu mencari kebenaran, melainkan cukup bagaimana


menjalani hidup dengan benar. Kebenaran mungkin tidak akan

58
ditemukan, karena tidak jelas lokus-nya. Namun manusia bisa
merumuskan hal-hal benar. Kebenaran pada akhirnya adalah soal
konsensus manusia, seperti kebenaran moralitas, misalnya, adalah
sebuah probabilitas. Alih-alih terobsesi kebenaran, lebih relevan
memastikan untuk terus-menerus berupaya mengurangi kesalahan.
Richard Rorty dalam “The Contingency of Language” menyatakan
“truth is made rather than found.” Kebenaran merupakan konstruksi
manusia, bisa dikonstruksi dan didekonstruksi.

Bukan tugas sains untuk mencari dan menemukan kebenaran. Sains


hanya membantu menjelaskan realitas dunia. Secara umum, temuan
sains telah membuka kesadaran manusia untuk meninggalkan
paradigma antroposentris yang mengistimewakan manusia sebagai
pusat dunia. Manusia tidak istimewa, cuma satu dari sekian banyak
makhluk hidup, dan bukan ciptaan entitas supranatural.

Stephen Hawking menyebut: “manusia adalah buih kimia di permukaan


tipikal planet, yang mengorbit mengelilingi tipikal matahari, di
tepian tipikal galaksi.”

Manusia muncul dari proses evolusi kehidupan yang panjang, berbagi


genetik dengan semua makhluk hidup, dari bakteri, buah mangga,
sampai gorila. Secara genetik perbedaan manusia dan simpanse
kurang dari dua persen. Namun perbedaan kecil ini memungkinkan
manusia membangun metropolitan, membuat roket, mendarat di bulan
dan mungkin menjelajahi planet; sementara simpanse tetap
simpanse. Apa yang membedakan? Manusia memiliki sains, simpanse
tidak. Ini kebenaran faktual yang patut dirayakan.

Sains perlu disiarkan sebagai pegangan hidup, karena tidak seperti


ideologi, politik, atau keyakinan, yang sering memecah-belah, sains
menyatukan manusia. Untuk pertama kali dalam sejarah peradaban,
manusia bisa bersatu dalam satu metode, satu pemikiran bersama,
mengabaikan latar belakang kultural dan identitas.

Khususnya saat ini, di era pasca-kebenaran (post-truth), fakta-


alternatif, politik identitas dan semangat tribalisme semakin
menggejala. Ketika perdebatan atau tafsir tentang realitas mulai
mengarah ke pemikiran anti-sains. Ketika pikiran tanpa-nalar
memiliki platform yang sama dengan yang nalar. Maraknya

59
obscurantisme, teori konspirasi, matinya ekspertise, terpilihnya
politikus busuk (Donald Trump dan sejenisnya).

Paradigma sains mendesak untuk dikampanyekan, oleh kita yang


memiliki nalar, sebagaimana politik dikampanyekan. Bukan untuk
tujuan kekuasaan, tapi untuk membangun budaya nalar, menyemai
scientific temper (perangai ilmiah) sebagai gaya hidup. Sains
penting, karena, mengutip fisikawan Richard Feynman: “metode bagi
manusia agar tidak mudah dibodohi; karena sejatinya manusia adalah
makhluk yg paling gampang dibodohi."

***

XIII. 2 Juni: Dunia Filsafat Ledalero: “Kasus Galileo Galilei”

KASUS GALILEO GALILEI

Kasus Galileo Gelilei dianggap sebagai contoh kelam dalam sejarah,


di mana Gereja dianggap sebagai musuh sains. Kasus ini sering
dijadikan bukti bahwa agama (Katolik) menentang dengan sains.

Sebelum ke kasus Galileo Galilei, kiranya perlu dilihat lagi relasi


agama dan sains. Agama adalah aspek yang berbeda dengan sains, dan
dua-duanya tidak bertentangan, karena berbeda dimensinya. Banyak
orang beriman yang juga adalah ilmuwan empiris, dan banyak orang
beriman yang bukan ilmuwan empiris juga sangat berhasrat pada
pengetahuan saintifik, tanpa merasa ada gangguan apapun pada
imannya. Lalu di mana letak pertentangannya?

Jika ada pertentangan, maka pertentangannya bukan antara agama


dan sains, namun antara posisi teoritis yang menganggap bahwa
sains adalah segala-galanya, atau lawannya yang menganggap bahwa
agama adalah segala-galanya.

Andaikan Einstein katakan bahwa agama tidak perlu ada, karena sains
adalah jawaban dari segenap problem manusia, maka ia tentu salah.
Sebaliknya, jika agama katakan bahwa sains tidak perlu, karena doa
adalah jawaban dari segenap problem manusia, maka agama tentu
salah.

60
Dalam pandemi COVID-19, misalnya, jika ada ilmuwan yang
menganggap bahwa Tuhan tidak ada karena tidak bisa menghentikan
pandemi, maka ilmuwan itu tentu keliru, karena ia mengklaim
sesuatu di luar objek penelitian sains. Sebaliknya, jika ada agama
yang mengklaim bahwa sains tidak perlu karena semuanya akan
diatasi dengan doa, maka agama tersebut juga tidak lebih sebagai
kesadaran palsu.

Atau, dalam aspek sedikit berbeda, pertentangannya bukan antara


agama dan sains, namun antara pemeluk agama yang dengan sadar
mendukung sains, atau pemeluk agama yang menentang sains.

Di sisi lain, bisa saja ada pertentangan antara ilmuwan yang


bertekun dengan metode penelitian empiris sambil tetap beriman,
dengan ilmuwan yang bertekun dengan penelitian empiris, sambil
mengatakan bahwa segala hal yang bertentangan dengan metode
empiris termasuk filsafat atau teologi hanya sekadar ideologi.
Kalau umat beragama, misalnya, katakan bahwa dalam pandemi
COVID-19 orang tidak perlu taat terhadap dokter atau penelitian
ilmiah karena Allah akan menolong, maka pernyataan ini bersifat
ideologis dan berbahaya.

Namun, sebaliknya kalau para dokter katakan bahwa COVID-19 adalah


bukti bahwa Allah tidak ada, dan semua soal nilai, makna religius
tidak relevan, maka mereka melewati batas metode ilmunya, dan
tentu ini juga pernyataan ideologis.

Jadi, pertentangannya bukan antara sains dan agama, namun antara


klaim pemeluk agama yang rasional, dengan klaim pemeluk agama
yang buta terhadap rasionalitas dan penemuan sains. Atau di kutub
lain, pertentangannya ialah antara klaim ilmuwan yang beriman,
melawan klaim ilmuwan yang tidak pentingkan soal iman.

Dalam tradisi Katolik, salah satu teori utama hukum kodrat ialah
bahwa manusia dari kodratnya berakal budi, dan karenanya mesti
dituntun oleh akal budinya. Dengan ini, selain pelbagai metode
rasional yang berhubungan dengan filsafat dan teologi, metode ilmu
empiris juga sebenarnya mulai dikembangkan di Eropa dalam
universitas sejak St. Albert Magnus.

Banyak ilmuwan beriman dalam Gereja Katolik sejak abad


pertengahan, yang tidak temukan pertentangan antara iman dan
61
penyelidikan empiris, sebelum narasi empirisme sejak David Hume,
atau narasi terhadap satu kasus yang diulang-ulang; kasus Galileo-
Galilei.

Empirisme Hume sudah sering dibahas, namun narasi tentang kasus


Galileo Galilei menimbulkan keengganan umum untuk
membicarakannya, bahkan di antara anggota Gereja sendiri. Kasus ini
dianggap menjadi bukti bahwa Gereja musuh sains.

Bagaimana klaim Gereja yang katanya menghargai sains, kemudian


menghukum Galileo Galilei yang justru benar dengan teori
“heliosentrisme”nya?

Secara amat sederhana, Gereja tentu keliru berkaitan dengan teori


heliosentrisme. Namun, klaim bahwa Gereja anti sains juga
propaganda yang keliru. Bahwa Gereja salah menghukum Galileo,
kiranya tidak diragukan. Namun, mengatakan bahwa Galileo
sepenuhnya benar, dan Gereja anti sains, kiranya klaim hitam putih
gampangan di tengah kompleksitas sejarah.

Mengapa?

Pada prinsipnya, hasil penelitian ilmiah Galileo bukan hal baru di


masa itu, karena ia hanya menegaskan teori Kopernikus. Nikolaus
Kopernikus (1473-1543) sebelumnya menerbitkan hasil penelitiannya
dalam “De revolutionibus orbium coelestium” (Tentang Revolusi
Peredaran Benda Langit) yang berisi teori “heliosentrisme”: bahwa
bumi berputar mengelilingi matahari.

Kopernikus, seorang imam Katolik, mengalamatkan tulisannya


sebagai hadiah kepada Paus Paulus III (1468-1549), yang juga
menerimanya dengan hangat. Namun, sebelum menerbitkannya,
Kopernikus sendiri menyembunyikan tulisannya selama beberapa
saat, bukan karena takut terhadap Gereja, melainkan takut pada
tertawaan massa di zamannya yang menganggap teori geosentrisme
yang dipengaruhi ahli matematika Yunani Ptolomeus dan sains
Aristoteles lebih benar.

Kopernikus bahkan diteguhkan oleh Kardinal Nicolaus Schoenberg


dari Kapua, yang pada tahun 1536 mendorong Kopernikus untuk
“mengomunikasikan penemuanmu pada dunia terpelajar [masyarakat
ilmiah]”.

62
Sesudah itu, Yohanes Keppler membuat teori yang berbeda dengan
Kopernikus, di mana Keppler mendukung kembali teori geosentrisme,
yang dipengaruhi matematika Ptolomeus dan sains Aristoteles. Di
sini, baik penyelidikan Keppler dan Kopernikus dibiarkan saja dalam
debat sains, dan semuanya ditulis dalam bahasa Latin, bahasa debat
para ilmuwan.

Para bapak Gereja sendiri sebenarnya hanya mendukung ilmuwan


bekerja, dan mereka sendiri menerima saja prasangka otoritas sains
di masanya yang didominasi sains Aristoteles, dan mereka
sepertinya tidak begitu tertarik dengan astronomi murni.

Pengaruh St. Agustinus tampaknya masih kuat saat itu: “Orang tidak
membaca bahwa dalam Kitab Suci terkandung perkataan Tuhan: ’Aku
akan mengirimkan engkau Penolong yang mengajarkan gerakan
matahari dan bulan”. Atau St. Ambrosius, misalnya, menulis:
“Mendiskusikan kodrat dan posisi bumi tidak menolong kita akan
harapan pada hidup abadi”.

Dengan ini tampaknya Gereja mempercayakan soal sains pada


otoritasnya, sambil mendukung para imam atau para ilmuwan
bekerja, namun secara resmi perhatian Gereja adalah soal iman dan
moral. Sebagaimana ungkapan Kardinal Baronio: ”Maksud Roh Kudus
ialah terutama menunjukkan bagaimana ke surga, bukan menunjukkan
bagaimana langit [planet, bintang-bintang dan galaksi] bekerja”.

Dalam konteks sejarah seperti ini, Gereja sendiri mendukung


penyelidikan Galileo, di mana sahabatnya Paus Urbanus VIII (1631-
1685), manakala masih sebagai Kardinal Maffeo Barberini, secara
antusias mendukung Galileo dengan teleskopnya. Ia juga bertemu
secara pribadi dengan Paus Paulus V yang menghormatinya dan
mendukung penelitiannya.

Pada tahun 1611, para Jesuit Roma membuat upacara khusus sehari
untuk menghormati Galileo. Manakala seorang rahib Dominikan pada
tahun 1614 mengkritik Galileo dari mimbar kotbah, pimpinan Ordo
Dominikan menegur keras secara resmi dan memaksanya meminta
maaf terhadap Galileo di hadapan hampir setengah anggota Ordo.
Padahal, ada juga hal kemudian terbukti bahwa Galileo salah, seperti
soal jarak komet dalam debatnya selama kurang lebih 5 tahun dengan
imam dan astronom Jesuit Orazio Grassi (1583-1654).

63
Selanjutnya, mengapa Kopernikus diterima dengan hangat, dan
Galileo menimbulkan persoalan, padahal teorinya hampir sama?
Mengapa pada mulanya Galileo jadi anak emas Gereja, dan setelahnya
timbul persoalan antara Gereja dan Galileo?

Pertama, Galileo menerbitkan bukunya dalam bahasa Italia, bahasa


masyarakat kebanyakan pada masanya. Hal ini disengaja Galileo,
yang tentu mendatangkan kegemparan, karena dengan demikian
Galileo seakan ingin melawan masyarakat ilmiah pada masanya.
Apalagi ia mengadakan kampanye dengan serentetan pamflet yang
tersebar di Eropa.

Keresahan pun timbul. Karena Gereja juga memegang kekuasaan sipil,


maka hal tersebut seakan genderang perlawanan terhadap Gereja,
padahal, pada masanya Gereja membutuhkan kestabilan, karena
mengalami masa-masa sulit (oleh sengatan Reformasi Martin Luther
dan Perang Salib).

Selanjutnya, yang melaporkan Galileo di masanya bukan terutama


Gereja, melainkan kelompok ilmuwan yang merasa terganggu dengan
sikap sekaligus klaim-klaim Galileo. Siapa yang mesti bertindak
sebagai penyelidik dan hakim?

Pada masa itu, penyelidik sipil dan religius adalah lembaga


”inkuisisi”. Inkuisisi di satu sisi terpisah dari Gereja, karena
mereka bertindak independen dan menyelidiki juga soal sipil dan
sains, sekaligus menjadi bagian dari Gereja, karena menyelidiki juga
soal iman.

Kedua, saat Galileo bertemu dengan Paus Urbanus VIII pada tahun
1623, Paus yang adalah sahabat lamanya menerimanya dan
mengizinkannya menulis terus menulis tentang teori
heliosentrisme, namun bukan untuk membelanya mati-matian atau
mempertahankannya sebagai kebenaran (karena seperti kita lihat,
teori ini tidak bisa dibuktikan Galileo atau siapapun saat itu dengan
alat yang masih terbatas), namun sebagai sebentuk sumbangan bagi
masyarakat ilmiah, dengan argumentasi positif atau negatif.

Dua hal ini sebenarnya berbeda, karena sebagaimana Kopernikus,


mereka hanya memberikan argumentasi dan pembuktian ilmiah, dan
teori itu tetap jadi bahan pertimbangan dan studi berkelanjutan
masyarakat ilmiah. Dengan demikian, Paus sebenarnya ingin
64
melindunginya secara halus, sekaligus membiarkan dia
menyelesaikan penelitiannya.

Namun, balasan Galileo terhadap sahabat lama dan pendukungnya di


masa lalu ini terasa unik. Dalam bukunya berbahasa Italia: “Dialogo
sopra i due massimi sistemi del mondo”, Galileo justru mengolok
Paus melalui tokoh yang dipanggil “Simplicio”, yang berarti agak
tolol atau orang yang susah bernalar. Dalam situasi yang kacau,
apalagi dalam bahasa Italia, maka tidak ada yang tampak lucu dengan
sikap (sebagian menafsirkan keangkuhan) seperti ini.

Namun, ketiga, dan ini kiranya jadi soal utama: bahwa Galileo
menganggap dirinya adalah seorang religius, di mana penemuan
teleskopnya mesti mengubah penafsiran Kitab Suci.

Tentu kita mudah temukan kutipan-kutipan religius yang baik dari


Galileo, namun saat memasuki tafsiran Kitab Suci, maka timbul
persoalan. Ini soal klasik, bukan soal pertentangan agamanya dan
metode ilmu empirisnya, namun klaim otoritasnya yang menganggap
bahwa sebagai ahli astronomi, ia juga punya otoritas terhadap soal
iman. Dengan pamflet-pamfletnya, ia menantang diadakan debat
teologis.

Jadi, daripada membatasi diri pada sains seperti dilakukan


Kopernikus, Galileo sekarang masuk pada ranah teologi, dan
memaksakan penafsiran Kitab Suci berdasarkan teorinya.

Jika Galileo berhenti pada teorinya sebagai sains murni


sebagaimana dilakukan Kopernikus, maka mungkin tidak ada
persoalan. Namun, dengan teori yang ada, Galileo berusaha menarik
perhatian publik dan menganggap bahwa Kitab Suci dianggap juga
mesti direvisi, karena cerita tentang penciptaan dianggapnya
bertentangan dengan penemuannya. Gereja yang pada masa itu hidup
dalam masa yang sulit dan belum berkembang secara hermeunetis pun
panik dengan sikap Galileo.

Dengan pelbagai situasi ini, buku-buku Galileo dilarang, dan Galileo


pun ditahan. Namun, apakah Galileo disiksa secara kejam,
sebagaimana narasi umum yang terus menerus diulang? Dengan
segenap kegemparan yang dibuatnya, Galileo justru hanya jadi
tahanan rumah di Villa Medici di Roma, semacam rumah istana dengan
taman yang luas, yang sama sekali jauh dari narasi penyiksaan yang
65
kejam dan penjara. Ia didampingi pelayan, dikunjungi sahabat-
sahabat dan anaknya yang adalah biarawati, dan ia juga dibiarkan
menyelesaikan penelitiannya.

Tentu saja tindakan pelarangan dan pengucilan itu salah dan


menyengsarakan Galileo, dan banyak tulisannya menunjukkan
penderitaannya ini, karena setiap penulis dan ilmuwan ingin bahwa
karyanya dibaca dan didiskusikan. Namun, tetap penahanan tersebut
jauh dari narasi kekejaman dan penyiksaan yang selalu
dipropagandakan.

Jadi, yang tampak di sini, sebenarnya bukan bahwa Gereja anti ilmu
pengetahuan, namun pertama, justru karena Gereja sangat
menghargai sains dan ingin mempertahankan sains otoritatif pada
masanya, yaitu sains Aristoteles dan Ptolomeus, maka Gereja merasa
perlu menolak teori baru yang dirasa meragukan pada saat itu. Pada
dasarnya, sebagaimana ungkapan Kardinal Baronio: ”Maksud Roh
Kudus ialah terutama menunjukkan bagaimana ke surga, bukan
menunjukkan bagaimana langit [bintang-bintang dan galaksi]
bekerja”.

Namun, karena ingin mempertahankan sains yang otoritatif, maka


Gereja lebih menerima sains Aristoteles yang diterima lebih luas
saat itu. Dengan ini, intensi dasarnya bukan untuk menentang sains,
namun justru menyelamatkan sains, walaupun isi dari teori itu
kemudian dianggap keliru.

Kasus Galileo bisa dibuat ilustrasi sekenanya. Kita Andaikan saja


ada sebagian besar ilmuwan dan dokter mengklaim bahwa ada obat
tertentu bisa menyembuhkan COVID-19. Gereja akan ikuti saja
otoritas ilmiah yang dominan tersebut. Lalu datanglah seorang yang
mengatakan bahwa semua dokter itu salah. Lalu, bagaimana teori
orang itu dapat diterima? Kalau dia bisa buktikan.

Namun kita bayangkan bahwa ia tidak terlalu meyakinkan dalam


pembuktian, dan Gereja tetap mendukung masyarakat ilmiah yang
dominan. Namun, sesudahnya, setelah semuanya lama berlalu,
terbukti bahwa orang tersebut yang benar dan masyarakat ilmiah
pada masanya salah.

Tentu posisi Gereja yang mendukung pendapat umum ilmuwan dan


dokter saat ini, pasti kemudian dianggap keliru. Namun, tetap tidak
66
bisa dikatakan Gereja anti sains, atau agama bertentangan dengan
sains, karena Gereja tahu diri bukan ahli obat-obatan, namun ia
mengikuti otoritas masyarakat ilmiah yang dalam banyak kasus
sebelumnya telah terbukti benar.

Dalam kasus Galileo, inkuisisi bertugas meminta


pertanggungjawaban dan bukti, namun dalam pertanggungjawaban
teorinya, banyak juga detailnya yang meragukan. Sebagai contoh,
tampaknya ada bagian di mana ia katakan bahwa bukti bumi bergerak
mengelilingi matahari adalah kenyataan bahwa air laut berombak
dan angin bertiup.

Detail pertanggung jawaban yang meragukan juga menimbulkan


banyak tanda tanya pada masa itu. Kita hidup pada abad ini, manakala
masyarakat ilmiah sudah mempunyai alat yang canggih untuk
membuktikan kebenaran teori Galileo, namun pada masa itu hal
ikhwal belumlah jelas. Apalagi ia memasuki soal iman, yang kiranya
menimbulkan antipati para pengujinya. Pelbagai keangkuhan
bertemu, dan soal pun jadi kompleks.

Kardinal Robert Belarminus, seorang teolog ternama saat itu, yang


terkenal sangat rasional, terbuka dan rendah hati menganjurkan
kepada Galileo untuk mempresentasikan teorinya dalam cara yang
menunjukkan bahwa kita telah “salah menginterpretasikan” Kitab
Suci, bukan dalam cara bahwa Kitab Suci telah salah. Namun, Galileo
bergeming dengan gayanya sendiri.

Selanjutnya, soal yang juga penting ialah: apakah Galileo bisa


membuktikan teori heliosentrisme pada masanya?

Narasi yang dikonstruksikan dunia modern ialah bahwa seakan-akan


pada saat itu Gereja tahu mereka salah, namun toh Gereja tetap
menghukum Galileo sebagai upaya melawan sains, karena sains
bertentangan dengan narasi Kitab Suci.

Pada kenyataannya, Galileo tidak pernah membuktikan kebenaran


teori ini pada masanya. Ia tidak bisa menjawab pelbagai pertanyaan
seputar teori ini. Di tahun 1632 Galileo sendiri mengaku tidak dapat
membuktikannya, walau ia yakin teori itu benar. Juga sampai pada
tahun 1633 di hadapan para hakim, ia tetap tidak mampu
membuktikannya. Tidak ada yang mampu membuktikannya pada abad

67
ke-17, karena pembuktian eksperimental pertama tentang “paralaks
bintang” justru terjadi pada abad ke-19.

Teori Aristoteles tentang “paralaks bintang” (stellar parallax),


pada dasarnya rasional dan mudah diterima oleh masyarakat ilmiah.
Teori paralaks kira-kira berarti bahwa kalau bumi mengelilingi
matahari, maka kita bisa melihat perubahan gerak bintang, di mana
yang dekat akan bergerak lebih cepat, sementara ada yang jauh yang
lebih lambat.

Namun, pada masa itu, orang tidak dapat melihat paralaks bintang
dari bumi (karena pada masanya orang belum paham bahwa jarak
bintang sedemikian jauh dan susah diamati dengan peralatan di masa
itu), sehingga teori heliosentrisme dianggap meragukan (pelbagai
detail yang lebih tepat, bisa lihat secara khusus “stellar parallax”).
Sebaliknya, kesimpulan bahwa kita tidak bisa melihat paralaks
bintang ini terasa sangat meyakinkan di masa itu, sementara Galileo
juga tidak punya dasar kepastian tentang teorinya sendiri, karena
alat teleskop untuk membuktikannya belum memadai.

Tidak seorangpun bisa membuktikan teori heliosentrisme saat itu,


dan teori ini ditolak juga oleh astronom ternama, termasuk Tycho
Brahe. Pembuktian teori paralaks ini baru terjadi pada abad ke-19
berdasarkan observasi Friedrich Wilhelm Bessel (1784-1846), dengan
alat yang sudah canggih dan berkembang.

Dengan ini, bahwa Galileo benar dalam kesimpulan akhir tentu jelas
dengan sendirinya, namun bahwa Gereja anti sains adalah propaganda
belaka, karena Galileo tidak pernah mampu membuktikannya, dan
Gereja justru punya niat baik menyelamatkan sains yang dianggap
paling otoritatif pada masanya. Selain itu, pengucilan ini tidak
berhubungan dengan doktrin infalibilitas, karena tidak terjadi atas
nama Gereja Universal; artinya secara resmi “Ex Cathedra”, namun
tanggapan Gereja belaka atas sikap masyarakat ilmiah dan lembaga
inkuisisi, yang kemudian direalisasikan Gereja sebagai kekuasaan
sipil saat itu, dalam situasi yang kacau.

Yang terjadi sebenarnya niat baik menyelamatkan sains, walau


kesimpulan terbukti salah. Justru sebagaimana diungkapkan filsuf
Alfred North Whitehead: “Yang terburuk yang terjadi pada ilmuwan
ialah bahwa Galileo mengalami hukuman yang terhormat dan

68
peringatan yang halus” (the worst that happened to the men of
science was that Galileo suffered an honorable detention and a mild
reproof).

Dengan ini, manakala Paus Yohanes Paulus II meminta maaf terhadap


kasus Galileo Galilei, maka hal tersebut bukan indikasi bahwa Gereja
telah melawan sains, namun sebagai pengakuan yang rendah hati dari
Paus, bahwa dalam konteks sejarah yang rumit, Gereja telah
menyengsarakan seorang ilmuwan yang mendapat tempat penting
dalam sejarah.

Meminta maaf dalam kasus Galileo, sangat berbeda konteksnya


dengan narasi Gereja telah bersalah terhadap sains dan mesti
dianggap sebagai musuh sains.

Justru kemudian diyakini bahwa sikap Gereja menolak pandangan


Galileo juga “ada” benarnya, karena tidak semua teorinya dalam soal
ini benar, di mana Galileo percaya bahwa matahari adalah pusat
semesta, padahal matahari hanya salah satu bintang di tengah
galaksi. Atau matahari tetap pada tempatnya, padahal matahari juga
bergerak mengelilingi galaksi. Jadi, orang mesti menerima teori
“heliosentrisme” yang sudah digagaskan sejak Kopernikus, namun
bukan dalam cara yang dipaparkan Galileo, namun dalam cara yang
dibuktikan sains modern.

Dengan ini, tentu hukuman tahanan rumah bagi seorang ilmuwan


kesalahan, dan dengannya Gereja meminta maaf. Namun, mengatakan
bahwa Galileo sepenuhnya benar, dan Gereja anti sains, kiranya
narasi sensasional yang sengaja dibelokkan, yang jauh dari konteks
sejarah.

Akhirnya, cerita ini selalu diulang-ulang. Ada cerita lain seperti


kasus filsuf perempuan Hypatia yang agak meragukan, dan agak
jarang disebut (walau tetap butuh klarifikasi). Namun, narasi favorit
tetaplah kisah Galileo. Jika satu contoh kasus diulang-ulang untuk
menegaskan narasi umum yang sama, maka itu tanda bahwa kasusnya
sangat jarang.

Saat orang mengulang-ulang kesalahan saya yang sama, itu tandanya


bahwa ia tidak dapat menemukan contoh kesalahan saya yang lain.
Karena tidak ada lagi contoh lain, maka diciptakanlah karya fiktif
yang pada awalnya diklaim sebagai karya historis: “Da Vinci Code”.
69
Boleh jadi suatu saat ada yang akan percaya karya fiksi ini sebagai
karya historis, jika propaganda media cukup berhasil.

Peace.

XIV. 2 Juni: Nuruddin Asyhadie: tidak ada judul

TANPA JUDUL

Semalam Kangmas Sulak menelepon, mengajak saya untuk nyebur


dalam diskusi dengan Mbah Goen yang dipantik esai tanggapan
terhadap sampaian Mbah Goen dalam webinar “Berkhidmat kepada
Sains”. Sebelumnya, beberapa orang juga menyenggol saya untuk
menanggapi diskusi publik itu. Ke Mas Sulak saya katakan, fisik saya
tak memungkinkan untuk turut dalam "perang esai" tsb.

Hari ini, saya melihat di aliran feed FB saya, banyak yang


mengangkat diskusi itu dengan mulut melongo, merasa terinspirasi,
mendapatkan sesuatu yang berguna, dan menyebutnya dialektika
(sic!).

Saya coba untuk mendapatkan apa yang disampaikan Mbah Goen di


webinar tsb, membaca esai Mas Sulak, dan esai jawaban Mbah Goen.
Dalam hemat saya, diskusi itu berjalan dalam pelanturan-
pelanturan. Bermula dari sampaian Mbah Goen yang melantur dalam
menanggapi "berkhidmat pada sains", esai Mas Sulak yang melantur
dari sampaian Mbah Goen--jadi REMEK betul kalau ada dari kalangan
filsafat dan sains yang terwow-wow.

Dalam kesempatan ini, mari kita luruskan persoalan, jika mau


berdiskusi (diskusi ae gak bisa, rek, rek). Buang saja esai-esai
percum tak bergun, yang tulisan pun belum, kemarin itu ke tong
sampah.

1. Apakah khidmat--berkhidmat pada sains?

2. Apakah berkhidmat pada sains hanya terepresentasi dalam


meluncurnya sains dari epideiktik ke pragmatik--techne, di
Yunani Kuno, sesungguhnya ke epideiktik bukan seperti teknik

70
hari ini yang ke pragmatik--sehingga purifikasinya atau
pengingatannya ke epideitik dapat diajukan sebagai penolakan
terhadap berkhidmat pada sains?

3. Ketika dr. Cipto "menyelamatkan orang yang sengsara" dalam


penanganan wabah di masanya, bukan "menyelamatkan ilmu", apa
posisi sains di sana? Dienyahkan sepenuhnya? Sains sebagai
epideitik? Sains sebagai pragmatik?

4. Jika dalam "menyelamatkan orang sengsara" itu adalah sains


sebagai pragmatik, terus Mbah Goen itu menolak apa dong?

Stasis itu, pertanyaan-pertanyaan itu, baru DIALECTIC, bukan


WISDOM. Dialektika memberdayakan antara (the other) untuk
menemukan sendiri kebenarannya.

XV. 3 Juni: Azis Anwar Fachrudin: “Saintisme Bukan Istilah Peyoratif”

SAINTISME BUKAN ISTILAH PEYORATIF

Sebagian orang menolak penggunaan kata “saintisme” (scientism)


karena maknanya peyoratif, dengan pengertian ia biasa dipakai
untuk merendahkan penemuan ilmiah yang menentang keyakinan
(seringnya keyakinan keagamaan) seseorang.

Benarkah demikian?

Jika maksud klaim itu merujuk pada penggunaannya dalam


perbincangan publik umum, mungkin benar dalam sebagian kasus.
Tapi jika maksudnya adalah penggunaannya dalam perdebatan
akademis, atau lebih khusus lagi dalam wacana agama-dan-sains,
tidak. Ia absah sebagai sebuah deskripsi tentang suatu posisi
filosofis tertentu.

Dalam wacana agama-dan-sains setengah abad mutakhir, saintisme


merujuk pada pandangan atau ideologi bahwa sains adalah penjelasan
paling valid dan paling objektif bagi segala hal yang ada.

71
Sekali lagi: penjelasan paling valid dan paling objektif bagi segala
hal yang ada. Boleh juga dikatakan, saintisme ialah paham yang
menyatakan bahwa sains adalah Kebenaran itu sendiri (dengan “K”
kapital) dengan cakupan total pada segala yang ada. Redaksi dari
definisi-definisi yang diajukan boleh jadi berbeda, tapi acuan
maknanya pada esensinya sama.

Dengan makna ini, tidak ada yang peyoratif sama sekali, karena ia
mengacu secara deskriptif pada suatu ideologi. Buku-buku dan
artikel-artikel jurnal ilmiah sudah ditulis untuk mengritik
saintisme, bukan saja oleh para teolog, melainkan juga kalangan dari
latar belakang filsafat bahkan tak sedikit dari para praktisi sains
itu sendiri. (Misal, jika mau baca artikel untuk pembaca populer, ini
tulisan panjang dari profesor biologi: "The Folly of Scientism"
https://www.thenewatlantis.com/publications/the-folly-of-
scientism)

Sebagai ilustrasi seperti apa makna yang diacu kata “saintisme”,


saya berikan tiga contoh.

Pertama, pernyataan terkenal Stephen Hawking di pembukaan buku


The Grand Design (2010) bahwa “filsafat telah mati” karena gagap
mengejar kemajuan sains. Bagi Hawking, pertanyaan tentang apa
watak sejati realitas, yang biasanya menjadi ranah filsafat, kini
sudah bisa dijawab fisika. Dengan kata lain, filsafat tidak lagi
berguna, karena otoritasnya sudah diambil sains.

Kedua, pernyataan kimiawan Peter Atkins dalam artikelnya Science


as Truth (1995) bahwa sains memiliki “kompetensi universal” untuk
menjelaskan segala hal dan bersifat superior atau mengatasi ilmu-
ilmu sosial humaniora.

Ketiga, pernyataan Richard Dawkins dalam River Out of Eden: A


Darwinian View of Life (1995): “The universe that we observe has
precisely the properties we should expect if there is, at bottom, no
design, no purpose, no evil, no good, nothing but pitiless
indifference.”

Jika kalimat Dawkins ini dimaksudkan sebagai apa yang maksimal


bisa sains berikan, karena ia hanya bisa mengakses yang material
atau empiris (alias setia pada “naturalisme metodologis”), tidak ada
masalah. Tetapi jika itu dimaksudkan untuk merefleksikan kebenaran
72
dari segala yang ada (“naturalisme ontologis”), bahwa begitu pula
watak sejati kehidupan manusia; yakni tidak ada baik dan jahat; tidak
ada tujuan bagi kehidupan; bahkan tidak ada pikiran dalam otak
manusia, dan karena itu filsafat akal budi tidak ada gunanya; maka
klaim itu berubah menjadi klaim saintisme.

Dengan tiga gambaran itu, dari sekian banyak contoh lain yang biasa
muncul dari kelompok neo-ateis, penggunaan kata “saintisme” tepat
menyasar posisi filosofis yang hendak diacu. Tidak ada yang
peyoratif dalam hal ini.

Kritik yang dilancarkan terhadap saintisme juga tidak berbeda


dengan kritik terhadap posisi filsafat lain. (Yang membuat neo-
ateis disebut neo-ateis dan berbeda dari ateis-ateis lama yang ada
hingga awal abad 20 persis ada pada keyakinan saintisme itu.)

Saintisme yang demikian ini hendak menjadikan sains mengatasi


semua bidang ilmu, termasuk filsafat, yang melahirkan sains itu
sendiri. Ia menyatakan bahwa segala yang ada hanyalah yang
material. Tidak berlebihan jika dikatakan, saintisme sebenarnya
ialah materialisme berbaju sains.

Bila hendak diperas dalam dua paragraf singkat apa kritik utama
pada saintisme, sesungguhnya tidak benar-benar sulit. Sains
tidaklah bisa mendaku sebagai kebenaran itu sendiri sebab
kebenaran sains bertumpu pada kebenaran lain, yakni keyakinan
metafisis yang harus diasumsikan benar agar sains bisa bekerja—
yang pernah saya tulis di postingan lama Fesbuk saya. Di antara
contoh keyakinan metafisis itu ialah: bahwa hukum logika dan
matematis benar (kebenaran koherensial); pikiran bisa tepat
merefleksikan dunia eksternal (kebenaran korespondensial);
kausalitas riil adanya; induksi valid sebagai metode; dan
seterusnya.

Karena bertumpu pada kebenaran lain, sains sendiri tidak bisa


membuktikan kliam “sains adalah satu-satunya penjelasan paling
valid bagi segala hal”. Untuk bisa menyatakan ini, sains butuh
topangan lain, yakni filsafat. Menjelaskan kebenaran klaim itu
dengan bekal sains saja, selain tidak bisa difalsifikasi secara
empiris, juga akan berarti swa-rujukan (self-reference): sains
benar karena sains itu sendiri benar.

73
Dengan demikian, yang gusar dengan saintisme seharusnya bukan saja
kalangan agamawan, tetapi juga para filsuf, para ilmuwan sosial, dan
bahkan semestinya juga para ilmuwan alam itu sendiri. Kalangan
yang kerap mendelegitimasi agama kerap menggunakan kata “God-
of-the-gaps”. Sebenarnya dengan nalar saintisme, kita juga bisa
memakai frasa “philosophy-of-the-gaps” untuk ranah kajian
filsafat yang belum bisa dijelaskan sains.

***

Boleh jadi ada yang keberatan, bahwa saintisme yang demikian itu
bukan satu-satunya definisi. Saintisme dalam penggunaan awalnya
berarti “sikap ilmiah” (scientific attitude), untuk membedakannya
dari dogma.

Keberatan ini bagi saya terasa trivial. Jika demikian yang dimaksud,
maka itu bukanlah makna yang diacu dalam penggunaan dan kritik
terhadap “saintisme” dalam wacana agama-dan-sains setengah abad
mutakhir. (Kasih tahu saya ya jika Anda menemukan dalam wacana
agama-dan-sains ada kritik terhadap saintisme dengan acuan makna
“sikap ilmiah”.)

Menyatakan kritik terhadap saintisme keliru karena sama saja


mengkritik “sikap ilmiah” adalah sebentuk “genetic fallacy”, yakni
kesalahan pikir karena menyalahkan suatu konsep berdasarkan asal
konsep itu dan bukan bagaimana konsep itu dipahami ketika diajukan
oleh orang yang menggunakannya saat ini.

Saya kasih ilustrasi untuk memahami hal ini.

Misal, kata “dogma” itu sendiri. Sekarang ini ia cenderung bermakna


kebenaran yang diterima begitu saja tanpa sikap kritis. Tapi “dogma”
bermakna asali “pendirian filosofis” (philosophical tenet). Ini sama
dengan kata “doktrin”: awal mulanya ia bermakna netral saja, yakni
“ajaran” (teaching).

Kini ia cenderung berkonotasi ajaran agama. Ketika orang


mengkritik sikap dogmatis dengan mengacu pada makna asalinya,
padahal bukan itu makna yang dikehendaki lawan bicara, maka itu
adalah falasi. Dengan memakai makna asalinya, klaim bahwa “sains
adalah penjelasan paling valid bagi segala hal” juga merupakan
sebentuk dogma.

74
Misal lain, kata “sains” itu sendiri. Makna asalinya adalah
“pengetahuan” secara umum. Kata “ilmu” dari bahasa Arab merupakan
padanan yang pas dengan makna ini. Di zaman pra-modern, khususnya
dalam kurikulum Aristotelian, kata “sains” yang diacu saat ini
bernama “natural philosophy” (ini frasa yang dipakai Isaac Newton
dalam Principia Mathematica); dan kata “natural philosophy”
dipakai untuk membedakannya dari “moral philosophy” (yang
mencakup politik, ekonomi, dan etika).

Dalam wacana agama-dan-sains mutakhir, kata “sains” cenderung


mengacu secara spesifik pada “ilmu-ilmu alam”. Jadi ketika orang
mengkritik santisme saat ini, kata “sains” yang dimaksud di
dalamnya adalah ilmu-ilmu alam, bukan sains yang bermakna
pengetahuan secara umum.

Jika Anda membuka buku tentang agama-dan-sains terbitan


mutakhir, dan Anda mengharapkan di dalamnya ada polemik agama
dengan ilmu sosial, Anda perlu berharap juga bahwa harapan Anda
kemungkinan besar tak terpenuhi.

Demikianlah. Bukan kata yang primer, tetapi makna di balik kata


itulah yang seyogianya dijadikan rujukan. “La musyahhata fil-
isthilahat; tidak ada permasalahan dalam soal istilah,” kata al-
Ghazali ketika mengajak agar tak mudah terpukau pada istilah para
filsuf. “Inna al-‘ibrah bil-ma’na,” lanjutnya, “karena yang dipegangi
adalah makna yang dikandungnya.”

Saya pribadi bahkan punya usulan. Jika kata “saintisme” membuat


diskusi terdistraksi oleh persoalan semantik, istilahnya boleh
diganti, yang penting makna yang diacu sama. Bagaimana, misalnya,
jika kata saintisme kita ganti saja jadi “sun-go-kong-isme”?

XVI. 3 Juni: Goenawan Mohamad: “Tanggapan Terhadap Nirwan”

TANGGAPAN TERHADAP NIRWAN

Dalam tulisan pendeknya yang antara lain tertuju kepada saya,


Nirwan Arsuka membela sains dengan mengajukan pertanyaan

75
retoris: apakah sains “pongah dan mengagulkan diri”? Beberapa
kalimat kemudian: “…katakanlah sains memang pongah dan gemar
mengagulkan diri. Terus kenapa?”

Pertanyaan itu agak aneh, (artinya, saya tak sanggup menjawabnya),


tapi saya tak akan mempersoalkannya.

Pertama, karena saya tak pernah dengar ada yang menuduh sains
demikian.

Kedua, dengan memakai metafor “pongah” dan “mengagulkan diri”,


saya takut membawa diskusi ini ke dalam pembahasan budi pekerti.

Saya lebih baik di sini bicara soal “scientism”, yakni sikap (ada yang
menganggapnya ideologi) yang menjunjung sains tinggi banget,
katakanlah, setinggi 10 x Monas.

Kata “scientism” (saya terjemahkan sebagai “saintisme”) memang


sudah jadi peyoratif, dan makin sedikit orang yang menyatakan diri
sebagai pengusung saintisme. Tapi semangatnya masih berlanjut—
terutama di kalangan pengagum Richard Dawkins dan “Atheisme
Baru”.

Sebenarnya tak pasti benar apakah sesungguhnya Dawkins dan


teman-temannya termasuk golongan orang-orang yang berada di
jalan saintisme. Tapi seperti mereka yang sefaham dengan saintisme,
Dawkins, pengagum dan epigonnya, pada percaya, bahwa ilmu
pengetahuan empiris merupakan satu-satunya dasar bagi
pengetahuan sejati; mereka juga “evidensialis”: beranggapan bahwa
pengetahuan harus bisa dibuktikan.

***

Dalam tanggapan saya buat tulisan A.S. Laksana beberapa hari yang
lalu — yang juga saya pasang di sini — saya kutip Karl Popper yang
mengatakan bahwa saintisme “secara dogmatis menekankan otoritas
pengetahuan ilmiah”.

Karena saya anggap dalam hal ini Popper kurang terang dan tajam,
akan saya pinjam penjelasan Ian Hutchinson, seorang fisikiawan yang
mengajar sains nuklir di MIT.

76
Saintisme, kata Hutchinson dalam “Monopolizing Knowledge” (2011),
menganggap sains — artinya ilmu-ilmu alam modern, pewaris
revolusi ilmu yang bermula sejak abad ke-16 —sebagai satu-satunya
sumber “pengetahuan yang sebenarnya”. Kata kunci: “satu-satunya”.

Dengan batasan itu Hutchinson menganggap saintisme sebagai “a


ghastly intellectual mistake”, kesalahan intelektual yang
mengerikan. Para penganut saintisme misaknya menganggap
keyakinan agama, karena tak “ilmiah”, berarti tak rasional dan tak
dapat dibenarkan. Padahal, kata Hutchinson, “banyak keyakinan
penting, baik yang sekuler maupun yang religius…bisa dibenarkan
(justified) dan rasional, tapi tidak ilmiah”.

Dengan kata lain, jika “tidak ilmiah” itu artinya tidak mengikuti
prosedur ilmu-ilmu alam modern dengan kekuatan kuantifikasinya
— yang menurut Husserl dimulai Galileo di abad ke-7 — tak berarti
itu pengetahuan yang keliru, kuno, dan dianggap sudah (pantas) mati.
Atau hanya pandangan berdasarkan suka dan tak suka secara pribadi.

Beberapa saintis memang cenderung memonoli pengetahuan dan


kebenaran. Di tahun 1995 Peter Atkins, kimiawan Inggris yang banyak
menulis itu, membuat satu esai, “Science as Truth”. Ia menegaskan
“kompetensi universal sains”, “universal competence of science”.
Yang ia maksudkan, ia anggap sains punya kompetensi untuk
menjelaskan segala hal, kapan saja, di mana saja.

Lebih tegas lagi kita temukan dalam pembukaan buku “The Grand
Design” yang tersohor yang disusun Stephen Hawking dan Leonard
Mlodinow. Di situ dikatakan “filsafat sudah mati” dan pertanyaan
dasar seperti tentang “kodrat realitas” sudah diambil alih untuk
dijawab sains, terutama ilmu fisika.

Ini bisa dianggap kepongahan Hawking, tapi karena saya tak ingin
membahas budi pekerti, lebih baik saya katakan pernyataan itu tak
menyelesaikan pertanyaan yang lebih dasar.

Ada pertanyaan Einstein yang menggaungkan satu paradoks yang


dalam: “The most incomprehensible thing about the universe is that
it is comprehensible.” Hawking and Mlodinow mengutip ini dan
menjawab: “The universe is comprehensible because it is governed
by scientific laws; that is to say, its behavior can be modeled.”

77
Yang tak ditanyakan lagi oleh dua orang piawai itu: mengapa alam
semesta kita kok diatur oleh hukum-hukum sains, “governed by
scientific laws.” Itu pertanyaan Einstein yang tersirat dalam
paradoks yang dikemukakannya. Itu pertanyaan filsafat yang belum
mati.

Walhasil, kemajuan sains memang dahsyat. Karya Hawking


mengagumkan. Maka saya tak meragukan apa yang didapat manusia
dari sains. Yang saya ingin tunjukkan: sains, sebagaimana yang
dipikul saintism, tak menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan yang
penting, sementara ia diletakkan dalam posisi palsu: “memonopoli
pengetahuan.”

Jakarta, 3 Juni 2020.

XVII. 3 Juni: Ardi Kresna Crenata: “Sains, Agama, dan Kesalahan Kita”

SAINS, AGAMA, DAN KESALAHAN KITA

Di hadapan Mehdi Hasan, dalam program Head to Head produksi Al


Jazeera English, Richard Dawkins memaparkan pemahamannya soal
agama. Ia seorang saintis yang positivistik dan sangat mengandalkan
rasionalitas horisontal --bandingkan dengan rasionalitas vertikal
atau meta-rasionalitas yang memberi ruang bagi spiritualitas dan
iman-- dan pandangannya soal agama sangat reduktif.

Yang dilihatnya dari Kristen, misalnya, adalah bahwa agama ini


menjebak para pengikutnya di dalam kerangka berpikir yang sempit.
Dawkins memang terang-terangan dan keras dalam menyerang dogma
Kristen. Ia muak dengan para pendeta yang mengajak anak-anak
untuk selalu bertolak pada iman Kristen dan di saat yang sama
melihat sains sebagai semacam produk kelas dua.

Di program itu, Mehdi Hasan memang sedang mengajak Dawkins


berdebat soal apa yang dikemukakannya di bukunya yang sangat
kontroversial, The God Delusion. Buku ini ditulis dengan semangat
membara seorang ateis garis keras yang mencoba menyadarkan

78
orang-orang bahwa beragama itu nonsens, bahwa agama tidak layak
dianut apalagi dibela dan diperjuangkan.

Ada juga versi film dokumenter dari buku ini, dengan semangat yang
kurang-lebih sama. Intinya, di The God Delusion Dawkins
memaparkan bahwa ada terlalu banyak hal tak masuk akal di dalam
agama dan sebagai seseorang yang hidup di era modern ia tak habis
pikir orang-orang mau-mau saja membiarkan diri mereka dikekang
olehnya, bahkan tenggelam di dalamnya. Di kata pengantar buku ini,
dengan penuh percaya diri, Dawkins mengatakan bahwa jika
seseorang membaca buku tersebut dengan baik ia pastilah akan
menanggalkan dan meninggalkan agamanya dan menjadi ateis.

Mehdi Hasan, yang seorang muslim dan sekaligus intelektual, yang


menaruh perhatian pada realitas politik global dan karena itu
perspektifnya luas, tidak sepakat dengan Dawkins. Beberapa kali ia
melontarkan pertanyaan-pertanyaan untuk membantah
argumentasi-argumentasi Dawkins, seperti apakah Dawkins yakin
bahwa akar masalah dari setiap konflik berbau agama di dunia ini
adalah agama-agama itu sendiri dan bukannya iklim geopolitik yang
toksik.

Dawkins tentu saja bersikeras dengan pendiriannya. Dan memang ia


tidak bisa diharapkan memiliki perspektif seluas itu mengingat yang
ditekuninya adalah biologi, bukan sejarah atau sosiologi atau
politik.

Yang menarik adalah, di satu titik, setelah Dawkins mengutarakan


pendapatnya bahwa Tuhan itu tidak ada dan bahwa argumentasi-
argumentasi yang dilontarkan kaum agamawan untuk membuktikan
keberadaan-Nya cacat nalar, Mehdi Hasan bertanya, apakah Dawkins
akan mengakui keberadaan Tuhan jika suatu saat nanti Tuhan
ternyata bisa juga dialami secara empiris.

Sebagai seorang saintis yang positivistik Dawkins begitu


mengagungkan penginderaan-penginderaan yang sifatnya konkret,
bahwa benar atau tidaknya sesuatu, bahwa ada atau tidaknya sesuatu,
harus bisa dibuktikan secara empiris, sesuai dengan rasionalitas
horisontal tadi. Jawaban Dawkins, di luar dugaan, adalah iya. Ia
mengaku bahwa ia akan menerima keberadaan Tuhan apabila suatu
saat nanti Tuhan bisa dialaminya secara empiris.

79
Kasus ini menunjukkan dua hal. Pertama, nalar positivistik itu
cacat. Kedua, sikap sportif di diri seorang saintis bisa mencegahnya
dari terperosok ke jurang arogansi yang dalam.

Dengan mengatakan bahwa keberadaan Tuhan bisa diterima apabila Ia


bisa dialami secara empiris, Dawkins sejatinya sedang mengatakan
bahwa pandangannya yang kokoh soal Tuhan itu tidak ada bisa jadi
ternyata tak sekokoh itu, bahwa argumentasi-argumentasi yang
selama ini dilontarkannya untuk mendukung pandangannya itu bisa
jadi tak sepenuhnya logis seperti yang ia kira. Ada hal-hal yang ia
lewatkan, dengan kata lain.

Dan apa hal-hal itu?

Terlalu banyak untuk disebutkan di sini. Yang jelas, rasionalitas


horisontal saja terbukti tak cukup mampu membuat seseorang
memahami realitas dan hal-hal di dalamnya dengan baik. Seseorang
itu juga perlu memiliki kesadaran versi Michael S.A. Graziano, bahwa
ia harus memosisikan dirinya di posisi dirinya dan bukan-dirinya
untuk bisa benar-benar memahami realitas dan hal-hal yang ada di
dalamnya.

Memang, tak bisa dimungkiri, jika kita bicara soal kemajuan


teknologi dan berkembangnya peradaban maka sainslah yang
mengungguli agama. Tumbuh pesatnya perekonomian Cina dalam
beberapa dekade terakhir adalah berkat sains, bukan agama. Jepang
bangkit setelah kekalahan menyakitkan di Perang Dunia II adalah
berkat sains, bukan agama. Dan Jerman menempati posisi
strategisnya di Eropa seperti saat ini adalah juga berkat sains,
bukan agama. Sains, sains, dan sains. Itulah yang akan kita lihat saat
kita fokus pada pertumbuhan fisik, pada sesuatu yang sifatnya
konkret dan kasatmata.

Tapi jangan salah, hal-hal abstrak dan tak kasatmata yang


merupakan bagian dari berkembangnya peradaban banyak juga yang
dipengaruhi oleh sains, seperti kesadaran gender, kesadaran
ekologis, dan kesadaran sosial.

Lalu bagaimana dengan agama? Apakah di zaman yang sudah sangat


modern ini agama sudah tak dibutuhkan lagi? Apakah agama memang
telah sebegitu jauhnya tertinggal oleh sains? Jawabannya tidak

80
sesederhana iya atau tidak. Kita harus terlebih dahulu melihat
konteksnya.

Misalnya, sains akan sangat membantu kita dalam upaya memahami


bagaimana realitas konkret bekerja. Agama pun bisa mengambil
peran ini, sebenarnya, tetapi sains lebih bisa dipercaya. Sains
membantu kita memahami bagaimana planet ini terus mengalami
kerusakan dari waktu ke waktu, yang sebagian besar di antaranya
adalah karena ulah kita.

Sains membantu kita memahami kenapa kesenjangan sosial-ekonomi


bisa sampai ada dan masih saja terus ada, di mana di sejumlah
kawasan justru malah semakin parah. Sains pun membantu kita
memahami kenapa kesadaran gender kolektif yang levelnya tinggi
sulit sekali dicapai di negara-negara yang masyarakatnya relatif
konservatif dan agamis. Dan dengan adanya bantuan-bantuan dari
sains ini, sedikit-banyak, kita bisa melakukan perubahan-
perubahan positif, paling tidak di skala yang kecil dan privat.

Agama tak bisa membawa kita sampai ke sana sebab penjelasan-


penjelasan yang ditawarkannya seringkali kurang mendetail dan
kalaupun mendetail umumnya terkendala oleh konteks. Dalam hal ini
sains mengungguli agama. Agamalah justru si produk kelas dua,
bukan sains.

Tetapi di situasi yang berbeda, untuk hal yang berbeda, posisinya


bisa saja sebaliknya. Misalnya ketika seseorang sedang sangat
kesulitan entah itu secara ekonomi atau sosial, seperti ia
dicengkeram kemiskinan atau diperlakukan dengan buruk oleh
orang-orang di sekitarnya, agamalah justru yang umum menjadi
pegangan, bukan sains.

Kenapa begitu?

Karena agama mampu memberikan sesuatu yang tak mampu diberikan


oleh sains: ketenangan batin. Setiap agama pada dasarnya
menawarkan hal tersebut sebagai semacam utopia-yang-mungkin-
dicapai. Sains tidak menawarkan itu karena, pada dasarnya, yang
berupaya dilakukan sains adalah mengungkap kebenaran, adalah
menyingkap tirai-tirai tak kasat mata yang memerangkap kita di
dalam ilusi. Agama tidak begitu. Meski memang agama sekilas seperti
bicara soal mana yang benar dan mana yang salah, jika ditelisik lebih
81
lanjut ia sebenarnya lebih bicara soal mana yang baik dan mana yang
buruk.

Agama berkutat dengan kebijaksanaan, sementara sains berkutat


dengan kebenaran. Dan seseorang umumnya lebih membutuhkan
kebijaksanaan ketika ia sedang berada di dalam situasi sulit, ketika
ia merasa beban yang harus ditanggungnya terlalu besar dan ia
frustrasi. Paling tidak, agama mampu membuatnya kembali memiliki
dorongan hidup, dan itu penting. Dalam hal ini jelas sekali bahwa
agama mengungguli sains.

Dan masih ada banyak situasi lainnya. Intinya, kita tidak bisa begitu
saja mengatakan bahwa sains mengungguli agama atau sebaliknya,
apalagi jika keunggulan di sini adalah keunggulan yang sifatnya
absolut. Setiap keunggulan selalu memiliki konteks, dan konteks
inilah yang harus kita lihat dan cermati. Orang-orang yang
mengatakan bahwa sains sudah pasti mengungguli agama sama
kelirunya dengan orang-orang yang mengatakan bahwa agama jelas-
jelas mengungguli sains. Mereka sama-sama tenggelam di dalam
arogansinya yang toksik dan menjijikkan.

Dan lebih keliru lagi orang-orang yang beranggapan bahwa sains


sudah pasti benar atau agama sudah pasti benar. Sains, kendati
terkesan objektif dan bisa dipertanggung jawabkan, kenyataannya
juga dibayang-bayangi bias dan subjektivitas. Sedari dulu seperti
itu.

Terkait hal ini Michel Foucault sebenarnya sudah mengingatkan kita


dari jauh-jauh hari. Sains bisa diarahkan atau bahkan digerakkan
oleh ideologi, oleh paradigma, oleh epistema. Sebagai contoh, dunia
kedokteran di Amerika Serikat pada zaman dulu masih sangat
diracuni oleh rasialisme yang menargetkan orang-orang kulit
hitam; dan sebuah sekolah kedokteran terkemuka di Jepang hingga
beberapa tahun silam masih sangat dikotori oleh seksime.

Sains yang konon objektif dan bisa dipertanggungjawabkan itu


ternyata begitu subjektif, begitu toksik dan menggelikan. Dalam hal
ini ia relatif sama saja dengan agama. Ia bisa menjadi busuk di
tangan orang-orang yang busuk. Ia bisa menjadi busuk apabila
digerakkan oleh sistem yang busuk.

82
Lantas apa? Sederhana saja, sebenarnya, yakni bahwa balas-
membalas tulisan "saintifik" dalam upaya menentukan mana yang
lebih unggul antara sains dan agama, apalagi secara fanatik atau
membabi buta, adalah sebuah kekonyolan. Itu sungguh tidak penting
dan salah fokus. Kalaupun mau, yang dibahas di tulisan-tulisan itu
adalah bagaimana sains maupun agama bisa lebih bisa berperan
positif dalam membantu kita mengatasi situasi kritis yang saat ini
tengah kita hadapi.

Pandemi COVID-19 itu nyata. Ancaman bangkitnya otoritarianisme


itu nyata. Krisis kemanusiaan di Yaman dan sejumlah kawasan
lainnya di Timur Tengah itu nyata.

Bagaimana sains dan agama bisa membantu kita mengatasi hal-hal


seperti ini, semestinya itulah yang menjadi fokus kita, bukannya
menentukan mana di antara keduanya yang lebih unggul dan
karenanya lebih baik. Dan sungguh lucu sekali apabila aktvitas
balas-membalas tulisan ini diniatkan sebagai semacam kerja
intelektual.

Itu ... terlalu dipaksakan.(*)

Cianjur, 3 Juni 2020

XVIII. 3 Juni: Ulil Abshar Abdalla: “Antara Sains dan Soto”

ANTARA SAINS DAN SOTO

Saya sering membaca di beberapa buku sains populer yang terus


terang amat saya nikmati itu suatu statement yang kira-kira bisa
diringkaskan dengan kalimat berikut:

Perbedaan mendasar antara sains dan agama adalah bahwa dalam


sains, seorang saintis akan dengan gembira menyambut koreksi dan
kritik oleh sesama koleganya manakala teori yang ia ajukan terbukti
salah; atau, dalam istilah filsuf Karl Popper, "di-falsifikasi". Dia
tidak akan mengkafirkan saintis lain yang telah mengoreksinya,
apalagi melaporkannya ke majlis inkwisisi untuk diadili.

83
Ini, kata para pendukung sains, berbeda dengan agama. Di sana,
seseorang yang berbeda mazhab atau sekte bisa dikafirkan, dimusuhi,
diadili, bahkan dibunuh. Dalam agama, perbedaan akidah dan
pendapat bisa berujung pada perang.

Hujjah ini, tentu saja, dikemukakan sebagai alat untuk "mengejek"


agama, seraya mengunggulkan sains sebagai diskursus yang lebih
superior, lebih "beradab", karena ia rasional, matang, tidak
menimbulkan permusuhan.

Para pecinta sains (catatan: sains di sini saya maksudkan sebagai


ilmu-ilmu kealaman, bukan "social sciences") di mana-mana,
termasuk di Indonesia, sering pula mengulang-ngulang mantra klise
ini, mantra yang tak bisa dipungkiri bernada "kepongahan" (ini
adalah terjemahan saya untuk istilah "scientific boasting" yang
dipakai oleh David Berlinski dalam bukunya "Devil's Delusion").

Mari kita teliti, apakah pernyataan ini benar.

Kita tak bisa mengingkari adanya pertikaian antara mazhab dan


sekte dalam sejarah agama-agama. Eropa mengenal tiga puluh tahun
perang agama pada abad ke-17 yang berkecamuk di Jerman akibat
Reformasi Protestan. Islam mengenal konflik Sunni-Syiah yang
berdarah-darah, baik pada masa klasik atau modern.

Sejarah kelam agama seperti ini, terutama dalam lingkungan dua


agama semitik (Kristen dan Islam), tidak bisa diingkari. Saya pun
membaca sejarah hitam seperti ini dengan perasaan masygul, kadang
marah: kenapa ajaran Tuhan yang dimaksudkan untuk menegakkan
kehidupan yang damai di bumi, justru menimbulkan perang yang
berdarah-darah?

Penjelasan yang komprehensif mengenai paradoks seperti ini, bisa


dibaca dalam buku yang ditulis Karen Armstrong, "Fields of Blood:
Religion and the History of Violence" (2014). Tetapi saya punya
penjelasan sendiri.

Menjadikan sejarah kelam agama sebagai alat untuk "bragging",


menepuk dada dan mengejek agama seperti dilakukan oleh (sebagian)
saintis dan para pendukungnya, bagi saya, bisa tampak menggelikan.

84
Mari kita telaah, kenapa tidak ada perang karena perbedaan pendapat
dalam sains. Tanpa meneliti lebih saksama hal ini, kita bisa tertipu
oleh "argumen retoris" para pendukung sains itu.

Baik sains dan agama, secara ontologis atau wujudiah, masuk dalam
wilayah yang sama: keduanya adalah bagian dari aktivitas mental
manusia, meskipun dasar-dasar legitimasinya beda; agama
bersumber dari wahyu, sains dari observasi atas data-data empiris.

Tetapi keduanya jelas berbeda secara mendasar dari segi berikut ini:
agama masuk dalam apa yang oleh teolog Lutheran Paul Tillich
disebut sebagai "the ultimate concern", hal yang begitu mendalam
mempengaruhi "psyche", jiwa, dan emosi manusia karena menyangkut
pertanyaan mendasar dalam hidup. Perbedaan dalam hal-hal yang
menyangkut "the ultimate concern" memang rawan menimbulkan
konflik, karena menyangkut emosi yang terdalam pada diri manusia.

Sementara watak sains berbeda: dia bersifat rasional, dan cenderung


tidak menyentuh emosi manusia yang terdalam. Karena itu, tak ada
seorang pun bersedia mati berjihad untuk membela teori gravitasi,
atau mempertahankan persamaan Einstein E = mc². Untuk apa, kok
seperti kurang pekerjaan saja?

Perbedaan dalam sains tidak melibatkan "high stake" dalam hidup


manusia yang memiliki kesadaran, karena tidak menyangkut "the
ultimate concern".

Seorang saintis memang tidak akan bertengkar hingga berujung pada


konflik fisik karena perbedaan hipotesis atau interpretasi terhadap
suatu data. Tetapi ini tidaklah sesuatu yang khas sains. Betapa
banyak bidang dalam kehidupan manusia di mana perbedaan di sana
tidak berujung pada konflik dan saling mengkafirkan, karena tak
menyangkut "the ultimate concern".

Para sarjana sastra tidak berperang karena perbedaan teori dan


pendekatan. Para ahli hukum tidak bertikai secara fisik karena
perbedaan mazhab. Para pelatih bola tidak berseteru karena
perbedaan strategi.

Para chef tidak bertengkar karena berbeda dalam menilai resep


makanan. Para juri dalam kompetisi musik tidak saling mengafirkan
karena berselisih pandangan dalam menilai penampilan seorang

85
kontestan. Seorang kritikus seni atau lukisan bisa berbeda dalam
menilai mana lukisan yang paling "menggetarkan", tetapi mereka
tidak saling baku-hantam.

Dua orang Ngawi (ini sekadar contoh saja) tak akan saling
memurtadkan karena salah satunya beranggapan bahwa Soto
Lamongan lebih lezat ketimbang Soto Bangkong. Mereka berbeda,
tetapi tidak akan adu-jotos.

Contoh-contoh semacam ini tak terhitung jumlahnya dalam


kehidupan sehari-hari.

Sains bukanlah satu-satunya "human enterprise" yang patut merasa


pongah dengan sebuah klaim bahwa perbedaan di dalamnya tidak
menimbulkan konflik berdarah-darah. Tak ada yang spesial pada
sains dalam aspek ini. Biasa saja.

Tidak semua perbedaan dalam agama juga berujung pada pengkafiran


dan konflik. Perbedaan dalam forum bahtsul masa'il di antara para
kiai NU dalam merumuskan sebuah fatwa, tidak berujung pada
pengafiran. Ribuan bahtsul masa'il saya saksikan dalam sejarah NU,
dan tidak ada satupun cekcok berdarah-darah muncul di sana.

Harus diingat pula, perbedaan yang menimbulkan konflik dan perang


tidaklah monopoli agama. Perang dingin yang melibatkan perlombaan
senjata nuklir yang nyaris memusnahkan spesies manusia,
berlangsung sejak dekade tahun 1950-an sampai runtuhnya Tembok
Berlin pada 1991. Dalam Perang Dingin ini, dua mazhab sekuler, bukan
agama, saling berseteru: kapitalisme dan komunisme.

Apakah para pendukung sains akan mengatakan bahwa: sains lebih


unggul tinimbang ideologi kapitalisme atau sosialisme, hanya
karena para saintis bisa berbeda secara beradab dan tidak berujung
pada perang, baik dingin, setengah dingin, atau panas?

Nasionalisme adalah ideologi modern yang memiliki sejarah yang


rumit: ada sejarah terang, ada sejarah gelap. Sejarah terang
nasionalisme ditandai dengan lahirnya negara-negara nasional yang
memberikan "ruang sosial-kultural" bagi miliaran penduduk bumi
untuk membangun peradaban mereka masing-masing, termasuk bagi
para saintis untuk bekerja.

86
Tetapi nasionalisme juga punya sejarah yang amat kelam. Kita
menyaksikan hal ini berkali-kali dalam era modern: Kashmir,
Palestina, Rohingya, Uyghur, Bosnia, Timor-Timur, dan lain-lain.
Apakah sains akan menepuk dada pula bahwa dirinya lebih unggul dari
ideologi nasionalisme karena para saintis bisa berbeda pendapat
tanpa menimbulkan "perang"?

Perbedaan dalam sains tidak menimbulkan konflik dan perang karena


ia tidak melibatkan "the ultimate concern" yang menyentuh emosi
manusia yang terdalam. Dia adalah kegiatan serebral yang tidak
membangkitkan emosi.

Jika sebagian pendukung sains berpikiran bahwa agama harus


dihapuskan saja (jika bisa!) karena hanya menimbulkan konflik, maka
nasionalisme dan negara-negara nasional modern juga harus
dihapuskan. Pemilu langsung juga layak ditiadakan sama sekali,
karena potensial menyulut konflik, sekurang-kurangnya seperti
terlihat dalam pilpres kita yang terakhir.

Apakah demokrasi juga kalah unggul dibanding sains, karena


perbedaan di sana potensial memantik kerusuhan seperti terjadi di
Amerika hari-hari ini?

Konflik dalam kehidupan manusia adalah fakta yang tak


terhindarkan; pemantiknya bisa agama atau ideologi sekular.
Konflik ini bisa diatasi, dan karena itu muncul disiplin keilmuan
yang bernama "conflict resolution".

Tetapi menepuk dada seperti dilakukan sebagian pendukung sains


bahwa mereka bisa berbeda tanpa baku-hantam, dan karena itu
bidang yang mereka geluti lebih superior tinimbang bidang-bidang
lain, jelas menggelikan. Karena dua orang Ngawi yang saya ceritakan
tadi juga melakukan hal yang sama: mereka berbeda, dan tidak
berujung pada konflik.

Bedanya hanya satu: dua orang Ngawi itu tidak pongah. Mereka
berbeda soal soto, dan tetap bersahabat, tidak saling mengafirkan.
Tetapi mereka tidak lalu berpikiran bahwa agama, nasionalisme,
demokrasi, dan kapitalisme kalah unggul dibanding soto.

87
Bahwa soto perlu ada, saya sepakat. Tetapi meremehkan dan mengejek
hal-hal lain di luar soto, seolah-olah yang non-soto adalah non-
sense, itulah sejenis kepongahan.

Sekian.

XIX. 3 Juni: F. Budi Hardiman: Saintisme dan Momok-momok Lain

SAINTISME DAN MOMOK-MOMOK LAIN


Interupsi untuk Goenawan Mohammad dan A.S. Laksana

Goenawan Mohamad (selanjutnya GM) dan A.S. Laksana (selanjutnya


ASL) berdebat di Facebook. Dibanding perdebatan politis di TV yang
kerap tidak lebih dari hembus angin, perdebatan tertulis mereka
punya mutu yang merangsang nalar. Belum banyak yang mereka gali.
Mereka berselisih sikap atas sains.

Tapi sayang sekali, mereka bertarung tanpa membedakan kancah


mereka. Kedua penulis berdebat dalam area-area yang berbeda dalam
diskusi sains. ASL sibuk dengan aksiologi, tentang bagaimana sains
berdampak secara historis pada masyarakat. Sementara itu, untuk
klarifikasi sikapnya GM malah melantur ke epistemologi, tentang
bagaimana sains meraih hasilnya (Husserl dan Popper), atau bahkan
ontologi (Heidegger), tentang realitas yang didekati sains. Kancah
itu tumpang tindih. Tapi mereka terlanjur saling senggol.

Jika ini arena tinju, yang mereka tampilkan belum pertandingan yang
ditunggu. Mereka baru ada di “babak adu mulut” untuk menunjukkan
siapa mereka. ASL tampil antusias pada sains, sementara GM bersikap
hati-hati dengan antusiasme itu. ASL bilang GM memuja atau -
istilah dia - “berkhidmat pada” Hegel, tapi GM membantah dengan
menyatakan dirinya anti-Hegelian.

Kalaupun melangkah lebih jauh dari adu mulut, keduanya paling-


paling baru berjalan berkeliling ring tinju sambil memamerkan
kehebatan mereka mengingat nama dan peristiwa. ASL mengacungkan
tinjunya dengan tesis kemajuan yang dibawa sains. Di seberangnya,
GM memanggil nama-nama besar yang menurutnya kurang familiar

88
bagi ASL, seperti Husserl, Heidegger dan tentu saja Popper. Penonton
sudah tidak sabar melihat bogem mendarat ke muka.

Debat memang belum menukik. Meski begitu, debat tulisan mereka


sangat menjanjikan untuk berkembang menjadi silang gagasan
bermutu yang mendidik publik kita agar tidak hanya haus sensasi,
tapi juga lapar nalar.

Untuk itu saya minta izin untuk masuk ke dalam kancah mereka.
Bukan untuk memenangkan, melainkan untuk sekadar memanaskan.
“Panasnya pertarungan,” kata Bob Marley, ”adalah semanis
kemenangan”.

***

ASL dan GM jelas berbeda sikap. Namun mereka sebenarnya berada


dalam perahu sama yang berbendera kritisisme. Mereka alergis
terhadap dogmatisme jenis manapun. Seperti para antusias
Pencerahan Eropa – semoga saya salah - ASL kelihatannya lega, kalau
sains akhirnya bisa mendepak agama, karena dogmatisme bercokol di
sana.

Tapi di seberang sana, seperti kritikus Pencerahan GM melihat ASL


bergerak baru setengah jalan. Itulah yang membuatnya gundah.
Bukankah kepongahan yang muncul dari kemajuan sains bisa bergulir
menjadi dogmatisme baru? Pisau kritis jangan diarahkan hanya
kepada agama, tetapi juga kepada sains.

Dalam hal ini GM sepakat dengan Popper, Heidegger dan – jika mau
lebih afdol semestinya juga – dengan Kuhn dan mungkin juga
Feyerabend. Sains tetap hipotetis dan falsifiable. Bukanlah
keyakinan yang diberikannya kepada sains, melainkan kewaspadaan.
Ada roh pasca-Pencerahan yang hinggap di benaknya.

Ada distingsi subtil yang sayangnya tidak muncul dalam silang


gagasan mereka. Padahal jika dimunculkan, kesalahpahaman bisa
dihindarkan. Distingsi itu adalah antara sains dan saintisme
(scientism), antara agama dan fideisme, dan antara filsafat dan
ideologi.

89
Yang di sisi kiri berkata: ”Aku sedang mencari jawaban” dan tidak
terlalu dini merasa menemukannya. Yang di kanan tidak tahan dengan
ketidakpastian pencarian, maka sejak subuh berkata: ”Akulah
jawaban”.

Hal-hal yang di kanan itu jelas tidak disukai GM, bukan karena dia
tidak suka jawaban. Dia tidak suka jawaban yang memasung kebebasan
dan menyeragamkan yang majemuk.

Logis juga kalau dia lalu juga waspada terhadap kekuasaan yang
nongkrong di belakang keyakinan itu, entah itu di belakang sains,
agama atau bahkan di belakang filsafat. Sikap ASL lurus saja seperti
bapak positivisme, Auguste Comte yang mengira mitos diusir
filsafat, dan filsafat diatasi sains. Jelas dia menyambut sains
sebagai pembebas, lalu menengok ke masa silam untuk memaklumkan
bahwa “iman yang gemar menghukum” akhirnya digilas sains.

Sains memang menjadi digdaya. Kalau terlalu yakin dengan


jawabannya, sains berhenti bertanya dan dilantik sebagai jawaban
akhir yang tidak lagi perlu dipersoalkan. Fundamentalisme sains itu
disebut saintisme.

Wiener Kreis dengan positivisme logisnya mewakili keyakinan itu.


Bahkan para fisikawan, logikus dan matematikus yang terhimpun di
situ punya proyek Einheitswissenschaft untuk menyatukan semua
ilmu di bawah metode fisika dan matematika.

Syukur bahwa proyek itu berantakan. Tapi entah kenapa, impian


mereka tidak segera tamat di benak mereka yang antusias pada sains.
Wujud historisnya adalah laboratorium-laboratorium Nazi. Di bawah
sorot mata Joseph Mengele, sang malaikat maut, wanita-wanita
Yahudi Polandia yang disterilisasi tanpa bius hanyalah preparat
risetnya. Tidak lebih. Silau oleh cahaya dingin kebenaran sains,
manusia bisa kehilangan hati nurani dan empatinya.

Bagaimana dengan agama?

Mereka yang antusias dengan kemajuan sains pasti heran dengan


penempatan agama sebagai pencari jawaban. Bukankah agama,
khususnya doktrin-doktrinnya, sudah memberikan jawaban baku dan
tidak perlu mencari kebenaran lagi? Seperti dengan sains, di sinipun
kita perlu membedakannya dengan fideisme. Wahyu memang diyakini

90
sebagai kebenaran final, tapi pemahaman manusia atasnya tidak
pernah final. Jadi, agama sebetulnya juga terus bertanya tentang
pemahaman yang benar atas wahyu, maka dihasilkan banyak tafsir,
mazhab, sekte, dan seterusnya. Mereka yang tidak tahan dengan
ketidakpastian akan mengalami ‘korsleiting’ di otaknya. Fideisme
lalu menjadi pegangan. Sekonyong-konyong dari sudut mata yang
saleh itu sains tampak sebagai karya iblis.

Filsafat tidak terprivilegi. Dia pun bisa tergoda untuk menepuk dada
dan berujar “Akulah jawaban”. Di saat itu dia berubah menjadi
doktriner yang intimidatif. Rousseau di tangan Robespierre, algojo
Revolusi Prancis, menjelma menjadi doktrin teror. Di bawah
Stalinisme Plato juga bisa mengintimidasi seni dan sastra.
Schopenhauer di tangan Musolini menjadi dogma gerakan. Namun
filsafat itu sendiri tidak ingin “membangun monumen”, seperti
dikira ASL.

Kalaupun betul, monumen pikiran menunggu untuk diruntuhkan.


Aliran-aliran di dalamnya mengalir, bukan pikiran beku. Filsafat
hidup dari bertanya. Tentu bertanya adalah untuk mendapat jawaban.
Tapi begitu jawaban diperoleh, pertanyaan diubah. Kalau tidak
begitu, dia bukan filsafat, melainkan ideologi.

Pandemi COVID-19 menjadi alasan kuat untuk mewaspadai saintisme,


fideisme dan ideologi. Mereka bisa saja menjadi tuntunan praktis
bagi rezim biopolitis global yang mulai mengawasi tubuh dan
mengobok-obok privasi warga. Berkat sains kita memang lebih siap
menghadapi pandemi ini, tetapi konyol jika bersikap naif terhadap
der Wille zur Macht di balik sains. Sains itu politis, seperti
dicurigai Feyerabend. Politik lebih sering menikung ke labirin dunia
makna daripada bertahan di dunia fakta. Tidak mengherankan jika
sains juga diperumit oleh politik, seperti di saat pandemi ini.

***

Sejak tadi saya gatal untuk menggiring debat masuk lebih dalam.
Entah, apakah ada yang tertarik. Ada tiga persoalan. Pertama, agama
dan sains kerap dihadap-hadapkan. Itu tidak realistis. Sains tidak
dapat melepaskan diri sepenuhnya dari peran agama, sekurangnya
secara historis. Max Weber pernah bertanya, kenapa sains modern
berkembang di Barat dan tidak di India? Karena monoteisme

91
menyumbang untuk menghadapi alam bukan sebagai hal gaib,
melainkan sebagai materi yang bisa ditangani. Menolak berhala
adalah awal materialisasi alam dalam monoteisme.

Materialisasi alam memungkinkan sikap objektif dalam sains. Tentu


borjuasi Eropa dengan sikap berjaraknya juga andil dalam hal itu.
Betul bahwa akhirnya sains otonom dari agama. Namun apakah wahyu
religius tidak ikut melahirkan sains, sekurangnya secara tidak
langsung? Jika ya, mestinya ibu dan anak bisa saling mengerti, dan
anak tidak perlu durhaka.

Kedua, perkembangan New Sciences, seperti teori chaos, geometri


faktal, mekanika kuantum dan lain-lain. telah berpisah dari
mechanical worldview a la Newton. Ilmu-ilmu sosial ikut
dipengaruhi tentu saja. Ketidakpastian dan kontingensi makin
mendapat tempat penting dalam sains.

Epidemologi yang mencoba mengantisipasi pola penyebaran infeksi


SAR-CoV-2 juga harus bertatapan dengan ketidakpastian. Tidakkah
realitas yang ditangkap oleh New Sciences ini jauh lebih kompleks
dan jauh lebih tidak pasti lagi, sehingga sains - juga agama dan
filsafat - seperti dikatakan Rorty bukan mirror of nature,
melainkan hanyalah upaya rasional untuk mengurangi kerumitan
saja? Konstruksi-konstruksi rasional seperti itu tidak bisa
permanen. Jadi, ya, mengapa harus “berkhidmat kepada” mereka?

Yang ketiga adalah tentang hubungan antara sains dan dunia makna.
Realitas terdiri atas benda dan makna. Sains berhasil mengetahui
benda. Tetapi bisakah makna didekati oleh sains (ilmu alam)?
Bagaimana mungkin dari benda muncul kehidupan, dan dari kehidupan
muncul kesadaran?

Neurosains pun belum bisa menjelaskan mengapa otak bisa


menghasilkan neorosains, jika kesadaran tidak lebih dari otak saja.
Dugaan saya, untuk menjawab pertanyaan macam ini sains tidak bisa
sendirian tanpa melibatkan agama dan filsafat.

Masih ada lusinan pertanyaan lain yang berkecamuk di kepala saya.


Tentu bukan ‘ sang Entah’ yang diundang pertanyaan, melainkan suatu
yang menghalaunya. Karena itulah kita berdiskusi.

92
XX. 4 Juni: Goenawan Mohamad: “Maaf, Tanpa Judul”

MAAF, TANPA JUDUL


Jawaban buat Taufiqurrahman

Pengantar: Taufiqurrahman menulis panjang, meramaikan polemik


tentang sains yang “dipancing” dengan baik oleh A.S. Laksana. Saya
menjawabnya di sini, kali ini tanpa judul karena tak ada satu dua
kata yang pas untuk mencakup poin-poin yang saya akan kemukakan.

Model jawaban ini juga saya bikin sesuai dengan itu, terpecah-pecah;
berbeda dengan tulisan sebelumnya.

Tentang Ragu

Taufiqurrahman mengatakan: “Goenawan Mohamad memang seorang


peragu—walau mungkin ia jenis peragu yang syahdu.”

Catatan saya:

Kayaknya Taufiq benar. Saya bersyukur. Ragu sering jadi awal


filsafat dan ilmu — misalnya “keraguan Descartes”, “Cartesian
doubt”.

Penjelasannya saya ambilkan saja dari Wikipedia: “Cartesian doubt


is a systematic process of being skeptical about (or doubting) the
truth of one's beliefs, which has become a characteristic method in
philosophy.”

***

Tentang Kebiasaan Buruk

Taufiqurrahman menyebut tentang “kebiasaan buruk GM dalam


menulis esai: ‘cherry-picking...’”

Catatan saya:

Tentu saya bisa membantah bahwa saya punya “kebiasaan buruk dalam
menulis essay,” dan bahwa saya “cherry-picking” kutipan. Tapi saya
tak anggap perlu membela diri buat satu penilaian yang mirip
adhominem. Saya tak ingin membuat percakapan ini menyimpang —

93
atau jadi pertandingan tinju tempat kita balas membalas pukulan
norak.

Saya ingin polemik ini tajam, terfokus, tanpa saling memburuk-


burukkan “kebiasaan” lawan berbicara. Saya berharap pertukaran
pendapat ini — yang jarang terjadi, dan ternyata diapresiasi banyak
pembaca — bisa membentuk percakapan yang asyik. Kalau bisa,
bahkan pertemanan, kalaupun bukan kesepakatan, dalam bidang
pemikiran.

Setidaknya di masa “lokdon”...

Tentang “Protes pada Sains”

Taufiqurrahman mengatakan: “Goenawan Mohamad mencomot separuh


paragraf saja kalimat Karl Popper untuk mengorfimasikan
pandangannya sendiri yang berusaha memberi protes kepada sains.”

Catatan saya:

Saya tak tahu di mana dalam tulisan saya ada kalimat yang
menyatakan “protes kepada sains”. Mungkin Taufiq ketemu tulisan
Goenawan Mohamad yang bukan saya.

Coba baca dengan seksama dan dalam tempo sesantai-santainya


jawaban saya kepada A.S. Laksana. Di sana saya — yang mengaku “rada
Popperan” — menyebut kekaguman Popper kepada pengetahuan ilmiah
(“admiration for scientific knowledge”) —dan saya merasa cocok
dengan sikap itu.

Dengan kata lain, tak ada protes saya kepada sains. Dalam jawaban
saya kepada Nirwan Arsuka — orang yang lebih mengenal dunia sains
ketimbang saya — saya bahkan mengatakan: “Saya tak meragukan apa
yang didapat manusia dari sains”.

Jadi, dari mana Taufiq menyimpulkan saya menyatakan “protes


kepada sains”? Saya duga ini karena ia tak mengerti kata “caveat”.
Tulisnya: “GM merasa perlu untuk mengutip Popper, karena
pandangan Popper diaggap sebagai ‘caveat’, protes...”

“Caveat”, protes? Bukankah artinya “peringatan agar berhati-hati”?

94
*

Tentang Sains Sebagai Panglima

Taufiqurrahman menulis, bertanya, “Benarkah ketika sains menjadi


panglima, sains akan terdorong mengedepankan kepastian? Benarkah
ketika ilmu dijadikan sebagai sumber utama, ilmu pasti berhenti
berproses mencari kebenaran?”

Catatan saya:

Saya membayangkan sains sebagai penjelajahan yang terus menerus


— kisah perjalanan yang, dalam gambar kulit buku Novum Organum,
karya pelopor “The Age of Reason”, Francis Bacon, diibaratkan
menerobos dua pilar Herkules menuju ke samudera mahaluas. Tekad
sains adalah menempuh pelayaran dengan semboyan dari Perjanjian
Lama: “Banyak yang akan berjalan, dan pengetahuan akan bertambah”.

Tapi kemudian, terutama di hari-hari ini, sang penjelajah


didudukkan sebagai panglima kebijakan publik dalam pelbagai hal.
Sebagai sang pemimpin, pendapatnya menentukan mana kebijakan
yang benar mana yang keliru. Untuk itu ia mau tak mau di- (ter)-
dorong memproduksi kepastian.

Seperti saya katakan kepada Lukas Luwarso, yang menulis dengan


kalem dan jernih tentang ini, saya ingin mengingatkan bahwa dalam
posisi sebagai panglima, sains bisa terjebak jadi tahanan VIP di
markas komando: ia harus memberi rekomendasi yang persis, buat
melayani apa yang diharapkan publik dan mereka yang mengatas-
namakan publik.

Tentu ini tugas mulia, terutama jika buat menyelamatkan nyawa


ribuan manusia. Tapi ada harga yang harus dibayar dalam
instrumentalisasi sains.

Contoh yang terkenal ialah dukungan Joseph Stalin kepada Lysenko,


direktur Genetika dalam Akademi Sains Uni Soviet, yang diharapkan
mengubah pertanian Rusia yang miskin dan manusia Rusia yang lama.
Dukungan itu demikian besar dengan rencana menciptakan “manusia
baru Soviet” — meskipun dengan teori yang tak diuji.

Tanpa Stalin dan Lysenko, dewasa ini, dengan beberapa perkecualian,


perkembangan sains tetap diterjemahkan sebagai perkembangan

95
riset dan innovasi. Ukuran GII (Global Innovation Index) memicu
persaingan modal dan kekuatan politik yang terus menerus.
Investasi dalam bidang riset dan pengembangan — yang dijadikan
landasan teknologi baru dan pertumbuhan ekonomi — makin
mendorong sains sebagai pendukung teknologi. Di posisi itu,
kepastian, kegunaan, hasil temuan untuk diterapkan, adalah ukuran
yang dipakai lembaga-lembaga riset. Terutama untuk mendapatkan
dana buat kontinyuitas penelitian.

Yang sering dilupakan, yang kini mendominasi bidang sains bukanlah


sang ilmuwan, melainkan pelbagai lembaga. Kita bukan lagi hidup di
zaman Newton yang menggarap teori-teori pentingnya sendirian di
pedalaman ketika mengungsi dari wabah yang menyerang London. Di
zaman ini, sains ditopang institusi, bersama itu grant untuk riset,
bahkan patronage oleh dunia bisnis dan Negara.

Kekuasaan-kekuasaan itu menghendaki target dan hasil yang siap


pakai. Makin dianggap penting satu rencana riset, makin dibutuhkan
ia untuk menentukan nasib bisnis dan kesejahteraan rakyat, makin
dituntut ia untuk menawarkan satu produk yang tak bersifat
provisional.

***

Tentang Husserl

Taufiqurrahman menulis, bahwa ( ia mungkin hendak membantah yang


saya sangka) fokus pandangan Husserl “bukanlah krisis
epistemologis yang terjadi pada sains itu sendiri, melainkan krisis
kemanusiaan”.

Maka, kata Taufiq, untuk mengatasi krisis kemanusiaan itu sains


mesti mengubah fondasinya: dari matematika ke fenomenologi
transendental. Sains seharusnya tidak berangkat dari kalkulasi
matematis, tetapi dari pengalaman langsung manusia dalam dunia
kehidupannya.

Kata Taufiqurrahman pula, tawaran itu akan menyulitkan ilmuwan


untuk bekerja. Bagaimana cara ilmuwan untuk punya pengalaman
langsung tentang virus, misalnya?

Catatan saya:

96
Kritik Husserl terhadap sains yang sejak Galileo mempertaruhkan
diri pada kuantifikasi menyangkut erat dengan persoalan bagaimana
manusia mengetahui dunia. Fisika ala Galielo melihat alam sebagai
semesta matematis. Dengan kata lain, seperti dikatakan Husserl, ini
adalah “matematisasi alam”.

Di sini mau tak mau kita harus “melantur” masuk ke dalam


epistemologi, ke dalam telaah bagaimana kita mengetahui alam.
Sejak Galileo, artinya sejak sains modern, kita mengenal sesuatu
(batu, bintang, bangunan, badan, dan lain-lain) “hanya dalam wujud
yang terus menerus dicocokkan dengan bentuk ideal geometris yang
berfungsi sebagai tonggak pemandu”, untuk memakai kata-kata
Husserl.

Itu berarti matematika dan sains matematis, (dalam kiasan yang


disukai Husserl), telah membentuk Ideenkleid, “jubah ide” yang
menutupi apa saja yang kita cerap di dunia-kehidupan — apa saja
yang konkret. Dengan metode induksi yang dipakai sains, semesta dan
segala isinya dihadirkan dalam abstraksi dan formulasi. Sains
menganggap itu gambaran realitas yang ada secara objektif dan
benar.

Fenomenologi tak hendak meniadakan sains. Para pakar virologi


tetap dapat tempat yang terhormat. Sebagai sumbangan buat
kearifan manusia, fenomenologi menawarkan pendekatan lain, yang
terkenal dengan anjuran “Zurück zu den Sachen selbt!” — terjemahan
kasarnya: kembalilah ke bendanya sendiri.

Dalam penafsiran saya, itu berarti yang tertutup oleh “jubah ide”
dan lain-lain harus ditemui kembali. Artinya kita perlu kembali
berada dalam dunia-kehidupan yang dibangun dari hal-hal yang unik
dan kompleks.

Sebab ada hal lain yang perlu tersingkap. Sains modern tak pernah
mempertanyakan, bagaimana sebenarnya alam semesta, hingga dapat
ditampilkan secara koheren dalam bentuk matematis? Bagaimana
caranya mem-verifikasikan itu?

Dalam “The Grand Design” Stephen Hawking dan Leonard Mlodinow


menjawab sebuah persoalan yang dikemukakan Einstein dalam sebuah
paradoks: “The most incomprehensible thing about the universe is
that it is comprehensible.” Kepada persoalan ini, Stephen Hawking
97
menegaskan premis Galileo: “The universe is comprehensible
because it is governed by scientific laws; that is to say, its behavior
can be modeled.” Yang tak ditanyakan oleh dua orang piawai itu:
mengapa alam semesta kita “is governed by scientific laws?”

Kritik Husserl kepada sains modern yang dibawa Galielo akhirnya


menunjukkan, sains tak mempertanyakan semua, dan sebab itu tak
menjawab semua.

Di tahun 1962, saya pernah mengutip satu refleksi Alfred North


Whitehead:

“Apabila kita memahami segalanya tentang matahari, segalanya


tentang atmosfir, dan segalanya tentang rotasi bumi, kita masih
terluput untuk melihat kecemerlangan sinar matahari terbenam.”

Waktu itu saya membicarakan sajak Soebagio Sastrowardojo,


“Manusia Pertama di Angkasa Luar” — manusia yang merasa
dipisahkan dari dunia oleh “rumus ilmu pasti yang penuh janji”.

Matematisasi alam, yang menghasilkan prestasi ilmiah yang hebat,


juga punya “collateral damage”: keterasingan manusia dari alam dan
dari proses serta hasil karyanya sendiri. Dalam konteks lain, Karl
Marx menyebutnya Entfremdung.

Pada akhirnya, kritik epistemologis bertaut erat dengan persoalan


ethis: bagaimana aku menerima dan memperlakukan yang-bukan-
aku, “the other”.

***

Tentang Heidegger (I)

Taufiqurrahman mengatakan tentang Heidegger:

‘Kritik Heidegger terhadap sains—juga terhadap teknologi—bisa


saya terima: bahwa dunia yang tampil melalui sains (juga melalui
teknologi) adalah dunia yang telah mengalami pembingkaian
(enframing). Pembingkaian inilah, kata Heidegger, yang menjadi
esensi dari teknologi. Namun, pertanyaannya: memangnya ada jenis
pengetahuan lain yang tidak membingkai atau—dalam istilah GM—
“mereduksi” objeknya?

Komentar saya:

98
Ada. Karya seni, misalnya, adalah cara mengetahui dunia tanpa
pembingkaian —jika kita lihat pembingkaian (Gestel) adalah
mereduksi dan menguasai. Hedegger menunjukkan, ketika kita
menghadapi dunia, ketika aku menyambut “yang-bukan-aku” dengan
terbuka dan membiarkannya leluasa, dengan Gelassenheit, tak ada
pembingkaian.

Seorang psikolog juga harus berada dalam sikap “Gelassenheit”,


ketika ia berhubungan dengan orang yang datang kepadanya karena
hendak melepaskan diri dari situasi kejiwaan tertentu.

Tentang Heidegger (2)

Taufiqurrahman menulis: “Heidegger di fase akhir pemikirannya


kemudian melirik puisi. Di situlah kritik Heidegger terhadap sains
pada akhirnya tidak menghasilkan apa-apa, selain hanya kata-kata
penuh metafora.”

Komentar saya:

Mengatakan kritik Heidegger terhadap sains “tidak menghasilkan


apa-apa” adalah sebuah pernyataan yang gagah perkasa tapi, maaf,
gegabah.

Pandangan Heidegger yang memujikan “pemikiran puitis”,


berpengaruh besar dalam pelbagai bidang. Kita menemukannya dalam
pemikiran dan praktik arsitektur, misalnya pada karya Peter
Zhumtor, arsitek terkemuka Swiss. Saya pernah ketemu sebuah buku,
“An Ontology of Trash” yang menganalisa problem manusia dengan
sampah. Di sana penulisnya banyak menimba pemikiran Heidegger.

Pengaruh Heidegger memang kuat dalam gerakan “deep ecology” yang


memandang problem-problem lingkungan dengan menekankan segi
ethis. Pengaruh Heidegger pada bidang lain tampak pada theologi,
misalnya pada pemikiran Jean-Luc Marion.

Jadi, Taufiq, Anda keliru untuk mengatakan pandangan Heidegger


“tidak menghasilkan apa-apa, selain hanya kata-kata penuh
metafora.”

***

99
Tentang Saintisme

Taufiqurrahman, dalam menyerang pendapat Ulil, memakai


pengertian Mario Bunge tentang saintisme. Bagi Bunge, “the thesis
that all cognitive problems concerning the world are best tackled
adopting the scientific approach, also called ‘the spirit of science’
and ‘the scientific attitude’.”

Komentar saya:

Kata kunci dalam pengertian Bunge adalah “best”. Dan itulah


salahnya. Menganggap pemakaian pendekatan sains sebagai yang
paling bagus dalam menghadapi semua masalah kognitif dalam hidup
ini berarti menomorduakan pendekatan lain. Maksud saya,
pengetahuan yang tidak cocok dengan sains modern, dan sebab itu
disebut “tidak ilmiah”, tak berarti klenik.

Dalam “Monopolizing Knowledge” (2011), Ian Hutchinson, guru besar


nuclear science di MIT ini menunjukkan satu ciri saintisme:
memenganggap bahwa hanya sains — artinya ilmu-ilmu alam modern,
pewaris revolusi ilmu yang bermula sejak abad ke-16 — yang bisa
dibenarkan (justified) dan rasional. Bagi Hutchinson, itu “sebuah
kesalahan intelektual yang mengerikan”, “a ghastly intellectual
mistake.”

Hal ini sudah saya uraikan cukup panjang dalam tulisan saya buat
Nirwan Arsuka. Mudah-mudahan Taufiq sudi membacanya.

Sebab membaca terus tulisan saya akan membosankan.

Sekian dulu.

Jakarta, 4 Juni 2020.

XXI. 5 Juni: Fitzerald Kennedy Sitorus: “Tentang Garis Demarkasi Antara Sains dan
Filsafat dan Kematian Metafisika”

TENTANG GARIS DEMARKASI ANTARA SAINS


DAN FILSAFAT DAN KEMATIAN METAFISIKA

100
Beberapa hari belakangan ini, kita membaca di halaman Facebook
lalu lintas pertukaran pikiran yang bersemangat mengenai sains.
Picu yang melatuk diskusi ini adalah pernyataan Mas GM mengenai
permasalahan-permasalahan sains dalam sebuah seminar online
yang berjudul “Berkhidmat kepada Sains”.

Pertanyaan ini kemudian ditanggapi oleh A.S. Laksana. Kemudian


sejumlah tulisan tanggapan lainnya bermunculan meramaikan
pertukaran pikiran tersebut.

Sebelum seminar tersebut, perbedaan pendapat tentang hubungan


antara sains dan filsafat atau metafisika serta agama juga
sebenarnya telah terjadi dalam sebuah diskusi online pada 16 Mei
2020 lalu. Perbedaan pendapat tersebut melibatkan Nirwan Arsuka
dan Hamid Basyaib di satu sisi dan Mas GM, Romo Lili dan saya sendiri
di sisi lain.

Secara singkat, Nirwan dan Hamid berada pada posisi yang


mengagungkan sains dan menganggap filsafat dan agama tidak
relevan lagi, sementara Mas GM, Romo Lili Tjahjadi, SJ dan saya
berpendapat bahwa sekalipun sains memang menghasilkan kemajuan
yang luar biasa dan berjasa besar bagi umat manusia bukan berarti
filsafat dan agama menjadi tidak relevan.

Hal menarik dari pernyataan-pernyataan dan tulisan-tulisan yang


muncul dalam pertukaran pikiran ini adalah munculnya klaim yang
mengagungkan sains sedemikian rupa dan menganggapnya sebagai
satu-satunya cara untuk memperoleh deskripsi yang paling baik
mengenai realitas.

Klaim ini kemudian diikuti dengan pernyataan bahwa bidang-bidang


lainnya, seperti filsafat atau metafisika dan teologi, menjadi tidak
relevan karena tidak mampu menghasilkan pengetahuan yang
ketepatan dan kepastiannya sama dengan sains.

Klaim irrelevansi filsafat atau metafisika dan agama ini sama


dengan frase populer yang mengatakan bahwa sekarang filsafat atau
metafisika, dan juga agama, telah mati. Dengan keunggulan
metodenya dan dengan cerita kesuksesannya kita dapat
mengandalkan diri semata-mata pada sains. Bahkan sudah pantas
pula kalau sains menyombongkan diri, demikian tulisan Nirwan
Arsuka di Facebook.
101
Tapi, di sisi lain, ada juga tulisan yang melihat sains dengan lebih
realistis. Posisi ini mengatakan bahwa sains memang menghasilkan
banyak kemajuan dan memberikan sumbangan yang sangat besar bagi
umat manusia, namun ini tidak berarti bahwa sains tidak mengandung
kelemahan atau keterbatasan. Sains bukanlah segala-galanya. Sains
hanyalah salah satu cara dalam menyingkapkan realitas. Dan oleh
karena itu, kita masih tetap membutuhkan filsafat, metafisika,
agama, dan lain-lain.

Di tengah-tengah keriuhan pembicaraan yang diwarnai dengan


klaim-klaim tersebut saya melihat ada hal yang masih luput dari
perhatian, dan itu membuat pertukaran pikiran ini belum begitu
produktif. Yang luput itu adalah belum jelasnya batas-batas antara
sains, filsafat/metafisika dan agama.

Seandainya batas-batas ini jelas, maka menurut saya kita tidak lagi
menganggap sains sedemikian hebat atau agung, sedemikian
agungnya, sehingga ia dianggap pantas membuat metafisika dan
agama menjadi tidak relevan. Seandainya batas-batas ini jelas, maka
kita akan sadar bahwa, dengan segala keberhasilan dan
kesuksesannya yang memang tidak dapat disangkal, sains tetaplah
sains, ia tidak mungkin melampaui hakikatnya sekalipun ia
sedemikian gemilang; dan sejalan dengan itu filsafat tetaplah
filsafat, dan agama tetaplah agama. Masing-masing memiliki
wilayah, metode, epistemologi dan tugasnya sendiri-sendiri.

Tulisan ini berusaha memperlihatkan garis demarkasi antara sains,


filsafat atau metafisika. Upaya itu saya lakukan dengan
memperlihatkan karakter-karakter keduanya. Di sini yang saya
maksud dengan sains adalah semua jenis ilmu pengetahuan, dan
secara lebih khusus ilmu pengetahuan alam. Saya juga tidak
membedakan secara ketat antara filsafat dan metafisika, sekalipun
di dalam diskursus filsafat, kedua disiplin itu harus dibedakan.

Objek Material dan Objek Formal

Untuk memperlihatkan demarkasi tersebut, saya akan mulai dengan


apa yang dalam filsafat ilmu disebut objek formal dan objek
material ilmu. Apakah yang membedakan sebuah ilmu dari ilmu
lainnya? Apa yang membedakan ilmu kedokteran dari ilmu psikologi
102
dan dari ilmu anatomi? Ketiga ilmu ini sama-sama meneliti tubuh
manusia. Tapi mengapa mereka berbeda sebagai ilmu? Apa yang
membedakan ilmu ekonomi dan ilmu politik? Keduanya sama-sama
meneliti masyarakat, tapi mengapa mereka berbeda?

Setiap ilmu memiliki objek material dan objek formal. Objek


material adalah objek yang diteliti oleh ilmu tersebut, sementara
objek formal adalah sudut pandang atau perspektif yang digunakan
oleh ilmu itu dalam meneliti objek materialnya. Objek material
ilmu-ilmu itu bisa sama, tapi objek formalnya pasti berbeda.

Ilmu kedokteran, ilmu psikologi, dan ilmu anatomi memiliki objek


material yang sama, yakni tubuh manusia, namun mereka memiliki
objek formal yang berbeda dalam meneliti tubuh manusia. Ilmu
kedokteran meneliti sistem-sistem mekanis dalam tubuh manusia,
ilmu psikologi meneliti kejiwaan, ilmu anatonomi meneliti struktur
tubuh manusia.

Masyarakat juga merupakan objek material bagi banyak ilmu. Ilmu


politik melihat masyarakat dari perspektif penataan kehidupan
bersama, ilmu ekonomi melihatnya dari perspektif cara-cara
masyarakat memenuhi kebutuhan hidup mereka, ilmu kriminologi
melihat fenomena kejahatan dalam masyarakat, dan lain-lain. Jadi,
objek formal itulah yang membedakan sebuah ilmu dari ilmu lainnya.

Metode yang digunakan oleh setiap ilmu kemudian tergantung dari


objek formal ini. Nah, sekarang apakah objek material dan objek
formal sains dan filsafat?

Sains
Objek material sains atau ilmu alam adalah dunia pengalaman
empiris, sementara objek formalnya adalah keterukuran objek-
objek empiris tersebut. Sains meneliti alam dengan tujuan agar
fenomena-fenomena alam itu dapat dikontrol, dijelaskan,
dikendalikan, atau diprediksi. Dan untuk itu, sains berusaha mencari
hukum-hukum yang dapat menjelaskan fenomena-fenomena alam
yang diteliti.

103
Upaya mencari hukum tersebut dilakukan melalui metode
eksperimen, observasi, percobaan, perumusan teori dan pengujian
kembali teori tersebut ke dunia pengalaman empiris itu sendiri.

Berdasarkan karakter di atas, kita dapat menentukan beberapa ciri


yang terdapat dalam semua ilmu, yang membedakannya dari filsafat.

Pertama, sains itu bersifat empiris, artinya, objeknya adalah bagian


tertentu dari dunia pengalaman empiris (empirische
Erfahrungswelt). Empiris artinya berada di dalam ruang dan waktu.
Kata “bagian tertentu“ ini perlu digarisbawahi. Bagian tertentu
berarti bahwa yang diteliti hanyalah salah satu aspek dari dunia
pengalaman empiris itu. Misalnya, mengenai virus, mengenai
gravitasi, mengenai gempa bumi, planet-planet, dan lain-lain.
Bahkan penelitian mengenai planet pun harus terfokus pada aspek
tertentu dari planet tersebut, misalnya strukturnya, dan bukan
keseluruhan hal ikhwal mengenai planet tersebut. Ilmu pengetahuan
tidak mampu meneliti keseluruhan totalitas dunia pengalaman
empiris yang sedemikian luas.

Keterbatasan sains ini diakui oleh para raksasa sains itu sendiri.
Teori Relativitas Khusus Einstein (1905) memperlihatkan bahwa
tidak ada konsep mengenai keseluruhan (das Ganze) yang dapat
dioperasionalkan karena tidak ada sistem referensi yang serba
mencakup dan sempurna; yang ada hanya relasi-relasi dalam sebuah
sistem yang otonom.

Prinsip Ketidakpastian Werner Heisenberg (1927) bahkan mengatakan


bahwa kita tidak mungkin memperoleh pengetahuan yang lengkap
mengenai sebuah sistem, sebab keterfokusan pada dimensi yang satu
telah menyebabkan pengetahuan pada dimensi yang lain menjadi
tidak mungkin.

Teorema Ketidaksempurnaan Gödel (1931) juga mengatakan hal yang


kurang lebih sama, yakni bahwa isi kebenaran sistem-sistem formal
tidak pernah dapat seluruhnya ditangkap. Teorema Gödel ini telah
memvonis ketidakmungkinan mencapai sebuah sains universal yang
dapat menjelaskan seluruh semesta dengan model matematika
(mathesis universalis). “Ilmu pengetahuan tidak mungkin dapat
memahami sebuah totalitas; semua pengetahuan selalu limitatif,

104
terbatas“ (Philosophie und Wissenschaft, Hg. Willi Oelmüller, 1988,
hal. 120 dst).

Kedua, sains itu secara tematis reduktif. Artinya objek itu dilihat
atau diteliti dari sudut pandang tertentu (objek formal) yang
terbatas, sedangkan sudut pandang lainnya diabaikan. Sosiologi
misalnya melihat manusia dari sudut pandang keberadaannya dengan
dengan manusia lain, dan mengabaikan aspek-aspek psikologis,
mental atau ekonomis dari manusia-manusia tersebut. Sama hanya,
sekalipun dewasa ini penelitian mengenai neuron-neuron di dalam
otak sudah sedemikian maju, hal itu tidak dapat menjelaskan
keseluruhan fenomena kesadaran (consciousness); fenomena mental
tidak dapat diindentikkan sepenuhnya dengan realitas fisikal-
natural.

Ketiga, sains itu secara metodis abstrak. Artinya, sains hanya


meneliti objek sejauh itu diizinkan oleh metode yang digunakannya;
metode itu mengabaikan (mengabstraksikan) bidang-bidang lain
yang berada di luar cakupannya. Ini karena sebelum sains meneliti
objeknya, ia harus lebih dulu menentukan metode penelitiannya. Bila
kita misalnya meneliti kejiwaan manusia dengan metode
psikoanalisis, maka kita memberikan perhatian pada dimensi-
dimensi bawah sadar yang terdapat dalam diri orang tersebut, dan
tidak memperhatikan aspek-aspek lain dari kejiwaannya. Atau bila
kita menganalisis masyarakat dengan metode Marxis, maka kita
memusatkan perhatian pada faktor-faktor ekonomis atau
pertentangan/perbedaan kelas dalam masyarakat itu, dan
mengabaikan faktor-faktor lainnya.

Ungkapan “secara metodis abstrak“ dan “secara tematis reduktif“ di


atas dapat diperjelas dengan contoh ilmu alam itu sendiri. Ilmu-
ilmu alam dapat mencapai kemajuan luar biasa pada zaman modern
berkat penerapan metode baru, yakni matematisasi fenomena alam.
Artinya, fenomena alam ditangani secara matematis.

Dengan metode ini, para saintis berusaha mengkonversi dimensi-


dimensi kualitatif menjadi kuantitatif, sehingga dapat diukur.
Misalnya, panas adalah sebuah dimensi kualitatif. Dalam ilmu alam
modern, panas diukur secara kuantitatif melalui termometer dan
kemudian dapat diungkapkan dalam bentuk angka-angka. Panas, yang
tadinya kualitatif, menjadi kuantitatif.
105
Ini sesuai dengan prinsip G. Galileo (1564-1642) yang mengatakan:
“Semua yang dapat diukur, diukur secara kuantitatif, dan apa yang
belum dapat diukur, diusahakan untuk dapat diukur“.

Metode matematisasi objek material ini membawa jenis observasi


dan pengujian eksperimental yang baru: ilmu pengetahuan modern
hanya mengenal alam dari sudut ke-dapat-diukur-annya (die
Meßbarkeit, measurability); alam dilihat dalam bentuk yang telah
selalu diukur.

Inilah maksudnya bahwa sains melihat alam secara abstrak dalam


bentuk yang telah direduksi secara metodis ke dalam sebuah model
matematika. Alam dilihat dalam bentuk angka-angka. Tapi, jangan
lupa, alam itu sendiri bukan model matematika, bukan model angka-
angka.

Alam itu sangat kompleks. Tapi justru dengan itulah ilmu


pengetahuan modern dapat berkembang dengan luar biasa,
menghasilkan banyak temuan baru, yakni ketika ia melihat alam
secara abstrak dalam model matematika (Anno Anzenbacher,
Einführung in die Philosophie, 1981, hal 22-26).

Jadi, keterbatasan ilmu itu bukanlah sebuah kelemahan; justru itu


adalah adalah kekuatannya. Dan justru karena sains terbatas dalam
mendeskripsikan realitas maka kita juga harus menerima
kompetensi bidang-bidang (ilmu pengetahuan) lainnya dalam
melakukan hal yang sama.

Sejarah kemudian memperlihatkan bahwa cerita sukses ilmu-ilmu


alam ini juga mempengaruhi bidang ilmu lainnya. Metode kuantitatif
ilmu alam kemudian diterapkan untuk ilmu-ilmu lainnya, termasuk
ilmu sosial dan ilmu humaniora.

Keberhasilan itu juga membuat sains menjadi sedemikian percaya


diri, seakan-akan ia berhak untuk berjalan sendiri, dengan
logikanya sendiri, dengan mengabaikan konteks sosial di mana ia
berdiri. Sains menjadi tercerabut dari dunia kehidupan (Lebenswelt).
Ini kemudian menjadi latar belakang munculnya kritik terhadap
sains, antara lain dari seorang ahli matematika dan filsuf, yakni
Edmund Husserl. Ini juga disinggung oleh Mas GM dalam tulisannya.

106
Kritik Husserl Terhadap Sains

Anehnya, krisis sains itu bersumber justru dari hal yang memberikan
dia keunggulan. Sains berkembang karena bantuan matematika,
terutama geometri.

Di atas kita sudah melihat bagaimana Galileo menekankan bahwa


segala sesuatu harus dapat diukur. Galileo meyakini bahwa satu-
satunya jenis kepastian yang bisa diandalkan dan dipercaya
sepenuhnya hanyalah matematika.

Karena itu, ia memisahkan secara definitif antara ilmu fisika dan


filsafat; dan sejalan dengan pemisahan itu, ia juga memisahkan
secara tegas antara kualitas-kualitas objektif-primer dan kualitas
subjektif-sekunder. Yang penting hanyalah kuantitas primier
seperti ukuran, bentuk, bilangan dan kecepatan, sementara kualitas
sekunder seperti warna, suara, bau tidak relevan.

Galileo juga menolak otoritas apapun sebagai kriteria kebenaran,


selain observasi, eksperimen dan rasio matematis. Galileo yakin
bahwa kompleksitas alam nyata yang berubah-ubah dan kontradiktif
bisa dipahami berdasarkan hukum fisika-matematik yang sederhana.
Tanpa matematika, orang akan terlunta-lunta dalam labirin gelap,
katanya.

Menurut Galileo, geometri memungkinkan manusia mengatasi


relativitas interpretasi subjektif yang sangat mendasar dalam
dunia empiris. Dengan geometri kita memperoleh kebenaran yang
identik, mutlak dan dapat diterima oleh setiap orang yang mengerti
dan dapat menggunakan metode tersebut. Sejalan dengan konsep
Plato mengenai adanya dunia ideal, Galileo mengatakan bahwa
matematika akan membebaskan pikiran dari sensasi, dan
mengakrabkannya dengan dunia pikiran murni serta membawa jiwa ke
dalam ketinggian dunia idea.

Geometri adalah pengetahuan mengenai hal-hal yang abadi. Dan


kebenaran geometri itu sah secara absolut untuk semua manusia,
untuk semua zaman, semua orang, dan bukan hanya menyangkut hal-
hal faktual historis, tapi juga bagi segala sesuatu yang bisa
dipahami. (lihat “Asal-Usul Geometri” dalam die Krisis der
europäischen Wissenschaften und die transzendentale
Phänomenologie, hal. 18 dst).
107
Ilmu berkembang karena bantuan matematika atau lebih tepat
geometri. Dengan geometri, maka sains melakukan geometrisasi
dunia kehidupan, semua diukur dalam kategori-kategori matematis.
Namun kolaborasi antara sains, matematika dan geometri ini
kemudian menimbulkan transformasi lebih jauh lagi, yang disebut
Husserl dengan aritmetisasi geometri.

Dengan kolaborasi tersebut, segala proses kerja geometri tidak lagi


dilakukan secara geometris (melalui konsep-konsep spasio-
temporal), melainkan secara aritmetis, yakni dengan simbol-simbol
matematis. Bila sebelumnya terjadi proses geometrisasi dunia
kehidupan, kini meningkat menjadi aritmetisasi geometri, bahkan
aritmetisasi dunia kehidupan.

Bila dalam geometri, misalnya, bumi digambarkan sebagai benda


bulat (dan kebulatan bumi di sini tentu sangat ideal, sesuai dengan
ide tentang kebulatan bumi), dengan aritmetisasi geometri, bumi
cukup digambarkan dalam angka-angka. Tinggi sebuah gunung tak
perlu lagi digambarkan, cukup dikatakan dalam angka. Benda panas
tidak lagi dilihat sebagai benda panas, melainkan cukup dalam skala
sekian derajat, suara diukur dengan satuan tertentu. Ini tak lain
dari aritmatisasi dunia kehidupan.

Singkatnya, semua kualitas subjektif atau mental dimatematisasi


dan direduksi ke dalam simbol-simbol numerik. Formalisasi
universal inilah yang mengakibatkan sains terasing dari dunia dan
yang kelak mengakibatkan hilangnya makna kehidupan
(Sinnentleerung). Sains mereduksi dunia kehidupan ke dalam angka-
angka, dan tercerabut dari dunia kehidupan. Inilah krisis yang
dimaksud oleh Husserl. (Die Krisis, hal. 45)

Di sini saya tidak berbicara mengenai kritik filsuf Martin Heidegger


terhadap sains dan ilmu pengetahuan. Cukuplah dikatakan bahwa
sekarang ini tak ada lagi bagian dunia kehidupan sekarang yang tidak
dipengaruhi atau ditentukan oleh sains dan teknologi. Dulu
teknisisasi dunia kehidupan itu berlangsung melalui sains
(Technisierung durch Wissen), tapi sekarang yang terjadi adalah
teknisisasi sains itu sendiri (Technisierung des Wissen selber).
Artinya, sains berkembang sedemikian rupa untuk melayani
kepentingan teknologi; sains menjadi pelayan teknologi, dan bukan
lagi melayani manusia. (Philosophie und Wissenschaft, hal. 65).
108
Filsafat
Bagaimana dengan filsafat?

Berbeda dari sains, filsafat tidak bersifat empiris, tidak reduktif


secara tematis dan juga tidak abstrak secara metodologis. Filsafat
memang bertolak dari pengalaman empiris, tapi ia justru menantang
dan melampaui pengalaman empiris. Filsafat juga bertolak dari akal
sehat tapi ia bergerak melampau akal sehat. Pengetahuan akal sehat
adalah pengetahuan yang kebenarannya kita terima begitu saja,
tanpa dibuktikan dan tanpa dipertanyakan, berdasarkan kebiasaan
atau pengalaman sehari-hari. Filsafat menyadari bahwa
pengetahuan akal sehat itu sering tidak sehat.

Objek material filsafat adalah keseluruhan kenyataan, bukan hanya


bagian tertentu dari kenyataan, sebagaimana sains. Filsafat
mempertanyakan dan menjadikan apa saja sebagai bahan refleksinya.
Heidegger berfilsafat tentang alat-alat. Hegel dan Immanuel Kant
berfilsafat tentang Tuhan (Filsafat Ketuhanan). Semua hal dapat
menjadi objek refleksi filsafat. Bahkan ketiadaan (nothingness) itu
sendiri. Leibniz, Heidegger dan Hegel misalnya merefleksikan
ketiadaan dengan mendalam.

Di Kyoto, Jepang, bahkan ada Kyoto School of Nothingness. Mereka


meneliti segala hal mengenai ketiadaan, termasuk struktur
ketiadaan itu sendiri. Dan ini kemudian menimbulkan pertanyaan
khas filsafat: kalau ketiadaan memiliki struktur, dan bahkan dapat
diteliti, apakah ketiadaan itu masih ketiadaan? Apa itu ketiadaan.
Tapi ya itulah kekhasan filsafat, sesuai dengan objek materialnya.

Apa objek formal filsafat? Tidak lain dari sudut pandang yang
sedalam-dalam dan seradikal-radikalnya. Filsafat merefleksikan
objek materialnya secara sangat mendalam dan radikal. Jadi, kalau
sains bertolak dan berhenti pada pengalaman empiris, filsafat
bertolak dari pengalaman empiris dan melampaui pengalaman
empiris itu. Filsafat tidak puas hanya di permukaan, ia ingin
mencapai struktur terdasar dari sesuatu (ontologi).

Filsafat juga tidak reduktif dari segi tema. Sebelumnya telah


dikatakan bahwa filsafat selalu berusaha memahami segala sesuatu
secara mendalam dan total. Oleh karena itu, filsafat selalu mencari
jawaban hingga ke wilayah non-empiris. Tidak seperti sains yang

109
mau tidak mau terbatas pada pengalaman empiris, filsafat itu tidak
pernah puas hanya dengan mengetahui aspek tertentu saja,
melainkan harus keseluruhan dari aspek yang diteliti itu, termasuk
syarat-syarat kemungkinannya. Itu yang membuat filsafat menjadi
ilmu yang mendalam dan menyeluruh.

Karena itu, filsuf Jerman Karl Jasper pernah berkata secara agak
paradoksal bahwa filsafat memiliki die Spezialität des Allgemeinen,
artinya, bahwa spesialisasi filsafat adalah yang umum.

Filsafat juga tidak abstrak secara metodologis. Kalau sains hanya


meneliti apa yang dimungkinkan oleh metode yang digunakannya,
tidak demikian halnya dengan filsafat. Bagi sains, metode itu
seperti alat yang digunakan untuk menganalisis objek yang
ditelitinya; alat itu membatasi apa yang diteliti dan bagaimana
penelitian itu berlangsung.

Sebaliknya, filsafat tidak asbtrak karena ia tidak mengandaikan


metode. Filsafat langsung merefleksikan secara rasional objek yang
ditelitinya dan kemudian menentukan metode yang digunakan untuk
menganalisis objek itu.

Yang lebih berperan dalam filsafat adalah kekuatan argumentasi.


Justru karena filsafat tidak dibatasi oleh metode maka ia dapat
melahirkan metode-metode refleksi yang baru, misalnya
fenomenologi, kritisisme (Kant) atau dialektika. Metode-metode ini
kemudian sering dipinjam oleh sains. (Tentu dalam refleksi filosofis
yang biasa, orang dapat mengikuti metode tertentu).

Contoh-contoh pertanyaan sains: Berapakah gigi beruang es? Dalam


kondisi bagaimana tembaga melebur? Siapakah penemu benua
Australia? Seberapa cepatkah benda padat jatuh? Seberapa
berbahayakah tenaga atom? Bagaimana cara meraih kekuasaan
politik? Zat apakah yang dikandung oleh jamur? Apakah bahasa
Indonesia termasuk rumpun bahasa Melayu? Berapakah diameter
bumi? Bagaimana virus Corona berkembang biak? Dan seterusnya.

Contoh-contoh pertanyaan filsafat: Mengapa ada Ada (Sein) dan


bukan Ketiadaan (Nichts)? Apakah itu pengetahuan? Apa itu
kebenaran? Apa itu manusia? Apakah kebebasan memungkinkan
determinasi-diri? Apakah manusia bebas? Apa itu yang baik secara
etis? Apakah sejarah mempunyai makna dan tujuan? Apa itu
110
keindahan? Apakah manusia memiliki jiwa? Apakah Tuhan
bereksistensi? Ke mana saya setelah mati? Mengapa harus saya yang
kena COVID-19? Apakah makna hidupku? Apa itu hidup yang baik? Apa
itu adil? Bagaimana aku harus hidup? Dan seterusnya.

Pertanyaan-pertanyaan filsafat ini tentu tidak dapat dijawab oleh


sains sebab pertanyaan itu sendiri tidak menyangkut pengalaman
dunia empiris. Tapi jangan katakan bahwa pertanyaan itu tidak sah.
Pertanyaan itu sah karena menyangkut makna kehidupan atau
realitas ultim kehidupan itu sendiri.

Sains, justru karena mereka bersifat khusus dan empiris, tidak dapat
menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai makna
eksistensial manusia itu sendiri. Dan tidak ada sains atau ilmu
pengetahuan yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan
eksistensial demikian.

Bagaimana Hubungan Sains dan Filsafat?

Kemajuan sains tidak jarang membawa mereka pada sebuah titik di


mana mereka terbentur pada masalah-masalah yang tidak dapat
dijawabnya sendiri. Ada banyak contoh mengenai hal ini.

Perkembangan bioteknologi dan ilmu genetika misalnya


memungkinkan manusia melakukan cloning atas manusia. Tapi apakah
cloning itu dapat dibenarkan secara etis? Sampai sekarang ini masih
menjadi bahan perdebatan. Dan anehnya yang terlibat dalam
perdebatan itu bukanlah para ahli yang mengetahui ilmu cloning,
melainkan para ahli bidang etika, filsafat manusia dan lain-lain.
Ilmu cloning itu sendiri tidak dapat lagi menjawab pertanyaan
“apakah kloning manusia itu boleh?” karena hal itu sudah berada di
luar wilayah kompetensinya.

Kita juga melihat bahwa kemajuan teknik informatika telah


memungkinkan manusia menghasilkan inteligensi buatan. Pikiran
manusia bisa dibentuk sedemikian rupa sehingga ia misalnya menjadi
sangat cerdas atau sangat berani. Tapi apakah ini dapat dibenarkan?
Apakah Anda setuju kalau ilmu pengetahuan menciptakan manusia-
manusia seperti robot? Ilmu pengetahuan mampu melakukan itu, tapi

111
apakah itu boleh, dan apakah itu perlu? Pertanyaan ini tidak dapat
dijawab oleh ilmu-ilmu tersebut.

Banyak sekali masalah etis yang sangat serius yang diakibatkan oleh
perkembangan ilmu yang sedemikian cepat dan maju dewasa ini.
Apakah cangkok jantung dengan menggunakan organ jantung hewan
tertentu misalnya dapat dibenarkan secara etis manusiawi? Ilmu
kedokteran mampu melakukan euthanasia, tapi apakah itu dapat
dibenarkan?

Pertanyaan ini tidak dapat lagi dijawab oleh ilmu kedokteran tu


sendiri. Sekarang telah ada ilmu yang mampu melakukan campur
tangan kepada otak manusia, sehingga dengan mentrigger bagian
tertentu dari otak, kita dapat menciptakan manusia-manusia
seperti yang kita inginkan, misalnya menjadi sangat pintar, sangat
religius, sangat rajin, sangat jahat atau sangat destruktif. Apakah
ini dapat dibenarkan? Kalaupun dapat dibenarkan, apakah itu perlu
dilakukan?

Di sinilah filsafat turun tangan membantu menjawab masalah yang


berada di luar kompetensi ilmu-ilmu khusus tersebut. Ilmu-ilmu
pengetahuan itu tidak dapat menjawab pertanyaan: apakah kita dapat
melakukan apa yang mampu kita lakukan? Sampai sejauh mana kita
dapat dan perlu melakukan apa yang mampu kita lakukan itu? Apa
kriterianya?

Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi kompetensi ilmu filsafat.


Filsafat juga memberi jawaban misalnya mengenai kesahihan etis
dari metode-metode yang digunakan oleh ilmu tertentu. Filsafat
juga berguna untuk memberikan penjelasan atas implikasi-
implikasi yang disebabkan oleh ilmu-ilmu itu. Tentu filsafat tidak
dapat sendirian. Ia juga harus bekerja sama dengan ilmu-ilmu
lainnya itu.

Oleh karena itulah jamak terjadi, seorang saintis yang tidak puas
terhadap pendekatan ilmunya sendiri, kemudian belajar filsafat, dan
memperoleh wawasan yang lebih luas dan dapat melihat ilmunya
sendiri dengan lebih kritis. Saintis macam ini kemudian sering
menghasilkan gagasan inovatif dalam bidang ilmunya. Ke dalam
kelompok saintis ini kita dapat memasukkan Thomas Kuhn, Paul
Feyerabend, Imre Lakatos, Karl R. Popper, dan lain-lain.

112
Kematian Metafisika?

Dari uraian di atas kita bisa menyimpulkan bahwa ternyata filsafat


belum mati, dan tidak mungkin mati. Sekalipun sains sudah
sedemikian maju filsafat tetap memiliki alasan untuk hidup. Sains
tidak pernah dapat menggantikan tugas dan fungsi filsafat dan
agama.

Hidup kita akan terlalu dangkal bila semuanya dijelaskan dengan


penjelasan empiris-ilmiah. Naturalisme tidak pernah dapat
memuaskan manusia. Manusia adalah makhluk yang selalu ingin tahu.

Pertanyaan-pertanyaan filosofis seperti di atas akan selalu


dilontarkan oleh manusia, sehebat apapun kemajuan yang telah
dicapai oleh sains. Sains mungkin dapat menjelaskan asal usul alam
semesta dengan teori Big Bang. Tapi siapa yang dapat menghentikan
akal budi manusia untuk tidak bertanya: sebelum Big Bang ada apa?
Kalau sains memberikan jawaban untuk itu, manusia juga akan
bertanya: sebelum itu ada apa?

Manusia tidak akan pernah berhenti menciptakan sistem-sistem


metafisika yang membantunya memberikan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan ultim menyangkut eksistensinya. Karena itu
Heidegger benar ketika ia mengatakan bahwa selama manusia
merupakan animal rationale, ia sekaligus merupakan animal
metaphysicum (as long as man remains the animal rationale he is
also the animal metaphysicum). (The Way Back into the Ground of
Metaphysics, hal. 209).

Benar, Juergen Habermas dari Sekolah Frankfurt berbicara mengenai


postmetafisika. Namun, yang dimaksud Habermas dengan frase itu
bukanlah bahwa di masa depan tidak ada lagi metafisika. Ciri
metafisika menurut Habermas adalah pemikiran identitas, idealisme,
paradigma filsafat kesadaran dan prioritas teori atas praktik.
Itulah yang sudah berlalu menurut Habermas.

Postmetafisika dalam pengertian Habermas adalah post-idealisme,


post-platonisme. Dengan kata lain, era sekarang tidak lagi
mengakui adanya kebenaran tunggal, seperti Ide Plato, yang mesti
menjadi acuan bagi semua.

113
Metafisika, demikian Kant, adalah hakikat manusia (Metaphysik als
Naturanlage). Mengapa? Jawaban atas pertanyaan ini diberikan Kant
pada kalimat pertama bukunya, Kritik der reinen Vernunft: karena
manusia selalu dibebani oleh pertanyaan-pertanyaan yang tidak
dapat dihindari tapi yang sekaligus tidak dapat dijawab, karena
pertanyaan-pertanyaan itu telah melampaui pikiran kognitifnya,
dan untuk itulah manusia menciptakan sistem-sistem metafisika.

Saya pikir uraian di atas sudah cukup memperlihatkan bahwa


metafisika merupakan keniscayaan eksistensial bagi manusia itu
sendiri.

Kesimpulan
Sains itu terbatas. Itu sudah jelas. Tapi itu bukan kelemahan, justru
keterbatasan itulah kekuatan sains. Dengan keterbatasan itu, sains
dapat melakukan penelitian yang sedemikian mendalam pada objek
tertentu sehingga dengan demikian kita memperoleh pengetahuan
yang mendalam mengenai objek tersebut.

Goethe pernah mengatakan, “Barang siapa ingin menjadi besar, ia


harus mampu membatasi dirinya“. Pembatasan diri ini bukan hanya
terjadi pada sains. Pada filsafat juga itu terjadi. Sekarang orang
tidak lagi berbicara mengenai filsafat sosial, misalnya, karena
wilayah itu terlalu luas. Filsafat sosial kemudian dibagi ke dalam
wilayah lebih spesisik, misalnya filsafat politik, filsafat ekonomi,
dan lain-lain.

Karena itu, menurut saya, sikap yang mengagungkan bidang sendiri


tidak akan membawa kita ke mana-mana. Uraian saya di atas juga
bukanlah sebuah pengagungan filsafat. Itu adalah sebuah upaya
untuk memperlihatkan garis demarkasi dan tugas serta fungsi kedua
disiplin ilmu tersebut.

Sainstisme, sebagaimana diusahakan oleh para filsuf neopositivis


Lingkaran Wina, adalah buah dari kebanggaan berlebihan terhadap
sains. Saintisme sama dengan naturalisme, menganggap manusia
semata-mata sama dengan realitas fisik, seperti batu atau pohon.
Karena itu, saintisme adalah fundamentalisme sains. Saintisme
adalah dehumanisasi. Saintisme adalah kedunguan.

114
Saya yakin, sebagaimana ilmu alam maju karena berkolaborasi
dengan matematika, kita juga akan maju melalui kerja sama antar-
ilmu. Inilah menurut saya salah satu kunci kemajuan ilmu
pengetahuan di negara-negara Eropa. Saintis, filsuf, dan teolog
duduk bersama membicarakan tema Tuhan dan Big Bang. Para teolog
dan saintis berdiskusi mengenai bagaimana Tuhan bertindak di dunia
ini.

Rekaman atau teks mengenai diskusi-diskusi seperti ini dapat


dengan mudah kita temukan di Youtube atau media-media sosial. Di
Jerman, misalnya, filsuf Otfried Höffe termasuk dalam anggota
komisi ahli yang dibentuk oleh pemerintahan negara bagian NRW
untuk membantu pemerintah menangani dampak COVID-19.

XXII. 4 Juni: Farid Gaban: “Sains dan Pemihakan”

SAINS DAN PEMIHAKAN

Saya melihat sains sebagai kebutuhan praktis. Metode saintifik


merupakan satu-satunya common-ground bagi banyak orang yang
beragam untuk merumuskan kebijakan publik (public policy) yang
membingkai kehidupan kita bersama, baik di tingkat lokal, nasional
maupun internasional.

Kebijakan publik, menurut saya, haruslah dilandasi oleh sains; bukan


oleh selera politik, sikap fanatik keagamaan tiap golongan, atau
oleh interest ekonomi segelintir orang.

Pertimbangan sains harus diutamakan, tidak hanya dalam kita


mengatasi ancaman wabah (seperti Corona sekarang), tapi juga dalam
kebijakan mencegah dan menangani bencana, dalam transportasi,
energi, ekonomi, sosial-budaya, kelestarian alam, dan hampir semua
aspek kehidupan.

Dalam konteks kebijakan publik, perdebatan terpenting bukanlah


apakah sains itu utama atau tidak utama (sudah jelas utama). Tapi
sebarapa jauh metodologi sains dipakai dan diterapkan. Menurut
saya, justru belum terlalu jauh. Bahkan masih sangat sedikit.

115
Kita harus mendorong pengarusutamaan sains, namun pada saat yang
sama justru harus makin kritis pula terhadap klaim-klaim
keilmiahan yang sering kali cacat, palsu dan hegemonik (menindas).

Kita tidak hidup di ruang kosong dan dalam dunia yang sempurna.
Anggaran riset ilmiah kita, misalnya, sangat terbatas, yang sudah
jelas membatasi kita dalam mempromosikan "perangai sains"
(scientific temper), bahkan jika kita semua sepakat tentang
keutamaannya.

Soal kedua menyangkut kapasitas dan disiplin kita dalam


menerapkan metodologi sains. Banyak riset ilmiah, khususnya di
bidang sosial dan humaniora, tergantung pada ketersediaan dan
kesahihan data yang dikumpulkan oleh badan negara seperti Badan
Pusat Statistik (BPS) misalnya. Terus terang harus saya katakan,
metodologi survai BPS yang betumpu pada kerja kaum birokrat,
sangat jauh dari memadai.

Tanpa data akurat, sulit membuat kebijakan yang memuaskan. Kita


tahu, misalnya, bagaimana amburadulnya data "orang miskin" terkait
dengan kebijakan bantuan sosial yang belum lama ini banyak
diperbincangkan.

Kita juga sering melihat buruknya produk analisis dampak


lingkungan (AMDAL) dalam menilai kelayanan proyek
pemerintah/swasta. Kajian AMDAL, yang seharusnya ketat memakai
metodologi ilmiah, justru cenderung cuma menjadi stempel karet
(justifikasi) terhadap apa yang sudah diputuskan secara politik oleh
aparat pemerintah dan pengusaha.

Ada banyak tema riset sains yang tentu saja bagus jika bisa kita
lakukan semua, dari perikanan hingga rekayasa genetika hingga
eksplorasi antariksa. Tapi, keterbatasan anggaran dan kapabilitas
menuntut kita membuat prioritas. Manakah yang harus didahulukan:
riset pertanian yang bisa mengangkat kesejahteraan petani,
misalnya, atau riset genetika nuklir 4.0 yang jauh dari kebutuhan?

Prioritas itu akan menjadi ajang perebutan persepsi tentang apa


yang penting atau tidak penting, serta perebutan kepentingan
politik maupun ekonomi. Dalam kaitan ini, tidak cukup untuk
mengatakan bahwa sains itu utama, tapi sains untuk apa dan siapa
yang diuntungkan.
116
Makin tinggi keyakinan kita tentang keutamaan sains, menurut saya,
perlu diimbangi daya kritis yang makin tajam terhadap klaim-klaim
keilmiahaan. Pseudo-sains tidak hanya lazim di kalangan
masyarakat awam, tapi juga di lingkungan negara dan swasta besar.

Kita tahu bahwa "research and development" tidak hanya dilakukan


oleh lembaga negara, tapi juga oleh swasta nasional maupun multi-
nasional. Bahkan peran swasta dalam riset ilmiah makin kuat
belakangan ini, misalnya dalam farmasi, kesehatan, maupun bidang-
bidang lainnya.

Laboratorium riset swasta, bagaimanapun, punya motif profit dan


tidak bebas dari kepentingan bisnis. Bahkan banyak riset
universitas negeri dibiayai oleh swasta.

Perusahaan-perusahaan swasta tak hanya melakukan riset tapi juga


mempromosikannya secara besar-besaran untuk menjamin lakunya
produk hasil riset. Apa yang disebut ilmiah atau tidak ilmiah pada
akhirnya tentang adu kuat kapital (uang).

Obat pabrikan, misalnya, diberi stempel ilmiah, dan karenanya lebih


dianjurkan pemakaiannya ketimbang jamu tradisional, meski jamu
itu sudah dipakai turun-temurun (artinya melalui pengalaman
empiris yang panjang).

Tidak cukup untuk mengatakan bahwa "sains itu tidak sempurna, bisa
dikoreksi dan tidak final". Banyak persepsi dan pengetahuan kita
tentang produk sains seperti obat-obatan, misalnya, tidak mudah
dikoreksi; semata-mata karena merasuk dalam kesadaran kita lewat
iklan-iklan produk yang masif dari hari ke hari. Ada ketimpangan
relasi-kekuasaan di antara promotor sains.

Betul bahwa sains palsu/cacat pada akhirnya akan terkoreksi juga di


kelak kemudian hari, tapi biasanya setelah menimbulkan dampak
besar yang seringkali merugikan khalayak ramai.

Di India belum lama lalu, orang memprotes bagaimana benih beras


basmati (yang enak dan pulen itu) dibawa ke laboratorium sebuah
perusahaan multinasional, yang kemudian memodifikasinya secara
genetik dan mematenkan benih itu. Orang India yang semula bisa
mendapatkan benih basmati secara gratis turun-temurun, kini harus

117
membeli, bahkan bisa diancam pidana jika mencoba menanam
turunannya.

Di situ kita melihat bahwa "label ilmiah" (rekayasa genetika)


memberi justifikasi pada perampokan sumber daya genetik (bio-
piracy) dan membenarkan kesarakahan sempit (paten perusahaan).

Disadari atau tidak, semangat mempromosikan "perangai ilmiah" juga


sering dipakai untuk menyepelekan dan mengabaikan kearifan
tradisional dengan menyebutnya sebagai klenik atau tahyul semata.

Masyarakat-masyarakat tradisional Indonesia mengenal tradisi


seperti "sasi" atau "hutan larangan". Dalam aturan sasi, warga
dilarang mengail atau menjala ikan di teluk dan sungai tertentu dan
pada kurun tertentu. Di tempat lain, warga dilarang menebang pohon
di wilayah tertentu, dengan menyebutnya sebagai "hutan keramat"
agar orang takut melanggarnya.

Di tengah deru modernitas yang ilmiah (katanya), suku-suku


tradisional digusur dan tradisi mereka dilecehkan. "Keutamaan
sains" dipakai dalih oleh kalangan pengagum developmentalisme dan
orang-orang mabuk investasi untuk menyingkirkan warga yang
diberi label primitif.

Padahal, cara hidup tradisional itulah yang justru telah


menyelamatkan alam: konsep "sasi" berjasa mengurangi "over-
fishing di laut dan "illegal/over-logging" di darat. "Hutan larangan"
menyelamatkan sumber-sumber air yang kini makin langka di desa-
desa.

Sains mungkin netral. Tapi, pembawa dan promotornya tidak.


Pengutamaan sains akhirnya juga tentang pemihakan: siapa yang mau
Anda bela.

XXIII. 5 Juni: Nirwan Ahmad Arsuka: “Sains di Tengah Wabah Corona”

SAINS DI TENGAH WABAH CORONA

118
Tak terhindarkan: agama yang yakin sebagai pengetahuan yang
diturunkan langsung oleh Tuhan pantas mengangkat diri jadi
pengetahuan paling luhur, agung, lengkap dan sempurna. Kaum
agamawan, dengan niat mulia, kerap menilai pengetahuan rasional
yang sekuler itu sebagai pengetahuan yang rendah, kasar, tak
lengkap, dan berbahaya.

Mereka yang mengamalkannya harus dikoreksi dan diselamatkan


jiwanya. Keluhan Galileo Galilei di ruang tahanannya dan rintihan
Giordano Bruno di api unggunnya, tentu masih bisa kita dengar di
abad ini.

Sejak akhir abad ke-20 hingga hari ini, masih bisa kita dijumpai
literatur yang menyerukan islamisasi pengetahuan. Penulisnya
antara lain adalah Naquib Alattas, Ismail Raja Al-Faruqi atau
Muhammad Mumtaz Ali. Mereka ini masih menganggap sains itu
jahiliyah bahkan kafir dan karena itu harus diislamkan agar benar-
benar jadi pengetahuan yang bermanfaat bagi seluruh alam.

Cendekiawan Indonesia seperti Mochtar Lubis, Soedjatmoko hingga


bahkan YB Mangunwijaya juga, sampai batas tertentu, mengingatkan
agar pengetahuan ilmiah yang tumbuh di Barat itu harus dihadapi
dengan hati-hati karena akan membawa dampak pada kebudayaan. Di
negeri lain, ada ideolog yang bahkan menganggap pengetahuan ilmiah
itu berwatak imperialis sebagaimana peradaban Barat yang
melahirkannya.

Pembacaan Dekat

Ledakan pandemi Corona adalah rapid test yang sangat bagus untuk
menguji klaim superioritas berbagai jenis pengetahuan. Hasil test
itu segera menunjukkan bahwa agama yang meletakkan diri paling
superior itu ternyata adalah jenis pengetahuan yang paling banyak
diam menghadapi Corona.

Barangkali sumbangan terbesarnya itu justru adalah dengan tidak


berbuat apa-apa itu. Dengan bersikap patuh pada anjuran sains,
agama telah sangat membantu memutus rantai penularan wabah.

119
Sastra dan filsafat menunjukkan sikap yang lebih aktif menghadapi
wabah. Melukiskan dan memberi nama pada objek adalah tindakan
awal dalam pengetahuan. Slavoc Zizek, misalnya, memberi rincian
sumber wabah itu: a sub-layer of life, the undead, stupidly
repetitive, pre-sexual. Arundhati Roy memberi deskripsi yang
sedikit lebih dinamis pada virus itu: unseeable, undead, unliving
blobs dotted with suction pads waiting to fasten themselves on to
our lungs.

Sains memang yang paling awal dan paling gigih membaca COVID-19.
Ketika korban di Indonesia belum berontokan, sains sudah berhasil
mengurutkan genom virus tersebut, dan memberi nama yang bagus:
Sars-COV-2. Nama yang merupakan singkatan dari Coronavirus
Sindrom Pernapasan Akut Berat-2, menjelaskan wujud dan tabiat
virus ini sekaligus asal-usulnya yang adalah galur baru dari
keluarga virus bermahkota yang sudah dikenal sebelumnya. Nama ini
adalah indeks yang baik karena terang menunjukkan lokus virus ini
dalam tatanan hal ihwal.

Dari praktik membaca pandemi ini, dapat dikatakan bahwa hanya


sains yang mengamalkan close reading (pembacaan dekat), dan
menelisik bukan hanya genom individual. Sastra, seperti halnya
sejarah dan filsafat, hanya sanggup melakukan distant reading
(pembacaan jauh) yakni mengaji dan meminjam hasil bacaan sains,
atau jadi pengamat dan pencatat dari satu jarak.

Sains bukan saja membaca dan menyumbang pemahaman baru tentang


SARS-CoV-2; sains juga “memanfaatkan” SARS-CoV-2 untuk
mengoreksi dan mengembangkan diri, agar bisa sungguh-sungguh
membaca pandemi ini dengan jitu. Pembacaan sains tidak mudah
bukan saja karena teks bermahkota yang dihadapi itu tak bisa
dibingkai dan dibekukan. Virus itu bermutasi dalam penyebarannya
di antara manusia dan kala melintasi wilayah. Tapi juga karena
perangkat baca yang dimiliki masih harus terus dipercanggih.

Berbagai cabang ilmu bergulat membaca SARS-CoV-2, antara lain


virologi, pulmonologi, immunologi, epidemiologi, vaksinologi,
genetika molekuler, dan kecerdasan buatan. Cabang-cabang ilmu ini
punya sejarah, pendekatan, disiplin, dan metodologinya sendiri,
yang mungkin membuahkan hasil bacaan yang berbeda dan bisa
memicu debat. Perdebatan paling seru dalam membaca dan merespons
120
pandemi ini terlihat di ranah epidemiologi yang memang langsung
berhubungan dengan kehidupan manusia sejagad.

Dua Mazhab

Ketika WHO mengumumkan bahwa Sars-COV-2 itu adalah pandemi,


korban sudah banyak jatuh dan wabah menyebar seperti api besar
melangkahi batas-batas negara. Bill Gates menyebutnya "Once-in-
a-Century Pandemic." Flu Spanyol di awal abad ke-20 menelan
korban sekitar 50 juta jiwa; Sars-COV-2 diduga lebih ganas lagi dan
akan menelan korban yang mungkin jauh lebih besar. Pengumuman
WHO memantik reaksi para epidemiolog dan mengobarkan
perselisihan yang oleh filsuf kedokteran Jonathan Fuller dipetakan
sebagai debat antara mazhab "model" melawan mazhab "bukti." Di
Amerika, mazhab "model" diwakili oleh epidemiolog kesehatan publik
dari Harvard, Marc Lipsitch, dan mazhab "bukti" diwakili oleh
epidemiolog klinis John Ioannidis dari Stanford.

Hipokrates, Bapak Kedokteran Yunani Kuno, sudah mengajarkan azas


penanganan penyakit luar biasa. Extremis malis extrema remedia.
Berdasarkan sekian data yang diakui belum memadai, mazhab "model"
menyusun sejumlah model matematis yang kemudian diajukan
sebagai dasar untuk membuat keputusan penanggulangan wabah.
Pendekatan dengan model matematis memang suatu yang biasa dalam
dunia pengetahuan. Berdasar dugaan bahwa Sars-COV-2 itu adalah
virus lebih ganas, maka saran penanggulangan wabahnya pun
berskala luar biasa.

Para epidemiolog di mazhab "bukti" tentu tak keberatan dengan


ajaran Hippokrates, tapi mereka mendebat sengit berbagai usulan
yang berdasarkan model-model matematis itu. Buat kubu ini,
pendekatan model itu bukan saja tak memadai, tapi bisa berbahaya,
karena banyak kajian yang menunjukkan bahwa pendekatan model ini
mengandung berbagai bias.

Pada 2005, John Ioannidis menerbitkan paper berpengaruh yang


tercatat paling banyak diunduh dari pustaka akses-terbuka Public
Library of Sciences. Judulnya, "Why Most Published Research
Findings Are False."

121
Perdebatan dua mazhab epidemiolog itu bisa juga tampak sebagai
debat antara kaum pragmatis dan kaum idealis. Bagi kaum pragmatis,
data memang tak memadai, namun tindakan harus segera diambil
untuk mencegah lebih banyak korban. Kaum idealis setuju intervensi,
tapi dasar tindakan itu harus memenuhi syarat ilmiah yang ketat.
Sains tanpa pembuktian yang kokoh, tentu saja bukan sains lagi.
Posisi kaum idealis ini jadi kian penting ketika ditemukan bahwa
wabah ternyata menghantam lebih keras kalangan miskin dan
kelompok marjinal tertentu, sehingga model yang tak peka kelompok
rentan ini harus dirombak.

Bias Niat Mulia

Jika diperiksa lebih jauh, perdebatan antara para epidemiolog itu


sebenarnya bukanlah benturan antara paradigma atau antarmazhab.
Perdebatan itu adalah dinamik penerapan prinsip metode ilmiah yang
ketat. Ia berakar pada kesadaran akan keterbatasan manusia,
ketaksempurnaan pengetahuan, dan bahaya dari niat mulia. Terlalu
banyak bukti bahwa niat mulia tanpa pengetahuan yang teruji adalah
jalan mulus bagi bencana. Ditambah kekuasaan yang besar tak
terkendali, ramuan ini akan benar-benar ampuh mengundang
malapetaka, bahkan jika hanya satu saja informasi yang keliru.

Sars-COV-2 memang belum hilang, vaksinnya pun belum ditemukan,


Tapi berbagai disiplin dan cabang ilmu sudah terus mengoreksi diri
dan saling memperkaya. Model-model direvisi mengikuti temuan
baru dan nilai moral, membantu para pembuat kebijakan menawar
berbagai kompleksitas dan dilema antara nyawa manusia dan ekonomi
bangsa.

Kerja sama antar ilmuwan membuat hasil bacaan yang semula berbeda
dapat diuji bersama untuk kemudian diramu dengan totalitas
pembuktian. Metasains ditegakkan. Asal diberi waktu yang memadai,
sains optimis akan dapat menemukan obat yang diperlukan.

Bagi masyarakat awam, perdebatan para saintis bisa tampak


memusingkan. Mirip mereka yang tak paham bola, pergulatan dua
kesebelasan di lapangan juga mungkin terasa membingungkan,
bahkan tolol. Dua abad sebelum Giordano Bruno, Raja Edward II di
Inggris pernah mengeluarkan dekrit yang melarang sepak bola,
122
menganggapnya permainan kacau yang kampungan. Sains dan
sepakbola memang punya masa silam yang mirip yakni dipandang
rendah oleh kaum yang berkedudukan mulia.

Eduardo Galeano, dalam Soccor in Shadow and Sun, antara lain


menulis: Cemoohan dari banyak cendekiawan konservatif berakar
dari anggapan mereka bahwa pemujaan sepakbola adalah agama yang
cocok buat kaum awam. Dirasuki oleh sepak bola, rakyat jelata itu
berpikir dengan dengkul kaki mereka, yang merupakan satu-satunya
cara mereka untuk bernalar... Sebaliknya, banyak intelektual
progresif merendahkan sepak bola karena mengebiri massa dan
memandulkan semangat revolusioner mereka.... dihipnotis oleh bola,
kesadaran pekerja menjadi mandeg dan mereka membiarkan diri
dituntun seperti domba oleh musuh-musuh kelas mereka.

Apapun yang dilontarkan oleh para pencemooh sepak bola, para


ideolog yang sangat mencintai kemanusiaan namun tak kuat bergaul
dengan rakyat jelata, semua itu tak mengubah para pengkhidmat bola
seperti Galeano, atau Paul Hoyningen-Huene. Buat mereka sepak bola
adalah pentas bagi drama kehidupan yang paling intens, arena bagi
lahirnya berbagai macam keajaiban yang tak terlupakan yang
membuat hidup menjadi sangat berharga.

Pergulatan sains memang tak sesimpel pertandingan bola. Emosi


yang dibangkitkannya mungkin juga tak seintens sepak bola. Tapi
sains juga bisa seperti sepak bola, yakni menjadi seni yang,
meminjam frasa Galeano, mengubah keterbatasan menjadi virtue.
Kerjasama para ilmuwan memang tak menghasilkan orgasme yang
meledakkan tribun berupa gol indah yang menggetarkan gawang.
Kerja sama mereka telah melontarkan manusia terbang ke bulan,
merentang usia manusia dua kali lebih panjang, dan mengangkat
peradaban dunia ke tingkat yang lebih baik.

Permainan Bersama

Jika sains sanggup ambil manfaat dari Corona, agama juga bisa. Kalau
agama tak berubah setelah pandemi, maka tuduhan yang pernah
diajukan Martin Heidegger untuk sains, yakni “tidak berpikir”
mungkin cocok dilimpahkan ke agama. Pelajaran yang bisa langsung
disebar adalah bahwa agama dapat memberikan sumbangan besar,
123
justru jika ia bungkam dan tak ngotot menyumbang. Etika publik dan
transaksi argumen yang demokratis jadi kian perlu dijunjung.
Khazanah religius memang kekayaan privat paling berharga buat
para penganutnya, yang mungkin ditawarkan, tanpa paksaan dan
pengistimewaan, untuk memperkaya khazanah publik.

Pilihan yang lebih asyik, yang juga berlaku untuk sastra dan filsafat
tentu saja adalah memasuki tatanan baru (new normal) dengan
menjadi penonton yang literate, yang paham aturan main sains dan
mengikuti perjuangan ilmu yang terbatas dan tak sempurna itu untuk
memahami dan menjinakkan wabah besar yang sama sekali tak punya
rasa hormat pada kedaulatan wilayah, keagungan ibadan dan segala
jenis konstruksi sosial manusia.

Pemahaman akan aturan main sains akan kian membentangkan jalan


selebrasi keindahan spirit dan nalar kritis manusia dimana semua
pihak, bukan hanya ilmuwan, filsuf dan penyair, bisa ambil bagian.
Itulah permainan besar yang menautkan kesadaran sains, olahraga
dan puisi, yakni kesadaran akan keterbatasan yang harus diolah
untuk melampaui keterbatasan. Permainan bersama itu bolak balik
menghamparkan fakta bahwa hidup dan pengetahuan, dibanding maut
dan ketidaktahuan, memang jauh lebih menakjubkan, lebih tak
terbatas, dan karena itu perlu terus dirayakan.

Selamanya.

XXIV. 5 Juni: Budi Munawar Rachman: “Perbedaan Sains dan Saintisme”

PERBEDAAN SAINS DAN SAINTISME

Sedang ramai diskusi di Facebook soal sains dan saintisme terutama


dari Goenawan Mohamad, A.S. Laksana, dan para penanggapnya seperti
Ulil Abshar Abdalla, Taufiqurrahman, F. Budi Hardiman, Fitzerald
Kennedy Sitorus, Husain Heriyanto, dan masih banyak lainnya.

Saya dalam status ini, ingin ikut berbagi pikiran bahwa saintisme
itu adalah pandangan yang menyempitkan sains. Sains hanyalah salah
satu cara manusia mengerti realitas. Ada banyak cara lain manusia

124
bisa mengetahui realitas, misalnya bisa melalui filsafat, teologi,
mistisisme dan seterusnya. Ketika seseorang mengatakan bahwa
realitas hanya bisa diketahui melalui sains, itu adalah “saintisme”.

Menurut saya, sains itu mempunyai dua muka. Jika kita menganggap
bahwa apa yang kita saksikan dalam fenomena sains itu adalah
"sebuah kenyataan yang sempurna," maka kita akan melihat sains
sebagai hanya kebenaran inderawi.

Sains pernah mengukuhkan bahwa kebenaran mutlak adalah yang


didasarkan pada panca-inderawi saja. Pandangan ini disebut
“saintisme.” Karena itu, pertanyaannya adalah, "Apakah ada sesuatu
hakikat yang berada di luar sains?" Saintisme akan menjawab tidak
ada. Kebenaran hanyalah kebenaran material yang bisa
dideskripsi¬kan melalui hukum-hukum sains saja.

Melawan pandangan saintisme itu, yang sekarang mulai ditinggalkan


orang, sangatlah menarik, kalau kalau kita bisa melihat pada
"tanda-tanda", bahwa sains bisa membawa kita kepada suatu hakikat
yang ada di seberang sains. Sesuatu yang tidak terpikirkan oleh
saintisme.

Kita akan melihat "tanda-tanda" yang merupa¬kan petunjuk kepada


adanya realitas di seberang sains. Kita catatkan terlebih dahulu
"tanda-tanda" itu, melalui “tesis-tesis” perjalanan kita untuk
menunjukkan adanya realitas di seberang sains (Tesis-tesis berikut
saya ambil dari Huston Smith, Forgotten Truth, The Common Vision
of the World’s Religions, pada bab “The Place of Science,” [New York:
Harper San Francisco, 1992], h. 96-117). Tesis-tesis itu kita coba
dalami dalam rangka untuk menyangkal pandangan saintisme.

1. Sesuatu itu tidaklah seperti apa yang kita lihat pada


lahiriahnya.

2. Selain dari yang kita lihat pada sisi lahiriahnya, terdapat


"sesuatu yang lebih dari itu".

3. "Sesuatu yang lebih" itu, tidak dapat diketahui dengan cara


yang biasa dilakukan.

4. Walaupun begitu, ia bisa diketahui dengan cara-cara yang


memadai untuk itu, cara yang luar biasa.

125
5. Cara-cara tersebut memerlukan penyuburan (cultivation)
atau penyemaian.

6. Dan cara itu, juga memerlukan alat.

Tesis 1: Sesuatu Itu tidaklah seperti apa yang kita lihat pada
lahiriahnya.

Salah satu dari tugas sains adalah menunjukkan hakikat dari


kenyataan. Apa yang paling menakjubkan dari sains modern, adalah
kemampuannya dalam menunjukkan bahwa kenyataan tidak seperti
apa yang dapat kita lihat secara langsung. Jika kita mengatakan
bahwa meja ini bersifat pejal, maka sains akan mengatakan bahwa,
pada hakikatnya tidak begitu. Sebab, jika kita bisa melihat atau
mengecilkan meja sampai kepada tingkat elektron, maka yang akan
kita lihat adalah ruang kosong, rasio ruang dan materi di situ
adalah, seperti bola dan ruang permainannya (lapangan bola). Begitu
juga, jika kita mengatakan meja itu statis. Itu tidak benar, kata
sains, karena kita akan melihat di dalamnya, ada aktivitas elektron
yang berkelil¬ing memutari intinya berjuta-juta kali dalam sesaat.

Inilah contoh bahwa setiap saat, inderawi kita "menggambarkan


sesuatu," tetapi indera kita telah dirancang sedemikian rupa
sehingga tidak memberitahukan kepada kita perkara yang
sebenarnya. Bayangkan saja, jika nenek moyang kita dulu melihat
bukan beruang, tetapi elektron-elektron yang berputar, tentu saja
ia sudah dimakan oleh beruang itu! Inilah yang dinamakan bahwa,
“Sesuatu itu tidaklah seperti apa yang kita lihat pada lahiriahnya.”

Dengan kesadaran ini, maka kita didorong kepada kesadaran suatu


"kenyataan lain" dari kenyataan yang sehari-hari kita lihat dengan
mata kepala kita. Sains menunjukkan bahwa indera kita telah
memperdayakan kita. Ini mengingatkan kepada pandangan
tradisional-keagamaan, bahwa "yang lahiriah itu mengelirukan" (our
sensibilities mislead).

Agama mendakwah bahwa ia telah memberitahu kita tentang suatu


alam lain, tentang sesuatu yang tersembunyi di balik alam ini, yang
bisa kita pegang, lihat dan sentuh. Kita mungkin berpikir bahwa
dakwahan agamaini palsu, tetapi jika ia memang benar,

126
kemungkinannya ia adalah sukar atau sekurang-kurangnya sukar
seperti fisika modern, atas sebab yang sama.

Keterangan ini, juga mengingatkan kita kepada pemikiran Sufisme


yang sering membuat dua lapisan bacaan: antara yang “terlihat” dan
“tak terlihat”. Atau dalam filsafat India yang menyatakan tentang
maya. Apa yang disebut maya ini sebenarnya bukanlah bahwa, “dunia
ini adalah khayalan”, tetapi bahwa “cara dunia memamerkan dirinya
kepada kita adalah mengelirukan”.

Permadani yang dibentangkan di hadapan kita, dan mengundang kita


untuk menai¬kinya adalah sebuah permadani ajaib, tetapi ia
menyihir; ia menipu. Frithjof Schuon, dalam Spiritual Perspectives
and the Human Facts, h.169 mengatakan bahwa, "kehidupan ini adalah
perjalanan satu mimpi, satu kesadaran, satu ego melalui mimpi
kolektif dan kosmis. Kematian menarik mimpi tersebut dari mimpi
keseluruhannya, dan mencabut akar yang telah diturunkan ke mimpi
umum. Alam ini adalah satu olahan mimpi dari mimpi yang banyak.
The Self alone is awake."

Dalam konteks ini, ada do’a yang “aneh” dari Kitab Suci Yahudi dan
Kristen, “Maka didiklah kami menghitung hari-hari kami, semoga
akan terbit kearifan di hati kami” (Mazmur 90:12).

Tesis 2: Selain dari yang kita lihat pada sisi lahiriahnya, terdapat
"sesuatu yang lebih" dari itu, Dan “itu” menakjubkan.

Kita sudah melihat bahwa sifat sebenarnya dari “sesuatu itu,” secara
radikal “berbeda” dari yang tampak. Mereka, para saintis menyetujui
bahwa "yang berbeda" itu, lebih tinggi tingkatannya dari segala yang
kita alami dalam penglihatan sehari-hari.

Sains adalah ilmu yang berurusan dengan kuantitas. Maka istilah


"sesuatu yang melebihi" itu dalam sains selalu dinyatakan dalam
bentuk angka-angka. Misalnya, kita mendapatkan bahwa cahaya dari
sebuah galaksi yang agak besar, dan paling dekat dari bumi
memerlukan dua juta "tahun cahaya" untuk sampai ke bumi. Jumlah
molekul dalam 4 1/2 dram air (kira-kira 1/2 ons), dan sebagai tetapan
avogadro (Avogadro Constanta) adalah 6,023 x 1023, atau kira-kira
600.000 miliar molekul. Kepada keajaiban angka-angka seperti itu,

127
agama biasanya mengatakannya dengan cara kualitatif, misalnya
"Penderitaan yang kita alami pada masa kini tidak seberapa besar
dibandingkan dengan kemuliaan dan keindahan yang akan kita alami
kelak."

Dari fisika mikro, kita juga mengetahui bahwa adanya zat yang 100
miliar kali lebih kecil dari elektron. John Weller memberitahukan
kita bahwa cakrawala yang kita ketahui ini, 13 miliar tahun umurnya,
dan 26 miliar tahun cahaya yang terjauh, jauhnya dari bumi. Angka-
angka ini mempunyai platform yang begitu besar, sehingga
menjadikan sains berkata secara mistis, sebagai tak terbatas atau
tak tergambarkan, maka dianggap “infinite”.

Tesis 3: "Sesuatu yang lebih" itu, tidak dapat diketahui dengan cara
yang biasa dilakukan.

Biasanya, para saintis (ilmuwan) menggambarkan atas besaran yang


sukar dibayangkan di atas, dengan kata "mengagumkan" (Siapa yang
bisa membayangkan angka bermiliar-miliar di atas). Tetapi
sebenarnya, ini baru permulaan, yang belum apa-apa. Karena, kajian
sains belakangan ini mengemukakan sesuatu yang tidak dapat
diterka oleh pikiran kita. Inilah yang terjadi pada teori relativitas
dan mekanika kuantum.

Selama abad kedua puluh, penemuan-penemuan fisika modern telah


meruntuhkan paradigma Newtonian. Runtuhnya paradigma ini,
terjadi akibat perkembangan teori relativitas Einstein dan
mekanika kuantum. Teori relativitas, yang merupakan fisika
kecepatan tinggi pada jarak-jarak yang besar, yang membantah
asumsi Newton tentang ruang dan waktu absolut, telah menguasai
pandangan sehari-hari kita tentang dunia. Ruang dan waktu
direlatifkan oleh Einstein, ketika unsur kecepatan cahaya menjadi
variabel dari gerak. Dengan demikian, panjang ruang dan panjang
waktu adalah sesuatu yang relatif, tergantung keadaan pengukurnya.

Sementara itu, mekanika kuantum, yang merupakan fisika tentang


dunia mikro subatomik, merombak total pandangan tentang materi.
Asumsi lama bahwa, atom-atom dunia mikroskopik adalah versi
berskala kecil dari dunia sehari-hari, harus segera ditinggalkan.
Mesin deterministik Newton digantikan oleh alam yang diatur dengan
128
hukum-hukum kemungkinan, bukan hukum sebab akibat yang
memberikan kepastian. Perkembangan ini mengakibatkan terbukanya
ruang “mistik” dalam penjelasan fisika, juga menjadi fenomena yang
tak pernah terduga, karena fisika sebelumnya sangat bersifat
materialistik dan sekular dalam melihat kenyataan alam.

Pernyataan paling revolusioner dari fisika kuantum mengenai


hakikat kenyataan alam adalah tentang sifat dualitas dunia
subatomik.

Contoh paling terkenal tentang sifat ini adalah cahaya, yang bisa
diamati sebagai gelombang elektro-magnetik atau partikel-
partikel foton, tergantung dari rancangan percobaan yang
diterapkan padanya. Niels Bohr menjelaskan ini melalui prinsip
komplementaritas. Prinsip ini mengatakan bahwa, gambaran dunia
subatomik sebagai partikel dan gelombang merupakan dua
penjelasan yang saling melengkapi tentang satu kenyataan yang
sama, kendati kita tidak bisa memperolehnya secara sekaligus.
Percobaan yang dirancang untuk mendeteksi gelombang hanya dapat
mengukur aspek gelombang dari elektron. Sedangkan percobaan yang
dirancang untuk mendeteksi partikel, hanya dapat mengukur aspek
partikelnya. Sebuah percobaan tak mungkin mengukur kedua aspek
itu secara serempak.

Prinsip ini mempunyai efek epistemologis berkaitan dengan


objektivitas yang selama ini dijunjung setinggi langit oleh fisika.
"Tidak benar bahwa fisika adalah tentang alam sebagaimana adanya.
Fisika adalah tentang alam sebagaimana yang kita ketahui," begitu
Bohr mengomentari implikasi dari prinsip komplementaritas ini.

Dualitas partikel-gelombang ini dilanjutkan oleh prinsip


Ketidakpastian Heisenberg yang membicarakan dualitas posisi-
momentum. Prinsip ini mengatakan bahwa, kita hanya dapat
mengamati secara teliti separuh dari kenyataan keadaan fisik suatu
sistem. Artinya, kalau kita dapat mengukur dengan teliti kecepatan
suatu partikel, maka pengukuran posisinya menjadi tidak teliti.
Sebaliknya, semakin teliti kita mengukur posisi suatu partikel,
semakin tidak teliti pengukuran kecepatannya.

Kedua prinsip ini memperlihatkan kenyataan dunia subatomik yang


tidak bisa dilepaskan dari kesadaran pengamatnya. Jika fisika klasik

129
mengasumsikan adanya dunia di luar sana dalam keadaan pasti, dan
tak tergantung pada tindakan pengamat, maka kedua prinsip ini
menampilkan gambaran kenyataan yang sebaliknya: pengamat dan
yang diamati saling berkaitan erat.

Objektivitas ilmiah seakan lenyap pada tingkat subatomik,


digantikan dengan subjektivitas pengamat. Apa yang dapat kita
ketahui ditentukan oleh perangkat percobaan kita. Dengan demikian,
keyakinan tentang objektivitas menjadi ilusi. Melalui pengamatan,
ternyata kita menciptakan kenyataan, bukan mengeksplorasinya.

Ketidakpastian ini, menurut Heisenberg, bukan disebabkan oleh


ketidakmampuan manusia atau keterbatasan alat, tetapi merupakan
sifat yang melekat pada alam semesta. Alam pada tingkat subatomik
seakan mengelak untuk diketahui manusia (bandingkan dengan apa
yang disebut “maya” dalam filsafat India.

Keutuhan yang tak terbagi. Einstein tidak bisa menerima kenyataan


kuantum yang serba tidak pasti ini. Bagi Enstein, tidak mungkin alam
diciptakan dengan aturan yang tidak bisa diketahui. "Tuhan tidak
sedang bermain dadu," katanya. Keberatan utama Einstein terletak
pada prinsip ketidakpastian. Berharap dapat membuktikan bahwa di
balik dunia kuantum yang ganjil ini, tersembunyi kenyataan yang
selaras dengan tradisi deterministik fisika klasik, maka pada 1935,
Einstein, Podolsky, dan Rosen merancang sebuah percobaan untuk
membuktikan bahwa ketidakpastian kuantum tidak bersifat inheren,
tetapi disebabkan oleh tidak memadainya alat yang digunakan.

Percobaan ini ingin memperlihatkan bahwa kita bisa mengukur posisi


dan kecepatan elektron secara serempak pada saat yang sama. Upaya
ini gagal, tetapi justru memperkuat aspek lain yang lebih
menakjubkan dari dunia subatomik, yaitu prinsip non-lokalitas.
Prinsip ini mengatakan bahwa partikel-partikel subatomik, dapat
saling mempengaruhi secara seketika dari jarak yang jauh, tanpa ada
penyebab lokal. Seakan-akan ada interaksi yang lebih segera dari
kecepatan cahaya antara partikel-partikel itu.

Prinsip ini mempunyai jangkauan implikasi yang sangat jauh. Jika


kita dapat membayangkan alam semesta sebagai sebuah jaringan
partikel-partikel yang saling berinteraksi dalam sebuah sistem
kuantum, maka prinsip ini mengungkapkan sifat kesalinghubungan di

130
alam semesta. Ini merombak secara menyeluruh pandangan klasik
tentang kausalitas yang terbatas pada efek-efek lokal.

Pada tahun 1951, David Bohm melihat aspek lain dari percobaan
Enstein, Podolsky dan Rosen. Sambil melanjutkan keraguan Enstein
perihal prinsip ketidakpastian, David Bohm berpendapat bahwa
prinsip ini muncul hanya karena ketidakmampuan kita untuk
menjelaskan sesuatu yang lebih mendasar dari teori kuantum.

Menurut Bohm, kenyataan bahwa partikel-partikel subatomik dapat


berhubungan secara langsung, justru disebabkan karena adanya
kesatuan di balik realitas kuantum. Apa yang kita persepsikan
sebagai partikel-partikel yang terpisah dalam sebuah sistem
subatomik, sebenarnya tidak terpisah, melainkan merupakan
perluasan dari sesuatu yang lebih fundamental pada tingkat
kenyataan yang lebih tinggi. Bohm menyebut tingkat kenyataan
partikel-partikel itu sebagai “explicate order”, sementara realitas
dasar yang merupakan sumber-sumber itu diistilahkan Bohm sebagai
“implicate order”.

Huston Smith menyebut, pandangan-pandangan yang dipaparkan di


atas, memunculkan epistemologi, yang menuntut cara baru dalam
memahami alam, yang disebutnya dengan “counterintuitive”, yang
mengatasi kategori ruang dan waktu seperti lazimnya selama ini
dipahami dalam sains. Persamaan filosofis bagi pengertian
“counterintuitive” ini adalah “ineffable” (di luar kemampuan kata-
kata) dan “apophatic”. Kenyataan ini, tentu saja telah menimbulkan
skandal dalam sains, justru karena terbukanya ruang paradoks dalam
sains. Padahal selama ini, seperti dikatakan W.T. Stace dalam The
Teaching of the Mystics, "sifat paradoks adalah satu ciri lazim
semua ajaran mistik". jadi bukan ciri sains, yang ”rigorous”.

Tesis 4: "Kelebihan" itu tidak bisa diketahui dengan cara biasa.


Meskipun begitu, ia bisa diketahui dengan cara-cara yang luar biasa.

Apa yang kita lihat dari perkembangan sains baru ini, menuntut kita
"berjalan lebih jauh." Pada mekanika kuantum, sebagaimana
dikatakan Schilling dalam The New Consciousness in Science and
Religion, bahwa, "Kesimpulan...akan paradoks materi-gelombang...
dicapai... dengan memakai simbol matema¬tika semata (tentang
131
mekanika kuantum), dan pada umumnya dengan mengelakkan konsep
yang mempunyai gambaran-gambaran." Ini memunculkan semacam
."visi mistik," dalam sains yaitu:

Pertama, visi alam yang baru itu adalah sesuatu yang terlalu hebat
untuk diungkapkan dengan kata-kata. Apa yang diketahui adalah
terlalu sedikit, atau masih jauh dari pengetahuan biasa, dan hampir
tidak dapat dinyatakan atau dikabarkan kepada mereka yang tidak
terlibat dalam bidang itu.

Kedua, visi ini menunjukkan bahwa eksistensi itu disifatkan sebagai


perpaduan yang tidak langsung. Misalnya materi dan energi adalah
satu. Ruang dan waktu adalah satu. Ruang dan gravitasi adalah satu.

Ketiga, penemuan visi ini menghidupkan rasa bahagia. Dan,

Keempat, rasa bahagia ini bukan suatu kebetulan, tetapi ia adalah


akibat logis dari penyebab yang mengakibatkannya: yaitu pencapaian
kesatuan wujud dalam sains. Ini begitu penting ditekankan, karena
tanpa pencapaian kesatuan wujud, visi ketakjuban akan direndahkan
kepada pengalaman mistikal biasa, yang sering dianggap sebagai
perasaan. Padahal pengalaman mistik bukan perasaan, tetapi suatu
“noetic” (yang berkaitan dengan pengetahuan dan visi). Mengambil
ungkapan dalam mistisisme, "Manusia yang mendekati Tuhan tidak
pernah gembira, karena ia adalah kegembiraan itu sendiri" begitu
Master Eckhart.

Tesis 5: Cara-cara mengetahui yang luar biasa itu, memerlukan


penyuburan (“Cultivation”) atau Penyemaian.

Apa yang penting dari realitas sains adalah perlunya kesungguhan


dalam dedikasi. Untuk menjadi seorang ahli fisika, sekarang ini
memerlukan waktu yang lama. Teori relativitas bisa dihapal dalam
beberapa menit, tetapi kajian bertahun-tahun tentang teori ini,
belum juga menjamin penguasaan atas teori tersebut.

Sehingga kesungguhan di dalam sains, menyerupai dedikasi para wali


dan orang yang bercinta Ilahi; setelah mencapai kebersihan diri,
maka pengalaman mistikal menjadi mudah dan biasa. Walaupun
seperti dikatakan Bayazid, "pengetahuan tentang Tuhan tidak bisa

132
dicapai dengan usaha, tetapi hanya mereka yang benar-benar
beru¬saha untuk mendapatkannya saja, akan menemuinya."

Tesis 6: Pengetahuan mendalam memerlukan alat.

Sains pasti memerlukan alat. Sains misalnya mempunyai teleskop,


kamera, spektroskop, dan sebagainya. Mistik pun mempunyai alat,
yang terdiri dari dua macam. Untuk masyarakat yang buta huruf, ada
dan dikenal mitos, sedangkan bagi penduduk yang berperadaban lebih
maju, ada dan dikenal Kitab Suci (Sacred Text).

Pada masyarakat yang tidak didatangi nabi, ia bisa mencapai


kebenaran dengan melalui kesadaran diri yang mendalam, karena
"Sifat ketuhanan ada dalam diri manusia." Kata Huston Smith, "hukum,
peraturan dan prinsip penghidupan yang diwahyukan adalah ibarat
membongkar rahasia langit, dan mengumumkan keagungan Tuhan,
tetapi di dalam agama, alat-alat khusus juga bisa dipakai." Atau
seperti dikatakan penyair mistik Blake bahwa, "jika pintu akal budi
dibuka dan dibersihkan, setiap sesuatu itu akan kelihatan seperti
pada hakikatnya yang sebenarnya, karena ia adalah infinite."

Pandangan ini sejalan dengan Paul Dirac yang mengatakan bahwa,


"segala materi tercipta dari substratum yang tidak bisa dicapai atau
ditanggapi, dan penciptaan materi ini meninggalkan di belakang
mereka sebuah “lubang” dalam substratum yang kelihatan seperti
anti-materi. Substratum itu sendiri tidak dapat secara tepat
dikatakan benda, memandanginya memenuhi semua ruang, dan tidak
bisa diketahui dengan penelitian sains. Dari segi lain, ia kelihatan
seperti sesuatu yang kosong, tidak merupakan benda, dan tidak pula
dapat dikesani, tetapi senantiasa ada. Ia adalah suatu bentuk benda
yang tidak bersifat benda, yang darinya semua benda diciptakan."

Akhirnya

Sekarang makin disadari bahwa sains bisa menjadi jalan memahami


realitas kosmos, mengikuti jalan lain yang lebih tua, seperti mistik.
“Mystics have known about it for thousands of years. Science is now
discovering it”. Sains tidak lagi mendominasi, tapi melengkapi jalan

133
mistik yang banyak membicarakan tema-tema seperti kesadaran.
"Consciousness and the physical universe are connected," begitu
kata Michael Talbot, seorang penulis buku-buku bertemakan fisika
baru dan mistisisme. Melalui mistik dan sains, muncullah apa yang
sekarang disebut "the cosmic connection". Dan rupanya, ini hanyalah
istilah untuk zaman sekarang. Padahal, dahulu kala sudah dikenal
dan populer dengan istilah “kesatuan wujud”.

Akhirnya, menarik, “The newphysics is offering us a scientific basis


for religion” kata Michael Talbot lagi. Kalau saintisme menolak
agama, sains malah bisa menjadi basis untuk agama, khususnya.
agama dalam dimensi mistisismenya.

Inilah perbedaan sains dan saintisme yang sangat jelas.

XXV. 6 Juni: Hamid Basyaib: “Tentang Cicak Sains dan Ekor Filsafat”

TENTANG CICAK SAINS DAN EKOR


FILSAFAT

Saya sedang duduk-duduk rileks sambil menikmati suasana pagi,


ketika seseorang memanggil nama saya. Rasanya saya kenal pria
berkumis itu, yang ternyata memanggil saya untuk mengajak jalan-
jalan ke tempat-tempat yang menyenangkan.

Saya penuhi ajakannya, dan saya kecewa. Sangat kecewa. Ternyata


madu yang dijanjikannya adalah racun yang pahit.

Saya diajaknya masuk-keluar gang becek, melewati para preman di


sudut-sudut pasar, lalu naik angkot sempit, turun untuk masuk ke
gang-gang lain yang buntu, menyeberangi sungai besar dengan
perahu, lanjut dengan jalan kaki lagi di jalan setapak, terus naik
mobil omprengan.

Badan saya sudah lengket dengan keringat. Dan dalam keadaan lapar
karena tak pernah diajaknya masuk ke restoran, saya diturunkan
begitu saja di tengah jalan -- saya bahkan tidak diantarkan kembali

134
ke rumah saya dan tak diberi ongkos pulang. Saya benar-benar
nelangsa; batin saya hampa dan terombang-ambing tak tentu arah.

Maka saya berencana mengirimkan somasi kepada dia, dan kalau dua
kali somasi saya tak digubris, saya akan mendatangi kantor Yanmas
(Pelayanan Masyarakat) di Polda Metro Jaya. Orang itu telah
membuat saya jengkel, menderita dan putus asa.

Dalam gugatan nanti, saya juga akan mengajukan tuntutan ganti-


rugi imateriel, yang jumlahnya harus saya rundingkan dulu dengan
lawyer. Nanti akan jelas berapa ganti rugi yang saya minta untuk
hati yang nelangsa. Berapa pula untuk batin yang hampa dan
terombang-ambing -- ini bisa ditetapkan harganya secara terpisah;
berapa untuk hampa, berapa pula untuk terombang-ambing.

Begitulah gambaran yang bisa saya bayangkan setelah membaca


tulisan panjang Fitzgerald Kennedy Sitorus di Facebook. Judulnya
panjang: "Tentang Garis Demarkasi Antara Sains dan Filsafat dan
Kematian Metafisika". Di situ ia menyebut nama saya dan merumuskan
sikap saya sebagai "berada pada posisi yang mengagungkan sains dan
menganggap agama dan filsafat tidak relevan lagi."

Inti tulisannya, yang di sana-sini ditaburi peristilahan Jerman


(bukan Inggris, yang pasaran), sebetulnya hanya di beberapa kalimat
di bagian akhir.

Begini bunyinya: "Sains itu terbatas. Itu sudah jelas. Tapi itu bukan
kelamahan, justru keterbatasan itu kekuatan sains. Dengan
keterbatasan itu sains dapat melakukan penelitian yang sedemikian
mendalam pada objek tertentu sehingga dengan demikian kita
memperoleh pengetahuan yang mendalam mengenai objek tersebut."

Apa boleh buat, rumusannya memang seperti itu. Saya membacanya


dari kiri ke kanan sebagaimana layaknya untuk pembacaan bahasa
Indonesia; dan ketika saya baca dari kanan ke kiri seperti dalam
bahasa Arab, maknanya tidak berubah.

Jadi, terbatas itu kuat, bukan lemah. Orang yang ceking dan jalannya
sempoyongan adalah atlet angkat besi yang potensial; bisa juga jadi
petinju seperti Ariel Noah, eh Mike Tyson (Ariel itu penyanyi, kata
keponakan saya).

135
Keterbatasan itu, kemudian disebutnya "pembatasan diri", bukan
hanya terjadi pada sains. "Pada filsafat juga itu terjadi", katanya,
mantap.

Jadi, berarti sains dan filsafat sama-sama terbatas dan karena itu
sama-sama kuat? Sitorus tidak menyimpulkan apakah dengan
kesamaan itu sains dan filsafat akan seri (draw) jika bertarung.

Kelanjutannya bukan penyimpulan, tapi wejangan yang mengejutkan:


"Karena itu, menurut saya, sikap yang mengagungkan bidang sendiri
tidak akan membawa kita ke mana-mana," tulisnya. Kalau saja ia tak
menegaskan "menurut saya" itu, mungkin saya bisa menduga itu
ucapan orang lain. Dan saya tidak mengerti maksud "mengagungkan
bidang sendiri" itu; sebab saya bukan ilmuwan. Saya bahkan nggak
punya bidang.

"Uraian saya di atas (maksudnya pemaparannya yang panjang sekali


-- red) juga bukanlah sebuah pengagungan filsafat. Itu adalah
sebuah upaya untuk memperlihatkan garis demarkasi, tugas serta
fungsi kedua disiplin ilmu tersebut."

Selalu ada yang baru dalam proposisi Sitorus. Tupoksi ilmu dan
filsafat, sebagai "kedua disiplin ilmu", ternyata berbeda, jadi harus
ditarik demarkasi.

Tapi tiba-tiba lanjutannya: "Saintisme sebagaimana diusahakan oleh


Lingkaran Wina, adalah buah dari kebanggaan berlebihan terhadap
sains. Saintisme sama dengan naturalisme, menganggap manusia
semata-mata sama dengan realitas fisik, seperti batu atau pohon.
Karena itu saintisme adalah fundamentalisme sains. Saintisme
adalah dehumanisasi. Saintisme adalah kedunguan." Saintisme
adalah... oh, kutukannya selesai di situ, rupanya.

Inilah yang disebut orang Jogja, "banter ning kleru". Suaranya


lantang sekali, tapi salah.

Pernyataan itu tidak bisa ditanggapi karena tidak memenuhi syarat


minimal untuk dikomentari. Ia tetap salah, bahkan kalaupun saya
komentari dengan taburan bahasa Jerman atau Thai.

Proposisinya sudah salah. Seolah sains hanya mengenai manusia.


Bagaimana dengan fisika dan kimia beserta beratus-ratus cabang

136
dan rantingnya? Fisika itu mempelajari berbagai daya dan energi dan
gelombang di alam semesta, bukan tentang manusia -- meskipun ada
"fisik" di situ. Kimia juga mempelajari beraneka ragam zat, termasuk
untuk membuat pestisida, cat tembok dan pewarna kain.

Tuduhan Sitorus tentang "kedunguan saintisme" dan berbagai


variannya itu, selain usang dan kini tinggal hanya jadi hapalan para
evangelis Amerika (seiring penentangan mereka yang kesumat
terhadap teori evolusi), saya anggap merupakan benteng terakhir
bagi kubu anti-sains untuk membendung laju sains yang
unstoppable. Dalam kelangkaan argumen, karena stoknya sudah habis
-- kalaupun pernah ada -- tudingan adalah tameng kecil yang
tersisa, walaupun niscaya sia-sia.

Dan Sitorus telah bertindak curang atau setidak-tidaknya sengaja


bersikap timpang dalam membahas perkara. Meski mengakui bahwa
sains dan filsafat sama-sama terbatas dan dengan demikian sama-
sama kuat (maafkan pengulangan oxymoron ini), ia tak sedikit pun
menyebut "filsafatisme" sebagai padanan dari "saintisme" yang
dituduhkannya dengan berkobar-kobar.

Akhirnya, terhadap tandasnya stempel-stempel "dehumanisasi,


dungu" dan sejenisnya itu, saya hanya sanggup menghibur diri dengan
mengenang Ivan Turgenev, sastrawan Rusia itu. Dalam surat kepada
sahabatnya, ia menulis: "Mereka yang melekatkan diri pada sistem
yang sedang berlaku, tidak sadar bahwa mereka sedang memegang
ekor cicak, dan tak tahu bahwa cicaknya sudah pergi seraya
menumbuhkan ekor baru."

Cicak sains sudah pergi jauh, jauh sekali, sambil menumbuhkan ekor
baru yang sangat besar dan bermanfaat. Sahabat saya, Fitzgerald
Kennedy Sitorus namanya, terus menggenggam ekor filsafat.

Tapi perjalanan dengan dia cukup menyenangkan, ternyata. Karena


itu pasti saya tidak perlu mensomasinya, meskipun senam ini sedang
musim seperti Senam Orhiba, apalagi melaporkannya ke Polda.

Sitorus telah melakukan perbuatan menyenangkan terhadap saya.


Bukan tak menyenangkan.

137
XXVI. 6 Juni: Husain Heriyanto: tidak ada judul

TANPA JUDUL

Menyadari bahwa diskusi yang berlangsung antara Goenawan


Mohamad (GM) dan A.S. Laksana (ASL) masih di luar gelanggang
perdebatan sains, baik dalam “the context of discovery” maupun “the
context of justification” – dua istilah baku dalam studi sains yang
diperkenalkan oleh Hans Reichenbach- tulisan ini mencoba
menyajikan cara kerja Nalar realis dalam memahami sains supaya
diskusi yang menghangatkan pikiran ini tidak berhenti pada sensasi
permainan bahasa dan istilah belaka atau meminjam istilah F. Budi
Hardiman (FBH) “babak adu mulut”.

Bahasa dan sastra (sistem penanda) memang penting tapi makna dan
realitas (sistem petanda) yang dirujuk bahasa lebih penting. George
Sarton, seorang peneliti dan penulis sejarah sains terkemuka asal
Harvard University, menulis “Sebagian besar penulis (most men of
letters) dan, maaf saya tambahkan, tak sedikit saintis, hanya
mengetahui sains melalui pencapaian-pencapaian materialnya,
tetapi mengabaikan spirit ilmiahnya dan gagal memahami keindahan
internal sains sebagai usaha mengesktraksi alam semesta” (A
History of Science, 1952).

Karya Sarton A History of Science yang tersusun dari tiga volume


dengan total 1800-an halaman itu menjadi buku daras studi sejarah
sains di berbagai universitas dunia dan wajib dibaca oleh setiap
orang yang hendak memahami betul karakteristik dan dinamika
perkembangan ilmu pengetahuan secara memadai agar –mengutip
ungkapan Thomas Kuhn dalam “The Structure of Scientific
Revolutions” (1962)- tidak sekadar menjadi seorang turis museum
sains yang mengenalnya melalui brosur (a tourist brochure) atau
sebuah teks bahasa (a language text), atau mungkin istilah sekarang
dikutip dari mbah Google.

Salah satu kesimpulan utama riset Sarton selama 25 tahun (1927-


1952) menyelidiki perkembangan sains dimulai dari zaman
prasejarah, peradaban Mesir, Mesopotamia, Syria, Persia, Yunani,
Aleksandria-Helenistik, Islam/Asia Barat, Renaisans Eropa hingga

138
peradaban sains modern adalah “perkembangan sains di manapun dan
periode apapun tidak terjadi tiba-tiba yang muncul dari kevakuman
nilai kultural dan spirit zaman yang melambari dinamika
sains”. Sarton menggarisbawahi kelahiran sains sebagai bagian
integral dari usaha manusia memahami diri dan dunia dengan segala
persoalannya.

Menarik pula dicatat, hampir di kurun waktu yang sama, ketika sains
modern mencapai perkembangan revolusioner yang menakjubkan
dengan kemunculan teori relativitas Einstein dan mekanika kuantum
(Niels Bohr, Heisenbeg, Schrodinger), Karl Popper menulis The Logic
of Scientific Discovery (1959). Uniknya, melalui pendekatan yang
berbeda, yaitu historis (Sarton) dan logika formal-material
(Popper), setelah mendedah dengan penuh seksama dan rinci
bagaimana sains itu berkembang, keduanya menyimpulkan bahwa
teori-teori saintifik adalah hasil dari imajinasi kreatif yang
diproses dan dikonstruksi oleh pengujian yang terpola dan
terstruktur.

Mungkin menyadari keniscayaan proses pemikiran kreatif itulah


Einstein menyatakan “imajinasi lebih luas dari pengetahuan”.
(Einstein: “Imagination is more important than knowledge. For
knowledge is limited to all we now know and understand, while
imagination embraces the entire world, and all there ever will be to
know and understand”).

Nalar Realis dan Konstruksi Sains

Pengujian yang terpola dan terstruktur itu berasal dari mana? Tidak
lain ia berasal dari logika. Di mana logika itu? Ia hadir dalam
pikiran. Ibn Sina mendefinisikan logika sebagai perangkat metodis
berupa prinsip-prinsip dasar berpikir yang jika dioperasionalkan
akan mencegah kesalahan pemikiran (Isyārāt wa Tanbīhāt,
bab Manthiq). Ibn Sina dengan jeli menggunakan frase “mencegah
kesalahan pemikiran” (al-khathā-i fī al-fikr) karena peran kunci
logika (formal) terletak dalam pencegahan kesalahan pemikiran,
bukan pencarian kebenaran.

Tidak seperti logika transendental idealisme Kant (baca Lectures on


the Blomberg Logic) atau apalagi logika dialektika Hegel yang
139
begitu antusias menekankan kemandiran absolut akal yang
bersifat apriori, Ibn Sina –sebagai filsuf realis dan juga
ilmuwan- mengakui pengalaman dengan dunia luar sebagai sumber
pengetahuan mengenai alam empiris.

Bagi Ibn Sina, logika sangat penting dalam proses konstruksi


pengetahuan tetapi tidak mengidolakannya sebagai
kategori transendental Kantian atau idea mutlak-sebagai-yang
real Hegelian. Hal ini bisa dimaklumi mengingat Ibn Sina adalah
filsuf realis, sementara Kant dan Hegel tergolong filsuf idealis
meskipun diantara kedua filsuf Jerman ini juga berbeda tipe
idealisme mereka; sesuatu yang bukan tempatnya dibahas di ruang
ini.

Sebagai dokter, yang menurut George Sarton (1952) berpengaruh luas


hingga abad ke-19 di Barat dan Timur serta karyanya “Qānun fī al-
Thībb” (Canon of Medicine) merupakan salah satu buku yang paling
banyak diterjemahkan selama era renaisans di Eropa, Ibn Sina tentu
sangat memahami cara kerja sains. Dia membahas epistemologi sains
dari pengalamannya langsung sebagai ilmuwan, bukan sebagai orang
luar yang mencoba memahami (baca: melaporkan) sains sebagaimana
yang terjadi pada sebagian pemikir, filsuf atau pujangga (meskipun
secara verbal tampak begitu mabuk dan terpesona dalam melihat
sains dengan, meminjam frase GM, “mata yang berbinar-binar”).

Ibn Sina menguraikan bahwa pengalaman dengan dunia empiris


terjadi melalui tiga persepsi (al-idrāk) yang utama, yaitu persepsi
inderawi (al-ḫissī), persepsi imajinatif (al-khayālī), dan persepsi
intelek (al-‘aqlī). Melalui pengalaman indera, dokter atau ahli
virus mengenali gejala-gejala infeksi virus SARS-CoV-2, yang
kemudiaan diidentifikasi sebagai penyakit COVID-19. Bagaimana
dokter tiba pada kesimpulan itu? Tak lain karena mereka
mengoperasionalkan persepsi imajinatif yang merekam pengalaman.
Tanpa imajinasi tidak akan ada secuil pengalaman inderawi apapun
yang terekam dalam mental pikiran. Demikian uraian Ibn Sina
mengenai pentingnya imajinasi dalam rekonstruksi pengetahuan.

Tapi, kenapa hanya dokter atau ahli virus yang bisa mengidentifikasi
gejala-gejala COVID-19? Bukankah banyak orang yang telah
terinfeksi COVID-19 tersebut yang artinya mereka telah memiliki
pengalaman inderawi dan imajinatif? Kenapa hanya dokter yang bisa
140
mengidentifikasinya padahal sebagian besar dari mereka tidak
mengalami langsung gejala-gejala COVID-19 tersebut?

Dengan kata lain, mengapa penderita COVID-19 gagal


mengidentifikasi penyakitnya melalui pengalaman inderawi dan
sekaligus persepsi imajinasinya, sementara dokter yang sehat
justru bisa mengidentifikasinya. Jawabannya, sang dokter memiliki
intelek yang sebelumnya telah mempersepsi gugus konsep mengenai
sifat-sifat dan perilaku berbagai jenis virus. Sementara penderita
COVID-19 meskipun sudah langsung merasakan gejala-gejalanya dan
juga merekamnya dalam imajinasi (terbukti ketika sembuh dia masih
bisa mengingatnya) tidak akan bisa mengidentifikasi COVID-19
karena dia tidak memiliki konsep yang memadai tentang sifat dan
perilaku virus.

Di sinilah Ibn Sina menekankan peran krusial akal dalam melahirkan


konsep-konsep umum (tashawwurāt kulli), yang lalu dalam kajian
khusus epistemologi para filsuf Muslim kontemporer (sebut saja
Allamah Thabathaba’i, Murtadha Muthahhari; baca Ushūl al-
Falsafah) menyebutkannya dengan istilah ma’qūlāt awwaliyah (first
intelligibles; konsep-konsep universal yang pertama). Karena
konsep-konsep ini merupakan esensi entitas-entitas, mereka
disebut juga “whatness concepts” (ma’qūlāt māhiyah; konsep
keapaan).

Jadi, berbagai konsep yang dikenal dalam sains atau ilmu


pengetahuan pada umumnya merupakan whatness concepts, sebut
saja mulai “virus”, “hewan”, kecepatan”, “percepatan”,
“gravitasi”, “air”, “emas”, tanaman”, “bunga”, “atom”, “elektron”,
“massa”, “matahari”, “planet”, “laut”, “tubuh”, “jantung”, “saraf”,
“darah”, hingga konsep “manusia”. Konsep-konsep ini memiliki
contoh partikular yang bisa ditunjuk dan menempati ruang-waktu
tertentu.

Ibn Sina lalu menyebutkan bahwa saintis pun pasti sudah


mengoperasionalkan dua jenis konsep lain, yaitu ma’qūlāt tsaniyya
falsafī (secondary philosophical concepts: sebut saja konsep
filosofis) dan ma’qūlāt tsaniya manthiqī (secondary logical
concepts; sebut saja konsep logis). Konsep filosofis adalah konsep
yang tidak memiliki entitas partikular; ia hadir dalam pikiran dan
realitas secara umum.
141
Misalnya konsep “sebab akibat”. “Sebab” merupakan produk
kreativitas pikiran yang melihat relasi kausal-eksistensial antara
dua fenomena, yaitu satu peristiwa/keadaan/entitas yang merupakan
alasan munculnya peristiwa/keadaan/entitas yang lain; yag pertama
disebut “sebab” dan yang kedua disebut “akibat”. Yang
menghubungkan atau “melihat hubungan” antara kedua
peristiwa/keadaan/entitas itu adalah akal, bukan indera.

Sebagai contoh, ketika kita memanaskan air dengan kompor gas lalu
air itu mendidih, maka akal kita menciptakan konsep (dalam filsafat
Islam dikenal dengan intizā’) tentang relasi kausal antara dua
peristiwa, yaitu panas sebagai penyebab dan mendidihnya air sebagai
akibat. Bukti nyata konsep sebab itu adalah konsep filosofis
terletak pada keadaan bahwa kita tidak bisa menunjuk contoh
partikular sebab itu.

Kenapa? Karena “sebab” tidak memiliki entitas partikular. Panas


yang kita kategorikan sebagai sebab hanya berlaku untuk relasi
dengan peristiwa air mendidih; kita tidak bisa melekatkan panas
sebagai contoh “entitas sebab” sebab karena fakta di dunia luar
panas itu sendiri adalah akibat jika dihubungkan dengan terbakarnya
gas oleh kompor. Dalam relasi ini, yang merupakan sebab adalah gas
kompor (bersama zat pembakar oksigen) dan panas adalah akibat. Dan
seterusnya gas kompor itu juga sekaligus adalah akibat dalam
hubungannya dengan keberadaan tabung gas, dan demikian
selanjutnya.

Walhasil, kita tidak bisa mengidentifikasi entitas konsep sebab atau


menunjuk contoh partikular yang mana sebab itu tanpa dikaitkan
dengan peristiwa/keadaan lain. Konsep sebab hanya bisa dijelaskan
dengan keterangan tapi tidak bisa ditunjuk secara konkrit. Ini jelas
berbeda dengan konsep keapaan (whatness concepts) seperti
“hewan”, “virus”, atau “manusia”. Amir, Budi, Cecep, Dewi adalah
contoh-contoh partikular konsep manusia. Kucing di rumah kita
adalah cotoh partikular konsep hewan; SARS-CoV-2 yang bersarang
di paru-paru seorang pasien di rumah sakit A adalah contoh
partikular konsep virus.

Nah, berbeda dengan konsep-konsep keapaan itu, semua konsep


filosofis tidak memiliki entitas partikular. Namun, mereka hadir
dalam pikiran, yang kalau absen dari pikiran maka tidak akan lahir
142
pengetahuan umum apapun termasuk sains. Bukankah berbagai
penyelidikan sains berpijak pada keyakinan bahwa segala peristiwa
memiliki sebab?

Sekarang pertanyaannya, dari mana keyakinan kepada hukum sebab


akibat ini? Indera jelas tidak berperan apa-apa dalam mencetuskan
konsep sebab. Sains pun tidak mungkin membuktikannya. Sains hanya
mengasumsikan bahwa alam semesta ini memiliki hukum-hukum yang
tunduk pada hukum primer yaitu hukum kausalitas; dan atas dasar
asumsi inilah segenap penelitian dan penyelidikan sains memiliki
makna untuk dikerjakan.

Dengan kata lain, sains meminjam dari filsafat karena konsep sebab
akibat hanya dibuktikan melalui akal semata. Jadi, rukun iman
pertama sains itu adalah percaya kepada hukum sebab akibat. Tentu
banyak konsep filosofis lain yang telah diasumsikan dan diterima
begitu saja oleh para saintis seperti “ada”, “tiada”, “mungkin”,
“niscaya”, “mustahil”, “keteraturan”, “chaos”, “tatanan”, “alam
semesta”, “kemanusiaan”, “keadilan”, “kebebasan”, “awal”, “akhir”,
“cita-cita”, “visi”, “titik nol”, “kehendak”, “sistem”, “keseluruhan”,
“bagian”, “teori”, “kebahagiaan”, dan seterusnya yang tidak mungkin
kita hidup tanpa konsep-konsep ini.

Demikian pula, para saintis juga pasti sudah mengoperasionalkan


konsep-konsep logis dan matematis seperti “universal”,
“partikular”, “kontradiksi”, “dan”, “atau”, “jika maka”, “walaupun”,
“garis lurus”, “titik”, “dimensi dua”, “vektor”, “arah”, “induksi”,
“deduksi”, dan seterusnya.

Uraian yang agak detail ini (tentu jika kita bicara konstruksi sains
harus siap berbicara dengan nalar logis-analitis dan tidak berpuas
diri dengan narasi besar yang miskin eksplanasi) saya posisikan
sebagai pemicu diskusi tentang sains secara lebih konstruktif dan
mulai memasuki gelanggang perdebatan ilmiah.

Setidaknya, tulisan ini merupakan sebuah respons untuk memenuhi


ekspektasi FBH agar, mengutip ungkapan FBH sendiri, “(menjadi)
debat tulisan yang sangat menjanjikan untuk berkembang menjadi
silang gagasan bermutu yang mendidik publik kita agar tidak hanya
haus sensasi, tapi juga lapar nalar.”

143
XXVII. 8 Juni: A.S. Laksana: Sains yang Meringkus, Manusia yang Tidak Aman

SAINS YANG MERINGKUS, MANUSIA YANG


TIDAK AMAN
Tanggapan atas tanggapan Goenawan Mohamad

Judul tanggapan Goenawan Mohamad, “Sains dan Masalah-


Masalahnya, Sulak dan Dua Kesalahannya”, menyampaikan pesan
implisit bahwa saya cocok dengan pernyataan Karl Popper ini:
“Keliru adalah manusiawi.”

Dan saya berbuat manusiawi sekaligus dua. Selebihnya, dari judul itu
kita bisa menarik gambaran bahwa kurang lebih seperti itulah
pengetahuan berkembang menurut Popper. Satu pernyataan bisa
dibuktikan salah oleh pernyataan lain, dan seterusnya. Jika
pernyataan saya lebih kuat, pernyataan Goenawan harus menyingkir.
Jika pernyataan Goenawan lebih kuat, pernyataan saya terkubur.
Anda bisa mengganti kata ‘pernyataan’ dengan ‘teori’.

Kutipan Popper yang saya sebut pada paragraf di atas ada dalam
pernyataannya yang lebih panjang tentang pengetahuan:

“Knowledge consists in the search for truth — the search for


objectively true, explanatory teories. It is not the search for
certainty. To err is human. All human knowledge is fallible and
therefore uncertain. It follows that we must distinguish sharply
between truth and certainty.”

“Pengetahuan tersusun dari upaya pencarian kebenaran—pencarian


teori-teori yang benar dan mampu memberi penjelasan secara
objektif. Ia bukan pencarian kepastian. Keliru adalah manusiawi.
Semua pengetahuan manusia bisa keliru dan karena itu tidak pasti.
Oleh karenanya kita harus membuat pembedaan tajam antara
kebenaran dan kepastian.”

Yang terpenting dari pernyataan itu adalah “bisa keliru”, dan itulah
karakteristik semua pengetahuan. Karena itu Popper merumuskan
pengetahuan atau teori sebagai sebuah konjektur—sebuah dugaan
atau konklusi sementara atau hipotesis yang disusun dalam

144
keterbatasan informasi—ia selalu bisa disangkal atau dibuktikan
salah.

Keterbukaannya untuk disangkal atau dibuktikan salah inilah yang


membuat pengetahuan tumbuh. Manusia akan terus memproduksi
pengetahuan baru, teori baru. Teori yang lebih kuat akan
menenggelamkan teori yang lebih lemah, atau temuan-temuan
tertentu memperkuat teori yang sudah ada.

Popper mengibaratkan situasi ini sebagai “Darwinian struggle”,


meskipun sebetulnya tidak tepat. “Survival of the fittest” Darwin
bukanlah teori tentang yang kuat menyingkirkan yang lemah,
melainkan yang paling ‘fit’, yang paling adaptif, yang akan bertahan.

Popper sendiri, jika ia Popperian, begitu mengeluarkan teori ia


serta merta menyadari bahwa suatu saat akan ada orang yang
menyangkal teorinya. Saya yakin begitu juga dengan Goenawan, yang
menyatakan diri rada Popperian, ia juga pasti mafhum bahwa selalu
akan ada penyangkal bagi apa-apa yang ia tawarkan.

Dalam semangat seperti itu, apa gunanya tudingan saintisme


diajukan? Ia hanya akan terdengar sebagai sebuah alergi, itu satu
jenis simptom, dan efek buruk simptom itu diperkuat dengan ajektif
‘pongah’ atau ‘sisa-sisa positivisme abad kesembilan belas.’ Jika
apresiasi terhadap sains dituding sebagai saintisme, saya pikir
orang lain berhak juga mengatakan bahwa tindakan penudingan
adalah agomoisme atau sisa-sisa permusuhan Abad Pertengahan.

***

Agomoisme menyimpan bahaya terutama karena kita tak pernah tahu


cara menanganinya. Ia gigih meng-agama-kan semua aspek
kehidupan dan, sejauh ini, berhasil. Ia telah melahirkan antara lain
buku pengenalan sains untuk anak-anak serial “Masya Allah!!!”,
serial “Jejak Sains dalam Alquran”, serial “Super Amazing”, dan lain-
lain.

Ia melahirkan penemuan-penemuan yang mengejutkan (sebuah


tulisan di internet menyebutkan bahwa menurut Alkitab seks adalah
penemuan Allah). Ia menumbuhkan workshop-workshop poligami.
Dan, yang juga penting, ia memunculkan pertanyaan-pertanyaan
yang meremukkan hati: Tanya, Tadz, apa hukumnya gak bales chat

145
berhari-hari tapi update feed dan story? Tanya, Tadz, apa hukumnya
menikah dengan teman sekantor? Tanya, Tadz, bolehkan memukul
anak yatim? Tanya, Tadz, saya ini kan punya kepribadian dan
kepribadian itu pemberian Allah. Bolehkah kita mengubah
kepribadian yang diciptakan oleh Allah? Tanya sedikit, Tadz,
benarkah ada khasiat kencing unta dan bagaimana sebenarnya hukum
meminum air kencing unta?

Saya akan meragukan kewarasan saya sendiri jika tidak sedih oleh
fakta-fakta seperti itu. Hawe Setiawan mengirimi saya foto buku
Bertrand Russell “Dampak Ilmu Pengetahuan atas Masyarakat”, dan
di bawah foto itu ia membuat saran: Sepertinya tulisan yang cocok
untuk gejala saat ini adalah “Dampak Masyarakat atas Ilmu
Pengetahuan”.

Itu saran menarik. Kita bisa mengajukan pertanyaan: Ilmu


pengetahuan apa yang akan dilahirkan oleh masyarakat yang sibuk
menanyakan apa hukumnya meminum air kencing unta? Apa penemuan
berikutnya setelah seks adalah penemuan Allah?

Jawaban sementara saya untuk meminimalisir perangai ganjil yang


ditimbulkan oleh agomoisme adalah scientific temper (perangai
ilmiah). Istilah ini diperkenalkan pertama kali oleh Jawaharlal
Nehru di dalam bukunya “The Discovery of India", yang ia tulis selama
empat tahun (1942-1946) di dalam penjara, dan kemudian dimasukkan
ke dalam konstitusi saat India merdeka.

Di buku itu Nehru menulis: “Negara atau masyarakat yang tunduk


kepada dogma dan terbelenggu oleh mentalitas dogmatis tidak akan
pernah bisa maju. Celakanya, negara dan masyarakat kita terlampau
dogmatis dan berpikiran sempit.” (Tulisan saya tentang topik ini
dimuat di Beritagar.id, 27 Juli 2018, dengan judul “Melawan Takhayul
dengan Scientific Temper”; saya menampilkannya di Facebook pada
20 Mei 2020.)

Motif menyuarakan scientific temper itulah yang melandasi kritik


saya terhadap presentasi Goenawan Mohamad dalam diskusi yang
diselenggarakan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI), 20 Mei 2020 lalu,
yang segera dicegat dengan reaksi yang mudah ditebak: Saintisme!

Tudingan itu terlalu mewah untuk sebuah masyarakat yang prestasi


sainsnya suram, saintisnya bungkam, dan pusat-pusat sainsnya
146
telantar. Pada 24 Juni 2018, Kumparan memberitakan bahwa 15 dari 24
pusat sains di Indonesia sudah tidak aktif dan ditutup.

Kalaupun semua pusat sains ditutup, saya akan tetap berpikir bahwa
scientific temper patut dikedepankan dan disuarakan terus-
menerus. Anda tidak harus memuja sains dengan mata berbinar-binar
untuk mengembangkan perangai ilmiah. Dan perangai ilmiah tidak
akan menghalangi Anda untuk bersikap kritis terhadap sains.

***

Ketika Goenawan menyodorkan anekdot Einstein dalam diskusi itu,


saya menunggu penjelasan yang lebih mendalam kenapa Einstein
mengatakan politik lebih sulit ketimbang fisika. Pikir saya ia akan
melakukannya. Ternyata tidak. Ia berhenti di anekdot itu tanpa
elaborasi apapun.

Tentu pernyataan Einstein itu mencengangkan banyak orang; saya


membaca juga anekdot itu dan tafsir orang terhadapnya. Fisika lebih
mudah menemukan jawaban konkret ketimbang politik. Politik hanya
tampak lebih mudah karena sembarang orang sepertinya bisa menjadi
pengamat, tetapi jawaban yang konkret sulit didapatkan: Politik
berurusan dengan manusia dan tingkah polah yang sering bias dan
irasional dan itu menjadikannya sulit diprediksi.

Saya sendiri baru saja membuktikan betapa sulitnya menebak


manusia, yaitu tentang hubungan Goenawan Mohamad dan Hegel.
Pernyataan saya: Goenawan menolak diajak berkhidmat pada sains, ia
lebih memilih berkhidmat pada Hegel dan lain-lain. Saya membuat
pernyataan itu karena Hegel sering muncul dalam tulisan-
tulisannya: Ia menyebut nama filsuf itu ketika menulis tentang
Pramoedya Ananta Toer, ketika menulis tentang Rahman Tolleng,
ketika menulis tentang maaf, dan ketika menulis tentang pisang.
(Informasi rinci ini saya dapatkan dari Google yang sama dengan
yang digunakan oleh orang-orang lain.)

Pengetahuan eksperiensial mengingatkan saya bahwa teman-teman


yang sedang jatuh cinta biasanya akan sering menyebut-nyebut nama
orang yang mereka cintai. Namun Goenawan ternyata anti-Hegelian,
meskipun ia sering menyebut Hegel dalam banyak kesempatan—saya
tidak tahu kenapa ia senang menyebutnya.

147
Jadi, keajekan atau gejala yang lazim saya temui dalam kenyataan
orang-orang yang jatuh cinta tidak berlaku untuk menggambarkan
hubungan Goenawan dan Hegel. Di luar cinta, kebencian juga
mendorong orang rajin membicarakan orang lain; kita bisa
menjumpainya dalam propaganda untuk menjatuhkan lawan politik.
Tetapi saya tidak yakin itu motif Goenawan dalam kesukaannya
merujuk Hegel. Ia dan Hegel tidak dalam pertarungan politik, dan
Hegel sudah lama mati.

Satu pandangan lain ditawarkan oleh penulis Rumania Nicolae


Teodosie Draghicescu. Ia menyebut gejala itu sebagai filsafatisme,
yaitu sebuah monolog yang dimaksudkan untuk menggertak atau
membuat orang silau dan kebingungan menghadapi hujan deras nama-
nama dan kutipan-kutipan dan konsep-konsep abstrak, dan juga
untuk menjadikannya terdengar falsafi dan melelahkan.

Sebagai teknik, presentasi semacam itu serupa dengan teknik para


politisi yang berfoto dengan engkongnya sebagai latar belakang.
Sebagai tindakan, ia serupa yang dilakukan orang-orang zaman dulu
untuk pamer kekayaan dengan memasang gigi emas: ia bisa indah bisa
ruwet, tetapi sudah pasti menyilaukan.

Saya bisa membuat pembahasan lebih panjang lagi dengan


menjelaskan pemakaian kata berkhidmat, tetapi itu tidak penting
dibandingkan kejutan yang saya dapat ketika Goenawan memandang
tema sains versus agama sebagai urusan yang sudah lama dimamah
biak. Saya perlu berhati-hati dengan frase “urusan yang sudah lama
dimamah biak”. Mungkin itu sama artinya dengan makanan basi, atau
kaos oblong yang sudah jadi gombal atau isu yang sudah bukan
trending topic. Jika Goenawan seorang Popperian, atau rada
Popperian, ia akan segera menyadari bahwa pernyataannya itu anti-
Popperian.

Pencarian kebenaran tidak pernah basi; ia bukan fashion yang akan


tertinggal dalam satu atau dua tahun, sebab ia sebuah proses tak ada
ujung.

Saya tak akan membela diri dari tudingan itu. Barangkali memang ada
kesan bahwa saya sedang memperhadapkan sains dengan agama di
dalam tulisan saya. Mungkin itu terjadi karena saya kesulitan
memahami kolom “Entah”, sehingga tanggapan saya terhadap kolom

148
itu tampak oleh Goenawan seperti tindakan orang gila: memukuli
memedi sawah.

Saya bisa menjelaskan apa yang saya alami saat membaca kolom itu.
Namun, sebelum dinyatakan salah memahami atau keliru
mengidentifikasi masalah atau kurang informasi, saya akan
mengakui bahwa saya tidak mampu menangkap apa isi pikiran yang
ditawarkan: Saya hanya menemukan cipratan-cipratan seperti saya
menyaksikan lukisan ekspresionis.

Satu cipratan menyampaikan informasi tentang orang-orang Yahudi


yang dibakar. Cipratan berikutnya: “Epidemi COVID-19, yang kini
berjangkit dari tempat ke tempat, berbeda skala dari wabah-wabah
di zaman dahulu. Tapi ada yang sama: kembali entah menyembul ke
depan.”

Cipratan tentang wabah itu saya sangkal. Tidak sama. Kualitas


informasi yang membuatnya tidak sama. Di zaman dulu, upaya
menangani wabah dilakukan berdasarkan informasi dari kalangan
agama. Di masa sekarang dari kalangan sains.

Di sinilah segalanya bermula: Ada agama, ada sains, dan keduanya


disebut berurutan, dan itu berarti ada orang sedang menggebuki
memedi sawah. Saya harus mengaku tidak paham bagaimana proses
penarikan kesimpulannya.

Sekali lagi, saya tidak ada kepentingan, setidaknya secara sadar,


untuk mempertarungkan agama dengan sains. Agama memiliki
urusan-urusannya sendiri yang harus dibereskan, dan ia juga
memiliki urusan di level antariman yang bagaimanapun masih
dibayang-bayangi ketegangan. Saya tidak ingin menambahkan urusan
lain dengan menarungkannya dengan sains.

Satu cipratan lagi dalam ekspresionisme Goenawan muncul dalam


bentuk pernyataan ini: “Mengetahui” adalah membuat pigura atas
realitas.

Kalimat pendek itu membuat saya berpikir panjang. Kenapa


“mengetahui” harus dipigura dalam tanda petik dan bukan dibiarkan
polos saja? Apakah dengan kalimat itu “Goenawan Mohamad” ingin
menyatakan bahwa “mengetahui” adalah “tindakan buruk”? Apakah

149
lebih “baik” semua orang “tidak mengetahui” agar “kemurnian” tetap
“terjaga”?

Ia mengundang Heidegger, ia mengundang Husserl untuk membuat


saya memahami kalimat itu, dan untuk menunjukkan bahwa ia tidak
sendirian dalam keberatan utamanya terhadap sains.

Kritiknya yang lain, semoga saya tidak keliru menyampaikan, adalah


perihal ketundukan sains kepada modal besar, kepada kepentingan
bisnis dan politik. Sains menjadi pelayan teknologi, ilmu
pengetahuan mengingkari karakteristik ketidaksempurnaannya dan
menjadikan dirinya takabur dengan menjanjikan kepastian. Produsen
obat bengek tidak akan mengatakan jika Anda menelan obat ini Anda
punya kemungkinan sembuh.

Sekiranya Goenawan menyampaikan aspek ini pada diskusi


“Berkhidmat pada Sains”, presentasinya akan lebih bermakna dan
kita akan mendapatkan informasi-informasi lain di seputar ini dari
para pembicara lain, dan juga dari para peserta aktif, yang mencoba
menanggapi kritiknya.

***

Ide-ide para filsuf adalah kegelapan total bagi orang kebanyakan.


Husserl menyampaikan pendapatnya tentang bagaimana pengetahuan
seharusnya didapatkan. Heidegger punya pendapatnya sendiri. Hegel
sudah tentu punya pendapat berbeda.

Faktanya, jagat raya terbentang dan banyak hal tidak diketahui dan
manusia berusaha tahu. “Ada apa di sana? Lalu ada apa lagi di sana?
Lalu ada apa lagi di sana?” Rasa ingin tahu semacam itu melahirkan
geografi, sebuah ilmu yang menjawab pertanyaan: “Ada apa saja di
sana?” Sejumlah pendapat menyatakan bahwa geografi adalah induk
ilmu pengetahuan.

Ketika pengetahuan bertambah, manusia menciptakan globe, sebuah


model, sebuah representasi yang disederhanakan, bagi bumi. Mula-
mula jauh dari akurat; pembuat pertamanya jelas tidak memiliki
informasi bahwa ada tempat yang kelak bernama Indonesia. Sampai
berabad-abad sejak yang pertama, globe masih dibuat dengan poros
tegak lurus.

150
Rasa ingin tahu tidak sekadar melahirkan jawaban, tetapi rasa ingin
tahu berikutnya, dan begitu terus hingga hari ini. Manusia
memerlukan model untuk mempresentasikan pengetahuannya dan
juga untuk menguji hipotesis. Guru SD menggunakan bola dan lampu
senter untuk menjelaskan terjadinya siang dan malam. Arsitek
membuat maket untuk mempresentasikan bangunan yang hendak
mereka wujudkan. Museum menampilkan diorama. Para ilmuwan di
laboratorium Bern, Swiss, menggunakan lalat buah untuk menguji
hipotesis mereka tentang gen penyortir sel-sel rusak yang jika
digandakan akan membuat manusia berumur lebih panjang. Gen itu,
mereka manamainya Azot mengikuti nama dewa pelindung nelayan
bangsa Aztec, ada pada manusia dan lalat buah. Laporan penelitian
mereka menginformasikan keberhasilan percobaan itu: Umur lalat-
lalat buah mereka bertambah antara 50-60 persen ketika gen Azot,
yang semula hanya dua, mereka jadikan tiga.

Apakah bekerja dengan model adalah simplifikasi? Tentu saja. Guru


dan murid sama tahu bahwa bola bukanlah bumi dan lampu senter
bukan matahari. Manusia memerlukan cara yang mudah dipahami
untuk menyampaikan sesuatu. Agama juga memerlukan model—
imajiner—dalam bentuk surga dan neraka sebagai representasi
sangat sederhana tentang kenikmatan dan siksaan kekal dalam
kehidupan setelah mati.

Kita tahu bahwa tidak semua aspek dalam kehidupan bisa dialami
langsung atau diinderai. Jagat raya, dengan seratus miliar galaksi,
terlalu besar untuk dialami langsung oleh tubuh manusia. Molekul
terlalu kecil. Bagaimana cara memahami perilaku benda-benda di
jagat raya dan kromosom di dalam tubuh dengan pendekatan Husserl
dan Heidegger atau siapa pun yang menyarankan pengalaman
langsung dan persentuhan inderawi? Apakah saran mereka relevan
untuk cabang pengetahuan biologi molekuler?

Goenawan menyajikan matematika dalam cara yang muram, sebagai


pigura yang digunakan oleh para saintis untuk meringkus kehidupan
ke dalam angka-angka. Saya ikut menggigil membayangkan
kehidupan menjadi dingin, makna diabaikan, keharuan tak ada lagi,
rasa estetika menguap.

Karena saya bukan saintis, saya akan mengundang Richard Feynman


untuk membantu saya menjelaskan urusan ini. Ia yang paling tepat
151
menjadi juru penerang: orang menjulukinya “the great explainer”.
Feynman mampu menjelaskan hal-hal rumit dalam cara yang
membuat anak umur delapan tahun atau mahasiswa baru bisa
memahaminya. Dalam bukunya yang menghibur, dan cuma bacaan
populer, “The Pleasure of Finding Things Out: The Best Short Works
of Richard P. Feynman,” ia menuliskan:

“Saya punya teman seorang seniman dan kadang-kadang saya tidak


setuju pada pendapatnya. Dia memegang bunga dan mengatakan,
‘Lihat betapa indahnya ini,’ dan saya setuju. Lalu dia berkata, ‘Aku
sebagai seniman dapat melihat betapa indahnya bunga ini, tetapi
kamu sebagai ilmuwan mencacah-cacahnya dan ia menjadi buruk.’

Saya pikir dia agak gila. Pertama-tama, keindahan yang dia lihat
bisa dilihat oleh orang lain dan oleh saya juga. Meskipun pemahaman
estetika saya tidak sebaik dia, saya bisa menghargai keindahan
bunga. Dan, pada saat yang sama, saya melihat lebih banyak lagi
tentang bunga itu daripada yang dia lihat. Saya bisa membayangkan
sel-sel dan tindakan-tindakan rumit di dalamnya yang juga
memiliki keindahan.

Maksud saya bukan hanya keindahan pada dimensi satu sentimeter;


ada juga keindahan pada dimensi yang lebih kecil, struktur bagian
dalam. Juga keindahan sebuah proses. Fakta bahwa warna-warna pada
bunga berevolusi untuk menarik serangga agar menyerbukinya itu
sungguh menarik. Artinya, serangga dapat melihat warnanya. Ini
menambah pertanyaan: apakah kepekaan estetika ini juga ada pada
makhluk-makhluk yang lebih kecil? Mengapa ia estetis? Semua jenis
pertanyaan menarik yang diajukan oleh ilmu pengetahuan hanya akan
menambah kegembiraan, misteri, dan ketakjuban terhadap sekuntum
bunga. Hanya menambah. Saya tidak paham bagaimana itu disebut
mengurangi."

Dari Feynman, saya setidaknya mendapatkan informasi bahwa


kuntum-kuntum bunga memiliki naluri untuk bersolek, dan
serangga-serangga memiliki rasa estetika untuk mengapresiasi
keindahan si pesolek.

***

Berbeda dari kemuraman Goenawan, bagi para pecintanya,


matematika adalah cahaya kegembiraan. Saya pecinta amatiran
152
matematika. Mata saya tidak memerlukan perkembangan mutakhir
sains untuk berbinar-binar. Sekadar informasi, saya punya dua mata
dan keduanya selalu berbinar-binar bahkan hanya dengan membaca
buku anak-anak yang memperkenalkan keajaiban matematika. Dan
saya seperti menemukan mukjizat ketika suatu hari mendapati
persamaan yang rumit sekali oleh Bertrand Russell untuk
membuktikan bahwa 1+1 adalah benar-benar dua, bukan dua setengah
atau tujuh seperempat atau tiga puluh sembilan. Jika Russell keliru
dengan persamaannya, tentu ada matematikawan lain yang
menyanggahnya.

Dengan persamaan matematika, orang-orang seperti Einstein dan


Stephen Hawking dan para astronom lain bisa membangun model
untuk memahami jagat raya. Dengan pola yang matematis, Beethoven
melahirkan komposisi-komposisinya. Piano adalah instrumen yang
sangat matematis. Musik adalah ekspresi artistik yang sangat dekat
dengan matematika: bahkan musik yang lahir dari ibu-ibu di dusun
yang mendeplok padi pada lesung, bahkan tetabuhan untuk
membangunkan orang sahur.

Di mana ada pola di situ ada matematika, sebab matematika adalah


juga ilmu tentang pola. Dengan demikian, para penyair sesungguhnya
juga dekat dengan matematika, meskipun tidak menyadarinya dan
bahkan membenci angka-angka. Alam semesta sangat matematis;
perilakunya berpola: siang dan malam selalu begitu, matahari selalu
terbit dari timur, satu tahun selalu 365 ¼ hari, dan sebagainya. Kita
beruntung karena alam semesta bekerja dengan pola. Karena berpola,
ia bisa dipelajari, dan bisa didekati dengan matematika. Itu pula
sebabnya orang mengatakan bahwa matematika adalah bahasa alam
semesta.

Harus diakui, mata saya berbinar-binar dengan itu. Bahkan untuk


urusan yang sangat remeh pun, yaitu mengetahui panjang garis
lingkar bumi, matematika juga membuat mata saya berbinar.
Eratosthenes, orang Yunani abad ke-3 SM, adalah orang pertama yang
berpikir bahwa bumi bukanlah bidang datar melainkan sebuah bola
raksasa. Pemikiran itu muncul karena ia ahli matematika: Ia
mengamati bayang-bayang yang tercipta di permukaan tanah oleh
cahaya matahari. Ia memperhatikan bahwa, pada tengah hari, derajat

153
kemiringan bayang-bayang di kota kelahirannya Cyrene (Aswan
sekarang) berbeda dari derajat kemiringan di Aleksandria.

Mengenai panjang garis lingkar bumi, ia yakin bahwa jika ia tahu


jarak dari Cyrene ke Aleksandria, ia akan tahu berapa panjang garis
lingkar bumi. Dengan teknologi saat ini, orang bisa tahu dengan
mudah bahwa lingkar bumi adalah 24.860 mil atau 40.000 kilometer.
Pada abad ketiga sebelum masehi, Eratosthenes membuat perkiraan
yang hanya berselisih antara -2 dan +1 persen dari angka itu.

Eratosthenes tidak mungkin bisa menduga panjang lingkar bumi


tanpa menggunakan model matematis, sesuatu yang dasar-dasarnya
sudah diperkenalkan kepada kita sejak SD melalui soal cerita.
Masalahnya, sampai lulus SMA, saya tidak tahu bahwa itulah yang
dinamakan model matematis. Tidak ada yang memberi tahu hal itu;
setidaknya, dalam pengalaman saya, tidak pernah saya mendengar
penjelasan tentang pemodelan itu sampai saya tamat SMA.

Contoh sederhana untuk pemodelan matematika bisa kita dapatkan


dalam soal cerita ini: “Tini memelihara burung nuri dan anjing di
rumahnya. Jumlah burung nuri dua kali lipat dibandingkan jumlah
anjing. Jika N adalah jumlah burung nuri dan A adalah jumlah anjing,
manakah persamaan yang benar? N=2A atau 2N=A?”

Jawaban yang benar adalah N=2A. Maka, kita bisa mengatakan bahwa
N=2A adalah model matematis yang mewakili perbandingan jumlah
burung nuri dan anjing di rumah Tini.

Model matematis bisa sesederhana itu, bisa serumit model yang


digunakan untuk membaca cuaca, musim, dan jagat raya. Tentu ada
penyederhanaan di dalam pemodelan, ada reduksi, tetapi sampai saat
ini matematika masih menjadi alat terbaik bagi para saintis untuk
membangun model.

***

Dengan matematika yang menakjubkan, saya menjadi kaget ketika


Alfred North Whitehead, seorang pecinta matematika, orang yang
bersama Bertrand Russell menulis tiga jilid “Principia
Mathematica”, dihadirkan untuk membuat kampanye hitam tentang
ilmu yang ia cintai. Goenawan (saya sebetulnya kikuk sekali menulis
Goenawan sebab saya biasa menyebutnya Mas Goen) yang memberi

154
tahu dalam dua paragraf yang membuat langit-langit rumah saya
seolah runtuh seketika menimpa kepala.

“Tapi saya ingin mengingatkan, seorang matematikawan besar pernah


menyebut hubungan matematika dengan kekecewaan: ilmu ini sungguh
muskil, dan kita gegabah untuk begitu saja menggunakannya
menerjemahkan semesta.”

“’We are told that by its aid the stars are weighed and the billions
of molecules in a drop of water are counted. Yet, like the ghost of
Hamlet's father, this great science eludes the efforts of our mental
weapons to grasp it.’ — Alfred North Whitehead, dalam “An
Introduction to Mathematics”.

Bagaimana mungkin Pak Whitehead menulis seperti itu di dalam buku


pengantar matematika?

Saya menemukan ebook “An Introduction to Mathematics”, yang sudah


berstatus public domain (terbit 1911), dan kutipan yang disodorkan
Goenawan ada di paragraf pembuka bab 1 buku itu.

“THE study of mathematics is apt to commence in disappointment.


The important applications of the science, the theoretical interest
of its ideas, and the logical rigour of its methods, all generate the
expectation of a speedy introduction to processes of interest. We
are told that by its aid the stars are weighed and the billions of
molecules in a drop of water are counted. Yet, like the ghost of
Hamlet’s father, this great science eludes the efforts of our mental
weapons to grasp it — ‘’Tis here, ’tis there, ’tis gone’— and what we
do see does not suggest the same excuse for illusiveness as sufficed
for the ghost, that it is too noble for our gross methods. ‘A show of
violence,’ if ever excusable, may surely be ‘offered’ to the trivial
results which occupy the pages of some elementary mathematical
treatises.”

Paragraf ini sebetulnya menyampaikan gambaran umum bahwa studi


matematika cenderung membuat orang kecewa. Mereka mendengar
segala macam kehebatan sains ini dan tidak sabar untuk segera
mendapatkan semua kehebatan itu. Kita diberi tahu, misalnya, bahwa
dengan bantuan matematika kita bisa menimbang bobot bintang-
bintang dan menghitung miliaran molekul dalam setetes air. Tetapi

155
sains yang hebat ini ternyata sulit dipahami—ia selalu menghindar
dari upaya kita memahaminya.

Whitehead mengibaratkan kesulitan orang memahami matematika itu


dengan kesulitan Horatio dan dua penjaga malam lainnya saat
berusaha menangkap hantu ayah Hamlet: “Ia di sini, ia di sana, ia
menghilang.” Mereka gagal mendapatkan kehebatan yang mereka
harapkan; kebanyakan orang justru menjadi frustrasi harus
mengerjakan tugas yang begitu-begitu saja dari risalah matematika
dasar. Kurang lebih, seperti kebanyakan murid sekolah frustrasi
karena tidak tahu kenapa harus mempelajari sinus, cosinus, tangent,
akar kuadrat, dan sebagainya.

Saya lega. Ternyata tidak ada masalah pada pernyataan Pak


Whitehead: ia tidak mengabarkan cerita horor tentang ilmunya.
Satu-satunya masalah adalah ia menyebut matematika sebagai sains.
Memang pada masa ia hidup matematika digolongkan ke dalam sains.
Saat ini tidak lagi, kurang lebih seperti Pluto yang dikeluarkan dari
kelompok planet-planet. Matematika tidak dianggap sains karena ia
melakukan pembuktian kebenaran melalui logika formal.

Tetapi saya sedih juga. Goenawan menitipkan kritiknya terhadap


sains melalui pernyataan Husserl bahwa Galileo adalah “jenius yang
menemukan dan sekaligus menyembunyikan,” dan ia menambahkan
bahwa dengan kritik Husserl “kita bisa melihat bagaimana dunia yang
diletakkan dalam kerangka matematis merepresentasikan
‘Lebenswelt’, dunia kehidupan, dengan mereduksinya.”

Saya pikir Mas Goen tidak perlu melakukan hal itu. Dengan cara ia
mengutip Whitehead, kita bisa melihat bagaimana seluruh
tudingannya, yang menggunakan argumen Husserl, berbalik ke
arahnya: Ia menyembunyikan, ia mereduksi, ia membuat disinformasi.

Saya menyampaikan hal ini dengan ingatan terhadap hal yang paling
ditekankan dalam kerja jurnalistik: Berkomentar itu bebas, tetapi
fakta itu suci. Tulisan Goenawan, dengan banyak kutipan narasumber,
saya baca sebagai semacam laporan jurnalistik yang rumit.
Penekanan saya pada jurnalistiknya, bukan rumitnya. Sebagai
laporan jurnalistik, semestinya ia menjunjung tinggi fakta di atas
kepentingan pribadi penulisnya.

156
Dari Budiono Darsono saya mendapatkan pengetahuan bahwa
komentar narasumber adalah fakta jurnalistik. Itu memperbaiki
pemahaman saya yang sebelumnya hanya menganggap setiap
komentar sebagai opini. “Bagi orang yang mengucapkan, itu memang
opini,” kata Budi. “Tapi bagi wartawan, ia fakta jurnalistik. Kita
tidak boleh memelintirnya.”

***

Sebelum menutup tulisan ini, saya ingin menyampaikan pengakuan


bahwa saya hanya menyebut nama-nama teman. Tidak ada nama hebat
di dalam tulisan ini, kecuali penulis Rumania Nicolae Teodosie
Draghicescu, dan itu pun fiktif.

Polemik ini, bagaimanapun, memberi kegembiraan—paling tidak


kepada saya sendiri. Orang tahu bahwa saya bukan saintis, bukan
filsuf, dan sudah terlambat untuk mengganti cita-cita. Saya hanya
ingin mendorong pembicaraan lebih serius tentang scientific
temper.

Sains punya potensi destruktif, saya setuju. Tongkat kayu, api


unggun, atau anjing pudel juga punya potensi destruktif. Saya
bersungguh-sungguh. Manusia hadir di dunia dalam keadaan lemah;
bayi-bayi manusia dilahirkan sangat prematur, tidak sanggup
melindungi diri, tidak sanggup menolong dirinya sendiri: ia butuh
waktu satu tahun atau lebih untuk sekadar bisa berjalan dan butuh
bertahun-tahun lagi untuk menjadi dewasa dan mampu menjalani
kehidupannya sendiri.

Para saintis menyatakan bahwa ketidakberdayaan itu membuat


manusia mengembangkan, secara naluriah, perasaan tidak aman
dalam kehadirannya di tengah alam. Binatang buas adalah ancaman,
manusia di luar kelompoknya adalah ancaman lain. Ia membutuhkan
alat pelindung untuk mempertahankan kelangsungan hidup.

Ketika manusia menemukan api, ia menjadi tahu bahwa api


membuatnya terhindar dari binatang buas, dan selanjutnya ia tahu
bahwa dengan api ia bisa membuat senjata, yang semakin lama
semakin canggih, dan, dengan peralatan secanggih apapun, manusia
tetap merasa tidak aman.

157
Untuk hari ini manusia tidak takut lagi pada binatang buas,
kebanyakan dari mereka sudah punah dan yang masih ada hampir
punah, tetapi manusia masih mempertahankan perasaan tidak aman
pada manusia lain di luar kelompoknya.

Kita bisa mengkritik sains, tetapi mencegah sains adalah sama


dengan memaksa orang berhenti ingin tahu. Itu tidak mungkin. Yang
lebih bisa dilakukan adalah meminimalkan naluri tidak aman, yang
terwariskan turun-temurun sejak generasi pertama homo sapiens,
dan melakukan upaya sadar untuk menumbuhkan sikap respek kepada
manusia lain, kepada lingkungan, kepada alam.

Dan upaya sadar berarti adalah pendidikan, penumbuhan kesadaran,


sebab pada fase itulah kanak-kanak akan tumbuh menjadi orang
dewasa dan menjalani hidupnya entah sebagai saintis, jurnalis,
politisi, kerani, atau apa pun. Selama manusia masih menyimpan
pandangan-pandangan diskriminatif, apa saja bisa membahayakan.
Dan teknologi, sebagai anak kandung sains, tentu saja bisa sangat
membahayakan.

Untuk yang sudah telanjur tua, saya pikir kita harus berani
memeriksa apa yang tersimpan di dalam kepala kita.

XXVIII. 10 Juni: Sabrang Damar Panuluh: “Mempertanyakan Kebenaran Real World


Science dan Pengkhianatan Matematika”

MEMPERTANYAKAN KEBENARAN REAL


WORLD SCIENCE DAN PENGKHIANATAN
MATEMATIKA
SM Damar Panuluh, Pecinta Teka-Teki Observable World, Co-
founder of Symbolic.id

Suatu sore, tiba-tiba menyeruak pesan sebaran berisi esai Pakde A.S.
Laksana dan Pakde Goenawan Mohamad. Tidak berselang lama,
menyusul tulisan-tulisan sejenis dari begawan yang lain. Termasuk
Pakde Ulil Abshar Abdalla. Ini jarang terjadi.

158
Langka sekali ponsel saya diserbu broadcast messages berdaging
semacam itu. Biasanya, yang kerap mampir justru iklan-iklan dengan
bujuk rayu surgawi.

Satu demi satu saya tekuni. Topik serta sudut pandangnya menarik.
Tidak selumrah yang biasa saya baca. Rasanya seperti menyaksikan
sebuah arena diskusi yang tenang tapi menghanyutkan. Masing-
masing menawarkan pendapat menggoda.

Lalu, sekonyong-konyong, muncul dorongan untuk turut menyahut.


Menonton memang menyenangkan, tapi ikut melempar opini,
barangkali bakal lebih asyik. Bukan karena saya ingin tampil lebih
pandai. Sama sekali bukan! Hanya terlalu sayang apabila tukar
pikiran serupa itu tak diombyongi.

Selayang Pandang Percakapan

Beberapa hal yang bisa saya jangkau dari catatan-catatan itu antara
lain sebagai berikut.

Penanganan COVID-19 di semua tempat, tak hanya di negeri kita,


makin memantik risau. Nyaris tak menyuguhkan harapan berarti.
Serba gagap. Keadaan ini lantas menggelitik untuk mempertanyakan
kredibilitas Sains. Apakah Sains masih layak disebut sebagai
panglima untuk menyelesaikan persoalan dunia, terkhusus wabah
ini?

Lalu argumentasi yang menjabar kebenaran mutakhir Sains


berhamburan. Termasuk dengan lawannya. Pendapat yang mengungkap
kepongahan Sains juga muncul. Bahkan, saya temukan pula gugatan
terhadap Matematika, sebab dianggap menjauhkan Sains dari
manusia. Amat beragam. Bahkan, tak sedikit yang berbinar-binar
menyampaikan bahwa Sains mengusung tugas mulia untuk
menunjukkan hakikat di balik kenyataan. Di sisi lain, ada pula
kekhawatiran, sebab Sains lebih mengedepankan kepastian,
ketimbang membimbing proses pencarian kebenaran.

Dinamis, bukan? Seru!

159
Hanya saja, terdapat bagian-bagian yang membuat dahi saya
berkerut. Yakni, saat Sains dipotret sebagai penyedia kebenaran,
bahkan kepastian, terhadap realitas kehidupan.

Serta merta saya bertanya-tanya, “Pernahkah Sains menawarkan


kebenaran real world? Atau jangan-jangan, ini hanya epistemic
fallacy saja?”

Pada ranah sains natural, soal ini menarik untuk dilanjutkan.

Namun sebelum jauh, perlu saya sebut di sini, bahwa penggunaan kata
Sains pada catatan setelah paragraf ini, merujuk pada maksud Sains
natural.

Sengkarut Benar-Salah

Sepemahaman saya, Sains tidak pernah menawarkan kebenaran real


world. Apalagi bertugas mencari hakikat kenyataannya. Hal yang
dihasilkan Sains adalah narrative reality. Dia menciptakan model
realitas. Tapi korelasi one-on-one antara pengetahuan yang
ditawarkan Sains dengan real world tak bisa dijamin ada. Begitu pula
dengan kebenarannya. Sains bahkan tak mampu menjamin konsistensi
dirinya. Kesimpulan itu semua, menurut model Sains sendiri.

Begini ceritanya.

Dimulai dari alat utama pencarian dalam Sains, yakni: metode ilmiah.
Perhatikan tahapan-tahapan dalam metode ilmiah itu. Masih ingat?
Kurang lebih sebagai berikut.

Pertama, melakukan observasi. Kedua, memformulasikan pertanyaan.


Ketiga, membuat hipotesis dan penjelasan dengan kebenaran yang
bisa dicek. Keempat, pengujian prediksi. Lalu yang terakhir,
menggunakan hasil eksperimen untuk mempertajam hipotesis.

Ada yang perlu dicermati disini, terutama pada tahap ketiga.


Dibutuhkan batas yang jelas tentang pengecekan kebenaran. Mana
yang bisa dikatakan benar, mana yang bisa dikatakan salah?

Dalam rentang dekade 1920, sekelompok filsuf, saintis, serta


Matematikawan di Berlin dan Vienna, menawarkan konsep logical
positivism untuk membuat garis demarkasi yang jelas soal benar dan

160
salah. Dinyatakan di dalamnya, hanya ada dua jenis sumber
pengetahuan: penalaran atau logical reasoning, dan pengamatan
langsung atau empirical experience. Gagasan tersebut berdampak
pada validasi atas hipotesis. Artinya, hipotesis dengan kebenaran
yang dapat dicek, hanyalah yang bisa diobservasi langsung.

Masalahnya, hipotesis kerap dibangun dari referensi atas entitas


teori lain yang tak bisa diobservasi, by definition. Proses
perbandingan saat observasi langsung itu pun harus meliputi semua
kemungkinan kasus pada hipotesis-fenomena yang diuji. Semua
observasi ini juga tak bisa dilakukan, by definition.

Rudolf Carnap, seorang pendukung besar konsep logical positivism


berujar:

"At no point is it possible to arrive at complete verification of a


law. In fact, we should not speak of 'verification' at all⎯if by the
word we mean definitive establishment of truth⎯but only of
confirmation."

Pendapat tersebut tertera dalam bukunya, The Philosophical


Foundations of Physics.

Kutipan tersebut jelas menerangkan, bahwa mendirikan kebenaran


yang definitif bukanlah hal yang mungkin dicapai oleh
verificationism science. Hal yang niscaya diraih hanyalah: derajat
kebenaran.

Lalu Karl Popper, satu dari sekian filsuf Sains berpengaruh pada
abad 20, membantu menawarkan falsifiability sebagai garis
demarkasi atas benar dan salah. Dia bilang, “Hanya pernyataan yang
mungkin disalahkan, yang bisa dianggap sebagai bagian dari
hipotesis Sains”.

Sekilas, ini menjawab masalah verificationism. Hipotesis tidak lagi


perlu diuji pada semua kemungkinan kasus. Jika terbukti keliru pada
satu kasus saja, hipotesis bisa dinyatakan salah. Benar seribu kali,
amblas karena salah sekali.

Lantas, jika hipotesis belum dinyatakan salah, apakah kemudian dia


menjadi kebenaran? Mungkin saja, ini yang dimaksudkan Pakde A.S.
Laksana sebagai kebenaran mutakhir. Hipotesis dianggap masih

161
benar, sebelum terbukti salah. Pertanyaan lanjutannya adalah,
kebenaran atas apa?

Meneliti Kembali Kebenaran Sains

Bila menilik proses metode ilmiah, atribut benar-salah terdapat


pada relasi antara hipotesis dan eksperimen. Anggapan bahwa
hipotesis adalah deskripsi dari real world, berarti harus disertai
keberadaan relasi one-on-one antara pengetahuan manusia dan real
world itu.

Tapi ada masalah besar di sini. Real world tidak pernah membuat
pernyataan apa-apa atas itu!

Correspondence truth antara pengetahuan dan realitas tidak bisa


dipastikan kebenaran juga keberadaannya. Sebab realitas tak bisa
ditangkap tanpa tabir bias dan asumsi pengamatnya. Sedangkan
realitas sendiri, kita tahu, diam seribu bahasa.

Pada soal ini, falsifiability Popper juga gagal membantu. Tidak


mampu mengubah fundamental framework dari Sains. Perannya hanya
memberi alternatif metodologi untuk mempertajam proses
pengecekan yang lazim digunakan para saintis. Lebih khususnya,
untuk menjawab masalah untestable universal case yang dihadapi
verificationism tadi.

Coherence Theory of Truth

Mari coba menggunakan pandangan lain. Ambil, Coherence Theory of


Truth. Konsep ini menitikberatkan derajat kebenaran pada koherensi
pengetahuan di dalam sebuah konstruksi model. Pada konteks ini,
tentu saja model Sains.

Dinyatakan dalam konsep tersebut, semakin tidak ada kontradiksi di


dalam sebuah model, kian solid lah model tersebut dalam
kebenarannya.

Menarik. Faktor eksternal yang tidak bisa dijangkau, yakni real


world, digantikan oleh faktor internal berupa model yang lebih bisa
diolah. Sayangnya, pandangan ini juga mengandung masalah.

162
Jika kriteria kebenaran adalah koherensi internal di dalam model,
maka mustahil memastikan keabsahan obervasi atas realitas, telah
benar-benar sesuai dengan kesejatian realitas itu sendiri.

Sedangkan yang bisa dipastikan Sains hanyalah representasi real


world sekonsisten mungkin, di dalam sistem model Sains tersebut.
Karena itulah, hasil dari Sains bukan kebenaran realitas per se, tapi
narrative of reality.

Dengan demikian, semua pernyataan yang keluar dari Sains, harus


dipahami pada konteks naratif itu. Pernyataan dari para saintis baru
dikatakan bagian dari narasi Sains, apabila tidak mengganggu
konsistensi model Sains secara keseluruhan. Perlu dicermati lagi,
relasinya ada pada model Sains secara keseluruhan. Bukan kepada
kebenaran real world.

Efek Samping Tak Terduga

Selain membawa Sains berlangkah-langkah lebih maju, Coherence


truth juga berdampak signifikan lain. Ketika truth diletakkan pada
konsistensi sebuah sistem, akibatnya Sains tak bisa lagi disebut
sebagai hal yang paling mendekati kebenaran realitas. Sebab sistem
lain, seperti Agama, juga memiliki derajat konsistensi di dalam
sistem, dengan aksioma maupun metode deduksi yang dipakainya.

Dari dulu hingga kini, masalah aksesibilitas terhadap realitas real


world, telah menghantui segala model realitas yang pernah
digunakan di muka bumi. Persoalan itu diidap Sains, Agama, aliran
kebatinan, serta lain semacamnya. Sebab wasitnya, si real world itu,
tidak mengeluarkan skor akurasi apapun. Tetap diam seribu bahasa!

Alih-alih mempertajam konsep kebenaran, Coherence truth justru


menguak persoalan lain. Yaitu, extreme relativism! Besertanya,
semua klaim tentang kebenaran dari sistem model manapun menjadi
sama-sama valid, asal konsisten secara internal.

Truth pada real world jadi hilang karena pandangan ekstrim, bahwa
semua yang disebut kebenaran hanyalah konstruksi individu.
Kebenaran tergantung pada referensi masing-masing individu. Ini

163
bikin susah. Terutama saat truth atau derajatnya, diperlukan untuk
mengambil keputusan penting yang menyangkut hajat orang banyak.

Jalan Tengah

Adalah Ram Roy Bhaskar, seorang filsuf asal Inggris yang melahirkan
pendekatan Critical Realism. Pemikiran tersebut termaktub dalam
bukunya, A Realist Theory of Sains, yang terbit tahun 1975. Bhaskar
membuat gebrakan, dengan memisahkan antara real world dan
observable world.

Menurutnya, Real world tak dapat diobservasi, bebas, dan independen


dari semua perspektif teori, serta konstruksi manusia. Sedang dunia
yang lazim kita pahami, disebut observable world, karena dibangun
dari perspektif dan pengalaman manusia.

Konsep ini menjawab epistemic fallacy yang sering dipakai.


Termasuk dalam polemik ini. Kata ‘real’ sebagai pernyataan
ontologis, direduksi menjadi ‘real’ dalam pemahaman epistemik.

Pada konteks ini, real world menjadi mekanisme yang mustahil


diobservasi, yang menghasilkan observable world, peristiwa yang
bisa diobservasi. Epistemologi dan Ontologi adalah terpisah.

Terlihat jelas, bahwa real world memang tak tersentuh sedikit pun.
Sains hanya membangun model, sedikit demi sedikit, hipotesis demi
hipotesis. Masa berlakunya sendiri tergantung dengan tingkat
kongruensi hipotesis tersebut pada fenomena yang tengah diuji. Jika
ada yang lebih presisi, usanglah dia!

Dengan demikian, apakah Sains menjelaskan fakta? Menawarkan


kebenaran realitas kehidupan? Mungkin iya pada observable world,
tapi tidak pada real world.

Suara dari Dunia Matematika

Jika derajat kebenaran Sains observable world berhubungan


langsung dengan konsistensi Sains secara keseluruhan, rasanya
mudah berasumsi, jika Sains makin berkembang dan tetap konsisten,
kian dekatlah ia dengan kebenaran dari observable world tersebut.

164
Tapi tunggu dulu. Coba kita tanya Matematika!

Sejak zaman baheula, Matematika telah menjadi alat utama


komunikasi di dunia Sains natural. Baik dengan kuantifikasi-
kuantifikasinya, maupun lewat kemampuan merangkum relasi logis
menggunakan simbol-simbolnya.

Richard P. Feynman berpendapat, “Mathematics is a language plus


reasoning; it is like a language plus logic. Mathematics is a tool for
reasoning.”

Pernyataan tersebut sulit terbantahkan. Matematika memang


istimewa, sebab memiliki presisi logis yang sangat akurat, bebas
dari bias, dan perspektif manusia. Matematika sangat cocok
dijadikan alat pembedah persoalan yang membutuhkan objektivitas
maksimal. Maka tidak berlebihan jika Matematika disebut sebagai
jantung Sains natural.

Ranah Matematika tak melulu tenang. Para pemikirnya juga berdebat,


melebur dalam taburan kapur-kapur penulis rumus, demi meramu
temuan-temuan baru. Seperti yang terjadi pada tahun 1931. Meletup
drama ‘pengkhianatan Matematika!’

Seorang Matematikawan berdarah Austria, Kurt Godel, menggebrak


keheningan dengan melahirkan Godel’s incompleteness theorem.

Di dalamnya terdapat dua komponen penting. Pertama, pada sebuah


sistem yang aksiomatis dan cukup ekspresif, pasti memiliki
properti, bahwa sistem tersebut tidak komplit atau tidak konsisten.
Kedua, kalaupun konsisten, sistem tersebut tidak akan bisa
membuktikan melalui sistemnya sendiri.

Lalu bagaimana dengan Sains? Apakah Sains adalah sistem


aksiomatis? Tentu saja. Sains memiliki aksioma seperti Principle of
finality, of causal closure, of sufficient reason, of contradiction,
of noncontradiction, dan sebagainya.

Apakah Sains cukup ekspresif? Sebentar! Ini tidak mudah dijawab


tanpa simplifikasi. Saya akan coba menggunakan generalisasi.
Sebutlah broad stroke.

Jika ekspresif didefinisikan sebagai kemampuan sebuah model untuk


melakukan operasi dasar aritmatika, seperti penambahan dan

165
perkalian, maka kita bisa mengambil relasi, bahwa submodel Sains
yang menggunakan Matematika, telah mengandung properti ekspresif
ini.

Kenyataannya, hampir semua cabang Sains natural mengandalkan


Matematika untuk mengekspresikan hipotesis maupun mengolah
datanya. Dengan begitu, syarat aksiomatis dan cukup ekspresif sudah
terpenuhi oleh Sains.

Lalu, bagaimana bila simpulan tersebut dirasukkan dalam teorema


bangunan Kurt Godel? Maka sistem Sains selalu tidak komplit, dan
tidak akan bisa membuktikan konsistensinya sendiri. Artinya, Sains
tak akan pernah mampu membuktikan kebenarannya terhadap real
world!

Predictive Power of Science

Dengan rangkai pemahaman tadi, apakah berarti Sains tidak lagi


berlaku sebagai panglima? Apakah dia tengah istirahat saat pandemi
COVID-19 merebak, seperti yang dituturkan dalam tulisan Pakde
Goenawan Mohammad?

Nanti dulu.

Sains memang mengidap kelemahan. Demikian juga dengan beragam


model kebenaran real world yang lain. Tapi, jangan sampai juga kita
menutup mata pada kelebihan-kelebihannya.

Tilik lagi jabaran mengenai metode ilmiah. Kekuatan Sains bukan


pada pernyataan kebenarannya. Melainkan pada kekuatan
prediksinya. Model terhadap observable world yang dibangun
natural Sains, mampu melakukan prediksi akurat sekaligus presisi
pada observable world yang kita alami. Bahkan saya berani bilang,
belum pernah ada model sepresisi Sains sepanjang sejarah manusia
yang tercatat.

Pernyataan soal kepongahan Sains, sebagaimana diungkapkan Pakde


Ulil pada sebaran pesan digital yang mampir ke ponsel saya, boleh
jadi berakar dari ketidakpahaman pada itu.

166
Jika dua sistem⎯Agama dan Sains⎯saling dihadapkan dalam lapangan
kebenaran, tentu mereka memiliki narrative of reality berbeda.
Masing-masing punya aksioma, metode deduksi, dan konklusi
sendiri. Satu sama lain tidak akan pernah bisa saling membuktikan
kebenaran sistemnya kepada sistem yang lain. Ataupun membuktikan
kebenaran sistem lain dengan sistemnya sendiri.

Karena itu, keduanya mustahil bertaut. Dan masing-masing penganut


sistem akan pongah dengan asumsi kebenaran sendiri. Wajar saja.
Bukankah saintisme, juga fideisme, lahir dari kesetiaan yang naif
terhadap narrative of reality?

Titik Temu: Best of both Many Worlds

Titik temu untuk kemaslahatan manusia dari sistem yang berbeda,


demi mencapai hasil optimal masih bisa dilakukan.

Pertama, iseng-iseng kita perlu menyadari, bahwa debat Agama


versus Sains mirip debat orang rabun jauh lawan orang rabun dekat.
Kok bisa? Coba geser lapangannya. Bukan lagi pada soal-soal
kebenaran, melainkan ke tataran kekuatan serta konteks prediksi.

Sains natural mempunyai kekuatan prediksi nan akurat pada


observable world hingga jangkauan tertentu. Kemajuan teknologi
hari-hari ini menjadi buktinya.

Tapi sehebat apapun Sains, ia tetap gagal membuat prediksi yang


melewati batas kematian manusia. Paling tidak in relation to
conscious experience. Sains tak punya hipotesis pada ranah itu,
sebab metode deduksinya memang tidak memungkinkan menjangkau.
Sementara model Agama punya depiksi dan prediksi yang sangat jelas
terhadap alam pascamaut.

Sains ibarat penderita rabun jauh, sedang Agama bak penyandang


rabun dekat. Gambaran ini sekaligus menunjukkan, bahwa masing-
masing area punya panglima berbeda.

Kegusaran Atas Wabah

167
Jalan pemecahan masalah, mesti diawali dengan mengakui serta
mendefinisikan terlebih dahulu masalah tersebut. Ini pemahaman
mendasar yang sudah lazim kita mengerti. Dan ketika pandemi
COVID-19 meledak, definisi masalah lahir dari model Sains.

Karena itulah, Sains menjadi pilihan paling tepat untuk berdiri


sebagai panglima dalam perang menghadapi COVID-19. Jangan sampai
dia istirahat. Dorong hingga solusi ditemukan! Beruntung, ternyata
Sains terus berjalan tanpa disuruh.

Beda cerita kalau pandemi ini dideklarasikan pertama oleh model


Agama. Bisa-bisa, pandemi ini disebut Jin Merah atau Setan Pocong.
Jika itu yang tempo hari terjadi, maka panglima yang paling tepat
untuk menghadapi adalah model Agama.

Perjalanan pencarian kebenaran tidak akan pernah berhenti, sebab


masalah-masalah muncul silih berganti. Kita perlu rendah hati
terhadap semua kemungkinan sistem model. Mereka pasti punya
sesuatu yang ditawarkan. Model mana yang bakal dipungut untuk
memecahkan masalah, itu pertimbangan berikutnya.

Bulan Maret 2020 lalu, saya pernah menawarkan metodologi


menghadapi COVID-19 di Indonesia. Termasuk di dalamnya
menghitung pertimbangan yang diolah dari sistem model Sains,
Agama, ekonomi, dan kebatinan. Tapi tentu saja tidak digubris.

Wajah Indonesia

Jauh sebelum pandemi, negara ini sudah terjangkit wicked problem.


Frasa yang menurut C. West Churchman, filsuf dan saintis sistem dari
Amerika, diartikan sebagai masalah yang tidak mungkin dipecahkan.
Karena komponen persyaratan jalan keluar yang kita ketahui tidak
komplit, kontradiktif, juga berubah-ubah. Interdependensi
komponen di dalamnya begitu kompleks, sehingga upaya-upaya
pemecahan masalahnya pun malah melahirkan masalah baru.

Kemudian datang COVID-19. Bila dikawinkan dengan wicked problem


yang sudah lebih dulu mendera, wabah tersebut telah menjelmakan
keruwetan Indonesia menjadi monster nggegirisi.

168
In Respect to Wicked Problems

Barangkali kita perlu mencoba metodologi yang baru. Coba


perhatikan semua model. Lalu tanyakan definisi kepada masing-
masing model: ada masalah apa?

Formulasi masalah dari sebuah model tak akan lepas dari


aksiomanya. Formulasi prediksi akan terlokalisasi pada area
terkuat, tempat aksioma tertata menjadi teorema. Keragaman ini
menyediakan probabilitas lebih tinggi untuk mengenal wicked
problem pada kerangka yang lebih koheren antar-model. Tidak hanya
intramodel.

Dengan begitu, mudah-mudahan, diskusi tidak akan lagi berkutat


pada urusan kebenaran belaka. Melainkan lebih menuju jalan
pemecahan masalah. Urusan benar atau salah, efektif atau tidak,
kelak observable world akan bereaksi sendiri. Waktu akan
membuktikan. Segaduh apapun perdebatan soal kebenaran, tetap saja
tak membangunkan real world dari kebisuannya. Kita hanya perlu
memformulasi hipotesis selengkap mungkin dari semua model yang
tersedia.

Keruwetan bangsa ini bisa dihadapi bersama menggunakan berbagai


model. Tak ada yang ditinggal, semua ikut serta. Masing-masing
pihak masih bisa melakukan upaya sesuai kapasitas. Ada yang riset,
sementara yang lain wiridan, berdoa sembari bakar menyan, serta
yang lain-lain. Jika ini terjadi, tidak mustahil, monster wicked
problem bisa dikalahkan. Kalaupun masih gagal, paling tidak kita
telah mendapat laba berupa keindahan. Itu jadi modal kekuatan
untuk melanjutkan perjuangan.

Eksplorasi Posibilitas

Apakah cara-cara tadi terasa utopis? Bisa jadi!

Mari belajar sedikit dari sistem yang sampai saat ini memiliki
koherensi paling solid, yakni Matematika. Simbol-simbolnya mampu
membawa kita ke tempat-tempat sukar dijangkau pengalaman.
Kerumitan dimensi hasil prediksi fisika yang sulit dibayangkan,
akan mudah dialami melalui simbolisme Matematika.

169
Bahasa Matematika tidak menghilangkan esensi manusia pada Sains.
Ketidakpahaman pada bahasa Matematika formal, sama seperti
kepelikan kita memahami bahasa orang-orang dari negeri-negeri
yang tidak terekspos media massa kelas internasional. Dan itu tidak
menghilangkan kemanusiaan, bukan?

Matematika menyediakan dunia yang berbeda. Bukan real world,


ataupun observable world. Melainkan symbolic world! Dunia abstrak,
imaji, tapi memiliki properti koherensi logis yang tinggi. Tingkat
konsistensinya tak diragukan. Pantas disebut sebagai bahasa untuk
berkomunikasi dengan jagat raya. “Mathematics is the language with
which God has written the world,” ujar Gelileo Galilei berabad-abad
silam.

Kita sudah membedakan real world dan observable world. Tapi


sudahkah kita efektif mengeksplorasi symbolic world? Bukan
berarti semua harus tahu Matematika. Tapi menyadari keberadaan
dunia imaji yang penuh kemungkinan, dibingkai dengan konsistensi
dan keistiqomahan.

Coda

Real world mungkin akan terus diam. Tapi dia tak pernah gagal
mengikuti apapun yang kita jogetkan. Untuk kita yang hidup bersama,
mungkin nada memang berbeda, tapi simfoni tetap harus
ditembangkan. Barangkali bisa membawa kita ke tempat yang belum
pernah terbayangkan.

-10 juni 2020

XXIX. 9 Juni: Lukas Luwarso: “Trilema Sains, Agama, dan Filsafat”

TRILEMA SAINS, AGAMA, DAN FILSAFAT

Perdebatan “menghadap-hadapkan” agama, filsafat, dan sains


sebagai semacam “perselisihan paradigma” berisiko menghadapi
problem trilema (dilema namun menyangkut tiga aspek). Tiga
aspek ini cukup sulit dipersatukan untuk menjadi kesatuan

170
paradigma yang koheren, substantif, non-superficial. Kita bisa
mengombinasikan dua paradigma, namun agak mustahil
menyatukan ketiganya. Mampu menjadi orang yang taat beragama,
mendalami filsafat, sekaligus antusias pro-sains.

Trilemanya begini: (1) Jika Anda taat beragama dan mendalami


filsafat, pasti tidak pro-sains; (2) Jika Anda pro-sains dan
beragama, pasti kurang mendalami filsafat; (3) Jika Anda
berfilsafat dan pro-sains, pasti tidak taat beragama.

Saya mengategorikan F Budi Hardiman (FBH) pada trilema pertama:


beragama dan berfilsafat, namun tidak pro-sains. Ia menulis
“Saintisme dan Momok-momok Lain” ikut meramaikan debat
menyoal sains dan korelasinya dengan filsafat dan agama.
Tulisannya, di beberapa paragraf awal, bernada patronizing dalam
mendakwa sains. Ia sengaja memilih judul dengan diksi yang
detraktif (“saintisme”; “momok”). Berkhotbah: “kepongahan
kemajuan sains bisa menjadi dogmatisme baru.”

FBH juga mengajak untuk membuat distingsi antara “sains dengan


saintisme,” sebagaimana memilah “agama dengan fideisme,” dan
membedakan “filsafat dengan ideologi.” Menurutnya, yang
pertama adalah upaya mencari jawaban, yang kedua merasa telah
menemukan jawaban. Perdebatan yang berlangsung, katanya, lebih
pada saintisme, fideisme, dan ideologi; ketimbang soal sains,
agama, atau filsafat.

FBH fokus memilih menyerang sains dengan mengupas “saintisme”,


namun enggan menyentuh fideisme (agama) dan ideologisasi
(filsafat). Menunjukkan bias-berpikirnya yang terjebak pada
trilema kategori pertama. Tak soal tentu, bias berpikir adalah
manusiawi. Bagaimanapun, saya tertarik menanggapi ajakannya
untuk membuat debat “masuk lebih dalam”. Ia mengajukan tiga
premis dan pertanyaan:

Pertama, menghadap-hadapkan agama dan sains tidak realistis;


karena sains secara historis tidak dapat lepas sepenuhnya dari
agama.

Kedua, New Sciences (seperti teori chaos, geometri faktal,


mekanika kuantum) telah berpisah dari Newtonian mechanical

171
worldview; ketidakpastian dan kontingensi makin mendapat
tempat dalam sains.

Ketiga, hubungan antara sains dan dunia makna; realitas terdiri


atas benda dan makna. Sains berhasil mengetahui benda, tetapi
bisakah makna didekati oleh sains? Bagaimana menjelaskan dari
benda muncul kehidupan, dan dari kehidupan muncul kesadaran?

Tulisan ini mencoba mengupas tiga premis persoalan yang


diajukan FBH.

Menghadapkan Agama dan Sains:

“Menghadap-hadapkan agama dan sains tidak realistis; karena


secara historis sains tidak bisa dilepaskan sepenuhnya dari
agama.” Secara prinsip premis ini valid, dalam hal “tidak bisa
dilepaskan secara historis”. Cukup banyak temuan sains yang
dihasilkan oleh sejumlah saintis bukan saja terinspirasi ajaran
agama, namun awal niatannya adalah untuk—secara harfiah—
pengabdian pada agama.

Isaac Newton adalah quintessential saintis yang mendedikasikan


hidup dan ilmunya untuk agama. Ia menulis sejumlah “karya
ilmiah” yang dapat dikategorikan occult studies (studi hal-hal
ghaib), seperti astrologi, alchemy, keajaiban alam, dan
interpretasi Kitab Injil, antara lain tentang nubuat second
coming Yesus dan hari kiamat. Ia berupaya menggali ulang wisdom
teks kitab suci dan memaknai secara harfiah—bukan sebagai
metafora atau kiasan.

Newton lahir dari keluarga gereja Anglikan, dan percaya


sepenuhnya Tuhan monotheis adalah Sang Pencipta yang
keberadaannya tak terbantahkan. Saat itu, abad ke-17, belum ada
pemilahan antara sains, pseudo-sains, dan takhyul. Paradigma
intelektual (Eropa) umumnya terpaku pada agama. Newton percaya
logam tumbuh di tanah seperti pohon, dunia materi itu hidup, dan
gaya gravitasi disebabkan oleh emisi kimiawi garam.

Newton meyakini, Tuhan secara khusus mengutusnya untuk


menyampaikan kebenaran teks kitab suci. Ia percaya kedatangan

172
kembali (second coming) Yesus. Dalam kalkulasinya Yesus akan
datang kembali ke dunia pada tahun 2060, diikuti dengan
berdirinya Kerajaan Allah di bumi yang akan bertahan hingga
akhir zaman.

Newton menulis Rules for interpreting the words & language in


Scripture, sebagai panduan interpretasi Kitab Injil yang benar. Ia
serius mengabdikan diri mengungkap “Bible Code”, pesan-pesan
tersembunyi Alkitab. Tujuannya untuk meluruskan hal-hal yang
tidak dipahami dengan baik oleh umat. Pendekatan Newton dalam
mengungkap makna teks Alkitab ( Book of Revelation), saat itu,
jelas tidak bisa disebut saintifik. Namun ia yakin temuan-
temuannya adalah hasil riset berbasis evidence.

Terlepas pada awalnya gandrung mendalami occultism, sesuatu


yang lazim pada era saat itu, Newton menghasilkan karya seminal
saintifik: Mathematical Principles of Natural Philosophy (1687).
Karya ini menjadi salah satu tonggak penting sejarah sains.
Memaparkan tiga hukum fisika yang menjadi basis bagi Teori
Gravitasi dan pengukuran pergerakan planet-planet. Newton
membawa paradigma baru: dunia yang mekanistis dan bisa diukur
dengan memakai hukum fisika dan matematika (calculus).
Perhitungan dan pengukuran secara matematis menggantikan
dugaan, spekulasi, dan hipotesis.

Ungkapan Newton yang terkenal Hypotheses non fingo (“saya tidak


terpaku pada hipotesis”) adalah kredo saintifiknya. Hipotesis
apapun tentang dunia fisika, metafisika, occultis, atau mekanis,
harus dibuktikan melalui eksperimentasi. Newton melanjutkan
era revolusi saintifik, yang dimulai para saintis pendahulunya,
seperti Galileo Galilei, Nicolaus Copernicus, Johannes Keppler.

Selain Newton, saintis yang dikenal religius adalah Gregor


Mendel. Seorang biarawan Katolik, Ordo Agustinian, yang mengisi
waktu luangnya untuk bereksperimen dengan tanaman dan
serangga— selain berdoa. Karyanya “Experiments on Plant
Hybrids” adalah salah satu tonggak penting genetika modern, dan
menempatkan dia sebagai Bapak ilmu genetika.

Mendel bukan cuma mengamati atau bereksperimen, namun juga


secara kreatif merancang skema perkawinan silang (hibridisasi)

173
pada 28.000 tanaman kacang. Semula ia bereksperimen dengan
kucing, namun gereja melarang, dan menggantinya dengan tanaman
dan lebah. Ketika itu, tahun 1860-an, ia mengidentifikasi adanya
“faktor tak terlihat” (kemudian dinamai “gen”) yang bertanggung
jawab mewariskan ciri-ciri spesifik ke keturunan. Ia sendirian
menemukan hukum yang mengatur genetik yang diwariskan (Hukum
Mendel), yang berlaku untuk semua makhluk hidup. Temuannya
kemudian memperkuat Teori Evolusi Darwin dan sains genetika
molekuler.

Charles Darwin dikenal sebagai saintis yang mengundang konotasi


“penghujat agama” karena Teori Evolusi-nya. Namun Ia
sebenarnya penganut agama Protestan non-conformist, dan
pernah bercita-cita menjadi pendeta. Ia sangat berminat
mempelajari asal muasal alam, dan mendalami theologi alam
(natural theology ). Ia berprinsip keberadaan dan tindakan Tuhan
dapat dilihat dalam fenomena alam dan dinalar melalui hukum
alam. Saat berusia 22 Ia ikut ekspedisi kapal Beagle, dengan
harapan bisa melihat kawasan kepulauan tropis, keindahan alam
ciptaan Tuhan, sebelum menjadi pendeta.

Saat berangkat untuk berlayar Darwin masih seorang religius


ortodoks yang berhasrat melihat “kerja keilahian menciptakan
alam”. Namun menjelang berakhirnya ekspedisi pelayaran ia mulai
meragukan kisah penciptaan sebagaimana tertulis di Alkitab. Ia
melihat beragam spesies hewan yang secara fisiologis berubah. Ia
mulai berhipotesis adanya transmutasi hewan melalui proses
seleksi alam. Setelah tersedia cukup bukti ia menguraikan
teorinya dalam buku “On The Origin of Species” (1859). Sebuah
paparan temuan saintifik yang menjadi fondasi ilmu biologi
evolusioner, dikenal sebagai Teori Evolusi Darwin.

Paparan sekilas pencapaian tiga saintis, Newton, Mendel, dan


Darwin di atas sekdar sebagai ilustrasi untuk menunjukkan
validitas premis “sains tak bisa sepenuhnya dilepaskan dari
agama—secara historis.” Namun kaitan sejarah itu bersifat
serendipities, alih-alih metodologis. Newton dengan keyakinan
agamanya tertarik dengan okultisme, namun saat menulis Teori
Gravitasi ia tidak menggunakan metode agama, namun memakai
matematika—yang sama sekali tidak dikenal dalam Alkitab.

174
Mendel juga demikian. Hukum Genetika lahir bukan karena ia
adalah seorang rahib Katolik, yang mendapat “inspirasi
keilahian”, melainkan karena studi sains yang ia tekuni
sebelumnya di universitas dan sikap rasa ingin tahu yang besar
pada kehidupan. Sama halnya dengan Darwin, paradigmanya
berubah setelah mengobservasi bagaimana cara kerja alam. Ia
mengurungkan niatnya menjadi pendeta setelah menyaksikan
keragaman kehidupan yang dinamis, tidak statis sebagaimana
tertulis di Alkitab.

Memang benar, sains tidak bisa dilepaskan sepenuhnya dari agama.


Namun, agama jelas bukan penyebab atau faktor pendorong
penemuan sains. Juga bukan raison d’être (alasan adanya (atau
conditio sine qua non (kondisi yang menjadi sebab akibat yang
harus terjadi) bagi munculnya teori sains. Dalam beberapa kasus
Agama justru menghambat sains, khususnya temuan sains yang
merongrong atau bertentangan dengan teks Alkitab. Agama dapat
dianalogikan seperti kondisi cuaca untuk riset sains. Saintis
akan tetap bekerja mengobservasi, meneliti dan bereksperimen
untuk mendapatkan penjelasan soal dunia. Tidak soal kondisi
cuaca saat itu: hujan, mendung, berawan, atau cerah.

New Sciences dan Ketidakpastian

“New sciences, seperti teori chaos, geometri fraktal, mekanika


kuantum, telah berpisah dari Newtonian mechanical worldview;
ketidakpastian dan kontingensi makin mendapat tempat dalam
sains.”

Premis ini juga cukup valid.

Temuan-temuan sains terbaru telah mampu menjawab sejumlah


pertanyaan, namun sekaligus memunculkan berbagai pertanyaan
baru. Saya sudah menyentuh sekilas dalam tulisan saya
sebelumnya “Kepastian Sains dan Pencarian Kebenaran.”

Saya ingin merespons dengan memberi ilustrasi soal hipotesis


aether (ether). Sampai awal abad ke-20, di kalangan fisikawan
terdapat “postulat” adanya medium universal yang memerantarai
berbagai interaksi fenomena alam, seperti gelombang cahaya dan

175
gaya gravitasi. Sebagaimana air yang memiliki substansi
(medium) penyebab permukaan air bergelombang, maka suara,
cahaya, dan gravitasi diduga juga memiliki medium.

Bagaimana suara terdengar, cahaya menyinari, dan gravitasi


menarik segala sesuatu tetap menempel di bumi? Fisikawan
berpostulat, medium itu adalah ether, secara semantik artinya
“esensi materi yang memenuhi semua wilayah di alam semesta dan
di bumi.” Ether sebagai istilah sudah lazim digunakan dalam
kisah-kisah mitologi Yunani kuno sebagai esensi atau “hembusan
nafas Tuhan yang memenuhi ruang kehidupan”.

Teori-teori fisika hingga akhir abad ke-19 menggunakan konsep


ether sebagai hipotesis untuk menjelaskan berbagai fenomena
alam. Dalam “Einstein: His Life and Universe”, Walter Isaacson
mengulas bagaimana Albert Einstein turut bergulat memecahkan
“misteri” ether, medium pembawa cahaya ini. Einstein juga
mengamini postulat lintasan cahaya bergerak di ruang vakum
karena adanya ether.

Selain Einstein, banyak fisikawan saat itu yang merancang


berbagai eksperimen untuk mendeteksi ether, dan selalu gagal
membuktikan keberadaannya. Sampai akhirnya, eksperimen yang
dilakukan Michelson-Marley menyudahi spekulasi. Ether terbukti
tidak ada. Penyelidikan Einstein, yang kemudian menghasilkan
Teori Relativitas Khusus (1905) juga membenarkan tidak adanya
ether.

Kisah pencarian ether di dunia fisika adalah simbolik kemenangan


pembuktian kebenaran melalui eksperimen melawan hipotesis,
postulat, asumsi atau intuisi. Konsep ether yang “bernuansa
mistis”, dan bertahan selama ribuan tahun—sejak era mitologi
hingga menjadi asumsi sains—akhirnya dihapus. Misteri “dunia
ghaib”, yang kerap diyakini ada, satu per satu bisa diungkap,
diukur, dan dijelaskan mekanismenya. Sebagian ketidakpastian
bisa dipastikan melalui sains. Dunia ghaib satu per satu menyerah
pada interogasi sains.

Ether telah tumbang, namun masih ada ketidakpastian atau


misteri dunia yang belum terjawab. Fisika pasca-modern, atau
“New Sciences”, juga memiliki sejumlah misteri baru, misalnya

176
konsep “dark matter ” atau “dark energy”. Termasuk dunia super-
kecil, partikel sub-atomik, yang misterius. Sebuah “dunia ghaib
lain” yang selama ribuan tahun peradaban manusia menjadi
misteri yang memesona agama atau penganut mistik. Keghaiban
itu bisa dideteksi dan dijelaskan melalui sains mekanika quantum
(Quantum mechanics).

Fisika klasik adalah sains yang menjelaskan materi dan energi


pada skala yang dapat dilihat atau dirasakan indera manusia,
seperti berbagai benda yang terlihat mata hingga peredaran
planet. Teori mekanika quantum (MQ) menjelaskan interaksi
materi dan energi pada dunia sub-atomik yang ukurannya
sepermiliar milimeter.

Sebagai sains MQ lahir pada 1924, melalui proses panjang yang


dibidani oleh penemuan banyak fisikawan. Dari hipotesis awal
Thomas Young (1801) tentang cahaya sebagai gelombang hingga
penemuan efek foto-elektrik Einstein (1905), yang membuktikan
cahaya tersusun dari partikel quantum photons.

Teori Relativitas Einstein dan Teori MQ menjungkirbalikkan


paradigma lama dunia mekanis-deterministik Newtonian dan
membuka pemahaman baru tentang realitas yang “tidak pasti”, dan
munculnya berbagai sains baru. Antara lain Teori Chaos dan
fraktal geometri, yang menggunakan komputer (sebagai teknologi
baru) untuk membuat simulasi fenomena alam secara matematis.

Teori Chaos adalah sains yang menjelaskan perilaku alam yang


bersifat kontingen, tidak pasti, sulit diprediksi karena sangat
dinamis. Misalnya gerakan awan di langit, ombak di lautan, aliran
sungai, perubahan cuaca, kebakaran hutan, dan semacamnya.
Edward Lorenz mengumumkan Teori Chaos, pada 1961, setelah
berhasil membuat simulasi pola cuaca—berbasis 12 variabel, dari
temperatur hingga kecepatan angin—menggunakan komputer
sederhana.

Lorenz berteori: “di balik keacakan sistem dan fenomena gerak


alam yang kompleks terdapat pola, fraktal, keteraturan yang
berulang dan ada pengorganisasian-diri.” Keacakan (randomness)
dan terbentuknya pola tertentu bergantung pada kondisi awal.
Teori Chaos populer dengan analogi “The butterfly effect”,

177
perubahan kecil (sistem atau kondisi) bisa berakibat perbedaan
besar. “Kepakan kupu-kupu di China bisa menyebabkan badai di
Amerika.”

Pandemi COVID-19 adalah contoh situasi yang bisa dijelaskan


dengan Teori Chaos. Virus yang menginfeksi beberapa orang di
Wuhan bisa mengguncang dunia, dan berdampak luar biasa di
Amerika. Dunia virus berpola deterministik, namun ketika terjadi
perubahan situasi (pindah menginfeksi manusia) pengaruhnya
tidak lagi mudah diprediksi. Virus memicu kekacauan (chaos)
namun tetap bisa dideteksi polanya.

Edward Lorenz mengintroduksi “determinist chaos”: apa yang


terjadi saat ini menentukan masa depan, namun tidak pasti
(bersifat kontingen). Seperti wabah COVID-19, bagaimana akan
berakhir dan apa dampaknya bagi kultur/peradaban manusia?
Tergantung banyak faktor. Teori Chaos dapat memprediksi suatu
kondisi dengan tiga syarat: seberapa besar ketidakpastian bisa
ditolerir, seberapa akurat kondisi bisa diukur, dan skala waktu
dinamika situasi.

Teori Chaos telah mengubah paradigma melihat dunia, bagaimana


menjelaskan “kekacauan” alam dan cara mengelolanya. Teori ini
semakin membuka pemahaman tentang dinamika alam, ketika ilmu
geometri fraktal diperkenalkan. Fraktal adalah pola keteraturan
geometris yang berulang, mekanisme alam mereplikasi-diri, dan
sistem peniruan-diri sehingga alam berwujud seperti yang
terlihat saat ini.

Fraktal adalah “sidik jari’ alam, bagaimana alam mengukir atau


memoles diri menjadi berbagai bentuk struktur yang rumit namun
indah. Seni fraktal alam bisa dilihat dari pola dekoratif bunga
matahari, kristal salju, kelokan sungai, gelombang laut, sisik
ikan, strip zebra, alur padang pasir, hingga spiral galaksi.

Benoit Mandelbrot adalah ilmuwan pertama yang mensimulasikan


faktral melalui program komputer pada 1975. Baginya fraktal
adalah seni kekesatan (roughness) fenomena, elemen, dan wujud
alam yang kompleks. Hal-hal yang dianggap “taken for granted”
dari alam—“memang begitulah alam”—mulai bisa dijelaskan dan
disimulasikan prosesnya melalui ilmu geometri fraktal.

178
Fisikawan Stephen Wolfram melanjutkan kerja-kerja Mandelbrot
untuk memecahkan misteri bagaimana proses alam semesta dan
seisinya terbentuk. Dalam “A New Kind of. Science” (2002) ia
memaparkan dan menyimulasikan prosesnya melalui program
komputer. Ia menyimpulkan, alam semesta adalah keragaman yang
berkembang dari program sederhana yang berbasis pada hukum
fundamental fisika, kimia, biologi, dan sains lainnya.

Wolfram kini sedang menyusun “Theory of Everything” yang


pernah dirintis—dan kemudian ditinggalkan—Stephen Hawking.
Wolfram berhipotesis, cara kerja alam semesta mirip jalinan kode
program komputer. “ Diawali dengan proses (program) sederhana,
berkembang menjadi struktur yang kompleks.” Ia menyusun kode
komputer, menggunakan aspek-aspek persamaan matematis Teori
Relativitas Einstein dan mekanika quantum, dua pilar sains fisika
moderen, untuk menyimulasi proses lahirnya alam semesta.

Wolfram menulis risalah ilmiah populer, “Finally We May Have a


Path to the Fundamental Theory of Physics… and It’s Beautiful”
(14 April 2020). Penuh dengan ilustrasi simulasi grafis,
memaparkan bagaimana kira-kira proses alam semesta mewujud.
Namun, sebagaimana bukunya “A New Kind of Science”, risalah
hipotesis terbaru Wolfram ini mendapat kritikan “sengit” dari
sejumlah fisikawan. Dalam dunia sains, “kritikan sengit” adalah
mekanisme dan metode yang lazim untuk menguji validitas
hipotesis atau teori.

Kritik “built-in” dalam ekosistem dunia sains dan metodenya,


justru untuk memastikan validitasnya. Agar teori sains bukan
cuma dogma yang tidak berdasar. “Dogmatisme sains” adalah
misnomer, frasa yang konvolutif. Dogma adalah diksi yang lazim
dalam ekosistem agama atau filsafat, namun tidak logis untuk
sains. Termasuk istilah “saintisme” yang secara esensial cuma
mitos, mirip hantu, sekadar “momok” menakutkan—bagi yang
percaya takhyul.

Carl Sagan menyatakan, “the reason science works so well is


partly that built-in error-correcting machinery. There are no
forbidden questions in science, no matters too sensitive or
delicate to be probed, no sacred truths. That openness to new

179
ideas, combined with the most rigorous, skeptical scrutiny of all
ideas, sifts the wheat from the chaff.”

Sains dan Dunia Makna:

“Hubungan antara sains dan dunia makna; realitas terdiri atas


benda dan makna. Sains berhasil mengetahui benda, tetapi bisakah
makna didekati oleh sains? Bagaimana menjelaskan dari benda
muncul kehidupan, dan dari kehidupan muncul kesadaran?“

Ada dua isu dalam premis yang dinarasikan FBH ini. Pertama,
bagaimana sains membantu manusia memaknai dunia. Kedua,
bagaimana proses kehidupan dan kesadaran muncul. Isu pertama,
sains beririsan dengan filsafat. Isu kedua, sains beririsan dengan
spiritualisme agama, atau keyakinan.

Dalam artikel “Kepastian Sains dan Pencairan Kebenaran”, saya


menulis: Pencarian makna lazimnya adalah wilayah agama,
spiritualitas, atau filsafat. Sains tidak menyentuh pemaknaan,
karena abstrak. Pertanyaan saintifik yang valid bukanlah “apa
makna kehidupan”, melainkan “bagaimana membuat hidup lebih
bermakna”.

Fisikawan teoritis Sean Caroll dalam “The Big Picture: On the


Origins of Life, Meaning, and the Universe Itself,” menguraikan,
tugas sains adalah mendeskripsikan dunia. Hukum-hukum fisika
tidak berurusan dengan wilayah perasaan, seperti soal salah-
benar, baik-buruk, bermakna-tak bermakna, tujuan hidup, atau
adakah kehidupan setelah kematian.

Pencarian makna, secara serius, tidak cukup hanya mengandalkan


perasaan, imtuisi, atau asumsi. Memahami estetika, etika,
moralitas, atau pencarian makna hidup akan semakin bermakna
jika itu sejalan dengan temuan sains yang valid. Menemukan makna
hidup adalah proses kreatif. Manusialah yang menghadirkan
makna dan tujuan pada dunia. Makna bukan sesuatu yang sudah ada
di suatu tempat untuk ditemukan.

Upaya “mencari makna” adalah domain agama atau filsafat,


bersifat arbriter dan spekulatif. Beda agama atau beda filsafat

180
akan memberikan makna yang berbeda. Lain halnya dengan upaya
mencari penjelasan tentang asal-usul kehidupan dan bagaimana
proses kehidupan itu kemudian memunculkan kesadaran. Asal-
usul kehidupan dan munculnya kesadaran adalah dua pertanyaan
paling sulit untuk dijelaskan dan dibuktikan oleh sains. Namun
upaya menjawabnya sudah dimulai, yang pertama melalui
Abiogenesis, yang kedua melalui Neurosains.

Abiogenesis, sebagai studi tentang bagaimana kehidupan muncul,


sejauh ini memberikan hipotesis awal kehidupan berproses dari
DNA dan RNA. Rangkaian molekul sederhana, yang berinteraksi
dengan asam nukleid untuk menyusun protein. Protein adalah
unsur dasar terbentuknya sel sebagai materi (“benda”) yang
menjadi hidup. Bagaimana penjelasan “dari benda menjadi
kehidupan?” Selain penjelasan menggunakan teori Abiogenesis
(yang memadukan pendekatan fisika, kimia, dan biologi), asal
kehidupan bisa dijelaskan dengan menggunakan Teori Informasi.

Dalam “Introduction to Artificial Life” saintis polymath


Christoph Adami menginvestigasi asal kehidupan dengan
mengkonsepsikan kehidupan sebagai jalinan informasi yang terus
menerus mengabadikan-diri (self-perpetuating information
strings). Menurutnya, hidup bukan hanya peristiwa kimiawi,
melainkan juga proses informasi. Genome manusia, dan makhluk
hidup lainnya, adalah gudang informasi tentang dunia yang
terakumulasi sedikit demi sedikit dalam proses evolusi yang
panjang. Informasi sari soal bagaimana mengubah gula menjadi
energi, bagaimana sel mereplikasi diri, sampai bagaimana
menjaga diri agar selamat dari bahaya.

Informasi adalah “mata uang kehidupan”, kemampuan memprediksi


dan memilih yang lebih baik dari peluang yang ada. DNA manusia
adalah ensiklopedia tentang dunia dan bagaimana bertahan hidup.
Evolusi adalah proses mengalirnya informasi dari lingkungan ke
genome secara timbal balik. Genome menyerap informasi dari
lingkungan, dan dengan informasi itu, genome membuat prediksi
tentang situasi lingkungan.

Ray Kurzwell menyatakan, evolusi adalah proses informasi


mencari medium yang lebih kompleks. Saat ini medium penyimpan
dan pengolah informasi adalah otak manusia, dan sedang
181
berproses untuk hijrah ke server internet (cyber space). Dalam
“The Singularity Is Near” Kurzwell membagi evolusi dalam enam
era informasi: (1) Era fisika dan kimia: informasi tersimpan dalam
partikel subatomik. (2) Era biologi, informasi tersimpan dalam
DNA organisme seluler sederhana. (3) Era otak manusia, informasi
memunculkan kesadaran. (4) Era teknologi: transformasi
informasi ke digital dan munculnya artificial Intelligence (saat
ini kita berada di penghujung era ini). (5) Era Singularitas:
manusia dan teknologi cerdas menyatu, munculnya makhluk super
cerdas-transhuman. (6) Era semesta tersadar: transhuman
berekspansi ke seluruh alam semesta. (Hipotesis Kurzwell
berbasis fakta kemajuan eksponensial sains dan teknologi, namun
untuk sementara anggap saja sebagai science-fiction. Semua
teknologi yang kita nikmati saat ini, 100 tahun lalu adalah
science-fiction).

Menyangkut kesadaran, seperti yang diuraikan Kurzwell, baru


muncul pada era ketiga evolusi informasi (era otak manusia). Otak
manusia yang kompleks mampu mengolah informasi, sedemikian
rupa, sehingga memunculkan kesadaran. Studi Neuroscience
menunjukkan, kesadaran adalah fenomena “emergence ” (muncul),
bukan “given ” (anugerah supranatural). Sebagaimana kehidupan
muncul dari benda fisik dan proses kimiawi, dari atom, menjadi
molekul, menyusun sel, menjadi organisme, spesies, manusia dan
seterusnya. Munculnya kesadaran juga melalui proses evolusi
ribuan tahun perkembangan kognisi manusia.

Boleh saja agama mengklaim atau memaknai: “kesadaran adalah


anugerah Tuhan untuk manusia, sebagai makhluk ciptaan-Nya
yang paling mulia.” Namun klaim seperti ini tidak memadai
sebagai penjelasan untuk orang yang bernalar. Sains tidak pernah
mengklaim bisa mengetahui atau mampu menjelaskan semua hal.
Namun setidaknya, sains bisa menunjukkan bukti atas klaim
teorinya yang sudah terbukti benar. Soal asal-usul kehidupan dan
kesadaran (dua pertanyaan paling sulit), hipotesis sains masih
bersifat tentatif, masih dicari bukti-bukti otentik untuk
memvalidasi atau memfalsifikasinya.

Dunia makna adalah wilayah perasaan, yang bersifat personal.


Setiap orang bisa dan boleh memaknai hidupnya sesuai

182
subjektifitas pemahaman atau paradigmanya. Hidup bisa
memunculkan beragam makna: sebagai pewahyuan, kehendak,
cerita, permainan, tragedi, komedi, petualangan, pelajaran, dan
sebagainya. Upaya memaknai hidup ini telah menginspirasi
lahirnya berbagai karya seni kreatif yang inspiratif.

Mereka yang berparadigma agama atau filsafat, misalnya, bisa


memaknai hidup sebagai “sebuah misi atau panggilan hidup.” Misi
untuk mengabdi pada Illahi atau cita-cita luhur, mengajak pada
kebaikan. Goethe menyebut misi hidupnya adalah menulis untuk
memberikan pencerahan. Hegel memiliki misi memakai filsafat
idealisme untuk menjelaskan makna hidup (merespons kepedihan
tragedi Revolusi Perancis).

Para politikus sering merasa membawa misi ingin mengubah


situasi, memperjuangkan kebebasan dan keadilan. Misi orang
biasa umumnya adalah bagaimana menjalani hidup dengan tenang,
memiliki nafkah yang cukup dan merawat keluarga. Jeremy
Bentham, dengan filsafat utilitarian, mempromosikan misi moral
“kebahagiaan sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya
manusia.”

Kita bisa memaknai dunia secara idealis dan sangat optimis,


sebagai tempat yang penuh keindahan, kebaikan, kedamaian dan
harmoni. Atau memaknai secara realistis (dan agak pesimis).
Misalnya, prinsip utama ajaran Budhisme, the first nobel truth :
“Hidup adalah penderitaan”, Sang Budha mengajarkan bagaimana
terbebas dari penderitaan. Atau seperti mitos Sisypus, hidup
adalah ritus mendorong batu ke puncak bukit hanya untuk
menggelinding lagi ke bawah—terus berulang.

Bagi yang berprinsip fatalistis, hidup adalah absurditas tak


bertujuan, bunuh diri adalah pilihan. Arthur Schopenhauer, filsuf
yang dikenal sebagai “sang pesimis agung” menyebut hidup
sebagai rasa frustrasi, hasrat hidup adalah irasionalitas yang
tak jelas juntrungnya.

Sejumlah pemikiran filsafat kuno telah menawarkan tips atau


solusi praktis untuk memaknai dunia, misalnya Epicureanism
memaparkan bagaimana menikmati hidup dengan mengurangi
penderitaan (minimalizing pain). Atau Stoicism, mengajak hidup

183
harmonis dengan lingkungan alam dengan menggunakan nalar,
melatih disiplin mengendalikan hasrat, tindakan, dan perasaan.
Hidup yang baik, bagi penganut Stoicism, adalah bagaimana
menggunakan nalar untuk meningkatkan harkat masyarakat.

Menyangkut keberagaman makna, baik juga dikutip ungkapan


Phytagoras, 2600 tahun lalu: “Hidup mirip acara Olimpiade;
beberapa orang berlatih keras untuk menjadi juara, ada yang
jualan suvenir untuk cari untung; banyak yang datang sekadar
menonton.” (Life is like the Olympic games; a few strain their
muscles to carry off a prize, others sell trinkets to the crowd for
a profit; some just come to look and see how everything is done).

Sintesis Trilema Sains, Filsafat, Agama:

Menelaah relasi “trilematis” agama, filsafat, dan sains—sebagai


tiga cara menafsirkan dunia—dapat melalui pendekatan
perselisihan: membenturkan paradigma, karakteristik
konseptual, dan klaim masing-masing. Atau pendekatan dialektis:
menguraikannya sebagai rangkaian proses dialogis triadic
(tesis-antitesis-sintesis).

Trilema sains, filsafat, dan agama juga bisa diharmonisasi


menggunakan metode Stephen Jay Gould “Non-Overlapping
Magisteria”. Konsep yang ditawarkan oleh Gould untuk
“mendamaikan” perselisihan sains dan agama. Dua paradigma yang
merepresentasikah cara tafsir yang berbeda—antara fakta dengan
makna. Masing-masing memiliki wilayah legitimasi dan otoritas
(magisteria) sendiri, dan sebaiknya tidak ditumpang-tindihkan
(overlap).

Dunia agama penuh dengan kisah menarik dan ajaib tentang masa
lalu, yang bisa menjadi pelajaran. Dunia filsafat penuh dengan
gagasan spektakular-spekulatif, yang bisa memancing pemikiran.
Dunia sains penuh dengan temuan fakta dan perspektif baru, yang
bisa memupuk pengetahuan dan imajinasi. Banyak hal sudah bisa
dijelaskan dan dideskripsikan oleh sains dengan baik, namun
masih banyak “terra incognita” yang masih menjadi misteri. Sains
bisa mencari inspirasi dari kisah-kisah agama atau pertanyaan
filsafat.
184
Trilema tidak perlu ada jika kita mampu memilah paradigma
tafsir sesuai proporsi otoritasnya. Gunakan agama untuk
meyakini (devotion), filsafat untuk memikirkan (wisdom), dan
sains untuk menjelaskan (the nature of devotion and wisdom).
Merenungkan makna dan berserah pada keagungan semesta
(Tuhan), gunakan agama. Memikirkan hakikat makna secara
spekulatif (exercise thinking), pakai filsafat. Mendapatkan
penjelasan yang valid dan akurat tentang realitas dunia
(evidence-based), pilih sains.

Kemampuan memilah paradigma agama, filsafat, dan sains, secara


tidak overlap, dan tanpa sinisme, adalah kunci. Kapan kita paham
menggunakan agama, memakai filsafat, atau memilih sains, bukan
sebagai perselisihan. Termasuk paham memilah sains sebagai
fakta dengan “saintisme” sebagai hantu yang menjadi momok.

Pada akhirnya, ketika perenungan dan pemikiran mandeg, kita


harus memilih untuk menggali fakta mendapatkan bukti, melalui
sains. Untuk terus maju.

***

XXX. 9 Juni: Bambang Sugiharto: Masih Perlukah Sains, Filsafat, dan Agama”

MASIH PERLUKAH SAINS, FILSAFAT, DAN


AGAMA?
(Tulisan ini disampaikan ke publik pada tahun 2004 dalam suatu
pidato ilmiah, tetapi kemudian dimunculkan kembali setelah
ramainya diskusi tentang tiga topik tersebut, -editor)

Judul ini bukanlah sekadar pertanyaan retoris dengan jawaban


yang sudah jelas. Judul itu lebih hendak menunjukkan suasana
ketidakpastian mendasar yang dihadapi peradaban manusia di
awal millennium ketiga ini, akibat gelombang kritik dasyat
atasnya yang akhir-akhir ini muncul secara tak terelakkan dari
perkembangan kesadaran bangsa manusia sendiri.

185
Sains, filsafat, dan agama –pilar-pilar utama peradaban- akhir-
akhir ini telah mendapatkan berbagai kritik mendasar yang
memaksa kita untuk meninjau kembali hakikat masing-masing
bidang itu beserta posisinya dalam peradaban manusia hari ini
dan nanti. Orasi ini hanya akan melukiskan pemetaan global saja,
yang dimaksudkan sebagai perangsang untuk me-refleksi ulang
kiprah perguruan tinggi sebagai institusi yang mengelola pillar-
pillar peradaban tersebut, maupun kinerja masing-masing kita
didalamnya sebagai pribadi.

Sains

Suatu saat ketika Museum of American History diminta


mengadakan pameran tentang perkembangan sains di Amerika,
para penyandang dananya sebetulnya berharap melihat
kecanggihan pencapaian-pencapaian mutakhir di bidang sains.

Namun ternyata yang mereka dapatkan pada katalog adalah persis


kebalikannya: deretan bencana akibat kiprah dunia ilmu dan
teknologi, yaitu perusakan lingkungan yang parah, senjata
pemusnah masal, peracunan makanan oleh berbagai zat kimia,
robotisasi industri yang mengancam para buruh pabrik,
ketidakadilan sosial, berbagai eksperimen tak bermoral, dan
sebagainya.

Bagi manusia zaman ini, sains rupanya bukan lagi sesuatu yang
sangat mengagumkan. Kalau pun masih tersisa kekaguman, maka
itu kini bercampur dengan kecemasan dan kecurigaan.

Yang mencemaskan dan mencurigakan bukanlah akibat-akibat


negatifnya saja, melainkan sesuatu yang lebih mendasar, yakni
sisi-sisi ideologis, kerangka dasar ontologis, beserta doktrin-
doktrin metodologisnya. Kaum feminis, misalnya, suka sekali
membayangkan kiprah ilmu dan teknologi sebagai salah satu
benteng kokoh dominasi perspektif patriarki. Di sana realitas,
khususnya alam, bagaikan kaum perempuan yang tak berdaya
dieksploitasi, diinterogasi dan dipaksa untuk membukakan
rahasia-rahasianya.

186
Paul Feyerabend –fisikawan yang berkiprah dalam filsafat ilmu-
telah menohok sisi ideologis sains yang baginya telah menjadi
opressif terhadap jenis-jenis pengetahuan lain, sama dengan
kelakuan agama di masa pra-modern. Jenis-jenis pengetahuan
tradisional, klenik, dan sebagainya. cenderung didiskreditkan
dihadapan sains, sementara bagi Feyerabend, sains sendiri
sebenarnya tak memiliki otoritas lebih dibanding ilmu
pengetahuan lain.

Secara ontologis, gambaran dunia (worldview) Newtonian yang


material-atomistik ala sains pun makin hari makin diragukan.
Meskipun hingga kini masih problematis dan masih diperdebatkan,
toh melalui Fisika Kuantum ada tendensi makin kuat kini untuk
melihat materi / masa sebagai interkonvertibel dengan energi,
atau partikel interkonvertibel dengan gelombang. Artinya ada
tendensi kuat untuk melihat unit terdasar realitas sebagai non-
material.

Dan lebih jauh lagi, juga bertentangan dengan paham Newtonian,


segala hal kini cenderung dilihat sebagai saling terkait dalam
suatu jaringan interdependensi keseluruhan. Bahkan pandangan
dasar sains yang cenderung “substansialistik” pun kini berubah
ke arah pengutamaan “flux” (aliran) ataupun “web” (jaringan),
yang niscaya mengubah pola berpikir tradisional sains ke arah
yang secara radikal berbeda.

Dan pada tingkat sosio-kultural, revolusi elektronik membuat


kita makin hari makin hidup dan berinteraksi pada tingkat
“virtual” dalam ruang-ruang maya. Aliran gelombang elektron
makin memungkinkan kita berinteraksi tanpa terlalu tergantung
lagi pada kondisi fisik material. Kontradiksi klasik antara tubuh
dan jiwa kini pun menjadi terasa kuno.

Secara epistemologis dan metodologis, filsafat ilmu telah


menyingkapkan betapa konsep-konsep pokok dalam dunia sains
macam “penalaran logis” (rasionalitas), “kebenaran”,
”objektivitas”, “observasi”, dan sebagainya, sebetulnya sangat
bermasalah.

187
Logis atau tidak logis, rasional atau irasional, kini dilihat erat
terkait pada gambaran dunia (world view ) yang partikular dan
struktur bahasa yang digunakan.

Berbagai kultur memiliki gambaran dunia yang khas dan struktur


bahasa yang khusus. Dan ini melahirkan cara berpikir dan logika
yang khas pula. Gambaran dunia ala Hindu melahirkan logika
tentang Chakra, atau gambaran dunia ala Taoisme misalnya
melahirkan logika unik tentang jalur-jalur meridian dalam
praktik akupunktur.

Dan logika-logika tersebut memang merupakan cara berpikir


yang sungguh berbeda dengan cara pikir sains yang gambaran
dunianya pun lain.

Logika tidaklah mesti satu seperti diyakini dahulu. Konsep


tentang “kebenaran” pun telah berubah, kini orang menemukan
berbagai kemungkinan arti konsep tersebut. Kebenaran bisa
dilihat secara berbeda dari sudut korespondensi, koherensi,
pragmatis, performatif, eksistensial, disclosive, ataupun
relasional.

Yang jelas, kini secara umum ada keyakinan bahwa dalam dunia
manusia tak ada realitas yang murni tanpa tafsir. Segala
pernyataan tentang realitas yang kita buat adalah selalu tafsiran
versi manusia. Yang dahulu diklaim sebagai “hukum alam” oleh
sains, kini hanya dilihat sebagai produk sementara hasil tafsir
manusia yang memiliki tingkat kemungkinan tinggi.

Alam sendiri persisnya bagaimana hukumnya tak sepenuhnya bisa


kita ketahui, atau bisa dirumuskan dengan berbagai kemungkinan.
Yang dapat kita tangkap hanyalah aspek-aspek tertentu saja dari
perilaku alam itu.

Tentang “objektivitas” pun kini tak mungkin lagi kita


membayangkannya sebagai sesuatu yang “murni” sesuai dengan
kenyataan alamiahnya. Tiap klaim tentang objektivitas adalah
hasil observasi. Dan observasi tak pernah netral, selalu
dipengaruhi imajinasi maupun horizon intelektual si pengamat,
ditentukan oleh faktor retoris dan sosiologis dalam komunitas
ilmuwan sendiri, maupun oleh faktor historis yang membuat

188
ilmuwan sudah selalu berpikir ke arah tertentu tanpa disadari,
dan sebagainya.

Objektivitas kini hanya bisa dimengerti sebagai “Konsensus


intersubjektif”. Pendeknya, ada begitu banyak persoalan intern
yang dihadapi oleh sains, yang akhirnya menunjukkan bahwa hasil
dari sains sebetulnya tendensius, diliputi banyak unsur
“kepercayaan” dan kebiasaan, tak sepenuhnya objektif-murni dan
netral-universal, dan dalam kiprahnya bermuatan kepentingan
ideologis tertentu.

Akibat dari semua kritik itu maka kini kita menyaksikan suatu
zaman baru di mana segala jenis pengetahuan tradisional,
astrologi, prana, klenik, dan berbagai bentuk pengetahuan
supranatural (yang secara ganjil biasa disebut pengetahuan
“Metafisik”) yang dahulu diharamkan kini dengan leluasa hidup
berdampingan dengan sains.

Dalam berbagai kasus sains justru belajar dari berbagai jenis


pengetahuan aneh itu. Sedangkan para saintist yang masih setia
pada kerangka positivisme klasik dengan segala kaidah
objektivistik-empiris-kuantitatifnya kini kerap dituding
sebagai kaum reduksionis sempit atau para pengidap realisme-
naïf yang kedaluwarsa. Tentu tudingan itu masih perlu
diperdebatkan, sebab perkaranya sesungguhnya cukup kompleks.

Filsafat

Sepanjang sejarahnya filsafat telah berusaha untuk mengatasi


tegangan antara kecenderungan akal untuk membentuk kerangka
teoritis formal tentang realitas kehidupan ini di satu pihak, dan
di pihak lain kenyataan bahwa realitas kehidupan dialami sebagai
sesuatu yang senantiasa mengalir, berubah, tanpa bentuk yang
pasti dan menyangkut demikian banyak aspek sekaligus.

Plato meyakini bahwa refleksi akal budi manusia mampu


menyaring peristiwa-peristiwa real yang partikular dan unik
dalam rangka mendapatkan idea yang inti, abadi dan universal.
Dan fokus refleksi mesti diarahkan pada persoalan “kebenaran”
yang bersifat abstrak.

189
Aristoteles agak lain prosedurnya. Yang inti dan universal itu
tidak didapatkan terutama melalui refleksi. Hakikat dari realitas
itu terdapat dalam kenyataan duniawi ini, dalam gerakan dan
perubahannya.

Maka yang diperlukan bukanlah merenungi kebenaran pada tingkat


abstrak, melainkan memahami hakikat gerakan dan perubahan itu
sendiri saja. Tidak ada dunia abstrak ide-ide inti tersendiri.
Abstraksi hanyalah prosedur cara kita memahami realitas
konkrit.

Para filsuf Abad Pertengahan berada di antara kedua tradisi itu


namun dengan keyakinan baru bahwa wahyu Tuhan menjamin
ditemukannya inti semesta kehidupan. Realitas pengalaman
sendiri tak memungkinkan manusia sampai pada yang inti. Wahyu
Tuhan akan membantu memahami realitas melalui rahmatNya dan
penyelenggaraan-illahiNya sendiri. Pada tingkat formulasi
manusiawi sendiri kita hanya akan sampai pada rumusan-rumusan
negatif (teologia negativa), sebab bahasa-bahasa kita selalu
terbatas. Di sini tentu saja filsafat lantas bercampur baur dengan
teologi.

Pada abad ketujuh belas tugas filsafat dipahami secara lain lagi.
Untuk Descartes, misalnya, tugas filsafat adalah membangun
sebuah sistem pengetahuan yang akan mendasari segala bentuk
pengetahuan lain (sains) dengan tingkat kepastian tinggi bagai
kepastian matematis.

Kepastian dasar ditemukan pada penalaran itu sendiri:saya


bernalar maka saya ada (cogito ergo sum). Berdasarkan
proposisi-proposisi macam itu dilakukanlah penalaran dan
penarikan kesimpulan lanjutan secara logis ketat. Sistem filsafat
yang kokoh dan rasional akan muncul dari sana.

Empirisme Inggris sempat mengoreksi kecenderungan filsafat


Cartesian yang menekankan sentralitas penalaran subjek itu dan
mengubah fokus filsafat ke arah pengalaman inderawi konkrit.
Hasil material dari gelombang empirisme ini memang sangat
meyakinkan

Sains berkembang pesat dengan cara pengukuran, kuantifikasi dan


penghitungan data dari pengalaman inderawi itu. Namun tendensi
190
oversimplifikasi dan reduksionistik dalam empirisme ini toh
tetap menggelisahkan dan merupakan persoalan yang tetap
meradang di balik permukaan. Persoalan ini kelak akan muncul
kembali di akhir abad 20.

Namun sementara itu pada abad delapan belas bagaimana pun juga
sains beserta teknologi yang dihasilkannya memang menyilaukan
pandangan. Perkembangan pengetahuan saat itu sangatlah
mengundang antusiasme, sedemikian hingga hakikat
“pengetahuan” dan “penalaran” menjadi tema utama permenungan.

Para filsuf abad pencerahan lalu percaya bahwa aneka ragam


pengetahuan sesungguhnya hanyalah manifestasi saja dari akal
yang universal dan homogen. Penalaran akal adalah sesuatu yang
sama bagi setiap orang, setiap bangsa atau tiap zaman. Berbagai
paham yang akar kulturalnya berbeda sekalipun bila direnungi
akan sampai pada prinsip-prinsip rasional yang sama, permanen
dan universal.

Maka berdasarkan “logika fakta” yang positivistic-empiristik,


dikombinasikan dengan ambisi Cartesian yang rasionalistik,
filsafat abad pencerahan terobsesi hendak mencari pondasi
paling kokoh dan tak tergoyahkan bagi pengetahuan.

Tegangan yang mesti dihadapinya lalu adalah: di satu pihak secara


“internal” subjek harus mengandalkan kemampuan logika
nalarnya, di pihak lain ia perlu mencerminkan kenyataan
“eksternal” juga seakurat dan sepasti mungkin lewat daya tangkap
inderawinya.

Tegangan antara ambisi foundationalism dan tendensi


representationalism ini berlanjut terus sejak Descartes, Locke,
Kant hingga Hegel, dan bermuara pada Husserl.

Persoalannya adalah bahwa, proyek ontologis macam itu de facto


telah mendorong filsafat menjadi ego-logis, antroposentris dan
monolitik; tapi juga mengakibatkan sains menjadi
instrumentalistik.

Akibat dari ini semua adalah menguatnya sisi ideologis filsafat


dan pengetahuan Barat, yang dampaknya adalah: segala jenis
pengetahuan lain dianggap non-ilmiah dan tidak valid ( dalam

191
politik ini menampakan diri dalam berbagai tendensi fasisme
yang totaliterian dan destruktif); eksploitasi alam besar-
besaran hingga melahirkan persoalan ekologis yang parah;
meriapnya pola berpikir pragmatis instrumental yang
menganggap sepele penalaran reflektif yang menyangkut nilai dan
makna, dan dengan itu melahirkan pemiskinan moralitas,dan
sebagainya.dan sebagainya

Ambisi pencerahan itu bermuara pada Husserl, dalam arti bahwa


di satu pihak ambisi Husserl sendiri adalah hendak membetot
filsafat menjadi dasar ilmu pengetahuan yang paling logis ketat
(rigorous science; strenge wissenschaft) sebagaimana dirindukan
oleh tradisi metafisik Platonik-Cartesian, di pihak lain
gagasan-gagasan yang dikembangkannya justru memberi peluang
besar untuk menghancurkan ambisi metafisika itu sendiri, bahkan
mengakhirinya. Memang ironis.

Salah satu gagasan pokok Husserl yang bagai pedang bermata dua
itu adalah gagasannya tentang Lebenswelt atau Life-world, yaitu
anggapan bahwa dunia yang paling dasar, paling primer dan paling
real sebetulnya adalah dunia pengalaman yang dihayati sehari-
hari, dunia pra-reflektif, dan pra-ilmiah, yang mengalir begitu
saja, dengan bentuk yang tak jelas (amorf) dan sudah selalu
multidimensi.

Dunia sains atau realitas ilmiah “objektif” hanyalah konstruksi,


idealisasi, abstraksi atau interpretasi atas dunia pra-reflektif
primordial itu. Realitas pra-reflektif itu sendiri adalah sesuatu
yang mengatasi kategori subjek-objek.

Itu adalah dunia pengalaman asli di mana subjek dan objek,


beserta segala kualitas bercampurbaur. Sedang “pengalaman
empiris” versi dunia sains sebetulnya bukan sungguh-sungguh
pengalaman, sebab disana banyak kualitas penting dihilangkan
berhubung tak bisa diukur atau diulang, misalnya: sentuhan, bau,
perasaan, rasa moral, nilai, jiwa, kesadaran, bahkan ruh.

Fenomenologi Husserl ini, kita tahu, kemudian dikembangkan oleh


Heidegger dan para filsuf yang mengikutinya (Gadamer, Ricoeur,
dan sebagainya) menjadi tradisi Hermeneutik, yang kini membawa
filsafat pada salah satu puncak otokritiknya yang menghancurkan

192
diri sendiri dalam berbagai gelagat yang biasa disebut dengan
istilah longgar “Postmodernisme” (yang kontroversial itu).

Namun refleksi lanjut yang sama pentingnya sebetulnya adalah


dari filsuf Merleau-Ponty. Berangkat dari gagasan Husserl
tentang life-world tadi, Ponty memperlihatkan bahwa persepsi
adalah kontak primordial kita dengan dunia, satu-satunya modus
untuk membentuk makna realitas (Being).

Pada dasarnya persepsi itu pra-sadar, pra-personal, dan mewujud


lewat kebertubuhan kita. Kebertubuhan itu sendiri sebagian
besarnya pra-sadar. Nah oleh sebab di sana kita berhadapan
dengan realitas pra-sadar, maka filsafat (fenomenologi) adalah
soal bagaimana mendeskripsikan realitas itu ke tingkat
kesadaran, bukan pertama-tama soal analisis atau pun tafsir.

Persepsi adalah background yang melatari segala tindakan. Dan


dunia bukanlah objek, yang hukum-hukumnya tinggal kita tangkap
saja. Dunia adalah medan alamiah kesadaran. Kesadaran yang
akhirnya menyadari ketergantungannya pada ketidaksadaran,
pada kehidupan pra-reflektif.

Konsekuensi penting dari hal ini adalah bahwa gagasan kita


tentang “inti terdalam” atau “essensi” realitas bukanlah tujuan
filsafat, melainkan sarana saja untuk mengenali dan memberi
makna keterkaitan pra-sadar kita dengan dunia. Kita terlampau
menyatu dengan dunia itu untuk bisa menyadari hidup kita
sendiri, maka kita membutuhkan gagasan-gagasan itu untuk
menaklukan dan menyingkapkannya.

Kesatuan dasar dengan dunia itu lebih langsung tampil dalam rupa
perasaan, hasrat, perilaku, dan penilaian spontan, ketimbang
dalam pengetahuan objektif ilmiah. Perasaan, hasrat, dan
sebagainya itu adalah semacam “bahasa sebelum bahasa”. Segala
pernyataan tekstual dan ilmiah yang kita buat hanyalah berbagai
upaya tak berkesudahan untuk mengartikulasikan dan
menterjemahkan pengalaman kesatuan mendasar itu

Filsafat selalu mencoba menyelesaikan persoalan dengan mencari


evidensi apodiktik atau mengacu pada kebenaran abadi. Tapi bagi
Ponty kita sudah selalu berada dalam wilayah kebenaran, sudah

193
selalu mengalami kebenaran, yaitu pengalaman menyatu dengan
dunia tadi.

Maka dengan begitu Merleau-Ponty menggeser pusat gravitasi


filsafat dari kesadaran Subjek ke pengalaman kesatuan dengan
dunia. Semua pengetahuan kita berakar pada postulat-postulat
makna yang telah muncul sepanjang sejarah. Filsafat perlu
memanfaatkan segala khasanah makna itu sambil tetap selalu
memperkarakannya dalam kaitan dengan pengalaman konkrit

Dalam rangka itu misalnya, ketika kini muncul kesadaran baru


bahwa realitas adalah jaringan hubungan-hubungan, maka dalam
berfilsafat pun diperlukan metafor-metafor baru dan cara
pandang baru.

Lama sekali filsafat Barat memahami realitas dengan metafor


arsitektural. Para filsuf bicara tentang bagaimana membuat
“bangunan“ sistem, mencari “pondasi” yang kokoh untuk itu, dan
sebagainya.dan sebagainya. Barangkali metafor yang kini relevan
adalah misalnya “jaringan hubungan”, bukan “bangunan” dan
“pondasi”.

Deskripsi kita tentang keberadaan kita di dunia ini bisa


berragam-ragam, dan itu mesti dilihat sebagai jaringan konsep
dan model saja, yang tak mesti membutuhkan suatu “pondasi”
tunggal. Segala jenis pengetahuan (ilmiah, klenik, tradisional,
magis, mistik, dan sebagainya) itu di satu pihak masing-masing
otonom, di pihak lain bersilangan bahkan bertumpang tindih dan
saling terkait juga. Ilmu yang berkaitan dengan Chakra atau
Prana, misalnya bisa bersinggungan dengan wacana tentang
“energi” di bidang Fisika, atau dengan perkara “ruh” dalam
wilayah pengetahuan mistik religius, dst.dst.

Di sana masing-masing ilmu bisa saling merumuskan diri lebih


tajam melalui perbandingan dengan satu sama lain, sekaligus juga
saling mengambil inspirasi dari masing-masing. Dengan demikian
setiap bidang keilmuan bisa dilihat sebagai saling “bersarang”
dan mendapat daya hidup dari satu sama lain.

Filsafat di sana lantas hanyalah membantu membawa pada


kesadaran apa yang sesungguhnya terabaikan atau bahkan
disingkirkan dalam sistem-sistem pengetahuan itu. Juga filsafat
194
dapat memperjelas pola-pola pemahaman yang berlaku dalam tiap
sistem itu, bagaimana interpretasi dan idealisasi pengalaman
disana dipercayai dan dipertahankan, misalnya.

Maka filsafat tak lagi mesti menjadi suatu sistem yang “all
encompassing” . Ia hanyalah perenungan reflektif lebih jauh
tentang berbagai cara bagaimana realitas kehidupan ini dipahami
dan bagaimana makna-makna diciptakan, dengan selalu
mengaitkannya kembali ke medan pengalaman-pengalaman
konkrit.

Bagi mereka yang belajar filsafat secara klasik, boleh jadi ini
akan dilihat sebagai tahap ketika filsafat kehilangan identitas
atau mengalami degradasi. Tapi dari sudut lain bisa saja ini
dilihat justru sebagai proses evolusi.

Agama

Orang umumnya meyakini bahwa millennium ketiga ini ditandai


dengan bangkitnya kembali kehidupan religius. Maka abad ini
sering disebut sebagai abad post-sekular, abad dimana
sekularisme atheistik dianggap tak lagi meyakinkan sebagai
kerangka pandang.

Ada berbagai unsur yang telah mengangkat religiusitas kembali


menjadi primadona, dan umumnya bukanlah karena daya tarik
agama-agama itu sendiri an sich. Religiusitas bangkit sebagian
karena ideologi-ideologi besar ambruk, sebagian lagi karena
dunia sains sendiri akhirnya sampai pada fenomena-fenomena
yang berkaitan dengan eksistensi suatu intelegensi kosmik
transenden, sebagian lain karena kehidupan modern sekular
akhirnya mengakibatkan gejala umum kekosongan batin mendalam,
dan sebagainya, dan sebagainya.

Bersama dengan naiknya religiusitas, justru agama-agama tampil


sebagai penuh persoalan. Ini memang ironis.

Agama bagaimana pun adalah produk dari perkembangan kesadaran


bangsa manusia.

195
Mengikuti Eliade dan Huston Smith, yang meski terasa simplistik
toh ada gunanya untuk melihat peta besar, babakan awal
kehidupan agama bisa disebut sebagai periode “Arkhaik”, yaitu
ketika agama-agama berfokus pada realitas ilahi yang metafisik
dan mengatur perilaku umatnya dalam ritual dan mitos yang
ketat.

Babakan kedua adalah periode “Axial”, yang bersama dengan


munculnya para nabi macam di Israel, Persia, India, Cina, hingga
Arab fokus bergeser ke arah nilai etis. Kesalehan vertikal dalam
ritual dan pengakuan doktrin tidak cukup, religiusitas menuntut
komitmen nilai dalam hubungan manusiawi horizontal.

Babakan ketiga adalah periode “Modern”, ketika bersama dengan


penyebaran ajaran, agama-agama mengalami pembakuan doktrin
dan pembentukan jaringan institusi.

Pada tahap ini agama banyak berfokus pada perkara struktur.


Struktur ajaran dalam rupa pernyataan (proposisi) verbal maupun
wacana menjadi penting, tapi juga struktur organisatoris
mengalami perluasan dan perumitan.

Agama menjadi “logo-sentris” alias sangat nyinyir dalam soal


kalimat atau konsep, dan akrab dengan struktur-struktur
kekuasaan. Etos yang menghidupinya adalah etos “tanggung jawab”
sebagai “pemegang kebenaran paling murni”, tanggung jawab atas
keselamatan bangsa manusia

Tapi persis karakter-karakter yang terakhir itulah yang juga


menyebabkan agama saat ini menyandang banyak persoalan, yang
tersingkap kini justru ketika situasi zaman menyeret agama ikut
menjadi salah satu primadona juga.

Adalah idealisme tentang “tanggung jawab” itu yang juga telah


sempat melahirkan kolonialisme serta berbagai tendensi ke arah
penindasan dan kekerasan (perang, perbudakan, terorisme, dan
sebagainya.).

Ketika proposisi tertentu “disucikan” sebagai doktrin, agama


otomatis mendefinisikan tentang apa yang secara moral benar dan
apa yang salah, apa yang dianggapnya “kodrat” apa yang
bertentangan dengan kodrat.

196
Ini dengan mudah membawa konsekuensi bahwa segala ajaran lain
yang bertentangan dengannya akan dicap sebagai tidak sesuai
dengan “kodrat” kemanusiaan yang dikehendaki Tuhan, maka umat
pengikutnya pun bisa dianggap sebagai setan, ancaman berbahaya
terhadap kemurnian, dan akhirnya perlu ditaklukan, dibasmi, atau
dianggap saja warga kelas dua.

Semua itu justru karena rasa “tanggung jawab” itu. Berbagai


peperangan dan kekerasan religius selama ini adalah manifestasi
paling grafis dari tendensi tersebut. Semakin bersikukuh
mencanangkan “kemurnian” kebenaran dan tanggung jawab,
semakin besar tendensi agama-agama ke arah kekerasan.. Dan
konsekuensinya: justru semakin tak meyakinkanlah konsep
mereka tentang Tuhan bagi intelegensi zaman.

Namun yang lebih mengaburkan idealisme “tanggung jawab” adalah


aliansi antara yang suci dan kekuasaan.

Dalam masyarakat pra-modern dahulu kekuasaan sekular


tergantung pada penyuciannya (sanctification). Dengan
konsekuensi, kekuasaan sekular merupakan semacam sarana bagi
yang suci.

Dalam masyarakat modern sebaliknya, yang suci seringkali


tergantung pada kekuasaan sekular. Konsekuensinya, yang suci
menjadi sarana saja bagi kekuasaan sekular, terutama bagi
kekuasaan politik atau pun bisnis.

Pada kedua kemungkinan itu tendensi korup dan kesewenangannya


sama saja. Sisi tragis dari itu adalah bahwa korbannya tak lain
kewibawaan dan kehormatan agama-agama itu sendiri. Semakin
agresif dan kuat persekongkolan antara kekuasaan dan agama-
agama, sebenarnya semakin kehormatan agama-agama itu sendiri
terancam merosot dan rusak. Sayang ini tak mudah disadari.

Benar bahwa aliansi dengan kekuasaan sekular itu telah


memungkinkan agama membangun peradaban-peradaban manusia
yang dahsyat dan mengagumkan. Namun aliansi dan tendensi yang
sama jugalah yang kini menjadikan agama-agama bertendensi
patologis dan menjadikannya potensi paling destruktif yang
mampu menghancurkan peradaban manusia, lebih dari senjata
pemusnah massal apa pun.
197
Semua fenomena itulah yang mengakibatkan kini muncul tendensi
baru, yaitu di satu pihak religiusitas memang bangkit, namun pada
saat yang sama berkembang pula justru kecenderungan sikap
sangat kritis-berjarak terhadap agama sebagai doktrin, sistem
ritual maupun institusi; semacam tendensi post-dogmatis yang
lebih berfokus pada pengalaman eksistensial dan transendental,
“religion without religion”, kata John D.Caputo.

Tentu ini sekaligus beriringan dengan kutub lain yang persis


kebalikannya, yaitu tendensi ke arah fundamentalisme yang
dengan membabibuta memeluk sistem doktrin, ritual maupun
institusi, seringkali karena panik dan tidak mampu menghadapi
kemelut dunia yang sedang berkecamuk dalam aneka perubahan
yang memang membingungkan.

Makin terasa kacau dunia ini, makin kuatlah tendensi ke arah


fundamentalisme, makin kerdil martabat agama. Zaman ini
memang ditandai dengan demikian banyak paradoks. Agama-agama
besar, bila hendak dianggap masih berarti bagi peradaban, perlu
menghadapi berbagai persoalan multidimensi itu.

Diperlukan semacam redefinisi, pemahaman-diri baru: mesti


dipahami sebagai apa sebenarnya agama-agama itu. Jika tidak isu
kebangkitan agama hanya akan merupakan ilusi egosentris yang
kosong dan naïf.

Mendudukkan Perkaranya

Tentang sains

Hasil-hasil positif dari sains dan teknologi tentu tak bisa


diragukan. Yang perlu diwaspadai adalah aspek ideologis dan
paradigmatisnya.

Hasil-hasilnya yang memukau tak mesti berarti bahwa sains atau


iptek harus dianggap sebagai satu-satunya tolok ukur kebenaran
dan kesahihan pengetahuan. Intelegensi manusia masih jauh lebih
misterius dan lebih luas daripada yang bisa dikategorikan oleh
sains, apalagi oleh ilmu-ilmu eksakta.

Kini makin disadari bahwa kecerdasan di bidang religius (mistik),


politik, bisnis, seni, apalagi klenik, dan sebagainya. sebetulnya

198
tak sepenuhnya bisa dijelaskan dengan kriteria IQ,EQ, bahkan SQ
misalnya. Ada berragam jenis kecerdasan, berbagai jenis
pengetahuan, dan banyak bentuk “logika”. Dan tidak perlu ada satu
jenis meta-bahasa yang merangkum semua bahasa-pengetahuan,
satu logika yang seragam dan universal.

Jenis-jenis pengetahuan tradisional pun tak perlu baru merasa


sahih dan qualified hanya setelah dapat diterjemahkan dalam
bahasa sains. Suatu kerangka bahasa (logika) tak selalu bisa
diterjemahkan dengan persis kedalam kerangka bahasa (logika)
lain. Yang diperlukan adalah saling berinteraksi dan mengambil
inspirasi dari satu sama lain, saling memperkaya, tapi juga saling
memperkarakan, saling mengoreksi dan mempercanggih diri
melalui yang lain.

Namun di sisi lain, dalam beberapa aspek tertentu, sains memang


masih dapat dianggap memiliki beberapa keunggulan tersendiri
yang menyebabkannya layak mendapatkan privilese diantara jenis
pengetahuan lain. Selain hasil-hasilnya paling nyata dan meluas,
sains tetaplah merupakan etos terbaik dalam hal belajar dari
kesalahan dan pengalaman konkrit, dengan prinsipnya yang
menjunjung tinggi kejujuran, penalaran kritis, ketelitian,
keakuratan, keterbukaan pada wacana publik (transparansi)
maupun keketatannya pada pembuktian.

Secara sosiologis (politis) pun sains dan teknologi telah sangat


berjasa memungkinkan segala manusia di belahan bumi mana pun
terlibat dalam komunikasi intens dan penalaran bersama, dalam
kedudukan dan martabat yang sama, demi kepentingan bersama
(kendati di sana-sini tentu bisa terjadi distorsi yang tidak adil).
Terutama dalam arti yang terakhir itulah sains tetap bernilai
sentral. Dan kita tak perlu kembali ke zaman purba.

Yang mesti tetap dirawat dan dijunjung tinggi oleh Perguruan


Tinggi sebagai pengusung utama kehidupan sains adalah terutama
etos-nya itu, yaitu intensitasnya dalam belajar dari kesalahan,
dengan prinsip kejujuran, kekritisan, keterbukaan dan
sebagainya, itu; tapi juga komitmennya dalam bernalar bersama,
dalam kesederajatan, demi kepentingan bersama.

199
Tentang filsafat

Dari refleksi kritis para filsuf mutakhir memang kini ambisi


filsafat untuk mencari dasar terkokoh pengetahuan atau satu
kepastian dasar terdalam dan universal seperti sirna. Luruh pula
ambisi filsafat untuk menciptakan sistem pemikiran tunggal
monumental dengan logika ketat (rigorous).

Tapi nilai dan kebermaknaan filsafat tidak hanya di wilayah itu.


Filsafat tetap memiliki posisi unik dan signifikan terutama
dalam kemampuannya memetakan kait-mengait berbagai bidang
kehidupan manusia secara menyeluruh (yang tak mungkin
dilakukan oleh sains); dalam ketazamannya menyingkapkan
persoalan-persoalan mendalam peradaban manusia,yang
seringkali tersembunyi, pelik dan kompleks; dalam kenekadannya
menawarkan kemungkinan-kemungkinan baru untuk memahami
dunia dan kemanusiaan kita; tapi juga dalam kebrutalannya
memperkarakan dan menguncang-guncang lagi setiap kali banyak
hal yang telah lama kita yakini, agar pencarian kebenaran tetap
berjalan mengalir, tidak terperangkap dogmatisasi atau
mengalami stagnasi.

Dengan cara itu, dalam konteks perguruan tinggi, filsafat dapat


berperan membetot kembali setiap kali segala kiprah keilmuan
yang spesialistis itu ke arah persoalan nilai dan makna pada
tingkat pengalaman real maupun kemanusiaan global; tapi
sekaligus juga menarik kembali segala kiprah ilmu ke persoalan-
persoalan dasar teoritis-paradigmatis intern keilmuan sendiri.

Pengaitan kembali pada konteks eksternal maupun internal itu


adalah bagian esensial dari tanggung jawab keilmuan para
akademisi, sebagai ilmuwan maupun cendekiawan sejati. Ini terasa
urgen justru ketika Perguruan tinggi dan dunia keilmuan umumnya
kini keasyikan terbenam dalam perspektif pragmatis dan motif
ekonomis.

Perguruan tinggi tak boleh hanya menjadi balai pelatihan tukang,


supermarket ilmu atau bursa gelar. Kehormatan dan nilainya
terletak pada posisinya sebagai ajang proses interaksi
kecendekiawanan, dan dengan itu sekaligus sebagai benteng kokoh

200
dimana martabat dan harkat kemanusiaan, peradaban dan
kehidupan dirawat serta dipertahankan.

Tentang agama

Dalam konteks peradaban sesungguhnya agama tetaplah bisa


dilihat sebagai oasis yang mampu menyuburkan sisi-sisi terbaik
manusia, sebagai “the mind in all the mindlessness of the world”
atau “the heart in the heartless world”. Tapi juga sebagai upaya
yang tak pernah berhenti untuk mewujudkan cita-cita luhur yang
“tak mungkin” sampai menjadi mungkin.

Sayangnya itu semua sering terkubur oleh antusiasme berlebihan


yang membabi buta, oleh kesempitan wawasan, oleh krisis
identitas, oleh nafsu kekuasaan, atau pun egosentrisme kekanak-
kanakan. Dan dengan itu agama malah justru menjadi bahaya laten
paling destruktif bagi peradaban.

Perguruan tinggi, terutama yang menyandang nilai-nilai agama


secara eksplisit, perlu ekstra waspada terhadap ironi-ironi yang
kerap tak disadari itu.

Iman bukanlah hanya perkara perasaan dan hati. Antusiasme


perasaan yang berlebihan bisa berdampak keluar ngawur dan
mengerikan, apalagi bila agressi dihayati sebagai kesalehan.
Dalam berhadapan dengan kompleksitas kehidupan dan peradaban,
iman perlu juga dijernihkan dan dimatangkan oleh akalbudi. Hati
dan perasaan pun perlu diasah dan dididik oleh penalaran.
Meksipun sebaliknya juga benar.

Tapi yang lebih pokok lagi barangkali adalah bahwa iman itu soal
perbuatan, bukan perkara institusi atau pun proposisi (dogma).
Dan agama, dogma atau pun kitab suci jelas bukanlah Tuhan itu
sendiri.

Perguruan tinggi, yang senantiasa mencari kebenaran, mesti


selalu berani meletakkan Tuhan -sang kebenaran itu- sebagai
sesuatu yang masih perlu dicari. Keyakinan berlebihan bahwa
kebenaran ilahi sudah ada ditangan mudah sekali membuat kita
merasa mampu membaca pikiran Tuhan. Dan itu hanya satu langkah

201
untuk menganggap diri kita Tuhan itu sendiri, lantas dengan
mudah kita mengadili dan menghukum yang lain.

***

XXXI. 12 Juni: Goenawan Mohamad: “Sebuah Tempat yang Bersih dan Lampunya
Terang untuk Sains”

SEBUAH TEMPAT YANG BERSIH DAN


LAMPUNYA TERANG UNTUK SAINS
-Untuk A.S. Laksana dan lain-lain

Berilah aku satu kata puisi

daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji

yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi

yang kukasih. Angkasa ini bisu. Angkasa ini sepi.

Tetapi aku telah sampai pada tepi. Dari mana aku

tak mungkin lagi kembali.

— Soebagio Sastrowardojo, “Manusia Pertama di Angkasa Luar”,


(1961)

Di bulan April 1961, Yuri Gagarin, penerbang AU Uni Soviet, menjadi


“kosmonaut” pertama yang, dengan mengendarai kapsul pesawat
ruang angkasa Vostok I, berhasil diorbitkan mengelilingi bumi. Ia
hidup di ketinggian 187 mil dan kembali ke dunia setelah 89 menit.
Tepuk tangan gemuruh dari segala penjuru buat prestasi ilmu dan
teknologi Uni Soviet. Gagarin, manusia pertama di angkasa luar,
menjadi pahlawan jenis baru dalam sejarah.

202
Tak lama setelah itu Penyair Soebagio Sastrowardojo menulis
sajaknya yang saya kutip di atas. Bukan sebuah puja-puji, tapi
sebuah gambaran suasana lain: si manusia pertama di angkasa luar
merasa terasing, kesepian, terbuang jauh dari bumi yang dicintainya.
Ia merasa jadi korban “seribu rumus ilmu pasti yang penuh janji”. Ia
merindukan sebuah alternatif: puisi, sepatah kata puisi.

Sajak ini dengan pedih menggugat ilmu dan teknologi justru di saat
kemajuan dua komponen peradaban itu mencapai taraf yang
menakjubkan. Suara sajak Soebagio adalah ungkapan pesimisme
terhadap sains.

***

Sajak itu bukan suara muram pertama tentang sains dan teknologi
dalam karya sastra.

Di tahun 1895, terbit karya H.G. Well “Time Machine” (kemudian


difilmkan di tahun 1960). Kisahnya berporos pada penemuan seorang
ilmuwan Inggris yang hidup di zaman Ratu Viktoria: sebuah mesin
yang bisa membawa manusia mengarungi waktu dengan sangat cepat
ke masa depan dan ke masa lalu.

Ia sendiri mencoba ke tahun 802701.

Alkisah, sang Pengarung Waktu sampai ke sebuah tempat yang


dikelilingi gedung-gedung agung, dan dihuni manusia yang cantik
tapi malas dan tidak cerdas — mungkin satu antitesis bagi
optimisme zaman itu yang menggambarkan kemajuan manusia masa
depan.

Di tahun 1932 terbit novel “distopia” yang lebih termasyhur —lebih


menakutkan — “Brave New World”, karya Aldous Huxley. Huxley
berkisah tentang London tahun 2540, ketika manusia adalah makhluk
yang dimanipulasi teknologi.

Novel dibuka dengan adegan di Central London Hatcheries and


Conditioning Centre. Di situ ribuan embrio manusia yang sama
ditaruh dalam deretan botol. Embrio-embrio itu disiapkan untuk
jadi lima kasta manusia. “96 anak kembar identik akan mengerjakan
96 mesin yang identik”. Semua ditertibkan. Narkoba yang diberi nama

203
“soma” dibagi gratis ke semua warga World State, agar patuh. Seks
bebas adalah wajib.

Novel berakhir dengan tokohnya, John, bunuh diri. Ia anak haram


yang lahir di Cagar Budaya Liar di Meskiko dan kemudian hidup di
London. Di ujung cerita John menyiksa orang, mencambuki diri
sendiri, ikut dalam sebuah orgi, dan akhirnya menghabisi nyawanya
sendiri.

Di tahun 2003 terbit novel Margaret Atwood, “Oryx and Crake”.


Tokohnya Jimmy, mungkin satu-satunya manusia yang tersisa di
dunia. Manusia lain, manusia versi lama, telah diubah rekayasa
genetik atau dibinasakan tablet BlysssPluss. Crake, jenius yang
menciptakan pil itu, memang berencana membasmi homo sapiens.
“Yang diperlukan”, katanya, “adalah terhapusnya satu generasi. Satu
generasi apa saja. Kumbang, pohon, mikroba, ilmuwan, orang-orang
yang omong Prancis, apa saja”. Ia ingin merekayasa makhluk jenis
baru yang lebih ramah lingkungan.

Distopia lain kita bisa ikuti dalam film: kita kenal “Blade Runner
2049”. Atau, lebih menyentuh, “AI, Artificial Intelligence”.

Dalam film Steven Spielberg dari tahun 2001 ini, para teknolog
menciptakan “Mecha”, robot-robot canggih yang mirip manusia.
Seorang ilmuwan menghasilkan “David”, robot bocah yang bisa
mencintai orang tempat ia ditempatkan dengan cinta yang tak bisa
pudar. Ia juga bisa cemburu dan berambisi. Si David ingin seperti
Pinokio, boneka yang jadi manusia. Ditinggalkan di dekat hutan oleh
Monica, “ibu angkat”-nya, dan tersesat ke mana-mana, ia mencari
Peri Biru yang ia yakini akan bisa menyulapnya jadi bocah.

Beribu tahun kemudian, ia menemukan apa yang dicarinya. Tapi Peri


Biru tak sanggup. David pun pasrah. Ia hanya minta ibu angkatnya
yang ia cintai dihidupkan kembali. Satu-satunya harapan itu
terkabul. Ia bisa ketemu kembali sang ibu, meskipun sebentar. Satu-
satunya tanda “happy ending” adalah ketika si robot bocah
mendengar Monica berbisik, seraya memeluknya di tempat tidur,
“Aku sayang kamu, David, aku selalu sayang kamu”.

***

204
Kritik kepada sains, kekecewaan pada “seribu rumus ilmu pasti yang
penuh janji”, tak hanya dalam karya sastra dan film. Di tahun 1918,
di Universitas Munchen, Max Weber berpidato di depan para
mahasiswa, dengan judul “Wissenschaft als Beruft” (“Sains sebagai
Panggilan”). Weber, sosiolog termasyhur yang menganalisa dunia
modern dengan suram, menyebut apa yang baginya “cacat” ilmu-ilmu
alam: sains tak pernah menanyakan asumsi dasarnya sendiri, tak
pernah menanyakan makna hidup — hidup yang konon hendak
diperbaikinya, bahkan diperpanjangnya.

***

Tiap zaman punya Jeremiahnya sendiri. Karya-karya sastra dan film


yang saya sebut di atas bisa dianggap sebuah caveat, sebuah
peringatan “awas, hati-hati, jangan jumawa,” ketika sains dan
teknologi dianggap mampu menjawab segala hal.

Novel seperti “Brave New World” dan “Oryx and Crake” tentu saja
hiperbolik — mungkin seperti pesan parau Jeremiah dalam
Perjanjian Lama. Mereka melipat-gandakan kegelapan hidup di
bawah dampak negatif sains. Tapi dengan dorongan ethis —tak jauh
beda dengan peringatan agar masyarakat mewaspadai kekuasaan yang
hendak mengatur hidupnya.

Lagipula, ada yang bukan fiktif dalam thema Jeremiah ini. Kasus
pestisida Monsanto yang baru terjadi seharusnya tak dilupakan
mereka yang berbicara tentang sains dengan opimisme habis-gelap-
terbit-terang. Sains pegang peran pembantu yang penting dalam
drama ini.

Sebuah lembaga yang didengar di mana-mana, ILSI (Internasional


Life Sciences Institute) telah membuat sains dibayar tinggi. Ia adi
penjaga kepentingan bisnis pestisida. Dari sini, atau dari institut
seperti ini, pelbagai rekomendasi ilmiah ditulis mendukung produk
yang akan dijual ke masyarakat — produk yang sebenarnya belum
diuji secara semestinya.

Tapi zaman berubah. Konsumen dan pasien kini punya akses ke


informasi tentang diri mereka. Di akhir 1990-an, meledak
konfrontasi di sekitar penyebaran tanaman pangan yang secara
genetik dimodifikasi (GMO).

205
Perdana Menteri Prancis tahun 1997 itu, Alain Juppe, melarang
penggunaannya; ia dituduh menentang sains. Tapi pembangkangan di
kalangan petani meluas. Akhirnya terungkap bahwa produk Monsanto
itu memang menebar racun di kalangan petani Eropa dan Amerika.

Isabelle Strengers, seorang filsuf yang banyak menulis tentang


sains, menyebut konfrontasi itu “GMO event”. Dalam “In Catastrophic
Times” yang terbit pada 2015 digambarkan momentum yang
menyadarkan orang banyak di Eropa bahwa sebuah persoalan sains —
dalam hal ini sains tentang tanaman dan genetika, “genetic modified
organism” — pantas direbut dari wali penjaganya: saintis.

Tersirat dalam “GMO event” adalah sebuah sanggahan: sains tak mesti
dilihat sebagai hasil adiluhung yang layak memandu pengetahuan
lain.

***

Tapi hari-hari ini, entah kenapa, tilikan kritis atas sains akan
dianggap “anti-sains”. Atau dinilai meremehkan sains. Atau, lebih
buruk lagi, memberi mesiu kepada apa yang saya sebut Jorge-isme.

Jorge-isme saya pakai dari nama biarawan tua yang ganas dalam
novel Umberto Eco, “Il nome de la rosa”. Rahib Jorge sosok agama
yang memusuhi humor dan menhgharamkan pertanyaan-pertanyaan
sebagai penghujatan. Dalam konteks kita, kaum Jorge-is adalah para
agamawan dan pengikut mereka yang dengan dogma mempertahankan,
misalnya, keyakinan bahwa bumi datar dan homoseksualitas sebuah
dosa.

Saya tak menaruh simpati kepada Jorge-isme. Tapi menganggap


kritik kepada sains berarti mendukung dogmatisme, itu prinsip
totaliter: “yang tak bersama kita berarti bersama musuh”. Dari
sikap seperti itu, saking sengitnya menghadapi Jorge-isme, bisa
tumbuh dogmatisme lain — dogmatisme saintis.

Apalagi saintisme merasa sejiwa dengan sains, dan sains dianggap


parameter kebenaran. Para pendukung pandangan ini, seperti
Posivitisme di Eropa abad ke-19, menganggap sains modern satu-
satunya jalan ke kebenaran. Dengan sengit, tiap kritik kepada sains
dianggap bagian dari usaha mengepung, menghantam, dan

206
mendeskreditkan sains — dan itu berarti kebodohan, takhayul,
kemunduran.

Paranoia ini tak membuka penjelajahan lain untuk memahami


bagaimana kita, manusia, mengetahui dan menafsirkan dunia. Para
apologis neo-positivisme tak menunjukkan keinginan merenungkan,
ada apa dengan praktik GMO dalam kapitalisme Barat. Atau ada apa
dengan Dokter Josef Mengele dalam Naziizme, yang menggunakan
ilmunya untuk pembantaian orang Yahudi. Atau dengan Lysenko,
pakar biologi dan agronomi Stalin yang memaksakan “kebenaran”
dalil-dalilnya untuk dilaksanakan para petani, dengan akibat
kelaparan besar.

Kejahatan itu bukan kejahatan sains, tentu. Tapi agaknya perlu


ditelaah, jangan-jangan ada yang “gerowong” dalam sains.

***

Dalam tulisan sebelum ini saya menguraikan kritik Husserl terhadap


sains modern yang dipelopori Galileo di Italia diabad ke-7: apa yang
oleh Husserl disebut matematikasi (Mathematisierung) ilmu-ilmu
alam.

Bagi yang belum baca saya coba ikhtisarkan;

Dalam sains modern yang dipelopori Galielo, benda-benda kongkrit


dalam dunia-kehidupan diterjemahkan menjadi konsep; dengan kata
lain, menjadi “ide”: air untuk menyiram bunga di vas itu, air dingin
di botol di ransel saya, air parit yang mengalir di seberang kebun,
masing-masing unik, berubah-ubah. Tapi mereka perlu punya
identitas.

Maka bahkan dalam masa pra-sains, semuanya dikelompokkan ke


dalam satu konsep “air” melalui abstraksi. Abstraksi berarti
menarik (asal katanya “abstrahere”) aspek yang sama dari tiap-tiap
kasus; berdasarkan aspek yang sama itu, dibentuk sebuah identitas.

Maka “air” pun hadir sebagai ide — hasil dari peng-ideal-an


(Idealiserung) benda di alam yang kita alami dengan tubuh kita
sehari-hari. Pada “air” sebagai ide diterapkan lambang kimia H2O.
Jika diperlukan, H2O diidentifikasi dalam volume tertentu, dan
didapatkan Berat Jenisnya, katakanlah 1000kg/m3.

207
Tentu saja tak ada yang salah dengan matematika. Tak ada yang
muram sebagaimana dilihat A.S. Laksana dalam tulisan saya. Jika
dibaca dengan cara seksama, akan tampak saya tak menafikan
perkembangan sains yang menakjubkan itu, setelah berkal-kali
disodori (juga oleh Sulak), katalog sumbangan sains bagi peradaban.

Kita tahu apa syarat agar sains ada. Ia memerlukan objek yang bisa
diulangi secara persis, dalam proses eksperimen. Mengikuti metode
yang benar, air yang dipakai dalam tabung di laboratorium X harus
sama dengan yang di laboratorium Y, untuk dapat kesimpulan yang
akurat. Dalam proses itu, sang air adalah sesuatu yang konsisten,
stabil, jelas, persis, tak ambigu. Untuk itu, matematisasi sangat
membantu.

Jadi, Sulak, bagi saya tak ada yang muram dengan matematika. Yang
“muram” ialah apabila dunia diterjemahkan semuanya sebagai wujud
yang dimatematiskan.

Husserl menulis kemungkinan ini ketika ia mengatakan (dalam


terjemahan bebas saya): “Matematika dan sains matematis, sebagai
jubah ide (“Ideenkleid”), atau jubah simbol yang diambil dari teori
matematis, menyelimuti tiap hal, tiap benda — dan oleh ilmuwan, hal
itu diterima sebagai wakil sah dunia-kehidupan”.

Husserl tak sendirian. Alfred North Whitehead menyebut itu contoh


FMC, “the Fallacy of Misplaced Concreteness”.

Yang ingin saya katakan, yang muram adalah bila hasil kalkulasi
dihadirkan sebagai benda itu sendiri. Yang muram adalah jika hutan
dilihat hanya sebagai sekian ribu pohon, sekian jumlah flora dan
fauna, sekian hektar luas untuk dipertukaran dengan harga sekian
rupiah — dan kita pun mengabaikan rindang dan teduhnya, warna-
warni daunnya, aroma humus di dalamnya. Lebih muram lagi jika kita
memandang manusia lain sebagai sekian jam tenaga kerja, sekaligus
dilihat nilai rupiahnya.

Sains “an-sich” tentu tidak memperlakukan makhluk hidup seperti


itu. Tapi dunia yang dipandang (bahkan dikonsruksikan) dengan
pendekatan ilmu-ilmu alam — meskipun sangat pas untuk
eksperimen dan ekspolitasi — adalah sebuah dunia tanpa makna.
Hidup dan matinya tak terkait hidup matiku, hidup matimu.

208
Itu berarti manusia memerlukan yang lain, yang bukan-sains. Seni,
misalnya.

***

Sains dan seni hari-hari ini tak dikonfrontasikan. Maka menarik —


dan bagi saya menyenangkan — dalam jawabannya untuk saya, Sulak
mengutip Richard P. Feynman. Fisikawan pesohor ini mencoba
menemukan persamaan rasa estetis antara dia dan temannya dalam
memandang sekuntum bunga.

Feynman seperti biasa pintar bercerita, tapi dalam soal yang satu
ini ia kedodoran.

Katakanlah ia, seperti diutarakannya sendiri, orang yang peka akan


keindahan. Tapi ia keliru memahami perbedaan dasar antara sikap
estetik dan sikap ilmiah.

Baiklah saya jelaskan dengan membalas Sulak lebih dulu. Sulak


mempersoalkan satu kalimat dalam tulisan saya yang lalu ketika
membahas sains: ‘“Mengetahui” adalah membuat pigura atas
realitas’.

Agaknya ia kurang paham kalimat itu. Saya bisa memaklumi. Kami


berbeda pengalaman.

Pengalaman saya: saya belajar histologi di tahun 1961. Salah satu


yang tiap praktikum saya lakukan adalah menatap preparat dengan
mikroskop. Histologi menelaah mikroanatomi sel, jaringan, dan
organ. Untuk mempertahankan dan menjaga struktur jaringan dan sel
pada preparat, digunakan “fixative” kimia. Melalui mikroskop saya
bisa melihat bentuk sel yang seperti palet pelukis, lengkap dengan
warna-warni. Tapi elemen biologis manusia ini disiapkan sebagai
preparat yang statis. Ia hanya sel. Ia baru dimatikan, dan di
mikroskop ia menampilkan nukleusmya, mitokondria, atau
cytoplasma.

Sejak itu saya melihat bagaimana biologi, sebagaimana sains pada


umumnya harus memberi “pigura” atau “frame” atas realitas. Harus
ada kerangka seperti preparat itu; “pigura” itu bisa berwujud tabung
di laboratorium, bahkan sebuah hipotesis, bahkan sebuah teori.
Harus ada asumsi bahwa yang kita telaah sesuatu yang mandeg;

209
“fixative” itu bisa jadi rujukannya. Kita tahu bahwa yang kita
observasi berubah terus menerus, apalagi ia unsur biologis, tapi
kita harus titis, akurat, dalam telaah kita. Kita harus siap hasil
penelitian kita mesti diuji. Untuk itu, seperti sudah saya katakan di
atas, objek penelitian harus bisa diulang dengan persis.

Maka sains pun mau tak mau bertolak dari sesuatu yang berhenti di
satu lokasi. Ini tak cocok dengan realitas —dan disebut Alfred
North Whitehead sebagai ESL, “Error of the Simple Location”.

ESL adalah akronim sebuah kesalahan; ia asumsi yang keliru, bahwa


objek penelitian kita mandeg — pandangan salah yang dimulai oleh
Newton. Tapi berdasar teori elektromagnetisme dan temuan
mekanika kuantum, Whitehead melihat realitas sebagai proses. Ia
menyebutnya “event”. Dalam pandangan dia, dan saya setuju, tiap
realitas berubah. Preparat X yang saya lihat pukul 13:00 bukan lagi
preparat X yang saya lihat pukul 12:58.

Tapi sains tak bisa menerima sebuah “event” sebagai objek


penelelitian.

Dari sini kita bisa mengerti kenapa bagi Whitehead, sains tidak
mungkin meliputi, mencakup, mengartikan segala-galanya.

Misalnya suasana senja di sebuah pelabuhan kecil.

***

Ini kali tak ada yang mencari cinta

Antara gudang, rumah tua, tiang serta temali.

Kita baca sajak Chairil Anwar yang terkenal, “Senja di Pelabuhan


Kecil.” Sajak itu membawa kita seperti sebuah kamera film yang
bergerak, dalam proses, berpindah-pindah (antara camar, gudang,
rumah tua, tiang serta temali, laut yang hilang ombak, juga suasana
murung), tanpa urutan yang ditata. Seluruhnya melintas, seketika.
Tiap hal bukan ditemukan dari analisa.

Adorno menyebut momen seperti itu sebagai momen “mimesis”: sang


penyair dengan empati seakan-akan “masuk menyusup”
(“anschmiegen”) ke dalam lanskap senja di pelabuhan itu.

210
Berbeda dengan Feynman. Sebagaimana dikutip Sulak. Feynman
membandingkan dua kasus: (A) bagaimana sekuntum bunga dilihat
temannya (seorang seniman), dan (B) bagaimana bunga yang sama ia
lihat (ia sebagai seorang ahli fisika):

“Saya melihat lebih banyak lagi tentang bunga itu daripada yang dia
lihat. Saya bisa membayangkan sel-sel dan tindakan-tindakan rumit
di dalamnya yang juga memiliki keindahan. Maksud saya bukan hanya
keindahan pada dimensi satu sentimeter; ada juga keindahan pada
dimensi yang lebih kecil, struktur bagian dalam.”

Tampak, observasi Feynman bersifat analitik, menangkap sentimeter


demi sentimeter dalam objek (“bunga”); ia tak langsung menangkap
keseluruhan-(Gestalt)-nya. Itu sebabnya ia merasa yakin
mengatakan “saya melihat lebih banyak lagi tentang bunga”
dibanding yang dilihat teman senimannya.

Tapi sebenarnya apa yang ia hitung? Bagaimana ia bisa


membandingkan?

Berbareng dengan itu, Feynman menganggap “keindahan” sebagai


sesuatu yang di luar atau berjarak dari si bunga. “Keindahan” bagi
Feynman adalah sesuatu yang di-“milik”-i objek. Sementara dalam
sajak Chairil Anwar, “keindahan” — atau sesuatu yang mempesona,
menyentuh hati — bukan sesuatu yang di-“milik”-i oleh lanskapa
senja itu; ia tak terpisah dari benda, alam, manusia dan suasana hati.

Beberapa belas tahun yang lalu saya pernah, bersama Arief Budiman,
memperkenalkan satu metode yang menampik pendekatan analitik
seperti itu ke dalam karya sastra. Arief menamainya “metode
Ganzheit”: di sana ditekankan bahwa dalam proses menikmati karya,
kritikus dan pembaca langsung meresapkan karya itu dalam
totalitas, Ganzheit-nya — seakan-akan langsung masuk ke dalam
karya; posisi subjek dan objek berbaur.

Di sana, tak ada “bifurcation of nature”. Di sana alam tidak


dipersepsikan seperti dibagi-bagi, terpisah-pisah — ala perspektif
sains modern yang dikritik Whitehead dalam “The Concept of Nature”.

***

211
Whitehead — Alfred North Whitehead. Rasanya kini saatnya saya
bicara lebih panjang tentang tokoh ini.

Pertama, karena saya merasa perlu menjawab Sulak. Kedua, karena


pemikir ini — seorang matematikawan, juga filsuf sains awal abad
ke-20 yang ternyata bisa disebut sejiwa dengan perspektif
“postmodernisme”, dan punya banyak persamaan dengan Deleuze.
Whitehead punya pandangan lain tentang sains.

Izinkan saya mulai dengan yang pertama.

Sulak menilai terjemahan bebas saya atas satu kalimat Whitehead


dalam pengantar “An Introduction to Mathematics” sebagai tindakan
“menyembunyikan”, “mereduksi”, “membuat disinformasi”.

Seorang teman menganggap di sini Sulak “lebay”. Saya lebih


menganggapnya “bingung”. Entah kenapa. Ada dua kemungkinan: atau
pikiran Sulak lagi ruwet atau bahasa saya yang sungguh ruwet.
Pendeknya Sulak menganggap bahwa dengan terjemahan saya,
Whitehead “dihadirkan untuk membuat kampanye hitam tentang ilmu
yang ia cintai”.

Lho.

Saya tak mengubah arah makna kalimat Whitehead. Saya tak


memotong kata-kata Whitehead yang menyebut matematika sebagai
“great science”. Dalam terjemahan dan kutipan itu saya tunjukkan
bagaimana Whitehead menghargai tinggi matematika, sebuah disiplin
yang muskil, yang tak mudah untuk dikuasai — seperti hantu ayah
Hamlet dalam lakon Shakespeare. Maka Whitehead memperingatkan:
jangan gegabah, jangan sembarangan mempergunakannya untuk
menerjemahkan alam semesta.

Apakah itu “kampanye hitam” buat matematika?

Terjemahan selalu mengandung tafsir atas teks. Kalaupun tafsir saya


atas teks bisa saja tak sama dengan tafsir Sulak, tak berarti saya
melakukan “disinformasi”. Yang pasti, saya tak menunjukkan
Whitehead sebagai pembenci ilmu yang disebutnya sebagai “ratu
geometri” ini. Saya perkirakan Whitehead seperti Sulak, yang
menyatakan matanya berbinar-binar memandang matematika.

***

212
Tapi ketimbang menghabiskan energi buat mempertengkarkan
perkara sampingan ini — “a silly pedantry”, kata orang Inggris —
saya lebih baik menengok lagi Bab V buku yang sama. Ada yang
mengingatkan saya kepada guru favorit saya di sekolah menengah.

Ketika saya belajar geometri, ia memberi pesan: “Ilmu ini jangan kau
pikir akan kau pakai untuk jadi insinyur dan membangun jembatan.
Di sini kamu harus seperti tak melihat ruang atau garis — hanya
angka-angka. Yang akan kamu dapat latihan berpikir keras dan
teratur”.

Saya kagum akan kata-kata itu — tapi “An Introduction to


Mathematics” memberi saya kearifan: manusia tak selalu harus
berpikir keras dan teratur.

Dalam Bab V buku ini Whitehead bicara tentang simbol-simbol


matematik dan perannya, dengan sedikit sejarah.

Lambang-lambang matematika membantu manusia “membuat transisi


dalam penalaran hampir-hampir secara mekanistis melalui mata”.
Dengan adanya lambang, kata Whitehead itu, manusia tak perlu
mengerahkan “kemampuan yang lebih tinggi dari otak”.

Bertolak dari sini, Whitehead menunjukkan betapa salahnya anjuran


yang diulang-ulang agar kita “cultivate the habit of thinking of
what we are doing”. Sebab kemajuan peradaban terjadi, kata
Whitehaed, bersama makin banyaknya kerja penting yang dapat kita
lakukan tanpa memikirkannya. “Kerja pikiran”, “operations of
thought”, katanya seraya menggunakan metafor peperangan, “itu
seperti serbuan pasukan kavaleri”: jumlahnya sangat terbatas,
“mereka membutuhkan kuda-kuda yang masih segar”, dan sebab itu
harus dilakukan “hanya pada saat yang menentukan.”

Dari sini kita lihat pandangan Whitehead tentang prestasi manusia:


sebuah paduan “kerja pikiran” yang bergotong-royong dengan kerja
tubuh (dalam menelaah matematika, ada peran “mata” yang mengindra
lambang-lambang). Pengalaman manusia dalam istilah Whitehead
adalah “kebersamaan” (togetherness) dari pelbagai elemen —tubuh
dan pikiran, kesadaran dan alam.

Dari premis ini, dalam “The Concept of Nature” Whitehead mengritik


sains modern, yang teorinya menjelaskan pengalaman hanya

213
“semata-mata secara intelektual” (“a purely intellectual rendering
of experience”), dan dengan pikiran yang analitik menghasilkan
“bifurcation of nature”, ide tentang alam yang terbagi-bagi. Ada
yang dianggap “primer”, yakni sisi yang bisa dikuantifikasikan. Sisi
yang kualitatif, misalnya nilai estetik, warna dan bau, itu
“sekunder”.

Dalam perkembangannya, sisi yang “primer” itu diposisikan untuk


menjelaskan sisi “sekunder”. Dengan bentuk matematis, sisi ini tak
bicara sendiri. Maka warna, misalnya, tak lain hanya frekuensi-
gelombang elektromagnetik.

Menguraikan “bifurcation of nature”, suara Whitehead seperti


murung. Dalam “Modes of Thought” ia menulis: “The concrete world
has slipped through the meshes of the scientific net”.

Itulah mula bukanya sains modern. Whitehead menamakannya


“materialisme”, yang menganggap alam sebagai himpunan materi,
yang mengartikan waktu sebagai deretan bagian-bagian yang satu
dimensional.

Whitehead anggap ini “buta” karena hanya berdasar satu sisi


pengalaman manusia. Juga keliru. Karena, seperti dilakukan sejak
Newton, sains modern “meniadakan moda intuitif kita [buat
memahami dunia]”. Sains modern gagal menangkap alam sebagai
“togetherness of things”.

Tapi sains modern ini mujur, kata Whitehead, karena dirumuskan di


zaman ketika pemikiran ilmiah sedang segar-segarnya. Ia
mendominasi bahasa dan imajinasi sains semenjak sains berkembang
ramai di Alexandria. Ia berlanjut terus, sehingga sulit hari ini kita
berbicara tanpa menerapkannya.

Tak berarti Whitehead menolak sains. Kritiknya ditujukan ke arah


kekekeliruan sains modern, ketika bertopang pada FMC, “fallacy of
misplaced concreteness” — ya, kepada kekacauan membaca dunia-
kehidupan. Bagi Whitehead, sains modern keliru menganggap dunia
yang dibentuk dalam konsep, (dalam kata-kata Husserl, ditutupi
“jubah ide”), seolah-olah itu sang realitas sendiri.

214
Dengan semangat “empirisme radikal”, Whitehead menganggap salah
jika sains hanya berkelana dalam abstraksi — dan melalaikan yang
konkrit di dunia dan nasib manusia.

Tapi ia tak bersikap ekstrem. Ia tahu abstraksi dalam sains (bahkan


dalam bahasa) tak bisa ditiadakan, hanya perlu diperbaiki. Ia cuma
ingin sains tak menjauh, bahkan selalu berkelindan, dengan
pengetahuan lain.

Sebab kita tak mengalami dunia hanya dengan akal. Realitas adalah
sebuah “event”, “kejadian” yang berproses terus. Dalam tiap
kejadian, hubungan berlangsung antara “objek-objek inderawi”
(suara, warna, aroma) dan “objek ilmu” (molekul, gelombang
elektromagnetik), dan gabungan keduanya.

“When you undertand all and all about the atmosphere and all about
the rotation of the earth, you may still miss the radiance of the
sunset.”

Dalam konstelasi itu, sains tetap akan berada di “tempat yang bersih
dan lampunya terang”, untuk meminjam satu kalimat Hemingway.
Sains bukan anggota masyarakat pengetahuan yang patut dicurigai.
Tapi — dan ini sekali lagi saya ucapkan dalam polemik ini —ia tak
perlu dipromosikan ke markas komando, menjadi otoritas tertinggi
untuk kebenaran dan kebijakan.

***

Jakarta, 12 Juni 2020.

XXXII. 12 Juni: Taufiqurrahman: “Menghindari Jebakan Skeptisisme dan Fideisme”

MENGHINDARI JEBAKAN
SKEPTISISME DAN FIDEISME
Tanggapan untuk Goenawan Mohamad

Goenawan Mohamad, dalam tanggapannya untuk catatan saya,


membuat setidaknya delapan komentar. Oleh karena itu,
sebelum menjelaskan perbedaan posisi saya dengan Goenawan
dalam masalah sains yang menjadi topik utama polemik ini, saya

215
akan terlebih dahulu menanggapi komentar-komentar tersebut
satu per satu.

***

Saya mulai dari komentar kedua—komentar pertama akan saya


simpan untuk bagian berikutnya. Di bagian ini, Goenawan
menyebut kritik saya sebagai “satu penilaian yang mirip ad
hominem ” (Sic!).

Tidak, Mas Goen.

Argumentum ad Hominem itu bagian dari sesat pikir


irrelevansi. Tidak semua serangan terhadap pribadi itu bisa
dikategorikan sebagai ad hominem . Sejauh ia relevan dengan
pokok soal yang dibicarakan, maka ia bukan ad hominem.
Serangan terhadap pribadi bisa disebut ad hominem hanya jika
digunakan untuk menyangkal argumen seseorang tanpa
pembuktian. Jika, semisal, Anda mengatakan “Merokok itu tidak
baik bagi kesehatan” lalu saya menjawab “Lah, Anda sendiri
merokok”, maka itu berarti saya telah melakukan ad hominem .
Di situ, alih-alih membuktikan pernyataan Anda keliru, saya
malah membuat serangan terhadap pribadi Anda yang
sebenarnya tidak relevan dengan kebenaran atau kekeliruan
pernyataan Anda.

Namun, jika saya mengatakan “Goenawan punya kebiasaan buruk


dalam menulis” dengan didasari beberapa pembuktian, maka
klaim itu, meskipun berupa serangan terhadap pribadi, sama
sekali bukan ad hominem . Mirip pun tidak. Ia adalah hasil dari
proses penyimpulan.

Hal itu sama dengan saat Goenawan menyebut saya tidak


mengerti kata ‘caveat’. Itu juga bukan ad hominem —bahkan
meskipun frase ‘tidak mengerti’ di situ diganti dengan kata
‘goblok’ atau ‘dungu’. Sebab di situ Goenawan melakukan
pembuktian terhadap kekeliruan saya— dan, oleh karena itu,
saya meminta maaf, saya keliru memilih kata ‘protes’ sebagai
aposisi bagi ‘caveat’.

Namun, poin utama saya di bagian itu sebenarnya adalah bahwa


Goenawan melakukan disinformasi dengan mengutip Popper

216
tanpa konteks. Pandangan Popper bahwa “scientific knowledge
as the best and most important kind of knowledge we have”
sudah ditegaskan di awal— dan persis poin ini yang diabaikan
oleh Goenawan.

Sikap abai Goenawan yang lain adalah saat ia tidak membedakan


antara sains dan kebijakan sains (science policy). Sains
tetaplah upaya pencarian kebenaran yang —dalam pengertian
Popperian—berarti “pencarian teori yang secara objektif benar
dan bersifat menjelaskan”; sedangkan apa yang dikemukakan
Goenawan dalam komentarnya itu —mulai dari soal pendanaan
riset, penerjemahan temuan ilmiah menjadi inovasi teknologi,
hingga upaya menjadikan sains sebagai panglima dalam
perumusan kebijakan publik— adalah kebijakan sains. Itu
adalah dua hal yang berbeda.

Pertanyaannya: apakah adanya kebijakan sains bisa mengubah


sifat sains —sebagaimana ditengarai oleh Goenawan?

Tentu saja bisa.

Sudah banyak contoh-contoh praktik saintifik yang ternyata


hanya sekadar pesanan untuk menjustifikasi kebijakan tertentu
atau kepentingan ekonomi-politik tertentu. Ini adalah contoh
malapraktik di dalam sains: sains tidak lagi mencari kebenaran,
tetapi mencari pembenaran. Dan ini tidak hanya terjadi pada
sains, tetapi juga bisa terjadi pada agama, budaya, dan bentuk-
bentuk otoritas lainnya. Namun, adanya malapraktik seperti ini
tidak lantas membatalkan argumen mengapa sains layak menjadi
panglima. Sebab malapraktik itu hanyalah ekses dari posisi
sains yang dipercaya sebagai panglima; sedangkan dasar
mengapa sains layak dipercaya sebagai panglima adalah karena
ia secara epistemik bersifat progresif.

Bukankah, sebagaimana diwanti-wanti Goenawan, posisi sains


sebagai panglima itu akan menghalangi progresivitas
epistemiknya? Benar, tetapi itu adalah konsekuensi praktis
yang sebenarnya juga bisa diperbaiki secara praktis. Artinya,
sains masih mungkin memiliki progresivitas epistemik
meskipun diposisikan sebagai panglima dalam perumusan
kebijakan publik.

217
Dengan demikian, apa yang kita butuhkan di sini agar sains
tetap memiliki progresivitas epistemik adalah kritik terhadap
(mala)praktik saintifik, bukan menghalangi sains dari menjadi
dasar perumusan kebijakan publik.

Mungkin Goenawan akan menjawab: sains tetap tidak bisa


menjadi dasar kebijakan publik karena “sains tak
mempertanyakan semua, dan sebab itu tak menjawab semua”.
Betul, sains memang tidak berpretensi menjawab semua
persoalan. Sains —dalam arti spesifik: ilmu alam— hanya
berupaya menjawab soal-soal dunia alamiah. Maka, dalam hal
ini, kritik Husserl dan Heidegger terhadap sains tentu saja
benar. Namun, bagi sains sendiri, itu tak terlalu jadi soal.
Sebab sains, tak seperti fenomenologi, memang tidak hendak
menangkap dimensi subjektif manusia dalam pengalamannya
berhadapan dengan dunia. Sains justru berupaya mengetahui
dunia sebagaimana ia ada dalam dirinya, bukan dunia
sebagaimana yang dialami manusia. Dunia yang ingin diketahui
sains adalah dunia yang keberadaannya tidak bergantung pada
pengalaman dan pikiran manusia (mind-independent world),
dunia yang objektif, ada di sana.

Dunia semacam itu bisa diakses oleh manusia melalui


matematika, bukan melalui fenomenologi transendental
ataupun melalui kata-kata penuh metafora. Mengapa? Quentin
Meillassoux, filsuf Prancis yang menjadi salah satu dentuman
besar dalam sejarah filsafat Barat abad XXI, memiliki
penjelasan menarik tentang hal ini. Di dalam After Finitude
(2008), Meillassoux menulis:

“… all those aspects of the object that can be formulated in


mathematical terms can be meaningfully conceived as
properties of the object in itself. All those aspects of the
object that can give rise to a mathematical thought (to a
formula or to digitalization) rather than to a perception or
sensation can be meaningfully turned into properties of the
thing not only as it is with me, but also as it is without me.”

Sifat-sifat objek, sejauh dapat diformulasikan ke dalam bahasa


matematis, adalah sifat yang objek yang independen dari
persepsi atau sensasi kita, sifat yang tidak hanya ada karena
218
kita ada, tetapi juga bisa ada meskipun kita tidak ada. Dengan
kata lain, ia adalah sifat objek di dalam dirinya, bukan objek
sejauh terpersepsi oleh kita.

Dalam istilah John Locke, sifat semacam ini disebut sebagai


kualitas primer (primary qualities) —yang dibedakan dari
kualitas sekunder (secondary qualities) seperti warna, panas,
dan bau. Panas, misalnya, adalah kualitas objek yang baru
muncul begitu ada relasi antara subjek dan objek, begitu subjek
menyentuh objek pembawa sifat panas.

Karena ia muncul oleh adanya relasi subjek-objek, maka


tingkat kepanasan objek yang sama akan terasa berbeda bagi
subjek yang berbeda. Sedangkan temperatur, karena bisa
diformulasikan secara matematis, bukanlah kualitas yang
bergantung pada sensasi subjek.

Siapa pun subjek yang mengukurnya, temperatur dari objek yang


sama dalam kondisi yang sama akan tetap sama. Kualitas objek
semacam inilah yang merupakan kualitas primer, kualitas yang
menggambarkan kondisi objek dalam dirinya, yang terlepas dari
perasaan sentimentil seorang sastrawan atau bias ideologis
seorang politisi, misalnya.

Dengan demikian, sains, melalui perangkat matematisnya,


mampu menggambarkan dunia sebagaimana adanya, dunia yang
independen dari segala bentuk subjektivitas manusia.
Sedangkan fenomenologi justru hendak menyingkap dunia dalam
keterberiannya pada manusia. Artinya, prinsip fenomenologi
Husserl “Zurück zu den Sachen selbst!” (Kembalilah pada benda
dalam dirinya!) itu tidak lain adalah ajakan untuk kembali
kepada benda sejauh benda itu terberikan kepada kesadaran
manusia, bukan benda yang transenden dan independen dari
kesadaran manusia.

Oleh karena itu, dunia yang hendak ditangkap oleh


fenomenologi adalah dunia-kehidupan (Lebenswelt), dunia yang
dihidupi oleh (inter)subjektivitas manusia. Itulah mengapa,
meskipun fenomenologi memiliki banyak sumbangan penting
bagi ilmu-ilmu kemanusiaan, kritiknya terhadap ilmu alam
menjadi tidak begitu relevan.

219
Kembali ke soal sains sebagai panglima: jika sains memang
tidak menjawab semua soal, mengapa ia dijadikan sebagai
panglima? Di sini kita perlu melengkapi sains—dalam arti
spesifik: ilmu alam—dengan ilmu sosial-kemanusiaan. Artinya,
narasi “sains sebagai panglima” hanya bisa dipertahankan jika
sains di situ dipahami dalam arti luas yang mencakup ilmu alam
dan sekaligus ilmu sosial-kemanusiaan.

Dengan demikian, setiap kebijakan publik semestinya


didasarkan pada temuan-temuan ilmiah yang ada dalam ilmu
alam dan sekaligus ilmu sosial-kemanusiaan. Sebab jika bukan
kepada ilmu, kepada apa lagi kebijakan publik mesti
didasarkan? Kepada desas-desus dan propaganda? Tentu kita
tidak mau menanggung akibatnya!

Komentar Goenawan yang terakhir adalah soal saintisme.


Menurutnya, bahkan saintisme dalam pengertian Bunge
sekalipun itu problematik karena “menganggap pemakaian
pendekatan sains sebagai yang paling bagus”.

Saya kira di sini Goenawan tidak cermat membaca. Selain kata


‘best’ yang menjadi kata kuncinya, kita juga perlu
memperhatikan dua frase bertanda petik yang menjadi penjelas
dari ‘scientific approach’ , yaitu ‘the spirit of science’ dan ‘the
scientific attitude’. Artinya, bagi saintisme dalam pengertian
Bunge, yang sebaiknya diadopsi dalam memecahkan semua
masalah pengetahuan adalah ‘spirit sains’ atau ‘sikap ilmiah’:
sikap yang lebih mengutamakan bukti daripada keyakinan
pribadi.

Dalam pengertian ini, menolak saintisme berarti merayakan


pesta pora pascakebenaran dalam problem pengetahuan. Lebih
ekstrem lagi, penolakan terhadap saintisme juga bisa membawa
kita pada skeptisisme yang menolak kemungkinan adanya
pengetahuan. Posisi skeptis inilah —meskipun dalam tingkatan
tertentu— yang dapat kita temukan pada banyak tulisan
Goenawan.

***

Ketika saya menulis “Goenawan Mohamad memang seorang


peragu,” Goenawan menjawab: “Kayaknya Taufiq benar. Ragu
220
sering jadi awal filsafat dan ilmu—misalnya ‘keraguan
Descartes’, ‘Cartesian doubt’.” Apakah jawaban itu
mengandaikan bahwa Goenawan memang seorang Cartesian? Juga
apakah semua ragu sering menjadi awal dari filsafat dan ilmu?
Tidak! Goenawan bukan seorang Cartesian; dan tidak semua ragu
sering menjadi awal dari filsafat dan ilmu.

Dalam diskursus filsafat, ada pembedaan antara skeptisisme


metodologis dan skeptisisme filosofis; antara skeptisisme
sebagai sebuah metode dan skeptisisme sebagai sebuah doktrin.
Skeptisisme sebagai metode adalah upaya mencari dasar
pengetahuan yang kokoh dan pasti dengan meragukan klaim-
klaim pengetahuan terlebih dahulu. Itulah yang menjadi ciri
skeptisisme Cartesian. Descartes tak memperlakukan keraguan
sebagai doktrin, melainkan sebagai jalan untuk mencapai
pengetahuan yang tak teragukan.

Dalam pengertian ini, pernyataan Goenawan bahwa keraguan


sering jadi awal dari filsafat dan ilmu benar belaka. Sains
modern sedikit banyak memang mendapatkan pendasaran
epistemologisnya dari pemikiran Descartes. Namun, keraguan
Cartesian ini tidak mencakupi seluruh pengertian ragu.

Ada jenis ragu yang lain yang, alih-alih mengantarkan kita


pada pengetahuan, justru menghalangi kita dari tercapainya
pengetahuan. Itulah skeptisisme sebagai sebuah doktrin.
Skeptisisme jenis ini memiliki dua varian.

Varian pertama menolak kemungkinan pengetahuan sama sekali;


sedangkan varian kedua, karena menganggap tidak ada bukti
memadai bagi kemungkinan pengetahuan, menunda putusan
tentang semua pertanyaan terkait pengetahuan.

Jika varian pertama mengatakan bahwa kita tidak mengetahui


apa-apa kecuali bahwa kita tidak tahu apa-apa, maka varian
kedua tidak mengatakan apa-apa sebab, menurutnya, segala
klaim tentang pengetahuan harus selalu ditunda.

Varian pertama dikenal sebagai skeptisisme Akademik karena


dirumuskan di Akademi Platonik oleh filsuf seperti Arcesilas
(315-241 SM) dan Carneades (213-129 SM); sedangkan varian

221
kedua dikenal sebagai skeptisisme Pyrrhonian, nama yang
dinisbatkan pada tokoh awalnya: Pyrrho dari Elis (360-275 SM).

Oleh karena itu, begitu Goenawan mengafirmasi pernyataan saya


tentang dirinya sembari mengaitkannya dengan keraguan
Cartesian, saya hanya bisa heran dan geleng-geleng kepala.
Sejauh saya membaca beberapa tulisan-tulisannya, saya tidak
menemukan Goenawan yang Cartesian (Tolong koreksi jika saya
salah, Pak Goen!). Ia bahkan sering menyebut Descartes—dan
juga modernisme yang dilahirkannya—dengan nada negatif.
Semisal, pada Caping berjudul “Pigura” (30 Januari 1993);
“Montaigne” (20 Maret 1993); dan “Nippon” (1 September 2003).
Entah bagaimana caranya ia bisa mengasosiasikan dirinya
dengan keraguan Cartesian. Padahal, jenis keraguan yang sering
muncul dalam tulisan-tulisan Goenawan bukanlah keraguan
metodis, melainkan keraguan sebagai sebuah doktrin.

Skeptisisme metodis Cartesian tentu berbeda jauh dari


skeptisisme filosofis. Dengan keraguan sebagai metode, alih-
alih menolak kemungkinan pengetahuan, Descartes justru
berupaya mencari dasar pengetahuan— dan kemudian
menemukannya pada Cogito dan juga pada Tuhan yang tidak
mungkin menipu. Di situ keraguan hanyalah awal sebelum
kemudian sampai pada dasar pengetahuan yang takteragukan.

Sedangkan pada Goenawan, keraguan adalah awal sekaligus


akhir— sebab ia sudah jadi doktrin. Di awal ragu, di akhir tetap
ragu. Kecenderungan ini tampak, misalnya, pada pernyataan-
pernyataan berikut: “ …setelah akal berkuasa, akal tak lagi
sadar bahwa ada yang tak dapat dijangkaunya. Ada Entah yang
diabaikan” (“Entah”, 7 Maret 2020); dan “…selalu ada yang kita
belum tahu dan tak bisa tahu” (“Pakar”, 18 April 2020).

Itulah skeptisisme Goenawanian yang jelas berbeda dari


skeptisisme Cartesian. Hal itu setidaknya menunjukkan dua
soal.

Pertama, kebiasaan Goenawan berlindung di balik nama-nama


besar dan kekaburan.

Kedua, posisi epistemologis Goenawan yang problematik. Dalam


soal pertama, saya memperlakukan Goenawan sebagai persona;
222
sedangkan dalam soal kedua, saya memperlakukan Goenawan
sebagai paradigma. Soal kedua akan saya elaborasi lebih lanjut
di bawah ini.

***

Skeptisisme filosofis biasanya didasarkan pada argumen


kedaifan manusia. Manusia begitu lemah, sehingga ia tidak
mungkin mengetahui segalanya, bahkan—dalam bentuk
radikalnya—tidak satu pun pengetahuan yang mungkin ia punya.
Argumen kedaifan ini begitu sering muncul dalam tulisan-
tulisan Goenawan. Dalam “Babel” (19 Februari 2007), misalnya,
ia menulis:

“Agama yang sejati, katanya, selalu menyimpan rasa gundah


(uneasiness). Orang tahu, Tuhan yang disembahnya melampaui
takaran ‘manusia yang terbatas’. Semetara itu manusia sendiri
‘terus-menerus tergoda untuk lupa akan keterbatasan
kebudayaan dan peradabannya,’ dan mengira mampu menangkap
kebenaran yang terpuncak. Di situlah kisah Menara Babel
membantah: manusia memang piawai, tapi daif. Kita perlu hidup
bersama orang lain dengan (istilah saya) sebuah ‘etika
kedaifan’”.

Demikian juga dalam “Perspektif” (17 Juli 2017), Goenawan


menulis:

“Tapi modernitas mengandung antitesisnya sendiri.


Kepercayaan diri manusia sebenarnya tak kokoh. Berbareng
dengan kesadaran perspektif, geometri dan matematika tumbuh.
Sains makin canggih dan manusia makin tahu tak ada surga. Ia
juga ternyata tak mengendalikan bintang-bintang. Lewat
teleskop-teleskop baru, makin sering tampak galaksi yang tak
masuk hitungan—dan makin disadari betapa kecilnya bumi dan
betapa sedikitnya yang manusia ketahui…. Di saat itulah ia
mengenal kedaifan dirinya, mengenal yang-tak-terhingga”.

Mengapa pandangan epistemologis semacam itu jadi


problematik? Bukankah secara etik itu mengandaikan sikap
rendah hati? Mengakui bahwa kita tidak tahu segalanya memang
sebuah kerendahan hati. Namun, menetapkan batas bagi pikiran,
menghalangi pikiran dari akses pada pengetahuan, adalah jalan
223
mulus menuju fideisme irasional. Ketika nalar dibatasi, maka
apa yang dianggap berada di luar batas nalar hanya bisa digapai
dengan iman. Semakin sempit memberi batas pada nalar, maka
semakin luas wilayah yang diberikan pada iman.

Dalam konteks inilah, kita bisa memahami pernyataan Goenawan


yang tampak kontradiktif itu: “Di saat itulah ia mengenal
kedaifan dirinya, mengenal yang-tak-terhingga”. Jika (nalar)
manusia memang daif, bagaimana bisa ia mengenal yang-tak-
terhingga, yang dianggap berada di luar batas nalar yang
terhingga?

Jawabnya tentu melalui iman. Di situlah skeptisisme Goenawan


yang dibangun di atas dasar argumen kedaifan pada akhirnya
hanyalah tempat bagi tumbuh-kembangnya fideisme irasional.
Ini tentu bukan hanya hasil penyimpulan saya sendiri, tapi
bahkan tampak secara jelas, misalnya, di Caping berjudul
“Indonesia” (16 Juni 2008). Di situ Goenawan menulis begini:

“Itulah yang tersirat dalam iman. Kita percaya kepada Tuhan:


kita percaya kepada yang tak alang kepalang jauhnya di atas
kita. Ia Yang Maha Sempurna yang kita ingin dekati tapi tak
dapat kita capai dan samai. Dengan kata lain, iman adalah
kerinduan yang mengakui keterbatasan diri. Iman membentuk,
dan dibentuk, sebuah etika kedaifan”.

Dengan kata lain, bagi Goenawan, keterbatasan diri ini memaksa


kita untuk menggapai apa yang kita rindukan, apa yang berada
di luar wilayah kemampuan nalar, dengan iman. Dan hanya iman
yang mampu mengantar kita ke arah sana, sebab daya rasional
sudah dianggap begitu daif untuk bisa mengaksesnya.

Di sini, skeptisisme dan fideisme bukanlah dua tesis yang


niscaya bertentangan. Bahkan keduanya bisa saling
mengandaikan: kita butuh iman untuk mengatasi keterbatasan
atau ketidakmungkinan pengetahuan; dan —sebagaimana
dikatakan Kant dalam pengantar edisi kedua Critique of Pure
Reason— kita juga “perlu menyangkal pengetahuan untuk
memberi ruang bagi iman”.

Ini adalah sejenis jebakan: memilih ketidaktahuan atau memilih


pengetahuan tapi dalam bentuknya yang dogmatis. Namun,
224
sekali memilih salah satunya berarti kita memilih dua-duanya,
sebab itu satu paket.

Oleh karena itu, Meillassoux menyebut pembatasan terhadap


nalar itu memantik ‘an exacerbated return of the religious’,
‘kembalinya yang-religius yang lebih buruk’. Filsafat yang
memercayai kekuatan pikiran untuk mengenal yang-absolut
dicurigai sebagai sebentuk dogmatisme. Pikiran mesti
dikritisi, ditunjukkan batas-batasnya, bahkan klaimnya
tentang pengetahuan mesti ditunda, kalau perlu ditolak saja.
Itulah posisi skeptis terhadap pikiran rasional. Namun, begitu
pikiran ditetapkan batasnya untuk mengakses yang-absolut,
maka yang akan muncul di situ justru keyakinan religius (atau
‘puitika-religius’) terhadap yang-absolut. Artinya, mendesak
pikiran rasional mundur dari akses pada yang-absolut sama
saja dengan mempersilakan iman atau keyakinan religius untuk
kembali mengklaim yang-absolut.

Mengapa itu dianggap sebagai kembalinya yang-religius yang


lebih buruk? Karena pada saat itu, saat pikiran ditetapkan
batasnya, menjadi tidak sah secara rasional untuk
mendiskualifikasi diskursus irasional. Kita menjadi begitu tak
berdaya di hadapan klaim-klaim religius tentang apa saja. Kita
tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya mengutuknya.

Persis inilah yang terjadi dalam tragedi The Black Death


Persecutions and Massacres, ketika orang-orang Kristen pada
1349 membantai dan membakar hidup-hidup ribuan orang
Yahudi. Pengetahuan ilmiah didesak mundur, sehingga yang
muncul adalah klaim religius yang takberdasar bahwa pembawa
wabah kelam (Black Death) yang membuat Eropa kacau kala itu
adalah orang-orang Yahudi.

***

Berdasarkan penjelasan di atas, Goenawan sebagai sebuah


paradigma —atau singkatnya: Goenawanianisme— sebenarnya
adalah perpaduan antara skeptisisme filosofis dengan fideisme
irasional. Ia memberi batas pada pengetahuan untuk kemudian
pada saat yang sama memberi ruang pada iman. Iman di sini
tidak hanya dalam pengertian sempit sebagai keyakinan

225
religius, tetapi juga dalam pengertian luas yang mencakup
segala bentuk keyakinan subjektif.

Berbeda dari Goenawanianisme, saya mengakui perlunya


skeptisisme, tapi bukan skeptisisme filosofis, melainkan
skeptisisme metodis. Bersamaan dengan skeptisisme metodis
inilah, saya juga mengakui bahwa sains mungkin melahirkan
teori ilmiah yang bisa menjelaskan dunia sebagaimana adanya,
dunia yang independen dari manusia.

Para filsuf ilmu menyebut posisi ini sebagai realisme ilmiah.


Dengan posisi inilah, kita bisa menghindari jebakan
ketidaktahuan skeptisisme dan pengetahuan dogmatis fideisme.
Dengan kata lain, melalui realisme ilmiah, kita mungkin
memiliki pengetahuan tentang dunia meskipun bukan dengan
cara yang dogmatis.

XXXIII. 13 Juni: Asrudin Azwar dan Mirza Jaka Suryana: “Sains, Saintis, dan Vaksin
Corona: Jalan Keluar GM dan A.S. Laksana”

SAINS, SAINTIS, DAN VAKSIN CORONA:


JALAN KELUAR GM DAN A.S. LAKSANA
Penulis 1 adalah Peneliti, Pendiri The Asrudian Center; Penulis 2 adalah
Penerjemah, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional
Jakarta.

Akhir-akhir ini dunia sains mendapat sorotan dari para cendekiawan


kenamaan Indonesia di tengah mewabahnya virus Corona. Sorotan ini
terkait dengan peranan sains/saintis dalam menyikapi apa yang disebut
oleh ilmuwan politik Amerika Serikat Richard W. Mansbach sebagai
penyakit global.

Perhatian para cendekiawan itu pun melahirkan silang pendapat. Ini


bermula ketika A.S. Laksana (ASL) memposting artikel di FB – “Sains dan
Hal-Hal Baiknya” – untuk menanggapi Goenawan Mohamad (GM) yang
relativistik”. Dalam artikel itu, ASL memosisikan diri laiknya seorang

226
pembela positivisitik yang paling gigih. Memuja sains dengan segala
pesonanya.

Dengan percaya diri ASL mengatakan bahwa informasi saintifik membuat


pengetahuan kita membaik dan momentum berjangkitnya wabah, disadari
atau tidak, telah menjadi pendorong yang efektif bagi penerimaan kita
terhadap sains.

Tidak ada informasi yang bisa diandalkan kecuali yang datang dari
kalangan sains, dan yang terjadi kali ini sungguh menakjubkan: Orang tidak
mengamuk ketika mereka diminta menghentikan kegiatan-kegiatan
keagamaan yang bersifat kerumunan. Para pendakwah yang keras menjadi
lebih pendiam. Mereka mematuhi keputusan-keputusan yang dibuat
berdasarkan informasi saintifik.

Namun, ajakan untuk berkhidmat pada sains itu, kata ASL, telah disanggah
oleh GM. ASL menuding GM mengecilkan sains dengan menggunakan anekdot
tentang Einstein yang mengatakan Politik lebih rumit dibandingkan fisika.

Tapi GM tidak tinggal diam. Ia pun nenanggapi balik ASL dengan artikel,
“Sains dan Masalah-Masalahnya”. Dengan gayanya yang khas Heideggerian,
GM mengatakan bahwa “sains tidak berpikir”.

Dalam risalahnya, “Die Frage nach dem Ding”, Heidegger, sebagaimana


dikutip GM, menguraikan lebih lanjut keterbatasan sains dengan sifatnya
yang matematis. Ia menjelaskannya dengan merujuk makna yang tersirat
dalam kata “ta mathemata”. Arti kata Yunani itu, menurut Heidegger, “apa
yang kita ketahui tentang hal ihwal lebih dulu”. Sains bersifat matematis
karena ia tidak menangkap realitas sebagai sesuatu yang langsung, tanpa
mediasi, tapi sudah terlebih dahulu diposisikan dalam kerangka.

Menindaklanjuti silang pendapat itu, ASL dan GM tentu saja memiliki


argumen yang bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Tapi bukan
berarti keduanya bisa bebas dari kritik. Oleh karena itu, kami mengambil
sikap intelektual yang berbeda. Bagi kami argumen kedua cendekiawan itu
juga memiliki batasan.

Batasan Argumen

Sejarah sains boleh jadi ditulis berdasarkan keberhasilan yang telah


dicapai (positivistik ASL) atau kegagalan akibat masalah yang
disebabkannya (relativistik GM). Tapi bagi kami sejarah-sejarah
kepenulisan itu juga memiliki batasan.

227
ASL betul ketika mengatakan sejumlah keberhasilan sains. Tapi sayangnya
ia tidak menunjukkan batasan dari dunia sains. Apa benar capaian sains
begitu memesona, sehingga ia bisa bebas begitu saja dari kritik. Einstein
kita tahu merupakan seorang jenius. Berkat teori relativitas, ia berhasil
mengubah dunia keilmuan. Mengguncang fondasi fisika yang sudah
dimapankan Newton. Gravitasi itu bisa dilawan. Pesawat terbang
membuktikannya. Perkembangan dunia pun semakin pesat. Keterhubungan
menjadi tak terelakkan. Dalam waktu yang relatif singkat, manusia dapat
berada di manapun di belahan bumi.

Tetapi konsekuensi yang dihasilkan dari pembelotan Einstein terhadap


Newton tidak kalah besar. Melawan gravitasi membuat bumi semakin
terpolusi. Burung besi yang bisa terbang itu membutuhkan energi besar,
yang buangannya merusak lapisan ozon. Selama satu abad belakangan kita
mengalami perubahan iklim yang ekstrem. Dunia seolah tidak memiliki
harapan.

Contoh lain dapat dilihat saat Indonesia berhasil menciptakan varietas


padi unggul di tahun 1970-an. Keberhasilan sains ini rupanya memiliki
dampak yang menghancurkan. Pemerintah Orde Baru memperkenalkan
varietas unggul modern dari IRRI, IR5 dan IR8, yang memiliki produktivitas
tinggi, umur lebih genjah dan sangat responsif terhadap pupuk.

Pada 1971, varietas Pelita I-1 dan Pelita I-2 dilepas. Varietas ini berasal
dari persilangan IR5 dengan Sintha. Namun, bencana hadir. Dua varietas
padi unggul ini rentan terhadap hama wereng cokelat. Dikarenakan
kesesuaian mutasi genetika, hama wereng cokelat berevolusi menjadi lebih
ganas. Mimpi peningkatan produktivitas pun berantakan.

Anekdot padi unggul ini menunjukkan wajah Janus sains. Kaidah sains yang
dipahami selama ini begitu mengagungkan objektifitas, bersifat imparsial,
dan memperkosa realitas. Ia mengagungkan rasionalitas dan pengalaman-
pengalaman manusia. Melalui metode yang dilembagakan, pemerkosaan atas
realitas itu tidak dapat terhindarkan. Realitas ditundukkan berdasar
teori-teori yang sudah ditentukan sebelumnya.

Realitas harus mengikuti teori, bukan sebaliknya. Apologi saintis, yang


melembagakan metode ilmiah, sebagai bentuk pengakuan keterbatasan
sains, menjadikan ilmu pengetahuan sebatas praktik adopsi, verifikasi,
pengikutan kepada kebakuan. Persis di titik inilah, dunia keilmuan modern
sekadar menjadi sebuah produk yang tinggal lahap, bukan sebagai proses
yang terus menerus diolah.

Begitu pula dengan argumen relativistik GM. Ia juga memiliki batasan yang
perlu untuk dikritisi. Sebagai amunisi debat, argumen relativistik GM

228
tentu memiliki pesonanya sendiri. Dengan mengutip sejumlah nama filsuf
beken, seperti Husserl, Heidegger, Popper, dan lain-lain, GM memang
berhasil membuktikan masalah-masalah yang dihadapi oleh sains. Tapi
sekali lagi, argumen itu hanya menarik sebagai amunisi. Tak pernah lebih
dari itu.

Untuk itu, salah seorang ahli fisika partikel terbesar Edward Witten suatu
kali pernah menyindir argumen relativistik Thomas Kuhn dengan sinis.
Sindiran ini sejatinya berlaku juga untuk GM. Filsafat Kuhn, baginya, tidak
dianggap terlalu serius kecuali sebagai standar perdebatan, bahkan oleh
para pendukungnya sekalipun.

Untuk itu, argumen Kuhn yang relativistik terhadap sains, pun mudah
dipatahkan Witten. Ia melakukan itu cukup dengan satu kalimat pertanyaan
ringan: “Apakah Kuhn pergi ke dokter waktu ia sakit? Nyatanya Kuhn
melakukan itu sebelum ia meninggal dunia karena kanker paru pada tahun
1996 silam. Ini membuktikan, Kuhn meyakini ilmu pengetahuan dan bukan
filsafat relativistiknya.

Jalan Keluar

Merujuk pada apa yang kami kupas sebelumnya, sadar atau tidak kita semua
mengamini sains dengan segala kelebihan dan keterbatasannya. Hemat
kami, ini berlaku tidak hanya untuk mereka yang positivistik, tapi juga
mereka yang relativistik, dan bahkan mereka yang mengaku sebagai
manusia paling beragama sekalipun.

Itu artinya, tidak ada yang salah dengan sains. Sikap saintislah yang
membuat sains menjadi bermasalah – menjadi ilmu yang buruk. Itulah sebab
manusia terkadang menggunakan sains untuk mengintimidasi dan
mengendalikan, mengeksploitasi dan menindas manusia lain.

Mae Wan Ho – pelopor pemikiran “fisika organisme” – dalam bukunya yang


luar biasa Genetic Engineering: Dream or Nightmare? The Brave New World
of Bad Science and Big Business (2008) pernah mengingatkan bagaimana
ilmu pengetahuan bisa menjadi buruk.

Mae mencontohkan kasus pada rekayasa genetika yang menjadi berbahaya


karena aliansi dua kekuatan: ilmu dan perdagangan. Menurutnya rekayasa
genetik adalah ilmu buruk karena bekerjasama dengan bisnis raksasa, guna
mendapatkan laba dengan cepat. Praktis semua ilmuwan genetika molekuler
secara langsung atau tidak memiliki hubungan dengan industri.

229
Hal ini yang lalu membatasi jenis riset yang dapat dan akan dilakukan
saintis. Integritas mereka sebagai saintis independen pun dikompromikan.
Pola aliansi inilah yang menurut Mae telah mempertajam kesenjangan
antara Utara dan Selatan, antara yang kaya dan miskin.

Temuan Mae ini, menurut kami, menjadi penting untuk disitir dalam melihat
kasus pandemi Corona. Sebagaimana diketahui, saat ini WHO menyebutkan
terdapat 125 proyek vaksin yang sedang dikerjakan saintis untuk
menanggulangi virus. 10 kandidat vaksin potensial sekarang sedang diuji
pada manusia dalam uji klinis di seluruh dunia.

Namun pengerjaan vaksin ini dilakukan dengan pola aliansi seperti yang
disebutkan oleh Mae. Dan sialnya kita tidak pernah tahu niatan industri –
yang dibantu dan didorong oleh pemerintah – yang akan memproduksi
vaksin selama pandemi Corona, apa sekadar mencari laba atau
menjadikannya sebagai “barang publik global” tanpa profit?

Menyikapi itu, kita memerlukan jalan keluar dari persoalan semacam ini.
Usul kami manusia perlu mengembangkan apa yang disebut oleh Hidayat
Nataadmadja sebagai inteligensi spiritual. Berdasarkan pandangan ini,
sains akan selalu dipandang memiliki nilai moral dan tidak dapat
dipisahkan dari nilai tersebut. Jika ini yang dijadikan pedoman, maka
jawaban untuk pertanyaan di atas adalah vaksin Corona dibuat semata
untuk “barang publik global” tanpa profit.

XXXIV. 15 Juni: Hamid Basyaib: “Romantisisme dan Falasi Memedi Goenawan


Mohamad”

ROMANTISISME DAN
FALASI MEMEDI GOENAWAN MOHAMAD
Bagian 1 dari 6

Bukan hanya menarik, tapi penting. Itulah kesan pertama saya dari
membaca polemik antara sastrawan A.S. Laksana [selanjutnya, Sulak]
dan penulis Catatan Pinggir majalah Tempo Goenawan Mohamad
[selanjutnya, GM atau Goenawan] di laman Facebook beberapa hari
terakhir.

Menarik, karena di sana banyak muncul proposisi yang inspiratif, dan


penting, karena isu yang dibahas adalah perkara sains, hal yang

230
bagus dibicarakan terus di tengah suasana umum negeri kita yang
semakin diwarnai cara berpikir religius. Polemik mereka, yang
dengan cepat dimeriahkan oleh banyak peserta lain, penting dalam
konteks penumbuhan budaya keilmuan, guna menanamkan perangai
ilmiah (scientific temper) pada publik, bukan agar mereka semua jadi
ilmuwan.

Saya berdiri di barisan Sulak, dan karenanya akan turut menyanggah


presentasi Goenawan; sambil di sana-sini menyinggung poin-poin
tertentu para peserta lain. Tapi saya merasa harus pertama-tama
melihat konstruk umum presentasi ide Goenawan, terutama yang
rutin dituangkan dalam Catatan Pinggir, yang ditulisnya sejak 1976,
praktis tanpa putus sampai pekan lalu. Sudah ada 2000an esai pendek
itu, dihimpun dalam sedikitnya 12 jilid antologi. Ini mempermudah
kita untuk menemukan rujukan, misalnya tentang contoh-contoh
untuk apa yang saya maksud.

Menyoroti presentasi umum Goenawan saya pikir bermanfaat, karena


ia esais paling produktif dan berstamina paling panjang, selain
merupakan stylist terbaik Indonesia; ia telah menulis selama enam
dekade tanpa henti.

Secara umum semua esai Goenawan dilandaskan pada apa yang disebut
strawman fallacy oleh cognitive science (dan psikologi sosial). Ia
sendiri menyinggung pengertian itu dalam tanggapannya kepada
Sulak; ulasan Sulak ia anggap seperti memukul "memedi sawah" alias
salah sasaran; maka bolehlah kita indonesiakan istilah itu dengan
"falasi memedi".

Makna strawman fallacy adalah: seseorang mengartikan pendapat


orang lain secara keliru, lalu menyanggah pemaknaan opini yang
keliru itu. Misalnya A berpendapat gula pasir sekarang lebih putih
dan kurang manis, lalu B menganggap A berpendapat bahwa gula pasir
sekarang lebih kuning dan lebih manis, lalu ia mengritik A karena
berpendapat gula pasir sekarang lebih kuning dan lebih manis.

Falasi memedi biasanya diikuti oleh motivated reasoning, yaitu


penalaran yang didorong oleh hasrat untuk melakukan pembenaran
terhadap apa yang diyakini, bukan oleh kehendak menyajikan fakta-
fakta [meski fakta-fakta itu tidak sesuai dengan apa yang kita
yakini].

231
Si B tadi akan membantah "gula lebih manis" si A dengan berfokus
pada pernyataan yang tidak pernah dikatakan oleh A itu. Untuk itu
ia akan menerapkan confirmation bias, ini level lanjutan dari
motivated reasoning, yaitu sikap yang hanya memilih data dan fakta
yang cocok untuk menyanggah "gula lebih manis", bukan data untuk
membantah "gula kurang manis" seperti yang dimaksud si A.
Maksudnya tentu saja agar data itu cocok dengan skema yang sudah
terbentuk di pikirannya berkat falasi memedi tersebut.

Selanjutnya, B akan menebar berbagai ilustrasi berupa anecdotal


evidence di sekujur tulisannya, yaitu satu-dua contoh kecil yang
dianggap atau ingin dikesankan B sebagai ilustrasi yang relevan,
tapi sesungguhnya meleset atau tidak merepresentasikan situasi
umum yang sebenarnya.

Dalam operasinya, falasi memedi tidak harus berupa pendapat satu


orang, tapi bisa merupakan anggapan tentang adanya pendapat suatu
kolektifitas tentang masalah tertentu.

Begitulah, misalnya, Goenawan menulis: "Penyidik bukanlah orang


yang mendapat wahyu Tuhan" (Tempo, dimuat kembali di FB, 17
November 2019). Ini tentu didasarkan pada anggapan bahwa ada orang
atau sekumpulan orang yang berpendapat penyidik adalah orang yang
mendapat wahyu Tuhan, meski Goenawan menyembunyikan identitas
pihak yang beranggapan demikian [“penyembunyian” ini memang
keniscayaan yang lazim karena ketakmampuan mengidentifikasi].

Kalimat topik yang membingkai keseluruhan tulisannya itu diikuti


dengan: "Setidaknya saya berbicara tentang Sherlock Holmes,
detektif termasyhur dalam cerita-cerita Arthur Conan Doyle. Juga
tentang Romo Brown, pastur Katholik yang memecahkan kasus-kasus
kejahatan dalam fiksi G.K. Chesterton."

Konsekuensi pernyataan ini tidak bisa lain kecuali: dua contoh figur
yang dipetik dari karya fiksi itu adalah penyidik yang tidak
mendapat wahyu Tuhan, sedangkan semua atau kebanyakan penyidik
lainnya (tentu maksudnya di dunia nyata, bukan di novel detektif)
mendapatkan wahyu Tuhan dalam menjalankan kerja penyidikannya.
(Pasti maksud GM adalah penyelidik, bukan penyidik; keduanya punya
pengertian berbeda).

232
Argumen-argumen pendukung untuk klaim itu kemudian bergerak di
sepanjang jalur motivated reasoning dan seterusnya tadi.

"Demokrasi adalah surat cinta yang hambar," tulis Goenawan (Tempo,


dimuat kembali di FB). Ini mengasumsikan ada orang yang
berpendapat bahwa demokrasi adalah surat cinta, dan mungkin ia
menyetujuinya; namun, sambil mengakuinya, ia berpendapat surat
cinta itu hambar. Jika demikian, apakah demokrasi harus diganti
dengan surat cinta yang tidak hambar?

Uraian selanjutnya adalah rangkaian confirmation bias, meski di


sana ia tidak mampu mempertahankan irama metaforis yang seakan
ia janjikan di kalimat pembuka. Ia menyebut lembaga legislatif,
misalnya, dengan nama harfiahnya – DPR -- dan tidak diibaratkan
dengan hal lain; misalnya "calon mertua yang judes" atau "ipar yang
mengecewakan" (paralel dengan “surat cinta yang hambar” untuk
demokrasi).

Baiklah, kita mudah memahami bahwa Goenawan, seorang penulis


yang terlalu gandrung bermain metafor, mengibaratkan demokrasi
sebagai hal atau janji yang menyenangkan tentang suatu sistem
politik ideal (indah seperti "surat cinta"), tapi ia telah bermain-
main dengan metafor yang risky, yang mudah sekali terlihat
inkonsistensi dan inkoherensinya, bahkan di tingkat permainan
metafor itu sendiri.

Dan dengan itu pula ia meremehkan keseriusan isu demokrasi, suatu


sistem politik yang diterapkan di semakin banyak negara dengan
tingkat sukses masing-masing, dan dipelajari oleh beribu-ribu
mahasiswa ilmu politik dengan tekun di kampus-kampus di seluruh
dunia.

Adalah sikap serampangan jika dengan semua itu demokrasi hanya


dicibir sebagai "surat cinta yang hambar" -- betapa bodohnya para
pemimpin dunia dan para sarjana itu, yang susah payah menekuni isu
demokrasi, padahal ia setara dengan secarik surat cinta belaka,
hambar pula.

Bagaimana jika seorang sarjana elektro menyebut, misalnya, "Puisi


adalah arus listrik yang terpotong korsleting sebelum ia mencapai
SUTET?" Atau pakar kimia menulis: "Teater, drama modern, adalah
tabung-tabung reaksi yang kekurangan zat-zat esensial"? Ahli ilmu
233
politik bisa menulis tentang seni tari seperti ini: "Tarian adalah
sistem elektoral yang tak dilengkapi KPU untuk mengawasi
pelaksanaannya."

Para seniman penggiat jenis-jenis kesenian itu sangat mungkin


mengernyitkan dahi terheran-heran dengan metafor ganjil itu
(meski mungkin terdengar indah), jika bukan jengkel dan marah
terhadap penggambaran yang semau-mau itu.

Di sini kita masuk ke problem Goenawan yang lain: ia membahas


apapun, atau dalam hal ini masalah yang bersifat sosial, dengan
menjadikan individu sebagai unit analisis. Ia gemar menggunakan
analogi dan metafor individual.

Tentu saja metode ini lebih sering meleset daripada tepat. Seperti
sudah lama ditunjukkan oleh studi sosiologi dan psikologi, "logika"
yang berlaku bagi individu berbeda dari logika sosial atau
kolektifitas; berbeda pula kompleksitasnya jika masuk variabel
negara.

Pertanyaannya: mengapa ide Goenawan berciri demikian?

Mau tak mau kita menyandarkan tendensi itu pada aliran atau corak
filsafat yang dianutnya, yaitu Romantisisme yang muncul di akhir
abad ke-19, sebagai reaksi terhadap mekarnya filsafat Pencerahan
(Enlightenment) di Eropa. Ya, meski merupakan reaksi terhadap
Pencerahan, sejarawan menamai aliran itu "Romantisisme", bukan
filsafat "Penggelapan" atau "Penyuraman"; mungkin karena
maksudnya: para Romantisis mendambakan suasana sediakala,
sebelum Pencerahan merajalela dan menjadi semangat dominan. Dan
dengan ini kita masuk ke isu sains.

Pencerahan bertumpu pada empat pilar: reason, science, humanism


dan progress -- buku Steven Pinker Enlightenment Now, Penguin
[2018], menjelaskan ini dengan lengkap dan sangat baik. Pencerahan
percaya bahwa kemanusiaan akan terus maju berdasarkan penalaran
dan pengutamaan manusia atas rasio, bukan hal-hal lain seperti
tahayul dan mitologi, yang menghambat kemajuan intelektual
manusia dan pengembangan potensi pribadinya secara penuh. Tahayul
dan mitos memang terkadang punya makna sosial yang penting,
misalnya untuk integrasi bangsa.

234
Sebuah bangsa, masyarakat atau komunitas tertentu bisa rekat jika
anggota-anggotanya meyakini mitos dan tahayul tertentu (meski
hal ini pun menyimpan bahayanya sendiri jika misalnya bangsa lain
meyakini mitos yang berlawanan). Namun secara umum tahayul dan
mitos mengaburkan kejernihan berpikir manusia.

Tapi karena apa yang muncul dari reason/rasio tidak niscaya


rasional atau masuk akal, maka sains berfungsi membereskan
[refining] reason itu agar yang muncul dari sana adalah pertanyaan
atau opini yang bermakna, yang bisa dipercakapkan secara inter-
subjektif.

Tanpa sains, maka tukang sihir, dukun, ahli nujum ataupun remaja
yang putus cinta, misalnya, bisa mengeluarkan macam-macam hal
yang tidak rasional dari rasio mereka. Karena semangat pembebasan
itulah maka Pencerahan disebut suatu Revolusi Humanitarian.

Kaum Romantisis menentang penekanan atas keunggulan rasio


tersebut, dan menekankan hal lain untuk meraih kemanusiaan
terbaik, yaitu dengan prinsip-prinsip estetika. Kaum Romantisis
tahu bahwa dunia ini bukan puisi, tapi justru karena itu ia harus
diupayakan menjadi puisi (sesuatu yang indah). Mereka, menurut
Stanford Encyclopaedia of Philosophy (SEP), cenderung melakukan
puitisasi (poeticizing) atas dunia.

Memang tidak mudah merumuskan apa dan bagaimana aliran filsafat


Romantisisme itu, apalagi ada pula perbedaan tekanan di negara-
negara berbeda (Jerman, Inggris, Prancis). Arthur Lovejoy,
pembentuk disiplin history of ideas, misalnya, putus asa dengan
sifat elusif aliran ini, sehingga ia menyebutnya "skandal sejarah dan
kritik sastra."

Kesulitan utama dalam memahaminya, kata dia, ialah karena tiadanya


“entitas real yang tunggal, atau tak adanya tipe entitas”
sebagaimana yang dimaksud dengan konsep “romantisisme”. Kata
“romantics” digunakan untuk memaknai begitu banyak hal, sehingga
istilah itu sendiri akhirnya tidak berarti apa-apa.

Isaiah Berlin, sambil memaklumi keputusasaan Lovejoy dalam


mengidentifikasi apa maunya kaum romantisis itu, tak sejalan
dangan skeptisisme radikal Lovejoy, dan menganggap sejumlah ciri
umum Romantisisme bisa dipetakan. Faktanya, kata Berlin, gerakan
235
Romantisisme pernah ada; ada sesuatu yang yang sentral di
dalamnya; ia menciptakan sebuah revolusi kesadaran, dan karena itu
penting untuk mengungkapkannya.

Estetika, ide sentral dalam Romantisisme, lazimnya dihubungkan


dengan seni dan keindahan atau cabang filsafat yang mempelajari
aspek-aspek ini. Namun, banyak penganut Romantisisme yang
menolak pembatasan estetika dalam kehidupan manusia hanya pada
aspek-aspek itu saja, atau memisahkan wilayah praktis dan wilayah
teoretis dalam kehidupan.

Jadi, ciri yang paling menonjol dalam komitmen romantisis adalah


pada gagasan bahwa karakter seni dan keindahan serta keterlibatan
kita di dalamnya haruslah mewarnai semua aspek kehidupan manusia.
Estetika hendaknya menjadi ciri sentral dalam keseharian hidup
orang biasa, bukan hanya bagian dari kehidupan filosofis dan
artistik.

Kesulitan lain dalam mengidentifikasi ciri-ciri pokok


Romantisisme ialah karena kebanyakan penganutnya adalah penyair
dan seniman yang wawasannya tentang seni dan keindahan tidak
terdapat dalam bentuk rumusan-rumusan teoretis yang matang,
tetapi hanya berupa penggalan-penggalan kalimat, semboyan dan
puisi. Bentuk-bentuk ekspresi ini hanya menyajikan siratan-
siratan ide (sugestif) yang sulit dipegang (elusif), dan tak mudah
disimpulkan (tak konklusif).

Dengan merujuk Romantisisme seperti dipaparkan SEP itu kita jadi


sedikit paham kenapa, misalnya, Goenawan sangat sengit terhadap
sains, seperti juga terlihat dari tanggapannya atas kritik Sulak.
Dalam berbagai kesempatan, mudah dilihat upaya-upayanya untuk
"menyelundupkan" skeptisisme atau ledekannya terhadap sains –
tentu saja bukan dalam bentuk paparan konseptual yang cukup
matang dan layak didiskusikan.

Di hari-hari pandemi ini kejengkelannya tampak memuncak


menyaksikan betapa beragamnya pendapat kaum ilmuwan tentang
cara terbaik menghadapi COVID-19, dan karena itu pemerintah sulit
membuat kebijakan tegas sebagai upaya mengatasinya; untuk
menghambat penyebaran virus, untuk menetapkan kapan aktifitas

236
publik bisa dijalankan kembali (new normal), dan segala hal yang
terkait.

Ilmuwan yang satu menyarankan lockdown seperti di Wuhan, yang


terbukti efektif menumpas COVID-19. Ilmuwan lain menyatakan tidak
perlu lockdown, sebab penguncian kota akan melumpuhkan ekonomi
dan bahkan bisa memangsa korban lebih banyak daripada korban
virus. Pendapat mereka bertentangan, padahal mereka sama-sama
ilmuwan, bahkan menekuni disiplin yang sama.

Keragaman opini ilmuwan itu membuat bingung, dan tidak sesuai


dengan "janji" atau citra yang ditampilkan sains dan para
penggandrungnya bahwa kerja sains itu pasti [bukankah namanya pun
“ilmu pasti” atau “ilmu eksakta”?] dan dengan demikian sanggup
menyajikan solusi cepat dan tepat. Yang dilupakan Goenawan:
keragaman opini kaum ilmuwan itu memang berlangsung tiap hari di
seluruh dunia; di laboratorium kampus-kampus dan pabrik-pabrik
obat, di stasiun-stasiun riset kimia, fisika dan biologi.

Sebuah produsen obat baru, misalnya, harus berjuang keras untuk


mendapatkan izin pemerintah untuk memasarkan obat itu, meski
seluruh proses pembuatan obat tersebut, disertai keterangan
terinci tentang kandungan elemen-elemennya, sudah disertakan.
Lembaga negara yang mengawasi pembuatan dan peredaran obat-
obatan seperti BPPOM di Indonesia atau FDA di Amerika Serikat, akan
meneliti seluruh proses dan aspek pembentukan obat itu dari nol
lagi, dengan mengerahkan tim ilmuwan mereka sendiri.

Begitupun, mereka tetap bisa keliru, atau sekian tahun kemudian


mereka mengoreksi suatu kebijakan yang telah lama ditetapkan.
Salah satu contoh terbaru adalah keputusan FDA untuk menghapus
kolesterol sebagai unsur yang paling berbahaya bagi kesehatan
manusia.

Setelah lima puluh tahun kolesterol dinyatakan sebagai momok


kesehatan, dicantumkan di urutan pertama, kini posisinya
digantikan oleh gula; ternyata gula adalah si manis pembunuh kejam.
Kematian akibat diabetes, misalnya, lebih duaratus kali lipat dari
jumlah korban terorisme, sampai seorang penulis menyebutnya,
“Coca Cola lebih berbahaya dibanding Al Qaedah.”

237
Perbedaan pendapat di kalangan ilmuwan --bukan di kalangan filsuf
ataupun ulama-- adalah rahmat bagi mereka, membuat ilmu
berkembang sangat cepat.

Hal semacam itulah yang disebut Thomas Kuhn dengan revolusi


ilmiah. Ilmuwan bekerja dengan paradigma tertentu, ini disebutnya
“normal science”, lalu ilmuwan lain mengoreksinya, dan dengan itu
terjadi “paradigm shift”. Kontroversi di seputar bukunya, The
Structure of Scientific Revolution [terbit pertama kali 1962], bisa
menjadi diskusi tersendiri.

***

Dalam diskusi "Berkhidmat pada Sains" yang diadakan Ikatan Dokter


Indonesia itu, Goenawan kembali menekankan bahwa "sains bukan
segala-galanya", seakan ada orang yang menganggapnya demikian.
Falasi memedi terus membayanginya di mana pun.

Bahwa sains bukan segala-galanya tentulah sebuah truism, self-


evident statement, pernyataan yang dengan sendirinya benar dan
karenanya tidak memerlukan pembuktian panjang-lebar. Menyatakan
hal itu adalah “stating the obvious”.

Setiap orang yang cukup paham metodologi sains (rangkaian proses


menuju hasil akhir atau kesimpulannya), apalagi kaum ilmuwan
sendiri, tentu paham betul bahwa sains memang bukan segala-
galanya. Sama juga: ilmuwan juga tidak mungkin bersikap arogan
atau memiliki "kecongkakan saintifik"; bukan karena para ilmuwan
adalah orang-orang yang rendah hati, tapi karena watak-dasar ilmu
itu sendiri tidak memungkinkan mereka bersikap demikian.

Pada umumnya, beginilah proses tipikal kerja sains: bermula dari


gejala yang teridentifikasi, lalu gejala itu diobservasi, lalu
dirumuskan sebagai hipotesis, kemudian didiskusikan untuk
didalami aneka kemungkinannya guna mendapatkan cara paling
efektif untuk mengetahui karakter utamanya, lalu dieksperimentasi
di laboratorium, kemudian diverifikasi, mungkin tahap eksperimen
dan verifikasi ini diulangi beberapa kali, lalu ditarik kesimpulan
tentang hal-ihwal objek tersebut (bisa berupa benda, proses, elemen
baru, dan sebagainya).

238
Jika ilmuwan yang mengerjakan proyek riset itu ingin mengumumkan
temuan tersebut di jurnal ilmiah, maka mereka wajib memaparkan
seluruh proses berikut cara kerja mereka itu ke dalam naskah.
Editor akan menyebar naskah itu kepada sejumlah ahli untuk
diperiksa validitasnya (misalnya untuk melihat adakah tahap-tahap
riset yang terlewati atau dilalui dengan keliru), adakah
kemungkinan duplikasi dengan karya sebelumnya (yang bisa berarti
terjadi penjiplakan atau setidak-tidaknya karya itu tidak orisinal
atau bukan karya terobosan), dan sebagainya.

Jika naskah itu lolos dari peer review itu, yang dilakukan dengan
menutup nama penulis teks (blind review), barulah ia diterbitkan,
bukan hanya untuk diketahui para rekan sejawat tapi juga untuk
dikritisi seluruh aspeknya; ini menjadi semacam pertanggung
jawaban sosial dan ilmiah keilmuan.

Sebab pelaku riset pun tidak pernah yakin sepenuhnya tentang


validitas temuannya (dan memang mereka, kata ahli epistemologi
Karl Popper, tidak boleh bersikap yakin!), dan jika ditemukan sedikit
saja kekeliruan, maka validitas temuan baru itu mungkin dianggap
gugur dan perlu disempurnakan.

Bisa juga terjadi: temuan itu lolos uji peer review, dan bertahun-
tahun setelah ia diterbitkan mungkin ia dikoreksi oleh ilmuwan lain
di tempat lain; mungkin pula ia justru menginspirasi saintis lain
untuk meneliti lebih lanjut aspek-aspek tertentu dalam paparan
hasil riset awal itu.

Prosedur sains ini berbeda dari “prosedur filsafat”, yang rentan


manipulasi, seperti terjadi pada Alan Sokal di tahun 1990an.
Fisikawan Universitas New York itu mengirim artikel kepada Social
Text, jurnal cultural studies dan posmodernisme terbitan
Universitas Duke; setelah dimuat, Sokal mengungkap di jurnal Lingua
Franca bahwa artikel itu hoax.

Dia mengaku menulis secara ngawur saja, tapi seolah-olah canggih,


dengan taburan macam-macam istilah yang ia karang sendiri
sekenanya, untuk membuktikan bahwa kerangka “keilmuan” yang
dianut kubu leftist itu kabur. Sokal berhasil. Tulisannya yang
ngawur itu ternyata bisa dimuat di Social Text, salah satu jurnal
paling bergengsi di bidangnya. Tanpa peer review, tentu peluang

239
pemuatan tulisan yang awut-awutan semakin besar – meski tulisan
itu terkesan canggih.

Itulah saya rasa yang dimaksud Sulak bahwa sains itu ibarat
komputer jaringan, yang simpul-simpulnya saling mendukung,
sehingga sains bisa berkembang begitu cepat, termasuk dalam
mekanisme koreksi atas kesalahan-kesalahannya.

Sedangkan filsafat seperti stand-alone computer alias komputer


ijen, yang pasti kalah cepat perkembangannya dibanding sains
karena sifat eksklusif dan soliternya itu.

***

Metode sains yang sangat ketat dan terus disempurnakan ini tidak
mungkin ditandingi oleh jenis-jenis pengetahuan lain -- kalaupun
semua orang, dari bangsa mana pun, setuju belaka dengan teriakan
cemas kaum filsuf atau insan religius bahwa sains bukanlah satu-
satunya jenis pengetahuan untuk mencapai kebenaran.

Teriakan mereka tidak pernah sedikit pun disertai penjelasan


tentang proses-prosedur operasi jenis-jenis pengetahuan non-
sains itu, sementara metodologi sains telah dipaparkan sedemikian
gamblang, tanpa penyembunyian apapun, sehingga setiap orang bisa
mengujinya.

XXXV. 16 Juni: Hamid Basyaib: “Romantisisme dan Falasi Memedi Goenawan


Mohamad”

ROMANTISISME DAN
FALASI MEMEDI GOENAWAN MOHAMAD
Bagian 2 dari 6

Prosedur metodologis juga mungkin mencakup modeling, yang


mungkin dikerjakan oleh ilmuwan lain dari sisi teoretis, misalnya
ahli fisika kuantum atau fisika partikel, pakar biologi molekuler
dan sebagainya, yang pasti melibatkan penerapan matematika. Dan
matematika bukanlah sekadar angka-angka (meski namanya mirip
aritmatika).

240
Matematika malah makin cenderung meminimalkan pelibatan angka
dan lebih menonjolkan simbol-simbol lain. Inilah sebabnya
matematika disebut sebagai bahasa ilmu, sebagaimana bahasa
Inggris dinyatakan sebagai bahasa pergaulan internasional.

Persamaan masyhur Einstein tentang teori relativitas, misalnya,


hanya mencantumkan satu angka sebagai tanda kuadrat saja; semua
elemen lainnya adalah huruf, simbol sesuatu yang konseptual dan
bisa sangat panjang elaborasi matematis maupun verbalnya.

Pembuatan model bukan berarti mereduksi realitas, seperti


didakwakan Goenawan, tapi demi memungkinkan sesuatu itu diteliti
untuk diketahui. Tanpa modeling, maka rembulan, dalam posisinya
terhadap bumi, misalnya, hanya bisa dilihat-lihat saja dari jarak
jutaan kilometer sambil ditebak-tebak tanpa ujung pangkal, dan
pada umumnya tebakan itu salah besar.

Misalnya pengarang lagu memuja kecantikan gadis pujaannya dengan


menyamakannya dengan rembulan atau bulan purnama --suatu
pemujaan yang membuat ahli astrofisika terheran-heran, prihatin,
tapi kemudian mungkin tersenyum maklum akan ketakmengertian
sang perjaka malang.

Model, penetapan simbol-simbol, menurut Goenawan merupakan


pemiguraan [framing] atas realitas, seperti dikatakan Martin
Heidegger, yang terlalu sering dikutipnya. Ia mencontohkan apa yang
terjadi dalam kerja ilmu kimia. Segala jenis air, misalnya, kata dia,
diringkus dengan simbol H2O. Padahal air yang dirumuskan dengan
simbol kimia itu berbeda – ada air minum, air di vas bunga, air di
comberan. Ini kritik yang aneh sekali.

Padahal tiap hari ia sendiri meringkus realitas dengan bahasa.


Realitas memang tidak pernah bisa dihadapi langsung apa adanya. Ia
terlalu kompleks. Bahasa dengan sendirinya adalah konseptualisasi
atas realitas -- dengan demikian ia niscaya "meringkus”,
“mereduksi”, “memigura”.

Dalam contoh air tadi, misalnya, air – terdiri atas huruf-huruf a, i


dan r dalam bahasa Indonesia – adalah simbol untuk sejenis benda
cair dalam bahasa sehari-hari ataupun bahasa literer. Dalam bahasa
kimia ia disebut H2O, dan dari segi struktur atomik dan sifat-
sifatnya sama saja antara H2O comberan atau air pegunungan. Jika
241
orang menyebut “bumi”, apakah orang itu bermaksud mengatakan
bahwa ia sedang menunjuk sesuatu yang berisi 8.000.000 spesies
dengan segala macam kompleksitasnya?

Jika penyair menyebut “laut” dalam puisinya, apakah ia mencakup


proses terbentuknya hal itu beserta miliaran biota yang ada di
dalamnya? Bumi, laut, pohon, pisang goreng, soto babat, gunung dan
semua kata lain adalah simbol dalam bahasa literer. Tapi Goenawan
tidak pernah mengeluhkan peringkusan dan reduksionisme kronis
atas realitas ini. Tanpa pernah melihat the elephant in the room, ia
hanya sibuk mempersoalkan pemiguraan oleh bahasa sains -- tidak
kena pula.

Sains memigura realitas, kata Goenawan, dan ia mengajukan


alternatif cara melihat yang bebas dari pigura: seni. Alternatif yang
ditawarkannya ini benar-benar mengejutkan. Seni mana yang bukan
merupakan pigura atas realitas? Dalam seni, pemiguraan itu bahkan
bisa terjadi berlapis-lapis, dan dengan demikian reduksi yang
terjadi pun berlapis-lapis.

Riwayat hidup Alexander Hamilton dipigura oleh seorang pakar ilmu


politik menjadi biografi, lalu dari pigura itu Lin-Manuel Miranda
memiguranya menjadi drama musikal “Hamilton”, sensasi teater
sejak beberapa tahun lalu di Amerika dan Eropa. Goenawan sendiri
terlalu sering memigura pigura.

Jika ia ingin menulis suatu realitas tertentu, ia lebih sering


mengutip datanya dari karya fiksi, misalnya The Name of the Rose
karya Umberto Eco [maaf, saya lupa judul asli Italianya], yang entah
berapa kali sudah dikutipnya sejak bertahun-tahun lalu – tentu saja
juga ada kutipannya dalam polemik ini. Ini problem lain dalam mode
presentasinya: meminjam "analisis" dari karya fiksi untuk
paparannya tentang peristiwa-peristiwa faktual.

Bagaimana dengan pandemi yang melingkupi kita hari-hari ini?


Jangan kuatir, ada novel Albert Camus yang menjelaskannya, yang
juga sering dikutipnya. Pemiguraan ratusan halaman yang dilakukan
Eco dan Camus itu dipigura lagi oleh Goenawan dalam bentuk satu
halaman tulisan di majalah.

Bagaimana sesungguhnya masalah korupsi, misalnya di Indonesia?


Ada pigura yang dibuat Anton Chekov tentang realitas itu dalam
242
bentuk cerita pendek, dan dipigura lagi oleh Sjumandjaja menjadi
film “Si Mamad”, dan dari pigura atas pigura inilah Goenawan
membuat pigura berupa esai. “Korupsi adalah korupsi karena sebuah
garis batas,” tulisnya, tiba-tiba.

Esai itu ditutup secara “ajaib”: “Berangsur-angsur, korupsi, yang


melintasi garis batas, berakhir jadi cerita hantu. Hantu itu bernama
‘Negara Kesatuan Republik Indonesia’ – sesuatu yang sebenarnya
bukan 100 persen ‘Negara’, bukan pula ‘kesatuan’, sesuatu antara ada
dan tiada, seram dan tak menentu.”

Kita tak punya harapan apapun tentang pemberantasan korupsi.


Hantu yang “seram dan tak menentu,” bahkan eksistensinya “antara
ada dan tiada”, tidak mungkin punya hubungan apapun dengan
instrumen legal dan aparat hukum.

***

Tanpa modeling, tidak mungkin seorang astrofisikawan mengerti apa


dan bagaimana kondisi di planet Jupiter; atau ahli biologi molekuler
tak mungkin tahu bahwa asam amino – unit struktural dan unsur
utama pembentuk protein dalam semua sel hidup di dalam tubuh --
asal muasalnya dari luar bumi.

Sebab suhu yang memungkinkannya berdenyut dan menggerakkannya


di masa awal -- dulu sekali, miliaran tahun lalu -- tidak pernah
ada di bumi. Begitulah menurut Abdus Salam, pemenang Nobel Fisika
1979 yang di tahun-tahun terakhir karirnya menekuni biologi
molekuler; dan dengan teorinya itu ia diduga akan mendapat Hadiah
Nobel kedua jika tak keburu wafat.

Demikian pula, jika tanpa model, ahli neurosains tidak bisa


menjelaskan bagaimana proses sinapsis bekerja di otak manusia;
bagaimana suatu informasi diproses melalui rangkaian rumit yang
melibatkan berjuta-juta neuron otak. Dan dengan pengetahuan itu
suatu proses dan strategi belajar mungkin dapat disusun untuk
membuat murid sekolah memahami dengan efektif dan efisien jenis
pengetahuan atau pelatihan tertentu.

Dengan itu pula mungkin akhirnya bisa diketahui kapan saat yang
paling tepat untuk memberi pelajaran apa; jenis makanan apa yang
memungkinkan otak bekerja optimal, dan lain-lain. Sekarang ahli

243
neurosains bisa mengetahui kenapa seorang yang sukses, misalnya,
cenderung sukses terus dalam hidupnya, dan kenapa yang gagal
cenderung selalu gagal.

Mereka mampu menunjukkan jejak-jejak memori sukses dan gagal itu


dalam otak manusia, lalu bahkan bisa memberi saran-saran praktis
bagaimana cara memperkuat memori sukses (agar orang bisa lebih
sering berhasil) dan meminimalkan memori gagal itu (supaya orang
tidak selalu gagal).

Apa yang dikenal sebagai insting atau naluri bertindak, menurut


neurosains tidak ada; semua tindakan manusia adalah hasil kalkulasi
biokimia yang berpusat di otak. Jika saya dikejar anjing dan saya
punya dua pilihan untuk menyelamatkan diri -- melompati pagar
atau masuk ke dalam rumah orang lain -- otak saya akan menghitung:
berapa besar risiko masing-masing di antara kedua pilihan itu, mana
yang lebih cepat antara saya melompati pagar atau masuk ke rumah
orang.

Kalkulasi biokimia itu muncul bukan dalam bentuk angka-angka,


melainkan berupa perasaan berani ataupun takut. Misalnya, saya
memilih lompat pagar meski dengan risiko terluka, karena pilihan
itu lebih mungkin berhasil. Artinya saya lebih memilih peluang
cidera karena melompat daripada terluka karena digigit anjing.

Semua proses itu berlangsung sangat cepat, dalam hitungan


picosecond [satu per triliun detik], dan untuk keperluan pengukuran
ini pun ilmuwan mengembangkan metode pengukuran yang semakin
presisi, meski dalam kenyataan sehari-hari kita tidak sanggup
membayangkan berapakah durasi seperseribu detik, misalnya,
apalagi satu picosecond.

Imajinasi manusia tidak mampu membayangkan durasi sesingkat itu,


sebagaimana tak mampu membayangkan jarak geografis jutaan tahun
cahaya. Tetapi matematika menemukan cara berupa penciptaan
simbol-simbol, sehingga meski hal itu tak terjangkau imajinasi
manusia, ia bisa dihitung.

Saya masih saja heran, misalnya, mengapa proses pengunduhan buku


seribu halaman ke dalam telepon saya hanya berlangsung satu detik
saja; jadi downloading itu, dengan hitungan kasar, berlangsung
selama seperseribu detik per halaman buku – dan saya tetap tak
244
sanggup, meski sudah berusaha keras, membayangkan kecepatan
sepesat itu. Sebagaimana saya juga tak sanggup membayangkan
ukuran virus, ketika seorang ilmuwan mengatakan dalam benda
sebesar titik di akhir kalimat ini bisa berkumpul satu juta virus.
Alhamdulilah matematika mampu menjangkau wilayah itu dengan
simbolisasi.

Hal-hal semacam itulah yang menjadi bahan baku untuk dialihkan ke


dalam machine learning yang berbasis artificial intelligence, dan
kini makin mewarnai kehidupan umat manusia; dijadikan algoritma
untuk mesin pencari Google, smartphone, dan sebagainya.

Sekadar info: mantan Wakil Presiden Boediono, seorang ahli ekonomi,


pernah menulis di Kompas, menekankan betapa pentingnya sistem
pendidikan kita memanfaatkan temuan-temuan mutakhir di bidang
neurosains, disiplin yang kini paling maju, sebagaimana diadopsi di
Cina, Singapura dan lain-lain, agar pendidikan kita tidak semakin
tertinggal.

***

Begitu pula yang terjadi di bidang fisika partikel. Pada 1964,


fisikawan Universitas Edinburgh Inggris Peter Higgs menggagas
adanya partikel penggerak [force-carrier] yang menggerakkan tiga
unsur pembentuk materi (positron, neutron, dan elektron), yang
sebelumnya dianggap sebagai elemen elementer dalam materi.

Berdasarkan permodelan yang dibuatnya, Higgs, saat itu seorang


fisikawan muda yang kurang dikenal, menduga di balik ketiga hal itu
ada partikel lain yang menggerakkan mereka. (Dalam Standard Model
fisika, "partikel penggerak" itu disebut boson; dan partikel yang
digerakkan dinamai fermion).

Sejak itu perburuan atas partikel tersebut, yang dinamai "boson


Higgs" (tapi "barang"nya tidak ada, dan selamanya hanya ada dalam
pengandaian) menjadi pencarian terbesar yang mendebarkan seluruh
dunia. Bahkan konsorsium sains Eropa CERN membangun Large Hadron
Collider (LHC) di bawah-tanah perbatasan Swiss-Prancis, suatu
terowongan 27 kilometer yang sangat mahal, antara lain untuk
memburu boson Higgs (RRT kini sedang membangun collider serupa
yang jauh lebih panjang, 100 kilometer).

245
Beberapa tahun lalu CERN mengumumkan indikasi adanya boson Higgs
mulai terlihat. Wartawan sains segera memburu berita itu dan
menulis seolah-olah boson itu sudah pasti ditemukan. Wartawan
menyebut boson itu "God particle", istilah Pemenang Nobel Fisika
Leon Lederman untuk menjuduli buku karyanya, karena diasumsikan
sebagai "causa prima" – dengan penamaan itu diisyaratkan bahwa
Tuhan tidak ada; penggerak segala sesuatu adalah boson Higgs.

CERN mengklarifikasi: pertama, data tentang keberadaan boson


Higgs belum menunjukkan signifikansi statistik [berdasarkan
statistik Bosonic], jadi belum bisa ditarik konklusi yang
meyakinkan; kedua, mereka tidak pernah menyebut boson itu
"partikel Tuhan"; ini adalah penamaan oleh media massa. Peter Higgs
sendiri tidak suka dengan istilah itu.

Pada Maret 2013 CERN mengkonfirmasi boson Higgs memang ada. Pada
Desember, Higgs dan Francois Englert mendapat Hadiah Nobel untuk
Fisika karena prediksi teoretis mereka – bukan temuan mereka yang
bisa dilihat dan dikendarai. Pengakuan atas teori semacam ini besar
maknanya. Sebagai perbandingan: partikel graviton, yang diteorikan
merupakan force-carrier gravitasi, belum diakui; belum dimasukkan
ke dalam Standard Model, suatu model yang menyediakan kerangka
pemahaman hampir semua gejala fisika, selain gravitasi.

Tapi eksistensi boson Higgs sudah diakui sebelum ia dikonfirmasi


oleh CERN; sejak 2012 ia dimasukkan ke dalam Standard Model fisika
partikel, yang disepakati pada 1970an. Dengan masuknya Higgs maka
sejauh ini, dengan dua partikel fundamental utama di alam semesta
(jumlahnya memang cuma dua), yaitu partikel dalam keluarga
fermion (dari nama fisikawan Italia Enrico Fermi; dan digambarkan
dengan statistik Fermi-Dirac) menjadi 12, dan dalam keluarga boson
(dari nama fisikawan India Satyendra Bose) menjadi lima.

Dari 17 partikel itu, hanya satu, photon, yang kurang-lebih


berinteraksi langsung dengan manusia karena photon adalah
partikel cahaya; kita berinteraksi dengannya dalam bentuk
penerangan di rumah dan sebagainya. Sedangkan enam belas partikel
lainnya tidak pernah kita ketahui dan tak pernah dilihat manusia,
tapi semua fisikawan tahu mereka ada.

246
Seorang fisikawan besar bahkan mengaku ia tidak tahu esensi
partikel-partikel itu, tapi ia tahu mereka ada dan apa yang ia
lakukan dengan partikel-partikel itu berjalan -- "I don't know them
exactly but it works", katanya. Paul Dirac, raksasa fisika Inggris,
menyarankan orang untuk tidak bertanya apa gerangan partikel-
partikel itu, sebab pertanyaan ini tidak bermakna; pertanyaan yang
bermakna adalah: bagaimana partikel-partikel itu berperilaku.

Cerita panjang tentang partikel dan bagaimana fisikawan di seluruh


dunia menghadapinya menunjukkan bahwa debat usang tentang
empirisisme dalam sains, yang masih muncul dalam polemik ini,
benar-benar penyederhanaan masalah yang sulit dipercaya; suatu
keterbelakangan informasi yang keterlaluan di tengah mudahnya
info didapat sekarang ini.

Lukas Luwarso dalam tanggapannya menyebut gejala itu sebagai


“nostalgis dan anakronis.” Sudah lebih dari satu abad para fisikawan
yang telah mengubah wajah dunia hampir tak pernah mendengar
istilah itu, karena semua yang mereka kerjakan sepenuhnya abstrak,
tapi bisa dibuktikan dengan matematika – bahkan kemudian
dibuktikan dalam wujud teknologi.

***

Tentang apa yang disebut ilmu-ilmu sosial (social sciences), tradisi


risetnya masih muda, dan pada umumnya berupaya meniru apa yang
telah mapan pada ilmu-ilmu alam (natural sciences atau life
sciences; sudah lebih dari setengah abad tidak ada lagi yang
menyebutnya ilmu pasti atau exact science).

Ilmu-ilmu sosial tidak akan pernah mencapai status saintifik


setara, meski mereka terus berusaha menguantifikasinya dengan
memanfaatkan statistik – misalnya untuk riset opini publik --
karena tidak akan mungkin mencapai tingkat rigorness seperti
ilmu-ilmu alam dalam pengujian temuan-temuannya. Karena itu
setiap “science” disebut, itu artinya natural science.

Universitas Harvard merupakan penemu metode riset sosial, ketika


sekelompok ilmuwan sosialnya terpanggil untuk turut memulihkan
situasi pasca Perang Dunia II, khususnya dalam konteks Marshall
Plan, proyek bantuan besar-besaran Amerika Serikat untuk
membangun Eropa yang luluh lantak.
247
Tentu saja “panggilan jiwa” ini sekaligus berarti “panggilan
ekonomis”. Sebagaimana perusahaan media “terpanggil” untuk
menyajikan berita yang benar, karena publik “berhak mendapat
informasi yang benar”, tapi berita berkat “panggilan jiwa” itu dijual
sehingga perusahaan bisa untung dan bisa menggaji wartawannya.

Kelompok ilmuwan sosial Harvard itulah yang menciptakan desain


riset sosial, yang kemudian ditiru oleh semua universitas lain (juga
kemudian oleh berbagai think tank non-universitas), tentu dengan
macam-macam penyempurnaan dalam prosesnya.

Sebelumnya ilmuwan sosial juga seperti filosof, “komputer ijen”,


yang merenung-renung seorang diri dan melakukan riset individual,
lalu muncul dengan berbagai “grand theory”, seperti dikerjakan Max
Weber, Emile Durkheim atau Sigmund Freud; atau juga Karl Marx.

Karena status pionirnya itu Harvard sampai baru-baru ini (mungkin


hingga hari ini) rutin mengadakan kursus pembuatan desain dan
proposal riset sosial.

***

XXXVI. 17 Juni: Hamid Basyaib: “Romantisisme dan Falasi Memedi Goenawan


Mohamad”

ROMANTISISME DAN
FALASI MEMEDI GOENAWAN MOHAMAD
Bagian 3 dari 6

Dengan ilustrasi yang semoga tidak menjadi simplikasi terhadap


proses dan prosedur ilmiah tersebut, dapat dipastikan bahwa tidak
mungkin sains dianggap "segala-galanya" -- walaupun sebetulnya
kita tidak tahu apa yang dimaksud Goenawan dengan frasa ini.

Apakah ia menganggap ada orang yang yakin sains mampu


menjelaskan segala hal ihwal; ataukah ada yang menganggap sains
mampu memberi solusi atas semua masalah dalam hidup ini?

248
Prosedur sains terlalu panjang, pencapaian hasilnya sering belum
konklusif. Peluang kesalahan, dan karena itu koreksinya, selalu
terbuka dan, yang terpenting: kebenaran yang dicapainya niscaya
adalah kebenaran fungsional (atau konjektural), artinya sesuai
konteksnya, yang dirumuskan berdasarkan informasi yang tak
lengkap.

Kebenaran saintifik tidak mungkin berupa truth dalam arti


sebagaimana diklaim oleh agama-agama, yang sesungguhnya tidak
pernah mutlak pula, terbukti dari berbeda-bedanya mereka
memaknai apa yang mereka yakini sebagai kebenaran ilahiah. Dan
yang lebih penting: agama-agama tidak pernah memaparkan
metodologi untuk tiba pada kesimpulan tertentu, dan langsung saja
mengklaim truth versi masing-masing.

Misalnya: para pemuka Hinduisme, yang menyamar sebagai ilmuwan


dan menjadi anggota Kongres Sains India, mengusulkan teori
“Narendra Modi Waves” sebagai koreksi sekaligus sintesis terhadap
teori Einstein dan Newton. Mereka yakin Perdana Menteri India itu,
atas dasar pembacaan teks-teks suci, telah mendapatkan truth di
bidang fisika fundamental.

Sebelumnya, pakar-pakar medis Hindu meraih truth dan dengan itu


mendesak fakultas-fakultas kedokteran di seluruh India agar
memasukkan terapi kencing sapi sebagai mata kuliah wajib. Sebentar
lagi kita mungkin mendengar pemuka agama lain mengantungi truth
versi mereka dan menganjurkan terapi kencing hewan lain.

Dalam contoh kasus temuan neurosains tentang memori sukses dan


memori gagal tersebut, misalnya, itu baru merupakan temuan dua
orang peneliti dari Universitas Chicago dan Universitas Harvard.
Temuan mereka bisa disanggah oleh neurosaintis lainnya, yang
mungkin meragukan beberapa aspeknya sehingga temuan tersebut
belum mapan [yang mapan pun bukan berarti pasti benar]. Karena itu
tidak ada peneliti lain yang menjadikannya sebagai panduan atau
kerangka teori untuk, misalnya, meneliti mentalitas ribuan
pengusaha sukses dan ribuan politisi gagal.

Menganggap sains bisa diperlakukan sebagai segala-galanya dan


ilmuwannya bersikap pongah adalah simply unthinkable, mustahil

249
terpikirkan, karena untuk bersikap demikian mereka terhalang oleh
karakter sains itu sendiri.

Peter Thiel memang terasa seperti sesumbar. "Jika Anda tanya


apakah manusia bisa hidup selama 500 tahun, maka hari ini saya
jawab: bisa," kata pemilik PayPal itu. Tapi yang sedang diupayakan
oleh ilmuwan-ilmuwan yang bekerja di perusahaannya, kata dia,
adalah agar manusia bisa hidup ribuan tahun atau bahkan abadi,
bukan sekadar 500 tahun. Ia bukan ilmuwan. Ia hanya investor di
Calico, anak usaha Alphabet atau grup Google, yang bertujuan
membuat manusia hidup abadi, dengan motto simpel: "to overcome
death".

Memperlakukan investor-investor seperti Peter Thiel sebagai


representasi sains tentu meleset. Siapa tahu pula ia, dengan
sesumbarnya yang terkesan terlalu optimistik itu, hanya bermaksud
mendongkrak harga saham perusahaannya.

Jadi, ditujukan kepada siapakah peringatan atau pernyataan "sains


bukanlah segala-galanya" itu? Kepada kaum ilmuwan sendiri, para
penggandrung sains, investor teknologi?

Goenawan selayaknya tidak terus berlindung di balik pernyataan-


pernyataan umum dan abstrak, tanpa pernah menyajikan sekadar
bayangan ilustrasi sedikit pun untuk apa yang dia maksud, sehingga
menanggapinya selalu dibayangi ancaman konstan: salah paham.

Dan karena sudah terlalu banyak korban berjatuhan dan dicapnya


sebagai "salah paham" terhadap tulisan-tulisannya, tidakkah
Goenawan sebaiknya berpikir dari arah sebaliknya:
mempertimbangkan kemungkinan dirinya sendirilah yang selama ini
tidak pernah jelas memaparkan pikirannya, dan karena itu
telunjuknya lebih baik diarahkan ke dadanya sendiri?

Siapa tahu dengan cara itu bisa muncul kesimpulan yang solid – tapi
tetap merupakan kebenaran konjektural -- bahwa ia telah salah
paham terhadap tulisannya sendiri.

***

250
Goenawan mengeluh bahwa sains sekarang lebih digerakkan oleh uang
dan bisnis. Upaya-upaya sains pun, katanya, bukan untuk sekadar
menafsir dunia melainkan untuk mengubahnya.

Dengan mengasumsikan maksud keluhan itu jelas, di situ ia


mencampuradukkan proses-prosedur sains dengan tujuan-
tujuannya. Dan sebetulnya sejak pertama kali muncul, setidaknya
dalam arti modern sekitar empat abad lalu, ikhtiar saintifik memang
digerakkan oleh hasrat-hasrat ekonomi dan politik/kekuasaan.

Bahkan perjalanan riset Charles Darwin, yang kemudian melahirkan


teori evolusi yang mengubah pandangan manusia tentang dunia dan
dirinya sendiri, menumpang kapal kerajaan Inggris, Beagle, sebagai
proyek ekspedisi kolonialistik, untuk tujuan-tujuan ekonomi-
politik.

Tapi hal itu tidak ada hubungan dengan proses-prosedur sains, yang
tetap harus mengikuti standar metode yang terus disempurnakan,
dan pasti akan kacau jika di level itu sains dicampuri oleh pemilik
modal atau penguasa politik. Kapten kapal Beagle yang membawa
Darwin meneliti ke Galapagos dan tempat-tempat lain bahkan
kemudian marah dan menentang teori Darwin setelah terbit On the
Origin of Species yang merupakan hasil dari menumpang kapal si
kapten dan dibiayai oleh kas negara Inggris.

Jika tanpa tujuan jelas dan manfaat-manfaat sosial yang kurang-


lebih bisa diukur, bagaimana cara mempertanggung jawabkan
penggunaan dana publik untuk membiayai upaya-upaya sains itu?
Atau bagaimana korporasi mampu bertahan dan tidak bangkrut, jika
proyek-proyek riset yang dibiayainya tidak ditujukan untuk
memperoleh laba sekian tahun lagi?

Agaknya hanya Kaisar Hirohito yang bisa bermewah-mewah meneliti


aneka tumbuhan sesuai hobinya di bidang botani; ia tak perlu
memikirkan potensi laba dan keuntungan politik dari kegiatan
meneropong aneka kembang dengan mikroskop antiknya, karena
memiliki kekayaan dan kekuasaan yang begitu besar.

Jika dikaitkan dengan manfaat yang akhirnya dinikmati umat


manusia di mana pun tanpa pandang bulu -- tentu saja termasuk bagi
dirinya sendiri, sejak bangun tidur hingga tidur lagi -- maka
keluhan Goenawan itu semakin tak relevan dan tidak valid.
251
Lihatlah apa yang terjadi pada ilmuwan-pebisnis Thomas Alva
Edison. Sekitar seribu temuan yang dihasilkan di bengkelnya
(sebagian besar bukan karyanya sendiri, tapi temuan para
pegawainya yang diklaim sebagai temuan pribadinya melalui
pengaturan bisnis, dan itu lumrah sebagai praktik dagang) sekarang
bisa dinikmati siapa saja dengan harga yang semakin murah.

Yang paling populer tentu saja bohlam, yang kini tersedia dalam
versi LED yang semakin terang, sangat hemat listrik dan semakin
murah dan mudah didapat (harga lampu LED merek-merek lain
umumnya lebih murah dibanding merek General Electric, perusahaan
warisan Edison).

Dibanding peluang campur tangan pemodal/politisi terhadap proses


sains, jauh lebih besar kemungkinan intervensi pemodal/pemilik
media terhadap proses pembuatan dan pemilihan berita untuk dimuat
di media mereka.

***

Salah satu, dan mungkin yang utama, dari skeptisisme Goenawan yang
mendekati antipati terhadap sains adalah kecemasannya bahwa sains
akan menghancurkan aneka misteri dunia -- atau hal-hal yang
dianggapnya misteri. Padahal baginya pesona dunia justru terletak
pada misterinya -- pernyataan ini sangat mungkin dibantahnya
karena ia tidak pernah menyatakan hal ini secara harfiah; ia, seorang
yang gemar menafsir apa saja, memang kadang bisa tiba-tiba
memakai argumen legal-formal, seperti terlihat dalam polemik ini.
Jika semua tersibak, oleh kerja sains, lalu apa lagi yang tersisa
untuk menakjubi manusia -- dan membuatnya rendah hati karena
menyadari kedaifannya?

Dan sains sejauh ini jelas mengarah ke pengungkapan total itu. Sudah
terlalu banyak "misteri" yang diungkap, seperti jelas terlihat dalam
lima ratus tahun terakhir; perubahan yang ditimbulkan sains dalam
masa ini melampaui seluruh masa hidup Homo sapien.

Sejarawan Yuval Harari membagi tiga tonggak sejarah manusia alias


Homo sapien, salah satu dan satu-satunya yang masih hidup di
antara sembilan atau sepuluh jenis manusia yang dikenal sejauh ini.

252
Pertama, Revolusi Kognitif, yang terjadi 70 ribu tahun lalu di tempat
yang kini dikenal sebagai Afrika Timur; dan tidak diketahui kenapa
"tiba-tiba" manusia bisa berpikir, setelah selama 150 ribuan tahun
sebelumnya manusia setara saja dengan serangga dalam hal
dampaknya terhadap bumi. Kedua, Revolusi Pertanian, kira-kira 12
ribu tahun lalu; ada yang menyebut dimulai di tempat yang kini
termasuk wilayah Turki modern. Ketiga, Revolusi Saintifik, kira-
kira 500 tahun lalu, di Eropa Barat.

Sebagai catatan: tujuh tahun lalu ditemukan jenis manusia baru,


Homo naledi, yang 21 kerangkanya terdapat di sebuah goa di dekat
situs UNESCO The Cradle of Humankind, Afrika Selatan. Usia Homo
naledi, ini yang sangat mengejutkan, kira-kira sama dengan H.
sapien.

Temuan tim yang dipimpin oleh Lee Berger ini sangat penting dalam
studi paleoantropologi, sebab 21 kerangka itu mewakili demografi
yang lengkap [laki-laki dan perempuan, tua dan muda, dewasa dan
anak-anak, bahkan bayi].

Data Homo naledi sudah diungkap sejak 2015; tinggi mereka rata-
rata 143 cm [atau 4.5 kali kepala]; mereka bisa berlari, tapi lebih
suka di atas pohon dan jago memanjat. Dari ritual permakaman yang
mereka lakukan diduga mereka belum memiliki konsep akhirat. Belum
diketahui apakah mereka punah karena dimangsa predator [termasuk
Homo sapien] atau karena sebab-sebab lain. Tapi semua data itu
tidak mempengaruhi teori “Out of Africa” yang sejauh ini masih
mapan.

Perubahan yang terjadi di muka bumi sejak Revolusi Saintifik itu


melampaui seluruh perubahan yang terjadi di seluruh masa
sebelumnya. Ini juga berarti: kehadiran agama dan filsafat, yang jauh
lebih tua dibanding sains, tidak banyak pengaruhnya pada dunia dan
kondisi hidup manusia. Segala macam misteri berikut segenap
tahayul yang membungkus dan merawatnya perlahan-lahan
dibongkar oleh sains.

Dan sejak paruh kedua abad lalu, laju kereta sains melesat
eksponensial, berkat ditemukannya perangkat-perangkat ilmiah
yang semakin canggih dan makin tersebarnya pusat-pusat kajian dan

253
laboratorium yang mampu memproduksi teknologi sebagai derivat
sains.

***

Sekarang, di frontier sains, kita menyaksikan sesuatu yang teramat


mengesankan sekaligus mendebarkan. Ada biologi sintetik
[synthetic biology, synbio] yang diklaim mampu menciptakan
makhluk baru dari ketiadaan (berbasis bakteri) dengan tokoh-tokoh
utama seperti J. Craig Venter dan George Church; di belakang mereka
ada ilmuwan-ilmuwan usia 30an di universitas-universitas besar
Amerika dan mungkin juga sekarang Cina.

Ada CRISPR, metode editing gen, yang antara lain memungkinkan


manusia mendesain bayi mereka, selain melakukan pengobatan untuk
berbagai penyakit berat yang tak kunjung ditemukan obatnya, dengan
tokoh seperti Jennifer Doudna, yang mendemonstrasikan hasil
metode itu dalam ceramahnya di forum TED. David Liu dari Broad
Institute MIT-Harvard menyatakan, metode CRISPR mampu
menyembuhkan lebih dari 90 persen penyakit yang terkait problem
genetik.

Ada temuan-temuan neurosains yang mencengangkan tentang apa dan


bagaimana otak manusia dan cara kerjanya; misalnya mereka
menggagas kemungkinan bahwa yang disebut ruh oleh agama, dan
diyakini oleh semua orang secara universal, adalah aktifitas salah
satu faset otak saja.

Ada komputer kuantum yang berkemampuan komputasi jutaan kali


dibanding komputer supercepat yang kita kenal sejauh ini; padahal
telepon pintar yang kita genggam ini saja punya kemampuan 140 juta
kali dari seluruh komputer di tiga gedung besar yang mengendalikan
perjalanan Apollo 11 ke bulan pada 1969.

Ada percetakan 3D yang makin banyak dijual dan harganya akan


semakin murah. Moore's law di bidang teknologi informasi
mendalilkan: peningkatan kemampuan perangkat komputer berganda
tiap dua tahun. Tampaknya hukum ini sudah berubah; mungkin
sekarang pergandaan itu terjadi tiap 12 bulan atau kurang.

Teknologi robotik tentu akan dikembangkan besar-besaran. Google


sudah membeli beberapa perusahaan produsen robot; ia memutuskan

254
membeli pabrik-pabrik yang sudah jadi ketimbang membangunnya
dari nol; ia tinggal menambah elemen-elemennya saja untuk
meningkatkan secara signifikan kemampuan robot itu, sekaligus
dengan akuisisi itu ia menelan para kompetitor. Jika raksasa bisnis
seperti Google menunjukkan kesungguhan seperti itu, berarti ia
sedang merencanakan sesuatu yang sangat besar.

Sejauh ini yang sudah berhasil dibuat adalah “komputer beroda”


berupa sepeda dan terutama mobil tanpa supir, yang sejak sepuluhan
tahun lalu sudah berjalan sendiri sepanjang ratusan ribu kilometer
di kota-kota yang sibuk di California. Kemungkinan mobil nir-supir
Google menabrak sesuatu jauh lebih kecil dibanding mobil bersupir
-- ini akan mengurangi signifikan kecelakaan lalu lintas.

Suatu kejutan yang menyenangkan sekaligus ironis bahwa era


manusia robot justru dicanangkan resmi di Arab Saudi, berupa
pemberian kewarganegaraan kepada Sophia, gadis robot yang
sekaligus menjadi simbol bagi kota baru Neom yang akan dikelola
dengan perangkat-perangkat teknologi tercanggih. Sophia pernah
berbincang antara lain dengan PM Malaysia Mahathir Muhammad,
yang tak henti tersenyum geli dan takjub atas manusiawinya Sophia,
yang bahkan bisa bergurau.

Sudah tentu pemberian kewarganegaraan kepada Sophia adalah


gestur politik (bukan saintifik) dari penguasa baru Saudi yang
ambisius. Tapi gestur ini punya makna simbolik kuat: suatu tekad
bahwa agama, setidaknya dalam wajahnya yang murung dan out of
date, ingin berusaha keras menyejajarkan diri dengan kecemerlangan
dan kemutakhiran sains.

Tanpa melihat hasil-hasilnya kelak, gestur ini saja cukup


melegakan di tengah ketakmengertian global tentang apa maunya
agama dan bagaimana ia harus ditempatkan dalam masyarakat abad
21 dan selanjutnya – jika di abad-abad itu manusia masih ada.

Sedangkan eksplorasi ke luar angkasa semakin gencar, dan kini


bahkan ikut dikerjakan oleh perusahaan-perusahaan swasta berkat
kemampuan finansial mereka. Yang paling menonjol tentu saja adalah
SpaceX milik Elon Musk. Ahli-ahli astronomi sekarang ini sering
sekali menemukan exoplanet berkat kian canggihnya perangkat
pengidentikasi bintang.

255
Exoplanet adalah planet yang diketahui dapat dihuni karena
memiliki kondisi mirip bumi, dan kebanyakan berukuran sedikit
lebih besar dibanding bumi. Sekarang ada beberapa exoplanet yang
berpeluang dijadikan rumah baru bagi manusia, seandainya umat
manusia harus pindah dari bumi, karena kedekatannya dari bumi dan
aman karena jaraknya cukup jauh dari matahari.

Bukan tak mungkin kelak exoplanet itu bisa dijadikan seperti vila
atau lokasi wisata, seandainya umat manusia tetap tinggal di bumi.
Jarak yang jauh akan diatasi oleh kemampuan pesawat-pesawat
khusus yang jauh lebih besar daripada pesawat penumpang tercepat
yang kita kenal.

Tentu saja terjadi ledakan perubahan di hampir semua aspek


kehidupan oleh penerapan artificial intelligence. Primadona iptek
sejak dua puluh tahun terakhir ini antara lain sudah menghasilkan
teknologi pengintaian dan detektor yang kemampuannya jauh lebih
besar dibanding diri kita bahkan dalam mengenal diri sendiri, selain
menghasilkan robot-robot yang makin pintar dan pasti
menggantikan kerja manusia di banyak bidang, juga memungkinkan
terciptanya mesin pintar seperti sudah disebut.

Berhadapan dengan musuh yang mengepung ketat itu, wajarlah para


pemuja misteri cemas kereta sains akan menggilas semua misteri
terakhir yang masih tersisa. Itu sebabnya Goenawan mengeluh: sains
kini "ingin mengubah, bukan hanya menafsir" -- walau dalam tindak
mengubah tentu ada upaya tafsir sebagai tahap yang harus dilalui;
dan kita heran mengapa tindak mengubah itu disayangkan, kenapa
pula menafsir dianggap cukup dan bermanfaat (entah bermanfaat
bagi siapa dan dalam hal apa).

***

Kita justru takjub, bukan meratap, dengan upaya dan banyaknya


sukses sains dalam menyibak misteri, yang bagi sains adalah problem
-- dan karena itu pasti ada solusinya, cepat atau lambat -- dan
bukan takjub pada misteri itu sendiri dan upaya-upaya
pelestariannya.

Begitu banyak misteri atau persepsi tentang misteri yang membelit


hidup kita berikut segenap kecemasan, kebingungan serta hambatan

256
mental yang ditimbulkannya. Begitu banyak korban manusia akibat
persepsi tentang misteri, misalnya dalam soal penyakit.

Hampir semua penyakit di masa lalu dipercaya timbul karena faktor-


faktor misterius, bersumber dari luar bumi dan sejarah, sehingga
penyembuhannya pun diupayakan dengan cara-cara yang kini
memalukan atau mengerikan untuk diceritakan – misalnya, dengan
membakar ribuan orang Yahudi di Eropa, seperti diceritakan oleh
Goenawan. Kita selayaknya tak henti bersyukur bahwa sains sejauh
ini telah cukup banyak memerdekakan umat manusia dari kungkungan
aneka misteri itu.

Begitupun, "misteri" itu, seperti sudah terlihat terlalu sering,


berlapis-lapis dan bercabang-cabang dan beranting-ranting. Satu
lapis misteri yang terpecahkan memunculkan lapis dan cabang dan
ranting misteri berikutnya. Karena itu stok misteri tidak akan
habis, jika bukan justru bertambah banyak.

Semua ilmuwan akan mengakui fakta ini; mereka telah terlalu sering
mengalami sendiri bagaimana percabangan misteri itu begitu tak
terhingga kayanya. Ahli neurosains pasti merupakan salah satu
contohnya. Tiap hari mereka menemukan hal-hal baru pada aspek-
aspek kecil dalam studi otak, yang digambarkan oleh neurosaintis
Diane Ackerman sebagai “gundukan berkilau, yang sangat sibuk
dengan percakapan-percakapan neural nonstop; sebuah
laboratorium kimia yang sesak; suatu parlemen sel berwarna
kelabu-tikus; sebuah pabrik mimpi; tiran mini di dalam sebuah bola
tulang...”

Tapi mereka mengerti: penyibakan itu membukakan mereka pintu


misteri baru. Dan mereka semakin terpesona. Inilah yang
menjelaskan kenapa semakin banyak subdisiplin yang dikembangkan
ilmuwan karena mereka merasa "misteri-misteri baru" itu
membutuhkan kajian khusus yang lebih spesialistik.

Ini pula yang menimbulkan kritik bahwa tendensi hiper-spesialisasi


itu membuat pemahaman tentang dunia semakin jauh dari keutuhan
pengertian – ini pun kritik yang invalid, karena mengandaikan
tiadanya konglomerasi para spesialis dalam kajian multidisiplin;
seolah mereka seperti filosof, yang suntuk sendirian dengan
kesunyian masing-masing.

257
Peminat dan konsumen sains turut terpesona justru oleh kemampuan
penyingkapan itu dan oleh misteri baru yang terbuka karenanya --
bukan terpesona oleh ketakberdayaan dan kenikmatan mental berkat
dibelenggu ketaktahuan akan misteri itu.

Manusia dewasa yang terdidik selayaknya tak perlu merasa


beruntung karena ketidaktahuan, dan karenanya terus mendekap
ketidaktahuan itu -- the benefit of ignorance.

***

XXXVII. 19 Juni: Goenawan Mohamad: “Aku Mengkritikmu dengan Agenda yang


Sederhana”

AKU MENGKRITIKMU
DENGAN AGENDA YANG SEDERHANA
Untuk Taufiqurrahman dan kawan-kawan lain

Pada tanggal 2 Juni 1897 ada kabar Mark Twain meninggal. Para
wartawan datang ke rumahnya untuk mengecek. Pengarang yang kocak
itu ternyata masih segar bugar. Komentarnya, kalau diterjemahkan
dengan gaya Cak Lontong: “Saya? Mati? Wah, itu dilebih-lebihkan!”.

Demikianlah, ketika dikatakan bahwa filsafat sudah mati, saya ingin


meniru Mark Twain: “The report of the death of philosophy was
exaggerated.”

***

Maka saya senang membaca tanggapan kritis Taufiqurrahman atas


tulisan saya.

Dari semua yang “menyerang” saya dalam polemik tentang sains kini,
setahu saya hanya Taufiq — mungkin karena dia terlatih dalam
filsafat —yang tanggap terhadap soal yang sejak mula saya
sarankan: agar kita menengok bersama lebih dalam bagaimana
sebenarnya sains “menafsirkan dunia”, bukan hanya bercerita
bagaimana sains “mengubah dunia”.

258
Menurut hemat saya, sudah saatnya kita menelaah sisi epistemologis
dari sains — dan ruangan di FB kita ini tak hanya diisi cerita tentang
seabrek prestasi sains yang hebat. Katakanlah mengulang-ulang
kehebatan prestasi sains itu penting sebagai semacam pembelaan,
bila pandangan kritis kepada sains dianggap sebagai “dakwaan” (kata
yang dipakai Hamid Basyaib). Tapi sesungguhnya tak perlu
pembelaan. Jangan khawatir, Bung Hamid. Saya (dan saya kira juga
Fritz Sitorus, Budi Hardiman, dan Bambang Sugiharto) tak menuding
sains sebagai penyelewengan. Saya, misalnya, sudah berkali-kali,
sejak tulisan pertama, mengatakan, bahwa saya — yang merasa “rada
Popperan” — mengagumi sains.

Yang ingin saya soroti adalah pikiran-pikiran “positivisme baru”


yang menjunjung kembali beberapa thesis Positivisme Prancis abad
ke-19 yang sebenarnya sudah lapuk. Belum jelas benar kenapa
semangat ala Comte ini berkibar lagi sekarang— bahkan dengan elan
dan dogmatisme ala mualaf.

Orang menyebut itu gejala “saintisme”. Tapi saya tak mau berdebat
panjang lagi tentang istilah itu; maka lebih baik saya melihat apa
yang diyakini Positivisme — baik Positivisme KW-1 abad ke-19
maupun “Positivisme” KW-2 abad ke-21:

A. Di dalamnya ada kepercayaan, bahwa dengan kemajuan


pengetahuan manusia, agama akan lenyap.
B. Di dalamnya ada kepercayaan, bahwa filsafat akan mati.
C. Di dalamnya ada kepercayaan, bahwa semua pengetahuan manusia
akhirnya akan jadi produk sains, atau menggunakan dasar
pemikiran dan metode sains modern. Kalau tidak, akan
ketinggalan zaman, atau bisa dianggap takhayul.

Apa dasar kepercayaan-kepercayaan itu? Sejauh manakah


kepiawaian sains?

***

Taufiq menjawab, dengan kalem dan jernih: sains memang tidak


berpretensi menjawab semua persoalan. Sains—dalam arti spesifik:
ilmu alam—hanya berupaya menjawab soal-soal dunia alamiah. Maka,
dalam hal ini, kata Taufiq pula, (dan ini melegakan hati saya), “kritik
Husserl dan Heidegger terhadap sains tentu saja benar.”

259
“Sebab sains, tak seperti fenomenologi, memang tidak hendak
menangkap dimensi subjektif manusia dalam pengalamannya
berhadapan dengan dunia. Sains justru berupaya mengetahui dunia
sebagaimana ia ada dalam dirinya, bukan dunia sebagaimana yang
dialami manusia.”

Kata Taufiq selanjutnya: “Dunia yang ingin diketahui sains adalah


dunia yang keberadaannya tidak bergantung pada pengalaman dan
pikiran manusia (“mind-independent world”), dunia yang objektif,
ada di sana. Dunia semacam itu bisa diakses oleh manusia melalui
matematika, bukan melalui fenomenologi transendental ataupun
melalui kata-kata penuh metafora.”

***

Taufiq merujuk ke pemikiran Quentin Meillassoux, filsuf yang dalam


usia muda, sekitar 30 tahun, mempesona dunia filsafat Barat. Dengan
bukunya yang tak tebal, (versi Inggrisnya “After Finitude”), yang
ditulis dengan bahasa yang terang, Meillassoux mencoba dengan
serius menjungkirkan bangunan epistemik filsafat Barat selama ini:
“korelasionisme”.

“Korelasionisme”, kata Meillassoux sebagaimana yang saya baca dari


ceramahnya di Middlesex Unversity, London, tahun 2008, “mengambil
bentuk bermacam-macam — filsafat transendental, fenomenologi,
dan pemikiran “post-modernis”. Mereka ini bisa saling
bertentangan, tapi semuanya bertolak dari thesis bahwa tak ada
objek, atau kejadian, atau hukum, atau makhluk, yang selamanya,
sejak mula, tidak berkorelasi dengan satu pandangan subjek, atau
tanpa akses ke satu subjek, yakni kesadaran manusia. “Mind-
independent world”, dalam kata-kata Taufiq.

Adapun premis Meillassoux ini berkaitan dengan temuan para


ilmuwan — di bidang, astrofisika, geologi, paleontologi — tentang
realitas yang ada sebelum manusia muncul di alam semesta, tentang
fosil dari makhluk yang punah jauh sebelum ada pengetahuan
manusia. Tersirat, ada beda waktu antara terjadinya dunia dan
lahirnya pikiran, antara “pemikiran” dan “adanya subjek”, .

Pemikiran “korelasionis” menampik premis Meillassoux ini. Artinya,


menolak filsafat dengan fundamen Realisme. Realisme bertolak dari
asumsi bahwa realitas adalah arena tersendiri di luar pembentukan
260
Ide. Tapi “korelasionisme” tak melihat kemungkinan kita untuk
menjangkau realitas dalam diri realitas itu sendiri, apa oleh Kant
disebut sebagai “das Ding an sich”. Bagi “korelasionisme”, tak ada
yang secara mutlak independen dari aku, atau dari zamanku, atau
duniaku.

Pendek kata bagi pandangan “korelasionisme”, kata Meillassoux,


pikiran hanya harus berurusan dengan dunia yang berkorelasi dengan
dirinya. Dan itulah yang hendak ia koreksi.“Tujuan saya sederhana,”
katanya: “mencoba membantah tiap pemikiran “korelasionistis”.

Itu berarti ia akan mencoba menunjukkan bahwa pemikiran dapat


mengakses realitas sebagaimana adanya — realitas dalam kondisi
murni mandiri dari semua pengaruh atau tindakan subjek. Dengan
kata lain, dalam filsafat Meillassoux, ada keyakinan, “sebuah
realitas yang terpisah dari subjek dapat dipikirkan subjek itu”.

Baiklah saya kutipkan apa yang dikatakan Taufiqurrahman:

“Sifat-sifat objek, sejauh dapat diformulasikan ke dalam bahasa


matematis, adalah sifat yang objek yang independen dari persepsi
atau sensasi kita, sifat yang tidak hanya ada karena kita ada, tetapi
juga bisa ada meskipun kita tidak ada. Dengan kata lain, ia adalah
sifat objek di dalam dirinya, bukan objek sejauh terpersepsi oleh
kita”.

***

Ini sebuah pendekatan yang segar untuk membicarakan sains. Ini


mudah-mudahan bisa membuat percakapan kita tak jadi pengusutan
(“inkuisisi”) siapa yang anti-sains dan siapa yang setia sampai mati.

Ada dua catatan untuk Taufiq.

Pertama, ia tidak menganggap sains sebagai satu-satunya jalan


terang — atau jalan yang paling diridhoi Logos —untuk memahami
dunia dan kehidupan. Taufiq bukan neo-positivis. Seperti saya.
Alhamdulillah.

Kedua, Taufiq dengan baik menjelaskan apa spesialitas sains. Ia


mulai dengan menyebut adanya dua “kualitas” dalam benda-benda
dalam alam, seperti dalam teori John Locke: kualitas primer

261
(“primary qualities”), yang dibedakan dari kualitas sekunder
(“secondary qualities”) seperti warna, panas, dan bau.

“Panas, misalnya, adalah kualitas objek yang baru muncul begitu ada
relasi antara subjek dan objek, begitu subjek menyentuh objek
pembawa sifat panas”. Dengan kata lain, kualitas itu muncul karena
adanya relasi subjek-objek. Maka tingkat kepanasan objek yang sama
akan terasa berbeda bagi subjek yang berbeda. Tapi sebagai
temperatur, karena bisa diformulasikan secara matematis, bukanlah
kualitas yang bergantung pada sensasi subjek. Siapa pun subjek yang
mengukurnya, temperatur dari objek yang sama dalam kondisi yang
sama akan tetap.”

Dengan demikian, kata Taufiq, sains, “melalui perangkat


matematisnya, mampu menggambarkan dunia sebagaimana adanya,
dunia yang independen dari segala bentuk subjektivitas manusia.”

***

Karena saya belum paham benar pemikiran Meillassoux, saya masih


dirundung pertanyaan: jika “primary qualities” adalah kualitas pada
sesuatu yang tak bergantung pada hubungannya dengan kita, dari
mana datangnya asumsi bahwa ia dapat di-matematika-an? Dengan
kata lain, jika “kualitas primer” itu dapat dimatematiskan, tidakkah
itu berarti ia tidak otonom dari manusia?

Mungkin Meillassoux akan menjawab, mereka akan tetap punya


kualitas itu bahkan ketika tak ada lagi manusia. Tapi itu berarti,
seperti dikemukakan dalam kritrik Graham Harman, pelopor
“object-oriented-onthology”, (jadi sebenarnya sama-sama dalam
“mazhab” Realisme Spekulatif), Meillassoux mencampuradukkan
pengertain keterlepasan dari masa hidup manusia, dengan
pengertian otonomi dari jangkauan pikiran manusia.

Atau kritik Ray Brassier, yang juga, seperti Harman, seorang pemikir
“mazhab” Realisme Spekulatif. Bagi Brassier, Meillassoux
mempertaruhkan otonomi das-Ding-an-sich (“the in-itself”) ke
dalam rangka kronologi atau acuan waktu; ia meletakkan “arche-
fossil” dalam parameter temporal: sebelum dan sesudah zaman
manusia. Padahal parameter itu, waktu yang terukur itu, adalah
waktu manusia, waktu subjek yang sadar. Di sini, ia tergelincir ke
dalam premis “korelasionis”.
262
Lalu?

Barangkali kita perlu kembali ke Realisme bodo-bodoan: sains tak


mungkin menjangkau sesuatu yang di luar pemikiran manusia.
Meskipun ia dapat, dengan metodenya, mampu independen dari
subjektivitas manusia, dalam batas tertentu, dalam kondisi
tertentu.

Lebih sederhana lagi, seperti dikatakan Taufiq, “sains—dalam arti


spesifik: ilmu alam—hanya berupaya menjawab soal-soal dunia
alamiah.” Dengan serius dan piawai.

Tak perlu kita buru-buru masuk ke dalam “fideisme”. Iman kepada


yang Maha Dahsyat bisa terjadi dalam pelbagai cara, dengan pelbagai
alasan, melalui pelbagai jalan — tak selamanya karena kebuntuan
nalar, atau kebodohan, atau karena kesadaran akan kedaifan. Juga tak
selamanya diartikulasikan dalam agama (yang tak jarang malah
menciderainya). Bahkan kadang-kadang tak diucapkan sama sekali.

Kita tahu kaum neo-Positivis memusuhi dogmatisme agama,


dogmatisme kaum “Jorgeis”. Maka diharapkan mereka juga
meninggalkan sikap dogmatis mereka atas nama sains. Kritik yang
umumnya ditembakkan keras ke arah “saintisme” (atau yang sejenis
ini) ialah sikapnya yang menjunjung sains sebagai hakim, atau
sebagai pemegang monopoli pengetahuan.

Mumpung filsafat belum mati, meninggalkan itu sebenarnya agenda


yang sederhana.

***

Jakarta, 19 Juni 2020.

Seperti pernah saya sebut dalam tulisan yang lalu, teori Locke
ditampik Whitehead sebagai awal dari “bifurcation of nature”.

Latour: “if nature really is bifurcated, no living organism would be


possible, since being an organism means being the sort of thing
whose primary and secondary qualities—if they did exist—are

263
endlessly blurred. Since we are organisms surrounded by many other
organisms, nature has not bifurcated” (p. xiii).

XXXVIII. 19 Juni: Ulil Abshar Abdalla: “Tentang Korelasionisme”

TENTANG KORELASIONISME
Catatan kecil untuk Goenawan Mohamad

Percakapan tentang filsafat dan sains masih berlanjut, dan saya


menikmatinya. Dalam catatannya yang terakhir yang baru dirilis
beberapa jam lalu di laman fb-nya, Mas Goen menyinggung nama
filsuf Perancis Quentin Meillassoux yang menulis buku "After
Finitude" (terjemahan Inggrisnya, menurut saya, kurang bagus!).

Salah satu gagasan penting Meillassoux adalah kritiknya atas apa


yang ia sebut "korelasionisme", yaitu cara berfilsafat setelah
Immanuel Kant yang membayangkan manusia tak mungkin ada tanpa
dunia, atau dunia tak mungkin ada tanpa manusia.

Meillassoux berpandangan bahwa dunia bisa ada dan memiliki


"qualities" pada dirinya sebelum ada manusia. Sebab, dalam sejarah
alam raya yang berumur 13,8 miliar tahun ini, umur manusia barulah
beberapa detik saja. Sesuatu pada dirinya sendiri (disebut oleh Kant
sebagai "das Ding an sich") jelas ada sebelum manusia muncul. Itulah
yang disebut Meillassoux sebagai "ancestrality" (judul bab pertama
dalam bukunya).

Jalan untuk mengetahui "qualities" segala sesuatu pada dirinya


sendiri, ada atau tak ada manusia, menurut Meillassoux, adalah
melalui matematika. Baginya, matematika adalah sejenis realitas
sesuatu pada dirinya sendiri yang independen dari manusia (filsuf
Muslim biasa menyebutnya: "al-'alam al-khariji").

Saya melihat, langkah Meillassoux ini adalah bagian dari trend besar
dalam pemikiran filsafat di Barat yang hendak "membunuh manusia"
(setelah sebelumnya membunuh Tuhan!). Ini adalah "the latest
attempt at the killing of God and, by its default, human".

264
Kecenderungan ini paling menonjol dalam tradisi filsafat Perancis.
Apakah ini ada kaitan dengan konsep "laïcité" yang keras di negeri
itu?

Saya tak cocok sama sekali dengan gaya berpikir seperti ini. Bagi
saya, manusia adalah pusat dari seluruh pekerjaan pengetahuan.
Seluruh bangunan sains modern hanya mungkin tegak dengan
mengandaikan adanya agen penting: yaitu manusia.

Tanpa manusia, seluruh "struktur komprehensibilitas" (ingat


perkataan Einstein: the most incomprehensible thing about the
universe is that it is comprehensible) yang kita jumpai dalam alam
raya ini, menjadi tak berguna sama sekali.

Tragedi filsafat Barat, menurut saya, adalah adanya "the will to


homicide", kehendak untuk "membunuh manusia", dengan satu dan lain
cara, setelah menuntaskan babak sebelumnya: theocide, membunuh
Tuhan. Apa yang dilakukan oleh Meillassoux ini adalah bagian dari
tendensi homisidal ini.

Sebab, selama manusia belum dibunuh, kemungkinan Tuhan atau


metafisika tradisional balik lagi ke panggung sejarah, akan terus
ada. Dan filsafat Barat tampaknya memiliki trauma terhadap Tuhan.

Kritik sederhana pada Meillassoux (saya tak bisa menghindar dari


nama Ary Lasso), menurut saya, adalah: bahkan kritik atas
"metafisika" (saya menyebutnya demikian) korelasionisme yang ia
kerjakan itu hanya mungkin diselenggarakan oleh subjek yang sadar,
yaitu seorang filsuf bernama Meillassoux.

Atau lebih jauh lagi: apa yang disebut "matematika" (oleh


Meillassoux dianggap sebagai jalan untuk menembus realitas
sesuatu pada dirinya, "irrespective of the beholding subject") adalah
hasil kerja subjek juga, yaitu manusia. Saya bertanya: Apakah
mungkin lari dan menghindar dari manusia dalam seluruh "knowledge
formation"?

Rasasanya mustahil. Pada akhirnya, pembentukan pengetahuan


adalah "a humanist undertaking", pekerjaan manusia dengan seluruh
struktur "finitude" yang mengepungnya dari segala sisi. Itu pendapat
saya.

265
Kembali kepada soal korelasionisme: pada akhirnya, "das Ding an
sich," sebagaimana dikatakan Kant, tidak mungkin ditembus. Tetapi
saya lebih menyukai istilah para sufi (biar tidak pinjam bahasa
orang Eropa terus) "sirrul al-asrar," rahasinya rahasia.

Sains hanya mengungkap satu lapis "rahasia natural" dengan metode


tertentu, dan dengan mengandaikan bahwa rahasia ini terungkap
dalam relasi antara objek dan subjek (=manusia).

Tetapi ada lapis rahasia yang lain, yaitu sesuatu pada dirinya
sendiri. Lapis inilah yang tidak bisa ditembus. Meskipun saya
bertanya-tanya pula: apakah tak bisa ditembus sama sekali, atau
tidak bisa ditembus melalui metode sains?

Belum lagi memperhitungkan pertanyaan lain: apakah "properties"


dari "das Ding" itu hanya sebatas "natural properties"? Tidak
mungkinkah ada "properties" lain (tentu tak ada sangkut-pautnya
dengan bisnis properti)?

Anyway, terima kasih untuk GM yang telah membawa kita pada


percakapan yang menarik tentang sains, tidak semata-mata dengan
"sikap berkhidmat", tetapi juga curiga. Jika terhadap agama dan
metafisika berlaku "tatapan kritis", kenapa tidak berlaku tatapan
yang sama terhadap sains?

Dan, seperti kata GM, tatapan ini tidak harus dimaknai sebagai
"dakwaan" atas sains, atau apalagi mewakili sikap regressif kedalam
metafisika tradisional yang dianggap akan mengganggu kemajuan
sains.

XXXIX. 19 Juni: Hamid Basyaib: “Romantisisme dan Falasi Memedi Goenawan


Mohamad”

ROMANTISISME DAN
FALASI MEMEDI GOENAWAN MOHAMAD
Bagian 4 dari 6

266
Raymond Kurzweil, yang meramalkan selambatnya pada 2045 akan
tercipta manusia hibrid (gabungan fisik biologis dan perangkat-
perangkat teknologis), merasa dia tinggal beberapa langkah lagi
untuk mampu menciptakan pikiran, seperti ia petakan dengan terinci
dalam bukunya How to Create a Mind: The Secret of Human Thought
Revealed (Viking Penguin, 2012).

Tapi "beberapa langkah" itu tampaknya masih perlu dua puluh tahun
lagi, selain pikiran ciptaannya mungkin saja tak sebaik akal manusia
-- walau yang lebih mungkin adalah sebaliknya. Di buku itu ia
bilang, misalnya, membran di dalam otak manusia mampu menyimpan
300 juta informasi – ia tentu bisa membuat “otak digital” berkali-
kali lipat dari jumlah ini, sambil memberinya kemampuan untuk
memanggil informasi itu kapan saja; hal yang tidak dimiliki otak
biologis.

Jika orang seperti Ray Kurzweil menyatakan sesuatu yang


berhubungan dengan sains dan teknologi, siapapun perlu
menyimaknya, paling sedikit demi kejujuran intelektual. Ia satu dari
16 inventor terbesar Amerika.

Ia meramal dengan tepat berpuluh-puluh perkembangan sains dalam


40 tahun terakhir, dan ia kini direktur teknologi grup Google, yang
antara lain membawahi DeepMind, perusahaan pencipta AlphaGo,
komputer yang mengalahkan juara dunia Go (Wei qi) 18 kali, Lee
Sedol; Go adalah permainan Cina kuno yang lebih rumit daripada
catur.

Generasi AlphaGo berikutnya bahkan mengagetkan penciptanya


sendiri karena komputer itu tampak mampu berpikir; pelatihnya
hanya memasukkan data tentang aturan main Go, tanpa memasukkan
satu pun contoh langkah, lalu AlphaGo berpikir sendiri dan
menggerakkan buah-buah Go; selalu demikian dalam pelatihan yang
tak terhitung banyaknya.

Kemungkinan-kemungkinan seperti inilah yang dirisaukan oleh


fisikawan Stephen Hawking dan salah satu ikon teknologi Elon Musk,
yang mendesak agar perangkat seperti AlphaGo dikembangkan dengan
sangat hati-hati.

Menurut mereka robot-robot itu akan menghancurkan peradaban


dunia, karena mereka mampu berkomunikasi antar sesama mereka,
267
dan karena itu mungkin saja melakukan permufakatan jahat terhadap
manusia dan dunia, terlepas dari arahan dan kendali "pawang"nya.

Sekadar perbandingan: pada 1997 IBM menciptakan Deep Blue, yang


memenangkan pertandingan melawan juara dunia catur Gary
Kasparov. Saya pernah memainkan partai mereka di situs
chessgames.com dan pada langkah ke sekian, Kasparov benar-benar
menjepit Deep Blue dengan sangat ketat tapi sangat halus, membuat
komputer itu terdiam cukup lama.

Tapi akhirnya Deep Blue mampu mengelak, menyerang balik, dan


Kasparov kalah. "Saya rasa mesin itu benar-benar mampu berpikir,”
katanya seusai pertandingan. “Saya sudah menyusun serangan dengan
sangat halus (dan ternyata ia tahu perangkap itu)."

Jenius seperti Kasparov disebut mampu memikirkan 15 variasi


langkah per detik. Deep Blue bisa mempertimbangkan 200 ribu
langkah per detik.

Dengan mengingat Moore's law, kita sulit membayangkan kekuatan


AlphaGo, yang dikembangkan dua puluh tahun setelah Deep Blue, yang
ditujukan terutama untuk keperluan medis -- pertandingan dengan
Lee Sedol di Beizing itu cuma ujian kekuatan intelektualnya saja,
dan dijadikan bukti bahwa mesin telah mengalahkan manusia; Sedol
sendiri seusai pertandingan menyatakan mundur dari arena Go,
sambil minta maaf bahwa ia telah gagal mempertahankan keunggulan
manusia terhadap mesin.

***

Pada 1993, ilmuwan dan penulis novel fiksi-ilmiah Vernor Vinge


menulis: "Dalam tiga puluh tahun mendatang kita akan memiliki
perangkat teknologi yang mampu menciptakan kecerdasan manusia-
super. Tak lama setelah itu sejarah manusia berakhir."

Ray Kurzweil, seperti sudah disebut, menilai ramalan Vinge terlalu


cepat; ia sendiri memperhitungkan situasi itu akan dicapai pada
2045. Tapi harus diakui, sekarang, 27 tahun setelah Vinge meramal,
sebagian elemen dalam ramalannya itu sudah terbukti. Menurut
Kurzweil, pada 2045 itulah mulai terwujud era Singularity (istilah
ini dipopulerkan oleh Kurzweil dan Vinge sejak dua puluhan tahun
lalu).

268
Singularity adalah situasi ketika perkembangan teknologi bersifat
uncontrolable atau tidak dapat dikendalikan oleh manusia; manusia
hibrid [cyborg atau transhuman] yang tercipta di masa itu akan
mampu meningkatkan kapasitasnya sendiri terus-menerus. Ray
Kurzweil memaparkan secara terinci skenario ini dalam bukunya
yang terbit 2005, Singularity is Near: When Humans Transcend
Biology -- saya tak kunjung tamat membaca karya 652 halaman ini.

Manusia yang dimaksud dalam "era manusia berakhir" adalah manusia


yang kita kenal selama ini. Yang akan makin banyak muncul adalah
manusia hibrid, gabungan organ-organ biologis dan teknologi, yang
jauh lebih cerdas. Maka akan terjadi pula ledakan kecerdasan
(intelligence explosion).

Tentu yang akan terjadi adalah seperti yang telah kita alami
berulang kali selama ini: yang akan mampu membeli teknologi hibrid
pertama-tama adalah orang-orang kaya; mereka inilah yang akan
mengalahkan manusia-manusia biasa yang hanya memiliki
kecerdasan alamiah-biologis. Lama-kelamaan semakin banyak orang
yang mampu membeli teknologi itu, karena harganya akan semakin
murah.

Semua barang teknologi pun perjalanannya begitu. Dulu hanya orang


kaya yang mampu membeli pesawat televisi, mobil atau sepeda
motor; sekarang lebih dari separuh penduduk dunia memiliki telepon
genggam yang harganya semakin murah (diukur dari kemampuannya
dan harganya di masa lalu).

Terhadap prospek kemampuan hidup abadi itu, makin banyak orang


yang percaya. Mereka melihat, tanpa intervensi teknologi secara
langsung pun faktanya usia manusia terus memanjang.

Jika di abad ke-19 rata-rata harapan hidup global adalah 40 tahun,


pada abad ke-20 life expectancy meningkat menjadi 70 tahun, maka
secara teoretis --berdasarkan pola peningkatan itu-- ada harapan
rata-rata harapan hidup di abad ini sedikitnya adalah 130 tahun.

WHO pun sudah merevisi dan membuat standar baru kategori status
usia. Sekarang orang berusia 50-65 tahun adalah "menjelang tua",
66-75 adalah "tua", usia 76-90 "sangat tua", dan 90 ke atas adalah
"superold". Ini juga tentu berpengaruh pada penetapan batas usia
pensiun bagi pegawai di seluruh dunia.
269
Sekarang, orang-orang seperti Raymond Kurzweil meramalkan
prospek hidup abadi –suatu aspirasi tua manusia; mungkin karena ini
pula muncul konsep after life, kehidupan setelah mati. Kebetulan
sudah ada pula perusahaan-perusahaan yang menyediakan jasa
cryonic, suatu metode pembekuan jasad dengan nitrogen cair.

Seorang yang saat ini berusia 70, misalnya, pada saat ia meninggal
dunia kelak bisa minta jasa cryonic. Harapannya jika nanti ada
teknologi yang mampu menghidupkannya lagi ia bisa mengikuti
proses medis dan teknologi yang memungkinkannya hidup selama
ribuan tahun atau bahkan abadi.

Televisi BBC pernah meliput perusahaan-perusahaan penyedia jasa


cryonic itu, yang masih ditanggapi dengan skeptis oleh komunitas
ilmiah mainstream. BBC mewawancarai anggota keluarga orang-
orang yang ikut program tersebut, dan menginterviu para pakar yang
menganut metode ini. Semua ahli itu menyatakan teknologi tersebut
memang bisa dijalankan, meski sejauh ini jasad manusia yang di-
cryonic belum bisa kembali utuh sepenuhnya.

Ray Kurzweil sendiri berencana mengikuti proses itu jika ia


meninggal, dengan bergabung ke perusahaan Alcor Life Extension
Foundation. Saat ini, selain memilih menu dengan ketat, ia menelan
100 tablet suplemen setiap hari; semula ia mengonsumsi dua kali
lipatnya; setelah muncul banyak kritik, ia mengurangi menjadi
separuhnya.

Dan dengan Singularity itu pula sejarah evolusi biologis manusia,


yang sudah berlangsung selama 3.5 miliar tahun, berakhir. Manusia-
hibrid akan berkembang ke arah yang belum bisa diramalkan dan
mungkin tak pernah bisa diketahui. Kurzweil meramalkan
transhuman akan memasal pada periode 2079-2099. Homo sapien akan
keluar dari skema evolusi biologis.

Sejarawan Yuval Harari juga banyak menyinggung isu ini dalam buku
dan ceramah-ceramahnya. Ia meramalkan di akhir abad ini manusia
akan punah (bisa juga kita tafsirkan: ia menghitung masa lima
puluhan tahun setelah ramalan Kurzweil 2045 itu, ketika semakin
banyak warga bumi berubah menjadi manusia-hibrid).

Nada Harari cenderung murung dan pesimistik, sedangkan Kurzweil,


yang telah menginvensi atau menginovasi banyak perangkat
270
teknologi -- termasuk piano synthesizer yang mampu meniru
instrumen asli nyaris sempurna, perangkat audio dan mesin alat
bantu baca bagi tunanetra -- jauh lebih optimistik terhadap
prospek hadirnya manusia-hibrid itu.

Seperti biasa, terhadap prospek perkembangan iptek semacam itu,


banyak orang meragukan atau bahkan mencibir; menganggapnya
berlebih-lebihan, dan semacamnya. Itu yang terjadi ketika mobil
pertama dibuat oleh Henry Ford, ketika telepon dibuat oleh Graham
Bell, ketika Wright bersaudara membuat pesawat udara dan
memulainya dengan mengkhayal manusia bisa terbang.

Skeptisisme itu juga meruyak ketika Armstrong-Buzz-Aldrin


menginjak bulan lima puluh tahun silam; cibiran itu pula yang
mungkin hari-hari ini berjangkit di mana-mana ketika Elon Musk
dan NASA sibuk mengurus rencana menaklukkan Mars dan ingin
menjadikannya rumah baru umat manusia (dan ada orang Indonesia,
Vera Mulyani, yang sejak beberapa tahun lalu mendirikan biro
arsitek "Mars City Design" di Amerika untuk mendesain perumahan
dan lain-lain di Mars); itu juga yang membuat orang tertawa ketika
teknologi komuniasi nirkabel dibuat, dan seterusnya.

Keraguan-keraguan semacam itulah yang memunculkan istilah


konservatisme; orang memang cenderung memelihara saja (to
conserve) apa yang sudah ada. Lalu muncul pula istilah rasionalisasi
dan justifikasi --alasan-alasan pembenaran dan persetujuan ketika
apa yang diragukan-- itu ternyata kemudian terbukti.

Terhadap kritik-kritik yang meragukan ramalannya dan prospek


muram yang dipaparkannya ("manusia akan punah di akhir abad ke-21
ini", yang dianggap terlalu cepat), Yuval Harari menanggapi enteng:
kalaupun bukan di abad ini, kepunahan itu akan terjadi di abad ke-
22 atau abad ke-23. "Apa artinya masa 100-200 tahun dalam konteks
usia manusia yang 200 ribu tahun?" katanya – dengan ini orang makin
sulit menyanggahnya.

***

Mereka yang cukup memahami situasinya dan mengerti bahwa prospek


yang nyata ini memang merisaukan, berusaha keras menahan laju
menuju Singularity itu. Maka, misalnya, Fisikawan Stephen Hawking
bersama tiga rekannya -- pemenang Nobel Fisika Frank Wilczek,
271
Fisikawan MIT Max Tegmark dan penulis buku teks utama tentang AI,
Stuart Russel -- antara lain menulis surat terbuka di koran
Huffington Post [2014], menanggapi film Transendence, yang
menceritakan teknologi yang bisa menghidupkan orang yang sudah
meninggal, meski hanya dalam bentuk gambar dan komputer.

Muatan otak si mati (dimainkan oleh Johnny Depp) sebelumnya sudah


diunggah ke komputer, dan setelah ia mati ia hidup lagi di komputer
itu. (Ray Kurzweil sejak beberapa tahun lalu sungguh-sungguh
mengupayakan hal itu untuk menghidupkan kembali ayahnya; dia
kumpulkan semua bahan yang relevan; catatan-catatannya, gestur
dan cara bicaranya, dan sebagainya. "Jadi kalau saya kangen sama
Ayah, saya bisa mengobrol dengan dia," katanya).

Menurut Hawking dkk, apa yang diceritakan dalam film Transendence


memang bisa terjadi sungguhan, bukan sekadar cerita fiksi. Mereka
cemas akan prospeknya bagi kemanusiaan. Dalam surat terbuka itu
Hawking dkk meminta agar masalah ini --misalnya prospek
munculnya sistem persenjataan otonom yang mampu memilih sendiri
targetnya, dan sanggup meningkatkan sendiri kemampuannya--
benar-benar dipikirkan oleh PBB. Mereka risau pula menyaksikan
sedikitnya lembaga yang peduli pada upaya pembatasan dan kontrol
terhadap AI. Yang ada, kata mereka, hanya beberapa LSM kecil seperti
Cambridge Center for Existential Risk dan Future of Life Institute.

Dikoordinasi oleh Max Tegmark, Hawking dkk kembali meminta


perhatian PBB tentang potensi ancaman tersebut beberapa tahun
lalu. Kali ini mereka membuat petisi yang sejauh ini sudah
ditandatangani oleh lebih dari 8.000 orang; meminta agar dilakukan
upaya serius untuk mengoptimalkan pengembangan AI agar memberi
manfaat sosial dan mengurangi dampak-dampaknya yang berbahaya
bagi kehidupan umat manusia.

Begitu banyak nama besar yang menandatangani petisi itu, yang


dimuat di situs futureoflife.org (siapapun bisa ikut menekennya
sampai sekarang), termasuk Steve Wozniak (pendiri Apple Computer),
Sam Harris (ahli neurosains dan pendiri Project Reason), Demis
Hassabis dan Mustafa Suleyman (pendiri DeepMind, pembuat
AlphaGo).

272
Terlibatnya nama-nama besar itu, para teoretisi utama dan teknolog
di garis terdepan teknologi AI, menunjukkan keseriusan masalah ini.
Mereka bahkan melampirkan dokumen panduan riset prioritas dalam
petisi itu, yang boleh dimanfaatkan oleh siapa saja, agar AI bisa
mendatangkan manfaat sosial optimal.

XL. 20 Juni: Hamid Basyaib: “Romantisisme dan Falasi Memedi Goenawan


Mohamad”

ROMANTISISME DAN
FALASI MEMEDI GOENAWAN MOHAMAD
Bagian 5 dari 6

Kehadiran artificial intelligence [AI], seperti kita tahu, telah


mendisrupsi begitu banyak bisnis yang sudah mapan selama puluhan
tahun; dalam sekejap mereka dikalahkan oleh perusahaan-
perusahaan rintisan di seluruh dunia. Di sektor itu AI mendatangkan
manfaat sosial sangat besar – inilah justru kunci kemajuannya yang
membuat gagap begitu banyak raksasa bisnis tradisional.

Beberapa tahun lalu mesin AI produk sebuah perusahaan rintisan


berhasil menulis esai dengan kematangan ide setingkat siswa SMA;
sangat mungkin saat ini mesin itu sudah bisa menulis makalah ilmiah
sekelas tulisan doktor; juga mampu menulis karya sastra.

Microsoft memberhentikan beberapa puluh wartawan yang


menjalankan sayap bisnis medianya, untuk digantikan dengan robot.
Kantor berita Reuters juga sudah mempekerjakan robot untuk
menulis berita. Tamedia, sebuah grup perusahaan media di Swiss,
mempekerjakan robot-robot yang disebut mampu memproduksi
40.000 tulisan dalam lima menit. Dengan bantuan AI, grup Amazon
merekrut 90.000 pegawai hanya dalam satu hari.

Tapi bahaya-bahaya yang dicemaskan Elon Musk dan lain-lain itu


tentang AI juga nyata. Di bidang pengintaian (surveillance),
sekarang pun sudah terlihat dampaknya. Di tangan penguasa
otoriter, pengintaian oleh AI dapat digunakan untuk mengawasi
warganya secara total – meski dalam aspek ini AI juga bisa ampuh

273
untuk menekan angka kriminalitas atau menangkap buron yang sudah
bertahun-tahun lolos.

Dulu pengawasan oleh pemerintah (misalnya di Uni Soviet) hanya


berupa penguntitan pembangkang; intel KGB menguntit orang seperti
Andrei Sakharov ke mana pun ia bergerak selama 24 jam sehari.

Bahkan aplikasi Whatsapp, yang kini digunakan oleh miliaran


manusia, dibuat oleh Jan Koum, imigran Amerika dari Ukraina,
lantaran ia traumatik karena ayahnya hilang setelah gerak-
geriknya dipantau tanpa henti oleh intel penguasa; maka ia, katanya,
berusaha membuat teknologi komunikasi yang anti sadap.

Semua itu merupakan pengawasan "over the skin"; masih kasar dan
fisikal. Pengembangan AI memungkinkan pengawasan "under the skin",
yang membuat sang mesin mampu memahami kita lebih baik dibanding
kita memahami diri sendiri.

Jika kita menonton televisi atau menggunakan telepon seluler,


misalnya, seseorang entah di mana bisa tahu bagaimana perasaan
kita saat menonton acara tertentu; bagaimana reaksi kita ketika
membaca buku tertentu. Saat ini pun hal itu sudah kita alami.

Cobalah baca buku di aplikasi Apple Books, misalnya. Ia akan tepat


menunjukkan di halaman berapa kita berhenti dalam pembacaan
sebelumnya. Jika ada kata yang kita tidak pahami dalam sebuah buku,
kita hanya perlu mengklik kata itu lalu kita kontan terhubung
dengan penjelasan kata itu di dalam kamus.

Dengan cara itu pula sebenarnya yang terjadi adalah saling baca
antara kita dan buku. Kita membaca teks di dalamnya, sang buku
membaca emosi kita. Maka ia tahu di halaman berapa kita berhenti
membaca, kata-kata apa yang kita tandai, istilah-istilah apa yang
kita tak mengerti; kapan kita kembali ke buku itu [disertai
pemberitahuan telah berapa persen Anda membaca buku itu].

Makin lama data semacam ini makin lengkap. Dua-tiga tahun lagi
data di seputar ini, dan dengan demikian fasilitas dan fiturnya --
misalnya bacaan kita langsung bisa terhubung dengan semua buku
yang membahas isu yang sama untuk keperluan cek silang-- akan
semakin dipertajam. Makin lama data reaksi tubuh dan pikiran kita

274
pun diketahui kian mendetail; apakah kita berkeringat, apakah
tekanan darah naik, apakah asam lambung meningkat, dan seterusnya.

Singkatnya sang buku mengerti bioritmik kita saat kita membacanya


-- dan dengan demikian si buku pun lebih jelas dalam membaca diri
kita. Semua data ini bisa digunakan oleh dunia industri untuk
menawarkan barang-barang tertentu kepada Anda secara spesifik,
langsung ke ponsel Anda; ini bisa mengurangi biaya pemasaran dan
promosi.

Tentu ini bisa negatif, tapi juga bisa sangat positif bagi kebutuhan
kita. Dengan itu kita bisa menghemat waktu dalam menyeleksi barang
yang kita butuhkan. Kita juga mungkin diberitahu bahwa kita
membutuhkan obat tertentu, meski kita bahkan tidak menyadari
gejala penyakit yang mungkin bersarang di dalam tubuh kita.

Tapi penguasa di negeri seperti RRT pun bisa memanfaatkannya untuk


mengawasi warganya; dan sejauh ini hal itu sudah terjadi di sana.
Seorang buron tahunan tiba-tiba ditangkap, lima menit setiba ia di
gedung konser musik, 100 kilometer dari persembunyiannya.

Para pengamat dan pemain AI di Amerika bahkan mengakui kemajuan


AI Tiongkok akan segera melampui negeri mereka. Peter Diamandis,
pendiri Universitas Singularity, memastikan RRT akan segera
menjadi pusat terbesar pengembangan AI di dunia, setelah
mengunjungi kota-kota RRT tahun lalu.

Itulah yang membuat Henry Kissinger dalam usia 90an merasa perlu
menulis artikel panjang di Atlantic Monthly, yang memperingatkan
bahaya nyata berupa keunggulan AI Cina dalam persaingan dengan
Amerika -- keprihatinan politisi veteran memang terbatas dalam
konteks kemampuan kompetisi negaranya di panggung global.
Kissinger mengaku sudah banyak berdiskusi dengan pakar-pakar
terbaik AI dan menyimpulkan bahwa dalam soal teknologi yang sama
sekali ia tidak kenali itu, RRT sudah mengungguli Amerika.

Di tangan penguasa seperti Kim Jong-Un, detektor AI bisa digunakan


untuk mengamati detak jantung dan perasaan warganya. Jika ada
warga Pyongyang yang saat menyaksikan pidato dia di televisi
tertawa mengejek, meski secara diam-diam di rumahnya sendiri,
mungkin dalam lima menit ia didatangi pasukan khusus yang akan
membawanya ke lapangan tembak.
275
Untuk persenjataan, salah satu skenario yang sudah dibayangkan,
dan telah dibuat video simulasinya, adalah pembentukan barisan
tentara robot sebesar lalat. Sebuah pesawat bisa mengangkut
berjuta-juta serdadu semacam itu untuk diterjunkan di wilayah
musuh. Mereka bisa beterbangan ke sana ke mari tanpa seorang pun
di wilayah itu menyadarinya.

Seekor serdadu AI bisa menyelinap di sela-sela jendela gedung


tinggi yang terbuka, lalu masuk ke ruang rapat tempat para
pemimpin atau pebisnis sedang berunding, dan menembak. Setiap
ekor cukup membawa tiga gram mesiu; ini jumlah yang cukup untuk
memastikan kematian korban jika ditembakkan ke otak atau jantung
manusia, dan serdadu lalat pasti mampu menembak dengan akurat.

Serdadu robot supermini semacam ini sulit dikontrol pembuatan dan


pengembangannya. Senjata nuklir tentu saja merupakan ancaman
paling mengerikan bagi umat manusia, selain runtuhnya ekosistem
dunia, tapi proliferasi nuklir dan pengayaan uranium untuk
pengembangannya di sejumlah negara lebih bisa dikontrol, diawasi
badan nuklir PBB dengan protokol yang mendetail.

Untuk pengembangan serdadu robotik, bagaimana cara dunia


mengontrolnya?

***

Dengan teknologi yang kecanggihannya mencemaskan itu, pada


banyak kesempatan lain Stephen Hawking tetap cemas akan
kemungkinan dunia ditaklukkan oleh alien dari luar angkasa.

Berulang kali ia memohon agar jangan ada upaya apapun dari pihak
manusia untuk coba-coba mengontak makhluk-makhluk luar
angkasa. Jika kontak terjadi dan mereka tertarik dengan kita,
menurut dia, umat manusia akan sangat terancam karena mereka ia
yakini memiliki teknologi yang jauh lebih unggul dan karenanya akan
memperbudak kita.

Fisikawan dan pemopuler sains Michio Kaku juga percaya keberadaan


alien. Bahwa mereka tidak tertarik atau belum berminat kepada
manusia bumi, itu karena mereka anggap kita terlalu remeh untuk
diperhitungkan.

276
"Ibarat Anda melakukan perjalanan dengan mobil," kata Kaku, "di
tengah jalan Anda buang air kecil lalu melihat semut di rerumputan.
Apakah Anda akan tanya kepada semut itu di mana ratunya dan
sebagainya? Tentu tidak, kan? Sebab semut itu sangat remeh. Begitu
juga: manusia dianggap tak berarti oleh alien luar angkasa itu."

Meski Hawking berulang kali mewanti-wanti agar ilmuwan


menghentikan upaya mengontak makhluk luar angkasa, upaya-upaya
ke arah sana terus saja dilakukan sejak beberapa puluh tahun lalu.
Stasiun-stasiun pemancar dan penerima gelombang terus
disempurnakan kepekaan dan kecanggihannya, misalnya parabola
raksasa yang diletakkan di pegunungan Peru. Tahun depan bahkan
akan mulai dibangun parabola seluas satu kilometer persegi, dengan
satu juta antena radio, oleh konsorsium pimpinan Australia.

Ilmuwan bumi pernah mengirim sapaan perkenalan dengan


menggunakan suara wartawan masyhur Walter Cronkite, selain
mengirim Ninth Symphony Beethoven. Tiada tanggapan apapun dari
atas sana. Mungkin Michio Kaku benar. Kita hanya mereka pandang
seremeh semut yang tertatih-tatih di rerumputan.

Tapi para ahli tetap giat memburu alien dengan proyek pencarian
kehidupan di luar angkasa (SETI, search for extraterrestrial life).
Joseph Gale baru-baru ini menulis di International Journal of
Astrobiology (ya, mereka bahkan sudah membentuk disiplin
astrobiologi) bahwa temuan-temuan mutakhir AI akan mengubah
seluruh paradigma SETI. Dan Singularity yang tercapai 25 tahun lagi
akan merupakan pencapai manusia terbesar dan terakhir. Kisah
selanjutnya tidak ada yang mampu meramalkan.

***

Dalam perkembangan lain, muncul metode editing gen, seperti telah


disebut. Jeniffer Doudna, pelopor metode itu, dalam ceramah di TEDx
mengimbau para moralis dan etisis untuk memikirkan dampak dari
kemampuan editing gen (pendefinisi manusia).

Ia menunjukkan bukti bahwa teknik CRISPR Cas9 memang mampu


mengedit gen, dengan menunjukkan gambar-gambar tentang apa yang
telah dikerjakan di laboratoriumnya. Dua dari enam ekor tikus tanpa
bulu terlihat berwarna hitam di layar besar -- menunjukkan bahwa

277
editing gen bisa mengubah warna kulit sebagai salah satu
kemampuannya.

Sambil berpesan kepada para etisis agar memikirkan masalah ini,


Doudna mengisyaratkan bahwa mereka mungkin bisa menetapkan
batas-batas etis untuk editing gen, tapi tidak boleh dan memang
tidak akan bisa membendung hasrat ilmuwan untuk melanjutkan
penelitian dan kemampuan mereka.

Dalam dunia yang kian terbuka, kemampuan ilmiah semacam itu


memang dengan cepat menyebar di kalangan profesional sejenis. Dan
benar saja. Tak lama kemudian, seorang dokter Cina mengklaim telah
menerapkan metode CRISPR terhadap seorang perempuan hamil demi
menyelamatkan bayinya.

Doudna mungkin teringat dan tak mau terulang apa yang terjadi
beberapa tahun sebelumnya ketika teknologi stem cell ditemukan.
Pemerintahan George Bush Jr. melarang penerapannya, diduga karena
tekanan Christian Coalition. Para ilmuwan dan dokter spesialis
bidang itu segera menanggapinya dengan berbondong-bondong
pindah dari Amerika, konon jumlahnya beribu-ribu, terutama ke
Inggris. Amerika mengalami brain drain yang sangat merugikan.

Semua orang tahu kekuatan utama negeri itu adalah kehebatan


universitas dan ilmuwan-ilmuwannya (perolehan Hadiah Nobel bagi
ilmuwan Amerika yang sangat besar merupakan indikator
pentingnya). Jika cuaca keilmuan mendung, kegiatan ilmiah tentu
akan merosot dan bisa melanda bidang-bidang lain, bukan hanya
sektor stem cell.

Lagi pula, negara telah berinvestasi sangat besar untuk mencetak


begitu banyak ahli; ironis jika hasilnya justru dipetik negara lain,
tempat mereka "mengungsi"; betapa beruntungnya negara-negara
itu, mendapat ahli-ahli terbaik tanpa pernah berinvestasi untuk
mencetaknya. Brain drain itu begitu terasa. Tak lama kemudian
Presiden Bush mencabut larangan untuk menarik pulang jagoan-
jagoan medis itu. Sebagian besar kabarnya kembali; hal yang tidak
bisa disebut brain gain oleh Amerika.

***

278
Demikian pula, para penggiat biologi sintetik (synbio) pun mengirim
surat kepada Presiden Barrack Obama di masa kedua presidensinya.
Mereka memberitahu bahwa mereka akan segera sanggup menciptakan
makhluk baru, dan mengharap pemerintah Amerika mengeluarkan
keputusan yang jelas mengenai hal ini.

Tentu saja dampak hal itu adalah mereka bisa pindah ke negara lain
seandainya keputusan Obama tidak mendukung. Dan hal itu
menyimpan potensi bahaya. Tidak ada yang bisa menjamin karya-
karya mereka tidak digunakan oleh negara-negara lain untuk
pemanfaatan makhluk-makhluk itu dengan cara yang merugikan
Amerika dan dunia.

Presiden Obama kemudian membentuk komisi khusus untuk


mempelajarinya, dan dia sendiri yang menjadi ketua komisi. Tak
terdengar lagi kabar lanjut isu ini, seolah tenggelam oleh gemerlap
cahaya sang primadona baru: artificial intelligence dengan segenap
buahnya yang memukau sekaligus menggentarkan dunia.

Tak ada lagi berita perkembangan kemajuan synbio, setelah kita


disuguhi dokumenter Craig Venter yang dari kapal ekplorasinya di
tengah laut, menyatakan: "Masa depan dunia ada di kapal ini." Venter
adalah ahli biologi yang pertama kali membuat sekuensi genom
secara lengkap.

Ia bekerja di luar kampus, di lembaga miliknya sendiri, J. Craig


Venter Institute. Ia pernah mendapat USD 600 juta dari perusahaan
minyak raksasa Exxon untuk membuat bahan bakar minyak dari air
dengan berbasis bakteri -- Exxon yang cerdik tidak akan sudi
memberi uang sebanyak itu jika Venter tidak menunjukkan dengan
meyakinkan bahwa teorinya realistis.

Apakah tenggelamnya pemberitaan tentang synbio berarti berhenti


pula aktifitas para penggiatnya?

Di saluran TV National Geographic, George Church dari MIT, yang juga


pelopor CRISPR, dengan kalem dan percaya diri, menunjukkan bahwa
ia dan timnya hanya perlu melengkapi kira-kira seratus tahap lagi
untuk membuat manusia. Itu jumlah yang kecil. Sekian ribu problem
lainnya sudah mereka atasi.

279
Aktifitas Church, Venter, dan lain-lain itulah yang membuat
Newsweek membuat cerita sampul kira-kira sepuluh tahun lalu: Life
2.0. Kehidupan akan segera naik ke level berikutnya, seperti
kapasitas komputer.

Ternyata ambisi itu diambil alih oleh AI, sehingga Max Tegmark
memberi judul bukunya, Life 3.0: Being Human in the Age of Artificial
Intelligence [2017]. Ia memberi nafas spirit yang berbeda daripada
ambisi para penggiat synbio, sesuai visinya yang sangat hati-hati
dan kritis terhadap potensi destruktif AI.

XLI. 21 Juni: Hamid Basyaib: : “Romantisisme dan Falasi Memedi Goenawan


Mohamad”

ROMANTISISME DAN
FALASI MEMEDI GOENAWAN MOHAMAD
Bagian 6 dari 6

Kritik saya terhadap sikap negatif GM atas sains sudah saya


sampaikan dalam pengantar berjudul "Stamina, Style, Strategi
Goenawan Mohamad" untuk kumpulan Catatan Pinggir 12 yang terbit
tiga tahun lalu (Penerbit Tempo, 2017). Di situ antara lain saya
menulis:

"Cukup mengherankan bahwa sebagai pemikir yang punya minat dan


keprihatinan besar pada begitu banyak bidang, .... ia sangat kurang
peduli --jika bukan cenderung merendahkan-- perkembangan
mutakhir di bidang sains….. Semuanya berpengaruh sangat besar
pada cara manusia memandang dirinya dan dunia; pada cara orang
berbisnis dan menghabiskan waktunya; pada kemampuan pemerintah-
pemerintah mengatur dan mengawasi warga negara mereka.”

Jauh sebelumnya, pada 1989, Ignas Kleden mengeluh betapa sulitnya


menemukan kejelasan sikap dan proposisi Goenawan dalam esai-esai
Catatan Pinggir-nya. Dalam pengantar kumpulan Catatan Pinggir 2,
berjudul “Eksperimen Seorang Penyair", Ignas Kleden menyatakan
satu-satunya hal yang jelas dalam sikap Goenawan hanya ketika ia
membahas soal penyair dan kepenyairan.

280
Sedangkan untuk semua isu lain, ia menggunakan teknik persuasi
estetik, bukan mengajak kita berargumentasi secara diskursif.
Ketika membahas birokrasi, misalnya, Goenawan menggambarkan
birokrasi dengan: "sebuah meja yang penuh bekas rokok… sebuah
ruang yang tak pernah lagi dipel… sederet map kertas yang tak jelas
fungsinya, toh sementara itu semuanya tak dibuang." Sedangkan
birokrat adalah orang yang "sedikit bicara, sedikit berbuat, sedikit
menongol."

Dengan "perumusan masalah" semacam itu, apa yang bisa dilakukan


terhadap birokrasi dan birokrat? Apakah, misalnya, jika ruang kerja
para birokrat itu dipel lebih sering maka kondisi birokrasi akan
membaik, dan para birokrat akan lebih sering menongol?

Goenawan tidak menyiratkan konsekuensi apapun dari “definisi”


rumusannya tentang birokrasi dan birokrat itu – dan agaknya
"hipotesis" semacam itu tidak mungkin dimasukkan dalam agenda
riset studi public policy ataupun administrasi pemerintahan.

Bagi Ignas, esai-esai Goenawan "penuh bertabur bunga tapi sulit


ditebak jenis tanamannya." Tiga dekade setelah Ignas menulis itu –
tiga puluh satu tahun kemudian -- kita masih mudah untuk setuju
dengannya, karena ciri itu masih terus “menongol” dalam esai-esai
Goenawan, bahkan tetap terlihat dari tulisan-tulisannya di polemik
ini.

Kita dibuat terhuyung-huyung di labirin kutipan penggalan kalimat


atau frasa Jerman, Inggris, Prancis atau Italia dari para filsuf kuno
Eropa yang –kalaupun akurasinya bisa dijamin- hanya sedikit
terkait dengan apa yang nyata dikerjakan oleh ilmuwan dan apa yang
terjadi di dunia berkat temuan-temuan mereka.

Ignas menyimpulkan bahwa yang selalu ditebar oleh Goenawan dalam


esai-esai itu adalah skeptisisme yang tak pernah ditingkatkannya
menjadi sikap kritis. Ignas merangkum seluruh ciri itu dengan
meminjam formulasi Karl Popper (nama yang dalam polemik ini
ternyata kembali muncul, bahkan Goenawan mengklaim dirinya
sebagai "rada Popperian") tentang ekspresionisme epistemologis.

Maknanya: “suatu uraian yang bagian-bagiannya tidak dianggap


sebagai proposisi-proposisi yang dapat didiskusikan secara
objektif, tetapi harus diterima sebagai ekspresi keadaan mental,
281
situasi kejiwaan, atau percikan ke luar suatu interioritas yang
pribadi dan intim.”

Dengan semua ciri itu, maka esai-esai Goenawan, disebut “terlalu


banyak puisi untuk hal yang terlalu prosais.” Merujuk ciri-ciri
Romantisisme seperti dipaparkan Stanford Encyclopaedia of
Philosophy, kita mudah untuk sepakat dengan analisis Ignas Kleden
dan juga rujukannya pada Karl Popper.

***

Lalu bagaimanakah masa depan sains? Apa yang dikemukakan


Stanislav Grof barangkali bisa sedikit menghibur mereka yang
mengidap rasa sengit terhadap sains – meski atas dasar
ketakmengertian yang kronis, yang bahkan tetap bertahan walaupun
telah diajukan penjelasan panjang-lebar yang seterang matahari
pagi tentang apa dan bagaimanakah sains itu.

Menurut ahli biologi Jerman-Amerika itu, sains bisa dan akan


berakhir jika tiga isu besar ini terpecahkan: 1] asal-usul alam
semesta 2], kesadaran dan cara kerjanya; 3] mengapa sebuah entitas
sesederhana spermatozoid bisa berkembang menjadi organisme yang
begitu kompleks berupa manusia.

Tapi itu bukan berarti ikhtiar saintifik benar-benar berakhir dalam


arti harfiah; ia lebih merupakan akhir simbolik. Sama saja dengan
kalau orang berkata “filsafat sudah mati” [misalnya dikatakan oleh
Stephen Hawking seperti dikutip Goenawan], tentu itu artinya
kekuatan eksplanasi dan intelektual filsafat sudah pudar, semakin
jauh tertinggal dari kekuatan sains, yang ditopang oleh metodologi
yang terus disempurnakan.

Tentu saja menggelikan jika pernyataan semacam itu dimaknai


literal, apalagi oleh seorang yang menggandrungi metafora, dan
orang yang mengatakannya harus memberi pembuktian “secara
ilmiah” seperti diminta Goenawan; disetarakan dengan pernyataan
tentang kematian klinis seekor kucing. Apalagi, metafor semacam
itu sudah sering dikatakan orang, misalnya oleh F. Nietzsche [“God
is Dead”], Daniel Bell [The End of Ideology], Francis Fukuyama [The
End of History], John Horgan [The End of Science].

282
Bahkan Martin Heidegger, filsuf favorit Goenawan, punya buku
berjudul The End of Philosophy [diterjemahkan oleh Joan
Stambaugh]. Kepada mereka semua tentu tidak selayaknya kita minta
pembuktian “secara ilmiah” atau menanyakan di manakah kuburan
hal-hal yang sudah mati atau berakhir itu – bahkan sebagai gurauan
pun permintaan naif ini tidak memenuhi syarat untuk disebut
“lucuk”.

Jadi jelaslah, pernyataan “filsafat sudah mati” itu bahkan sudah


dikatakan orang puluhan tahun silam; tentu tidak perlu disikapi
dengan emosionalisme membara seolah-olah cuma saya sorangan
yang berani-beraninya mengatakannya, tadi pagi.

Menurut Grof, kegiatan sains masih akan terus berlangsung di mana-


mana dan dalam berbagai sektor dan disiplin. Tetapi kerja sains
hanya berkenaan dengan cabang dan ranting-ranting saja, terutama
yang terkait langsung dengan penciptaan teknologi. Sebab isu-isu
terbesarnya, yaitu ketiga hal tadi, sudah terungkap.

Masalahnya, seandainya pun kita setuju dengan Stan Grof, jalan ke


arah sana masih panjang dan berliku. Para fisikawan, misalnya, sejak
beberapa dekade lalu berambisi mengupayakan "theory of
everything", suatu kerangka teori koheren yang mampu mengaitkan
seluruh aspek fisik alam semesta (yang pembentukannya melahirkan
tiga bidang ilmu utama yaitu fisika, kimia dan biologi).

Banyak juga ahli yang percaya "teori segalanya" itu mungkin diraih.
Konon sedikitnya kini ada dua calonnya, String Theory dan Loop
Quantum Gravity. Tapi tak sedikit yang tak percaya. Geoffrey West,
pakar fisika dan eks direktur Santa Fe Institute, cenderung
menertawai upaya pencarian ToE itu, yang pernah pula diupayakan
oleh Hawking tapi kemudian ditinggalkannya.

Bagi West, penulis Scale: The Universal Laws of Life and Death in
Organisms, hal itu tak masuk akal. Sebuah teori yang lengkap di
suatu disiplin atau subdisiplin mungkin saja diperoleh. Tapi ToE
sungguh sukar dibayangkan.

Dan barangkali optimisme (?) Stan Grof dan pesimisme Geoffrey West
itu kalah cepat dalam perlombaan dengan manusia hibrid Ray
Kurzweil. Semua rencana itu, baik perburuan ToE maupun impian West
yang membiarkan setiap disiplin memburu teori lengkapnya masing-
283
masing, akan menempuh jalur yang sama sekali baru, sesuai dengan
ketakterdugaan perkembangan cyborg.

Alam semesta ini, kata Stephen Hawking, yang telah memberkahi kita
dengan pemahaman yang menggetarkan tentang alam semesta,
terbentuk karena hukum-hukumnya sendiri, 13,8 miliar tahun yang
lalu. Pertanyaan tentang apa yang ada atau terjadi sebelum itu,
menurut Hawking, adalah pertanyaan yang tak bermakna, karena
pertanyaan itu mengasumsikan sudah ada waktu yang menjadi titik
referensi, padahal dalam awal pembentukan universe tersebut waktu
tidak ada.

Pertanyaan ini, katanya, setara dengan pertanyaan: apa bagian


selatannya Kutub Selatan (what lies south of the South Pole); apa
yang ia disebut "no-boundary proposal" yang ia rumuskan bersama
James Hartle ini dikemukakan pertama kali di forum akademis
Vatikan pada 1981, diutarakannya dalam buku Grand Design [2010],
dan diulanginya 1,5 tahun sebelum ia wafat.

Ia menyebut bentuk alam semesta di masa formatif itu seperti kok


bulutangkis (shuttlecock) dalam posisi melintang, dengan bidang
dasarnya berupa ruang murni (tanpa waktu).

Terhadap ungkapan masyhur yang disebut dinyatakan oleh Albert


Einstein, bahwa "Tuhan tidak bermain dadu", sanggahan Hawking
membuyarkan semua upaya pemanfaatan religius atas pernyataan itu
dengan mengatakan: "Masalahnya, Tuhan melempar dadu itu di tempat
yang kita tidak bisa temukan."

Jadi ikhtiar saintifik haruslah diteruskan, untuk menemukan tempat


dadu-dadu metaforis itu dilontarkan, tanpa perlu dihalangi oleh
godaan-godaan keyakinan yang tak mungkin dipertanggungjawabkan
dari segi epistemologi, karena tiada jalan apapun bagi upaya
pembuktian atas keyakinan itu.

Steven Weinberg termasuk orang yang tidak tahu di manakah tempat


dadu-dadu itu dilempar. Ia mengatakan, alam semesta ini tak
bertujuan [purposeless]. Ia tahu, banyak orang akan keberatan
dengan pernyataannya yang seolah menghancurkan segala sesuatu
yang diyakini memiliki tujuan luhur. Tapi, kata Weinberg, pemenang
Nobel Fisika 1979, fakta itulah yang ia temukan dari upaya pencarian
matematis atas dasar kejujuran akademis-ilmiahnya.
284
***

Sejarawan Harari, sambil mengakui betapa besar dunia membaik


berkat perkembangan sains dalam beberapa ratus tahun terakhir
(harapan hidup yang memanjang, kesejahteraan umum meningkat
tinggi) tak bisa menjawab soal kebahagiaan. Apakah manusia
sekarang lebih bahagia dibanding lima ratus tahun silam? Tidak
dapat dipastikan.

Ia juga menganggap manusia, seperti alam semesta, tak bertujuan;


sebab evolusi yang mengaturnya hanya berkepentingan dengan
reproduksi, urusan menyambung rantai evolusi dengan
memperbanyak jumlah, bukan dengan tujuan hidup ataupun
kebahagiaan.

Tetapi dalam konteks sejarah, terlihat jelas umat manusia bergerak


konvergen, cenderung merasa bahwa kemanusiaan adalah satu, meski
berbagai cirinya beraneka ragam. Setelah pertama kali keluar dari
Afrika 70 ribu tahun lalu dan berpencar sampai akhirnya menempati
seluruh sudut bumi (kini tak ada satu pun pojok bumi yang tak dihuni
atau disinggahi manusia), lalu di sana sini mengobarkan perang yang
sering sangat bengis, kini manusia bergerak untuk terus
mempersatukan diri, bukan secara fisik, tapi terutama secara
mental.

Kehadiran PBB dengan segala lembaga berbagai bidang yang


dipayunginya bisa dilihat sebagai simbol hasrat bersatu itu.
Ukuran-ukuran kesehatan, keamanan, kebersihan, kesejahteraan
hidup dan pendidikan, misalnya, terus ditetapkan sama untuk semua
warga di semua negara.

Semua itu akan berhenti jika ramalan Ray Kurzweil, untuk kesekian
puluh kalinya, terbukti. Dan ia bukan hanya meramal, atau menunggu
ramalannya terbukti sendiri. Ia turut aktif mewujudkan ramalannya
itu dengan segala macam aktifitas guna melahirkan manusia-hibrid,
mematangkan situasi Singularity, ketika sejarah manusia-biologis
berakhir. Dan manusia keluar dari skema evolusi yang sudah
berlangsung 3.5 miliar tahun – jejak sel tunggal atau LUCA dari masa
itu, kata para ahli biologi, masih ada di dalam tubuh kita hari ini -
- untuk melangkah ke arah yang belum dapat diperkirakan.

285
Kita juga tak bisa hanya berdebar menunggu Singularity yang tak
lama lagi itu. Apapun yang terjadi, keadaan apapun yang melingkupi
diri kita, termasuk dikepung jenis virus baru seperti yang mencekam
kita hari-hari ini, kita boleh terus bertanya.

Dan sains akan terus membantu kita merumuskan pertanyaan-


pertanyaan yang benar dan berguna dalam hidup yang maknanya perlu
terus diperkaya, agar the purposelessness of life tidak sia-sia
sempurna, sebab kita telanjur ada di dalamnya.

Sumbangan sains itu tidak perlu direcoki dengan tuduhan-tuduhan


palsu yang dangkal, distortif dan hanya merupakan pameran
desperasi. Sudah jelas ilmuwan-ilmuwan terpenting dalam sejarah
mutakhir pun kritis terhadap dunia sains, seperti misalnya
ditunjukkan oleh Stephen Hawking dan beribu-ribu ilmuwan dan
teknolog lain dengan petisi mereka kepada PBB agar mengatur
pengembangan teknologi artificial intelligence.

Kaum awam penggandrung sains pun sangat paham tentang isu


sederhana ini, yaitu bahwa sains bukan hal yang sempurna. Para
filsuf lampau yang nama-namanya banyak dimunculkan dalam
polemik ini sudah jauh sekali tertinggal relevansinya dari
perkembangan sains mutakhir.

Senam filsafat yang coba dilakukan oleh para pengikut bapak-bapak


filsuf Eropa itu, yang sangat mungkin spekulasi-spekulasinya
saling berbenturan --tapi pendapat-pendapat mereka yang
dimutilasi di sana-sini diringkus saja sekenanya tanpa peduli
pentingnya kejujuran intelektual, konsistensi dan koherensi ide--
hanya akan berputar-putar di sekitar teriakan tuduhan saintisme.

Teriakan itu makin parau, dan akhirnya tak lebih hanya menggemakan
kecemasan agama terhadap sains, terutama di Amerika -- hanya
kalangan itu yang sampai hari ini masih sekali-sekali mencoba
meneriakkannya, tentu tanpa hasil apapun. Mungkin karena fakta ini
maka Goenawan kemudian enggan melanjutkan pembahasan tentang
“saintisme”.

Saya rasa orang-orang yang memilih meledek apa yang mereka sebut
“saintisme” telah salah pilih. Bukannya turut mengapresiasi sains
modern, dengan segala kurang-lebihnya – dan siapa tahu dengan ini
makin banyak orang yang mengembangkan perangai ilmiah, dan bukan
286
suntuk dengan tahayul dan obskurantisme -- mereka malah sibuk
menggambar aspek karikaturalnya, sambil tak bosan-bosannya
memamah spekulasi-spekulasi filsafat baheula, yang ternyata tak
pula mereka pahami dengan memadai, seperti diakui oleh Goenawan
tentang Martin Heidegger, seorang filsuf anti-Semit dan pendukung
loyal Nazi, sehingga sejumlah penulis, misalnya Fried Gregory,
menghubungkan filsafatnya dengan Naziisme.

***

Saya telah mencoba menunjukkan amat sedikit perkembangan sains


mutakhir, yang sedang dan akan mengubah wajah dunia, bahkan
berpotensi menjungkirbalikkan eksistensi kita sebagai manusia.
Saya mengungkapkannya sambil sekali lagi mengingatkan tentang
cicak Ivan Turgenev. Adalah ironi besar jika mereka terus memegang
ekor cicak tanpa menyadari cicaknya sudah berlalu sambil
menumbuhkan ekor baru.

Tapi bagi Goenawan ilustrasi panjang tentang state of the art sains
di berbagai bidang itu hanyalah “katalogus sains yang hebat-hebat”
dan “tak memberi insight baru”; tanpa menyadari yang dilakukannya
adalah tak henti-hentinya menyuguhkan katalogus usang ide
filosof-filsuf lama Eropa, yang tak ada hubungan apapun dengan
perkembangan sains mutakhir. Dalam konteks ini ia tergopoh-gopoh
memburu nama yang tampak baru didengarnya, dan segera
mengutipnya, walaupun “saya belum paham benar pemikiran
Meillassoux.”

Bahkan saat spekulasi-spekulasi itu diungkapkan berpuluh-puluh


tahun silam, umpamanya oleh pemuda usia 30an seperti Heidegger, ia
dikategorikan sebagai “agrarian nostalgia”, misalnya oleh arsitek-
filsuf Nader el-Bizri.

Saya mencoba menarik diskusi ke situasi sains mutakhir, agar


polemik ini relevan, antara lain karena ada banyak dilema di sana,
dan sebagian dilema itu bahkan terkait langsung dengan eksistensi
manusia di bumi ini. Bukankah hal ini merupakan “a clear and present
danger” yang patut mendapat perhatian besar kita sebagai warga
bumi?

Tapi Goenawan menampik ajakan ini, malah menganggap saya


“mengelak berkonfrontasi” dengan pertanyaan epistemologis karena
287
dasar epistemologi saya kurang siap. Padahal, menurut dia, untuk
memahami semua itu “memang diperlukan dasar epistemologi yang
kuat – juga filsafat.” Ia lalu menyayangkan saya yang “tak [mau]
belajar filsafat.”

Saya tidak tahu apa yang dimaksud Goenawan dengan “belajar


filsafat”. Jika yang dia maksud adalah belajar formal di ruang
kuliah, saya memang hanya sempat belajar Filsafat Ilmu satu
semester semasa kuliah, selain belajar Filsafat Hukum dan Filsafat
Hukum Islam. Saya memang sangat sedikit membaca, misalnya,
Thomas Kuhn, Karl Popper, Feyerabend atau Imre Lakatos.

Subjek ini memang berat, maka saya mencoba menyentuhnya di


permukaan saja, lalu berusaha menarik perhatian pada apa yang saya
pandang urgen, yaitu mencoba menularkan scientific temper pada
publik pembaca polemik, pada perkembangan sains mutakhir berikut
dilema-dilemanya. Saya pikir biarlah para peserta lain yang lebih
paham tentang epistemologi yang membahasnya, dengan begitu
polemik ini bisa lebih kaya.

Tapi setahu saya Goenawan sendiri tidak pernah belajar formal


tentang filsafat, juga tentang semua subjek yang dengan gagah-
berani dibahasnya -– kapitalisme, sosialisme, perubahan iklim,
pisang, kesastraan, Tuhan, epidemiologi, agama, dan ... semua urusan
yang pernah dikenal umat manusia, bahkan sains.

Dalam isu epistemologi, misalnya, seperti terlihat jelas dari


polemik ini, Goenawan bukan hanya kurang siap, tapi cetusan-
cetusan pendapatnya lebih sering membingungkan daripada
menjernihkan duduk perkara. Kutipan-kutipannya atas Alfred
Whitehead, misalnya, sungguh ganjil, dan sulit dipercaya bahwa
Whitehead berpendapat seperti itu [misalnya tentang
ketidakperluan berpikir keras dan tertib]; bahkan “empirisme
radikal” Whitehead, aneh sekali, disetujuinya [ini sebetulnya
alternatif untuk kritiknya terhadap filsuf David Hume, bukan kritik
atas Issac Newton; pemikiran Hume disebutnya "sensationalist
empiricism"].

Dan kekeruhan itu dari hari ke hari terlihat makin jelas. Sehingga
Bambang Sugiharto, misalnya, yang tampaknya diajak Goenawan turut
dalam polemik ini, justru banyak menjelaskan makna “model” dalam

288
sains [meski pointersnya itu problematik juga karena dicampuraduk
dengan teknologi], dan penjelasan itu tentu saja ditujukan kepada
Goenawan, karena dialah yang sibuk menyanggah validitas modeling
sains yang disebutnya mereduksi realitas.

Yang mengherankan juga: tulisan profesor filsafat dari Bandung itu


dipenuhi kata dan frasa dalam huruf kapital [jadi, ia seperti sedang
menjerit-jerit], sehingga seseorang di wall FB Goenawan menilai
“ketikan Pak Goenawan lebih rapi” dibanding ketikan Pak Bambang,
yang rupanya kurang paham pentingnya kerapian ketikan dalam
sebuah tulisan.

Jika yang dimaksud Goenawan dengan “belajar filsafat” adalah


membaca bacaan-bacaan populer filsafat, terutama yang berserakan
di internet, saya juga sedikit-sedikit bacalah. Pastilah tidak
setekun dia, tapi setidak-tidaknya saya mengerti perbedaan antara
penyidik dan penyelidik; mengerti juga perbedaan ilmu alam dan ilmu
sosial; bahkan saya agak paham bahwa membuat metafora itu tidak
boleh semau-mau, dan tak boleh dengan pertimbangan kreatif dan
keindahan semata.

Saya juga tidak pernah menyebut istilah lama “ilmu pasti” atau “ilmu
eksakta”; bahkan jurusan saya di SMA, puluhan tahun lalu, sudah
menggunakan istilah “Ilmu Pengetahuan Alam”. Karena itu saya
sering juga ikut praktikum di laboratorium, tapi saya tidak mungkin
dengan naif meyakini bahwa biologi telah diringkus dan direduksi
oleh preparat dan mikroskop di laboratorium sederhana itu.

Sebab saya tahu: biologi sudah jauh sekali berkembang. Para


fisikawan, misalnya, makin banyak yang terjun ke bidang biologi
molekuler, yang bekerja dengan model-model matematika [bukan
dengan preparat dan mikroskop]; seperti dikerjakan oleh Abdus
Salam untuk meneliti asam amino, dan tiba pada kesimpulan
sementara: asal-muasal manusia adalah dari luar bumi.

***

Saya sangat heran terhadap usikan Goenawan tentang “belajar


filsafat” dan “epistemologi yang kurang siap” itu; ini saya rasa
menyentuh taktik argumentum ad hominem [biasanya ini isyarat
kelemahan atas substansi diskusi]. Padahal, setiap saya menikmati
puisi-puisinya, misalnya, saya tidak pernah peduli dan bertanya di
289
universitas mana ia belajar menulis puisi; saya juga tak bertanya di
fakultas apa ia belajar menulis naskah drama dan menyutradarainya.

Saya hanya berfokus dan menilai kualitas karya-karya itu. Jika


suatu puisi saya anggap bagus, misalnya, penilaian itu tidak akan
saya batalkan, kalaupun saya kemudian tahu bahwa penciptanya tidak
pernah kuliah di fakultas sajak atau akademi puisi. Jika karya itu
jelek, saya pun akan mengkritiknya tanpa mengaitkan dengan ukuran
celana penyairnya, bakmi kesukaannya, dan hal-hal tak selesai
lainnya.

Akhirnya, saya perlu menegaskan lagi apa yang semula saya kira tak
perlu dijelaskan bahwa yang saya maksud “filsafat sudah mati”
adalah dalam pengertian simbolik, metaforis, katakanlah seperti
“God is dead” Nietzsche – yang oleh Goenawan tak pernah didesak
untuk dijelaskan “secara ilmiah”. Dan itu tidak berarti filsafat tak
berguna sama sekali. Karl Popper menggolongkan filsafat ke dalam
pengetahuan pre-science [lihat bukunya, The Logic of Scientific
Discovery, 1959].

Ia tidak ilmiah, kata Popper, tapi yang tidak ilmiah tak niscaya
mubazir. Kesepakatan tentang hak-hak azasi manusia, misalnya,
yang diadopsi PBB sejak 1948, itu tidak ilmiah.

Di dalam tubuh manusia tidak ada HAM. Yang ada adalah jantung, usus,
ginjal, dan sebagainya. Tapi prinsip HAM penting sebagai sarana
menghormati martabat warga negara [ini juga tidak ilmiah],
terutama dari potensi pelanggaran oleh negara; dan konseptualisasi
cakupannya terus diperluas.

Masalah-masalah dunia dan kehidupan yang membutuhkan jawaban


dan pemecahan semakin banyak. Sains, dengan segala
keterbatasannya – tapi jenis-jenis pengetahuan lain mungkin lebih
sulit diandalkan – membantu kita merumuskan pertanyaan yang
bermakna, sebab pertanyaan kadang lebih penting daripada jawaban.

Dengarlah Richard Feynman: "Saya lebih suka memiliki pertanyaan-


pertanyaan yang tidak bisa dijawab daripada punya jawaban atas
pertanyaan yang tidak bisa diajukan."

Dan itu adalah pernyataan arif yang rendah hati -- bukan pongah
dan mengidap saintisme.

290
***

XLII. 21 Juni: Lukas Luwarso: “Sains, Filsafat, dan Storytelling”

SAINS, FILSAFAT, DAN STORYTELLING


Tanggapan untuk Goenawan Mohamad. Bagian pertama, dari dua
tulisan

Terlahir dalam dunia yang diselimuti misteri dan teka-teki,


manusia tidak tahu mengapa ada di dunia, dari mana, dan untuk apa.
Mau tak mau manusia harus mencari, atau mengarang, penjelasan.
Pencarian penjelasan dimulai dengan menyusun mitos-mitos,
membuat spekulasi filosofis, hingga memakai metode sains. Satu
proses evolusi panjang manusia mencari dan mengakumulasi
pengetahuan.

Pengetahuan itu menjadi bahan bagi manusia untuk bercerita.


Berbagi cerita dalam segala situasi dan medium, bergosip, pesta-
cocktail, posting di media sosial, hingga menulis buku atau artikel
untuk berpolemik. Bercerita adalah cara manusia, sebagai makhluk
sosial, untuk berinteraksi dan berkomunikasi. Manusia adalah
story-teller.

Goenawan Mohamad (GM) adalah contoh seorang story-teller yang


cakap. Terbukti dari ribuan tulisannya. Artikel panjang GM terbaru
“Sebuah Tempat yang Bersih, dan Lampunya Terang untuk Sains“
(STBLTS), menunjukkan kalibernya. Ia bertutur pada pembaca,
mengajak bersikap kritis pada dogmatisme sains dan saintisme.
Mereka, dituding GM, mirip kaum Positivisme abad ke-19. Kaum
penjunjung panji-panji slogan: “sains modern satu-satunya jalan
kebenaran”.

GM tak lupa menyertakan kisah bisnis GMO Monsanto, kekejaman


Josef Mengele, dan praktik pseudosains Trofim Lysenko. Meskipun
menyampaikan, tiga kasus itu bukan “kejahatan sains,” namun tetap
menyebut sebagai contoh adanya “gerowong” dalam sains. Tuturan

291
kisah dan kefasihannya memilih kutipan, pasti memikat bagi mereka
yang sejalan dengan perspektif pemikirannya.

Paparan GM mengesankan telah terjadi multikrisis dalam dunia


sains. Selain “krisis paradigma epistemologis”, komunitas sains
dinilai telah mengalami defisiensi sikap kritis yang akut. Saintis
perlu “berkhidmat” pada pemikiran filsafat, misalnya fenomenologi
dan hermeneutika, agar mendapat “pencerahan” untuk mengibas
mendung yang menyelimutinya. Agar tidak menjadi wilayah tertutup
berkabut dogma. Sains berada di “tempat yang kotor dan lampunya
redup”. Dan GM menasehati, secara puitis, agar sains berada di
“tempat yang bersih dan terang lampunya.”

Big wisdom for sains. Mengingatkan nasehat pepatah-petitih lama:


“Hemat Pangkal Kaya, Rajin Pangkal Pandai, Bersih Pangkal Sehat.”

Komunitas sains dalam tuturan cerita GM terkesan telah menjadi


semacam “secret societies”. Sebuah komunitas elite yang
berkomplot untuk menguasai dunia dengan agenda utama
saintifiknya: “merampas pemaknaan dari pikiran manusia.”

Segera terbayang nama-nama “secret societies” yang familiar dalam


kisah dunia teori konspirasi: Illuminati, Fremason, Cabalists,
Rosicrucians, Elder of Zions, entah apa lagi. Sains, saintis, aktivitas
saintifik dan temuan sains menjadi semacam occultisme yang
mengancam. OK, saya sedikit hiperbolik menafsirkan narasi GM ini.
Tapi, terus terang, saya sulit menahan geli dengan pandangan GM
pada sains yang begitu muram dan sarat prasangka.

Saya masih yakin GM tidak sedang menimbang rasa berpikir ala


penggemar teori konspirasi. Mereka yang gemar mereka-reka cerita
dramatik tentang adanya “kuasa gelap” yang mengatur, mengontrol,
dan mengubah hidup manusia dengan maksud membuat “tatanan dunia
baru” (New World Order).

Sebagaimana belakangan ini bertebaran berbagai teori konspirasi


terkait pandemi COVID-19. Dari teori virus SARS-CoV-2 sebagai
senjata biologis buatan China, eh Amerika, eh Israel, eh entah buatan
siapa; atau bisnis jahat para kapitalis farmasi untuk jualan obat dan
vaksin; hingga agenda Bill Gates untuk mendepopulasi dunia.

292
Membaca esai STBLTS, juga artikel sebelumnya, kesan kuat yang
muncul adalah: GM cemas dengan kemajuan sains. Menurutnya, ada
yang salah dengan epistemologi dan metode sains.

Kisah tentang sains, satu tema yang menarik dan membuka imajinasi
tanpa-batas, menjadi kering dan getir dalam tuturan GM. Uraiannya
soal sains seperti terkungkung dalam “kubah transparan di langit
yang tidak ada”. Mirip wacana geosentrisme abad pertengahan yang
mengira bumi diselubungi kubah langit transparan, yang memisahkan
bumi dengan surga.

Semoga narasi GM pada sains sekadar romantisme penyair romantik,


yang sedang ingin meromantisasi segala hal terkait sains. Sekadar
ekspresi kecemasan sambil lalu pada perkembangan dan perubahan
yang diakibatkan oleh sains dan teknologi. Respons wajar bagi orang
yang tidak ingin ada perubahan pada dunia yang ia klangeni.

Kecemasan GM, pada kemajuan sains, terepresentasi dari cara ia


menuturkan peristiwa bersejarah, salah satu tonggak penting sains.
Keberhasilan Yuri Gagarin astronot pertama berada di angkasa luar,
Ia persoalkan dengan mengutip puisi Subagio Sastrowardoyo,
memaknainya sebagai: “keterasingan, kesepian, terbuang jauh dari
bumi yang dicintainya.”

Sebegitu romantiknya, GM tidak merasa perlu ingin tahu, bertanya-


tanya pada diri sendiri, atau sedikit berempati, benarkah Yuri
Gagarin merasa terasing, kesepian, dan terbuang saat berada di
angkasa luar? GM juga menyepelekan tepuk tangan manusia di
seluruh dunia yang merayakan dengan “berbinar-binar”, peristiwa
bersejarah yang belum pernah terjadi sebelumnya ini.

Pemaknaan GM, sebagai penyair romantik elitis, mungkin memang


harus beda dari pemaknaan “manusia pada umumnya”. Prestasi
manusia mengangkasa, satu proses saintifik yang rumit dan berisiko,
hasil olah ingenuitas dan kecerdasan manusia, cuma dimaknai
dengan: “keterasingan”.

GM mengawali artikel STBLTS dengan mengutip puisi, untuk


menggugat sains dan teknologi. Ia berlanjut mengungkapkan sikap
pesimisme dan sinisme dengan menuturkan sederet karya sastra
yang, menurutnya, menunjukkan “suara muram” pada prospek
kemajuan sains dan teknologi. Novel H.G Well “Time Machine” (1960),
293
karya Aldous Huxley “Brave New World” (1932). Juga sejumlah film
Hollywood “Blade Runner” (Ridley Scott) atau “Artificial
Intelligence” (Steven Spielberg).

Selain karya sastra dan film, GM juga merasa perlu mengutip pidato
Max Weber, dan sejumlah filsuf lain, untuk memastikan bahwa sikap
muramnya pada sains bukan cuma “nyeni”, tapi juga “filosofis”. Poin
kritik GM adalah, sains “tak pernah menanyakan makna hidup”,
sekaligus mengingatkan agar “jangan jumawa, mampu menjawab
segala hal”.

Kegemaran GM mengunyah polemik lama (kritik atas paradigma


Positivisme abad ke-19) yang memicu pemikiran pada zamannya,
tentu valid. Namun era baru membutuhkan perspektif dan paradigma
baru. Referensi lama baik disertakan sebagai catatan kaki untuk
kelengkapan historis. Namun dalam konteks sains, lebih aktual jika
mengupas berbagai temuan dan wacana terbaru dunia sains, dengan
perspektif baru.

Situasi baru membutuhkan pemikiran dan perspektif baru. Sikap


kritis pada epistemologi sains akan lebih relevan dan berguna untuk
mempersoalkan situasi terkini “proyek sains” dan potensi maslahat
atau mudaratnya bagi manusia di masa kini dan masa depan. Jika
niatannya memang sekadar ingin menambal “gerowong” sains.

Berbagai temuan sains terbaru dan teknologi turunannya, 75 tahun


terakhir, masih membuat kita terbelalak. Ilmu dan teknologi
komputer, internet, artificial Intelligence, virtual-reality,
augmented reality, nano-techology, synthetic-life,
transhumanism, cognitive-augmentation, termasuk hipotesis kita
hidup dalam dunia simulasi. Berbagai temuan dan hipotesis sains
yang membuka imajinasi dan kreativitas tanpa batas.

Banyak pemikir besar kontemporer yang lebih aktual untuk dikupas


atau dikutip pemikirannya. Mereka para “filsuf-cum-saintis” yang
mempertanyakan dengan tajam problem aktual masyarakat terkait
dengan perkembangan ilmu, sains dan teknologi. Beberapa nama bisa
disebut, misalnya Nick Bostrom, Mario Bunge, Luciano Floridi,
Stuart Russel, Kevin Kelly, untuk menyebut beberapa nama.

Jika kecemasan pada sains dan teknologi menjadi fokus pemikiran,


bisa dibaca, misalnya, buku “Global Catastrophic Risks” (Nick
294
Bostrom, 2011). Buku kumpulan tulisan 25 pemikir kontemporer,
melihat ancaman yang dihadapi manusia di abad ke-21. Ancaman
potensi kiamat (existential risk) dari semburan sinar-gamma,
perang nuklir, perubahan iklim, senjata biologis, nano-technology,
artificial-intelligence, hingga kemungkinan runtuhnya masyarakat
(social collapse). Buku yang komprehensif, sebagai pengantar, bagi
yang tertarik dengan isu-isu besar terkait sains, teknologi,
termasuk public-policy.

Dalam dunia sains—sama seperti dunia pemikiran, filsafat, seni, dan


sastra—selalu muncul pertanyaan: Adakah yang baru? Apa yang beda
dari yang pernah ada? Agar kita tidak letih, selalu menoleh atau
mengulang hal yang sama.

J.B.S. Haldane, ahli genetika dan biologi evolusioner, dalam


“Possible World” (1927) menyatakan: “Saya tidak ragu, realitas di
masa depan akan sangat mengejutkan dibanding apapun yang bisa
saya bayangkan. Dugaan saya, alam semesta bukan cuma lebih aneh
dari bayangan kita, namun bahkan lebih aneh dari apa yang bisa kita
bayangkan.” (I have no doubt that in reality the future will be vastly
more surprising than anything I can imagine. Now my own suspicion
is that the Universe is not only queerer than we suppose, but queerer
than we can suppose).

Dengan semangat sikap saintifik, sebagaimana rasa berbinar-binar


J.B.S. Haldane 100 tahun lalu itu, mari kita berselancar dalam dunia
sains yang terus berubah dan mengubah perspektif kita. Melacak
cerita apa yang sains telah sumbangkan, sembari membayangkan
seperti apa masa depan alam semesta dan kehidupan manusia. Tulisan
ini ingin meredakan kecemasan dan kesinisan GM pada sains. Dengan
pendekatan perspektif yang disukainya: melalui tuturan penceritaan
(story-telling).

Bersambung ke bagian kedua

XLIII. 22 Juni: Lukas Luwarso: “Sains, Filsafat, dan Storytelling”

SAINS, FILSAFAT, DAN STORY TELLING


295
Tanggapan untuk Goenawan Mohamad. Bagian kedua, dari dua tulisan

Filsafat Bertutur

“Suasana senja di sebuah pelabuhan kecil,” tutur Goenawan Mohamad


(GM), adalah contoh kesyahduan alam yang tidak bisa dirasakan oleh
sains.

GM begitu romantis merasakan alam dan kehidupan. Mungkin ia


terpengaruh Goethe, pemikir era romantik, yang pernah bilang:
“Perasaan adalah segalanya." Sikap romantisisme ini bisa
menjelaskan mengapa GM sinis dan sengit memahami sains. Dunia bagi
kaum romantik adalah kanvas indah yang penuh warna, puisi yang
perlu dihayati. Dan sains, menurutnya, gagal memaknainya.

Filsafat romantisme memang dikenal lebih menekankan pada


perasaan, ketimbang pada nalar murni (rasionalisme) atau dengan
fakta dan data (empirisisme). Paradigma romantik melihat segala
sesuatu dengan “nilai rasa” subjektif. Blaise Pascal, filsuf romantik,
mengatakan, “hati punya alasan yang akal tidak memahami” (the
heart has reasons that reason knows nothing of).

Epistemologi romantik ingin memahami segala sesuatu secara


holistik (togetherness of things), ketimbang deskripsi
eksperimental yang analitis, logis, dan detail. Memakai intuisi atau
perasaan hati —alih-alih memakai rasionalitas atau penelitian
empiris— adalah misinya menafsirkan dan memaknai dunia. Logika
rasio dan bukti empiris tidak banyak berarti bagi kaum romantik,
jika tidak menyentuh perasaan atau emosi. Tidak heran mereka lebih
getol menafsir ketimbang memikir; mempertanyakan makna
ketimbang menjelaskan fakta.

Kaum romantik lebih melihat manusia sebagai “insan” yang utuh,


lengkap, dan sempurna. Mengabaikan bahwa manusia juga tersusun
dari atom, sel dan molekul seperti mahluk lain, yang muncul
(emergent) dalam proses evolusi panjang yang terus berlangsung dan
belum usai—sebagaimana deskripsi kaum empiris.

Menikmati senja di pelabuhan kecil, memang romantik, namun apa


perlu meromantisasi. Begitu banyak pelabuhan kecil yang mengalami
senja tiap hari, satu rutinitas alam yang berulang setiap hari dan

296
berpola sama. Kaum romantis perlu juga menyadari bahwa dibalik
“keindahan senja di pelabuhan kecil ” selalu ada potensi ancaman
gelombang badai, tsunami, atau kesedihan nelayan yang gagal
menjaring ikan. Alam tidak selamanya indah, dan hidup tidak selalu
mudah.

Filsafat romantisme yang cenderung superficial dipersoalkan oleh


rasionalisme dan empirisme. Dua aliran filsafat yang kemudian
melahirkan Positivisme (Auguste Comte). Pada gilirannya
positivisme dikritik oleh neo-positivisme, fenomenologi,
hermeneutika, post strukturalisme, termasuk post-modernisme.

Kritik terhadap paradigma positivisme Comte, yang menjadi basis


paradigma sains, cukup gamblang dan “well taken”. Metode
positivistik dinilai mereduksi realitas hanya pada fakta yang
teramati; mengabaikan sifat kontingensi dan relativitas pikiran;
menyeragamkan keunikan budaya manusia (sains tidak aplikatif
untuk kajian humaniora, sosial atau budaya); sains juga
memunculkan negativitas, seperti kerusakan lingkungan atau
kesenjangan sosial. Poin-poin itu lah yang, lebih kurang, ditulis
ulang oleh GM. Wacana lama yang kembali diulang.

Cukup rasanya ilustrasi memilah-milah epistemologis filsafat


dalam aliran-aliran romantisme, rasionalisme, empirisme,
positivisme, dan seterusnya secara demarkatif. Kecuali untuk kajian
historiografi pemikiran filsafat, berpolemik ala abad ke-19,
berbasis “mazhab atau aliranisme” filsafat rasanya tidak perlu
dilanjutkan.

Salah satu ironi filsafat adalah sulitnya merumuskan kesepakatan,


bukan hanya di antara aliran filsafat yang berbeda, tapi bahkan di
internal aliran yang sama. Ketidaksepakatan pada isu-isu filosofis
yang mendasar membuat kritik filsafat lebih mirip kritik seni atau
apresiasi sastra. Kritik pada sains, yang rigid metodenya.,
semestinya menggunakan metode yang jelas.

Tapi itu pula, misalnya, yang ditolak oleh filsuf Post-modernist,


Paul Feyerabend, yang dalam bukunya “Against Method: Outline of an
Anarchistic Theory of Knowledge” (1975). Ia berargumen sains adalah
“upaya anarkis” (an anarchic enterprise), metode sains itu tidak ada.

297
Feyerabend menawarkan, secara sarkastis, metode alternatif untuk
sains: "anything goes" metode apa saja boleh. Baginya, tidak boleh
ada dominasi atau pemaksaan, metode digunakan sesuai tujuan
penelitian.

Gagasan yang cukup “eksentrik” ini tentu tidak soal untuk


diterapkan dalam ilmu humaniora dan sosial-budaya, tapi
sepertinya tidak cocok untuk ilmu alam. Kritik sarkasme ala
Feyerabend ini membuat dia terisolasi, dijauhi, oleh komunitas
filsafat. Tapi uniknya, namanya diabadikan oleh komunitas saintis
menjadi nama asteroid (22356, Feyerabend) sebagai penghormatan.

Sulitnya menyepakati konsep-konsep, misalnya, pada aliran terbaru


filsafat (abad ke-21), aliran “speculative realism”. Para
pengusungnya, antara lain Ray Brassier, Iain Hamilton, Graham
Harman, atau Quentin Meillassoux. Mereka mengkritik filsafat
kritisisme Imannuel Kant, juga post-Kantianisme, sebagai
“correlationism” yang cenderung “anthropocentric”. Seperti,
mengritik kritisisme perlu agar tetap kritis dalam mengritik.

Ironisnya, Ray Brassier, filsuf utama speculative realism, menolak


dirinya disebut sebagai pengusung aliran ini. Ia menjaga jarak
bahkan mengabaikan adanya label gerakan pemikiran ini
(“speculative realist movement”) dan memilih menyebut aliran
pemikirannya sebagai “nihilism”. Ia menyatakan: “Saya seorang
nihilis, karena saya masih percaya kebenaran” (Kronos, 2011).

Di luar tuturan spekulatif dan label-label yang kadang


membingungkan, filsafat tetap menarik sebagai paradigma berpikir.
Filsafat penting untuk mengasah ketajaman berpikir dan
mempertanyakan hal-ihwal. Namun filsafat juga memiliki kelemahan
akut dalam kegemarannya menuturkan konsep-konsep dengan bahasa
rumit. Dalam istilah Immanuel Kant, kegemaran filsuf “berakrobat
kata-kata” (word jugglery) seringkali mengaburkan makna atau
konsep filsafat. Istilah yang ironis, mengingat Kant sendiri terkenal
sebagai filsuf yang gemar berakrobat kata-kata dan berumit-rumit
dengan konsep.

Dalam filsafat, misalnya, terdapat paradigma “compatibilism”.


Istilah ejekan bagi pemikiran yang berupaya menyelaraskan konsep
yang bertentangan agar bisa “mutually compatible”. Misalnya soal

298
pertentangan filosofis antara free will dengan determinisme,
dikompatibelkan menjadi “soft-determinism”. William James
mengejek kompatibilisme sebagai upaya menciptakan “rawa-rawa
dalih” (quagmire of evasion) yang secara logika tidak konsisten.
Immanuel Kant menyebut kompatibiisme sebagai “dalih celaka akal-
akalan” (wretched subterfuge).

William James, filsuf pragmatisme dan psikolog Amerika, menyebut


pertentangan pemikiran filsafat pada akhirnya bisa direduksi
sebagai soal psikologis. Sejarah filsafat, menurutnya, adalah
perbenturan perangai manusia (the history of philosophy is, to a
great extent, that of a certain clash of human temperament). Saat
berfilsafat, filsuf tenggelam dalam bias perangainya, dan meyakini,
dunia sepakat dengan pemikirannya. “Human, all too human,” kata
Nietzsche.

Pada akhirnya, apapun “drama” perdebatan atau polemiknya, filsafat


(epistemologi), tunduk pada proses evolusi. Filsafat dalam
perspektif sejarah juga berevolusi, paradigma berubah, dan lingkup
kajian menyempit, dari hal general menjadi spesifik. Filsafat klasik
mengulas alam semesta sebagai objek kajian (Cosmocentrism);
filsafat Abad Pertengahan beralih ke Tuhan (Theocentrism); lalu
filsafat pencerahan membahas manusia (Anthropocentrism); dan
beberapa dekade terakhir filsafat post-modern fokus membahas
bahasa (Logocentrism).

Filsafat semakin menyusut wilayah kajiannya, ketika teori atau


temuan sains dapat menjelaskan dengan lebih baik. Bertrand Russell
dalam “The Value of Philosophy”, menyatakan filsafat adalah seni
mengajukan pertanyaan, dan sains melalui metode pengukuran dan
ekperimentasi memberikan jawaban. Russell menegaskan: “ketika
pengetahuan definitif tentang satu subjek sudah ada, subjek
pengetahuan itu berhenti sebagai filsafat, menjadi sains” (as soon
as definite knowledge concerning any subject becomes possible, this
subject ceases to be called philosophy, and becomes a separate
science).

Studi tentang pergerakan benda-benda langit pada mulanya wilayah


astrologi (mitologis), kemudian menjadi kajian filsafat (ontologi),
dan selanjutnya menjadi sains astronomi. Peneitian mengenai
unsur-unsur elemen materi semula adalah wilayah alchemy,
299
kemudian menjadi ilmu kimia. Studi tentang pikiran dan mental
(kesadaran) semula wilayah filsafat, kemudian menjadi psikologi dan
berkembang lebih spesifik menjadi neuro-sains.

Apakah filsafat akan mati, jika wilayahnya makin menyempit? Tidak,


karena hal-hal yang belum pasti tetap menjadi domain filsafat.
Secara klinis filsafat tidak akan mati sejauh masih ada pertanyaan
manusia yang belum terjawab. Kontemplasi filsafat tetap akan
penting untuk memperluas konsepsi berpikir, memperkaya imajinasi
intelektual, dan mengikis keyakinan dogmatis.

Ludwig Wittgenstein dalam Philosophical Investigations (1953),


menyebut tujuan filsafat bukanlah mencari kebenaran namun
memberikan kelegaan (the aim of philosophy is not to seek the truth
but rather to provide relief). Membebaskan dari penjara “pseudo-
problem” berbagai pertanyaan manusia. Wittgenstein
menganalogikan manusia seperti lalat yang terjebak dalam botol,
dan filsafat “menunjukkan lalat jalan keluar dari botol” (to show the
fly the way out of the fly-bottle).

Sains Bercerita

“The universe Is made of stories, not of atoms.” (Alam semesta


terbuat dari cerita, bukan dari atom) — Muriel Rukeyser, penyair
Amerika.

Umberto Eco dalam novel “Focault Pendulum” menuturkan, manusia


tidak bisa menerima alam semesta lahir dari peluang atau kebetulan,
karena empat atom saling bertumbukan. Maka cerita konspirasi
kosmik perlu disusun—Tuhan, malaikat, setan (juga surga dan
neraka) sebagai cerita. “Jika tidak ada rencana kosmik, sungguh
menjengkelkan, hidup dalam pembuangan, tanpa tahu siapa yang
membuang. Terbuang dari tempat yang tidak pernah ada.” (If there is
no cosmic plan; what a mockery, to live in exile when no one sent you
there. Exile from a place, moreover, that does not exist).

Dalam artikel “Our Brains Tell Stories So We Can Live” (Nautilus,


2019), neurolog Robert Burton menyatakan, tanpa bercerita manusia
akan “tersesat di dunia yang chaotic.” Otak manusia adalah mesin
pencari pola dan pencerita, selalu melihat pola pada apa saja yang

300
dipersepsikan indera. Setelah menemukan pola, manusia akan
menyusun cerita.

Selain bercerita, sains juga tertarik meneliti mengapa manusia suka


bercerita. Ramachandran dan Hirstein dalam “The Science of Art: A
Neurological Theory of Aesthetic Experience” (Journal of
Consciousness Studies, 1999) memaparkan teori pengalaman artistik
manusia dan bagaimana mekanisme kerja saraf. Kecenderungan
manusia menyusun cerita terkait dengan hormon dopamin. Senyawa
neurotransmiter yang mengalirkan arus informasi antar-neuron.

Otak melepaskan dopamin, sebagai insentif, saat manusia merasa


senang, nikmat, atau puas. Itu sebabnya dopamin dijuluki happy
hormones. Ia menstimulus hippocampus, bagian otak yang terkait
dengan aktivitas mengingat dan memahami. Ia membuat naratif untuk
disimpan dalam ingatan (episodic memory), sebagai sumber
imajinasi. Ia juga membuat peta kognitif untuk dipakai sebagai
navigasi arah dan tujuan kegiatan sehari-hari, agar tak mudah
tersesat.

Manusia menyusun cerita mitologi, agama, filsafat, dan sains


sebagai navigasi agar hidup lebih mudah dijalani. Berbeda dengan
mode cerita mitologi dan agama yang memiliki akhir, cerita sains
tidak pernah tamat. Tidak ada “the end, they live happily ever after.”
Cerita sains terus bersambung, karena penjelajahan terra-
incognita, wilayah yang tak diketahui, terus dilakukan. Cerita sains
selalu diperbarui, dilengkapi, dan diuraikan dengan semakin detil.
Tidak akan ada habisnya.

Cerita sains adalah rangkaian sejarah afirmasi memilah cerita


faktual dengan yang non-faktual (takhyul, mitos, occultisme, atau
spekulasi). Misalnya, pertanyaan, “dari mana dunia berasal,
bagaimana alam semesta tercipta,” telah melahirkan berbagai versi
cerita. Setiap suku bangsa memiliki cerita mitos penciptaan oleh
dewa-dewa, versi masing-masing. Kemudian agama Samawi (Yahudi,
Kristen, Islam), yang dominan dianut lebih dari tiga miliar manusia,
mengambil alih narasi mitologis kisah penciptaan. Mereka meyakini,
Tuhan monotheis menciptakan alam semesta dalam waktu enam hari.

Sains memiliki versi tersendiri “kisah penciptaan”. Teori Dentuman


Besar (Big Bang) menjadi konsensus saintifik awal terbentuknya

301
alam semesta, dan berevolusi miliaran tahun menjadi dunia seperti
saat ini. Big Bang bukan cerita rekaan, ada dua bukti hasil
penghitungan dan pengukuran valid: spektrum redshift (Hubble) dan
gelombang micro cosmic (Penzias dan Wilson).

Kisah Big Bang dianggap valid pada 1964, setelah melalui proses
penyelidikan dan perdebatan panjang. Pertama kali diindikasikan
oleh Einstein dalam Teori Relativitas (1917) dan dirumuskan oleh
George Lemaitre (1927) dengan istilah “Cosmic Egg” (telur kosmik)
sebelum bernama Teori Big Bang.

Cerita alam semesta berubah dan harus direvisi berulang kali, sesuai
dengan temuan dan pengukuran teknologi terbaru. Sebelum Teori Big
Bang, manusia memahami “dunia” sebagai bumi datar tertutup kubah
transparan yang menjadi batas langit. Dalam kubah transparan ini
ada bintang, bulan dan matahari yang mengelilingi bumi sebagai
semacam dekorasi. Ini adalah cerita versi paradigma geosentrisme,
bumi sebagai pusat dunia.

Cerita itu direvisi pada abad ke-16, dengan temuan Copernicus,


Keppler, dan Galileo, yang menunjukkan bumi dan planet-planet
mengelilingi matahari. Ini adalah cerita versi paradigma
heliosentrisme, matahari sebagai pusat dunia.

Pada abad ke-17 astronom Charles Messier mengidentifikasi


keberadaan galaksi, yang kemudian dinamai Bima Sakti (Milky Way).
Pemahaman dunia heliosentrisme harus direvisi. Tata surya
matahari dan planet-planetnya ternyata cuma salah satu dari
miliaran tata surya lainnya di dunia seluas satu galaksi.

Temuan Edwin Hubble (1929), kembali merevisi cerita dunia seluas


galaksi. Ternyata di alam semesta bukan cuma satu galaksi, tapi ada
ratusan miliar galaksi. Dan alam semesta ternyata mengembang dan
meluas, bukan statis seperti yang dipahami sebelumnya. Cerita
belum berakhir.

Teori Big Bang sebagai cerita sains ditulis oleh kolaborasi banyak
saintis dalam jangka waktu yang panjang. Ibarat menyusun buku
“sejarah alam semesta”, saintis masih belum bisa menulis beberapa
paragraf awal: apa faktor yang memicu Big Bang. Cerita alam semesta
akan lebih menarik jika dimulai dengan kalimat pembuka: “Pada

302
suatu ketika” (once upon a time). Problemnya, tidak ada waktu
sebelum Big Bang.

Aristoteles pernah berspekulasi alam semesta abadi, tidak berawal


atau berakhir. Tapi menurut agama Samawi, Tuhanlah yang
menciptakan alam semesta dalam waktu 6 hari. Apa yang dikerjakan
Tuhan sebelum menciptakan alam semesta? Tidak ada penjelasan, itu
misteri Tuhan.

Teori Big Bang juga menyisakan misteri yang serupa. Ada apa sebelum
Big Bang? Alih-alih menyerah, “Oh itu misteri Big Bang”, sejumlah
astrofisikawan mengajukan cerita (hipotesis) baru berjudul “String
Theory.” Basis ceritanya: jika alam semesta adalah pertunjukan
drama, partikel subatomik (quark, proton, neutro, elektron,
fermion) adalah aktor-aktornya dan medan gravitasi adalah
panggung.

String Theory bisa dianalogikan sebagai “koreografi musik yang


mengawali Big Bang,” lahirnya alam semesta baru. Dalam kisah String
Theory, alam semesta bukan cuma tunggal (universe) melainkan
jamak (multiverse). Big Bang adalah proses kelahiran satu alam
semesta (yang kita tinggali saat ini) dari sekian banyak alam
semesta multiverse. Seperti layaknya organisme hidup, alam
semesta lahir, tumbuh berkembang, menua, dan mati. Untuk lahir
kembali.

String Theory menguraikan partikel subatomik muncul dari getaran


dawai (String). Getaran dawai tertentu akan menghasilkan geliat
partikel tertentu, sebagaimana bunyi senar (gitar, harpa, atau
piano) yang berbeda menghasilkan nada berbeda. Dengan String
Theory, adegan yang dimainkan berbagai partikel subatomik (para
aktor) bisa dideteksi dalam panggung gravitasi. Alam semesta,
menurut String Theory, adalah satu orkestrasi musik kosmik abadi.

Namun masih ada persoalan, cerita String Theory hanya berlaku jika
panggung gravitasi bukan cuma tiga dimensi, melainkan 10 dimensi.
Ini yang masih belum terkonfirmasi, dunia yang dipahami dan bisa
diobservasi manusia, sejauh ini, cuma empat dimensi. String Theory
benar secara hitungan matematis, namun belum terbukti bisa
diobservasi secara empiris. Ceritanya masih dianggap fiksi, belum
menjadi fakta.

303
Tuturan ringkas kisah alam semesta ini diuraikan sekadar sebagai
ilustrasi, menunjukkan proses cara sains menulis cerita. Proses
kolaborasi saintis, manusia pintar dari berbagai penjuru dunia,
bekerja sama untuk menjawab pertanyaan. Pasti tidak semudah
proses seorang penulis romantik, seperti GM, ketika membuat puisi
atau artikel.

Kembali pada tulisan GM, STBLTS. Ia mencoba “membuktikan” prospek


masa depan kemajuan sains dan teknologi yang muram, telah
digambarkan oleh novel fiksi-sains dan film. Ia mencontohkan “Time
Machine”, “Brave New World”, “Blade Runner” dan “Artificial
Intelligence”.

Sepertinya GM mengalami konvolusi membedakan fiksi dengan


prediksi, hiburan dengan kenyataan. Karya fiksi memikat konsumen
dengan menjual drama, ancaman, atau kengerian. Karena cerita
kebahagiaan, kedamaian, atau harmoni tidak menarik sebagai bacaan
atau tontonan. Itu penjelasan mengapa novel atau film fiksi-sains
berisi situasi distopian.

Karl Schroeder, novelis dan futuris, mengatakan, tugas penulis


fiksi-sains bukanlah membayangkan mobil masa depan, melainkan
memaparkan “kemacetan”. Karya yang mampu mengisahkan secara
realistik skenario buruk akibat sains dan teknologi di masa depan
pasti menarik. Bayangkan jika dinosaurus dalam serial film
“Jurassic Park” jinak dan patuh pada manusia, pasti kurang menarik
dan tidak laku. Mengisahkan masa depan yang muram, sebagai worst
case scenario fiksional, adalah kontribusi penulis fiksi pada sains.

Filsuf estetika Perancis yang fokus mengamati teknologi, Paul


Virilio, mengatakan “penemuan kapal juga artinya penemuan kapal-
karam” (the invention of the ship was also the invention of the
shipwreck). Ia mengingatkan setiap inovasi teknologi selalu diiringi
potensi celaka. Ia mengintroduksi “dromology” (the science of
speed), logika kecepatan, terkait dengan inovasi teknologi perang
dan media. Kecepatan, menurutnya, mengubah hal yang alamiah. Siapa
cepat akan menguasai yang lambat. Virilio menginginkan sains
mengerem obsesi pada teknologi.

Dalam buku “The Administration of Fear” (2012), Virilio


mempersoalkan kepesatan laju teknologi media. Menurutnya,

304
komunikasi manusia via komputer dan internet telah “mendisrupsi
ritme biologis dan pola musiman budaya manusia, mengakibatkan
rasa takut dan cemas.”

Kekhawatiran pada kemajuan sains dan teknologi, bisa dijelaskan


secara psikologis. Pada kasus Virilio, misalnya, ia mengalami
trauma perang. Saat berumur 12 tahun, kota tempat tinggalnya
(Nantes) luluh lantak akibat serangan Blitzkrieg pasukan Nazi
Jerman. Trauma perang berpengaruh kuat pada pemikirannya, “perang
adalah universitas saya’”.

Perang memang traumatik. Validkah menuding sains dan teknologi


sinonim dengan perang? Bagi pemikir “alarmists”, seperti Virilio,
teknologi memacu perang. Namun bisa dililihat sebaliknya: perang
memacu inovasi teknologi. Manusia gemar berperang, dengan atau
tanpa teknologi. Kisah manusia adalah rangkaian peperangan tanpa
henti, sejak perang batu zaman purba hingga perang dengan senjata
modern.

Alih-alih pemicu perang, sains dan teknologi boleh jadi akan


menghentikan perang. Bom hidrogen yang dijatuhkan di Hiroshima
dan Nagasaki menghentikan perang dunia kedua: “The War To End All
Wars”. Dengan adanya bom nuklir muncul kesadaran perang adalah
kesia-siaan. Akan terjadi mutual destruction, jika manusia
melanjutkan kegemaran berperang.

Perang adalah soal hormonal manusia, teknologi dipakai untuk


mengintensifkan agresivitas itu. Dugaan saya, di masa depan, sains
akan bisa menghentikan problem hormonal ini, dengan menemukan
vaksin yang bisa mengendalikan agresivitas manusia.

Perang suatu saat akan akan berhenti. Namun perang gagasan, “war
of ideas”, akan berlanjut. Dalam polemik mempersoalkan sains saat
ini, GM menyampaikan kekhawatiran, sains akan menjadi “panglima”
pengetahuan manusia. Statement ini sepertinya mencerminkan
trauma GM muda, pada politik era Orde Lama (1960-an) ketika di
Indonesia populer slogan “politik menjadi panglima”.

“Sains menjadi panglima” adalah istilah misnomer, salah frasa, dan


tidak berbasis fakta. (Meski saya berharap suatu saat nanti terwujud
“sains menjadi panglima pengetahuan”). Namun untuk saat ini,
“panglima” manusia jelas masih politik dan politisi, politik masih
305
menjadi penentu arah pengetahuan. Contoh yang paling jelas adalah
isu “climate change”. Sains sudah menjelaskan bahaya perubahan
iklim ini, namun banyak negara masih abai dan tidak peduli. Donald
Trump menuduh sebagai teori konspirasi yang disebarkan Tiongkok.

Selain politik, agamalah yang selama ribuan tahun menjadi


“panglima” pengetahuan melalui doktrin dan dogmanya. Politik dan
agama berkorelasi dan berkonspirasi menjadi panglima sepanjang
peradaban manusia. Seringkali dengan inkuisisi, persekusi, dan
otokrasi.

Mengistilahkan “sains menjadi panglima” adalah contradictio in


terminis. Sains modern selalu berada di bawah bayang-bayang
kekuasaan politik atau kepentingan bisnis. Riset sains yang begitu
kompleks dan mahal saat ini memerlukan dukungan keputusan politik
atau kepentingan bisnis agar bisa membiayai aktivitasnya. Sains,
pada dirinya sendiri, tidak pernah bisa menjadi panglima. Jargon
politik “Orde Lama” jelas tidak cocok dikenakan pada sains,
sekalipun itu cuma metafora.

Ketimbang sebagai panglima, sains lebih pas dianalogikan sebagai


“alat penunjuk arah”. Seperti aplikasi penunjuk jalan Google-Map,
Waze, MapQuest, misalnya. Sains membantu manusia mengetahui
pilihan destinasi, arah, dan rute yang sebaiknya ditempuh. Namun ke
mana manusia mau menuju—ke masjid, ke kampus, atau ke red-
district area—sepenuhnya keputusan manusia. Sains sebagai alat
sering masih tunduk pada konsensus politik atau kepentingan bisnis.

Sains sebagai metode untuk mendapat pengetahuan baru dipakai


kurang dari 300 tahun, bandingkan dengan agama dan filsafat yang
setidaknya sudah 2500 tahun. Sulit pasti membayangkan, penemuan
dan pencapaian saintifik seperti apa 2000 tahun ke depan. Jangankan
2000 tahun, kita bahkan sulit memprediksi kemajuan sains 50 tahun
ke depan.

Dunia sains 25 tahun terakhir menunjukkan etalase kemajuan


mencengangkan. Berbagai wacana lama tentang realitas ontologis
mendapatkan tafsir baru. Dunia artificial Intelligence (AI) tak pelak
akan mengakselerasi berbagai penemuan teknologi dan pengetahuan
baru. Nick Bostrom adalah filsuf yang perlu dirujuk dan dikutip

306
untuk memahami geliat dunia sains masa kini dan mendatang,
ketimbang Husserl, Heidegger, Popper, atau Meillassoux.

Bostrom menulis risalah “The Simulation Hypothesis”, menggagas


realitas alam semesta sebagai simulasi. Sebuah pendekatan baru,
technoscience, yang segar untuk wacana filsafat ontologi atau
metafisika, dan memancing perdebatan menarik. Elon Musk dan David
Chalmer, filsuf cognitive-science, termasuk penganut hipotesis
simulasi ini. Bostrom juga menulis buku “Superintelligence: Paths,
Dangers, Strategies” (2014) menguraikan sejumlah problem filosofis
tentang kemanusian dalam era mesin super cerdas di masa depan. Ia
mendirikan The Future of Humanity Institute, lembaga pengkajian
soal-soal kemanusian dan teknologi.

AI dan teknologi terbaru bukan hanya akan menjadi alat membantu,


namun juga untuk mengetahui manusia dan realitasnya. Termasuk
pertanyaan apa makna dan hakikat menjadi manusia. Untuk memahami
kecerdasan, kita membuat kecerdasan buatan, untuk
mengidentifikasi realitas, kita membuat realitas buatan (virtual
reality dan augmented reality), untuk memahami manusia kita
membuat cyborg. Dalam proses itu, manusia bukan hanya mencoba
memahami, namun juga mengubah. Jika manusia bisa mengubah
sesuatu menjadi lebih baik, mengapa tidak?

Faktanya, evolusi peradaban manusia adalah cerita tentang


bagaimana manusia mengubah diri dan lingkungannya. Manusia
membuat bahasa, tulisan, kesenian, mesin cetak, dan segala
teknologi untuk kemajuan peradaban. Yuval Noah Harari
menceritakan dengan baik dalam “Sapien” dan “Homo Deus” bagaimana
proses sejarah manusia menjadi seperti saat ini, dan seperti apa
kemungkinan masa depan.

Pengetahuan manusia adalah proses evolusi panjang. Terakumulasi


dari yang sederhana menjadi semakin kompleks. Dari berpikir
takhyul hingga sains. Evolusi natural telah melahirkan manusia,
kita tidak tahu, ke mana evolusi kultural, yang berjalan sedemikian
cepat, akan membawa perubahan pada manusia.

GM cemas dan khawatir pada implikasi perubahan dunia dan manusia


akibat sains dan teknologi, dengan berfilsafat romantik. Tidak soal
sebenarnya, jika GM memilih berhenti berpikir pada level filsafat,

307
dan kritis mempersoalkan sains. Mengingat, banyak orang yang
berpikirnya berhenti pada level takhyul dan mitos.

Judul esai GM “Sebuah Tempat yang Bersih, dan Lampunya Terang


untuk Sains“, cukup puitis. Ada argumen filosofis di dalamnya.
Namun tidak ada yang baru bagi yang serius mengikuti perkembangan
sains dan cukup membaca filsafat. Esensi kritiknya pada sains agak
melankoli. Cermin kecemasan: cemas pada dunianya yang tidak pasti,
dan akan berubah.

Penutup tulisan GM agak konvolutif, ia menyatakan: “Sains tidak


perlu dicurigai, namun tak perlu dipromosikan ke markas komando,
menjadi otoritas tertinggi untuk kebenaran dan kebijakan.” GM
curiga, yakin ada “pihak-pihak” yang berupaya menjadikan sains
sebagai panglima komando kebenaran. Seriously, ini satu misteri
“teori konspirasi” yang perlu diteliti secara sainstifik, siapa
gerangan pihak-pihak itu?

Bagaimanapun, upaya GM perlu diapresiasi. Kecemasannya telah


memicu polemik pemikiran yang intensif hampir sebulan terakhir.
Saya berharap kekhawatirannya, betapapun tidak akurat, blessing in
disguise, akan membangkitkan minat publik pada sains. Syukur kalau
bisa mendorong munculnya kebijakan agar Indonesia “berkhidmat”
pada sains dan memasyarakatkan scientific temper (perangai
saintifik). Mengingat masih besarnya sikap ignorant masyarakat
Indonesia pada ilmu pengetahuan, khususnya sains.

Karena seperti ucapan Alfred North Whitehead: “Bukan sikap masa


bodoh yang membuat ilmu pengetahuan mati, tapi sikap masa bodoh
pada kemasabodohan” (Not ignorance, but ignorance of ignorance, is
the death of knowledge). Dalam konteks ini, GM telah memerankan
posisi sebagai “The devil’s Advocate” bagi wacana sains di Indonesia.

XLIV. 23 Juni: Agus Sudibyo: Sains, Instrumentalisasi, dan Keterbukaan Terhadap


“Yang Lain”

SAINS, INSTRUMENTALISASI, DAN


KETERBUKAAN TERHADAP “YANG LAIN”

308
Mei 2016, demonstrasi anti-Muslim pecah di Houston, Amerika
Serikat. Dengan slogan “Stop Islamisasi di Texas”, mereka menentang
pendirian The Library of Islamic Knowledge di jantung kota Houston.
Tak lama berselang, muncul demonstrasi lain yang meneriakkan hak
untuk mempromosikan nilai-nilai Islam di negeri Paman Sam.
Demonstrasi kontra demonstrasi terjadi dan suasana memanas.
Hampir terjadi perkelahian jalanan di antara keduanya.

Di kemudian hari terungkap, dua demonstrasi itu bermula dari


perang kata-kata di media-sosial. Facebook Page bertajuk Heart of
Texas terus-menerus meneriakkan prasangka negatif terhadap
Muslim.

Sebaliknya, Facebook page bertajuk United Muslims of America terus


meneriakkan hak kesetaraan untuk Muslim Amerika Serikat. Kedua
kelompok itu bahkan mengampanyekan seruan-seruannya melalui
iklan media-sosial.

Belakangan baru diketahui, kedua Facebook page itu palsu! Lebih


mengejutkan lagi, keduanya dikendalikan nun jauh dari St.
Petersburg Russia oleh organisasi propaganda di bawah Rezim
Kremlin, Moscow, Internet Research Agency.

Desember 2018, Komite Intelijen Senat Amerika Serikat bekerja sama


dengan Computational Propaganda Project Universitas Oxford
mengumumkan penelitiannya tentang skandal tersebut. Internet
Research Agency terbukti telah merancang dan melaksanakan
operasi politik berskala besar untuk memenangkan Donald Trump dan
sebaliknya untuk menenggelamkan Hillary Clinton. Meskipun
berskala besar, operasi politik terjadi secara laten. Tak ada yang
menyadarinya hingga pemilu berakhir dan Trump menjadi presiden.

Sarana operasi politik yang senyap itu adalah media baru yang
demikian sangat familier bagi banyak orang: media-sosial!
“Artefak” teknologi komputasi yang begitu identik dengan janji
demokratisasi dan deliberasi ini ternyata telah menjadi sarana
operasi politik yang kotor dan memecah-belah masyarakat.

Tak ada yang menduga juga bahwa pada gilirannya Amerika Serikat -
-negara yang begitu menguasai jagad digital-- justru menjadi
korban paling absurd dari penyalahgunaan media-sosial untuk
memecah-belah masyarakat. Tak kalah absurdnya, perusahaan
309
raksasa digital yang menjadi “flag-carrier” Amerika Serikat:
Facebook, Google, Twitter, turut terlibat dalam politik pecah-belah
itu.

Skandal propaganda komputasional Russia menghasilkan trauma


mendalam untuk publik Barat. Pertama, jangkauan operasinya bukan
hanya Amerika Serikat, tetapi juga Inggris, Uni Eropa, Ukraina,
Suriah dan lain-lain. Publik Barat terkejut dengan kemampuan
Russia dalam mengorganisir perang digital. Jika Amerika Serikat
saja tak mampu mengantisipasi, apalagi negara lain?

Kedua, trauma yang lebih mendalam adalah bahwa kasus tersebut


menyingkap sisi lain dari teknologi digital yang telah digadang-
gadang akan membawa umat manusia ke kehidupan yang lebih
bermartabat. Publik Amerika tidak menyadari bahwa ratusan akun
media-sosial yang selama kampanye pilpres menyebarkan jutaan
pesan-pesan politik yang provokatif dan insinuatif itu ternyata
adalah bot (robot). Mereka tidak sadar bahwa akun-akun medsos yang
saban hari terus berkomunikasi dengan mereka dengan logat
Inggris-Amerika yang “medok” itu ternyata disetir oleh pasukan
Troll di Russia. Orang Amerika tidak ngeh bahwa data pribadi mereka
telah dicuri dan privasi mereka telah diterabas.

Ternyata ada begitu banyak hal yang tidak diketahui tentang gawai,
aplikasi dan layanan internet yang saban hari kita gunakan. Sejak
saat itulah, internet of thing kerap diplesetkan menjadi “We dont
know anythink about internet”. Pengguna internet rata-rata hanya
paham bagaimana menggunakan e-mail, menggunakan akun medsos
untuk berinteraksi sosial dan menggunakan mesin pencarian untuk
mencari sesuatu. Namun bagaimana layanan-layanan itu dapat
beroperasi, bagaimana operasi ini disertai dengan pengumpulan,
pemanfaatan data pribadi pengguna internet, bagaimana algoritma
bekerja untuk menata dan mengarahkan arus informasi dan
percakapan sosial, semuanya tak terjangkau oleh pengetahuan
pengguna internet pada umumnya.

Sebagai pengguna internet, kita umumnya hanya beroperasi dalam


level permukaan (surface web). Apa yang terjadi di bawah permukaan
(deep web) adalah misteri tak terpahami. Padahal di sanalah privasi,
interaksi sosial, lingkup pergaulan dan persepsi politik kita
ditentukan di sana. Misteri ini secara faktual telah melahirkan
310
beragam kejahatan: physing, doxing, bullying, hingga manipulasi
opini publik untuk meraih kemenangan elektoral. Tak pelak lagi,
hidup para netizen sesungguhnya selalu dihantui resiko menjadi
korban kejahatan atau manipulasi. Orang seperti Shoshana Zuboff
secara hiperbolis pernah menyatakan digitalisasi sesungguhnya
adalah proyek pembebasan sekaligus penelantaran atas kaum
homodigitalis.

Ketiga, kecemasan publik Barat kian berlipat karena inovasi


teknologi digital melahirkan dampak-dampak yang bahkan tidak
dapat dikendalikan oleh para penemunya. Dalam seri pengadilan yang
digelar Senat AS, Facebook, Google, Twitter terus berkilah mereka
tidak mengetahui platform media sosial mereka digunakan Russia
untuk memecah-belah bangsa Amerika.

Publik Amerika umumnya meragukan klaim itu dan meyakini


Facebook, Google dan Twitter sengaja mengambil “kesempatan dan
kesempitan”: meraup keuntungan dari proyek propaganda
komputasional Russia. Sungguh pun klaim itu benar, masalahnya
tidak kalah rumit, bahwa Facebook, Google, Twitter ternyata gagal
mengendalikan mesin atau aplikasi yang telah mereka ciptakan
sendiri. Jika para penemunya saja tidak dapat mengendalikan, lalu
bagaimana melindungi publik dari penyalahgunaan inovasi tersebut?

Ketidakmampuan perusahaan platform untuk mengendalikan “mesin-


mesin penghasil uangnya” juga terjadi pada fenomena digital ad
misplacement. Suatu ketika, iklan-iklan Johnson-Johnson, Coca
Cola, Walmart, dan Toyota tiba-tiba menempel di video-video
Youtube yang menayangkan konten pedofilia, pornografi, pesan
anti-semitis, bahkan video eksekusi penggal kepala oleh serdadu
ISIS.

Yang terjadi dalam kasus ini adalah algoritma Youtube sangat cerdas
dalam mengidentifikasi bahwa para penonton video-video itu adalah
orang-orang yang berpotensi untuk membeli bedak Johnson-
Johnson, minuman Coca-Cola dan mobil Toyota terbaru. Analisis big
data memungkinkan itu. Algoritma tidak sensitif terhadap citra
produk dalam hal ini. Cerdas tapi tidak “berperasaan”. Sontak saja,
para produsen mengajukan protes keras karena Youtube telah
membiarkan produk-produknya berasosiasi dengan konten-konten
negatif tersebut.
311
Keempat, ilmu komputasi (computer sains) dalam perjalanannya
sangat erat berkelindan dengan persoalan politik dan perdagangan.
Pengembangan teknologi digital tak bisa lepas dari motif bisnis,
politik dan geopolitik. Perang dagang antara AS dan China untuk
sebagian merupakan perang teknologi digital. Ini adalah
pertarungan bisnis antara Google, Amazon, Facebook, Apple,
Microsoft (GAFAM) melawan Baidu, Tensen, Alibaba, Huawee,
Pinduoduo. Bagaimana GAFAM mendominasi pasar digital global pada
dasarnya tak bisa dilepaskan dari strategi geopolitik AS. Ketika
praktek bisnis Google, Facebook, Amzon dipersoalkan oleh Uni Eropa,
Presiden AS membelanya secara langsung layaknya ketiganya
merupakan “perusahaan BUMN”. Kasus lain, Korea Selatan sanggup
mengembangkan platform nasional Navercom (mesin pencari) dan
Kakaotalk (medsos) juga berkat subsidi dan dukungan politik
pemerintah.

Apa yang terjadi dalam jagat digital seperti telah dijelaskan


menunjukkan bahwa sains, khususnya computer science, tidak dapat
dibiarkan menggelinding sendirian pada jalurnya. Begitu bertebaran
maksud-maksud pengendalian, penguasaan, instrumentalisasi,
bahkan kedurjanaan di sekitar lajur-cepat penuh akselerasi
pengembangan teknologi komputasi.

Permasalahannya lebih-terang benderang dari persoalan apakah


etis mesin menggantikan fungsi manusia atau apakah institusi
pendidikan formal atau jurnalisme masih dibutuhkan di era serba
digital dewasa ini. Permasalahannya sangat faktual: masyarakat
terpecah belah dalam ruang-ruang gema digital, ruang publik
semakin kusut dengan kebohongan dan semangat rasisme, gelombang
pengangguran terjadi akibat disrupsi tanpa antisipasi yang
memadai, ketimpangan ekonomi semakin melebar antara kawasan
kaya dan kawasan terbelakang.

Jelas sekali dalam hal ini bahwa diskursus digitalisasi dan


komputasi perlu dijalankan secara multidispliner. Computer sains
bukanlah sistem yang cukup diri (self-sufficient) dan semestinya
membuka diri terhadap persinggungan dengan disiplin yang lain.

Dalam konteks spesifik propaganda komputasional, Samuel C.


Woolley dan Philip N Howard dalam buku Computational Propaganda,
Political Parties, Politicians, and Political Manipulation on Social
312
Media (Oxford University Press, 2019) menegaskan bahwa
kecerdasan-buatan, algoritma kurasi dan analisis big data adalah
fenomena digitalisasi, media, politik, psikologi massa sekaligus
fenomena ekonomi. Sebuah area penelitian baru yang mesti didekati
secara lintas disiplin: ilmu komputasi, ilmu komunikasi, ilmu
ekonomi, ilmu politik, psikologi massa. Tanpa terkecuali diskursus
digitalisasi-komputasi sesungguhnya membutuhkan sumbangan
filsafat untuk mendapatkan telaah kritis dari sisi epistemologi,
antropologi filsosofis, ekonomi-politik dan etika.

Kajian multidisipliner ini tentu tidak dengan maksud mematahkan


capaian-capaian positif ilmu komputasi, melainkan justru untuk
memungkinkannya meraih capaian-capaian lebih tinggi. Studi lintas
disipin membantu mengindentifikasi bias, residu, antagonisme,
tegangan dan ambivalensi dalam digitalisasi global yang jika
dibiarkan justru akan membuat ilmu komputasi melenceng dari “misi
awalnya”: menciptakan peradaban yang lebih maju.

XLV. 24 Juni: Alois Wisnuhardana: “Sains, Transhuman, dan Digital Realm”

SAINS, TRANSHUMAN, DAN DIGITAL REALM

Tulisan berseri Hamid Basyaib, akhirnya membuat saya tergelitik


ikut nimbrung dalam percakapan tentang sains, agama, filsafat, dan
pandemi yang melibatkan puluhan orang dan ramai disambut banyak
kalangan lebih dari sebulan terakhir ini.

Enam seri tulisannya yang diunggah saban hari dan berakhir 21 Juni,
telah membuka ruang yang lebih luas tentang teknologi -sebagai
produk sains— dikehendaki atau tidak sedang dan akan mengubah
“takdir” sekaligus nasib manusia sebagai produk alam.

Saya tak paham dengan sebagian besar pendapat seluruh penulis


dalam diskursus ini secara utuh. Paham yang saya maksud itu artinya
tahu mendalam, sebagaimana saya bisa memahami utuh reaksi reduksi
oksidasi alias reaksi redoks dalam ilmu kimia yang saya pelajari
dulu di SMA atau kuliah tujuh tahun lamanya.

313
Nama-nama yang dikutip para penulis, sesungguhnya juga tak
terlalu asing di telinga -kecuali Quentin Meillasoux-, gara-gara
dulu diberi izin oleh Romo Dipo Sudiarja SJ untuk menjadi mahasiswa
pendengar di Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi St. Paulus,
Yogyakarta. Tiap minggu duduk bareng para frater yang sekarang
sebagian sudah menjadi uskup.

Jadi, membaca narasi banyak penulis hebat dalam diskursus ini, saya
masih merasa khawatir dan sedikit inferior. Khawatir saya
mendefinisikan seekor gajah itu adalah binatang yang bentuknya
tipis lebar hanya karena saya cuma memegang telinganya saja. Tidak
utuh. Inferior

Tapi tulisan Hamid memang provokatif dan menggugah. Dalam tuilsan


keempat dari enam tulisannya yang berseri itu, ia menulis tentang
“transhuman” dengan mengutip Ray Kurzweil.

Kurzweil, sebagaimana dielaborasi singkat oleh Hamid, adalah


saintis terpandang yang sekarang bekerja di Google dan merupakan
salah satu nama inventor paling berpengaruh saat ini. Ia meramalkan
selambat-lambatnya pada tahun 2045, akan tercipta manusia hibrid,
sebagaimana ia sebut dalam bukunya yang terbit pada tahun 2012.

Tidak terbantahkan bahwa transhuman akan datang. Bahkan lebih


cepat dari yang diperkirakan.

Saya menemukan dan membaca satu prediksi yang lebih maju dari
perkiraan Kurzweil. World Economic Forum (WEF) mewawancarai
sekitar 800 eksekutif korporasi dan pemimpin industri dari seluruh
dunia. Mereka ditanya banyak hal, yang kemudian menjadi “tipping
point” dalam perjalanan manusia menghasilkan teknologi.

Apa hasilnya?

Sebagian besar dari responden yang diwawancara itu meyakini,


ponsel yang telah terimplan dalam tubuh manusia secara komersial
akan hadir di tahun 2024. Empat tahun lagi.

Sebagian prediksi itu bahkan sudah bisa kita lihat dan nikmati hari
ini, yaitu tentang car-sharing, yang kemudian model bisnisnya
terumuskan secara baik lewat Gojek, Grab, atau Uber itu. Yang sedang
ditunggu adalah “driverless car”. Kendaraan nirsopir. Dua tahun

314
terakhir, mereka terus menguji coba teknologi bus tanpa supir ini
dan dua tahun dari sekarang, 2022, akan mengimplementasikannya di
sejumlah rute.

Yang juga akan menjadi problem etis adalah 3D printing. Bikin rumah,
bikin jantung palsu, tulang palsu, bisa menggunakan teknologi ini.

Kembali ke laptop. Soal transhuman.

Sebuah video yang dirilis BBC One memvisualisasi dengan sangat


baik ponsel implan ini. Bethany, yang diperankan oleh Lydia West,
bercakap dengan emaknya menggunakan ponsel yang sudah terimplan
dalam tangannya. Speaker berukuran tipis ditanam pada lengannya,
dan saluran penangkap sinyal diimplan pada jari-jari tangannya.

Dialog yang paling mengena dari klip pendek itu saya kutipkan di
sini. “I don’t want to be flesh. I want to escape this thing and become
digital.”

Emaknya protes. Mengapa anaknya, Bethany, melakukan pembedahan


dan tidak minta izin padanya melakukan itu semua.

“Ini bukan pembedahan. Ini implantasi. Kayak dulu Emak bikin tato,
yang nggak perlu minta izin nenek, kan?”

Bethany, singkatnya, telah terkonversi menjadi digital. Being


digital. Tubuhnya adalah kombinasi dari "natural creation" yang
dialami dan dijalani manusia selama berabad-abad dan dengan
demikian ia terus berkembang biak, dengan "digital creation" yang
memanipulasi mekanika dan logika ke dalam bit-bit teknis yang
terdiri dari bilangan biner 1 dan 0, sehingga menjadi sebuah mesin
komputasi.

Dengan cara itu, menyalakan ponsel, tinggal menjentikkan jari-jari


tangan. Bicara dengan orang, tinggal menyebut nama, lalu kita sudah
terhubung. Layarnya, tertanam di bawah kulit ari.

Model komunikasi demikian, persis seperti dongeng yang pernah saya


baca dalam seri "Api di Bukit Menoreh", sebuah ilmu komunikasi yang
hanya dimiliki orang-orang pilihan seperti Kiai Gringsing, Ki Juru
Martani, atau Sultan Hadiwijaya. Jika ilmu yang didongengkan itu
harus didapatkan dengan “laku”, teknologi digital cukup dengan
“tuku”. Membeli.

315
Orang-orang yang memiliki kapasitas linuwih seperti tokoh
imajinatifnya Singgih Hadi Mintardja itu menurunkan ilmunya secara
selektif, sehingga ada ilmu yang terwariskan ke Agung Sedayu, tetapi
tidak ke Swandaru Geni. Tapi dengan teknologi, siapa saja bisa punya
asal punya uang untuk menebusnya.

Being Digital

Ilmu rasional berbasis nalar dan pikiran yang terelaborasi sejak


Abad Pertengahan dan bahkan jauh sebelum itu telah mewariskan
pencerahan yang membawa manusia setahap lebih maju memasuki
peradaban sains dengan berbagai turunan dan penemuan di banyak
bidang, Para saintis berhasil membongkar rahasia semesta dan
segala hal yang ada di sekelilingnya, yang sebelumnya dilingkupi
mitos dan cerita-cerita yg mengoreksi keyakinan dogmatis yang
dicekokkan oleh agama.

Manusia berhasil menemukan suatu pola-pola yang diterjemahkan


dalam persamaan-persamaan matematika atau fisika, sehingga ada
konsistensi yang dapat mempertahankan kebenarannya. Tapi proses
itupun tidak statis, karena dari masa ke masa, selalu terjadi koreksi
atas teori atau paradigma, dan itu dapat dibuktikan secara saintifik.
Setiap teori terdahulu, didekati secara skeptis (skeptisisme
metodis, dalam bahasa Taufiqurrahman), dan dengan demikian
menghasilkan teori yang terkoreksi.

Para saintis berhasil membongkar dimensi terdalam sebuah benda


sampai ke ujung paling kecil, atom. Atom ditandai dengan pola dan
ciri tertentu, dan dibedakan berdasarkan satuan-satuan tertentu.
Satuan yang paling umum dan paling dasar yang digunakan adalah
massa. Jadi, tiap atom punya massa.

Jika setiap benda punya identitas, punya karakter, punya pola,


bagaimana peradaban sains mampu mengubahnya menjadi digital?
Nicholas Negroponte menjelaskannya dengan amat menarik sekaligus
menunjukkan bagaimana ketika terkonversi ke dalam dunia digital,
progresnya menjadi tidak lagi bisa terhentikan. Diperlambat pun
tidak.

316
Dalam bukunya “Being Digital” [1996], Nicholas Negroponte dengan
amat gamblang membedakan apa itu “atom” dan apa itu bilangan biner
atau “bits” (binary digits).

Itulah transisi terpenting peradaban manusia, menurut pendapat


saya. Negroponte sendiri bukanlah saintis ecek-ecek, karena ia ikut
mendirikan MIT Media Labs, dan kurang lebih 20 tahun memimpin
organisasi tersebut.

Atom, dalam buku itu, ia gambarkan sebagai suatu bentuk yang


memiliki bobot atau massa. Atom-atom terdiri atas proton,
elektron, dan neutron. Sedangkan bits adalah perpindahan data
secara elektronik -artinya bergerak dalam kecepatan gerak
elektron- secara gegas dan instan dalam kecepatan perpindahan
yang satuannya adalah kecepatan cahaya.

Berapa kecepatan cahaya? 300 juta meter per detik. Orang eksak
biasanya menuliskan 3,00 x 100 juta meter/second. Dalam ruang hampa
atau dihampakan, kecepatan gerak ini bisa berubah lebih cepat
karena tidak ada hambatan. Jadi, untuk mempercepat dan
memperlambat pergerakan, saintis dapat mengelolanya –lebih tepat
mengendalikan-- dengan memberikan medium atau lingkungan yang
tepat. Artinya, sains telah membuat manusia memiliki kemampuan
untuk mengendalikan partikel yang bergerak dalam kecepatan
cahaya tersebut.

Dengan demikian, para saintis yang tadinya masih berbicara tentang


suatu “massa” yang jika digerakkan memerlukan usaha dan waktu,
dalam konversi “bit” dia menjadi virtual atau digital, karena praktis
tidak ada lagi “massa” yang (diasumsikan) digerakkan dari satu titik
ke titik lainnya. Setiap bit dapat digerakkan dipindahkan
dimobilisasi secara instan melalui berbagai platform.

Bits adalah fondasi bagi terbentuknya alam digital (digital realm).


Sedangkan atom adalah fondasi alam natural, yang secara fisik masih
dapat diimajinasi atau dideteksi secara inderawi ataupun
menggunakan alat bantu. Bits adalah elemen dasar dari komputasi,
yang hasil turunannya sudah menjadi berbagai macam produk yang
kita nikmati sehari-hari.

Tapi apa sesungguhnya prinsip dasar atau prinsip kerja mesin


komputasi?
317
Input dan output. Itu saja. Sebuah mesin komputasi sederhana,
dengan suatu interface tertentu, dapat menjalankan perintah yang
kita berikan (input), dan memberikan hasil yang kita inginkan
(output).

Tapi pertanyaannya menjadi sangat filosofis. Apa yang diinginkan


manusia? Tak terbatas. Para psikolog yang mempelajari seluk beluk
perilaku manusia makin menebalkan jawaban itu.

Infinite, kata orang sains. Tak bertepi, kata para penyair.

Untuk memenuhi keinginan manusia yang tak terbatas itu, saintis


yang menekuni dunia komputasi kemudian terus berinovasi, sehingga
produk digital juga makin berkembang dari waktu ke waktu. Dari yang
berukuran raksasa pada waktu pertama kali ditemukan, hingga
berskala mikro atau nano hari ini, sampai yang kemudian dapat
dibenamkan dalam tubuh seperti Bethany pada cerita di atas.

Manusia terus menginginkan sebuah mesin yang mampu mengenali


dirinya, mesin yang bisa belajar mengenai apa yang mereka butuhkan,
dan kemudian lebih jauh lagi “memahami secara mendalam” (sering
disebut “verstehend” dalam paradigma berpikir Max Weber), baik
input yang sifatnya verbal maupun nonverbal.

Paradigma berpikir dan bekerja mesin semacam inilah yang kemudian


akan mendasari apa yang disebut sebagai kecerdasan buatan
(artificial intelligence), yakni ketika ia memiliki kecerdasan untuk
berlaku sebagaimana manusia memahami manusia yang lain.

Saya tak punya imajinasi ataupun referensi yang cukup memadai


ketika harus menautkan perkembangan sains yang sudah sampai
tahapan sedemikian, berkorelasi atau dikorelasikan dengan agama.
Apa dasar-dasar legitimasi yang harus digunakan oleh agama ketika
manusia sudah mengalami komodifikasi digital dan ia menjadi
berkemampuan yang tak lagi sama dengan fitrahnya sebagai manusia
yang didalilkan oleh agama-agama?

Jikapun ada yang memaksakannya, saya khawatir yang akan terjadi


bukanlah semacam pertautan agama dan sains melainkan cocokologi
semata-mata dan itu bagi saya jelas justru mendegradasi legitimasi
agama yang diyakini manusia, human being.

318
Entah dengan transhuman.

XLVI. 24 Juni: Goenawan Mohamad: “Scientia? Sapienta? Sains dan Atheisme Baru”

SCIENTIA? SAPIENTA?
Sains dan “Atheisme Baru”

Ini bukan respons terhadap tulisan Hamid Basyaib dan Lukas


Suwarso. Saya merasa tak perlu menanggapi keduanya, sebab saya tak
menemukan argumen yang belum saya jawab di sana, khususnya di
bidang teori tentang sains.

Jika ada yang baru adalah percobaan Hamid mencemooh esai-esai


saya — mungkin karena ia tak tahu ada “genre” dan tradisi esai yang
di dunia sudah bertahun-tahun dan di Indonesia ditunjukkan Asrul
Sani dan Chairil Anwar. Sementara yang agak baru dari Lukas adalah
bahwa dia, sedikit meniru-niru Hamid, menilai saya “Romantis”,
“elitis”, “sinis.”

Saya tak akan membuat itu soal yang pantas dibahas di sini. Mungkin
kelak — sambil mengajari mereka berdua telaah sastra. Saya kira
polemik ini akan jadi kekanak-kanakan jika para pesertanya hanya
mengambil pola “serang-tangkis-serang”. Akan lebih berharga jika
kita mendapatkan wawasan yang baru, berkat proses tukar menukar
pikiran.

Maka saya ingin kembali mengundang pembaca memasuki persoalan


yang lebih ke dalam.

***

Semula, pembicaraan kita dimulai dari dua premis yang berbeda.

Yang pertama bahwa sains —dalam arti sains modern, persisnya


ilmu-ilmu alam— adalah satu-satunya jalan ke arah kebenaran;
dikatakan secara lain, sains adalah pengetahuan yang paling
“legitimate” untuk menjelaskan semua bidang kehidupan.

Premis yang kedua menganggap tidak demikian. Saya, misalnya,


menganggap klaim itu problematis.

319
Kita mulai dengan kutipan dari Rudolf Carnap, yang mewakili premis
pertama:

“…the total range of life has many other dimensions outside


science…within its dimension, science meets no barrier…When we
say that scientific knowledge is unlimited, we mean: there is no
question whose answer is in principle unattainable by science”.

Carnap adalah tokoh Positivisme Logis dari “Vienne Circle”.


Pengaruh filsafatnya pudar sejak awal 1960-an, tapi pendapat yang
saya kutip di atas langsung atau tak langsung punya gema yang luas,
mungkin karena beberapa ilmuwan terkemuka menjunjung keyakinan
yang sama.

Francis Crick, salah satu penemu DNA, misalnya: “Pengetahuan yang


kita miliki, telah membuat sangat mustahil bahwa ada yang tak dapat
dijelaskan oleh fisika dan kimia”.

Atau Richard Dawkins yang kini lebih berkibar. Bagi dia, sains
sanggup menjawab pertanyaan yang mendasar, misalnya apakah ada
makna dalam hidup, atau untuk apa kita di dunia, dan apa pula
definisi manusia. “We no longer have to resort to superstition…”,
kata Dawkins. Sains “satu-satunya alternatif bagi takhayul.”

Keyakinan semacam itu memang berkaitan dengan prestasi epistemik


sains dan juga prestise sosial yang diraihnya. Sains langsung atau
tak langsung bisa meminggirkan sumber pengetahuan lain, apalagi
yang dianggap oleh “orang modern” sebagai “takhayul”. Kini
kebanyakan orang Jawa tak akan lagi berpegang kepada “Primbon
Betal Jemur”, melainkan membaca petunjuk dokter, misalnya untuk
mengobati ambeien.

Selain primbon, ada agama — yang dalam pandangan Positivisme tak


berbeda dari takhayul. Terutama kini dengan agama-lah perseteruan
yang sengit berlangsung.

Einstein punya pandangan yang tajam tentang ini.

Bagi Einstein, konflik terjadi karena pelanggaran wilayah. Agama


mengklaim kebenaran mutlak di semua hal, dan sebab itu merasa
berhak menghakimi temuan sains. Yang terjadi adalah “intervensi

320
pihak agama ke dalam wilayah sains”. Contoh terkenal adalah ketika
Gereja melawan ajaran Galileo dan Darwin.

Tapi di pihak lain, kata Einstein, para wakil sains sering mencoba
masuk sampai ke “fundamental judgement” mengenai nilai-nilai dan
tujuan hidup, menilainya berdasar methode sains. Dengan itu ia
menantang agama. Konflik pun terbit. “These conflicts have all
sprung from fatal errors,” kata Einstein.

Tapi bisakah konflik dicegah? Bisakah garis demarkasi tegas


dihormati masing-masing pihak? Kini kita melihat penyebaran ide-
ide “atheisme baru” yang mengklaim bahwa temuan dan metode sains
akan bisa membuktikan iman kepada Tuhan hanyalah waham — dan
dengan itu ingin membebaskan manusia dari kesesatan.

Gerakan ini tampaknya punya alasan yang kuat dan peminat yang
luas. Maklum: abad ke-21 adalah abad agama-agama jadi galak,
represif, intoleran, dan memuntahkan darah. Fanatisme menjadi-
jadi. Lebih jauh lagi, doktrin agama merasuki perguruan tinggi,
hingga sains dibelokkan dan dunia akademi percaya bahwa bumi datar
dan vaksinasi dosa.

Tapi tiap benturan keras, dalam ide dan politik, punya efek samping.
Bahkan “collateral damage”. Dalam pergulatan sengit itu tak jarang
para pembela sains dan para “atheis baru” terjerumus ke dalam
dogmatisme dengan isi yang berbeda. Karl Popper menyebutnya
dogmatisme “saintisme”.

Sikap para “atheis baru” bahkan mirip sikap kaum fundamentalis


agama: gampang kesolot jika sains dikritik; a priori menolak orang
yang pandangannya cocok dengan agama. Mereka tak mau
mendengarkan suara yang lain, dan cepat melihat bahwa siapa yang
tidak setuju “kami” adalah “golongan bumi datar” — seperti kaum
fundamentalis cepat pasang label “murtad”, “bid’ah”, “heretik”.

Dan seperti kaum fundamentalis agama, mereka menampik filsafat.


Dengan kata lain, mereka memilih pembekuan penjelajahan ide, “the
freezing of inquiry”. Ulil Abshar Abdalla pernah mengecam gejala
itu. Kritik yang lebih terkenal datang dari Massimo Pigliucci,
seorang ilmuwan biologi dari Italia, seorang filosof sains — dan
seorang atheis. Ia melihat “atheisme baru” berkelindan sengan

321
saintisme. Para pengikutnya tampak bertujuan “menggantikan
filsafat dengan sains”.

Bagi Pigilucci, sikap semacam itu merugikan sains dan atheisme


sendiri. Maka ia menganjurkan:

“I think that atheists need to seriously reconsider how they think


of human knowledge in general, perhaps arching back to the classic
concept of “scientia,” the Latin word from which “science” derives,
but that has a broader connotation of (rationally arrived at)
knowledge. Scientia includes science sensu stricto, philosophy,
mathematics, and logic...”

Penolakan terhadap filsafat mengakibatkan argumen mereka dangkal


dan guyah. Ini juga yang menyebabkan para neo-positivis dan
penganut “atheisme baru” menerima begitu saja anggapan Carnap
bahwa “pengetahuan saintifik tak punya batas”.

Mereka “take it for granted” bahwa premis Carnap benar, mereka


taklid, tanpa mempertanyakan soal-soal ini:

1. Apa gerangan yang ada pada manusia hingga dari dirinya


lahir sains?
2. Jika itu “rasio”, benarkah dengan “rasio” jangkauan sains
tak punya batas?
3. Tak adakah “prasarana” lain selain “rasio” yang ada pada
manusia untuk mengetahui dunia?
4. Bagaimana sains meniadakan, atau lebih tepat
meminggirkan, “prasarana” lain dalam diri manusia itu?

Di tahun 1966, antropolog Anthony Wallace dengan yakin


memprediksi, agama akan melorot dan tak punya dampak
karena kemajuan sains: ‘Kepercayaan akan kekuatan
supernatural akan menghilang, di seluruh dunia, sebagai
akibat pengetahuan santifik yang makin memenuhi
kebutuhan dan makin menyebar”. Berarti “prasarana” lain
yang [pernah] ada pada manusia yang melahirkan agama akan
digantikan “prasarana” yang melahirkan sains. Bagaimana
prosesnya?

5. Apa dasar klaim para neo-positivis, bahwa sains —atau


produksi pengetahuan yang mengadopsi metode ilmu-ilmu

322
alam— adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang
meyakinkan?

Akan lebih menarik dan mendalam seandainya percakapan (“polemik”)


kita ini membahas pertanyaan-pertanyaan di atas — setelah kita
berkali-kali diajak memasuki Istana Kristal untuk mengagumi
parade kedahsyatan sains dan teknologi.

***

Beberapa hari yang lalu saya ikut kuliah on-line Karlina Supelli
yang diselenggarakan Komunitas Salihara. Dengan jelas, menarik dan
menggugah pikiran, Karlina membahas “Kebenaran Ilmiah dalam
Teologi dan Filsafat”.

Satu bagian dari kuliah Karlina yang penting bagi percakapan kita
adalah pengertian apa itu ”“nalar” dan “pikiran” — dan perubahan
maknanya dari masa ke masa, dari bahasa ke bahasa.

Baiklah kita berfokus pada “nalar”. Nalar, kata Karlina, bersifat


diskursif dan analitik, dan bekerja dengan tenang, dingin, berjarak
dari emosi dan nafsu, dan “tidak pandang bulu”. Tak kurang penting,
untuk meminjam kata-kata Karlina Supelli, “Nalar dapat menjadi
silet yang tajam untuk mencukur irasionalitas.”

Tampak, dengan nalar-lah manusia melahirkan hasil pikiran yang


“universal”, “objektif”, “tajam” dan “terang-jernih”.

Dari sini bisa disimpulkan, dengan prasarana “nalar” manusia


melahirkan dan mengembangkan sains. Dengan kata lain, dari dan
dengan penalaran-lah dasar sains dibangun. Manusia menemukan
objek-objek di luar dirinya, dalam alam, dan manusia menjadi subjek
karena objek-objek itu dikuasainya.

Secara diskursif, ia menangkap dan memasukkan objek-objek ke


dalam pengertian. Menghadapi objek-objek yang beraneka-ragam,
agar tidak bingung dan kacau, ia memfokuskan tatapannya pada
hubungan mereka satu sama lain. Ia mengklasifikasi mereka, setelah
menganalisa mereka. Dalam masing-masing objek A, B, C, ia temukan
aspek-aspeknya yang sama — misalnya bentuknya yang bundar. Dan
berdasarkan aspek “kebundaran” itu objek-objek itu dikelompokkan
jadi satu.

323
Dalam proses ini, sangat menentukan abstraksi. Dalam tulisan saya
yang lalu, dalam jawaban kepada Hamid Basyaib, saya uraiakan
sedikit proses abstraksi. Karena tampaknya pengertian dasar dalam
epistemologi ini tak mudah difaham, di sini baiklah saya terangkan
lagi, dengan cara sederhana. Dulu contoh saya air, yang dalam
lambang kimia disebut H2O. Kini contoh saya kambing.

Abastraksi adalah proses ketika anak kambing saya yang ini dan anak
kambing kamu yang itu, juga emak kambing yang kemarin dan eyang
kambing yang akan datang, digolongkan dalam konsep “kambing”.
Dengan itu manusia tak lagi repot berhubungan dengan masing-
masing embik, melainkan dengan identitas “kambing”.

Hidup manusia lebih gampang dalam menghadapi dunia berkat


abstraksi, yang melahirkan identifikasi, “nama” dan dalam jangkauan
yang jauh lebih luas, angka. Sebagaimana dijelaskan Alfred North
Whitehead dalam “An Introduction of Mathematics”, angka-angka
berlaku untuk apa saja —“to tastes, to sounds, to apples and to
angels, to the ideas of the mind and the bones of the body". Angka,
bukan lagi “kursi”, “jagung”, “penduduk”, bukan lagi benda-benda
yang kongkrit, beragam, berubah-ubah.

Dan dengan itu matematika pun lahir, berkembang, menjadi sang


penjelas pengalaman manusia, dan menjadi ilmu tersendiri. Dalam
tulisannya yang lain, “Mathematics in the History of Thought”,
Whitehead menggambarkan dengan menarik prestasi manusia yang ia
sebut “a very remarkable feat of abstraction” :

“During a long period, groups of fishes will have been compared to


each other in respect to their multiplicity, and groups of days to
each other. But the first man who noticed the analogy between a
group of seven fishes and a group of seven days made a notable
advance in the history of thought. He was the first man who
entertained a concept belonging to the science of pure mathematics.
At that moment it must have been impossible for him to divine the
complexity and subtlety of these abstract mathematical ideas which
were waiting for discovery. Nor could he have guessed that these
notions would exert a widespread fascination in each succeeding
generation. “

324
Bahkan tidak sebagai ilmu sekalipun, matematika berhasil mengubah
pikiran kita — dan pada gilirannya, sejak abad ke-17, mengubah
pengetahuan manusia menjadi sains modern.

Tapi Whitehead memperingatkan: matematika adalah “pikiran yang


bergerak dalam lingkup yang sepenuhnya abstraksi” yang ditarik
dari kasus-kasus tertentu. Tanpa menyadari asal usul ini, orang
sering keliru menganggap kepastian pengetahuan matematika
sebagai alasan untuk meyakini kepastian pengetahuan geometris.
Padahal, dalam hal geometri, ada “geometrical condition” dalam
objek-objek di alam itu. Dari pengalaman observasi kita, tak benar-
benar tepat jika kita yakin tentang sifat eksak yang mengatur hal-
ihwal yang kita temui dalam alam. “...so far as our observations are
concerned, we are not quite accurate to be certain of the exact
conditions regulating the things we come across in nature” .

Perlu saya tambahkan catatan: Whitehead, dengan kepiawaiannya


sebagai matematikawan, adalah pemikir yang menolak rasionalisme;
ia, dalam perkembangan pemikirannya kemudian, berada bersama
mereka yang disebut kaum “empirisis”, bahkan “empirisme radikal”.
Kata-katanya yang ringkas tapi mencakup seluruh dasar
pemikirannya dalam “Process and Reality”: “No actual entity, no
reason”. Tanpa realitas yang benar-benar hadir di dunia, tak akan
ada akalbudi.

“Akalbudi”, kata Karlina Supelli, “melakukan kegiatan berpikir.”

Tapi “berpikir” tak hanya mengandalkan nalar. Peran nalar dalam


proses berpikir terbatas adanya. “Berpikir”, menurut Karlina,
“melibatkan nalar, tetapi bernalar hanya bagian dari berpikir.”

Saya kutip kalimat-kalimat Karlina:

“Akalbudi melakukan kegiatan berpikir. Di dalam bilik batin itulah


berlangsung pergolakan pikiran, emosi, hasrat, dan kehendak.
Akalbudi mengenang, berharap, mempercayai, mengimajinasi,
memahami, menimbang dan memutuskan. Semua itu menggunakan
dengan menggunakan fakta-fakta nalar; tetapi, nalar saja tidak
cukup.”

325
Walhasil, jika sains dibangun dengan nalar — dan hanya berdasar
nalar, — ia tak cukup membuat kita memahami secara penuh dunia-
kehidupan. Dan memang bukan itu fungsinya.

Karlina mengingatkan, pada manusia, ada “intellectus” yang berbeda


dari “ratio yang diskursif.” “Intellectus” memiliki kemampuan
intuitif untuk menangkap langsung idea tanpa melalui hipotesis dan
demonstrasi — agaknya itu juga yang dimaksud Bergon dengan
“intuisi”. Dari “intellectus”, manusia mendapatkan “sapientia” .
Artinya kearifan, karerna “mengkontemplasikan hal-hal tidak
ragawi, menangkap prinsip-prinsip pertama secara intuitif.”

Sementara yang diperoleh nalar “scientia.“

Adapun sains/“scientia” dan nalar memang perkasa, tapi sejauh ini,


manusia tetap hidup dengan “intellectus”. Mungkin kelak Artificial
Intelligence akan bisa menghapusnya, dan kehidupan tak
membutuhkann lagi “sapientia” . Persoalannya: akan niscaya lebih
baikkah hasilnya?

***

Alkisah, di London, tahun 1851, di bawah Ratu Victoria, sebuah


pameran agung dibentangkan seluas 10 hektar di Hyde Park, disebut
“The Great Exhibition of the Works of Industry of All Nations”.

Pameran yang berlangsung antara Mei sampai dengan Oktober itu


memperlihatkan secara spektakuler prestasi sains dan teknologi
dari Eropa dan Amerika (dan sedikit dari negeri jajahan). Pusatnya
di sebuah bangunan yang disebut Crystal Palace. Dalam katalognya
yang panjang tercatat 13000 hasil inovasi teknologi abad ke-19.

Karl Marx, Charles Darwin dan Charles Dickens termasuk tokoh-


tokoh yang hadir.

Penulis Rusia, Chernisevsky, yang dikagumi Lenin, ikut menonton. Ia


sungguh terkesima. Novelnya yang terkenal, yang dalam versi
Inggris berjudul “What is to be Done?” dipakai Lenin buat judul
teorinya tentang revolusi. Novel Chernisevsky antara lain
mengisahkan tokohnya, Pavlova bermimpi tentang Istana Kristal
yang menakjubkan — yang jadi lambang masa depan Rusia yang
merdeka, maju, perkasa.

326
Fyodor Dostoevsky menulis yang berbeda. Dalam “Catatan Dari Bawah
Tanah”, naratornya bertanya, agaknya ditujukan kepada
Chernisevsky: “Kau percaya kepada istana kristal yang tak akan bisa
dihancurkan selama-lamanya... bangunan yang tak dapat kau cibir,
tak dapat kau sikapi dengan kasar, meskipun kau sembunyikan
tinjumu...Nah, mungkin aku takut bangunan ini justru karena ia
dibuat dari kristal dan tak dapat dihancurkan selama-lamanya, dan
sebab aku tak akan bisa mencibir, meskipun dengan diam-diam...”

Dua perspektif yang berbeda —yang tampaknya selalu ada dari masa
ke masa. Mereka yang fanatik, karena yakin akan kebenaran
pandangannya, berteriak: Itu tak bisa! Harus percaya yang aku
percaya!

Sejauh ini sejarah tak menyaksikan Utopia Chernisevsky dan yang


ditanyakan Dostoevsky tak terdengar di tengah riuh pasar.

***

Jakarta, 24 Juni 2020.

XLVII. 25 Juni: A.S. Laksana: “Humanisme, Sebuah Panggilan Moral”

HUMANISME, SEBUAH PANGGILAN MORAL


Bagian 1 dari 2 tulisan
- Catatan untuk Goenawan Mohamad dan lain-lain

Seperti baru mendapatkan mimpi yang sama, kami bangun tidur


hampir bersamaan dan tiba-tiba membicarakan kenapa Yahudi
melahirkan banyak ilmuwan hebat. Pembicaraan berdua dengan Budi
Irawanto, teman sekamar di Patehan Lor dan sekarang mengajar di
UGM, berujung pada kesimpulan spekulatif dua “student hidjo” bahwa
mungkin karakter orang-orang Yahudi cocok dengan ilmu
pengetahuan: Di kitab suci, Yahudi adalah kaum yang suka
membangkang, tidak mudah percaya begitu saja, dan selalu meminta
bukti empiris.

327
Dalam perspektif kitab suci, yang cerita-cerita di dalamnya
dimaksudkan untuk membuat orang tunduk dan patuh kepada Tuhan
dan nabi-nabi yang menyatakan diri utusan Tuhan, karakteristik
tidak mudah percaya adalah seburuk-buruknya watak dibandingkan
dengan kemuliaan iman.

Saya mengenal Yahudi sejak kecil dari guru agama, dan guru agama
menyampaikan apa yang ada di kitab suci, dan kitab suci selalu
benar.

Karakteristik Yahudi semacam itu baru mendapatkan tempat yang


lebih baik berabad-abad kemudian, ketika langit tak menurunkan
wahyu lagi, ketika Immanuel Kant, dalam esainya “What is
Enlightenment?”, menyerukan semboyan Pencerahan: “Sapere aude”—
berani tahu, berani berpikir sendiri. Dalam perspektif baru,
karakteristik tidak mudah percaya dan selalu meminta bukti empiris
mengalami reframing menjadi sesuatu yang mestinya dimiliki oleh
setiap orang.

Pesan Kant dalam esai itu jelas: Anda harus berani berpikir sendiri
ketimbang sekadar tunduk kepada dogma dan otoritas, sebab tunduk
begitu saja kepada dogma dan otoritas adalah cara hidup yang malas
dan pengecut.

Dengan pesan semacam itu, saya pikir Enlightenment bukan sekadar


semangat zaman tertentu. Ia bukan festival yang dibuka dengan
pidato sambutan dan pukulan gong dan ditutup beberapa waktu
kemudian dengan tari-tarian dan lambaian tangan.

Sejarah bisa mencatat kapan istilah itu digunakan, tetapi munculnya


kesadaran akan pencerahan bisa kita tarik mundur ke masa jauh
sebelumnya. Kita ingat bagaimana Socrates (469-399 SM) gemar
mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk mengguncang kemapanan
dan membuat orang tidak nyaman dengan apa-apa yang mereka yakini
begitu saja sebagai kebenaran.

Socrates memang mengganggu; maka ia divonis mati dengan meminum


secawan racun. Dalam dialog tentang perbuatan baik dan buruk,
misalnya, ia mengajak orang berpikir keras untuk menjawab
pertanyaan yang kurang lebih seperti ini:

328
“Kita meyakini perbuatan tertentu sebagai perbuatan baik. Misalnya,
menghormati orang tua. Karena perbuatan itu baik, maka dewa
memerintahkan kita melakukannya? Atau, yang kedua, sebuah
perbuatan kita sebut baik karena dewa menyuruh kita melakukannya?
… Maksud saya begini. Jika yang pertama benar, berarti dewa tidak
ada urusannya dengan baik atau buruk sebuah tindakan. Ia tetap baik
kalaupun dewa tidak memerintahkannya. Jika yang kedua benar, kita
bisa berbuat jahat dan menganggap itu perbuatan baik, sebab kita
menjalankan perintah dewa. Jadi, mana yang benar?”

Yang dilakukan oleh Socrates adalah menantang orang agar berani


berpikir sendiri, berani menantang asumsi-asumi yang sudah mapan,
dan bukan menerima begitu saja dogma dan otoritas. Enlightenment
memunculkan kembali semangat itu. Ensiklopedia akan memberi tahu
kita bahwa Age of Enlightenment (Zaman Pencerahan) berlangsung
dari abad ke-17 hingga abad ke-19, tetapi fakta bahwa manusia
rentan dicengkeram dogma dan otoritas menjadikan Enlightenment
selalu relevan sampai kapan pun; atau, setidaknya, ia tetap relevan
untuk hari ini.

***

Untuk masyarakat Indonesia, Enlightenment jelas sangat relevan.


Satu alasan sudah cukup untuk menunjukkan kenapa ia relevan:
Reformasi 1998. Gerakan Reformasi mampu melengserkan presiden
yang sudah berkuasa 32 tahun, tetapi ia tidak sanggup mereformasi
cara berpikir.

Kita selalu punya alasan untuk menumbuhkan prasangka-prasangka


baru dan orang bisa sangat bergairah mendorong diri ke dalam
irrasionalitas. Kita sanggup lima tahun penuh memelihara
perseteruan cebong vs kampret, membodohi diri sendiri dengan
berbagai teori konspirasi (yang sama sekali bukan teori), meyakini-
-dengan iman--bahwa pemilihan umum adalah perang membela
agama, tidak sungkan menyusupkan agomoisme ke sekolah-sekolah
dan perguruan tinggi, dan sibuk memikirkan apakah yang benar itu
inshaallah atau inshaalloh atau insyaallah atau insyaalloh atau
insha Allah atau insya Alloh.

Yang terakhir itu penting, saya tahu. Para penganjur agomoisme yang
memberi tahu: Keliru satu huruf saja orang bisa nyemplung ke

329
neraka, selama-lamanya. Beda sedikit saja dalam menafsir Tuhan
orang bisa mengobarkan perang salib, berabad-abad.

Dalam lanskap itu, mari kita tambahkan aspek politik dan kita akan
mendapati aktivitas yang mubazir. Politik kita hanya memakan biaya
besar, tetapi tidak menghasilkan mutu setara dengan besarnya biaya
yang dikeluarkan.

Sistem politik kita, yang dibangun kokoh sejak Orde Baru di atas
fondasi kongkalikong antara penguasa dan pengusaha, sekarang
ditambahi dengan sentimen keagamaan setelah menguatnya
agomoisme. Saya khawatir ia gagal mengidentifikasi tantangan hari
ini dan gelagapan menghadapi percepatan teknologi beserta efek
disruptifnya. Lalu tambahkan aspek hukum dan kita akan menemukan
banyak kasus yang membuat kita sulit meyakini bahwa hukum
dipraktikkan dengan menghormati rasa keadilan. Lalu tambahkan
aspek media, yang disebut pilar keempat demokrasi, dan kita akan
putus asa melihat kualitas rata-rata media masa kita.

Demokrasi kita tampak menyedihkan dengan semua itu. Ia seperti


bangunan yang dicita-citakan megah, tetapi didirikan dengan
tiang-tiang penyangga yang rapuh. Atau Anda bisa menunjukkan
mana di antara empat pilar demokrasi —eksekutif, legislatif,
yudikatif, dan media massa— yang bisa kita anggap cukup kokoh?

Saya tidak bisa.

Jika Anda sumpek dengan gejala-gejala di atas dan berpikir


melakukan gerakan perlawanan, Anda bisa mendirikan sekte. Apa
saja. Orang-orang lain sudah melakukannya: Mereka mendirikan
sekte pelunasan utang, penggandaan uang, kerajaan ubur-ubur, dan
semuanya mendapatkan pengikut.

Anda bisa mengajak orang berkhidmat pada Semar Mesem,


mendakwahkan penggantian piring makan dengan batok kelapa
berdasarkan alasan misterius, menyerukan pemujaan kepada tiang
listrik atau pohon trembesi, dan sebagainya, dan Anda pasti juga
mendapatkan pengikut.

Untuk urusan semacam itu, jangan pernah meremehkan kemampuan


orang bertindak di luar nalar, bahkan kalaupun ia bergelar doktor.

330
Saya pikir situasi kita lumayan buruk dengan semua pemandangan itu
dan kelihatannya perlu jalan keluar. Maksud saya, jika kita
memandang itu semua sebagai masalah.

Dalam perspektif saintifik, setiap masalah pasti ada solusinya. Jika


tidak ada solusi, berarti ia bukan masalah. Mungkin itu misteri, dan
kita tidak perlu memikirkannya sama sekali, sebab tidak ada solusi
untuk misteri. Misalnya, kenapa Tuhan beristirahat pada hari Sabtu.
Itu misteri. Tidak ada solusi. Kita tidak bisa berbuat apa-apa selain
mempercayainya atau menganggapnya sekadar lelucon tengah hari.

Katakanlah kita sepakat mengakui bahwa situasi kita bermasalah dan


kita yakin ada solusinya. Anda bisa memilih mistisisme sebagai jalan
keluar untuk masalah-masalah di atas; Anda bisa mendukung
kebijakan doa nasional; Anda bisa memilih metode debus atau
kundalini atau kuda lumping yang semuanya ‘it woks’ (meminjam
istilah Bambang Sugiharto); Anda bisa mengamini usulan “pendidikan
agama di sekolah-sekolah harus ditambah jamnya”; Anda bisa
memilih metode apa pun yang semuanya ‘it works’.

Tetapi Anda juga bisa memilih Enlightenment.

Saya akan berdiri di pihak Anda jika Anda memilih Pencerahan,


sebagaimana yang diserukan pada abad ke-18 oleh filsuf Immanuel
Kant dan diingatkan lagi pada abad ke-21 oleh ilmuwan Steven
Pinker. Melalui bukunya “Enlightenment Now: The Case for Reason,
Science, Humanism, and Progress” (2018), Pinker menyampaikan bahwa
Pencerahan tetap relevan untuk hari ini.

***

Immanuel Kant memberi kita gambar puitis tentang Pencerahan; ia


menyebutnya sebagai kemunculan manusia dari kerangkeng ‘nonage’
—ketidakdewasaan mental— yang dihasratkannya sendiri. Nonage,
diperhadapkan dengan Enlightenment, dalam bayangan saya adalah
situasi kelumpuhan mental yang membuat manusia tidak mampu
menggunakan akalnya sendiri dan selalu membutuhkan bimbingan
orang lain.

Manusia ‘nonage’ merasa nyaman menjadi kanak-kanak yang


selamanya disuapi. Ia tidak perlu repot berpikir sendiri sebab sudah
ada orang lain yang memberi tahu apa yang baik dan apa yang buruk,

331
apa yang benar dan apa yang salah, dan apa yang harus dilakukan
setiap hari, dan ia mempercayai apa-apa yang dikatakan orang lain
sebagai kebenaran.

Buku-buku sudah ada dan manusia ‘nonage’ tidak merasa perlu


berpikir sendiri, tidak perlu juga bersikap kritis terhadap buku-
buku yang ia baca. Ia hanya percaya. Dan ia memetik-metik saja mana
yang bisa dipetik—sekadar membuat laporan kepada orang-orang:
“Lihat! Saya sudah membaca buku-buku ini.”

“Terima kasih atas pencerahannya!” kata manusia ‘nonage’ yang lain.

Itu pemandangan yang menakjubkan, dan ada kata “pencerahan” di


dalamnya, tetapi ia jelas bukan terjemahan dari Enlightenment.
Pencerahan adalah pembebasan manusia, dengan menggunakan akal
budi, bukan situasi guyup rukun di dalam kerangkeng.

Penggunaan akal budi di tengah-tengah kemapanan mungkin mula-


mula akan tampak sebagai perilaku kurang sopan terhadap “segala
yang terhormat” atau segala yang dipandang tinggi, baik pangkat,
kedudukan, maupun posisi sosial dan politiknya. Ia akan membuat
guncangan keras terhadap setiap bentuk kemapanan, dan besar
kemungkinan akan membuat para ‘nonage’ merasa tidak nyaman.

Richard Feynman menggambarkan dalam sebuah cerita ringan


bagaimana ayahnya menanamkan kepadanya rasa tidak hormat kepada
tanda pangkat.

“Salah satu hal yang diajarkan ayah saya selain fisika, entah ia benar
atau tidak, adalah rasa tidak hormat kepada yang-terhormat ...
Sebagai contoh, ketika saya masih kecil, dan sebuah rotogravure—
gambar yang dicetak di surat kabar—muncul pertama kali di New
York Times, ia mendudukkan saya di atas pangkuannya dan
memperlihatkan sebuah foto. Itu foto Paus dan orang-orang yang
membungkuk di depannya. Dan ayah saya bilang, ‘Lihat manusia-
manusia ini. Ada satu manusia berdiri di sini, dan semua yang lain
membungkuk. Apa beda mereka? Yang ini adalah Paus ... yang
membedakan hanya tanda pangkat’ Ia memang tidak menyukai Paus.
Tapi tentu saja itu bukan cuma soal Paus; ia bicara tentang banyak
kasus lain--soal seragam, soal posisi. ‘Orang ini [Paus maksudnya]
memiliki masalah kemanusiaan yang sama, dia makan malam seperti
orang lain, dia pergi ke kamar mandi, dia punya problem yang sama
332
dengan semua orang, dia manusia. Mengapa mereka semua
membungkuk kepadanya? Hanya karena nama dan posisinya, karena
seragamnya, bukan karena hal istimewa yang dia lakukan.’”

Feynman adalah Yahudi. Apa yang dilakukan ayahnya, yaitu mendidik


anak agar tidak menaruh hormat kepada otoritas keagamaan dan
meremehkan jubah kebesaran dan seragam dan tanda pangkat, adalah
tindakan setan —artinya, kurang baik— di mata mereka yang merasa
cukup begini saja. Para ‘nonage’ akan cepat terguncang dan
membenarkan bahwa orang Yahudi memang begitu: Mereka suka
mendebat dan tidak mau tunduk. Mereka kurang sopan.

Namun, sekiranya Anda sedikit saja menggeser posisi memandang,


Anda mungkin akan setuju bahwa kita memang harus memberitahukan
itu kepada setiap anak.

Kita bisa lebih tenteram jika memiliki anak yang tidak mudah
percaya begitu saja pada apa yang dikatakan orang, tidak tunduk
pada tanda pangkat, tidak menghamba pada seragam. Seragam, kita
tahu, memiliki efek kurang bagus bagi kejiwaan, bukan karena ia
membuat manusia tampak teratur seperti batang-batang tebu,
tetapi seragam adalah alat untuk membuat manusia mudah
dikendalikan.

Penyeragaman, baik fisik maupun mental, menjadikan manusia


kawanan yang mudah digiring-giring. Itu sebabnya kita perlu lebih
waspada terhadap dogma dan ideologi. Keduanya punya niat
menyeragamkan pikiran.

Maka, alangkah tenang hati kita jika anak-anak terlatih sebagai


manusia-manusia yang tidak mudah percaya begitu saja. Watak
semacam itu membuat kita yakin bahwa kelak mereka sanggup
melindungi diri sendiri. Mereka tidak akan mudah dibodohi oleh
orang lain dan, yang lebih penting, mereka mampu mencegah diri dari
tindakan membodohi diri sendiri. Dan persis seperti itulah cita-
cita Pencerahan.

Mungkin mereka kelak tumbuh sekuler. Anda berkeberatan? Baiklah.


Di muka bumi, semua spesies tumbuh dewasa sebagai makhluk-
makhluk sekuler, kecuali manusia. Hanya manusia, di dalam kerajaan
mamalia, yang religius. Dan hanya manusia yang saling memerangi
sesamanya karena perbedaan jalan di dalam keberagamaan.
333
Spesies-spesies lain tidak saling memerangi karena berbeda
pendapat tentang siapa yang harus disembah. Para dubuk, yang dalam
film “Lion King” digambarkan sebagai kawanan culas dan menjijikkan,
pada kenyataannya tidak pernah berperang antarkelompok dengan
sesama dubuk. Singa menjadi predator bagi hewan-hewan yang lebih
kecil, tetapi sains memberi tahu kita bahwa, di dalam rantai
makanan, manusia adalah predator yang paling buas.

Kekhawatiran bahwa kehidupan sekuler akan membuat manusia tidak


mengenal makna, kehilangan sensibilitas tentang baik dan buruk,
tidak bermoral, tidak mengenal belas kasih dan lain-lain adalah
sebuah hiperbola.

Simpanse mengenal empati antara satu dengan yang lain di dalam


kehidupan sekuler mereka. Kucing dan anjing menyayangi anak-anak
mereka dan induk kucing dan anjing juga menyiapkan anak-anak
mereka untuk mandiri.

Orang-orang Hadza di pedalaman Afrika Timur, yang


mempertahankan hidup seperti 10.000 tahun lalu (itu masa sebelum
munculnya agama-agama yang kita kenal sekarang), tahu bagaimana
harus membangun dan merawat hubungan baik dengan sesamanya.
Problem mereka bukan moral atau etika atau kegagalan memaknai
hidup. Mereka hidup berburu dan meramu, dan habitat mereka terus
digerogoti oleh aktivitas orang-orang dari luar, orang-orang yang
mengenal agama dan sebagainya dan menjalani hidup sebagaimana
kita hari ini menjalani hidup.

Enlightenment memang mendorong ke arah kehidupan sekuler dan


mengupayakan landasan sekuler bagi moralitas. Bagi para pemikir
Enlightenment, landasan itu ialah humanisme, sebuah pandangan
yang, dalam rumusan Steven Pinker, “…mengistimewakan
kesejahteraan individu pria, wanita, dan anak-anak di atas
kemuliaan suku, ras, bangsa, atau agama. Adalah invididu-individu,
bukan kelompok, yang menjalani hidup—yang merasakan senang,
sakit, bahagia, sedih. Kita bisa menyatakan sebuah tujuan mulia
untuk mewujudkan kesejahteraan bagi orang banyak, tetapi
kapasitas universal tiap-tiap individu untuk menderita dan
berkembang itulah yang menjadi panggilan moral kita.”

334
Dengan kata lain, tanpa humanisme kita tak akan pernah mencapai
kemajuan—tak akan ada progres dalam kehidupan umat manusia.
Hanya di atas landasan sekuler humanisme itu kita bisa menghargai
individu-individu dan menempatkan manusia di atas segala sekat.

***

XLVIII. 26 Juni: Lukas Luwarso: “Empati untuk Para Penafsir dan Pencari Makna”

“EMPATI UNTUK PARA PENAFSIR DAN


PENCARI MAKNA”
Esai ringan untuk mereka —Goenawan Mohamad dan lain-lain— yang
menilai sains sebagai saintisme, panglima, pongah, dogmatis, atau
bigotri

Narasi membenturkan antara sains, filsafat, dan agama tak perlu


diteruskan.
Kita paham, sebenarnya tidak ada perselisihan pada esensi tiga
paradigma ilmu ini. Yang berselisih adalah orang-orang yang
memilih satu paradigma ketimbang yang lain, dan merasa paradigma
tertentu itu mengancam yang lain. Jika saya memilih paradigma
sains, ketimbang dua yang lain, itu semata-mata karena dalam
keterbatasan energi dan waktu, saya ingin fokus mendapat
pengetahuan melalui referensi sains. Bukan berarti saya
mengabaikan, atau menilai agama dan filsafat sebagai metode
inferior.
Sains memberikan banyak informasi dan pengetahuan baru, dalam
upaya saya untuk memaknai, menafsirkan dan memahami dunia. Itu
alasan saya menyukai sains. Dalam perspektif saya, yang tentu
subjektif, sains adalah kontinuasi dari evolusi paradigma metode
pengetahuan manusia. Semua hal di dunia, kita tahu, berproses dan
berevolusi. Ilmu pengetahuan juga berevolusi, berproses dari
mitologi, agama, filsafat, dan sains. Metode sains muncul belakangan
dari proses panjang cara memaknai, menafsirkan, dan memperoleh
kejelasan.

335
Bukan kebetulan metode sains muncul terakhir dari proses evolusi
panjang itu. Ia muncul ketika akumulasi pengetahuan manusia
semakin komplek. Kompleksitas menuntut pendekatan yang berbeda.
Tidak cukup mengandalkan keyakinan, asumsi, intuisi, atau
spekulasi. Penjelasan ini sudah saya uraikan dalam tiga tulisan
sebelumnya: “Kepastian Sains dan Pencarian Kebenaran”; “Trilema
Sains, Filsafat, Agama”; serta “Sains, Filsafat, dan Storytelling.”
Kali ini saya menulis sebagai rasa empati pada Anda yang berkhidmat
pada agama dan filsafat. Saya mencoba melihat perspektif dari sudut
Anda. Saya tahu tidak akan mudah, namun mohon diizinkan. Bagi saya,
agama, filsafat, dan sains sebenarnya mencoba mengisahkan cerita
yang sama, dengan bahasa yang berbeda. Ketiganya ingin menjawab
keberadaan manusia dalam misteri alam semesta. Ketiganya adalah
wujud keterpukauan dan ketakjuban pada alam semesta. Agama ingin
memaknai, filsafat berupaya memafsirkan, dan sains mencoba
menjelaskan. Agama adalah pengabdian (devotion), filsafat
pemikiran (reason), dan sains penyelidikan (investigation).
Tiga model pendekatan ini (devotion, reason, investigation)
menghasilkan output pengetahuan yang berbeda. Masing-masing
penganut yang memahami substansi, mustinya tidak akan
membenturkan dogma (agama), spekulasi (filsafat), atau deskripsi
(sains).
Perselesihan, jika ada, cuma soal semantik dan temperamen
manusianya. Bukan substansi paradigmanya. Perlu lebih kejernihan
dan kejelasan berpikir untuk memahami proses evolusi sejarah
paradigma manusia mencari makna, menafsirkan dan memahami
dunia—sebagai satu rangkaian pemikiran yang berkorelasi. Sebelum
menyampaikan empati, izinkan saya menguraikan, secara ringkas,
sejarah evolusi paradigma itu, di bawah ini.
****
Manusia pada fajar peradaban terpana dan takjub pada alam semesta,
khususnya pada sejumlah fenomena yang—pada masanya—tak
sepenuhnya dimengerti. Kenapa ada hujan, banjir, gunung meletus,
badai, wabah, penderitaan, kematian.
Untuk menjelaskan misteri ini manusia menyusun cerita tentang
adanya kekuatan tersembunyi, yang lebih besar dari manusia, dan

336
mengatur alam di sekitarnya. Muncullah kisah-kisah dewa-dewi
sebagai tafsir dan penjelasan.
Apa saja yang tidak dimengerti manusia, dilimpahkan ke dewa-dewa.
Apakah hujan itu, mengapa ada badai, bagaimana gunung meletus,
manusia tidak tahu. Bagaimana menjelaskan ketidakberdayaan
manusia vis a vis keperkasaan alam itu? Para kepala suku, tetua adat,
atau shaman menyusun cerita yang dikisahkan kepada anak-anaknya.
Upaya awal, dalam kesederhanaan cara berpikir, manusia
memanusiawikan (anthropomorphize) kekuatan alam sebagai ulah
para dewa.
Begitulah, pada masanya, cara termudah untuk menjelaskan hal-hal
yang tak dipahami adalah menciptakan “agen” berkekuatan besar
yang bisa melakukan berbagai hal di luar kemampuan manusia.
Mengalihkan penjelasan sebab-musababnya ke dewa adalah jawaban
termudah. Manusia bingung memahami, mengapa ada wabah penyakit?
Tak perlu repot memaknai atau menafsirkan, cukup dengan
penjelasan: para dewa lah yang membuatnya. Begitulah bahasa dunia
era politeisme
Agama adalah kelanjutan cara berpikir mitologis politeistik itu.
Upaya untuk menjelaskan segala sesuatu, dengan mengalihkan ke
entitas supranatural sebagai jawaban. Alih-alih beragam dewa
politeistik, yang gemar berantem antarmereka sendiri, kemudian
penjelasan dipampatkan menjadi cukup satu Maha-Dewa: Tuhan yang
maha kuasa. Tuhan adalah penggabungan dan penyatuan (merger)
berbagai kekuatan dewa-dewa. Begitulah bahasa dunia era
monoteisme.
Saat itu, 2000 tahun lalu. Ibarat komputer, sistem operasi dan
kapasitas memori otak manusia masih sangat terbatas (bayangkan
awal-awal komputer pada 1970-an). Operating system otak manusia
belum mampu memproses secara baik begitu banyak informasi
kehidupan alam di sekitar.
Pertanyaan sulit tentang apa, bagaimana, mengapa, tentang
fenomena alam yang dihadapi sehari-hari (soal-soal yang sekarang
terasa sepele), lebih mudah diserahkan pada Tuhan, sebagai sumber
segala pengetahuan. Dan Tuhan selalu menjawab, antara lain dengan
menurunkan wahyu dan malaikatnya untuk membimbing manusia.
Tuhan juga menurunkan 10 perintah, agar diikuti manusia (yang

337
ternyata boleh juga tidak diikuti). Segala sesuatu terjadi semata-
mata karena kehendak Tuhan, melalui konsep takdir. Tapi, tentu,
manusia boleh melawan takdir, karena sepertinya Tuhan Maha-
Demokratis.
Dengan turunnya agama, pertanyaan esensial, dari mana asal manusia
dan kemana tujuannya, telah terjawab dengan pasti. Makna hidup
“telah ditemukan” melalui agama. Hidup lebih mudah dipahami dan
dijalani dengan hadirnya Tuhan selaku penentu takdir jalan hidup
manusia. Agama menuntut keyakinan (faith) tanpa ada pertanyaan,
itulah kebutuhan manusia umumnya pada masa itu, mendapat
penjelasan yang memuaskan.
Namun bersamaan dengan turunnya agama dan hadirnya Tuhan,
sebagian manusia menolak keyakinan dan memilih pemikiran.
Sebagian manusia, yang menamakan diri “para pecinta
kebijaksanaan”, memilih memakai penalaran, untuk menjelaskan
hal-ihwal.
Ketika manusia pada umumnya meyakini adanya kekuatan Tuhan
monotheis yang menentukan segala hal, di satu wilayah yang bernama
Yunani (juga di China dan India), sejumlah orang berpikir keras untuk
mencari penjelasan alternatif. Mereka menebak-nebak tentang apa
hakekat dunia, apa sebenarnya alam semesta, dan tersusun dari apa.
Mereka adalah para filsuf yang menggunakan metode filsafat.
Para filsuf klasik Yunani berspekulasi, memperdebatkan, apa esensi
dibalik keberadaan alam semesta. Menurut mereka, alam semesta
tersusun dari empat elemen tanah, air, api, dan udara. Thales
menyebut air; Anaximenes menganggap udara; Empedokles
menggabungkan api-udara-air-tanah; Anaxagoras menyebut
pikiran; dan Phytagoras memilih angka (matematika) sebagai esensi
dunia. Begitulah filsafat, masing-masing filsuf bersikukuh dengan
kebenaran spekulatifnya, yang terus terbawa hingga sekarang.
Sampai kemudian, sekitar 300 tahun lalu, muncul sains sebagai
metode menguji fakta yang diperdebatkan para filsuf. Sains
melanjutkan tradisi mempertanyakan, untuk mendapat penjelasan
yang lebih pasti terkait dengan keyakinan (agama) dan keraguan
(filsafat). Sains modern lahir dari pemikiran filsuf seperti Francis
Bacon, Rene Descartes, David Hume, Immanuel Kant, Auguste Comte,
dan lain-lainnya, yang sering disebut Era Pencerahan.

338
Prinsip sains adalah melanjutkan rasa keterpukauan dan pertanyaan,
yang diinisiasi oleh agama dan filsafat. Namun keterpukauan bukan
lagi pada hal-hal yang agung (seperti hakikat dan esensi alam
semesta), melainkan pada hal-hal yang “remeh-remeh.” Sains
modern muncul dari kegemaran para filsuf menyelidiki hal-hal yang
bisa membantu sebagai pengetahuan praktis. Francis Bacon ingin
mengawetkan daging agar tidak cepat membusuk, yang kemudian
melahirkan teknologi lemari es pendingin modern. René Descartes
bertanya-tanya mengapa lalat terbang masuk ke kamarnya tidak
tersesat. Dengan mengamati lalat, Descartes merumuskan analisis
geometri dan merumuskan metode sains modern awal.
Albert Einstein kecil tertarik pada sains karena terpukau dengan
kompas, pemberian ayahnya sebagai hadiah ulang tahun. Einstein
begitu girang mendapat hadiah, dan merasa ada “misteri” yang aneh
dengan kompas. Ke manapun digerakkan, jarum kompas selalu
menunjuk ke arah utara. Einstein kecil menduga, pasti ada hal
tersembunyi yang bisa dijelaskan dibalik fenomena aneh jarum
kompas. “Something deeply hidden”, pikirnya. Hasrat Einstein untuk
memecahkan misteri kompas ini terbawa hingga ia dewasa. Ia ingin
memahami apa yang menggerakkan jarum kompas.
Pertanyaan filsuf untuk “hal-hal yang sepele” kemudian melahirkan
para pemikir jenis baru (para saintis) dan objek penelitiannya
menjadi cabang ilmu spesifik. Para saintis tekun meneliti dan
bersinergi saling melengkapi (beda dengan tradisi filsafat yang
“saling berbantah”). Misalnya teori dan hukum elektromagnetik
ditemukan oleh penyelidikan terpisah banyak saintis, dalam waktu
yang berbeda, Faraday, Maxwell, Gauss, Lorentz, dan masih banyak
lagi. Temuan-temuan kecil hasil kolaborasi banyak saintis ini
kemudian ber-efek domino melahirkan berbagai temuan baru yang
berguna. Dari teknologi listrik, optik, lensa, gelombang radio,
komunikasi nirkabel, radar, dan sebagainya, yang berguna
memudahkan hidup manusia.
Objek penelitian sains yang “sepele dan remeh-temen”,
sesungguhnya rumit (tentu tidak serumit memaknai dan menafsir
alam semesta, atau kehendak Tuhan). Rumit dalam arti bagaimana
menjelaskan cara kerjanya secara ilmiah, merumuskannya dalam
persamaan matematis yang konsisten, dan bisa memanfaatkannya
untuk kebutuhan praktis.

339
Berbeda dengan wacana dan bahasa filsafat yang rumit, penjelasan
sains mirip cara agama memberikan uraian: sesederhana mungkin.
Penjelasan agama merujuk pada prinsip “kehendak Tuhan”. Sedangkan
sains berprinsip “penjelasan paling masuk akal adalah yang
sederhana”. Dikenal sebagai prinsip Occam’s Razor: “rumuskan teori
dan hipotesismu sesederhana mungkin dalam menguji dan meneliti
fakta yang teramati.”
Prinsip epistemologi dan metode sains, kemudian terbukti mampu
menjelaskan atau melengkapi berbagai keyakinan atau keraguan.
Menjadikan dunia dan kehidupan lebih mudah dijalani, sebagaimana
yang kita rasakan saat ini.
*****
Cukup rasanya menjelaskan sejarah korelasi agama, filsafat, dan
sains dalam ilustrasi yang ringkas, seperti terurai di atas. Kini
izinkan saya menyampaikan tujuan penulisan artikel ringan ini,
yaitu menyampaikan rasa empati pada Anda, “para penafsir dan
pencari makna”, yang gelisah dan cemas pada perkembangan sains.
Ada “lima poin empati” (Panca-empati):
Pertama:
Maafkan sains yang fokus mengamati, meneliti, dan mengukur alam
natural yang hanya bisa diobservasi. Sains tidak mengutik-utik
(tinkering) dengan urusan yang besar, agung, metafisik, dan mistik.
Itu biarlah tetap menjadi wilayah keyakinan agama atau spekulasi
filsafat Anda.
Silakan terus menikmati keyakinan Anda, jika itu membuat hidup
Anda lebih bermakna. sSilakan lanjutkan berspekulasi menafsirkan
yang ada (“das ding an sich”). Sains bukannya mengabaikan hal-hal
supranatural atau menganggap spekulasi tidak bermanfaat. Sains
hanya tidak tahu bagaimana caranya mengobservasi keajaiban atau
keghaiban. Sains juga tidak ingin berlarut-larut dalam kebingungan
spekulatif. Ketika sains tidak tahu, maka ia akan bilang: “tidak
tahu.”
Kalau saja fenomena keajaiban itu bisa diundang atau terjadi
berulang, sehingga bisa diidentifikasi polanya, kemungkinan sains
bisa menyusun penjelasannya. Namun selama hal-hal (kisah)
supranatural cuma pernah sekali terjadi, di masa lalu, dan tidak
meninggalkan jejak bukti, maka mustahil sains bisa menjelaskan—

340
selain menganggapnya sebagai “storytelling”. Kalau saja keajaiban
meninggalkan jejak fosil, sebagaimana dinosaurus, tentu sains bisa
membantu menjelaskan karakteristiknya.
Lagi pula, bagi Anda yang berkeyakinan, tentu tidak terlalu soal jika
tidak ada penjelasan atau kejelasan. Karena esensi keyakinan, toh,
meyakini sesuatu tanpa perlu ada penjelasan. Dan sains juga tidak
berniat memaksakan penjelasan. Buktinya setelah 300 tahun era
sains modern, mayoritas manusia masih memeluk keyakinan agama.
Dalam dunia yang semakin demokratis, Anda bebas memilih, mau
yakin atau mau jelas. Silakan suarakan pilihan Anda. Pilihan itu
pasti bukan sejenis “kepongahan”, sebagaimana penghayat Islam
Liberal (tadinya), Ulil Abshar Abdalla, sering kemukakan. Manusia,
mahluk dhaif, seperti Ulil, bisa pongah. Namun metode sains—
sebagaimana agama atau filsafat—lazimnya tidak punya karakter
antroposentrik; seperti pongah, misalnya.
Kedua:
Supaya adil dan tidak terus berselisih —sehingga terkesan kurang
adab— abaikan saja temuan dan teori sains yang mungkin
menyinggung keyakinan atau penafsiran anda. Sains tidak pernah
memaksakan, agar Anda mengubah keyakinan untuk bertaklid pada
penjelasan sains. Anda dipersilakan mengabaikan, menjauhi, atau
membuang (sejauh tidak melarang) informasi atau buku-buku terkait
dengan teori sains. Karena, bagi sains, sikap dan opini personal Anda
tidak akan ada pengaruhnya. Prinsip dan temuan sains tetap
berfungsi, baik Anda yakin atau tidak. Teori gravitasi, teori
relativitas dan teori evolusi tetap berlaku baik Anda percaya atau
tidak.
Anda boleh terusik atau tersinggung dengan opini, tapi menjadi lucu
jika Anda terganggu dengan fakta. Sains tidak pernah bermaksud
mengusik keyakinan dan keraguan Anda, selain sekedar mengungkap
fakta. Jika karena satu hal, Anda bertemperamen mudah tersinggung,
saran saya hindari tempat atau sumber informasi yang kental
bernuansa sains (seperti buku pengetahuan, internet, komputer,
televisi, radio, perpustakaan, museum, sekolah, universitas).
Hindari berbincang dengan saintis dan penyuka sains, jangan baca
ulasan sains, jangan ikut berpolemik tema sains. Dan jika Anda
merasa “ada yang salah” dengan modernitas hidup manusia—akibat
produk sains—Anda bisa mulai berhenti menggunakan teknologi

341
modern. Di Amerika, misalnya, ada masyarakat yang bergaya hidup
tegas menolak sains dan teknologi. Mereka, “Komunitas Amish”,
menginginkan dunia berhenti pada abad 17. Itu pilihan sah dan
menarik, sebagai satu eksentrisitas gaya hidup. Komunitas Amish
setidaknya menarik sebagai atraksi turis.
Ketiga:
Jika Anda tidak berniat bergaya hidup eksentrik ala Komunitas
Amish atau komunitas lain yang anti-sains. Silakan manfaatkan
pengetahuan dan teknologi hasil kerja keras sains. Gunakan
komputer untuk mengakses informasi dan berkomunikasi, pakai
smartphone dengan berbagai aplikasinya; televisi dengan beragam
acara. Namun, tetap waspada dengan pilihan informasi, jangan
tergoda info yang menggusik keyakinan (abaikan dan segera matikan
saja gajet Anda jika Anda info sains masuk). Manfaatkan sarana
transportasi darat, laut dan udara, untuk memudahkan mobilitas
dari satu tempat ke tempat lain.
Manfaatkan juga sains terkait dengan kesehatan, saat sakit jantung,
gagal ginjal, sakit hati, dan berbagai penyakit terkait organ tubuh,
dengan transplantasi organ. Temuan sains di bidang kesehatan telah
banyak membantu manusia, sejumlah penyakit degeneratif seperti
kanker, Alzheimer, Parkinson, cepat atau lambat akan bisa diobati
dengan sains nano-technology. Namun jika tidak yakin dengan
kemajuan dan resep ilmu kesehatan, silakan lanjutkan memilih obat
tradisional, mengkonsumsi herbal, konsultasi dengan “orang
pointer” (dukun atau cenayang).
Keempat:
Jika Anda termasuk orang beriman yang memanfaatkan pengetahuan
dan produk sains modern untuk memudahkan hidup. Anda tetap bisa
menjalankan keyakinan; atau sebagai filsuf terus meragukan sains.
Namun, sedikit mengingatkan, sains dihasilkan oleh proses panjang
pengamatan, penelitian dan pengujian hasil kolaborasi saintis dari
berbagai penjuru dunia. Sains dan teknologi bukan hadir secara ajaib
dari alam ghaib (sains bukan sulap kelinci yang bisa sekonyong-
konyong-konyong muncul dari topi pesulap) atau hasil renungan
spekulatif belaka.
Akan lebih mudah bagi hidup Anda, setidaknya secara pemahaman
kognitif, jika selain menggunakan teori atau produk sains, Anda juga
menerima metode dan paradigmanya. Anda akan selalu menjadi orang

342
yang mengalami “kebingungan paradigmatis”, jika getol
menggunakan produk sains-teknologi tapi mempersoalkan
metodenya. Gemar memakai aplikasi media sosial, sekaligus
mengecam sains yang menghasilkannya. Berpretensi kritis-
filosofis, mempertanyakan epistemologi sains, baik-baik saja jika
jelas bidikannya. Bermaksud membawa sains ke “tempat yang bersih,
dan terang lampunya,” seperti Goenawan Mohamad, tentu satu niat
yang mulia. Tapi, sekadar mengingatkan, pastikan tempat yang
bersih itu ada aliran listriknya, agar lampu (produk sains) menyala.
Karena lilin atau obor, pasti kurang efektif untuk penerangan.
Kelima:
Seperti fatwa: “ketidaksukaan tidak boleh membuat kita tidak adil.”
Kritis pada sains tentu baik dan penting. Komunitas sains
menjadikan sikap kritis bukan cuma sebagai slogan, wacana, atau
khotbah, namun memakai sebagai metode. Berpikir kritis inheren
dalam metode sains, bagian dari metode ilmiah saat merumuskan,
menyimpulkan hingga menguji teori sains. Jadi kritisisme yang
proporsional dan tepat sasaran pasti disambut dengan baik dan
diperlukan. Sains mustahil menjadi “dogma atau panglima”, karena
“dogmatisme dan panglimaisme” justru dipersoalkan dan ditolak
oleh sains.
Sangat penting Anda mampu secara jernih membedakan sains,
saintisme, dan saintologi (“science, scientism, dan scientology”).
Anda pasti sedang bingung atau ragu, jika bersikap “kritis” pada
sains, namun yang Anda serang dan persoalkan adalah saintisme.
Anda cocok menjadi penganut Scientology (yang menjadikan novel
sains-fiksi L. Ron Hubbard sebagai ajaran agama) jika gagal
memahami perbedaan science dengan scientism. Dan gemar
menggunakan diksi keagamaan, seperti “dogmatis” atau “bigotry”
untuk memberi label pada sains. Poin ini penting untuk diperhatikan
“Men of faith” seperti Budhy Munawar-Rahman, F Budi Hardiman, dan
Haidar Bagir.
Kebingungan yang fatal, tapi bisa dipahami secara empati. Bagi
mereka yang cara berpikirnya terbiasa dengan dogmatisme agama,
maka kegemaran menggunakan diksi agama, seperti “dogmatisme”,
“bigotry”, tentu harus dimaklumi. Sikap superficial dalam melihat
sains, seperti kegemaran mempermainkan label istilah ketimbang
substansi, perlu dimaklumi secara empati. (Majalah Tempo,

343
misalnya, dua kali menggelar diskusi online dengan memilih tema
“saintisme”, ketimbang “sains”. Boleh diduga panitia penggagas
diskusi di Tempo adalah para penganut Scientology, mereka pasti
mengidolakan Tom Cruise.
***
Demikian pernyataan empati saya, untuk para “Penafsir dan Pencari
Makna”. Saya mendukung penuh, bersimpati, sekaligus berempati
pada upaya menafsirkan dan memaknai dunia. Saya berharap upaya
Anda menafsir dan memaknai dunia akan menemukan kejelasan, baik
Anda memakai atau mengabaikan sains.
Sekali lagi, saya ingin menegaskan, seperti agama dan filsafat, sains
adalah juga produk intelegensia manusia. Sains bukan produk setan,
delusi, atau halusinasi yang perlu ditakuti. Sudah sepantasnya
sains, filsafat, dan agama dapat bersama-sama memperkaya
pemahaman kognisi kita (tanpa menganggap yang satu panglima yang
lain prajurit atau pramuwisma). Saya berharap, semoga Anda dapat
menikmati hidup di dunia, yang begitu luas dan indah, dengan lebih
tenang dan bahagia, tidak terganggu dan terusik sains. Semoga poin-
poin empati saya ini dapat mengurangi satu kecemasan Anda yang
tidak perlu: cemas pada sains.

26 Juni: Haryo Aswicahyono: “Merenungkan Konflik Agama dan Sains”


MERENUNGKAN KONFLIK AGAMA DAN SAINS

Teman FB baru saya Lukas Luwarso menulis, "Agama adalah kelanjutan


cara berpikir mitologis politeistik itu. Upaya untuk menjelaskan segala
sesuatu, dengan mengalihkan ke entitas supranatural sebagai jawaban."
Menurut saya anggapan ini kurang tepat setidaknya terlalu
menyederhanakan. Monoteisme sebagian lahir justru dari polemik antara
bani Yahudi dengan masyarakat pagan sekitarnya yang menganut cara
berpikir mitologis politeistik.
Pertama, kaum pagan percaya bahwa tuhan adalah bagian dari alam semesta
yang tercermin dari pemujaan Dewi Bulan dan Dewa Matahari dan masih
banyak lagi. Ketika bangsa Yahudi menyatakan bahwa bulan dan matahari
adalah “sekedar” penerang yang diletakkan Tuhan di langit. Agama Yahudi
menolak itu dan menegaskan bahwa bahwa Bulan dan Dewa Matahari bukan

344
Tuhan tapi semata ciptaan Tuhan. Ketika bangsa Yahudi menyatakan bahwa
manusia diciptakan menurut citra Allah dan diberi mandat menguasai alam
binatang, bangsa Yahudi menolak pemujaan terhadap hewan yang dilakukan
kaum pagan.
Di kebudayaan pagan, dunia dipenuhi oleh dewa-dewi seperti dewi fertilitas,
dewa laut dan masih banyak lagi. Mereka percaya dewa-dewi ini mempunyai
kekuatan untuk mengendalikan alam semesta. Agama Yahudi menegaskan
Tuhan yang satu dan berada di luar alam semesta yang mengendalikan alam
semesta. Dengan kata lain, Agama Yahudi melakukan desakralisasi dan
depersonalisasi alam semesta.
Aspek kedua, Agama Yahudi menganggap Tuhan (yang bukan bagian alam
semesta adalah) adalah law giver baik untuk hukum moral maupun hukum
alam, kepercayaan ini mendorong penganutnya untuk memahami hukum
alam.
Konsepsi waktu juga berbeda antara kaum pagan dan bangsa Yahudi. Kaum
pagan memandang waktu itu cyclical (cakra manggilingan) termasuk oleh
peradaban Yunani yang sudah sangat maju, Sementara agama Yahudi
menganggap waktu itu linear.
Banyak ahli antropologi dan sejarah yang menduga bahwa tiga aspek ini, (i)
desakralisasi dan depersonalisasi alam semesta, (ii) Tuhan yang esa di luar
alam-semesta sebagai pemberi hukum termasuk hukum yang mengatur
alam semesta dan (iii) konsepsi tentang waktu yang linear, justru memberi
ladang yang subur (memberi prekondisi) bagi lahirnya ilmu pengetahuan
dan progresivisme di kemudian hari. Worldview Agama Yahudi ini tetap
dipegang oleh saudara-saudara mudanya Agama Kristen dan Islam
Tentang supranatural yang disebut juga di tulisan Lukas. Banyak yang
menyamakan supranatural dengan tahayul. Supranatural bukan melawan
atau mengesampingkan nalar tapi melampaui nalar, yaitu penerimaan
kebenaran setelah semua alasan rasional sudah habis. Saya senang dengan
penggambaran iman seperti ini: Ketika seseorang jatuh cinta pada seorang
dia akan mencari segala informasi tentang dia dari teman-temannya, gosip-
gosip tentang dirinya, juga mencari informasi melalui Google, Linked-In,
bahkan stalking laman FBnya.
Dengan akalnya menimbang-nimbang informasi yang dia peroleh, berdebat
dengan dirinya sendiri atau dengan orang lain tentang dia. Tapi pada suatu
saat sang pemburu bertemu dengan sang ”gebetan” dan sang "gebetan"
menceritakan segalanya tentang dirinya ("mewahyukan" dirinya). Di saat itu
sang “pemburu” harus memutuskan percaya atau tidak atas “wahyu” sang
"gebetan." Mungkin tahayul bisa disejajarkan dengan cinta buta.
345
Analogi lain terkait dengan supra natural vs natural kali ini terkait dengan
soal kausalitas. Ketika Karna dibunuh Arjuna, siapakah yang menjadi
penyebab kematian Karna? Arjuna atau Walmiki sang pengarang. Tentu saja
dua-duanya, Tapi ada perbedaan. Arjuna menjadi penyebab kematian Karna
di dalam plot. Sementara Walmiki menciptakan seluruh plot dalam
pikirannya, termasuk peristiwa pembunuhan Karna oleh Arjuna.
Pembedaan ini sudah ditunjukkan oleh Thomas Aquinas tujuh abad yang
lalu dengan konsep primary cause dan secondary cause. Secondary cause itu
kausalitas horizontal di dalam alam semesta (di dalam plot cerita di analogi
di atas) sementara primary cause itu kausalitas vertikal oleh sang pencipta.
Bahkan Thomas Aquinas berpendapat lebih terhormat bagi Tuhan untuk
menggunakan secondary cause, melalui hukum alam, dalam mencapai
tujuanNya dibanding jika Tuhan terlalu sering menggunakan intervensi
langsung (salah satu alasannya itu akan membuat kepastian dan keteraturan
hukum alam, yang diciptakanNya sendiri menjadi tidak pasti dan tidak
teratur)
Penerimaan atau penolakan terhadap filsafat tentang primary and secondary
cause ini terlihat cukup jelas akhir-akhir ini dalam polemik tentang teori
evolusi. Pendukung creationism yang sebagian besar adalah bible literalist
menganggap jika Tuhan tidak mengintervensi langsung proses evolusi
(mementingkan primary cause), Keagungan Tuhan berkurang, jadi bagi
mereka ada persaingan antara hukum alam dan Tuhan. Sebaliknya bagi
pendukung interpretasi Thomas Aquinas tidak ada kompetisi antara hukum
alam dan Tuhan, dua-duanya bersumber dari sang Pencipta yang sama
Masih banyak yang bisa dibahas terkait hubungan Sains dan Agama
misalnya: apakah Teologi Voluntarisme vs Teologi Rasionalisme
mempengaruhi penerimaan terhadap reason. Apakah perkembangan ilmu-
ilmu pengetahuan terakhir memperkuat atau melemahkan posisi
pendukung filsafat Physicalism atau sering juga disebut Materialisme atau
Naturalisme. Mudah-mudahan bisa saya bahas di kesempatan lain.

XLIX. 27 Juni: Goenawan Mohamad: “Einstein, Tuhan…

EINSTEIN, TUHAN…
Galileo menafsir ciptaan Tuhan dengan matematika, Einstein
menyimaknya dengan ketakjuban.

346
Pada umur 12, anak Yahudi calon penemu Teori Relativitas ini tak
lagi mempercayai Kitab Suci. Ia membaca sebuah buku kecil tentang
bidang geometri Euklides, dan ia terpesona. Dalam otobiografinya
yang ia tulis pada usia 67 — sebuah buku 45 halaman — ia menyebut
yang ia baca saat itu sebuah “Keajaiban”.

Di dalam diri remaja itu, dunia sains menampakkan diri bagai “sebuah
teka-teki besar yang kekal”. Maka pada umur 16 ia meyakinkan
ayahnya bahwa ia tak beragama. Ia sedang menciptakan iman dan
sains-nya sendiri.

Dua dasa warsa kemudian, dalam pidato buat ulang tahun ke-60
Ilmuwan Max Planck, Einstein menyebut “iman” itu. Dalam
menghadapi problem sains yang paling sulit, katanya, agar tetap
teguh, kita perlu “sebuah Gefühlszustand (keadaan perasaan) seperti
seorang religius…”

“Religius”, dalam pengertian Einstein tak berarti taat beribadat.


Agamanya lain. “Agamaku adalah rasa kagum yang daif kepada
kekuatan intelektual yang tak terhingga, einer unbegrenzten
geistigen Macht, yang menampakkan dirinya dalam hal paling kecil,
yang kita tangkap dengan pikiran kita yang lemah dan tak utuh.”

“Kekuatan” itu bisa disebut Tuhan, tapi bukan Tuhan dalam doa
Yahudi, Kristen, dan Islam. Tuhan Einstein bukan “person” yang minta
disembah, memberkahi dan mengutuk. Tuhan bagi Einstein adalalah
“kehadiran satu kecerdasan intelektual, “einer geistigen
Intelligenz”, yang terungkap dalam alam semesta yang tak dapat
difahami”.

Keyakinan tentang Tuhan yang seperti itu — bukan karena takut,


bukan karena ingin punya pedoman moral — disebutnya “religiositas
yang kosmis”. Di sini tak ada dogma, gereja, atau pusat ajaran.

Sayangnya, banyak orang yang mengekspresikan religiositas itu


dianggap “heretik”, menyeleweng, dan dihukum, meskipun dalam diri
mereka sebenarnya terdapat “jenis religiositas yang tertinggi”.
Einstein mencontohkan Spinoza, filsuf yang paling dikaguminya,
pemikir yang dikeluarkan para petinggi Sinagog dari komunitas
Yahudi Amsterdam di tahun 1656. Spinoza beriman kepada Tuhan yang
mewedarkan diri dalam harmoni dunia, mengikuti hukum alam, “bukan
Tuhan yang menyibukkan diri dengan nasib dan perbuatan manusia”.
347
Einstein menolak pencitraan Tuhan yang antroposentris.

Terbiasa hidup dengan agama-agama Ibrahimi, orang tak mudah


memahami pandangan macam ini. Rabbi Goldstein dari New York, yang
minta Einstein menyatakan diri dalam 50 patah kata bahwa ia bukan
atheis, menyimpulkan harapannya: pandangan Einstein akan
melahirkan “rumusan ilmiah” yang menunjang monotheisme. Sesuai
dengan Judaisme.

Padahal tidak. Religiositas yang “kosmis” tak melihat Tuhan dalam


kerangka monotheis ataupun politheis. Tuhan yang “satu” dan
“banyak” adalah Tuhan yang diperlakukan sebagai benda, atau
substance, yang dapat dihitung seperti jeruk. Tuhan Einstein justru
tak menyerupai apapun dan siapapun, yang dalam Islam dinyatakan
dalam Surat Al Ikhlas. Bagi Einstein, Tuhan bukan Pencipta, bukan
Pengintai, bukan Hakim. Seperti dalam pantheisme ala Spinoza, Tuhan
adalah Alam, Alam adalah Tuhan, deus sive natura.

“Tuhan” dan “Alam” yang sering muncul dalam ucapan Einstein


sebagai satu pengertian, hadir di seantero kita, di luar dan di dalam
kita, menakjubkan kita. Jika Tuhan dan Alam tak bisa kita pahami, itu
karena ia lembut, subtil, bukan sesuatu yang bikin kita jeri. “Tuhan
halus, subtil,” kata Einstein, “bukan jahat (boshaft)”.

Tapi mau tak mau, tentang Tuhan yang subtil, tafsir seseorang akan
berlaku. Dalam tafsir Einstein, Tuhan adalah Tuhan yang tak membuat
alam semesta acak-acakan. “Tuhan tak bermain dadu”, ucapan
Eisntein yang terkenal, yang ia arahkan sebagai kritik kepada teori
mekanika kuantum.

Ia tak bisa menerima bahwa, seperti diungkapkan teori kuantum,


gerakan partikel mengikuti hukum probabilitas. Teori ini, tulis
Einstein di tahun 1926, tak mendekatkan kita kepada rahasia Tuhan.

Ada sikap angkuh yang langka di sini. Einstein tampak merasa mampu
“membaca kartu Tuhan” (dalam kiasan Einstein sendiri) hingga bisa
menilai demikian. Niels Bohr, fisikawan Denmark, tokoh teori
mekanika kuantum, kesal. Ia jawab Einstein, “Stop telling God what
to do!”

Sampai akhir hidupnya, hubungan Einstein dengan teori mekanika


kuantum, khususnya dengan pelopornya, Heisenberg, tak baik.

348
Tapi itulah dua sisi cerita sains. Ia lahir dari ketakjuban akan
“kekuatan intelektual yang tak terhingga” dari Alam dan dalam Alam.
Tapi ia juga merasa, setidaknya sesekali, sanggup bisa menguak
“misteri yang kekal” itu.

Einstein tokoh yang mengagumkan dalam cerita ini. Ia jauh dari


stereotipe yang lazim tentang “derap kemenangan rasionalitas
berhati-dingin”, untuk memakai kata-kata Gerald James Holton,
dalam “Science and Anti-science“ (Harvard University Press: 1993).
Einstein mengakui peran besar intuisi. Ia menentang “klaim
imperialistis Positivisme”. Kita ingat, Positivisme mendaku bahwa
sains akan bisa menghapus sisi intuitif manusia, dari mana antara
lain lahir perasaan religius.

Dan sebagaimana Einstein menolak agama-agama, ia juga tak akan


bisa mengikuti Atheisme, atas nama sains — lama ataupun “baru”.

349

Anda mungkin juga menyukai