20200627-Diskursus Sains Filsafat Agama Dan Pandemi PDF
20200627-Diskursus Sains Filsafat Agama Dan Pandemi PDF
AGAMA, PANDEMI
sebuah diskursus pemikiran
1
DAFTAR ISI
PENGANTAR DISKURSUS TUMBUH ......................................................................................... 4
I. 17 Mei: Goenawan Mohamad: “Pasti”................................................................................... 9
II. 20 Mei: Goenawan Mohamad: “Risalah Sains dan Beberapa Masalahnya” ................... 11
III. 28 Mei: A.S. Laksana: “Sains dan Hal-hal Baiknya” ...................................................... 13
IV. 31 Mei: Goenawan Mohamad: “Sains dan Masalah-masalahnya, Sulak dan Dua
Kesalahannya” .............................................................................................................................. 22
V. 1 Juni: Nirwan Ahmad Arsuka: “Sains dan Sport” .............................................................. 29
VI. 1 Juni: Ulil Abshar Abdalla: “Qutbiisme dan Kepongahan Saintifik: Mengapa Al-
Ghazali Masih Relevan Sekarang?” ........................................................................................... 31
VII. 1 Juni: Hasanudin Abdurakhman: “Uli, Sains Itu Tidak Pongah, Cuma Tidak Berbagi
Kebenaran”.................................................................................................................................... 36
VIII. 2 Juni: Taufiqurrahman: “Sains Memang Tidak Sempurna, Tapi Ia Adalah Jenis
Pengetahuan Terbaik yang Mungkin Kita Punya” ..................................................................... 39
IX. 2 Juni: Hasanudin Abdurakhman: “Kritik Kepada Saintisme” ....................................... 45
X. 2 Juni: Jamil Massa: tidak ada judul.................................................................................... 47
XI. 2 Juni: Dwi Pranoto: “Heidegger dan Pengabaian Goenawan Mohamad” .................. 49
XII. 3 Juni: Lukas Luwarso: Kepastian Sains dan Pencarian Kebenaran”.......................... 52
XIII. 2 Juni: Dunia Filsafat Ledalero: “Kasus Galileo Galilei”................................................. 60
XIV. 2 Juni: Nuruddin Asyhadie: tidak ada judul..................................................................... 70
XV. 3 Juni: Azis Anwar Fachrudin: “Saintisme Bukan Istilah Peyoratif” .............................. 71
XVI. 3 Juni: Goenawan Mohamad: “Tanggapan Terhadap Nirwan” ..................................... 75
XVII. 3 Juni: Ardi Kresna Crenata: “Sains, Agama, dan Kesalahan Kita”.......................... 78
XVIII. 3 Juni: Ulil Abshar Abdalla: “Antara Sains dan Soto” ................................................. 83
XIX. 3 Juni: F. Budi Hardiman: Saintisme dan Momok-momok Lain .................................... 88
XX. 4 Juni: Goenawan Mohamad: “Maaf, Tanpa Judul” ....................................................... 93
XXI. 5 Juni: Fitzerald Kennedy Sitorus: “Tentang Garis Demarkasi Antara Sains dan
Filsafat dan Kematian Metafisika” ............................................................................................. 100
XXII. 4 Juni: Farid Gaban: “Sains dan Pemihakan” ........................................................... 115
XXIII. 5 Juni: Nirwan Ahmad Arsuka: “Sains di Tengah Wabah Corona” ......................... 118
XXIV. 5 Juni: Budi Munawar Rachman: “Perbedaan Sains dan Saintisme” ..................... 124
XXV. 6 Juni: Hamid Basyaib: “Tentang Cicak Sains dan Ekor Filsafat”........................... 134
XXVI. 6 Juni: Husain Heriyanto: tidak ada judul .................................................................. 138
XXVII. 8 Juni: A.S. Laksana: Sains yang Meringkus, Manusia yang Tidak Aman ............ 144
XXVIII. 10 Juni: Sabrang Damar Panuluh: “Mempertanyakan Kebenaran Real World
Science dan Pengkhianatan Matematika” ................................................................................ 158
2
XXIX. 9 Juni: Lukas Luwarso: “Trilema Sains, Agama, dan Filsafat” ................................ 170
XXX. 9 Juni: Bambang Sugiharto: Masih Perlukah Sains, Filsafat, dan Agama” ............ 185
XXXI. 12 Juni: Goenawan Mohamad: “Sebuah Tempat yang Bersih dan Lampunya
Terang untuk Sains” ................................................................................................................... 202
XXXII. 12 Juni: Taufiqurrahman: “Menghindari Jebakan Skeptisisme dan Fideisme” ...... 215
XXXIII. 13 Juni: Asrudin Azwar dan Mirza Jaka Suryana: “Sains, Saintis, dan Vaksin
Corona: Jalan Keluar GM dan A.S. Laksana” .......................................................................... 226
XXXIV. 15 Juni: Hamid Basyaib: “Romantisisme dan Falasi Memedi Goenawan
Mohamad” 230
XXXV. 16 Juni: Hamid Basyaib: “Romantisisme dan Falasi Memedi Goenawan Mohamad”
240
XXXVI. 17 Juni: Hamid Basyaib: “Romantisisme dan Falasi Memedi Goenawan
Mohamad” 248
XXXVII. 19 Juni: Goenawan Mohamad: “Aku Mengkritikmu dengan Agenda yang
Sederhana”.................................................................................................................................. 258
XXXVIII. 19 Juni: Ulil Abshar Abdalla: “Tentang Korelasionisme” ...................................... 264
XXXIX. 19 Juni: Hamid Basyaib: “Romantisisme dan Falasi Memedi Goenawan
Mohamad” 266
XL. 20 Juni: Hamid Basyaib: “Romantisisme dan Falasi Memedi Goenawan Mohamad”
273
XLI. 21 Juni: Hamid Basyaib: : “Romantisisme dan Falasi Memedi Goenawan Mohamad”
280
XLII. 21 Juni: Lukas Luwarso: “Sains, Filsafat, dan Storytelling” ..................................... 291
XLIII. 22 Juni: Lukas Luwarso: “Sains, Filsafat, dan Storytelling” ..................................... 295
XLIV. 23 Juni: Agus Sudibyo: Sains, Instrumentalisasi, dan Keterbukaan Terhadap “Yang
Lain” 308
XLV. 24 Juni: Alois Wisnuhardana: “Sains, Transhuman, dan Digital Realm” ................ 313
XLVI. 24 Juni: Goenawan Mohamad: “Scientia? Sapienta? Sains dan Atheisme Baru”. 319
XLVII. 25 Juni: A.S. Laksana: “Humanisme, Sebuah Panggilan Moral” ............................ 327
XLVIII. 26 Juni: Lukas Luwarso: “Empati untuk Para Penafsir dan Pencari Makna” ..... 335
26 Juni: Haryo Aswicahyono: “Merenungkan Konflik Agama dan Sains”.............................. 344
XLIX. 27 Juni: Goenawan Mohamad: “Einstein, Tuhan….................................................. 346
3
PENGANTAR DISKURSUS TUMBUH
Jika video yang diunggah oleh PDUI itu baru ditonton kurang dari dua
ribu kali sejak diunggah 20 Mei hingga 3 pekan kemudian, tulisan
Sulak telah memancing banyak pemikir dan peminat topik tersebut
untuk masuk ke arena gelanggang. Berbeda nasibnya dengan video
diskusi yang kalah jauh dengan video “Keke Bukan Boneka” yang
sudah ditonton lebih dari 32 juta kali hanya dalam dua pekan sejak
diunggah.
4
tentang sebuah tema yang sangat hangat ketika itu: kebudayaan dan
pendidikan. Kongruen dengan diskusi hari ini, hanya saja dengan
topik yang berbeda.
5
merapikan –sekali lagi merapikan saja—supaya dokumen ini bisa
dinikmati oleh orang-orang yang lebih luas. Menulis nama GM
misalnya, bahkan tidak mudah bagi sebagian orang. Gun atau Goen.
Moh atau Muh atau Moch atau malah Mokh? M dobel atau M tunggal?
Hasanudin atau Hasanuddin? Abdur atau Abdul? Rakhman atau
Rachman atau Rahman? Dan masih banyak lagi. Baru urusan nama.
Belum yang lain-lain, karena para pemikir itu, mungkin tidak begitu
hirau atas hal remeh-temeh begini.
Saya tak tahu Fransisca sekarang ada di mana atau cinta sejatinya
dimiliki siapa.
6
Dan memang ketika mempelajari unsur dan menelanjangi hingga
elektron-proton, atau menyatukannya dalam reaksi rumit asam
basa, penguraian atau penggabungan atau menjadi senyawa, selalu
terjadi efek perubahan, reduksi, ataupun penghilangan. Tentu saja
energinya tidak hilang, karena hukumnya terumuskan James Perscott
Joule dan kemudian menjadi abadi hingga hari ini: “Energi tak dapat
diciptakan atau dihilangkan, hanya berubah bentuk.” Rumusan
tersebut menjadi dasar pertama hukum termodinamika.
Upaya membuat dokumen tumbuh ini juga didorong oleh niat untuk
menemukan lebih banyak pemikiran. Siapa tahu jika disatukan dalam
dokumen yang tunggal akan menggugah lebih banyak orang untuk
masuk dan turun gelanggang meramaikan diskusi yang makin
dimudahkan berkat adanya teknologi hari ini. Produk sains yang
mereka bicarakan itu.
Maka, jika ada tautan pemikiran lain yang belum terekam dalam
catatan saya, silakan sampaikan utasnya di sini, sehingga serpihan
pemikiran dari banyak orang ini makin lengkap dan utuh. Syaratnya
cuma satu: identitas penulisnya jelas, dan pemikirannya inheren
dengan topik yang dibahas, sehingga orang-orang yang berminat
pada diskusinya makin terangsang untuk menyampaikan gagasannya.
7
Buku digital dari diskusi tersebut sudah ada dalam format PDF.
Catatan diskusi tersebut sudah saya rapikan ejaan dan strukturnya
secara urutan waktu dan sudah melampaui 300 halaman. Dengan
dipolakan dan diatur, siapapun yang tertarik, bisa ikut menikmati
dan lebih mudah mengikuti.
Jika ada yang berminat, silakan japri dan saya akan kirimkan
kompilasinya. Saya juga sangat berterima kasih jika ada yang
berkenan untuk mengirimkan tautan baru dari siapapun
penulis/pemikir yang ikut masuk dalam gelanggang diskusi.
Buat apa?
Supaya wacana media sosial kita juga diwarnai oleh perdebatan dan
diskusi yang lain. Yang lebih bernas. Yang lebih berisi. Bukan oleh
video seorang ustadz yang membahas lagu “Balonku” dan meletus
balon hijau atau “Naik-naik ke Puncak Gunung” di mana di situ
banyak pohon cemara.
Salam hangat.
8
I. 17 Mei: Goenawan Mohamad: “Pasti”
PASTI
“Di sepanjang zaman, banyak hal berubah dalam ilmu,” kata seorang
dokter ahli di Boston yang dikutip.
Tak ada yang baru dalam kata-kata itu, sementara ada yang
dilupakan, bahwa kita tak hidup “di sepanjang zaman”. Kita —apalagi
orang awam— dikepung ketidaktahuan, ditodong ancaman sakit dan
kematian, dan semua terjadi hari ini. Kita tak sempat meninjau
“sepanjang zaman”. Kita esok harus memutuskan: sampai kapan kota
kita ditutup? Sampai berapa lama kehidupan ekonomi dihentikan,
dengan korban yang tak jarang tragis, seperti seorang anak
perempuan India berumur 12 yang mati ketika harus berjalan kaki
kembali ke kampungnya — 150 km dari kota yang dilokdon dan
merebut sumber hidupnya?
9
Para pakar epidemi umumnya menjawab, (dengan segala niat baik,
juga dengan masygul): “Situasi ini masih akan lama…”
Tak mudah menjawab ini —tak mudah bagi para ilmuwan. Sama tak
mudahnya bagi pengambil keputusan politik yang menentukan sebuah
kebijakan dengan dibantu ilmu pengetahuan yang masih bertanya-
tanya.
Apalagi dewasa ini mulai ada rasa cemas bahwa perlombaan riset di
pelbagai lembaga keilmuan — yang diukur KPI, “key performance
indicators” — pelan-pelan merusak semangat keilmuan. Para
ilmuwan didorong-dorong untuk mencapai hasil yang mengesankan.
Ilmu ingin cepat menjawab dan mulai malas bertanya. Para periset
yang berangkat dari rasa ingin tahu dipinggirkan, sementara
pimpinan lembaga yang harus mencari dana dan nama membayangi
tiap proyek peneletian. Di masa pandemi yang cepat menyebar ini,
ada desakan lain, yang bukan main-main: niat menyelamatkan
kehidupan.
Di masa lalu —yang berlum benar-benar lalu— ada jalan lain dari
situasi bertanya-tanya. Orang bisa menyodorkan sesuatu yang di
luar dirinya. Menanggungkan cemas di pundak sendiri memang
terlalu berat. Maka di Eropa, selama pandemi besar abad ke-13,
beberapa ribu orang Yahudi — ya, mereka orang lain— dibakar hidup-
hidup. Atau, orang merujuk nasib dan bintang-bintang. Atau, lebih
sering, Tuhan.
10
dimaksudkan baik, meskipun yang menikmati kebaikan umumnya
mereka yang bukan sekelas si gadis yang kelaparan itu…
Ada yang didapat di masa modern itu, tapi juga ada yang hilang. Kita
tak menyerah ke sebuah ketakutan yang tak kita pahami, tapi dengan
itu “kita meremehkan rasa ngeri, berlindung dalam sesuatu yang
seakan-akan pengetahuan”, ensconcing ourselves into seeming
knowledge.
11
Disampaikan pada webinar Hari Kebangkitan Nasional dengan tema
“Berkhidmat pada Sains”
Saya bukan saintis dan tidak punya latar belakang pendidikan sains.
Saya akan susah payah berbicara, dan lebih susah-payah lagi
berkhidmat kepada sains. Bagi saya sains seperti halnya kesenian,
dunia yang lebih saya kenal, bukanlah sebuah bidang kerja atau
keahlian, yang harus disikapi dengan khidmat tetapi dengan kritis.
Tadi disebut peran sains dalam pandemi ini, dan memang menjadi
sangat penting di Indonesia dan juga di mana-mana. Keputusan
publik yang penting dalam pandemi ini umumnya didasarkan pada
pendapat pada ilmuwan. Terutama para epedemiologist dan
virologist, meskipun sains bukan segala-galanya.
12
oleh badan-badan atau ketua badan yang mengusahakan funding dan
sebagainya, dan itu diarahkan untuk memecahkan soal.
Ilmu atau sains punya dua peran, yaitu menafsirkan dunia dan
mengubah dunia. Sekarang menafsirkan dunia sudah disisihkan
menjadi mengubah dunia. Dengan prestasi yang hebat, sains kemudian
membuat jarak dengan kehidupan. Ilmu bukan tidak berguna, justru
berguna, tetapi ada hal-hal lain yang terlepas dari ilmu. Einstein
bilang sederhana dan agak lucu, bahwa politik lebih sukar dari ilmu.
Ada hal-hal yang lebih rumit/complicated yang tidak dapat
dipecahkan oleh ilmu.
“Semua yang hidup pasti mati; jika tidak sekarang besok, jika tidak
besok lusa, pekan depan, bulan depan, tahun depan, atau sekian tahun
13
lagi, tetapi kematian pasti tiba. Itu penemuan terbaik manusia
tentang dirinya,” kata Steve Jobs dalam ceramahnya di Stanford
University, 12 Juni 2005.
Jika orang tua Anda meyakini informasi bahwa orang yang mati akan
pergi ke surga atau neraka, Anda akan cenderung meyakini pula
kebenaran informasi itu. Dalam keyakinan ini, kematian hanyalah
awal dari kehidupan yang sebenarnya di mana seseorang akan
mendapatkan berkah sepanjang hidup atau siksa yang kekal.
Apa pun informasi yang Anda yakini, kemungkinan besar Anda tidak
memilih sendiri keyakinan itu. Setidaknya, itu yang terjadi dalam
tradisi para pemeluk agama-agama besar, Kristen, Islam, Hindu,
Budha, dan Yahudi; anak-anak tidak memilih sendiri agama mereka.
Orang tua yang memilihkan agama untuk mereka sejak mereka kanak-
kanak atau bahkan sejak hari pertama kelahiran.
***
14
Sekalipun kita memiliki keyakinan bahwa manusia pasti mati,
kebanyakan dari kita menc ointai kehidupan. Kita memutuskan
berdiam di rumah saja di masa Corona, mengikuti informasi yang
disampaikan oleh para saintis, karena kita masih ingin
mempertahankan kehidupan.
15
sains. Tidak ada informasi yang bisa diandalkan kecuali yang datang
dari kalangan sains, dan yang terjadi kali ini sungguh menakjubkan:
Orang tidak mengamuk ketika mereka diminta menghentikan
kegiatan-kegiatan keagamaan yang bersifat kerumunan. Para
pendakwah yang keras menjadi lebih pendiam. Mereka mematuhi
keputusan-keputusan yang dibuat berdasarkan informasi saintifik.
16
Sebetulnya tidak mengejutkan bahwa Goenawan berpendapat seperti
itu. Dalam beberapa kolom Catatan Pinggir sepanjang berkecamuknya
wabah, ia telah beberapa kali menyatakan sikap skeptisnya, dan
mungkin ketidakpercayaannya, terhadap sains. Ia, seperti biasa,
rajin memberi kita rujukan ke masa lampau, membandingkan wabah
berabad-abad lalu dengan wabah hari ini, dan menyimpulkan bahwa
situasinya masih sama. “Kembali Entah yang menyembul ke depan,”
tulisnya dalam kolom “Entah.”
17
Dan bukankah perbaikan informasi dalam hitungan “kemarin” jauh
lebih baik ketimbang ralat yang dilakukan ketika semuanya sudah
terlambat? Kita bisa membandingkan kecepatan ini dengan
kelambatan dalam kasus apa saja yang terjadi berabad-abad lalu.
Dengan kasus Jeanne d’Arc di abad kelima belas, misalnya. Gadis 19
tahun itu dinyatakan bid’ah dan dibakar hidup-hidup di kayu salib
dan vonis terhadapnya baru diralat oleh Paus dua puluh satu tahun
kemudian melalui pengadilan ulang. Lima abad setelah kematiannya,
di abad ke-20, ia ditahbiskan sebagai orang suci agama Katolik.
Tentu masalah akan selalu ada; selama manusia hidup dan melakukan
aktivitas, selalu akan terbuka kemungkinan munculnya masalah, dan
itu bahkan bisa terjadi dalam situasi normal, tidak hanya ketika
wabah.
18
Yang terasa mengganggu dalam diskusi “Berkhidmat pada Sains”
adalah cara ia merendahkan derajat sains dengan mengajukan
anekdot tentang Albert Einstein dan politik yang lebih rumit
dibandingkan fisika. Itu sebuah simplifikasi, jika bukan falasi—
dalam penalaran kita mengenalnya sebagai kekeliruan appeal to
authority.
Hanya karena Einstein berkata seperti itu, bukan berarti fisika, dan
secara umum sains, adalah hal yang remeh-temeh. Ada banyak hal
lain di luar politik yang bagi Einstein niscaya lebih rumit ketimbang
fisika, misalnya merenda sweater musim dingin, membuat kruistik,
atau mengarang novel.
Saya tidak tahu seserius apa ajakan untuk berkhidmat pada sains.
Mungkin itu efek dari kepercayaan diri yang naik, atau semacam
euforia, di kalangan saintis karena di masa pandemi ini orang betul-
betul menaruh kepercayaan dan harapan kepada sains. Mungkin juga
itu sekadar percakapan menunggu waktu buka puasa. Namun, serius
atau tidak serius ajakan itu, ketika seseorang yang dianggap pemikir
dihadirkan dalam diskusi, ia tentu dihadirkan tidak untuk
menyodorkan falasi.
***
19
Para filsuf dan pemikir dan saintis generasi awal adalah orang-
orang yang sering menjadi korban, sebab berpikir adalah tindakan
yang membahayakan iman dan bisa menyesatkan orang banyak dan
begitu pula temuan-temuan sains.
Tetapi sains tak bisa dibendung, bahkan oleh iman yang gemar
menghukum. Para saintis terus memproduksi informasi baru, dan
banyak informasi yang mereka sampaikan telah menggugurkan
informasi-informasi agama dan juga spekulasi filsafat. Apa boleh
buat, itu tak terhindarkan. Agama adalah sistem tertutup yang
informasi-informasinya tidak bisa direvisi.
21
menambahkan contoh lain sampai tak terhingga— adalah perbuatan-
perbuatan yang puitik. Para penggemar fotografi akan mendapatkan
gambar-gambar indah dari ritual-ritual semacam itu.
***
IV. 31 Mei: Goenawan Mohamad: “Sains dan Masalah-masalahnya, Sulak dan Dua
Kesalahannya”
Saya senang membaca A.S. Laksana menulis sebuah esai untuk saya:
sebuah kritik atas pandangan saya tentang sains. Saya juga senang
membaca dua kesalahannya di situ —plus satu kekurangan yang
penting.
***
Yang pasti: saya tak cocok dengan pemikiran Hegel. Entah dari
Google mana Sulak menemukan informasi bahwa saya “[lebih]
berkhidmat pada Hegel”. Sebab, dalam pelbagai soal, saya seorang
“anti-Hegelian”, meskipun tidak galak.
23
***
Kesalahan kedua: Sulak mengira saya orang yang percaya bahwa sains
menjanjikan kepastian. Di sini, ia telah sangat salah membaca.
Sebab inilah yang saya tulis dalam Catatan Pinggir (yang juga
dikutip Sulak): “Ilmu pengetahuan selalu menjanjikan jawab yang
meyakinkan, tapi bersamaan dengan itu juga hidup dari pertanyaan
dan perdebatan“.
***
24
Pandangan Popper ini diperlukan kini, sebagai “caveat” kepada sains.
Ketika sains menjadi panglima — ketika masyarakat menonjolkan
(“asserts”) otoritas pengetahuan ilmiah untuk menjelaskan pelbagai
hal — sains akan terdorong mengedepankan kepastian, bukan masuk
ke dalam proses pencarian kebenaran. Otoritas tanpa kepastian sama
dengan hakim garis tanpa garis.
***
26
“Jorge-isme”. Kesempatan kali ini akan saya pakai dengan
mengundang Husserl.
27
matematis merepresentasikan “Lebenswelt”, dunia kehidupan,
dengan mereduksinya — atau untuk memakai istilah Husserl,
“menyembunyikan”-nya.
Dunia, tentu saja, tidak sekadar yang ada dalam ukuran itu.
Sayangnya, para ilmuwan sering tak sadar akan itu. Gaston
Bachelard, yang bertentangan dengan Heidegger dalam pandangannya
28
tentang sains, mengakui: “Para saintis lebih meyakini realisme
pengukurannya ketimbang kenyataan objeknya.”
“We are told that by its aid the stars are weighed and the billions of
molecules in a drop of water are counted. Yet, like the ghost of
Hamlet's father, this great science eludes the efforts of our mental
weapons to grasp it.” — Alfred North Whitehead, dalam “An
Introduction to Mathematics”.
***
29
Benarkah sains itu tidak berpikir, pongah, dan mengagulkan diri?
Tapi untuk menghormati kawan debat, baiklah kita terima dulu saja
tuduhan terhadap sains, tuduhan tua yang tak mampu memperbarui
diri, dan yang yakin bahwa sains tak sanggup berproses mengoreksi
dan melampaui diri. Sesekali mengalah bolehlah. Katakanlah sains
memang pongah dan gemar mengagulkan diri. Terus kenapa? Dosa?
Kembali kita bisa belajar dari sport, khususnya dari tokoh yang
diberi gelar "Sportsman of the Century" (Sports Illustrated) dan
"Sports Personality of the Century" (BBC poll): Muhammad Ali.
Ali yang besar mulut itu memang menyebut dirinya "petinju yang
paling ilmiah" di arena laga. Prestasinya yang tak tertandingi oleh
petinju lain, bahkan oleh atlet manapun di abad ke-20 itu tentu saja
dahsyat, tapi akan tampak jomplang jika dibandingkan dengan
prestasi sains. Tidak sekelaslah. Tapi karena itu, kalimat-kalimat
pongah dan mengagulkan diri yang dilontarkan Ali, akan cukup
pantas jika dipinjam sebentar oleh sains, untuk main-main saja.
Misalnya:
“If you even dream of beating me you'd better wake up and apologize.”
"I’m not the greatest. I’m the double greatest. Not only do I knock
‘em out, I pick the round. I’m the boldest, the prettiest, the most
superior, most scientific, most skillfullest fighter in the ring
today.”
30
Kalimat-kalimat Ali ini jelas luar biasa pongah, namun bisa terasa
menghibur, karena mengandung kejujuran yang brutal tanpa tedeng
aling-aling. Ali memang pongah, tapi ia bukan pembual. Selain
baris-baris yang bisa dituduh gemar mengagulkan diri, Ali juga
dicatat meninggalkan kalimat ini:
"Only a man who knows what it is like to be defeated can reach down
to the bottom of his soul and come up with the extra ounce of power
it takes to win when the match is even."
https://www.usatoday.com/…/muhammad-ali-best-quot…/85370850/
Seperti Ali, sains juga bisa mencicipi rasa "kalah". Pandemi Sars-
COV-2 atau COVID-19 itu membuat kedudukan sains kalah sementara.
Tapi, seperti Ali yang tak gentar mempertahankan pendiriannya,
para saintis pun akan terus berusaha "merogoh dasar jiwanya". Dan
seperti halnya perjuangan Ali serta para atlet tulen lain,
perjuangan sains juga bisa menunjukkan "the beauty and the
universal celebration of human spirit."
VI. 1 Juni: Ulil Abshar Abdalla: “Qutbiisme dan Kepongahan Saintifik: Mengapa Al-
Ghazali Masih Relevan Sekarang?”
31
Pertama, kepongahan yang terbit karena seseorang "merasa" telah
memegang kebenaran mutlak.
Buku ini telah menyihir saya pada saat saya baru berumur sekitar 19
tahun. Manifesto ini telah mengilhami ribuan belia Muslim di
seluruh dunia, mendorong mereka menjadi fundamentalis-radikal
dan terperosok dalam gejala takfir (mudah mengafirkan orang lain).
Saat tersihir oleh ide-ide Qutb, saya sebetulnya sedang "lupa". Tak
lama berselang, saya mulai merasakan hal yang aneh pada gagasan
Qutb. Saya merasa, jika diterus-teruskan, pandangan Qutbian ini
bisa membawa saya kepada sikap hidup yang "totaliter", mutlak-
mutlakan.
32
Setelah sembuh dari penyakit ini, saya kemudian menjalani
"petualangan pemikiran" yang asyik. Inilah masa-masa dalam hidup
saya yang paling indah. Dan saya bersyukur kepada Tuhan karena
diberikan kesempatan untuk menikmati petualangan ini. Tetapi ada
jebakan juga di sana. Di ujung petualangan ini, saya pernah nyaris
"terpeleset" dalam jebakan Qutbiisme yang lain. Yaitu jebakan yang
ingin saya sebut "saintisme".
Ya, saya hanya mabuk sebentar saja. Saya disadarkan kembali setelah
mulai merasakan keanehan di kalangan para pendukung sains ini.
Mereka memiliki watak-watak yang agak mirip dengan para penganut
33
Qutbiisme-religius -- pongah, dan merasa dirinya secara moral
berada di ketinggian, mengatasi orang-orang lain; self-
righteousness.
"Occupied by their own concerns, a great many men and women have
a dull, hurt, angry sense of being oppressed by the sciences. They
are frustrated by endless SCIENTIFIC BOASTING (huruf besar dari
saya, UAA). They suspect that as an istitution, the scientific
community holds them in contempt. They feel no little distaste for
those speaking in its name. They are right to feel this way. I have
written this book for them."
Pada sisi lain, saya juga memiliki kejengkelan yang tak kalah
mendalam terhadap kepongahan sekuler yang saya lihat pada
fenomena "saintisme" --sebuah cara pandang yang melihat sains
sebagai satu-satunya penjelas yang tepat terhadap Kehidupan
dengan "k" besar. Sementara yang lain, terutama agama, adalah
takhayul dan khurafat yang merupakan sisa-sisa dari masa kanak-
kanak manusia.
35
Peter Atkins, seorang ahli kimia dari Inggris yang mengajar di
Universitas Oxford:
"Pretense" seperti inilah yang dikritik oleh para sarjana seperti al-
Ghazali, Berlinski, atau John Lennox (seorang matematikawan dari
Universitas Oxford yang menulis buku berjudul "God's Undertaker:
Has Science Buried God?"). Yang dikritik oleh orang-orang seperti
al-Ghazali bukanlah filsafat atau sains per se, melainkan "asumsi-
asumsi ideologis" yang bersembunyi di balik otoritas sains.
Saya tetap mengagumi sains. Di mata saya, sains adalah salah satu
(bukan satu-satunya!) bentuk pengetahuan manusia yang
dianugerahkan oleh Tuhan untuk kemaslahatan mereka. Yang tidak
saya kagumi adalah saintisme dan "kepongahan saintifik", atau
kepongahan-kepongahan lainnya.
Sekian.
VII. 1 Juni: Hasanudin Abdurakhman: “Uli, Sains Itu Tidak Pongah, Cuma Tidak
Berbagi Kebenaran”
36
Apa sih? Yang dia tuding adalah pandangan "saintisme" yang
menganggap sains adalah satu-satunya penjelas soal Kehidupan,
huruf "k" ditulis dengan huruf besar.
Sains tidak pongah, karena mengaku pada hal-hal yang dia belum
tahu, seperti soal bagaimana senyawa organik menjadi organisme
tadi. Tapi sains tidak berbagi kebenaran, khususnya dengan agama.
Agama punya teorinya sendiri soal bagaimana munculnya makhluk-
makhluk itu. Yaitu diciptakan oleh Tuhan.
Bagi sains, sejauh yang saya tahu, hanya ada kehidupan, tidak ada
Kehidupan. Saya mencoba menafsir Kehidupan itu adalah berbagai
38
dimensi non-jasadi, atau dunia pasca dunia fisik, yang dijelaskan
oleh agama. Orang beragama boleh yakin soal itu, sains tidak
keberatan. Tapi sekali lagi, sains tidak peduli.
Kalau bagi Ulil ada ruang kompromi di mana sains dan agama bisa
cocok dan rukun, saya ingin tahu dalam hal apa yang dia maksud.
Kalau ada ruang di mana sains mau berbagi kebenaran dengan agama,
saya ingin tahu.
VIII. 2 Juni: Taufiqurrahman: “Sains Memang Tidak Sempurna, Tapi Ia Adalah Jenis
Pengetahuan Terbaik yang Mungkin Kita Punya”
***
39
Dalam tanggapannya untuk kritik A.S. Laksana, GM merasa perlu
untuk mengutip Popper, karena pandangan Popper dianggap sebagai
“caveat”, protes, terhadap sains.
Benarkah? Tidak!
40
Meskipun bukan satu-satunya, kata Popper, pengetahuan ilmiah
merupakan jenis pengetahuan terbaik dan terpenting yang kita
punya. Ini membuktikan bahwa potongan paragraf Popper yang
dikutip GM itu —bahkan keseluruhan pemikiran Popper sendiri—
tidak tepat dijadikan sebagai alat protes pada sains. Bahkan
kriteria keterbantahan (falsifiabilty) dalam falsifikasionisme
Popper sebenarnya merupakan lanjutan dari tradisi positivisme
logis yang membuat demarkasi antara sains dan non-sains atau
pseudosains. Artinya, baik Popper maupun kaum positivis logis
sama-sama mengakui perlunya ada pembedaan tegas antara sains dan
nonsains. Hanya saja kedua pihak itu mengajukan kriteria pembedaan
yang berbeda: positivisme logis mengajukan kriteria keterbuktikan
(verifiability); sementara Popper mengajukan kriteria
keterbantahan (falsifiabilty).
Itu kekeliruan pertama GM. Hal kedua yang membuat esai GM itu
kurang berdasar adalah saat ia membuat proposisi implikatif:
“Dalam posisi sebagai sumber utama, ilmu ini mau tak mau didorong
“mengistirahatkan” prosesnya sendiri. Ia tak bisa berpanjang-
panjang melakukan riset”.
41
Dengan prinsip itu, alih-alih menjadi produk pengetahuan yang
beku, sains tak lain adalah sebuah proses yang akan melahirkan
“scientific progress”. Artinya, kita memercayai sains untuk menjadi
panglima dalam memahami dunia alamiah bukan karena ia
menjanjikan kepastian, melainkan karena ia bisa mengoreksi dirinya
sendiri (self-correcting) di hadapan data-data baru yang terus
bermunculan. Begitu sains tak lagi bisa mengoreksi dirinya sendiri,
maka ia bukan lagi sains, tetapi sudah berubah menjadi dogma.
Dengan demikian, secara epistemologis, tidak ada korelasi niscaya
antara sains sebagai panglima dengan sains yang mencari kepastian.
Sebab, semakin ia tidak pasti—dalam arti: terus memperbaiki diri—
maka sains semakin layak kita percayai.
Dengan kata lain, apa yang disebut sebagai “krisis sains” di situ
bukanlah krisis epistemologis yang terjadi pada sains itu sendiri,
melainkan krisis kemanusiaan yang—kata Husserl—disebabkan oleh
sains yang bekerja dengan fondasi matematika. Sains menjadi jauh
dari dunia yang konkret, dunia yang kita hidupi bersama. Di situ
sains menjadi sesuatu yang nirmanusia.
***
Tulisan panjang Ulil, yang banyak menyebut nama ilmuwan dan filsuf
(alias: name-dropping), sebenarnya hanya punya satu poin bahwa ia
tidak suka dengan saintisme yang ia definisikan sebagai “pandangan
yang melihat sains modern—terutama sains dalam pengertian ilmu-
ilmu kealaman—sebagai model paradigmatik bagi pengetahuan
manusia yang paling sempurna, karena memberikan dasar-dasar
pengetahuan yang pasti dengan berbasis data-data empiris”.
Selebihnya adalah otobiografi intelektual Ulil sendiri.
44
dan terus bekerja, betapa pun kita membencinya. Jika Ulil memang
hendak mengkritik naturalisme, semestinya ia membangun kritik
metodologis atau ontologis. Tanpa kritik semacam itu, kritiknya
terhadap naturalisme hanya akan menjadi kritik yang tidak relevan
dan juga tak berdasar.
***
45
dalam sains. Yang tersisa bagi mereka, tulis Hawking, adalah analisa
bahasa. Itu ditulis Hawking dalam buku The Brief History of Time.
Betul bahwa sains diinisiasi oleh filsuf. Betul pula bahwa sains
modern berpijak di atas pencapaian yang dibuat oleh para ilmuwan
muslim. Tapi semua itu sudah berlalu. Itu tinggal sejarah saja.
46
Tuhan versi agama itu menciptakan dan mengatur alam semesta,
niscaya yang akan kita dapatkan adalah narasi-narasi yang tak
cocok dengan sains modern. Karena itu Hawking berkesimpulan,
Tuhan yang dipercayai melalui agama-agama itu bukan Tuhan yang
menciptakan dan mengatur alam semesta ini.
Orang lain yang juga disorot adalah Sam Harris. Harris melakukan
sejumlah eksperimen yang menunjukkan bahwa gagasan soal agama
dan Tuhan, ritual-ritual, adalah hasil kerja otak belaka. Artinya,
gagasan tentang Tuhan adalah produk pikiran manusia belaka.
Temuan-temuan Harris ini sudah banyak dibantah.
Tapi sejauh yang saya tahu bantahan itu tidak spesifik mengatakan
bahwa gagasan tentang Tuhan tidak berasal dari otak. Yang dibantah
adalah klaim bahwa di otak ada spot khusus yang berperan mengolah
gagasan tentang Tuhan. Riset mutakhir menunjukkan bahwa gagasan
tentang Tuhan bisa diproses di bagian yang sama dalam otak dengan
gagasan tentang sains.
Orang tak suka dengan kesimpulan bahwa gagasan tetang Tuhan itu
diproduksi otak. Mereka percaya bahwa gagasan tentang Tuhan
dibisikkan atau disampaikan oleh Tuhan sendiri kepada manusia,
khususnya melalui orang-orang suci. Ya monggo sih. Silakan
buktikan bahwa pengetahuan itu berasal dari Tuhan. Gimana cara
membuktikannya?
TANPA JUDUL
47
Di wikipedia, definisi scientist adalah “someone who conducts
scientific research to advance knowledge in an area of interest.”
Adapun soal Richard Dawkins yang katanya pongah itu, aha, saya
belum berani berpendapat panjang lebar sebab saya belum baca
bukunya The God Delusion. Saya baru punya The Greatest Show on
Earth (Pertunjukan Paling Agung di Bumi) dan enak banget membaca
gagasannya di buku itu.
48
Khawarizmy. Mereka adalah para ilmuwan yang dikagumi Barat tapi
dicap sesat oleh kaum mereka sendiri di zaman itu.
Di satu titik, teman saya benar, di dunia yang fana ini ada orang-
orang yang entah dengan alasan apa menjadikan sains sebagai agama.
Tapi namanya bukan scientist, melainkan scientolog. Agamanya
disebut scientology.
HEIDEGGER
DAN PENGABAIAN GOENAWAN MOHAMAD
49
mendefinisikan, dan menilai. Tentu saja, GM tidak secara ketat
melakukan langkah-langkah itu dalam tulisannya. Namun, yang
pasti, GM meletakan sains sebagai objek; persis seperti ia
menggunakan Karl Popper untuk membela sikap skeptisnya terhadap
sains.
50
pernyataan-pernyataan A.S. Laksana sebagai usang sembari
menegakan posisionalitasnya sendiri.
51
pengabaian GM terhadap pandemi terjadi karena pengambilan posisi
yang demikian.
KEPASTIAN SAINS
DAN PENCARIAN KEBENARAN
52
Dialektika pemikiran berlanjut menyangkut epistemologi,
“bagaimana kita tahu apa yang kita ketahui tentang realitas”. Antara
pemikir yang berparadigma rasionalisme (Rene Descartes),
empirisme (David Hume), kritisisme (Immanuel Kant), idealisme
(Hegel), Intuisionisme (Henri Bergson), Positivisme (AugusteComte),
fenomenologi (Edmund Husserl), hermeneutika (Martin Heidegger),
rasionalisme-kritis (Karl Popper), post-strukturalisme (Derrida,
Lyotard). Masing-masing menawarkan perspektif untuk menafsirkan
dunia, untuk mendapatkan kepastian dan kebenaran.
Diskusi soal tema besar bIsa didekati dengan dua cara, dengan
merujuk dan menelaah gagasan-gagasan sebagai rangkaian
compendium pemikiran yang saling menegasi, melengkapi, dan
memperkuat. Atau memilih paradigma spesifik yang selaras dengan
cara berpikir kita dalam membidik persoalan. Mengangkat tesis atau
persoalan baru, sebagai metode dialektis untuk memancing
pemikiran, meskipun menggunakan paradigma lama.
53
Sejumlah poin gugatan pada dunia sains yang cukup menohok. Narasi
GM mengajak kita untuk kembali menyoal basis paradigma sains, yang
pernah dipertanyakan para pemikir besar pada zamannya. Namun di
tahun 2020, sains terbukti terus berkembang pesat dan membuat
berbagai penemuan baru dan membuka pemahaman baru. Wacana yang
dipaparkan GM menyoal sains terasa bernuansa nostalgik, kalau
bukan anakronistik.
Kepastian Sains
54
Berbeda dari ideologi, sains adalah proses berpikir yang fleksibel
untuk menerima perubahan sejalan dengan perkembangan pemahaman
tentang dunia. Thomas Kuhn dalam “The Structure of Scientific
Revolution” menegaskan, pengetahuan berkembang melalui revolusi
sains —perubahan paradigma— secara radikal. Paradigma baru
menggantikan yang lama, setiap perubahan paradigma membentuk
pemahaman baru. Revolusi sains mirip revolusi sosial, namun tanpa
genangan darah.
Setelah “berkenalan” dengan virus lebih dari 100 tahun, hingga saat
ini saintis belum sepenuhnya mampu memahami dengan pasti
organisme ini. Bukan cuma karena ukurannya sangat kecil, namun
55
juga karena keanekaragamannya. Virus dengan cepat mampu
bermutasi menjadi jenis baru. Yang sejauh ini diketahui,
penyebabnya COVID-19 adalah virus baru dari keluarga virus Corona.
Keluarga virus ini memicu wabah SARS (Severe acute respiratory
syndrome) di 29 negara, pada 2002-2003. Virus ini dinamai SARS-
CoV-1, sementara COVID-19 diamai virus SARS-CoV-2. Sumber asal
virus diperkirakan sama, dari kelelawar. Virus biang keladi COVID-
19 sudah diidentifikasi, namun masih perlu waktu untuk bisa
mengatasinya.
56
Popper mengajukan “Thesis of refutability” sebagai metode menguji
teori sains, yaitu dapat disalahkan. Pernyataan atau hipotesis
bersifat saintifik jika dimungkinkan untuk disangkal. Popper
membuat analogi “angsa putih” yang terkenal. Tugas sains bukan
memverifikasi bahwa semua angsa putih, karena asumsi angsa pasti
putih. Tugas sains justru berupaya mencari angsa hitam sebagai
falsifikasi atas cara berpikir induktif bahwa angsa pasti putih.
Popper bukan cuma sepakat dengan Hume dalam soal kritik atas
logika induktif, namun menjabarkan dalam metode falsifikasi untuk
menolak “kepastian” semu.
Pencarian Kebenaran
58
ditemukan, karena tidak jelas lokus-nya. Namun manusia bisa
merumuskan hal-hal benar. Kebenaran pada akhirnya adalah soal
konsensus manusia, seperti kebenaran moralitas, misalnya, adalah
sebuah probabilitas. Alih-alih terobsesi kebenaran, lebih relevan
memastikan untuk terus-menerus berupaya mengurangi kesalahan.
Richard Rorty dalam “The Contingency of Language” menyatakan
“truth is made rather than found.” Kebenaran merupakan konstruksi
manusia, bisa dikonstruksi dan didekonstruksi.
59
obscurantisme, teori konspirasi, matinya ekspertise, terpilihnya
politikus busuk (Donald Trump dan sejenisnya).
***
Andaikan Einstein katakan bahwa agama tidak perlu ada, karena sains
adalah jawaban dari segenap problem manusia, maka ia tentu salah.
Sebaliknya, jika agama katakan bahwa sains tidak perlu, karena doa
adalah jawaban dari segenap problem manusia, maka agama tentu
salah.
60
Dalam pandemi COVID-19, misalnya, jika ada ilmuwan yang
menganggap bahwa Tuhan tidak ada karena tidak bisa menghentikan
pandemi, maka ilmuwan itu tentu keliru, karena ia mengklaim
sesuatu di luar objek penelitian sains. Sebaliknya, jika ada agama
yang mengklaim bahwa sains tidak perlu karena semuanya akan
diatasi dengan doa, maka agama tersebut juga tidak lebih sebagai
kesadaran palsu.
Dalam tradisi Katolik, salah satu teori utama hukum kodrat ialah
bahwa manusia dari kodratnya berakal budi, dan karenanya mesti
dituntun oleh akal budinya. Dengan ini, selain pelbagai metode
rasional yang berhubungan dengan filsafat dan teologi, metode ilmu
empiris juga sebenarnya mulai dikembangkan di Eropa dalam
universitas sejak St. Albert Magnus.
Mengapa?
62
Sesudah itu, Yohanes Keppler membuat teori yang berbeda dengan
Kopernikus, di mana Keppler mendukung kembali teori geosentrisme,
yang dipengaruhi matematika Ptolomeus dan sains Aristoteles. Di
sini, baik penyelidikan Keppler dan Kopernikus dibiarkan saja dalam
debat sains, dan semuanya ditulis dalam bahasa Latin, bahasa debat
para ilmuwan.
Pengaruh St. Agustinus tampaknya masih kuat saat itu: “Orang tidak
membaca bahwa dalam Kitab Suci terkandung perkataan Tuhan: ’Aku
akan mengirimkan engkau Penolong yang mengajarkan gerakan
matahari dan bulan”. Atau St. Ambrosius, misalnya, menulis:
“Mendiskusikan kodrat dan posisi bumi tidak menolong kita akan
harapan pada hidup abadi”.
Pada tahun 1611, para Jesuit Roma membuat upacara khusus sehari
untuk menghormati Galileo. Manakala seorang rahib Dominikan pada
tahun 1614 mengkritik Galileo dari mimbar kotbah, pimpinan Ordo
Dominikan menegur keras secara resmi dan memaksanya meminta
maaf terhadap Galileo di hadapan hampir setengah anggota Ordo.
Padahal, ada juga hal kemudian terbukti bahwa Galileo salah, seperti
soal jarak komet dalam debatnya selama kurang lebih 5 tahun dengan
imam dan astronom Jesuit Orazio Grassi (1583-1654).
63
Selanjutnya, mengapa Kopernikus diterima dengan hangat, dan
Galileo menimbulkan persoalan, padahal teorinya hampir sama?
Mengapa pada mulanya Galileo jadi anak emas Gereja, dan setelahnya
timbul persoalan antara Gereja dan Galileo?
Kedua, saat Galileo bertemu dengan Paus Urbanus VIII pada tahun
1623, Paus yang adalah sahabat lamanya menerimanya dan
mengizinkannya menulis terus menulis tentang teori
heliosentrisme, namun bukan untuk membelanya mati-matian atau
mempertahankannya sebagai kebenaran (karena seperti kita lihat,
teori ini tidak bisa dibuktikan Galileo atau siapapun saat itu dengan
alat yang masih terbatas), namun sebagai sebentuk sumbangan bagi
masyarakat ilmiah, dengan argumentasi positif atau negatif.
Namun, ketiga, dan ini kiranya jadi soal utama: bahwa Galileo
menganggap dirinya adalah seorang religius, di mana penemuan
teleskopnya mesti mengubah penafsiran Kitab Suci.
Jadi, yang tampak di sini, sebenarnya bukan bahwa Gereja anti ilmu
pengetahuan, namun pertama, justru karena Gereja sangat
menghargai sains dan ingin mempertahankan sains otoritatif pada
masanya, yaitu sains Aristoteles dan Ptolomeus, maka Gereja merasa
perlu menolak teori baru yang dirasa meragukan pada saat itu. Pada
dasarnya, sebagaimana ungkapan Kardinal Baronio: ”Maksud Roh
Kudus ialah terutama menunjukkan bagaimana ke surga, bukan
menunjukkan bagaimana langit [bintang-bintang dan galaksi]
bekerja”.
67
ke-17, karena pembuktian eksperimental pertama tentang “paralaks
bintang” justru terjadi pada abad ke-19.
Namun, pada masa itu, orang tidak dapat melihat paralaks bintang
dari bumi (karena pada masanya orang belum paham bahwa jarak
bintang sedemikian jauh dan susah diamati dengan peralatan di masa
itu), sehingga teori heliosentrisme dianggap meragukan (pelbagai
detail yang lebih tepat, bisa lihat secara khusus “stellar parallax”).
Sebaliknya, kesimpulan bahwa kita tidak bisa melihat paralaks
bintang ini terasa sangat meyakinkan di masa itu, sementara Galileo
juga tidak punya dasar kepastian tentang teorinya sendiri, karena
alat teleskop untuk membuktikannya belum memadai.
Dengan ini, bahwa Galileo benar dalam kesimpulan akhir tentu jelas
dengan sendirinya, namun bahwa Gereja anti sains adalah propaganda
belaka, karena Galileo tidak pernah mampu membuktikannya, dan
Gereja justru punya niat baik menyelamatkan sains yang dianggap
paling otoritatif pada masanya. Selain itu, pengucilan ini tidak
berhubungan dengan doktrin infalibilitas, karena tidak terjadi atas
nama Gereja Universal; artinya secara resmi “Ex Cathedra”, namun
tanggapan Gereja belaka atas sikap masyarakat ilmiah dan lembaga
inkuisisi, yang kemudian direalisasikan Gereja sebagai kekuasaan
sipil saat itu, dalam situasi yang kacau.
68
peringatan yang halus” (the worst that happened to the men of
science was that Galileo suffered an honorable detention and a mild
reproof).
Peace.
TANPA JUDUL
70
hari ini yang ke pragmatik--sehingga purifikasinya atau
pengingatannya ke epideitik dapat diajukan sebagai penolakan
terhadap berkhidmat pada sains?
Benarkah demikian?
71
Sekali lagi: penjelasan paling valid dan paling objektif bagi segala
hal yang ada. Boleh juga dikatakan, saintisme ialah paham yang
menyatakan bahwa sains adalah Kebenaran itu sendiri (dengan “K”
kapital) dengan cakupan total pada segala yang ada. Redaksi dari
definisi-definisi yang diajukan boleh jadi berbeda, tapi acuan
maknanya pada esensinya sama.
Dengan makna ini, tidak ada yang peyoratif sama sekali, karena ia
mengacu secara deskriptif pada suatu ideologi. Buku-buku dan
artikel-artikel jurnal ilmiah sudah ditulis untuk mengritik
saintisme, bukan saja oleh para teolog, melainkan juga kalangan dari
latar belakang filsafat bahkan tak sedikit dari para praktisi sains
itu sendiri. (Misal, jika mau baca artikel untuk pembaca populer, ini
tulisan panjang dari profesor biologi: "The Folly of Scientism"
https://www.thenewatlantis.com/publications/the-folly-of-
scientism)
Dengan tiga gambaran itu, dari sekian banyak contoh lain yang biasa
muncul dari kelompok neo-ateis, penggunaan kata “saintisme” tepat
menyasar posisi filosofis yang hendak diacu. Tidak ada yang
peyoratif dalam hal ini.
Bila hendak diperas dalam dua paragraf singkat apa kritik utama
pada saintisme, sesungguhnya tidak benar-benar sulit. Sains
tidaklah bisa mendaku sebagai kebenaran itu sendiri sebab
kebenaran sains bertumpu pada kebenaran lain, yakni keyakinan
metafisis yang harus diasumsikan benar agar sains bisa bekerja—
yang pernah saya tulis di postingan lama Fesbuk saya. Di antara
contoh keyakinan metafisis itu ialah: bahwa hukum logika dan
matematis benar (kebenaran koherensial); pikiran bisa tepat
merefleksikan dunia eksternal (kebenaran korespondensial);
kausalitas riil adanya; induksi valid sebagai metode; dan
seterusnya.
73
Dengan demikian, yang gusar dengan saintisme seharusnya bukan saja
kalangan agamawan, tetapi juga para filsuf, para ilmuwan sosial, dan
bahkan semestinya juga para ilmuwan alam itu sendiri. Kalangan
yang kerap mendelegitimasi agama kerap menggunakan kata “God-
of-the-gaps”. Sebenarnya dengan nalar saintisme, kita juga bisa
memakai frasa “philosophy-of-the-gaps” untuk ranah kajian
filsafat yang belum bisa dijelaskan sains.
***
Boleh jadi ada yang keberatan, bahwa saintisme yang demikian itu
bukan satu-satunya definisi. Saintisme dalam penggunaan awalnya
berarti “sikap ilmiah” (scientific attitude), untuk membedakannya
dari dogma.
Keberatan ini bagi saya terasa trivial. Jika demikian yang dimaksud,
maka itu bukanlah makna yang diacu dalam penggunaan dan kritik
terhadap “saintisme” dalam wacana agama-dan-sains setengah abad
mutakhir. (Kasih tahu saya ya jika Anda menemukan dalam wacana
agama-dan-sains ada kritik terhadap saintisme dengan acuan makna
“sikap ilmiah”.)
74
Misal lain, kata “sains” itu sendiri. Makna asalinya adalah
“pengetahuan” secara umum. Kata “ilmu” dari bahasa Arab merupakan
padanan yang pas dengan makna ini. Di zaman pra-modern, khususnya
dalam kurikulum Aristotelian, kata “sains” yang diacu saat ini
bernama “natural philosophy” (ini frasa yang dipakai Isaac Newton
dalam Principia Mathematica); dan kata “natural philosophy”
dipakai untuk membedakannya dari “moral philosophy” (yang
mencakup politik, ekonomi, dan etika).
75
retoris: apakah sains “pongah dan mengagulkan diri”? Beberapa
kalimat kemudian: “…katakanlah sains memang pongah dan gemar
mengagulkan diri. Terus kenapa?”
Pertama, karena saya tak pernah dengar ada yang menuduh sains
demikian.
Saya lebih baik di sini bicara soal “scientism”, yakni sikap (ada yang
menganggapnya ideologi) yang menjunjung sains tinggi banget,
katakanlah, setinggi 10 x Monas.
***
Dalam tanggapan saya buat tulisan A.S. Laksana beberapa hari yang
lalu — yang juga saya pasang di sini — saya kutip Karl Popper yang
mengatakan bahwa saintisme “secara dogmatis menekankan otoritas
pengetahuan ilmiah”.
Karena saya anggap dalam hal ini Popper kurang terang dan tajam,
akan saya pinjam penjelasan Ian Hutchinson, seorang fisikiawan yang
mengajar sains nuklir di MIT.
76
Saintisme, kata Hutchinson dalam “Monopolizing Knowledge” (2011),
menganggap sains — artinya ilmu-ilmu alam modern, pewaris
revolusi ilmu yang bermula sejak abad ke-16 —sebagai satu-satunya
sumber “pengetahuan yang sebenarnya”. Kata kunci: “satu-satunya”.
Dengan kata lain, jika “tidak ilmiah” itu artinya tidak mengikuti
prosedur ilmu-ilmu alam modern dengan kekuatan kuantifikasinya
— yang menurut Husserl dimulai Galileo di abad ke-7 — tak berarti
itu pengetahuan yang keliru, kuno, dan dianggap sudah (pantas) mati.
Atau hanya pandangan berdasarkan suka dan tak suka secara pribadi.
Lebih tegas lagi kita temukan dalam pembukaan buku “The Grand
Design” yang tersohor yang disusun Stephen Hawking dan Leonard
Mlodinow. Di situ dikatakan “filsafat sudah mati” dan pertanyaan
dasar seperti tentang “kodrat realitas” sudah diambil alih untuk
dijawab sains, terutama ilmu fisika.
Ini bisa dianggap kepongahan Hawking, tapi karena saya tak ingin
membahas budi pekerti, lebih baik saya katakan pernyataan itu tak
menyelesaikan pertanyaan yang lebih dasar.
77
Yang tak ditanyakan lagi oleh dua orang piawai itu: mengapa alam
semesta kita kok diatur oleh hukum-hukum sains, “governed by
scientific laws.” Itu pertanyaan Einstein yang tersirat dalam
paradoks yang dikemukakannya. Itu pertanyaan filsafat yang belum
mati.
XVII. 3 Juni: Ardi Kresna Crenata: “Sains, Agama, dan Kesalahan Kita”
78
orang-orang bahwa beragama itu nonsens, bahwa agama tidak layak
dianut apalagi dibela dan diperjuangkan.
Ada juga versi film dokumenter dari buku ini, dengan semangat yang
kurang-lebih sama. Intinya, di The God Delusion Dawkins
memaparkan bahwa ada terlalu banyak hal tak masuk akal di dalam
agama dan sebagai seseorang yang hidup di era modern ia tak habis
pikir orang-orang mau-mau saja membiarkan diri mereka dikekang
olehnya, bahkan tenggelam di dalamnya. Di kata pengantar buku ini,
dengan penuh percaya diri, Dawkins mengatakan bahwa jika
seseorang membaca buku tersebut dengan baik ia pastilah akan
menanggalkan dan meninggalkan agamanya dan menjadi ateis.
79
Kasus ini menunjukkan dua hal. Pertama, nalar positivistik itu
cacat. Kedua, sikap sportif di diri seorang saintis bisa mencegahnya
dari terperosok ke jurang arogansi yang dalam.
80
sesederhana iya atau tidak. Kita harus terlebih dahulu melihat
konteksnya.
Kenapa begitu?
Dan masih ada banyak situasi lainnya. Intinya, kita tidak bisa begitu
saja mengatakan bahwa sains mengungguli agama atau sebaliknya,
apalagi jika keunggulan di sini adalah keunggulan yang sifatnya
absolut. Setiap keunggulan selalu memiliki konteks, dan konteks
inilah yang harus kita lihat dan cermati. Orang-orang yang
mengatakan bahwa sains sudah pasti mengungguli agama sama
kelirunya dengan orang-orang yang mengatakan bahwa agama jelas-
jelas mengungguli sains. Mereka sama-sama tenggelam di dalam
arogansinya yang toksik dan menjijikkan.
82
Lantas apa? Sederhana saja, sebenarnya, yakni bahwa balas-
membalas tulisan "saintifik" dalam upaya menentukan mana yang
lebih unggul antara sains dan agama, apalagi secara fanatik atau
membabi buta, adalah sebuah kekonyolan. Itu sungguh tidak penting
dan salah fokus. Kalaupun mau, yang dibahas di tulisan-tulisan itu
adalah bagaimana sains maupun agama bisa lebih bisa berperan
positif dalam membantu kita mengatasi situasi kritis yang saat ini
tengah kita hadapi.
83
Ini, kata para pendukung sains, berbeda dengan agama. Di sana,
seseorang yang berbeda mazhab atau sekte bisa dikafirkan, dimusuhi,
diadili, bahkan dibunuh. Dalam agama, perbedaan akidah dan
pendapat bisa berujung pada perang.
84
Mari kita telaah, kenapa tidak ada perang karena perbedaan pendapat
dalam sains. Tanpa meneliti lebih saksama hal ini, kita bisa tertipu
oleh "argumen retoris" para pendukung sains itu.
Baik sains dan agama, secara ontologis atau wujudiah, masuk dalam
wilayah yang sama: keduanya adalah bagian dari aktivitas mental
manusia, meskipun dasar-dasar legitimasinya beda; agama
bersumber dari wahyu, sains dari observasi atas data-data empiris.
Tetapi keduanya jelas berbeda secara mendasar dari segi berikut ini:
agama masuk dalam apa yang oleh teolog Lutheran Paul Tillich
disebut sebagai "the ultimate concern", hal yang begitu mendalam
mempengaruhi "psyche", jiwa, dan emosi manusia karena menyangkut
pertanyaan mendasar dalam hidup. Perbedaan dalam hal-hal yang
menyangkut "the ultimate concern" memang rawan menimbulkan
konflik, karena menyangkut emosi yang terdalam pada diri manusia.
85
kontestan. Seorang kritikus seni atau lukisan bisa berbeda dalam
menilai mana lukisan yang paling "menggetarkan", tetapi mereka
tidak saling baku-hantam.
Dua orang Ngawi (ini sekadar contoh saja) tak akan saling
memurtadkan karena salah satunya beranggapan bahwa Soto
Lamongan lebih lezat ketimbang Soto Bangkong. Mereka berbeda,
tetapi tidak akan adu-jotos.
86
Tetapi nasionalisme juga punya sejarah yang amat kelam. Kita
menyaksikan hal ini berkali-kali dalam era modern: Kashmir,
Palestina, Rohingya, Uyghur, Bosnia, Timor-Timur, dan lain-lain.
Apakah sains akan menepuk dada pula bahwa dirinya lebih unggul dari
ideologi nasionalisme karena para saintis bisa berbeda pendapat
tanpa menimbulkan "perang"?
Bedanya hanya satu: dua orang Ngawi itu tidak pongah. Mereka
berbeda soal soto, dan tetap bersahabat, tidak saling mengafirkan.
Tetapi mereka tidak lalu berpikiran bahwa agama, nasionalisme,
demokrasi, dan kapitalisme kalah unggul dibanding soto.
87
Bahwa soto perlu ada, saya sepakat. Tetapi meremehkan dan mengejek
hal-hal lain di luar soto, seolah-olah yang non-soto adalah non-
sense, itulah sejenis kepongahan.
Sekian.
Jika ini arena tinju, yang mereka tampilkan belum pertandingan yang
ditunggu. Mereka baru ada di “babak adu mulut” untuk menunjukkan
siapa mereka. ASL tampil antusias pada sains, sementara GM bersikap
hati-hati dengan antusiasme itu. ASL bilang GM memuja atau -
istilah dia - “berkhidmat pada” Hegel, tapi GM membantah dengan
menyatakan dirinya anti-Hegelian.
88
bagi ASL, seperti Husserl, Heidegger dan tentu saja Popper. Penonton
sudah tidak sabar melihat bogem mendarat ke muka.
Untuk itu saya minta izin untuk masuk ke dalam kancah mereka.
Bukan untuk memenangkan, melainkan untuk sekadar memanaskan.
“Panasnya pertarungan,” kata Bob Marley, ”adalah semanis
kemenangan”.
***
Dalam hal ini GM sepakat dengan Popper, Heidegger dan – jika mau
lebih afdol semestinya juga – dengan Kuhn dan mungkin juga
Feyerabend. Sains tetap hipotetis dan falsifiable. Bukanlah
keyakinan yang diberikannya kepada sains, melainkan kewaspadaan.
Ada roh pasca-Pencerahan yang hinggap di benaknya.
89
Yang di sisi kiri berkata: ”Aku sedang mencari jawaban” dan tidak
terlalu dini merasa menemukannya. Yang di kanan tidak tahan dengan
ketidakpastian pencarian, maka sejak subuh berkata: ”Akulah
jawaban”.
Hal-hal yang di kanan itu jelas tidak disukai GM, bukan karena dia
tidak suka jawaban. Dia tidak suka jawaban yang memasung kebebasan
dan menyeragamkan yang majemuk.
Logis juga kalau dia lalu juga waspada terhadap kekuasaan yang
nongkrong di belakang keyakinan itu, entah itu di belakang sains,
agama atau bahkan di belakang filsafat. Sikap ASL lurus saja seperti
bapak positivisme, Auguste Comte yang mengira mitos diusir
filsafat, dan filsafat diatasi sains. Jelas dia menyambut sains
sebagai pembebas, lalu menengok ke masa silam untuk memaklumkan
bahwa “iman yang gemar menghukum” akhirnya digilas sains.
90
sebagai kebenaran final, tapi pemahaman manusia atasnya tidak
pernah final. Jadi, agama sebetulnya juga terus bertanya tentang
pemahaman yang benar atas wahyu, maka dihasilkan banyak tafsir,
mazhab, sekte, dan seterusnya. Mereka yang tidak tahan dengan
ketidakpastian akan mengalami ‘korsleiting’ di otaknya. Fideisme
lalu menjadi pegangan. Sekonyong-konyong dari sudut mata yang
saleh itu sains tampak sebagai karya iblis.
Filsafat tidak terprivilegi. Dia pun bisa tergoda untuk menepuk dada
dan berujar “Akulah jawaban”. Di saat itu dia berubah menjadi
doktriner yang intimidatif. Rousseau di tangan Robespierre, algojo
Revolusi Prancis, menjelma menjadi doktrin teror. Di bawah
Stalinisme Plato juga bisa mengintimidasi seni dan sastra.
Schopenhauer di tangan Musolini menjadi dogma gerakan. Namun
filsafat itu sendiri tidak ingin “membangun monumen”, seperti
dikira ASL.
***
Sejak tadi saya gatal untuk menggiring debat masuk lebih dalam.
Entah, apakah ada yang tertarik. Ada tiga persoalan. Pertama, agama
dan sains kerap dihadap-hadapkan. Itu tidak realistis. Sains tidak
dapat melepaskan diri sepenuhnya dari peran agama, sekurangnya
secara historis. Max Weber pernah bertanya, kenapa sains modern
berkembang di Barat dan tidak di India? Karena monoteisme
91
menyumbang untuk menghadapi alam bukan sebagai hal gaib,
melainkan sebagai materi yang bisa ditangani. Menolak berhala
adalah awal materialisasi alam dalam monoteisme.
Yang ketiga adalah tentang hubungan antara sains dan dunia makna.
Realitas terdiri atas benda dan makna. Sains berhasil mengetahui
benda. Tetapi bisakah makna didekati oleh sains (ilmu alam)?
Bagaimana mungkin dari benda muncul kehidupan, dan dari kehidupan
muncul kesadaran?
92
XX. 4 Juni: Goenawan Mohamad: “Maaf, Tanpa Judul”
Model jawaban ini juga saya bikin sesuai dengan itu, terpecah-pecah;
berbeda dengan tulisan sebelumnya.
Tentang Ragu
Catatan saya:
***
Catatan saya:
Tentu saya bisa membantah bahwa saya punya “kebiasaan buruk dalam
menulis essay,” dan bahwa saya “cherry-picking” kutipan. Tapi saya
tak anggap perlu membela diri buat satu penilaian yang mirip
adhominem. Saya tak ingin membuat percakapan ini menyimpang —
93
atau jadi pertandingan tinju tempat kita balas membalas pukulan
norak.
Catatan saya:
Saya tak tahu di mana dalam tulisan saya ada kalimat yang
menyatakan “protes kepada sains”. Mungkin Taufiq ketemu tulisan
Goenawan Mohamad yang bukan saya.
Dengan kata lain, tak ada protes saya kepada sains. Dalam jawaban
saya kepada Nirwan Arsuka — orang yang lebih mengenal dunia sains
ketimbang saya — saya bahkan mengatakan: “Saya tak meragukan apa
yang didapat manusia dari sains”.
94
*
Catatan saya:
95
riset dan innovasi. Ukuran GII (Global Innovation Index) memicu
persaingan modal dan kekuatan politik yang terus menerus.
Investasi dalam bidang riset dan pengembangan — yang dijadikan
landasan teknologi baru dan pertumbuhan ekonomi — makin
mendorong sains sebagai pendukung teknologi. Di posisi itu,
kepastian, kegunaan, hasil temuan untuk diterapkan, adalah ukuran
yang dipakai lembaga-lembaga riset. Terutama untuk mendapatkan
dana buat kontinyuitas penelitian.
***
Tentang Husserl
Catatan saya:
96
Kritik Husserl terhadap sains yang sejak Galileo mempertaruhkan
diri pada kuantifikasi menyangkut erat dengan persoalan bagaimana
manusia mengetahui dunia. Fisika ala Galielo melihat alam sebagai
semesta matematis. Dengan kata lain, seperti dikatakan Husserl, ini
adalah “matematisasi alam”.
Dalam penafsiran saya, itu berarti yang tertutup oleh “jubah ide”
dan lain-lain harus ditemui kembali. Artinya kita perlu kembali
berada dalam dunia-kehidupan yang dibangun dari hal-hal yang unik
dan kompleks.
Sebab ada hal lain yang perlu tersingkap. Sains modern tak pernah
mempertanyakan, bagaimana sebenarnya alam semesta, hingga dapat
ditampilkan secara koheren dalam bentuk matematis? Bagaimana
caranya mem-verifikasikan itu?
***
Komentar saya:
98
Ada. Karya seni, misalnya, adalah cara mengetahui dunia tanpa
pembingkaian —jika kita lihat pembingkaian (Gestel) adalah
mereduksi dan menguasai. Hedegger menunjukkan, ketika kita
menghadapi dunia, ketika aku menyambut “yang-bukan-aku” dengan
terbuka dan membiarkannya leluasa, dengan Gelassenheit, tak ada
pembingkaian.
Komentar saya:
***
99
Tentang Saintisme
Komentar saya:
Hal ini sudah saya uraikan cukup panjang dalam tulisan saya buat
Nirwan Arsuka. Mudah-mudahan Taufiq sudi membacanya.
Sekian dulu.
XXI. 5 Juni: Fitzerald Kennedy Sitorus: “Tentang Garis Demarkasi Antara Sains dan
Filsafat dan Kematian Metafisika”
100
Beberapa hari belakangan ini, kita membaca di halaman Facebook
lalu lintas pertukaran pikiran yang bersemangat mengenai sains.
Picu yang melatuk diskusi ini adalah pernyataan Mas GM mengenai
permasalahan-permasalahan sains dalam sebuah seminar online
yang berjudul “Berkhidmat kepada Sains”.
Seandainya batas-batas ini jelas, maka menurut saya kita tidak lagi
menganggap sains sedemikian hebat atau agung, sedemikian
agungnya, sehingga ia dianggap pantas membuat metafisika dan
agama menjadi tidak relevan. Seandainya batas-batas ini jelas, maka
kita akan sadar bahwa, dengan segala keberhasilan dan
kesuksesannya yang memang tidak dapat disangkal, sains tetaplah
sains, ia tidak mungkin melampaui hakikatnya sekalipun ia
sedemikian gemilang; dan sejalan dengan itu filsafat tetaplah
filsafat, dan agama tetaplah agama. Masing-masing memiliki
wilayah, metode, epistemologi dan tugasnya sendiri-sendiri.
Sains
Objek material sains atau ilmu alam adalah dunia pengalaman
empiris, sementara objek formalnya adalah keterukuran objek-
objek empiris tersebut. Sains meneliti alam dengan tujuan agar
fenomena-fenomena alam itu dapat dikontrol, dijelaskan,
dikendalikan, atau diprediksi. Dan untuk itu, sains berusaha mencari
hukum-hukum yang dapat menjelaskan fenomena-fenomena alam
yang diteliti.
103
Upaya mencari hukum tersebut dilakukan melalui metode
eksperimen, observasi, percobaan, perumusan teori dan pengujian
kembali teori tersebut ke dunia pengalaman empiris itu sendiri.
Keterbatasan sains ini diakui oleh para raksasa sains itu sendiri.
Teori Relativitas Khusus Einstein (1905) memperlihatkan bahwa
tidak ada konsep mengenai keseluruhan (das Ganze) yang dapat
dioperasionalkan karena tidak ada sistem referensi yang serba
mencakup dan sempurna; yang ada hanya relasi-relasi dalam sebuah
sistem yang otonom.
104
terbatas“ (Philosophie und Wissenschaft, Hg. Willi Oelmüller, 1988,
hal. 120 dst).
Kedua, sains itu secara tematis reduktif. Artinya objek itu dilihat
atau diteliti dari sudut pandang tertentu (objek formal) yang
terbatas, sedangkan sudut pandang lainnya diabaikan. Sosiologi
misalnya melihat manusia dari sudut pandang keberadaannya dengan
dengan manusia lain, dan mengabaikan aspek-aspek psikologis,
mental atau ekonomis dari manusia-manusia tersebut. Sama hanya,
sekalipun dewasa ini penelitian mengenai neuron-neuron di dalam
otak sudah sedemikian maju, hal itu tidak dapat menjelaskan
keseluruhan fenomena kesadaran (consciousness); fenomena mental
tidak dapat diindentikkan sepenuhnya dengan realitas fisikal-
natural.
106
Kritik Husserl Terhadap Sains
Anehnya, krisis sains itu bersumber justru dari hal yang memberikan
dia keunggulan. Sains berkembang karena bantuan matematika,
terutama geometri.
Apa objek formal filsafat? Tidak lain dari sudut pandang yang
sedalam-dalam dan seradikal-radikalnya. Filsafat merefleksikan
objek materialnya secara sangat mendalam dan radikal. Jadi, kalau
sains bertolak dan berhenti pada pengalaman empiris, filsafat
bertolak dari pengalaman empiris dan melampaui pengalaman
empiris itu. Filsafat tidak puas hanya di permukaan, ia ingin
mencapai struktur terdasar dari sesuatu (ontologi).
109
mau tidak mau terbatas pada pengalaman empiris, filsafat itu tidak
pernah puas hanya dengan mengetahui aspek tertentu saja,
melainkan harus keseluruhan dari aspek yang diteliti itu, termasuk
syarat-syarat kemungkinannya. Itu yang membuat filsafat menjadi
ilmu yang mendalam dan menyeluruh.
Karena itu, filsuf Jerman Karl Jasper pernah berkata secara agak
paradoksal bahwa filsafat memiliki die Spezialität des Allgemeinen,
artinya, bahwa spesialisasi filsafat adalah yang umum.
Sains, justru karena mereka bersifat khusus dan empiris, tidak dapat
menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai makna
eksistensial manusia itu sendiri. Dan tidak ada sains atau ilmu
pengetahuan yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan
eksistensial demikian.
111
apakah itu boleh, dan apakah itu perlu? Pertanyaan ini tidak dapat
dijawab oleh ilmu-ilmu tersebut.
Banyak sekali masalah etis yang sangat serius yang diakibatkan oleh
perkembangan ilmu yang sedemikian cepat dan maju dewasa ini.
Apakah cangkok jantung dengan menggunakan organ jantung hewan
tertentu misalnya dapat dibenarkan secara etis manusiawi? Ilmu
kedokteran mampu melakukan euthanasia, tapi apakah itu dapat
dibenarkan?
Oleh karena itulah jamak terjadi, seorang saintis yang tidak puas
terhadap pendekatan ilmunya sendiri, kemudian belajar filsafat, dan
memperoleh wawasan yang lebih luas dan dapat melihat ilmunya
sendiri dengan lebih kritis. Saintis macam ini kemudian sering
menghasilkan gagasan inovatif dalam bidang ilmunya. Ke dalam
kelompok saintis ini kita dapat memasukkan Thomas Kuhn, Paul
Feyerabend, Imre Lakatos, Karl R. Popper, dan lain-lain.
112
Kematian Metafisika?
113
Metafisika, demikian Kant, adalah hakikat manusia (Metaphysik als
Naturanlage). Mengapa? Jawaban atas pertanyaan ini diberikan Kant
pada kalimat pertama bukunya, Kritik der reinen Vernunft: karena
manusia selalu dibebani oleh pertanyaan-pertanyaan yang tidak
dapat dihindari tapi yang sekaligus tidak dapat dijawab, karena
pertanyaan-pertanyaan itu telah melampaui pikiran kognitifnya,
dan untuk itulah manusia menciptakan sistem-sistem metafisika.
Kesimpulan
Sains itu terbatas. Itu sudah jelas. Tapi itu bukan kelemahan, justru
keterbatasan itulah kekuatan sains. Dengan keterbatasan itu, sains
dapat melakukan penelitian yang sedemikian mendalam pada objek
tertentu sehingga dengan demikian kita memperoleh pengetahuan
yang mendalam mengenai objek tersebut.
114
Saya yakin, sebagaimana ilmu alam maju karena berkolaborasi
dengan matematika, kita juga akan maju melalui kerja sama antar-
ilmu. Inilah menurut saya salah satu kunci kemajuan ilmu
pengetahuan di negara-negara Eropa. Saintis, filsuf, dan teolog
duduk bersama membicarakan tema Tuhan dan Big Bang. Para teolog
dan saintis berdiskusi mengenai bagaimana Tuhan bertindak di dunia
ini.
115
Kita harus mendorong pengarusutamaan sains, namun pada saat yang
sama justru harus makin kritis pula terhadap klaim-klaim
keilmiahan yang sering kali cacat, palsu dan hegemonik (menindas).
Kita tidak hidup di ruang kosong dan dalam dunia yang sempurna.
Anggaran riset ilmiah kita, misalnya, sangat terbatas, yang sudah
jelas membatasi kita dalam mempromosikan "perangai sains"
(scientific temper), bahkan jika kita semua sepakat tentang
keutamaannya.
Ada banyak tema riset sains yang tentu saja bagus jika bisa kita
lakukan semua, dari perikanan hingga rekayasa genetika hingga
eksplorasi antariksa. Tapi, keterbatasan anggaran dan kapabilitas
menuntut kita membuat prioritas. Manakah yang harus didahulukan:
riset pertanian yang bisa mengangkat kesejahteraan petani,
misalnya, atau riset genetika nuklir 4.0 yang jauh dari kebutuhan?
Tidak cukup untuk mengatakan bahwa "sains itu tidak sempurna, bisa
dikoreksi dan tidak final". Banyak persepsi dan pengetahuan kita
tentang produk sains seperti obat-obatan, misalnya, tidak mudah
dikoreksi; semata-mata karena merasuk dalam kesadaran kita lewat
iklan-iklan produk yang masif dari hari ke hari. Ada ketimpangan
relasi-kekuasaan di antara promotor sains.
117
membeli, bahkan bisa diancam pidana jika mencoba menanam
turunannya.
118
Tak terhindarkan: agama yang yakin sebagai pengetahuan yang
diturunkan langsung oleh Tuhan pantas mengangkat diri jadi
pengetahuan paling luhur, agung, lengkap dan sempurna. Kaum
agamawan, dengan niat mulia, kerap menilai pengetahuan rasional
yang sekuler itu sebagai pengetahuan yang rendah, kasar, tak
lengkap, dan berbahaya.
Sejak akhir abad ke-20 hingga hari ini, masih bisa kita dijumpai
literatur yang menyerukan islamisasi pengetahuan. Penulisnya
antara lain adalah Naquib Alattas, Ismail Raja Al-Faruqi atau
Muhammad Mumtaz Ali. Mereka ini masih menganggap sains itu
jahiliyah bahkan kafir dan karena itu harus diislamkan agar benar-
benar jadi pengetahuan yang bermanfaat bagi seluruh alam.
Pembacaan Dekat
Ledakan pandemi Corona adalah rapid test yang sangat bagus untuk
menguji klaim superioritas berbagai jenis pengetahuan. Hasil test
itu segera menunjukkan bahwa agama yang meletakkan diri paling
superior itu ternyata adalah jenis pengetahuan yang paling banyak
diam menghadapi Corona.
119
Sastra dan filsafat menunjukkan sikap yang lebih aktif menghadapi
wabah. Melukiskan dan memberi nama pada objek adalah tindakan
awal dalam pengetahuan. Slavoc Zizek, misalnya, memberi rincian
sumber wabah itu: a sub-layer of life, the undead, stupidly
repetitive, pre-sexual. Arundhati Roy memberi deskripsi yang
sedikit lebih dinamis pada virus itu: unseeable, undead, unliving
blobs dotted with suction pads waiting to fasten themselves on to
our lungs.
Sains memang yang paling awal dan paling gigih membaca COVID-19.
Ketika korban di Indonesia belum berontokan, sains sudah berhasil
mengurutkan genom virus tersebut, dan memberi nama yang bagus:
Sars-COV-2. Nama yang merupakan singkatan dari Coronavirus
Sindrom Pernapasan Akut Berat-2, menjelaskan wujud dan tabiat
virus ini sekaligus asal-usulnya yang adalah galur baru dari
keluarga virus bermahkota yang sudah dikenal sebelumnya. Nama ini
adalah indeks yang baik karena terang menunjukkan lokus virus ini
dalam tatanan hal ihwal.
Dua Mazhab
121
Perdebatan dua mazhab epidemiolog itu bisa juga tampak sebagai
debat antara kaum pragmatis dan kaum idealis. Bagi kaum pragmatis,
data memang tak memadai, namun tindakan harus segera diambil
untuk mencegah lebih banyak korban. Kaum idealis setuju intervensi,
tapi dasar tindakan itu harus memenuhi syarat ilmiah yang ketat.
Sains tanpa pembuktian yang kokoh, tentu saja bukan sains lagi.
Posisi kaum idealis ini jadi kian penting ketika ditemukan bahwa
wabah ternyata menghantam lebih keras kalangan miskin dan
kelompok marjinal tertentu, sehingga model yang tak peka kelompok
rentan ini harus dirombak.
Kerja sama antar ilmuwan membuat hasil bacaan yang semula berbeda
dapat diuji bersama untuk kemudian diramu dengan totalitas
pembuktian. Metasains ditegakkan. Asal diberi waktu yang memadai,
sains optimis akan dapat menemukan obat yang diperlukan.
Permainan Bersama
Jika sains sanggup ambil manfaat dari Corona, agama juga bisa. Kalau
agama tak berubah setelah pandemi, maka tuduhan yang pernah
diajukan Martin Heidegger untuk sains, yakni “tidak berpikir”
mungkin cocok dilimpahkan ke agama. Pelajaran yang bisa langsung
disebar adalah bahwa agama dapat memberikan sumbangan besar,
123
justru jika ia bungkam dan tak ngotot menyumbang. Etika publik dan
transaksi argumen yang demokratis jadi kian perlu dijunjung.
Khazanah religius memang kekayaan privat paling berharga buat
para penganutnya, yang mungkin ditawarkan, tanpa paksaan dan
pengistimewaan, untuk memperkaya khazanah publik.
Pilihan yang lebih asyik, yang juga berlaku untuk sastra dan filsafat
tentu saja adalah memasuki tatanan baru (new normal) dengan
menjadi penonton yang literate, yang paham aturan main sains dan
mengikuti perjuangan ilmu yang terbatas dan tak sempurna itu untuk
memahami dan menjinakkan wabah besar yang sama sekali tak punya
rasa hormat pada kedaulatan wilayah, keagungan ibadan dan segala
jenis konstruksi sosial manusia.
Selamanya.
Saya dalam status ini, ingin ikut berbagi pikiran bahwa saintisme
itu adalah pandangan yang menyempitkan sains. Sains hanyalah salah
satu cara manusia mengerti realitas. Ada banyak cara lain manusia
124
bisa mengetahui realitas, misalnya bisa melalui filsafat, teologi,
mistisisme dan seterusnya. Ketika seseorang mengatakan bahwa
realitas hanya bisa diketahui melalui sains, itu adalah “saintisme”.
Menurut saya, sains itu mempunyai dua muka. Jika kita menganggap
bahwa apa yang kita saksikan dalam fenomena sains itu adalah
"sebuah kenyataan yang sempurna," maka kita akan melihat sains
sebagai hanya kebenaran inderawi.
125
5. Cara-cara tersebut memerlukan penyuburan (cultivation)
atau penyemaian.
Tesis 1: Sesuatu Itu tidaklah seperti apa yang kita lihat pada
lahiriahnya.
126
kemungkinannya ia adalah sukar atau sekurang-kurangnya sukar
seperti fisika modern, atas sebab yang sama.
Dalam konteks ini, ada do’a yang “aneh” dari Kitab Suci Yahudi dan
Kristen, “Maka didiklah kami menghitung hari-hari kami, semoga
akan terbit kearifan di hati kami” (Mazmur 90:12).
Tesis 2: Selain dari yang kita lihat pada sisi lahiriahnya, terdapat
"sesuatu yang lebih" dari itu, Dan “itu” menakjubkan.
Kita sudah melihat bahwa sifat sebenarnya dari “sesuatu itu,” secara
radikal “berbeda” dari yang tampak. Mereka, para saintis menyetujui
bahwa "yang berbeda" itu, lebih tinggi tingkatannya dari segala yang
kita alami dalam penglihatan sehari-hari.
127
agama biasanya mengatakannya dengan cara kualitatif, misalnya
"Penderitaan yang kita alami pada masa kini tidak seberapa besar
dibandingkan dengan kemuliaan dan keindahan yang akan kita alami
kelak."
Dari fisika mikro, kita juga mengetahui bahwa adanya zat yang 100
miliar kali lebih kecil dari elektron. John Weller memberitahukan
kita bahwa cakrawala yang kita ketahui ini, 13 miliar tahun umurnya,
dan 26 miliar tahun cahaya yang terjauh, jauhnya dari bumi. Angka-
angka ini mempunyai platform yang begitu besar, sehingga
menjadikan sains berkata secara mistis, sebagai tak terbatas atau
tak tergambarkan, maka dianggap “infinite”.
Tesis 3: "Sesuatu yang lebih" itu, tidak dapat diketahui dengan cara
yang biasa dilakukan.
Contoh paling terkenal tentang sifat ini adalah cahaya, yang bisa
diamati sebagai gelombang elektro-magnetik atau partikel-
partikel foton, tergantung dari rancangan percobaan yang
diterapkan padanya. Niels Bohr menjelaskan ini melalui prinsip
komplementaritas. Prinsip ini mengatakan bahwa, gambaran dunia
subatomik sebagai partikel dan gelombang merupakan dua
penjelasan yang saling melengkapi tentang satu kenyataan yang
sama, kendati kita tidak bisa memperolehnya secara sekaligus.
Percobaan yang dirancang untuk mendeteksi gelombang hanya dapat
mengukur aspek gelombang dari elektron. Sedangkan percobaan yang
dirancang untuk mendeteksi partikel, hanya dapat mengukur aspek
partikelnya. Sebuah percobaan tak mungkin mengukur kedua aspek
itu secara serempak.
129
mengasumsikan adanya dunia di luar sana dalam keadaan pasti, dan
tak tergantung pada tindakan pengamat, maka kedua prinsip ini
menampilkan gambaran kenyataan yang sebaliknya: pengamat dan
yang diamati saling berkaitan erat.
130
alam semesta. Ini merombak secara menyeluruh pandangan klasik
tentang kausalitas yang terbatas pada efek-efek lokal.
Pada tahun 1951, David Bohm melihat aspek lain dari percobaan
Enstein, Podolsky dan Rosen. Sambil melanjutkan keraguan Enstein
perihal prinsip ketidakpastian, David Bohm berpendapat bahwa
prinsip ini muncul hanya karena ketidakmampuan kita untuk
menjelaskan sesuatu yang lebih mendasar dari teori kuantum.
Apa yang kita lihat dari perkembangan sains baru ini, menuntut kita
"berjalan lebih jauh." Pada mekanika kuantum, sebagaimana
dikatakan Schilling dalam The New Consciousness in Science and
Religion, bahwa, "Kesimpulan...akan paradoks materi-gelombang...
dicapai... dengan memakai simbol matema¬tika semata (tentang
131
mekanika kuantum), dan pada umumnya dengan mengelakkan konsep
yang mempunyai gambaran-gambaran." Ini memunculkan semacam
."visi mistik," dalam sains yaitu:
Pertama, visi alam yang baru itu adalah sesuatu yang terlalu hebat
untuk diungkapkan dengan kata-kata. Apa yang diketahui adalah
terlalu sedikit, atau masih jauh dari pengetahuan biasa, dan hampir
tidak dapat dinyatakan atau dikabarkan kepada mereka yang tidak
terlibat dalam bidang itu.
132
dicapai dengan usaha, tetapi hanya mereka yang benar-benar
beru¬saha untuk mendapatkannya saja, akan menemuinya."
Akhirnya
133
mistik yang banyak membicarakan tema-tema seperti kesadaran.
"Consciousness and the physical universe are connected," begitu
kata Michael Talbot, seorang penulis buku-buku bertemakan fisika
baru dan mistisisme. Melalui mistik dan sains, muncullah apa yang
sekarang disebut "the cosmic connection". Dan rupanya, ini hanyalah
istilah untuk zaman sekarang. Padahal, dahulu kala sudah dikenal
dan populer dengan istilah “kesatuan wujud”.
XXV. 6 Juni: Hamid Basyaib: “Tentang Cicak Sains dan Ekor Filsafat”
Badan saya sudah lengket dengan keringat. Dan dalam keadaan lapar
karena tak pernah diajaknya masuk ke restoran, saya diturunkan
begitu saja di tengah jalan -- saya bahkan tidak diantarkan kembali
134
ke rumah saya dan tak diberi ongkos pulang. Saya benar-benar
nelangsa; batin saya hampa dan terombang-ambing tak tentu arah.
Maka saya berencana mengirimkan somasi kepada dia, dan kalau dua
kali somasi saya tak digubris, saya akan mendatangi kantor Yanmas
(Pelayanan Masyarakat) di Polda Metro Jaya. Orang itu telah
membuat saya jengkel, menderita dan putus asa.
Begini bunyinya: "Sains itu terbatas. Itu sudah jelas. Tapi itu bukan
kelamahan, justru keterbatasan itu kekuatan sains. Dengan
keterbatasan itu sains dapat melakukan penelitian yang sedemikian
mendalam pada objek tertentu sehingga dengan demikian kita
memperoleh pengetahuan yang mendalam mengenai objek tersebut."
Jadi, terbatas itu kuat, bukan lemah. Orang yang ceking dan jalannya
sempoyongan adalah atlet angkat besi yang potensial; bisa juga jadi
petinju seperti Ariel Noah, eh Mike Tyson (Ariel itu penyanyi, kata
keponakan saya).
135
Keterbatasan itu, kemudian disebutnya "pembatasan diri", bukan
hanya terjadi pada sains. "Pada filsafat juga itu terjadi", katanya,
mantap.
Jadi, berarti sains dan filsafat sama-sama terbatas dan karena itu
sama-sama kuat? Sitorus tidak menyimpulkan apakah dengan
kesamaan itu sains dan filsafat akan seri (draw) jika bertarung.
Selalu ada yang baru dalam proposisi Sitorus. Tupoksi ilmu dan
filsafat, sebagai "kedua disiplin ilmu", ternyata berbeda, jadi harus
ditarik demarkasi.
136
dan rantingnya? Fisika itu mempelajari berbagai daya dan energi dan
gelombang di alam semesta, bukan tentang manusia -- meskipun ada
"fisik" di situ. Kimia juga mempelajari beraneka ragam zat, termasuk
untuk membuat pestisida, cat tembok dan pewarna kain.
Cicak sains sudah pergi jauh, jauh sekali, sambil menumbuhkan ekor
baru yang sangat besar dan bermanfaat. Sahabat saya, Fitzgerald
Kennedy Sitorus namanya, terus menggenggam ekor filsafat.
137
XXVI. 6 Juni: Husain Heriyanto: tidak ada judul
TANPA JUDUL
Bahasa dan sastra (sistem penanda) memang penting tapi makna dan
realitas (sistem petanda) yang dirujuk bahasa lebih penting. George
Sarton, seorang peneliti dan penulis sejarah sains terkemuka asal
Harvard University, menulis “Sebagian besar penulis (most men of
letters) dan, maaf saya tambahkan, tak sedikit saintis, hanya
mengetahui sains melalui pencapaian-pencapaian materialnya,
tetapi mengabaikan spirit ilmiahnya dan gagal memahami keindahan
internal sains sebagai usaha mengesktraksi alam semesta” (A
History of Science, 1952).
138
peradaban sains modern adalah “perkembangan sains di manapun dan
periode apapun tidak terjadi tiba-tiba yang muncul dari kevakuman
nilai kultural dan spirit zaman yang melambari dinamika
sains”. Sarton menggarisbawahi kelahiran sains sebagai bagian
integral dari usaha manusia memahami diri dan dunia dengan segala
persoalannya.
Menarik pula dicatat, hampir di kurun waktu yang sama, ketika sains
modern mencapai perkembangan revolusioner yang menakjubkan
dengan kemunculan teori relativitas Einstein dan mekanika kuantum
(Niels Bohr, Heisenbeg, Schrodinger), Karl Popper menulis The Logic
of Scientific Discovery (1959). Uniknya, melalui pendekatan yang
berbeda, yaitu historis (Sarton) dan logika formal-material
(Popper), setelah mendedah dengan penuh seksama dan rinci
bagaimana sains itu berkembang, keduanya menyimpulkan bahwa
teori-teori saintifik adalah hasil dari imajinasi kreatif yang
diproses dan dikonstruksi oleh pengujian yang terpola dan
terstruktur.
Pengujian yang terpola dan terstruktur itu berasal dari mana? Tidak
lain ia berasal dari logika. Di mana logika itu? Ia hadir dalam
pikiran. Ibn Sina mendefinisikan logika sebagai perangkat metodis
berupa prinsip-prinsip dasar berpikir yang jika dioperasionalkan
akan mencegah kesalahan pemikiran (Isyārāt wa Tanbīhāt,
bab Manthiq). Ibn Sina dengan jeli menggunakan frase “mencegah
kesalahan pemikiran” (al-khathā-i fī al-fikr) karena peran kunci
logika (formal) terletak dalam pencegahan kesalahan pemikiran,
bukan pencarian kebenaran.
Tapi, kenapa hanya dokter atau ahli virus yang bisa mengidentifikasi
gejala-gejala COVID-19? Bukankah banyak orang yang telah
terinfeksi COVID-19 tersebut yang artinya mereka telah memiliki
pengalaman inderawi dan imajinatif? Kenapa hanya dokter yang bisa
140
mengidentifikasinya padahal sebagian besar dari mereka tidak
mengalami langsung gejala-gejala COVID-19 tersebut?
Sebagai contoh, ketika kita memanaskan air dengan kompor gas lalu
air itu mendidih, maka akal kita menciptakan konsep (dalam filsafat
Islam dikenal dengan intizā’) tentang relasi kausal antara dua
peristiwa, yaitu panas sebagai penyebab dan mendidihnya air sebagai
akibat. Bukti nyata konsep sebab itu adalah konsep filosofis
terletak pada keadaan bahwa kita tidak bisa menunjuk contoh
partikular sebab itu.
Dengan kata lain, sains meminjam dari filsafat karena konsep sebab
akibat hanya dibuktikan melalui akal semata. Jadi, rukun iman
pertama sains itu adalah percaya kepada hukum sebab akibat. Tentu
banyak konsep filosofis lain yang telah diasumsikan dan diterima
begitu saja oleh para saintis seperti “ada”, “tiada”, “mungkin”,
“niscaya”, “mustahil”, “keteraturan”, “chaos”, “tatanan”, “alam
semesta”, “kemanusiaan”, “keadilan”, “kebebasan”, “awal”, “akhir”,
“cita-cita”, “visi”, “titik nol”, “kehendak”, “sistem”, “keseluruhan”,
“bagian”, “teori”, “kebahagiaan”, dan seterusnya yang tidak mungkin
kita hidup tanpa konsep-konsep ini.
Uraian yang agak detail ini (tentu jika kita bicara konstruksi sains
harus siap berbicara dengan nalar logis-analitis dan tidak berpuas
diri dengan narasi besar yang miskin eksplanasi) saya posisikan
sebagai pemicu diskusi tentang sains secara lebih konstruktif dan
mulai memasuki gelanggang perdebatan ilmiah.
143
XXVII. 8 Juni: A.S. Laksana: Sains yang Meringkus, Manusia yang Tidak Aman
Dan saya berbuat manusiawi sekaligus dua. Selebihnya, dari judul itu
kita bisa menarik gambaran bahwa kurang lebih seperti itulah
pengetahuan berkembang menurut Popper. Satu pernyataan bisa
dibuktikan salah oleh pernyataan lain, dan seterusnya. Jika
pernyataan saya lebih kuat, pernyataan Goenawan harus menyingkir.
Jika pernyataan Goenawan lebih kuat, pernyataan saya terkubur.
Anda bisa mengganti kata ‘pernyataan’ dengan ‘teori’.
Kutipan Popper yang saya sebut pada paragraf di atas ada dalam
pernyataannya yang lebih panjang tentang pengetahuan:
Yang terpenting dari pernyataan itu adalah “bisa keliru”, dan itulah
karakteristik semua pengetahuan. Karena itu Popper merumuskan
pengetahuan atau teori sebagai sebuah konjektur—sebuah dugaan
atau konklusi sementara atau hipotesis yang disusun dalam
144
keterbatasan informasi—ia selalu bisa disangkal atau dibuktikan
salah.
***
145
berhari-hari tapi update feed dan story? Tanya, Tadz, apa hukumnya
menikah dengan teman sekantor? Tanya, Tadz, bolehkan memukul
anak yatim? Tanya, Tadz, saya ini kan punya kepribadian dan
kepribadian itu pemberian Allah. Bolehkah kita mengubah
kepribadian yang diciptakan oleh Allah? Tanya sedikit, Tadz,
benarkah ada khasiat kencing unta dan bagaimana sebenarnya hukum
meminum air kencing unta?
Saya akan meragukan kewarasan saya sendiri jika tidak sedih oleh
fakta-fakta seperti itu. Hawe Setiawan mengirimi saya foto buku
Bertrand Russell “Dampak Ilmu Pengetahuan atas Masyarakat”, dan
di bawah foto itu ia membuat saran: Sepertinya tulisan yang cocok
untuk gejala saat ini adalah “Dampak Masyarakat atas Ilmu
Pengetahuan”.
Kalaupun semua pusat sains ditutup, saya akan tetap berpikir bahwa
scientific temper patut dikedepankan dan disuarakan terus-
menerus. Anda tidak harus memuja sains dengan mata berbinar-binar
untuk mengembangkan perangai ilmiah. Dan perangai ilmiah tidak
akan menghalangi Anda untuk bersikap kritis terhadap sains.
***
147
Jadi, keajekan atau gejala yang lazim saya temui dalam kenyataan
orang-orang yang jatuh cinta tidak berlaku untuk menggambarkan
hubungan Goenawan dan Hegel. Di luar cinta, kebencian juga
mendorong orang rajin membicarakan orang lain; kita bisa
menjumpainya dalam propaganda untuk menjatuhkan lawan politik.
Tetapi saya tidak yakin itu motif Goenawan dalam kesukaannya
merujuk Hegel. Ia dan Hegel tidak dalam pertarungan politik, dan
Hegel sudah lama mati.
Saya tak akan membela diri dari tudingan itu. Barangkali memang ada
kesan bahwa saya sedang memperhadapkan sains dengan agama di
dalam tulisan saya. Mungkin itu terjadi karena saya kesulitan
memahami kolom “Entah”, sehingga tanggapan saya terhadap kolom
148
itu tampak oleh Goenawan seperti tindakan orang gila: memukuli
memedi sawah.
Saya bisa menjelaskan apa yang saya alami saat membaca kolom itu.
Namun, sebelum dinyatakan salah memahami atau keliru
mengidentifikasi masalah atau kurang informasi, saya akan
mengakui bahwa saya tidak mampu menangkap apa isi pikiran yang
ditawarkan: Saya hanya menemukan cipratan-cipratan seperti saya
menyaksikan lukisan ekspresionis.
149
lebih “baik” semua orang “tidak mengetahui” agar “kemurnian” tetap
“terjaga”?
***
Faktanya, jagat raya terbentang dan banyak hal tidak diketahui dan
manusia berusaha tahu. “Ada apa di sana? Lalu ada apa lagi di sana?
Lalu ada apa lagi di sana?” Rasa ingin tahu semacam itu melahirkan
geografi, sebuah ilmu yang menjawab pertanyaan: “Ada apa saja di
sana?” Sejumlah pendapat menyatakan bahwa geografi adalah induk
ilmu pengetahuan.
150
Rasa ingin tahu tidak sekadar melahirkan jawaban, tetapi rasa ingin
tahu berikutnya, dan begitu terus hingga hari ini. Manusia
memerlukan model untuk mempresentasikan pengetahuannya dan
juga untuk menguji hipotesis. Guru SD menggunakan bola dan lampu
senter untuk menjelaskan terjadinya siang dan malam. Arsitek
membuat maket untuk mempresentasikan bangunan yang hendak
mereka wujudkan. Museum menampilkan diorama. Para ilmuwan di
laboratorium Bern, Swiss, menggunakan lalat buah untuk menguji
hipotesis mereka tentang gen penyortir sel-sel rusak yang jika
digandakan akan membuat manusia berumur lebih panjang. Gen itu,
mereka manamainya Azot mengikuti nama dewa pelindung nelayan
bangsa Aztec, ada pada manusia dan lalat buah. Laporan penelitian
mereka menginformasikan keberhasilan percobaan itu: Umur lalat-
lalat buah mereka bertambah antara 50-60 persen ketika gen Azot,
yang semula hanya dua, mereka jadikan tiga.
Kita tahu bahwa tidak semua aspek dalam kehidupan bisa dialami
langsung atau diinderai. Jagat raya, dengan seratus miliar galaksi,
terlalu besar untuk dialami langsung oleh tubuh manusia. Molekul
terlalu kecil. Bagaimana cara memahami perilaku benda-benda di
jagat raya dan kromosom di dalam tubuh dengan pendekatan Husserl
dan Heidegger atau siapa pun yang menyarankan pengalaman
langsung dan persentuhan inderawi? Apakah saran mereka relevan
untuk cabang pengetahuan biologi molekuler?
Saya pikir dia agak gila. Pertama-tama, keindahan yang dia lihat
bisa dilihat oleh orang lain dan oleh saya juga. Meskipun pemahaman
estetika saya tidak sebaik dia, saya bisa menghargai keindahan
bunga. Dan, pada saat yang sama, saya melihat lebih banyak lagi
tentang bunga itu daripada yang dia lihat. Saya bisa membayangkan
sel-sel dan tindakan-tindakan rumit di dalamnya yang juga
memiliki keindahan.
***
153
kemiringan bayang-bayang di kota kelahirannya Cyrene (Aswan
sekarang) berbeda dari derajat kemiringan di Aleksandria.
Jawaban yang benar adalah N=2A. Maka, kita bisa mengatakan bahwa
N=2A adalah model matematis yang mewakili perbandingan jumlah
burung nuri dan anjing di rumah Tini.
***
154
tahu dalam dua paragraf yang membuat langit-langit rumah saya
seolah runtuh seketika menimpa kepala.
“’We are told that by its aid the stars are weighed and the billions
of molecules in a drop of water are counted. Yet, like the ghost of
Hamlet's father, this great science eludes the efforts of our mental
weapons to grasp it.’ — Alfred North Whitehead, dalam “An
Introduction to Mathematics”.
155
sains yang hebat ini ternyata sulit dipahami—ia selalu menghindar
dari upaya kita memahaminya.
Saya pikir Mas Goen tidak perlu melakukan hal itu. Dengan cara ia
mengutip Whitehead, kita bisa melihat bagaimana seluruh
tudingannya, yang menggunakan argumen Husserl, berbalik ke
arahnya: Ia menyembunyikan, ia mereduksi, ia membuat disinformasi.
Saya menyampaikan hal ini dengan ingatan terhadap hal yang paling
ditekankan dalam kerja jurnalistik: Berkomentar itu bebas, tetapi
fakta itu suci. Tulisan Goenawan, dengan banyak kutipan narasumber,
saya baca sebagai semacam laporan jurnalistik yang rumit.
Penekanan saya pada jurnalistiknya, bukan rumitnya. Sebagai
laporan jurnalistik, semestinya ia menjunjung tinggi fakta di atas
kepentingan pribadi penulisnya.
156
Dari Budiono Darsono saya mendapatkan pengetahuan bahwa
komentar narasumber adalah fakta jurnalistik. Itu memperbaiki
pemahaman saya yang sebelumnya hanya menganggap setiap
komentar sebagai opini. “Bagi orang yang mengucapkan, itu memang
opini,” kata Budi. “Tapi bagi wartawan, ia fakta jurnalistik. Kita
tidak boleh memelintirnya.”
***
157
Untuk hari ini manusia tidak takut lagi pada binatang buas,
kebanyakan dari mereka sudah punah dan yang masih ada hampir
punah, tetapi manusia masih mempertahankan perasaan tidak aman
pada manusia lain di luar kelompoknya.
Untuk yang sudah telanjur tua, saya pikir kita harus berani
memeriksa apa yang tersimpan di dalam kepala kita.
Suatu sore, tiba-tiba menyeruak pesan sebaran berisi esai Pakde A.S.
Laksana dan Pakde Goenawan Mohamad. Tidak berselang lama,
menyusul tulisan-tulisan sejenis dari begawan yang lain. Termasuk
Pakde Ulil Abshar Abdalla. Ini jarang terjadi.
158
Langka sekali ponsel saya diserbu broadcast messages berdaging
semacam itu. Biasanya, yang kerap mampir justru iklan-iklan dengan
bujuk rayu surgawi.
Satu demi satu saya tekuni. Topik serta sudut pandangnya menarik.
Tidak selumrah yang biasa saya baca. Rasanya seperti menyaksikan
sebuah arena diskusi yang tenang tapi menghanyutkan. Masing-
masing menawarkan pendapat menggoda.
Beberapa hal yang bisa saya jangkau dari catatan-catatan itu antara
lain sebagai berikut.
159
Hanya saja, terdapat bagian-bagian yang membuat dahi saya
berkerut. Yakni, saat Sains dipotret sebagai penyedia kebenaran,
bahkan kepastian, terhadap realitas kehidupan.
Namun sebelum jauh, perlu saya sebut di sini, bahwa penggunaan kata
Sains pada catatan setelah paragraf ini, merujuk pada maksud Sains
natural.
Sengkarut Benar-Salah
Begini ceritanya.
Dimulai dari alat utama pencarian dalam Sains, yakni: metode ilmiah.
Perhatikan tahapan-tahapan dalam metode ilmiah itu. Masih ingat?
Kurang lebih sebagai berikut.
160
salah. Dinyatakan di dalamnya, hanya ada dua jenis sumber
pengetahuan: penalaran atau logical reasoning, dan pengamatan
langsung atau empirical experience. Gagasan tersebut berdampak
pada validasi atas hipotesis. Artinya, hipotesis dengan kebenaran
yang dapat dicek, hanyalah yang bisa diobservasi langsung.
Lalu Karl Popper, satu dari sekian filsuf Sains berpengaruh pada
abad 20, membantu menawarkan falsifiability sebagai garis
demarkasi atas benar dan salah. Dia bilang, “Hanya pernyataan yang
mungkin disalahkan, yang bisa dianggap sebagai bagian dari
hipotesis Sains”.
161
benar, sebelum terbukti salah. Pertanyaan lanjutannya adalah,
kebenaran atas apa?
Tapi ada masalah besar di sini. Real world tidak pernah membuat
pernyataan apa-apa atas itu!
162
Jika kriteria kebenaran adalah koherensi internal di dalam model,
maka mustahil memastikan keabsahan obervasi atas realitas, telah
benar-benar sesuai dengan kesejatian realitas itu sendiri.
Truth pada real world jadi hilang karena pandangan ekstrim, bahwa
semua yang disebut kebenaran hanyalah konstruksi individu.
Kebenaran tergantung pada referensi masing-masing individu. Ini
163
bikin susah. Terutama saat truth atau derajatnya, diperlukan untuk
mengambil keputusan penting yang menyangkut hajat orang banyak.
Jalan Tengah
Adalah Ram Roy Bhaskar, seorang filsuf asal Inggris yang melahirkan
pendekatan Critical Realism. Pemikiran tersebut termaktub dalam
bukunya, A Realist Theory of Sains, yang terbit tahun 1975. Bhaskar
membuat gebrakan, dengan memisahkan antara real world dan
observable world.
Terlihat jelas, bahwa real world memang tak tersentuh sedikit pun.
Sains hanya membangun model, sedikit demi sedikit, hipotesis demi
hipotesis. Masa berlakunya sendiri tergantung dengan tingkat
kongruensi hipotesis tersebut pada fenomena yang tengah diuji. Jika
ada yang lebih presisi, usanglah dia!
164
Tapi tunggu dulu. Coba kita tanya Matematika!
165
perkalian, maka kita bisa mengambil relasi, bahwa submodel Sains
yang menggunakan Matematika, telah mengandung properti ekspresif
ini.
Nanti dulu.
166
Jika dua sistem⎯Agama dan Sains⎯saling dihadapkan dalam lapangan
kebenaran, tentu mereka memiliki narrative of reality berbeda.
Masing-masing punya aksioma, metode deduksi, dan konklusi
sendiri. Satu sama lain tidak akan pernah bisa saling membuktikan
kebenaran sistemnya kepada sistem yang lain. Ataupun membuktikan
kebenaran sistem lain dengan sistemnya sendiri.
167
Jalan pemecahan masalah, mesti diawali dengan mengakui serta
mendefinisikan terlebih dahulu masalah tersebut. Ini pemahaman
mendasar yang sudah lazim kita mengerti. Dan ketika pandemi
COVID-19 meledak, definisi masalah lahir dari model Sains.
Wajah Indonesia
168
In Respect to Wicked Problems
Eksplorasi Posibilitas
Mari belajar sedikit dari sistem yang sampai saat ini memiliki
koherensi paling solid, yakni Matematika. Simbol-simbolnya mampu
membawa kita ke tempat-tempat sukar dijangkau pengalaman.
Kerumitan dimensi hasil prediksi fisika yang sulit dibayangkan,
akan mudah dialami melalui simbolisme Matematika.
169
Bahasa Matematika tidak menghilangkan esensi manusia pada Sains.
Ketidakpahaman pada bahasa Matematika formal, sama seperti
kepelikan kita memahami bahasa orang-orang dari negeri-negeri
yang tidak terekspos media massa kelas internasional. Dan itu tidak
menghilangkan kemanusiaan, bukan?
Coda
Real world mungkin akan terus diam. Tapi dia tak pernah gagal
mengikuti apapun yang kita jogetkan. Untuk kita yang hidup bersama,
mungkin nada memang berbeda, tapi simfoni tetap harus
ditembangkan. Barangkali bisa membawa kita ke tempat yang belum
pernah terbayangkan.
170
paradigma yang koheren, substantif, non-superficial. Kita bisa
mengombinasikan dua paradigma, namun agak mustahil
menyatukan ketiganya. Mampu menjadi orang yang taat beragama,
mendalami filsafat, sekaligus antusias pro-sains.
171
worldview; ketidakpastian dan kontingensi makin mendapat
tempat dalam sains.
172
kembali (second coming) Yesus. Dalam kalkulasinya Yesus akan
datang kembali ke dunia pada tahun 2060, diikuti dengan
berdirinya Kerajaan Allah di bumi yang akan bertahan hingga
akhir zaman.
173
pada 28.000 tanaman kacang. Semula ia bereksperimen dengan
kucing, namun gereja melarang, dan menggantinya dengan tanaman
dan lebah. Ketika itu, tahun 1860-an, ia mengidentifikasi adanya
“faktor tak terlihat” (kemudian dinamai “gen”) yang bertanggung
jawab mewariskan ciri-ciri spesifik ke keturunan. Ia sendirian
menemukan hukum yang mengatur genetik yang diwariskan (Hukum
Mendel), yang berlaku untuk semua makhluk hidup. Temuannya
kemudian memperkuat Teori Evolusi Darwin dan sains genetika
molekuler.
174
Mendel juga demikian. Hukum Genetika lahir bukan karena ia
adalah seorang rahib Katolik, yang mendapat “inspirasi
keilahian”, melainkan karena studi sains yang ia tekuni
sebelumnya di universitas dan sikap rasa ingin tahu yang besar
pada kehidupan. Sama halnya dengan Darwin, paradigmanya
berubah setelah mengobservasi bagaimana cara kerja alam. Ia
mengurungkan niatnya menjadi pendeta setelah menyaksikan
keragaman kehidupan yang dinamis, tidak statis sebagaimana
tertulis di Alkitab.
175
gaya gravitasi. Sebagaimana air yang memiliki substansi
(medium) penyebab permukaan air bergelombang, maka suara,
cahaya, dan gravitasi diduga juga memiliki medium.
176
konsep “dark matter ” atau “dark energy”. Termasuk dunia super-
kecil, partikel sub-atomik, yang misterius. Sebuah “dunia ghaib
lain” yang selama ribuan tahun peradaban manusia menjadi
misteri yang memesona agama atau penganut mistik. Keghaiban
itu bisa dideteksi dan dijelaskan melalui sains mekanika quantum
(Quantum mechanics).
177
perubahan kecil (sistem atau kondisi) bisa berakibat perbedaan
besar. “Kepakan kupu-kupu di China bisa menyebabkan badai di
Amerika.”
178
Fisikawan Stephen Wolfram melanjutkan kerja-kerja Mandelbrot
untuk memecahkan misteri bagaimana proses alam semesta dan
seisinya terbentuk. Dalam “A New Kind of. Science” (2002) ia
memaparkan dan menyimulasikan prosesnya melalui program
komputer. Ia menyimpulkan, alam semesta adalah keragaman yang
berkembang dari program sederhana yang berbasis pada hukum
fundamental fisika, kimia, biologi, dan sains lainnya.
179
ideas, combined with the most rigorous, skeptical scrutiny of all
ideas, sifts the wheat from the chaff.”
Ada dua isu dalam premis yang dinarasikan FBH ini. Pertama,
bagaimana sains membantu manusia memaknai dunia. Kedua,
bagaimana proses kehidupan dan kesadaran muncul. Isu pertama,
sains beririsan dengan filsafat. Isu kedua, sains beririsan dengan
spiritualisme agama, atau keyakinan.
180
akan memberikan makna yang berbeda. Lain halnya dengan upaya
mencari penjelasan tentang asal-usul kehidupan dan bagaimana
proses kehidupan itu kemudian memunculkan kesadaran. Asal-
usul kehidupan dan munculnya kesadaran adalah dua pertanyaan
paling sulit untuk dijelaskan dan dibuktikan oleh sains. Namun
upaya menjawabnya sudah dimulai, yang pertama melalui
Abiogenesis, yang kedua melalui Neurosains.
182
subjektifitas pemahaman atau paradigmanya. Hidup bisa
memunculkan beragam makna: sebagai pewahyuan, kehendak,
cerita, permainan, tragedi, komedi, petualangan, pelajaran, dan
sebagainya. Upaya memaknai hidup ini telah menginspirasi
lahirnya berbagai karya seni kreatif yang inspiratif.
183
harmonis dengan lingkungan alam dengan menggunakan nalar,
melatih disiplin mengendalikan hasrat, tindakan, dan perasaan.
Hidup yang baik, bagi penganut Stoicism, adalah bagaimana
menggunakan nalar untuk meningkatkan harkat masyarakat.
Dunia agama penuh dengan kisah menarik dan ajaib tentang masa
lalu, yang bisa menjadi pelajaran. Dunia filsafat penuh dengan
gagasan spektakular-spekulatif, yang bisa memancing pemikiran.
Dunia sains penuh dengan temuan fakta dan perspektif baru, yang
bisa memupuk pengetahuan dan imajinasi. Banyak hal sudah bisa
dijelaskan dan dideskripsikan oleh sains dengan baik, namun
masih banyak “terra incognita” yang masih menjadi misteri. Sains
bisa mencari inspirasi dari kisah-kisah agama atau pertanyaan
filsafat.
184
Trilema tidak perlu ada jika kita mampu memilah paradigma
tafsir sesuai proporsi otoritasnya. Gunakan agama untuk
meyakini (devotion), filsafat untuk memikirkan (wisdom), dan
sains untuk menjelaskan (the nature of devotion and wisdom).
Merenungkan makna dan berserah pada keagungan semesta
(Tuhan), gunakan agama. Memikirkan hakikat makna secara
spekulatif (exercise thinking), pakai filsafat. Mendapatkan
penjelasan yang valid dan akurat tentang realitas dunia
(evidence-based), pilih sains.
***
XXX. 9 Juni: Bambang Sugiharto: Masih Perlukah Sains, Filsafat, dan Agama”
185
Sains, filsafat, dan agama –pilar-pilar utama peradaban- akhir-
akhir ini telah mendapatkan berbagai kritik mendasar yang
memaksa kita untuk meninjau kembali hakikat masing-masing
bidang itu beserta posisinya dalam peradaban manusia hari ini
dan nanti. Orasi ini hanya akan melukiskan pemetaan global saja,
yang dimaksudkan sebagai perangsang untuk me-refleksi ulang
kiprah perguruan tinggi sebagai institusi yang mengelola pillar-
pillar peradaban tersebut, maupun kinerja masing-masing kita
didalamnya sebagai pribadi.
Sains
Bagi manusia zaman ini, sains rupanya bukan lagi sesuatu yang
sangat mengagumkan. Kalau pun masih tersisa kekaguman, maka
itu kini bercampur dengan kecemasan dan kecurigaan.
186
Paul Feyerabend –fisikawan yang berkiprah dalam filsafat ilmu-
telah menohok sisi ideologis sains yang baginya telah menjadi
opressif terhadap jenis-jenis pengetahuan lain, sama dengan
kelakuan agama di masa pra-modern. Jenis-jenis pengetahuan
tradisional, klenik, dan sebagainya. cenderung didiskreditkan
dihadapan sains, sementara bagi Feyerabend, sains sendiri
sebenarnya tak memiliki otoritas lebih dibanding ilmu
pengetahuan lain.
187
Logis atau tidak logis, rasional atau irasional, kini dilihat erat
terkait pada gambaran dunia (world view ) yang partikular dan
struktur bahasa yang digunakan.
Yang jelas, kini secara umum ada keyakinan bahwa dalam dunia
manusia tak ada realitas yang murni tanpa tafsir. Segala
pernyataan tentang realitas yang kita buat adalah selalu tafsiran
versi manusia. Yang dahulu diklaim sebagai “hukum alam” oleh
sains, kini hanya dilihat sebagai produk sementara hasil tafsir
manusia yang memiliki tingkat kemungkinan tinggi.
188
ilmuwan sudah selalu berpikir ke arah tertentu tanpa disadari,
dan sebagainya.
Akibat dari semua kritik itu maka kini kita menyaksikan suatu
zaman baru di mana segala jenis pengetahuan tradisional,
astrologi, prana, klenik, dan berbagai bentuk pengetahuan
supranatural (yang secara ganjil biasa disebut pengetahuan
“Metafisik”) yang dahulu diharamkan kini dengan leluasa hidup
berdampingan dengan sains.
Filsafat
189
Aristoteles agak lain prosedurnya. Yang inti dan universal itu
tidak didapatkan terutama melalui refleksi. Hakikat dari realitas
itu terdapat dalam kenyataan duniawi ini, dalam gerakan dan
perubahannya.
Pada abad ketujuh belas tugas filsafat dipahami secara lain lagi.
Untuk Descartes, misalnya, tugas filsafat adalah membangun
sebuah sistem pengetahuan yang akan mendasari segala bentuk
pengetahuan lain (sains) dengan tingkat kepastian tinggi bagai
kepastian matematis.
Namun sementara itu pada abad delapan belas bagaimana pun juga
sains beserta teknologi yang dihasilkannya memang menyilaukan
pandangan. Perkembangan pengetahuan saat itu sangatlah
mengundang antusiasme, sedemikian hingga hakikat
“pengetahuan” dan “penalaran” menjadi tema utama permenungan.
191
politik ini menampakan diri dalam berbagai tendensi fasisme
yang totaliterian dan destruktif); eksploitasi alam besar-
besaran hingga melahirkan persoalan ekologis yang parah;
meriapnya pola berpikir pragmatis instrumental yang
menganggap sepele penalaran reflektif yang menyangkut nilai dan
makna, dan dengan itu melahirkan pemiskinan moralitas,dan
sebagainya.dan sebagainya
Salah satu gagasan pokok Husserl yang bagai pedang bermata dua
itu adalah gagasannya tentang Lebenswelt atau Life-world, yaitu
anggapan bahwa dunia yang paling dasar, paling primer dan paling
real sebetulnya adalah dunia pengalaman yang dihayati sehari-
hari, dunia pra-reflektif, dan pra-ilmiah, yang mengalir begitu
saja, dengan bentuk yang tak jelas (amorf) dan sudah selalu
multidimensi.
192
diri sendiri dalam berbagai gelagat yang biasa disebut dengan
istilah longgar “Postmodernisme” (yang kontroversial itu).
Kesatuan dasar dengan dunia itu lebih langsung tampil dalam rupa
perasaan, hasrat, perilaku, dan penilaian spontan, ketimbang
dalam pengetahuan objektif ilmiah. Perasaan, hasrat, dan
sebagainya itu adalah semacam “bahasa sebelum bahasa”. Segala
pernyataan tekstual dan ilmiah yang kita buat hanyalah berbagai
upaya tak berkesudahan untuk mengartikulasikan dan
menterjemahkan pengalaman kesatuan mendasar itu
193
selalu mengalami kebenaran, yaitu pengalaman menyatu dengan
dunia tadi.
Maka filsafat tak lagi mesti menjadi suatu sistem yang “all
encompassing” . Ia hanyalah perenungan reflektif lebih jauh
tentang berbagai cara bagaimana realitas kehidupan ini dipahami
dan bagaimana makna-makna diciptakan, dengan selalu
mengaitkannya kembali ke medan pengalaman-pengalaman
konkrit.
Bagi mereka yang belajar filsafat secara klasik, boleh jadi ini
akan dilihat sebagai tahap ketika filsafat kehilangan identitas
atau mengalami degradasi. Tapi dari sudut lain bisa saja ini
dilihat justru sebagai proses evolusi.
Agama
195
Mengikuti Eliade dan Huston Smith, yang meski terasa simplistik
toh ada gunanya untuk melihat peta besar, babakan awal
kehidupan agama bisa disebut sebagai periode “Arkhaik”, yaitu
ketika agama-agama berfokus pada realitas ilahi yang metafisik
dan mengatur perilaku umatnya dalam ritual dan mitos yang
ketat.
196
Ini dengan mudah membawa konsekuensi bahwa segala ajaran lain
yang bertentangan dengannya akan dicap sebagai tidak sesuai
dengan “kodrat” kemanusiaan yang dikehendaki Tuhan, maka umat
pengikutnya pun bisa dianggap sebagai setan, ancaman berbahaya
terhadap kemurnian, dan akhirnya perlu ditaklukan, dibasmi, atau
dianggap saja warga kelas dua.
Mendudukkan Perkaranya
Tentang sains
198
tak sepenuhnya bisa dijelaskan dengan kriteria IQ,EQ, bahkan SQ
misalnya. Ada berragam jenis kecerdasan, berbagai jenis
pengetahuan, dan banyak bentuk “logika”. Dan tidak perlu ada satu
jenis meta-bahasa yang merangkum semua bahasa-pengetahuan,
satu logika yang seragam dan universal.
199
Tentang filsafat
200
dimana martabat dan harkat kemanusiaan, peradaban dan
kehidupan dirawat serta dipertahankan.
Tentang agama
Tapi yang lebih pokok lagi barangkali adalah bahwa iman itu soal
perbuatan, bukan perkara institusi atau pun proposisi (dogma).
Dan agama, dogma atau pun kitab suci jelas bukanlah Tuhan itu
sendiri.
201
untuk menganggap diri kita Tuhan itu sendiri, lantas dengan
mudah kita mengadili dan menghukum yang lain.
***
XXXI. 12 Juni: Goenawan Mohamad: “Sebuah Tempat yang Bersih dan Lampunya
Terang untuk Sains”
202
Tak lama setelah itu Penyair Soebagio Sastrowardojo menulis
sajaknya yang saya kutip di atas. Bukan sebuah puja-puji, tapi
sebuah gambaran suasana lain: si manusia pertama di angkasa luar
merasa terasing, kesepian, terbuang jauh dari bumi yang dicintainya.
Ia merasa jadi korban “seribu rumus ilmu pasti yang penuh janji”. Ia
merindukan sebuah alternatif: puisi, sepatah kata puisi.
Sajak ini dengan pedih menggugat ilmu dan teknologi justru di saat
kemajuan dua komponen peradaban itu mencapai taraf yang
menakjubkan. Suara sajak Soebagio adalah ungkapan pesimisme
terhadap sains.
***
Sajak itu bukan suara muram pertama tentang sains dan teknologi
dalam karya sastra.
203
“soma” dibagi gratis ke semua warga World State, agar patuh. Seks
bebas adalah wajib.
Distopia lain kita bisa ikuti dalam film: kita kenal “Blade Runner
2049”. Atau, lebih menyentuh, “AI, Artificial Intelligence”.
Dalam film Steven Spielberg dari tahun 2001 ini, para teknolog
menciptakan “Mecha”, robot-robot canggih yang mirip manusia.
Seorang ilmuwan menghasilkan “David”, robot bocah yang bisa
mencintai orang tempat ia ditempatkan dengan cinta yang tak bisa
pudar. Ia juga bisa cemburu dan berambisi. Si David ingin seperti
Pinokio, boneka yang jadi manusia. Ditinggalkan di dekat hutan oleh
Monica, “ibu angkat”-nya, dan tersesat ke mana-mana, ia mencari
Peri Biru yang ia yakini akan bisa menyulapnya jadi bocah.
***
204
Kritik kepada sains, kekecewaan pada “seribu rumus ilmu pasti yang
penuh janji”, tak hanya dalam karya sastra dan film. Di tahun 1918,
di Universitas Munchen, Max Weber berpidato di depan para
mahasiswa, dengan judul “Wissenschaft als Beruft” (“Sains sebagai
Panggilan”). Weber, sosiolog termasyhur yang menganalisa dunia
modern dengan suram, menyebut apa yang baginya “cacat” ilmu-ilmu
alam: sains tak pernah menanyakan asumsi dasarnya sendiri, tak
pernah menanyakan makna hidup — hidup yang konon hendak
diperbaikinya, bahkan diperpanjangnya.
***
Novel seperti “Brave New World” dan “Oryx and Crake” tentu saja
hiperbolik — mungkin seperti pesan parau Jeremiah dalam
Perjanjian Lama. Mereka melipat-gandakan kegelapan hidup di
bawah dampak negatif sains. Tapi dengan dorongan ethis —tak jauh
beda dengan peringatan agar masyarakat mewaspadai kekuasaan yang
hendak mengatur hidupnya.
Lagipula, ada yang bukan fiktif dalam thema Jeremiah ini. Kasus
pestisida Monsanto yang baru terjadi seharusnya tak dilupakan
mereka yang berbicara tentang sains dengan opimisme habis-gelap-
terbit-terang. Sains pegang peran pembantu yang penting dalam
drama ini.
205
Perdana Menteri Prancis tahun 1997 itu, Alain Juppe, melarang
penggunaannya; ia dituduh menentang sains. Tapi pembangkangan di
kalangan petani meluas. Akhirnya terungkap bahwa produk Monsanto
itu memang menebar racun di kalangan petani Eropa dan Amerika.
Tersirat dalam “GMO event” adalah sebuah sanggahan: sains tak mesti
dilihat sebagai hasil adiluhung yang layak memandu pengetahuan
lain.
***
Tapi hari-hari ini, entah kenapa, tilikan kritis atas sains akan
dianggap “anti-sains”. Atau dinilai meremehkan sains. Atau, lebih
buruk lagi, memberi mesiu kepada apa yang saya sebut Jorge-isme.
Jorge-isme saya pakai dari nama biarawan tua yang ganas dalam
novel Umberto Eco, “Il nome de la rosa”. Rahib Jorge sosok agama
yang memusuhi humor dan menhgharamkan pertanyaan-pertanyaan
sebagai penghujatan. Dalam konteks kita, kaum Jorge-is adalah para
agamawan dan pengikut mereka yang dengan dogma mempertahankan,
misalnya, keyakinan bahwa bumi datar dan homoseksualitas sebuah
dosa.
206
mendeskreditkan sains — dan itu berarti kebodohan, takhayul,
kemunduran.
***
207
Tentu saja tak ada yang salah dengan matematika. Tak ada yang
muram sebagaimana dilihat A.S. Laksana dalam tulisan saya. Jika
dibaca dengan cara seksama, akan tampak saya tak menafikan
perkembangan sains yang menakjubkan itu, setelah berkal-kali
disodori (juga oleh Sulak), katalog sumbangan sains bagi peradaban.
Kita tahu apa syarat agar sains ada. Ia memerlukan objek yang bisa
diulangi secara persis, dalam proses eksperimen. Mengikuti metode
yang benar, air yang dipakai dalam tabung di laboratorium X harus
sama dengan yang di laboratorium Y, untuk dapat kesimpulan yang
akurat. Dalam proses itu, sang air adalah sesuatu yang konsisten,
stabil, jelas, persis, tak ambigu. Untuk itu, matematisasi sangat
membantu.
Jadi, Sulak, bagi saya tak ada yang muram dengan matematika. Yang
“muram” ialah apabila dunia diterjemahkan semuanya sebagai wujud
yang dimatematiskan.
Yang ingin saya katakan, yang muram adalah bila hasil kalkulasi
dihadirkan sebagai benda itu sendiri. Yang muram adalah jika hutan
dilihat hanya sebagai sekian ribu pohon, sekian jumlah flora dan
fauna, sekian hektar luas untuk dipertukaran dengan harga sekian
rupiah — dan kita pun mengabaikan rindang dan teduhnya, warna-
warni daunnya, aroma humus di dalamnya. Lebih muram lagi jika kita
memandang manusia lain sebagai sekian jam tenaga kerja, sekaligus
dilihat nilai rupiahnya.
208
Itu berarti manusia memerlukan yang lain, yang bukan-sains. Seni,
misalnya.
***
Feynman seperti biasa pintar bercerita, tapi dalam soal yang satu
ini ia kedodoran.
209
“fixative” itu bisa jadi rujukannya. Kita tahu bahwa yang kita
observasi berubah terus menerus, apalagi ia unsur biologis, tapi
kita harus titis, akurat, dalam telaah kita. Kita harus siap hasil
penelitian kita mesti diuji. Untuk itu, seperti sudah saya katakan di
atas, objek penelitian harus bisa diulang dengan persis.
Maka sains pun mau tak mau bertolak dari sesuatu yang berhenti di
satu lokasi. Ini tak cocok dengan realitas —dan disebut Alfred
North Whitehead sebagai ESL, “Error of the Simple Location”.
Dari sini kita bisa mengerti kenapa bagi Whitehead, sains tidak
mungkin meliputi, mencakup, mengartikan segala-galanya.
***
210
Berbeda dengan Feynman. Sebagaimana dikutip Sulak. Feynman
membandingkan dua kasus: (A) bagaimana sekuntum bunga dilihat
temannya (seorang seniman), dan (B) bagaimana bunga yang sama ia
lihat (ia sebagai seorang ahli fisika):
“Saya melihat lebih banyak lagi tentang bunga itu daripada yang dia
lihat. Saya bisa membayangkan sel-sel dan tindakan-tindakan rumit
di dalamnya yang juga memiliki keindahan. Maksud saya bukan hanya
keindahan pada dimensi satu sentimeter; ada juga keindahan pada
dimensi yang lebih kecil, struktur bagian dalam.”
Beberapa belas tahun yang lalu saya pernah, bersama Arief Budiman,
memperkenalkan satu metode yang menampik pendekatan analitik
seperti itu ke dalam karya sastra. Arief menamainya “metode
Ganzheit”: di sana ditekankan bahwa dalam proses menikmati karya,
kritikus dan pembaca langsung meresapkan karya itu dalam
totalitas, Ganzheit-nya — seakan-akan langsung masuk ke dalam
karya; posisi subjek dan objek berbaur.
***
211
Whitehead — Alfred North Whitehead. Rasanya kini saatnya saya
bicara lebih panjang tentang tokoh ini.
Lho.
***
212
Tapi ketimbang menghabiskan energi buat mempertengkarkan
perkara sampingan ini — “a silly pedantry”, kata orang Inggris —
saya lebih baik menengok lagi Bab V buku yang sama. Ada yang
mengingatkan saya kepada guru favorit saya di sekolah menengah.
Ketika saya belajar geometri, ia memberi pesan: “Ilmu ini jangan kau
pikir akan kau pakai untuk jadi insinyur dan membangun jembatan.
Di sini kamu harus seperti tak melihat ruang atau garis — hanya
angka-angka. Yang akan kamu dapat latihan berpikir keras dan
teratur”.
213
“semata-mata secara intelektual” (“a purely intellectual rendering
of experience”), dan dengan pikiran yang analitik menghasilkan
“bifurcation of nature”, ide tentang alam yang terbagi-bagi. Ada
yang dianggap “primer”, yakni sisi yang bisa dikuantifikasikan. Sisi
yang kualitatif, misalnya nilai estetik, warna dan bau, itu
“sekunder”.
214
Dengan semangat “empirisme radikal”, Whitehead menganggap salah
jika sains hanya berkelana dalam abstraksi — dan melalaikan yang
konkrit di dunia dan nasib manusia.
Sebab kita tak mengalami dunia hanya dengan akal. Realitas adalah
sebuah “event”, “kejadian” yang berproses terus. Dalam tiap
kejadian, hubungan berlangsung antara “objek-objek inderawi”
(suara, warna, aroma) dan “objek ilmu” (molekul, gelombang
elektromagnetik), dan gabungan keduanya.
“When you undertand all and all about the atmosphere and all about
the rotation of the earth, you may still miss the radiance of the
sunset.”
Dalam konstelasi itu, sains tetap akan berada di “tempat yang bersih
dan lampunya terang”, untuk meminjam satu kalimat Hemingway.
Sains bukan anggota masyarakat pengetahuan yang patut dicurigai.
Tapi — dan ini sekali lagi saya ucapkan dalam polemik ini —ia tak
perlu dipromosikan ke markas komando, menjadi otoritas tertinggi
untuk kebenaran dan kebijakan.
***
MENGHINDARI JEBAKAN
SKEPTISISME DAN FIDEISME
Tanggapan untuk Goenawan Mohamad
215
akan terlebih dahulu menanggapi komentar-komentar tersebut
satu per satu.
***
216
tanpa konteks. Pandangan Popper bahwa “scientific knowledge
as the best and most important kind of knowledge we have”
sudah ditegaskan di awal— dan persis poin ini yang diabaikan
oleh Goenawan.
217
Dengan demikian, apa yang kita butuhkan di sini agar sains
tetap memiliki progresivitas epistemik adalah kritik terhadap
(mala)praktik saintifik, bukan menghalangi sains dari menjadi
dasar perumusan kebijakan publik.
219
Kembali ke soal sains sebagai panglima: jika sains memang
tidak menjawab semua soal, mengapa ia dijadikan sebagai
panglima? Di sini kita perlu melengkapi sains—dalam arti
spesifik: ilmu alam—dengan ilmu sosial-kemanusiaan. Artinya,
narasi “sains sebagai panglima” hanya bisa dipertahankan jika
sains di situ dipahami dalam arti luas yang mencakup ilmu alam
dan sekaligus ilmu sosial-kemanusiaan.
***
221
kedua dikenal sebagai skeptisisme Pyrrhonian, nama yang
dinisbatkan pada tokoh awalnya: Pyrrho dari Elis (360-275 SM).
***
***
225
religius, tetapi juga dalam pengertian luas yang mencakup
segala bentuk keyakinan subjektif.
XXXIII. 13 Juni: Asrudin Azwar dan Mirza Jaka Suryana: “Sains, Saintis, dan Vaksin
Corona: Jalan Keluar GM dan A.S. Laksana”
226
pembela positivisitik yang paling gigih. Memuja sains dengan segala
pesonanya.
Tidak ada informasi yang bisa diandalkan kecuali yang datang dari
kalangan sains, dan yang terjadi kali ini sungguh menakjubkan: Orang tidak
mengamuk ketika mereka diminta menghentikan kegiatan-kegiatan
keagamaan yang bersifat kerumunan. Para pendakwah yang keras menjadi
lebih pendiam. Mereka mematuhi keputusan-keputusan yang dibuat
berdasarkan informasi saintifik.
Namun, ajakan untuk berkhidmat pada sains itu, kata ASL, telah disanggah
oleh GM. ASL menuding GM mengecilkan sains dengan menggunakan anekdot
tentang Einstein yang mengatakan Politik lebih rumit dibandingkan fisika.
Tapi GM tidak tinggal diam. Ia pun nenanggapi balik ASL dengan artikel,
“Sains dan Masalah-Masalahnya”. Dengan gayanya yang khas Heideggerian,
GM mengatakan bahwa “sains tidak berpikir”.
Batasan Argumen
227
ASL betul ketika mengatakan sejumlah keberhasilan sains. Tapi sayangnya
ia tidak menunjukkan batasan dari dunia sains. Apa benar capaian sains
begitu memesona, sehingga ia bisa bebas begitu saja dari kritik. Einstein
kita tahu merupakan seorang jenius. Berkat teori relativitas, ia berhasil
mengubah dunia keilmuan. Mengguncang fondasi fisika yang sudah
dimapankan Newton. Gravitasi itu bisa dilawan. Pesawat terbang
membuktikannya. Perkembangan dunia pun semakin pesat. Keterhubungan
menjadi tak terelakkan. Dalam waktu yang relatif singkat, manusia dapat
berada di manapun di belahan bumi.
Pada 1971, varietas Pelita I-1 dan Pelita I-2 dilepas. Varietas ini berasal
dari persilangan IR5 dengan Sintha. Namun, bencana hadir. Dua varietas
padi unggul ini rentan terhadap hama wereng cokelat. Dikarenakan
kesesuaian mutasi genetika, hama wereng cokelat berevolusi menjadi lebih
ganas. Mimpi peningkatan produktivitas pun berantakan.
Anekdot padi unggul ini menunjukkan wajah Janus sains. Kaidah sains yang
dipahami selama ini begitu mengagungkan objektifitas, bersifat imparsial,
dan memperkosa realitas. Ia mengagungkan rasionalitas dan pengalaman-
pengalaman manusia. Melalui metode yang dilembagakan, pemerkosaan atas
realitas itu tidak dapat terhindarkan. Realitas ditundukkan berdasar
teori-teori yang sudah ditentukan sebelumnya.
Begitu pula dengan argumen relativistik GM. Ia juga memiliki batasan yang
perlu untuk dikritisi. Sebagai amunisi debat, argumen relativistik GM
228
tentu memiliki pesonanya sendiri. Dengan mengutip sejumlah nama filsuf
beken, seperti Husserl, Heidegger, Popper, dan lain-lain, GM memang
berhasil membuktikan masalah-masalah yang dihadapi oleh sains. Tapi
sekali lagi, argumen itu hanya menarik sebagai amunisi. Tak pernah lebih
dari itu.
Untuk itu, salah seorang ahli fisika partikel terbesar Edward Witten suatu
kali pernah menyindir argumen relativistik Thomas Kuhn dengan sinis.
Sindiran ini sejatinya berlaku juga untuk GM. Filsafat Kuhn, baginya, tidak
dianggap terlalu serius kecuali sebagai standar perdebatan, bahkan oleh
para pendukungnya sekalipun.
Untuk itu, argumen Kuhn yang relativistik terhadap sains, pun mudah
dipatahkan Witten. Ia melakukan itu cukup dengan satu kalimat pertanyaan
ringan: “Apakah Kuhn pergi ke dokter waktu ia sakit? Nyatanya Kuhn
melakukan itu sebelum ia meninggal dunia karena kanker paru pada tahun
1996 silam. Ini membuktikan, Kuhn meyakini ilmu pengetahuan dan bukan
filsafat relativistiknya.
Jalan Keluar
Merujuk pada apa yang kami kupas sebelumnya, sadar atau tidak kita semua
mengamini sains dengan segala kelebihan dan keterbatasannya. Hemat
kami, ini berlaku tidak hanya untuk mereka yang positivistik, tapi juga
mereka yang relativistik, dan bahkan mereka yang mengaku sebagai
manusia paling beragama sekalipun.
Itu artinya, tidak ada yang salah dengan sains. Sikap saintislah yang
membuat sains menjadi bermasalah – menjadi ilmu yang buruk. Itulah sebab
manusia terkadang menggunakan sains untuk mengintimidasi dan
mengendalikan, mengeksploitasi dan menindas manusia lain.
229
Hal ini yang lalu membatasi jenis riset yang dapat dan akan dilakukan
saintis. Integritas mereka sebagai saintis independen pun dikompromikan.
Pola aliansi inilah yang menurut Mae telah mempertajam kesenjangan
antara Utara dan Selatan, antara yang kaya dan miskin.
Temuan Mae ini, menurut kami, menjadi penting untuk disitir dalam melihat
kasus pandemi Corona. Sebagaimana diketahui, saat ini WHO menyebutkan
terdapat 125 proyek vaksin yang sedang dikerjakan saintis untuk
menanggulangi virus. 10 kandidat vaksin potensial sekarang sedang diuji
pada manusia dalam uji klinis di seluruh dunia.
Namun pengerjaan vaksin ini dilakukan dengan pola aliansi seperti yang
disebutkan oleh Mae. Dan sialnya kita tidak pernah tahu niatan industri –
yang dibantu dan didorong oleh pemerintah – yang akan memproduksi
vaksin selama pandemi Corona, apa sekadar mencari laba atau
menjadikannya sebagai “barang publik global” tanpa profit?
Menyikapi itu, kita memerlukan jalan keluar dari persoalan semacam ini.
Usul kami manusia perlu mengembangkan apa yang disebut oleh Hidayat
Nataadmadja sebagai inteligensi spiritual. Berdasarkan pandangan ini,
sains akan selalu dipandang memiliki nilai moral dan tidak dapat
dipisahkan dari nilai tersebut. Jika ini yang dijadikan pedoman, maka
jawaban untuk pertanyaan di atas adalah vaksin Corona dibuat semata
untuk “barang publik global” tanpa profit.
ROMANTISISME DAN
FALASI MEMEDI GOENAWAN MOHAMAD
Bagian 1 dari 6
Bukan hanya menarik, tapi penting. Itulah kesan pertama saya dari
membaca polemik antara sastrawan A.S. Laksana [selanjutnya, Sulak]
dan penulis Catatan Pinggir majalah Tempo Goenawan Mohamad
[selanjutnya, GM atau Goenawan] di laman Facebook beberapa hari
terakhir.
230
bagus dibicarakan terus di tengah suasana umum negeri kita yang
semakin diwarnai cara berpikir religius. Polemik mereka, yang
dengan cepat dimeriahkan oleh banyak peserta lain, penting dalam
konteks penumbuhan budaya keilmuan, guna menanamkan perangai
ilmiah (scientific temper) pada publik, bukan agar mereka semua jadi
ilmuwan.
Secara umum semua esai Goenawan dilandaskan pada apa yang disebut
strawman fallacy oleh cognitive science (dan psikologi sosial). Ia
sendiri menyinggung pengertian itu dalam tanggapannya kepada
Sulak; ulasan Sulak ia anggap seperti memukul "memedi sawah" alias
salah sasaran; maka bolehlah kita indonesiakan istilah itu dengan
"falasi memedi".
231
Si B tadi akan membantah "gula lebih manis" si A dengan berfokus
pada pernyataan yang tidak pernah dikatakan oleh A itu. Untuk itu
ia akan menerapkan confirmation bias, ini level lanjutan dari
motivated reasoning, yaitu sikap yang hanya memilih data dan fakta
yang cocok untuk menyanggah "gula lebih manis", bukan data untuk
membantah "gula kurang manis" seperti yang dimaksud si A.
Maksudnya tentu saja agar data itu cocok dengan skema yang sudah
terbentuk di pikirannya berkat falasi memedi tersebut.
Konsekuensi pernyataan ini tidak bisa lain kecuali: dua contoh figur
yang dipetik dari karya fiksi itu adalah penyidik yang tidak
mendapat wahyu Tuhan, sedangkan semua atau kebanyakan penyidik
lainnya (tentu maksudnya di dunia nyata, bukan di novel detektif)
mendapatkan wahyu Tuhan dalam menjalankan kerja penyidikannya.
(Pasti maksud GM adalah penyelidik, bukan penyidik; keduanya punya
pengertian berbeda).
232
Argumen-argumen pendukung untuk klaim itu kemudian bergerak di
sepanjang jalur motivated reasoning dan seterusnya tadi.
Tentu saja metode ini lebih sering meleset daripada tepat. Seperti
sudah lama ditunjukkan oleh studi sosiologi dan psikologi, "logika"
yang berlaku bagi individu berbeda dari logika sosial atau
kolektifitas; berbeda pula kompleksitasnya jika masuk variabel
negara.
Mau tak mau kita menyandarkan tendensi itu pada aliran atau corak
filsafat yang dianutnya, yaitu Romantisisme yang muncul di akhir
abad ke-19, sebagai reaksi terhadap mekarnya filsafat Pencerahan
(Enlightenment) di Eropa. Ya, meski merupakan reaksi terhadap
Pencerahan, sejarawan menamai aliran itu "Romantisisme", bukan
filsafat "Penggelapan" atau "Penyuraman"; mungkin karena
maksudnya: para Romantisis mendambakan suasana sediakala,
sebelum Pencerahan merajalela dan menjadi semangat dominan. Dan
dengan ini kita masuk ke isu sains.
234
Sebuah bangsa, masyarakat atau komunitas tertentu bisa rekat jika
anggota-anggotanya meyakini mitos dan tahayul tertentu (meski
hal ini pun menyimpan bahayanya sendiri jika misalnya bangsa lain
meyakini mitos yang berlawanan). Namun secara umum tahayul dan
mitos mengaburkan kejernihan berpikir manusia.
Tanpa sains, maka tukang sihir, dukun, ahli nujum ataupun remaja
yang putus cinta, misalnya, bisa mengeluarkan macam-macam hal
yang tidak rasional dari rasio mereka. Karena semangat pembebasan
itulah maka Pencerahan disebut suatu Revolusi Humanitarian.
236
publik bisa dijalankan kembali (new normal), dan segala hal yang
terkait.
237
Perbedaan pendapat di kalangan ilmuwan --bukan di kalangan filsuf
ataupun ulama-- adalah rahmat bagi mereka, membuat ilmu
berkembang sangat cepat.
***
238
Jika ilmuwan yang mengerjakan proyek riset itu ingin mengumumkan
temuan tersebut di jurnal ilmiah, maka mereka wajib memaparkan
seluruh proses berikut cara kerja mereka itu ke dalam naskah.
Editor akan menyebar naskah itu kepada sejumlah ahli untuk
diperiksa validitasnya (misalnya untuk melihat adakah tahap-tahap
riset yang terlewati atau dilalui dengan keliru), adakah
kemungkinan duplikasi dengan karya sebelumnya (yang bisa berarti
terjadi penjiplakan atau setidak-tidaknya karya itu tidak orisinal
atau bukan karya terobosan), dan sebagainya.
Jika naskah itu lolos dari peer review itu, yang dilakukan dengan
menutup nama penulis teks (blind review), barulah ia diterbitkan,
bukan hanya untuk diketahui para rekan sejawat tapi juga untuk
dikritisi seluruh aspeknya; ini menjadi semacam pertanggung
jawaban sosial dan ilmiah keilmuan.
Bisa juga terjadi: temuan itu lolos uji peer review, dan bertahun-
tahun setelah ia diterbitkan mungkin ia dikoreksi oleh ilmuwan lain
di tempat lain; mungkin pula ia justru menginspirasi saintis lain
untuk meneliti lebih lanjut aspek-aspek tertentu dalam paparan
hasil riset awal itu.
239
pemuatan tulisan yang awut-awutan semakin besar – meski tulisan
itu terkesan canggih.
Itulah saya rasa yang dimaksud Sulak bahwa sains itu ibarat
komputer jaringan, yang simpul-simpulnya saling mendukung,
sehingga sains bisa berkembang begitu cepat, termasuk dalam
mekanisme koreksi atas kesalahan-kesalahannya.
***
Metode sains yang sangat ketat dan terus disempurnakan ini tidak
mungkin ditandingi oleh jenis-jenis pengetahuan lain -- kalaupun
semua orang, dari bangsa mana pun, setuju belaka dengan teriakan
cemas kaum filsuf atau insan religius bahwa sains bukanlah satu-
satunya jenis pengetahuan untuk mencapai kebenaran.
ROMANTISISME DAN
FALASI MEMEDI GOENAWAN MOHAMAD
Bagian 2 dari 6
240
Matematika malah makin cenderung meminimalkan pelibatan angka
dan lebih menonjolkan simbol-simbol lain. Inilah sebabnya
matematika disebut sebagai bahasa ilmu, sebagaimana bahasa
Inggris dinyatakan sebagai bahasa pergaulan internasional.
***
Dengan itu pula mungkin akhirnya bisa diketahui kapan saat yang
paling tepat untuk memberi pelajaran apa; jenis makanan apa yang
memungkinkan otak bekerja optimal, dan lain-lain. Sekarang ahli
243
neurosains bisa mengetahui kenapa seorang yang sukses, misalnya,
cenderung sukses terus dalam hidupnya, dan kenapa yang gagal
cenderung selalu gagal.
***
245
Beberapa tahun lalu CERN mengumumkan indikasi adanya boson Higgs
mulai terlihat. Wartawan sains segera memburu berita itu dan
menulis seolah-olah boson itu sudah pasti ditemukan. Wartawan
menyebut boson itu "God particle", istilah Pemenang Nobel Fisika
Leon Lederman untuk menjuduli buku karyanya, karena diasumsikan
sebagai "causa prima" – dengan penamaan itu diisyaratkan bahwa
Tuhan tidak ada; penggerak segala sesuatu adalah boson Higgs.
Pada Maret 2013 CERN mengkonfirmasi boson Higgs memang ada. Pada
Desember, Higgs dan Francois Englert mendapat Hadiah Nobel untuk
Fisika karena prediksi teoretis mereka – bukan temuan mereka yang
bisa dilihat dan dikendarai. Pengakuan atas teori semacam ini besar
maknanya. Sebagai perbandingan: partikel graviton, yang diteorikan
merupakan force-carrier gravitasi, belum diakui; belum dimasukkan
ke dalam Standard Model, suatu model yang menyediakan kerangka
pemahaman hampir semua gejala fisika, selain gravitasi.
246
Seorang fisikawan besar bahkan mengaku ia tidak tahu esensi
partikel-partikel itu, tapi ia tahu mereka ada dan apa yang ia
lakukan dengan partikel-partikel itu berjalan -- "I don't know them
exactly but it works", katanya. Paul Dirac, raksasa fisika Inggris,
menyarankan orang untuk tidak bertanya apa gerangan partikel-
partikel itu, sebab pertanyaan ini tidak bermakna; pertanyaan yang
bermakna adalah: bagaimana partikel-partikel itu berperilaku.
***
***
ROMANTISISME DAN
FALASI MEMEDI GOENAWAN MOHAMAD
Bagian 3 dari 6
248
Prosedur sains terlalu panjang, pencapaian hasilnya sering belum
konklusif. Peluang kesalahan, dan karena itu koreksinya, selalu
terbuka dan, yang terpenting: kebenaran yang dicapainya niscaya
adalah kebenaran fungsional (atau konjektural), artinya sesuai
konteksnya, yang dirumuskan berdasarkan informasi yang tak
lengkap.
249
terpikirkan, karena untuk bersikap demikian mereka terhalang oleh
karakter sains itu sendiri.
Siapa tahu dengan cara itu bisa muncul kesimpulan yang solid – tapi
tetap merupakan kebenaran konjektural -- bahwa ia telah salah
paham terhadap tulisannya sendiri.
***
250
Goenawan mengeluh bahwa sains sekarang lebih digerakkan oleh uang
dan bisnis. Upaya-upaya sains pun, katanya, bukan untuk sekadar
menafsir dunia melainkan untuk mengubahnya.
Tapi hal itu tidak ada hubungan dengan proses-prosedur sains, yang
tetap harus mengikuti standar metode yang terus disempurnakan,
dan pasti akan kacau jika di level itu sains dicampuri oleh pemilik
modal atau penguasa politik. Kapten kapal Beagle yang membawa
Darwin meneliti ke Galapagos dan tempat-tempat lain bahkan
kemudian marah dan menentang teori Darwin setelah terbit On the
Origin of Species yang merupakan hasil dari menumpang kapal si
kapten dan dibiayai oleh kas negara Inggris.
Yang paling populer tentu saja bohlam, yang kini tersedia dalam
versi LED yang semakin terang, sangat hemat listrik dan semakin
murah dan mudah didapat (harga lampu LED merek-merek lain
umumnya lebih murah dibanding merek General Electric, perusahaan
warisan Edison).
***
Salah satu, dan mungkin yang utama, dari skeptisisme Goenawan yang
mendekati antipati terhadap sains adalah kecemasannya bahwa sains
akan menghancurkan aneka misteri dunia -- atau hal-hal yang
dianggapnya misteri. Padahal baginya pesona dunia justru terletak
pada misterinya -- pernyataan ini sangat mungkin dibantahnya
karena ia tidak pernah menyatakan hal ini secara harfiah; ia, seorang
yang gemar menafsir apa saja, memang kadang bisa tiba-tiba
memakai argumen legal-formal, seperti terlihat dalam polemik ini.
Jika semua tersibak, oleh kerja sains, lalu apa lagi yang tersisa
untuk menakjubi manusia -- dan membuatnya rendah hati karena
menyadari kedaifannya?
Dan sains sejauh ini jelas mengarah ke pengungkapan total itu. Sudah
terlalu banyak "misteri" yang diungkap, seperti jelas terlihat dalam
lima ratus tahun terakhir; perubahan yang ditimbulkan sains dalam
masa ini melampaui seluruh masa hidup Homo sapien.
252
Pertama, Revolusi Kognitif, yang terjadi 70 ribu tahun lalu di tempat
yang kini dikenal sebagai Afrika Timur; dan tidak diketahui kenapa
"tiba-tiba" manusia bisa berpikir, setelah selama 150 ribuan tahun
sebelumnya manusia setara saja dengan serangga dalam hal
dampaknya terhadap bumi. Kedua, Revolusi Pertanian, kira-kira 12
ribu tahun lalu; ada yang menyebut dimulai di tempat yang kini
termasuk wilayah Turki modern. Ketiga, Revolusi Saintifik, kira-
kira 500 tahun lalu, di Eropa Barat.
Temuan tim yang dipimpin oleh Lee Berger ini sangat penting dalam
studi paleoantropologi, sebab 21 kerangka itu mewakili demografi
yang lengkap [laki-laki dan perempuan, tua dan muda, dewasa dan
anak-anak, bahkan bayi].
Data Homo naledi sudah diungkap sejak 2015; tinggi mereka rata-
rata 143 cm [atau 4.5 kali kepala]; mereka bisa berlari, tapi lebih
suka di atas pohon dan jago memanjat. Dari ritual permakaman yang
mereka lakukan diduga mereka belum memiliki konsep akhirat. Belum
diketahui apakah mereka punah karena dimangsa predator [termasuk
Homo sapien] atau karena sebab-sebab lain. Tapi semua data itu
tidak mempengaruhi teori “Out of Africa” yang sejauh ini masih
mapan.
Dan sejak paruh kedua abad lalu, laju kereta sains melesat
eksponensial, berkat ditemukannya perangkat-perangkat ilmiah
yang semakin canggih dan makin tersebarnya pusat-pusat kajian dan
253
laboratorium yang mampu memproduksi teknologi sebagai derivat
sains.
***
254
membeli pabrik-pabrik yang sudah jadi ketimbang membangunnya
dari nol; ia tinggal menambah elemen-elemennya saja untuk
meningkatkan secara signifikan kemampuan robot itu, sekaligus
dengan akuisisi itu ia menelan para kompetitor. Jika raksasa bisnis
seperti Google menunjukkan kesungguhan seperti itu, berarti ia
sedang merencanakan sesuatu yang sangat besar.
255
Exoplanet adalah planet yang diketahui dapat dihuni karena
memiliki kondisi mirip bumi, dan kebanyakan berukuran sedikit
lebih besar dibanding bumi. Sekarang ada beberapa exoplanet yang
berpeluang dijadikan rumah baru bagi manusia, seandainya umat
manusia harus pindah dari bumi, karena kedekatannya dari bumi dan
aman karena jaraknya cukup jauh dari matahari.
Bukan tak mungkin kelak exoplanet itu bisa dijadikan seperti vila
atau lokasi wisata, seandainya umat manusia tetap tinggal di bumi.
Jarak yang jauh akan diatasi oleh kemampuan pesawat-pesawat
khusus yang jauh lebih besar daripada pesawat penumpang tercepat
yang kita kenal.
***
256
mental yang ditimbulkannya. Begitu banyak korban manusia akibat
persepsi tentang misteri, misalnya dalam soal penyakit.
Semua ilmuwan akan mengakui fakta ini; mereka telah terlalu sering
mengalami sendiri bagaimana percabangan misteri itu begitu tak
terhingga kayanya. Ahli neurosains pasti merupakan salah satu
contohnya. Tiap hari mereka menemukan hal-hal baru pada aspek-
aspek kecil dalam studi otak, yang digambarkan oleh neurosaintis
Diane Ackerman sebagai “gundukan berkilau, yang sangat sibuk
dengan percakapan-percakapan neural nonstop; sebuah
laboratorium kimia yang sesak; suatu parlemen sel berwarna
kelabu-tikus; sebuah pabrik mimpi; tiran mini di dalam sebuah bola
tulang...”
257
Peminat dan konsumen sains turut terpesona justru oleh kemampuan
penyingkapan itu dan oleh misteri baru yang terbuka karenanya --
bukan terpesona oleh ketakberdayaan dan kenikmatan mental berkat
dibelenggu ketaktahuan akan misteri itu.
***
AKU MENGKRITIKMU
DENGAN AGENDA YANG SEDERHANA
Untuk Taufiqurrahman dan kawan-kawan lain
Pada tanggal 2 Juni 1897 ada kabar Mark Twain meninggal. Para
wartawan datang ke rumahnya untuk mengecek. Pengarang yang kocak
itu ternyata masih segar bugar. Komentarnya, kalau diterjemahkan
dengan gaya Cak Lontong: “Saya? Mati? Wah, itu dilebih-lebihkan!”.
***
Dari semua yang “menyerang” saya dalam polemik tentang sains kini,
setahu saya hanya Taufiq — mungkin karena dia terlatih dalam
filsafat —yang tanggap terhadap soal yang sejak mula saya
sarankan: agar kita menengok bersama lebih dalam bagaimana
sebenarnya sains “menafsirkan dunia”, bukan hanya bercerita
bagaimana sains “mengubah dunia”.
258
Menurut hemat saya, sudah saatnya kita menelaah sisi epistemologis
dari sains — dan ruangan di FB kita ini tak hanya diisi cerita tentang
seabrek prestasi sains yang hebat. Katakanlah mengulang-ulang
kehebatan prestasi sains itu penting sebagai semacam pembelaan,
bila pandangan kritis kepada sains dianggap sebagai “dakwaan” (kata
yang dipakai Hamid Basyaib). Tapi sesungguhnya tak perlu
pembelaan. Jangan khawatir, Bung Hamid. Saya (dan saya kira juga
Fritz Sitorus, Budi Hardiman, dan Bambang Sugiharto) tak menuding
sains sebagai penyelewengan. Saya, misalnya, sudah berkali-kali,
sejak tulisan pertama, mengatakan, bahwa saya — yang merasa “rada
Popperan” — mengagumi sains.
Orang menyebut itu gejala “saintisme”. Tapi saya tak mau berdebat
panjang lagi tentang istilah itu; maka lebih baik saya melihat apa
yang diyakini Positivisme — baik Positivisme KW-1 abad ke-19
maupun “Positivisme” KW-2 abad ke-21:
***
259
“Sebab sains, tak seperti fenomenologi, memang tidak hendak
menangkap dimensi subjektif manusia dalam pengalamannya
berhadapan dengan dunia. Sains justru berupaya mengetahui dunia
sebagaimana ia ada dalam dirinya, bukan dunia sebagaimana yang
dialami manusia.”
***
***
261
(“primary qualities”), yang dibedakan dari kualitas sekunder
(“secondary qualities”) seperti warna, panas, dan bau.
“Panas, misalnya, adalah kualitas objek yang baru muncul begitu ada
relasi antara subjek dan objek, begitu subjek menyentuh objek
pembawa sifat panas”. Dengan kata lain, kualitas itu muncul karena
adanya relasi subjek-objek. Maka tingkat kepanasan objek yang sama
akan terasa berbeda bagi subjek yang berbeda. Tapi sebagai
temperatur, karena bisa diformulasikan secara matematis, bukanlah
kualitas yang bergantung pada sensasi subjek. Siapa pun subjek yang
mengukurnya, temperatur dari objek yang sama dalam kondisi yang
sama akan tetap.”
***
Atau kritik Ray Brassier, yang juga, seperti Harman, seorang pemikir
“mazhab” Realisme Spekulatif. Bagi Brassier, Meillassoux
mempertaruhkan otonomi das-Ding-an-sich (“the in-itself”) ke
dalam rangka kronologi atau acuan waktu; ia meletakkan “arche-
fossil” dalam parameter temporal: sebelum dan sesudah zaman
manusia. Padahal parameter itu, waktu yang terukur itu, adalah
waktu manusia, waktu subjek yang sadar. Di sini, ia tergelincir ke
dalam premis “korelasionis”.
262
Lalu?
***
Seperti pernah saya sebut dalam tulisan yang lalu, teori Locke
ditampik Whitehead sebagai awal dari “bifurcation of nature”.
263
endlessly blurred. Since we are organisms surrounded by many other
organisms, nature has not bifurcated” (p. xiii).
TENTANG KORELASIONISME
Catatan kecil untuk Goenawan Mohamad
Saya melihat, langkah Meillassoux ini adalah bagian dari trend besar
dalam pemikiran filsafat di Barat yang hendak "membunuh manusia"
(setelah sebelumnya membunuh Tuhan!). Ini adalah "the latest
attempt at the killing of God and, by its default, human".
264
Kecenderungan ini paling menonjol dalam tradisi filsafat Perancis.
Apakah ini ada kaitan dengan konsep "laïcité" yang keras di negeri
itu?
Saya tak cocok sama sekali dengan gaya berpikir seperti ini. Bagi
saya, manusia adalah pusat dari seluruh pekerjaan pengetahuan.
Seluruh bangunan sains modern hanya mungkin tegak dengan
mengandaikan adanya agen penting: yaitu manusia.
265
Kembali kepada soal korelasionisme: pada akhirnya, "das Ding an
sich," sebagaimana dikatakan Kant, tidak mungkin ditembus. Tetapi
saya lebih menyukai istilah para sufi (biar tidak pinjam bahasa
orang Eropa terus) "sirrul al-asrar," rahasinya rahasia.
Tetapi ada lapis rahasia yang lain, yaitu sesuatu pada dirinya
sendiri. Lapis inilah yang tidak bisa ditembus. Meskipun saya
bertanya-tanya pula: apakah tak bisa ditembus sama sekali, atau
tidak bisa ditembus melalui metode sains?
Dan, seperti kata GM, tatapan ini tidak harus dimaknai sebagai
"dakwaan" atas sains, atau apalagi mewakili sikap regressif kedalam
metafisika tradisional yang dianggap akan mengganggu kemajuan
sains.
ROMANTISISME DAN
FALASI MEMEDI GOENAWAN MOHAMAD
Bagian 4 dari 6
266
Raymond Kurzweil, yang meramalkan selambatnya pada 2045 akan
tercipta manusia hibrid (gabungan fisik biologis dan perangkat-
perangkat teknologis), merasa dia tinggal beberapa langkah lagi
untuk mampu menciptakan pikiran, seperti ia petakan dengan terinci
dalam bukunya How to Create a Mind: The Secret of Human Thought
Revealed (Viking Penguin, 2012).
Tapi "beberapa langkah" itu tampaknya masih perlu dua puluh tahun
lagi, selain pikiran ciptaannya mungkin saja tak sebaik akal manusia
-- walau yang lebih mungkin adalah sebaliknya. Di buku itu ia
bilang, misalnya, membran di dalam otak manusia mampu menyimpan
300 juta informasi – ia tentu bisa membuat “otak digital” berkali-
kali lipat dari jumlah ini, sambil memberinya kemampuan untuk
memanggil informasi itu kapan saja; hal yang tidak dimiliki otak
biologis.
***
268
Singularity adalah situasi ketika perkembangan teknologi bersifat
uncontrolable atau tidak dapat dikendalikan oleh manusia; manusia
hibrid [cyborg atau transhuman] yang tercipta di masa itu akan
mampu meningkatkan kapasitasnya sendiri terus-menerus. Ray
Kurzweil memaparkan secara terinci skenario ini dalam bukunya
yang terbit 2005, Singularity is Near: When Humans Transcend
Biology -- saya tak kunjung tamat membaca karya 652 halaman ini.
Tentu yang akan terjadi adalah seperti yang telah kita alami
berulang kali selama ini: yang akan mampu membeli teknologi hibrid
pertama-tama adalah orang-orang kaya; mereka inilah yang akan
mengalahkan manusia-manusia biasa yang hanya memiliki
kecerdasan alamiah-biologis. Lama-kelamaan semakin banyak orang
yang mampu membeli teknologi itu, karena harganya akan semakin
murah.
WHO pun sudah merevisi dan membuat standar baru kategori status
usia. Sekarang orang berusia 50-65 tahun adalah "menjelang tua",
66-75 adalah "tua", usia 76-90 "sangat tua", dan 90 ke atas adalah
"superold". Ini juga tentu berpengaruh pada penetapan batas usia
pensiun bagi pegawai di seluruh dunia.
269
Sekarang, orang-orang seperti Raymond Kurzweil meramalkan
prospek hidup abadi –suatu aspirasi tua manusia; mungkin karena ini
pula muncul konsep after life, kehidupan setelah mati. Kebetulan
sudah ada pula perusahaan-perusahaan yang menyediakan jasa
cryonic, suatu metode pembekuan jasad dengan nitrogen cair.
Seorang yang saat ini berusia 70, misalnya, pada saat ia meninggal
dunia kelak bisa minta jasa cryonic. Harapannya jika nanti ada
teknologi yang mampu menghidupkannya lagi ia bisa mengikuti
proses medis dan teknologi yang memungkinkannya hidup selama
ribuan tahun atau bahkan abadi.
Sejarawan Yuval Harari juga banyak menyinggung isu ini dalam buku
dan ceramah-ceramahnya. Ia meramalkan di akhir abad ini manusia
akan punah (bisa juga kita tafsirkan: ia menghitung masa lima
puluhan tahun setelah ramalan Kurzweil 2045 itu, ketika semakin
banyak warga bumi berubah menjadi manusia-hibrid).
***
272
Terlibatnya nama-nama besar itu, para teoretisi utama dan teknolog
di garis terdepan teknologi AI, menunjukkan keseriusan masalah ini.
Mereka bahkan melampirkan dokumen panduan riset prioritas dalam
petisi itu, yang boleh dimanfaatkan oleh siapa saja, agar AI bisa
mendatangkan manfaat sosial optimal.
ROMANTISISME DAN
FALASI MEMEDI GOENAWAN MOHAMAD
Bagian 5 dari 6
273
untuk menekan angka kriminalitas atau menangkap buron yang sudah
bertahun-tahun lolos.
Semua itu merupakan pengawasan "over the skin"; masih kasar dan
fisikal. Pengembangan AI memungkinkan pengawasan "under the skin",
yang membuat sang mesin mampu memahami kita lebih baik dibanding
kita memahami diri sendiri.
Dengan cara itu pula sebenarnya yang terjadi adalah saling baca
antara kita dan buku. Kita membaca teks di dalamnya, sang buku
membaca emosi kita. Maka ia tahu di halaman berapa kita berhenti
membaca, kata-kata apa yang kita tandai, istilah-istilah apa yang
kita tak mengerti; kapan kita kembali ke buku itu [disertai
pemberitahuan telah berapa persen Anda membaca buku itu].
Makin lama data semacam ini makin lengkap. Dua-tiga tahun lagi
data di seputar ini, dan dengan demikian fasilitas dan fiturnya --
misalnya bacaan kita langsung bisa terhubung dengan semua buku
yang membahas isu yang sama untuk keperluan cek silang-- akan
semakin dipertajam. Makin lama data reaksi tubuh dan pikiran kita
274
pun diketahui kian mendetail; apakah kita berkeringat, apakah
tekanan darah naik, apakah asam lambung meningkat, dan seterusnya.
Tentu ini bisa negatif, tapi juga bisa sangat positif bagi kebutuhan
kita. Dengan itu kita bisa menghemat waktu dalam menyeleksi barang
yang kita butuhkan. Kita juga mungkin diberitahu bahwa kita
membutuhkan obat tertentu, meski kita bahkan tidak menyadari
gejala penyakit yang mungkin bersarang di dalam tubuh kita.
Itulah yang membuat Henry Kissinger dalam usia 90an merasa perlu
menulis artikel panjang di Atlantic Monthly, yang memperingatkan
bahaya nyata berupa keunggulan AI Cina dalam persaingan dengan
Amerika -- keprihatinan politisi veteran memang terbatas dalam
konteks kemampuan kompetisi negaranya di panggung global.
Kissinger mengaku sudah banyak berdiskusi dengan pakar-pakar
terbaik AI dan menyimpulkan bahwa dalam soal teknologi yang sama
sekali ia tidak kenali itu, RRT sudah mengungguli Amerika.
***
Berulang kali ia memohon agar jangan ada upaya apapun dari pihak
manusia untuk coba-coba mengontak makhluk-makhluk luar
angkasa. Jika kontak terjadi dan mereka tertarik dengan kita,
menurut dia, umat manusia akan sangat terancam karena mereka ia
yakini memiliki teknologi yang jauh lebih unggul dan karenanya akan
memperbudak kita.
276
"Ibarat Anda melakukan perjalanan dengan mobil," kata Kaku, "di
tengah jalan Anda buang air kecil lalu melihat semut di rerumputan.
Apakah Anda akan tanya kepada semut itu di mana ratunya dan
sebagainya? Tentu tidak, kan? Sebab semut itu sangat remeh. Begitu
juga: manusia dianggap tak berarti oleh alien luar angkasa itu."
Tapi para ahli tetap giat memburu alien dengan proyek pencarian
kehidupan di luar angkasa (SETI, search for extraterrestrial life).
Joseph Gale baru-baru ini menulis di International Journal of
Astrobiology (ya, mereka bahkan sudah membentuk disiplin
astrobiologi) bahwa temuan-temuan mutakhir AI akan mengubah
seluruh paradigma SETI. Dan Singularity yang tercapai 25 tahun lagi
akan merupakan pencapai manusia terbesar dan terakhir. Kisah
selanjutnya tidak ada yang mampu meramalkan.
***
277
editing gen bisa mengubah warna kulit sebagai salah satu
kemampuannya.
Doudna mungkin teringat dan tak mau terulang apa yang terjadi
beberapa tahun sebelumnya ketika teknologi stem cell ditemukan.
Pemerintahan George Bush Jr. melarang penerapannya, diduga karena
tekanan Christian Coalition. Para ilmuwan dan dokter spesialis
bidang itu segera menanggapinya dengan berbondong-bondong
pindah dari Amerika, konon jumlahnya beribu-ribu, terutama ke
Inggris. Amerika mengalami brain drain yang sangat merugikan.
***
278
Demikian pula, para penggiat biologi sintetik (synbio) pun mengirim
surat kepada Presiden Barrack Obama di masa kedua presidensinya.
Mereka memberitahu bahwa mereka akan segera sanggup menciptakan
makhluk baru, dan mengharap pemerintah Amerika mengeluarkan
keputusan yang jelas mengenai hal ini.
Tentu saja dampak hal itu adalah mereka bisa pindah ke negara lain
seandainya keputusan Obama tidak mendukung. Dan hal itu
menyimpan potensi bahaya. Tidak ada yang bisa menjamin karya-
karya mereka tidak digunakan oleh negara-negara lain untuk
pemanfaatan makhluk-makhluk itu dengan cara yang merugikan
Amerika dan dunia.
279
Aktifitas Church, Venter, dan lain-lain itulah yang membuat
Newsweek membuat cerita sampul kira-kira sepuluh tahun lalu: Life
2.0. Kehidupan akan segera naik ke level berikutnya, seperti
kapasitas komputer.
Ternyata ambisi itu diambil alih oleh AI, sehingga Max Tegmark
memberi judul bukunya, Life 3.0: Being Human in the Age of Artificial
Intelligence [2017]. Ia memberi nafas spirit yang berbeda daripada
ambisi para penggiat synbio, sesuai visinya yang sangat hati-hati
dan kritis terhadap potensi destruktif AI.
ROMANTISISME DAN
FALASI MEMEDI GOENAWAN MOHAMAD
Bagian 6 dari 6
280
Sedangkan untuk semua isu lain, ia menggunakan teknik persuasi
estetik, bukan mengajak kita berargumentasi secara diskursif.
Ketika membahas birokrasi, misalnya, Goenawan menggambarkan
birokrasi dengan: "sebuah meja yang penuh bekas rokok… sebuah
ruang yang tak pernah lagi dipel… sederet map kertas yang tak jelas
fungsinya, toh sementara itu semuanya tak dibuang." Sedangkan
birokrat adalah orang yang "sedikit bicara, sedikit berbuat, sedikit
menongol."
***
282
Bahkan Martin Heidegger, filsuf favorit Goenawan, punya buku
berjudul The End of Philosophy [diterjemahkan oleh Joan
Stambaugh]. Kepada mereka semua tentu tidak selayaknya kita minta
pembuktian “secara ilmiah” atau menanyakan di manakah kuburan
hal-hal yang sudah mati atau berakhir itu – bahkan sebagai gurauan
pun permintaan naif ini tidak memenuhi syarat untuk disebut
“lucuk”.
Banyak juga ahli yang percaya "teori segalanya" itu mungkin diraih.
Konon sedikitnya kini ada dua calonnya, String Theory dan Loop
Quantum Gravity. Tapi tak sedikit yang tak percaya. Geoffrey West,
pakar fisika dan eks direktur Santa Fe Institute, cenderung
menertawai upaya pencarian ToE itu, yang pernah pula diupayakan
oleh Hawking tapi kemudian ditinggalkannya.
Bagi West, penulis Scale: The Universal Laws of Life and Death in
Organisms, hal itu tak masuk akal. Sebuah teori yang lengkap di
suatu disiplin atau subdisiplin mungkin saja diperoleh. Tapi ToE
sungguh sukar dibayangkan.
Dan barangkali optimisme (?) Stan Grof dan pesimisme Geoffrey West
itu kalah cepat dalam perlombaan dengan manusia hibrid Ray
Kurzweil. Semua rencana itu, baik perburuan ToE maupun impian West
yang membiarkan setiap disiplin memburu teori lengkapnya masing-
283
masing, akan menempuh jalur yang sama sekali baru, sesuai dengan
ketakterdugaan perkembangan cyborg.
Alam semesta ini, kata Stephen Hawking, yang telah memberkahi kita
dengan pemahaman yang menggetarkan tentang alam semesta,
terbentuk karena hukum-hukumnya sendiri, 13,8 miliar tahun yang
lalu. Pertanyaan tentang apa yang ada atau terjadi sebelum itu,
menurut Hawking, adalah pertanyaan yang tak bermakna, karena
pertanyaan itu mengasumsikan sudah ada waktu yang menjadi titik
referensi, padahal dalam awal pembentukan universe tersebut waktu
tidak ada.
Semua itu akan berhenti jika ramalan Ray Kurzweil, untuk kesekian
puluh kalinya, terbukti. Dan ia bukan hanya meramal, atau menunggu
ramalannya terbukti sendiri. Ia turut aktif mewujudkan ramalannya
itu dengan segala macam aktifitas guna melahirkan manusia-hibrid,
mematangkan situasi Singularity, ketika sejarah manusia-biologis
berakhir. Dan manusia keluar dari skema evolusi yang sudah
berlangsung 3.5 miliar tahun – jejak sel tunggal atau LUCA dari masa
itu, kata para ahli biologi, masih ada di dalam tubuh kita hari ini -
- untuk melangkah ke arah yang belum dapat diperkirakan.
285
Kita juga tak bisa hanya berdebar menunggu Singularity yang tak
lama lagi itu. Apapun yang terjadi, keadaan apapun yang melingkupi
diri kita, termasuk dikepung jenis virus baru seperti yang mencekam
kita hari-hari ini, kita boleh terus bertanya.
Teriakan itu makin parau, dan akhirnya tak lebih hanya menggemakan
kecemasan agama terhadap sains, terutama di Amerika -- hanya
kalangan itu yang sampai hari ini masih sekali-sekali mencoba
meneriakkannya, tentu tanpa hasil apapun. Mungkin karena fakta ini
maka Goenawan kemudian enggan melanjutkan pembahasan tentang
“saintisme”.
Saya rasa orang-orang yang memilih meledek apa yang mereka sebut
“saintisme” telah salah pilih. Bukannya turut mengapresiasi sains
modern, dengan segala kurang-lebihnya – dan siapa tahu dengan ini
makin banyak orang yang mengembangkan perangai ilmiah, dan bukan
286
suntuk dengan tahayul dan obskurantisme -- mereka malah sibuk
menggambar aspek karikaturalnya, sambil tak bosan-bosannya
memamah spekulasi-spekulasi filsafat baheula, yang ternyata tak
pula mereka pahami dengan memadai, seperti diakui oleh Goenawan
tentang Martin Heidegger, seorang filsuf anti-Semit dan pendukung
loyal Nazi, sehingga sejumlah penulis, misalnya Fried Gregory,
menghubungkan filsafatnya dengan Naziisme.
***
Tapi bagi Goenawan ilustrasi panjang tentang state of the art sains
di berbagai bidang itu hanyalah “katalogus sains yang hebat-hebat”
dan “tak memberi insight baru”; tanpa menyadari yang dilakukannya
adalah tak henti-hentinya menyuguhkan katalogus usang ide
filosof-filsuf lama Eropa, yang tak ada hubungan apapun dengan
perkembangan sains mutakhir. Dalam konteks ini ia tergopoh-gopoh
memburu nama yang tampak baru didengarnya, dan segera
mengutipnya, walaupun “saya belum paham benar pemikiran
Meillassoux.”
Dan kekeruhan itu dari hari ke hari terlihat makin jelas. Sehingga
Bambang Sugiharto, misalnya, yang tampaknya diajak Goenawan turut
dalam polemik ini, justru banyak menjelaskan makna “model” dalam
288
sains [meski pointersnya itu problematik juga karena dicampuraduk
dengan teknologi], dan penjelasan itu tentu saja ditujukan kepada
Goenawan, karena dialah yang sibuk menyanggah validitas modeling
sains yang disebutnya mereduksi realitas.
Saya juga tidak pernah menyebut istilah lama “ilmu pasti” atau “ilmu
eksakta”; bahkan jurusan saya di SMA, puluhan tahun lalu, sudah
menggunakan istilah “Ilmu Pengetahuan Alam”. Karena itu saya
sering juga ikut praktikum di laboratorium, tapi saya tidak mungkin
dengan naif meyakini bahwa biologi telah diringkus dan direduksi
oleh preparat dan mikroskop di laboratorium sederhana itu.
***
Akhirnya, saya perlu menegaskan lagi apa yang semula saya kira tak
perlu dijelaskan bahwa yang saya maksud “filsafat sudah mati”
adalah dalam pengertian simbolik, metaforis, katakanlah seperti
“God is dead” Nietzsche – yang oleh Goenawan tak pernah didesak
untuk dijelaskan “secara ilmiah”. Dan itu tidak berarti filsafat tak
berguna sama sekali. Karl Popper menggolongkan filsafat ke dalam
pengetahuan pre-science [lihat bukunya, The Logic of Scientific
Discovery, 1959].
Ia tidak ilmiah, kata Popper, tapi yang tidak ilmiah tak niscaya
mubazir. Kesepakatan tentang hak-hak azasi manusia, misalnya,
yang diadopsi PBB sejak 1948, itu tidak ilmiah.
Di dalam tubuh manusia tidak ada HAM. Yang ada adalah jantung, usus,
ginjal, dan sebagainya. Tapi prinsip HAM penting sebagai sarana
menghormati martabat warga negara [ini juga tidak ilmiah],
terutama dari potensi pelanggaran oleh negara; dan konseptualisasi
cakupannya terus diperluas.
Dan itu adalah pernyataan arif yang rendah hati -- bukan pongah
dan mengidap saintisme.
290
***
291
kisah dan kefasihannya memilih kutipan, pasti memikat bagi mereka
yang sejalan dengan perspektif pemikirannya.
292
Membaca esai STBLTS, juga artikel sebelumnya, kesan kuat yang
muncul adalah: GM cemas dengan kemajuan sains. Menurutnya, ada
yang salah dengan epistemologi dan metode sains.
Kisah tentang sains, satu tema yang menarik dan membuka imajinasi
tanpa-batas, menjadi kering dan getir dalam tuturan GM. Uraiannya
soal sains seperti terkungkung dalam “kubah transparan di langit
yang tidak ada”. Mirip wacana geosentrisme abad pertengahan yang
mengira bumi diselubungi kubah langit transparan, yang memisahkan
bumi dengan surga.
Selain karya sastra dan film, GM juga merasa perlu mengutip pidato
Max Weber, dan sejumlah filsuf lain, untuk memastikan bahwa sikap
muramnya pada sains bukan cuma “nyeni”, tapi juga “filosofis”. Poin
kritik GM adalah, sains “tak pernah menanyakan makna hidup”,
sekaligus mengingatkan agar “jangan jumawa, mampu menjawab
segala hal”.
Filsafat Bertutur
296
berpola sama. Kaum romantis perlu juga menyadari bahwa dibalik
“keindahan senja di pelabuhan kecil ” selalu ada potensi ancaman
gelombang badai, tsunami, atau kesedihan nelayan yang gagal
menjaring ikan. Alam tidak selamanya indah, dan hidup tidak selalu
mudah.
297
Feyerabend menawarkan, secara sarkastis, metode alternatif untuk
sains: "anything goes" metode apa saja boleh. Baginya, tidak boleh
ada dominasi atau pemaksaan, metode digunakan sesuai tujuan
penelitian.
298
pertentangan filosofis antara free will dengan determinisme,
dikompatibelkan menjadi “soft-determinism”. William James
mengejek kompatibilisme sebagai upaya menciptakan “rawa-rawa
dalih” (quagmire of evasion) yang secara logika tidak konsisten.
Immanuel Kant menyebut kompatibiisme sebagai “dalih celaka akal-
akalan” (wretched subterfuge).
Sains Bercerita
300
dipersepsikan indera. Setelah menemukan pola, manusia akan
menyusun cerita.
301
alam semesta, dan berevolusi miliaran tahun menjadi dunia seperti
saat ini. Big Bang bukan cerita rekaan, ada dua bukti hasil
penghitungan dan pengukuran valid: spektrum redshift (Hubble) dan
gelombang micro cosmic (Penzias dan Wilson).
Kisah Big Bang dianggap valid pada 1964, setelah melalui proses
penyelidikan dan perdebatan panjang. Pertama kali diindikasikan
oleh Einstein dalam Teori Relativitas (1917) dan dirumuskan oleh
George Lemaitre (1927) dengan istilah “Cosmic Egg” (telur kosmik)
sebelum bernama Teori Big Bang.
Cerita alam semesta berubah dan harus direvisi berulang kali, sesuai
dengan temuan dan pengukuran teknologi terbaru. Sebelum Teori Big
Bang, manusia memahami “dunia” sebagai bumi datar tertutup kubah
transparan yang menjadi batas langit. Dalam kubah transparan ini
ada bintang, bulan dan matahari yang mengelilingi bumi sebagai
semacam dekorasi. Ini adalah cerita versi paradigma geosentrisme,
bumi sebagai pusat dunia.
Teori Big Bang sebagai cerita sains ditulis oleh kolaborasi banyak
saintis dalam jangka waktu yang panjang. Ibarat menyusun buku
“sejarah alam semesta”, saintis masih belum bisa menulis beberapa
paragraf awal: apa faktor yang memicu Big Bang. Cerita alam semesta
akan lebih menarik jika dimulai dengan kalimat pembuka: “Pada
302
suatu ketika” (once upon a time). Problemnya, tidak ada waktu
sebelum Big Bang.
Teori Big Bang juga menyisakan misteri yang serupa. Ada apa sebelum
Big Bang? Alih-alih menyerah, “Oh itu misteri Big Bang”, sejumlah
astrofisikawan mengajukan cerita (hipotesis) baru berjudul “String
Theory.” Basis ceritanya: jika alam semesta adalah pertunjukan
drama, partikel subatomik (quark, proton, neutro, elektron,
fermion) adalah aktor-aktornya dan medan gravitasi adalah
panggung.
Namun masih ada persoalan, cerita String Theory hanya berlaku jika
panggung gravitasi bukan cuma tiga dimensi, melainkan 10 dimensi.
Ini yang masih belum terkonfirmasi, dunia yang dipahami dan bisa
diobservasi manusia, sejauh ini, cuma empat dimensi. String Theory
benar secara hitungan matematis, namun belum terbukti bisa
diobservasi secara empiris. Ceritanya masih dianggap fiksi, belum
menjadi fakta.
303
Tuturan ringkas kisah alam semesta ini diuraikan sekadar sebagai
ilustrasi, menunjukkan proses cara sains menulis cerita. Proses
kolaborasi saintis, manusia pintar dari berbagai penjuru dunia,
bekerja sama untuk menjawab pertanyaan. Pasti tidak semudah
proses seorang penulis romantik, seperti GM, ketika membuat puisi
atau artikel.
304
komunikasi manusia via komputer dan internet telah “mendisrupsi
ritme biologis dan pola musiman budaya manusia, mengakibatkan
rasa takut dan cemas.”
Perang suatu saat akan akan berhenti. Namun perang gagasan, “war
of ideas”, akan berlanjut. Dalam polemik mempersoalkan sains saat
ini, GM menyampaikan kekhawatiran, sains akan menjadi “panglima”
pengetahuan manusia. Statement ini sepertinya mencerminkan
trauma GM muda, pada politik era Orde Lama (1960-an) ketika di
Indonesia populer slogan “politik menjadi panglima”.
306
untuk memahami geliat dunia sains masa kini dan mendatang,
ketimbang Husserl, Heidegger, Popper, atau Meillassoux.
307
dan kritis mempersoalkan sains. Mengingat, banyak orang yang
berpikirnya berhenti pada level takhyul dan mitos.
308
Mei 2016, demonstrasi anti-Muslim pecah di Houston, Amerika
Serikat. Dengan slogan “Stop Islamisasi di Texas”, mereka menentang
pendirian The Library of Islamic Knowledge di jantung kota Houston.
Tak lama berselang, muncul demonstrasi lain yang meneriakkan hak
untuk mempromosikan nilai-nilai Islam di negeri Paman Sam.
Demonstrasi kontra demonstrasi terjadi dan suasana memanas.
Hampir terjadi perkelahian jalanan di antara keduanya.
Sarana operasi politik yang senyap itu adalah media baru yang
demikian sangat familier bagi banyak orang: media-sosial!
“Artefak” teknologi komputasi yang begitu identik dengan janji
demokratisasi dan deliberasi ini ternyata telah menjadi sarana
operasi politik yang kotor dan memecah-belah masyarakat.
Tak ada yang menduga juga bahwa pada gilirannya Amerika Serikat -
-negara yang begitu menguasai jagad digital-- justru menjadi
korban paling absurd dari penyalahgunaan media-sosial untuk
memecah-belah masyarakat. Tak kalah absurdnya, perusahaan
309
raksasa digital yang menjadi “flag-carrier” Amerika Serikat:
Facebook, Google, Twitter, turut terlibat dalam politik pecah-belah
itu.
Ternyata ada begitu banyak hal yang tidak diketahui tentang gawai,
aplikasi dan layanan internet yang saban hari kita gunakan. Sejak
saat itulah, internet of thing kerap diplesetkan menjadi “We dont
know anythink about internet”. Pengguna internet rata-rata hanya
paham bagaimana menggunakan e-mail, menggunakan akun medsos
untuk berinteraksi sosial dan menggunakan mesin pencarian untuk
mencari sesuatu. Namun bagaimana layanan-layanan itu dapat
beroperasi, bagaimana operasi ini disertai dengan pengumpulan,
pemanfaatan data pribadi pengguna internet, bagaimana algoritma
bekerja untuk menata dan mengarahkan arus informasi dan
percakapan sosial, semuanya tak terjangkau oleh pengetahuan
pengguna internet pada umumnya.
Yang terjadi dalam kasus ini adalah algoritma Youtube sangat cerdas
dalam mengidentifikasi bahwa para penonton video-video itu adalah
orang-orang yang berpotensi untuk membeli bedak Johnson-
Johnson, minuman Coca-Cola dan mobil Toyota terbaru. Analisis big
data memungkinkan itu. Algoritma tidak sensitif terhadap citra
produk dalam hal ini. Cerdas tapi tidak “berperasaan”. Sontak saja,
para produsen mengajukan protes keras karena Youtube telah
membiarkan produk-produknya berasosiasi dengan konten-konten
negatif tersebut.
311
Keempat, ilmu komputasi (computer sains) dalam perjalanannya
sangat erat berkelindan dengan persoalan politik dan perdagangan.
Pengembangan teknologi digital tak bisa lepas dari motif bisnis,
politik dan geopolitik. Perang dagang antara AS dan China untuk
sebagian merupakan perang teknologi digital. Ini adalah
pertarungan bisnis antara Google, Amazon, Facebook, Apple,
Microsoft (GAFAM) melawan Baidu, Tensen, Alibaba, Huawee,
Pinduoduo. Bagaimana GAFAM mendominasi pasar digital global pada
dasarnya tak bisa dilepaskan dari strategi geopolitik AS. Ketika
praktek bisnis Google, Facebook, Amzon dipersoalkan oleh Uni Eropa,
Presiden AS membelanya secara langsung layaknya ketiganya
merupakan “perusahaan BUMN”. Kasus lain, Korea Selatan sanggup
mengembangkan platform nasional Navercom (mesin pencari) dan
Kakaotalk (medsos) juga berkat subsidi dan dukungan politik
pemerintah.
Enam seri tulisannya yang diunggah saban hari dan berakhir 21 Juni,
telah membuka ruang yang lebih luas tentang teknologi -sebagai
produk sains— dikehendaki atau tidak sedang dan akan mengubah
“takdir” sekaligus nasib manusia sebagai produk alam.
313
Nama-nama yang dikutip para penulis, sesungguhnya juga tak
terlalu asing di telinga -kecuali Quentin Meillasoux-, gara-gara
dulu diberi izin oleh Romo Dipo Sudiarja SJ untuk menjadi mahasiswa
pendengar di Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi St. Paulus,
Yogyakarta. Tiap minggu duduk bareng para frater yang sekarang
sebagian sudah menjadi uskup.
Jadi, membaca narasi banyak penulis hebat dalam diskursus ini, saya
masih merasa khawatir dan sedikit inferior. Khawatir saya
mendefinisikan seekor gajah itu adalah binatang yang bentuknya
tipis lebar hanya karena saya cuma memegang telinganya saja. Tidak
utuh. Inferior
Saya menemukan dan membaca satu prediksi yang lebih maju dari
perkiraan Kurzweil. World Economic Forum (WEF) mewawancarai
sekitar 800 eksekutif korporasi dan pemimpin industri dari seluruh
dunia. Mereka ditanya banyak hal, yang kemudian menjadi “tipping
point” dalam perjalanan manusia menghasilkan teknologi.
Apa hasilnya?
Sebagian prediksi itu bahkan sudah bisa kita lihat dan nikmati hari
ini, yaitu tentang car-sharing, yang kemudian model bisnisnya
terumuskan secara baik lewat Gojek, Grab, atau Uber itu. Yang sedang
ditunggu adalah “driverless car”. Kendaraan nirsopir. Dua tahun
314
terakhir, mereka terus menguji coba teknologi bus tanpa supir ini
dan dua tahun dari sekarang, 2022, akan mengimplementasikannya di
sejumlah rute.
Yang juga akan menjadi problem etis adalah 3D printing. Bikin rumah,
bikin jantung palsu, tulang palsu, bisa menggunakan teknologi ini.
Dialog yang paling mengena dari klip pendek itu saya kutipkan di
sini. “I don’t want to be flesh. I want to escape this thing and become
digital.”
“Ini bukan pembedahan. Ini implantasi. Kayak dulu Emak bikin tato,
yang nggak perlu minta izin nenek, kan?”
315
Orang-orang yang memiliki kapasitas linuwih seperti tokoh
imajinatifnya Singgih Hadi Mintardja itu menurunkan ilmunya secara
selektif, sehingga ada ilmu yang terwariskan ke Agung Sedayu, tetapi
tidak ke Swandaru Geni. Tapi dengan teknologi, siapa saja bisa punya
asal punya uang untuk menebusnya.
Being Digital
316
Dalam bukunya “Being Digital” [1996], Nicholas Negroponte dengan
amat gamblang membedakan apa itu “atom” dan apa itu bilangan biner
atau “bits” (binary digits).
Berapa kecepatan cahaya? 300 juta meter per detik. Orang eksak
biasanya menuliskan 3,00 x 100 juta meter/second. Dalam ruang hampa
atau dihampakan, kecepatan gerak ini bisa berubah lebih cepat
karena tidak ada hambatan. Jadi, untuk mempercepat dan
memperlambat pergerakan, saintis dapat mengelolanya –lebih tepat
mengendalikan-- dengan memberikan medium atau lingkungan yang
tepat. Artinya, sains telah membuat manusia memiliki kemampuan
untuk mengendalikan partikel yang bergerak dalam kecepatan
cahaya tersebut.
318
Entah dengan transhuman.
XLVI. 24 Juni: Goenawan Mohamad: “Scientia? Sapienta? Sains dan Atheisme Baru”
SCIENTIA? SAPIENTA?
Sains dan “Atheisme Baru”
Saya tak akan membuat itu soal yang pantas dibahas di sini. Mungkin
kelak — sambil mengajari mereka berdua telaah sastra. Saya kira
polemik ini akan jadi kekanak-kanakan jika para pesertanya hanya
mengambil pola “serang-tangkis-serang”. Akan lebih berharga jika
kita mendapatkan wawasan yang baru, berkat proses tukar menukar
pikiran.
***
319
Kita mulai dengan kutipan dari Rudolf Carnap, yang mewakili premis
pertama:
Atau Richard Dawkins yang kini lebih berkibar. Bagi dia, sains
sanggup menjawab pertanyaan yang mendasar, misalnya apakah ada
makna dalam hidup, atau untuk apa kita di dunia, dan apa pula
definisi manusia. “We no longer have to resort to superstition…”,
kata Dawkins. Sains “satu-satunya alternatif bagi takhayul.”
320
pihak agama ke dalam wilayah sains”. Contoh terkenal adalah ketika
Gereja melawan ajaran Galileo dan Darwin.
Tapi di pihak lain, kata Einstein, para wakil sains sering mencoba
masuk sampai ke “fundamental judgement” mengenai nilai-nilai dan
tujuan hidup, menilainya berdasar methode sains. Dengan itu ia
menantang agama. Konflik pun terbit. “These conflicts have all
sprung from fatal errors,” kata Einstein.
Gerakan ini tampaknya punya alasan yang kuat dan peminat yang
luas. Maklum: abad ke-21 adalah abad agama-agama jadi galak,
represif, intoleran, dan memuntahkan darah. Fanatisme menjadi-
jadi. Lebih jauh lagi, doktrin agama merasuki perguruan tinggi,
hingga sains dibelokkan dan dunia akademi percaya bahwa bumi datar
dan vaksinasi dosa.
Tapi tiap benturan keras, dalam ide dan politik, punya efek samping.
Bahkan “collateral damage”. Dalam pergulatan sengit itu tak jarang
para pembela sains dan para “atheis baru” terjerumus ke dalam
dogmatisme dengan isi yang berbeda. Karl Popper menyebutnya
dogmatisme “saintisme”.
321
saintisme. Para pengikutnya tampak bertujuan “menggantikan
filsafat dengan sains”.
322
alam— adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang
meyakinkan?
***
Beberapa hari yang lalu saya ikut kuliah on-line Karlina Supelli
yang diselenggarakan Komunitas Salihara. Dengan jelas, menarik dan
menggugah pikiran, Karlina membahas “Kebenaran Ilmiah dalam
Teologi dan Filsafat”.
Satu bagian dari kuliah Karlina yang penting bagi percakapan kita
adalah pengertian apa itu ”“nalar” dan “pikiran” — dan perubahan
maknanya dari masa ke masa, dari bahasa ke bahasa.
323
Dalam proses ini, sangat menentukan abstraksi. Dalam tulisan saya
yang lalu, dalam jawaban kepada Hamid Basyaib, saya uraiakan
sedikit proses abstraksi. Karena tampaknya pengertian dasar dalam
epistemologi ini tak mudah difaham, di sini baiklah saya terangkan
lagi, dengan cara sederhana. Dulu contoh saya air, yang dalam
lambang kimia disebut H2O. Kini contoh saya kambing.
Abastraksi adalah proses ketika anak kambing saya yang ini dan anak
kambing kamu yang itu, juga emak kambing yang kemarin dan eyang
kambing yang akan datang, digolongkan dalam konsep “kambing”.
Dengan itu manusia tak lagi repot berhubungan dengan masing-
masing embik, melainkan dengan identitas “kambing”.
324
Bahkan tidak sebagai ilmu sekalipun, matematika berhasil mengubah
pikiran kita — dan pada gilirannya, sejak abad ke-17, mengubah
pengetahuan manusia menjadi sains modern.
325
Walhasil, jika sains dibangun dengan nalar — dan hanya berdasar
nalar, — ia tak cukup membuat kita memahami secara penuh dunia-
kehidupan. Dan memang bukan itu fungsinya.
***
326
Fyodor Dostoevsky menulis yang berbeda. Dalam “Catatan Dari Bawah
Tanah”, naratornya bertanya, agaknya ditujukan kepada
Chernisevsky: “Kau percaya kepada istana kristal yang tak akan bisa
dihancurkan selama-lamanya... bangunan yang tak dapat kau cibir,
tak dapat kau sikapi dengan kasar, meskipun kau sembunyikan
tinjumu...Nah, mungkin aku takut bangunan ini justru karena ia
dibuat dari kristal dan tak dapat dihancurkan selama-lamanya, dan
sebab aku tak akan bisa mencibir, meskipun dengan diam-diam...”
Dua perspektif yang berbeda —yang tampaknya selalu ada dari masa
ke masa. Mereka yang fanatik, karena yakin akan kebenaran
pandangannya, berteriak: Itu tak bisa! Harus percaya yang aku
percaya!
***
327
Dalam perspektif kitab suci, yang cerita-cerita di dalamnya
dimaksudkan untuk membuat orang tunduk dan patuh kepada Tuhan
dan nabi-nabi yang menyatakan diri utusan Tuhan, karakteristik
tidak mudah percaya adalah seburuk-buruknya watak dibandingkan
dengan kemuliaan iman.
Saya mengenal Yahudi sejak kecil dari guru agama, dan guru agama
menyampaikan apa yang ada di kitab suci, dan kitab suci selalu
benar.
Pesan Kant dalam esai itu jelas: Anda harus berani berpikir sendiri
ketimbang sekadar tunduk kepada dogma dan otoritas, sebab tunduk
begitu saja kepada dogma dan otoritas adalah cara hidup yang malas
dan pengecut.
328
“Kita meyakini perbuatan tertentu sebagai perbuatan baik. Misalnya,
menghormati orang tua. Karena perbuatan itu baik, maka dewa
memerintahkan kita melakukannya? Atau, yang kedua, sebuah
perbuatan kita sebut baik karena dewa menyuruh kita melakukannya?
… Maksud saya begini. Jika yang pertama benar, berarti dewa tidak
ada urusannya dengan baik atau buruk sebuah tindakan. Ia tetap baik
kalaupun dewa tidak memerintahkannya. Jika yang kedua benar, kita
bisa berbuat jahat dan menganggap itu perbuatan baik, sebab kita
menjalankan perintah dewa. Jadi, mana yang benar?”
***
Yang terakhir itu penting, saya tahu. Para penganjur agomoisme yang
memberi tahu: Keliru satu huruf saja orang bisa nyemplung ke
329
neraka, selama-lamanya. Beda sedikit saja dalam menafsir Tuhan
orang bisa mengobarkan perang salib, berabad-abad.
Dalam lanskap itu, mari kita tambahkan aspek politik dan kita akan
mendapati aktivitas yang mubazir. Politik kita hanya memakan biaya
besar, tetapi tidak menghasilkan mutu setara dengan besarnya biaya
yang dikeluarkan.
Sistem politik kita, yang dibangun kokoh sejak Orde Baru di atas
fondasi kongkalikong antara penguasa dan pengusaha, sekarang
ditambahi dengan sentimen keagamaan setelah menguatnya
agomoisme. Saya khawatir ia gagal mengidentifikasi tantangan hari
ini dan gelagapan menghadapi percepatan teknologi beserta efek
disruptifnya. Lalu tambahkan aspek hukum dan kita akan menemukan
banyak kasus yang membuat kita sulit meyakini bahwa hukum
dipraktikkan dengan menghormati rasa keadilan. Lalu tambahkan
aspek media, yang disebut pilar keempat demokrasi, dan kita akan
putus asa melihat kualitas rata-rata media masa kita.
330
Saya pikir situasi kita lumayan buruk dengan semua pemandangan itu
dan kelihatannya perlu jalan keluar. Maksud saya, jika kita
memandang itu semua sebagai masalah.
***
331
apa yang benar dan apa yang salah, dan apa yang harus dilakukan
setiap hari, dan ia mempercayai apa-apa yang dikatakan orang lain
sebagai kebenaran.
“Salah satu hal yang diajarkan ayah saya selain fisika, entah ia benar
atau tidak, adalah rasa tidak hormat kepada yang-terhormat ...
Sebagai contoh, ketika saya masih kecil, dan sebuah rotogravure—
gambar yang dicetak di surat kabar—muncul pertama kali di New
York Times, ia mendudukkan saya di atas pangkuannya dan
memperlihatkan sebuah foto. Itu foto Paus dan orang-orang yang
membungkuk di depannya. Dan ayah saya bilang, ‘Lihat manusia-
manusia ini. Ada satu manusia berdiri di sini, dan semua yang lain
membungkuk. Apa beda mereka? Yang ini adalah Paus ... yang
membedakan hanya tanda pangkat’ Ia memang tidak menyukai Paus.
Tapi tentu saja itu bukan cuma soal Paus; ia bicara tentang banyak
kasus lain--soal seragam, soal posisi. ‘Orang ini [Paus maksudnya]
memiliki masalah kemanusiaan yang sama, dia makan malam seperti
orang lain, dia pergi ke kamar mandi, dia punya problem yang sama
332
dengan semua orang, dia manusia. Mengapa mereka semua
membungkuk kepadanya? Hanya karena nama dan posisinya, karena
seragamnya, bukan karena hal istimewa yang dia lakukan.’”
Kita bisa lebih tenteram jika memiliki anak yang tidak mudah
percaya begitu saja pada apa yang dikatakan orang, tidak tunduk
pada tanda pangkat, tidak menghamba pada seragam. Seragam, kita
tahu, memiliki efek kurang bagus bagi kejiwaan, bukan karena ia
membuat manusia tampak teratur seperti batang-batang tebu,
tetapi seragam adalah alat untuk membuat manusia mudah
dikendalikan.
334
Dengan kata lain, tanpa humanisme kita tak akan pernah mencapai
kemajuan—tak akan ada progres dalam kehidupan umat manusia.
Hanya di atas landasan sekuler humanisme itu kita bisa menghargai
individu-individu dan menempatkan manusia di atas segala sekat.
***
XLVIII. 26 Juni: Lukas Luwarso: “Empati untuk Para Penafsir dan Pencari Makna”
335
Bukan kebetulan metode sains muncul terakhir dari proses evolusi
panjang itu. Ia muncul ketika akumulasi pengetahuan manusia
semakin komplek. Kompleksitas menuntut pendekatan yang berbeda.
Tidak cukup mengandalkan keyakinan, asumsi, intuisi, atau
spekulasi. Penjelasan ini sudah saya uraikan dalam tiga tulisan
sebelumnya: “Kepastian Sains dan Pencarian Kebenaran”; “Trilema
Sains, Filsafat, Agama”; serta “Sains, Filsafat, dan Storytelling.”
Kali ini saya menulis sebagai rasa empati pada Anda yang berkhidmat
pada agama dan filsafat. Saya mencoba melihat perspektif dari sudut
Anda. Saya tahu tidak akan mudah, namun mohon diizinkan. Bagi saya,
agama, filsafat, dan sains sebenarnya mencoba mengisahkan cerita
yang sama, dengan bahasa yang berbeda. Ketiganya ingin menjawab
keberadaan manusia dalam misteri alam semesta. Ketiganya adalah
wujud keterpukauan dan ketakjuban pada alam semesta. Agama ingin
memaknai, filsafat berupaya memafsirkan, dan sains mencoba
menjelaskan. Agama adalah pengabdian (devotion), filsafat
pemikiran (reason), dan sains penyelidikan (investigation).
Tiga model pendekatan ini (devotion, reason, investigation)
menghasilkan output pengetahuan yang berbeda. Masing-masing
penganut yang memahami substansi, mustinya tidak akan
membenturkan dogma (agama), spekulasi (filsafat), atau deskripsi
(sains).
Perselesihan, jika ada, cuma soal semantik dan temperamen
manusianya. Bukan substansi paradigmanya. Perlu lebih kejernihan
dan kejelasan berpikir untuk memahami proses evolusi sejarah
paradigma manusia mencari makna, menafsirkan dan memahami
dunia—sebagai satu rangkaian pemikiran yang berkorelasi. Sebelum
menyampaikan empati, izinkan saya menguraikan, secara ringkas,
sejarah evolusi paradigma itu, di bawah ini.
****
Manusia pada fajar peradaban terpana dan takjub pada alam semesta,
khususnya pada sejumlah fenomena yang—pada masanya—tak
sepenuhnya dimengerti. Kenapa ada hujan, banjir, gunung meletus,
badai, wabah, penderitaan, kematian.
Untuk menjelaskan misteri ini manusia menyusun cerita tentang
adanya kekuatan tersembunyi, yang lebih besar dari manusia, dan
336
mengatur alam di sekitarnya. Muncullah kisah-kisah dewa-dewi
sebagai tafsir dan penjelasan.
Apa saja yang tidak dimengerti manusia, dilimpahkan ke dewa-dewa.
Apakah hujan itu, mengapa ada badai, bagaimana gunung meletus,
manusia tidak tahu. Bagaimana menjelaskan ketidakberdayaan
manusia vis a vis keperkasaan alam itu? Para kepala suku, tetua adat,
atau shaman menyusun cerita yang dikisahkan kepada anak-anaknya.
Upaya awal, dalam kesederhanaan cara berpikir, manusia
memanusiawikan (anthropomorphize) kekuatan alam sebagai ulah
para dewa.
Begitulah, pada masanya, cara termudah untuk menjelaskan hal-hal
yang tak dipahami adalah menciptakan “agen” berkekuatan besar
yang bisa melakukan berbagai hal di luar kemampuan manusia.
Mengalihkan penjelasan sebab-musababnya ke dewa adalah jawaban
termudah. Manusia bingung memahami, mengapa ada wabah penyakit?
Tak perlu repot memaknai atau menafsirkan, cukup dengan
penjelasan: para dewa lah yang membuatnya. Begitulah bahasa dunia
era politeisme
Agama adalah kelanjutan cara berpikir mitologis politeistik itu.
Upaya untuk menjelaskan segala sesuatu, dengan mengalihkan ke
entitas supranatural sebagai jawaban. Alih-alih beragam dewa
politeistik, yang gemar berantem antarmereka sendiri, kemudian
penjelasan dipampatkan menjadi cukup satu Maha-Dewa: Tuhan yang
maha kuasa. Tuhan adalah penggabungan dan penyatuan (merger)
berbagai kekuatan dewa-dewa. Begitulah bahasa dunia era
monoteisme.
Saat itu, 2000 tahun lalu. Ibarat komputer, sistem operasi dan
kapasitas memori otak manusia masih sangat terbatas (bayangkan
awal-awal komputer pada 1970-an). Operating system otak manusia
belum mampu memproses secara baik begitu banyak informasi
kehidupan alam di sekitar.
Pertanyaan sulit tentang apa, bagaimana, mengapa, tentang
fenomena alam yang dihadapi sehari-hari (soal-soal yang sekarang
terasa sepele), lebih mudah diserahkan pada Tuhan, sebagai sumber
segala pengetahuan. Dan Tuhan selalu menjawab, antara lain dengan
menurunkan wahyu dan malaikatnya untuk membimbing manusia.
Tuhan juga menurunkan 10 perintah, agar diikuti manusia (yang
337
ternyata boleh juga tidak diikuti). Segala sesuatu terjadi semata-
mata karena kehendak Tuhan, melalui konsep takdir. Tapi, tentu,
manusia boleh melawan takdir, karena sepertinya Tuhan Maha-
Demokratis.
Dengan turunnya agama, pertanyaan esensial, dari mana asal manusia
dan kemana tujuannya, telah terjawab dengan pasti. Makna hidup
“telah ditemukan” melalui agama. Hidup lebih mudah dipahami dan
dijalani dengan hadirnya Tuhan selaku penentu takdir jalan hidup
manusia. Agama menuntut keyakinan (faith) tanpa ada pertanyaan,
itulah kebutuhan manusia umumnya pada masa itu, mendapat
penjelasan yang memuaskan.
Namun bersamaan dengan turunnya agama dan hadirnya Tuhan,
sebagian manusia menolak keyakinan dan memilih pemikiran.
Sebagian manusia, yang menamakan diri “para pecinta
kebijaksanaan”, memilih memakai penalaran, untuk menjelaskan
hal-ihwal.
Ketika manusia pada umumnya meyakini adanya kekuatan Tuhan
monotheis yang menentukan segala hal, di satu wilayah yang bernama
Yunani (juga di China dan India), sejumlah orang berpikir keras untuk
mencari penjelasan alternatif. Mereka menebak-nebak tentang apa
hakekat dunia, apa sebenarnya alam semesta, dan tersusun dari apa.
Mereka adalah para filsuf yang menggunakan metode filsafat.
Para filsuf klasik Yunani berspekulasi, memperdebatkan, apa esensi
dibalik keberadaan alam semesta. Menurut mereka, alam semesta
tersusun dari empat elemen tanah, air, api, dan udara. Thales
menyebut air; Anaximenes menganggap udara; Empedokles
menggabungkan api-udara-air-tanah; Anaxagoras menyebut
pikiran; dan Phytagoras memilih angka (matematika) sebagai esensi
dunia. Begitulah filsafat, masing-masing filsuf bersikukuh dengan
kebenaran spekulatifnya, yang terus terbawa hingga sekarang.
Sampai kemudian, sekitar 300 tahun lalu, muncul sains sebagai
metode menguji fakta yang diperdebatkan para filsuf. Sains
melanjutkan tradisi mempertanyakan, untuk mendapat penjelasan
yang lebih pasti terkait dengan keyakinan (agama) dan keraguan
(filsafat). Sains modern lahir dari pemikiran filsuf seperti Francis
Bacon, Rene Descartes, David Hume, Immanuel Kant, Auguste Comte,
dan lain-lainnya, yang sering disebut Era Pencerahan.
338
Prinsip sains adalah melanjutkan rasa keterpukauan dan pertanyaan,
yang diinisiasi oleh agama dan filsafat. Namun keterpukauan bukan
lagi pada hal-hal yang agung (seperti hakikat dan esensi alam
semesta), melainkan pada hal-hal yang “remeh-remeh.” Sains
modern muncul dari kegemaran para filsuf menyelidiki hal-hal yang
bisa membantu sebagai pengetahuan praktis. Francis Bacon ingin
mengawetkan daging agar tidak cepat membusuk, yang kemudian
melahirkan teknologi lemari es pendingin modern. René Descartes
bertanya-tanya mengapa lalat terbang masuk ke kamarnya tidak
tersesat. Dengan mengamati lalat, Descartes merumuskan analisis
geometri dan merumuskan metode sains modern awal.
Albert Einstein kecil tertarik pada sains karena terpukau dengan
kompas, pemberian ayahnya sebagai hadiah ulang tahun. Einstein
begitu girang mendapat hadiah, dan merasa ada “misteri” yang aneh
dengan kompas. Ke manapun digerakkan, jarum kompas selalu
menunjuk ke arah utara. Einstein kecil menduga, pasti ada hal
tersembunyi yang bisa dijelaskan dibalik fenomena aneh jarum
kompas. “Something deeply hidden”, pikirnya. Hasrat Einstein untuk
memecahkan misteri kompas ini terbawa hingga ia dewasa. Ia ingin
memahami apa yang menggerakkan jarum kompas.
Pertanyaan filsuf untuk “hal-hal yang sepele” kemudian melahirkan
para pemikir jenis baru (para saintis) dan objek penelitiannya
menjadi cabang ilmu spesifik. Para saintis tekun meneliti dan
bersinergi saling melengkapi (beda dengan tradisi filsafat yang
“saling berbantah”). Misalnya teori dan hukum elektromagnetik
ditemukan oleh penyelidikan terpisah banyak saintis, dalam waktu
yang berbeda, Faraday, Maxwell, Gauss, Lorentz, dan masih banyak
lagi. Temuan-temuan kecil hasil kolaborasi banyak saintis ini
kemudian ber-efek domino melahirkan berbagai temuan baru yang
berguna. Dari teknologi listrik, optik, lensa, gelombang radio,
komunikasi nirkabel, radar, dan sebagainya, yang berguna
memudahkan hidup manusia.
Objek penelitian sains yang “sepele dan remeh-temen”,
sesungguhnya rumit (tentu tidak serumit memaknai dan menafsir
alam semesta, atau kehendak Tuhan). Rumit dalam arti bagaimana
menjelaskan cara kerjanya secara ilmiah, merumuskannya dalam
persamaan matematis yang konsisten, dan bisa memanfaatkannya
untuk kebutuhan praktis.
339
Berbeda dengan wacana dan bahasa filsafat yang rumit, penjelasan
sains mirip cara agama memberikan uraian: sesederhana mungkin.
Penjelasan agama merujuk pada prinsip “kehendak Tuhan”. Sedangkan
sains berprinsip “penjelasan paling masuk akal adalah yang
sederhana”. Dikenal sebagai prinsip Occam’s Razor: “rumuskan teori
dan hipotesismu sesederhana mungkin dalam menguji dan meneliti
fakta yang teramati.”
Prinsip epistemologi dan metode sains, kemudian terbukti mampu
menjelaskan atau melengkapi berbagai keyakinan atau keraguan.
Menjadikan dunia dan kehidupan lebih mudah dijalani, sebagaimana
yang kita rasakan saat ini.
*****
Cukup rasanya menjelaskan sejarah korelasi agama, filsafat, dan
sains dalam ilustrasi yang ringkas, seperti terurai di atas. Kini
izinkan saya menyampaikan tujuan penulisan artikel ringan ini,
yaitu menyampaikan rasa empati pada Anda, “para penafsir dan
pencari makna”, yang gelisah dan cemas pada perkembangan sains.
Ada “lima poin empati” (Panca-empati):
Pertama:
Maafkan sains yang fokus mengamati, meneliti, dan mengukur alam
natural yang hanya bisa diobservasi. Sains tidak mengutik-utik
(tinkering) dengan urusan yang besar, agung, metafisik, dan mistik.
Itu biarlah tetap menjadi wilayah keyakinan agama atau spekulasi
filsafat Anda.
Silakan terus menikmati keyakinan Anda, jika itu membuat hidup
Anda lebih bermakna. sSilakan lanjutkan berspekulasi menafsirkan
yang ada (“das ding an sich”). Sains bukannya mengabaikan hal-hal
supranatural atau menganggap spekulasi tidak bermanfaat. Sains
hanya tidak tahu bagaimana caranya mengobservasi keajaiban atau
keghaiban. Sains juga tidak ingin berlarut-larut dalam kebingungan
spekulatif. Ketika sains tidak tahu, maka ia akan bilang: “tidak
tahu.”
Kalau saja fenomena keajaiban itu bisa diundang atau terjadi
berulang, sehingga bisa diidentifikasi polanya, kemungkinan sains
bisa menyusun penjelasannya. Namun selama hal-hal (kisah)
supranatural cuma pernah sekali terjadi, di masa lalu, dan tidak
meninggalkan jejak bukti, maka mustahil sains bisa menjelaskan—
340
selain menganggapnya sebagai “storytelling”. Kalau saja keajaiban
meninggalkan jejak fosil, sebagaimana dinosaurus, tentu sains bisa
membantu menjelaskan karakteristiknya.
Lagi pula, bagi Anda yang berkeyakinan, tentu tidak terlalu soal jika
tidak ada penjelasan atau kejelasan. Karena esensi keyakinan, toh,
meyakini sesuatu tanpa perlu ada penjelasan. Dan sains juga tidak
berniat memaksakan penjelasan. Buktinya setelah 300 tahun era
sains modern, mayoritas manusia masih memeluk keyakinan agama.
Dalam dunia yang semakin demokratis, Anda bebas memilih, mau
yakin atau mau jelas. Silakan suarakan pilihan Anda. Pilihan itu
pasti bukan sejenis “kepongahan”, sebagaimana penghayat Islam
Liberal (tadinya), Ulil Abshar Abdalla, sering kemukakan. Manusia,
mahluk dhaif, seperti Ulil, bisa pongah. Namun metode sains—
sebagaimana agama atau filsafat—lazimnya tidak punya karakter
antroposentrik; seperti pongah, misalnya.
Kedua:
Supaya adil dan tidak terus berselisih —sehingga terkesan kurang
adab— abaikan saja temuan dan teori sains yang mungkin
menyinggung keyakinan atau penafsiran anda. Sains tidak pernah
memaksakan, agar Anda mengubah keyakinan untuk bertaklid pada
penjelasan sains. Anda dipersilakan mengabaikan, menjauhi, atau
membuang (sejauh tidak melarang) informasi atau buku-buku terkait
dengan teori sains. Karena, bagi sains, sikap dan opini personal Anda
tidak akan ada pengaruhnya. Prinsip dan temuan sains tetap
berfungsi, baik Anda yakin atau tidak. Teori gravitasi, teori
relativitas dan teori evolusi tetap berlaku baik Anda percaya atau
tidak.
Anda boleh terusik atau tersinggung dengan opini, tapi menjadi lucu
jika Anda terganggu dengan fakta. Sains tidak pernah bermaksud
mengusik keyakinan dan keraguan Anda, selain sekedar mengungkap
fakta. Jika karena satu hal, Anda bertemperamen mudah tersinggung,
saran saya hindari tempat atau sumber informasi yang kental
bernuansa sains (seperti buku pengetahuan, internet, komputer,
televisi, radio, perpustakaan, museum, sekolah, universitas).
Hindari berbincang dengan saintis dan penyuka sains, jangan baca
ulasan sains, jangan ikut berpolemik tema sains. Dan jika Anda
merasa “ada yang salah” dengan modernitas hidup manusia—akibat
produk sains—Anda bisa mulai berhenti menggunakan teknologi
341
modern. Di Amerika, misalnya, ada masyarakat yang bergaya hidup
tegas menolak sains dan teknologi. Mereka, “Komunitas Amish”,
menginginkan dunia berhenti pada abad 17. Itu pilihan sah dan
menarik, sebagai satu eksentrisitas gaya hidup. Komunitas Amish
setidaknya menarik sebagai atraksi turis.
Ketiga:
Jika Anda tidak berniat bergaya hidup eksentrik ala Komunitas
Amish atau komunitas lain yang anti-sains. Silakan manfaatkan
pengetahuan dan teknologi hasil kerja keras sains. Gunakan
komputer untuk mengakses informasi dan berkomunikasi, pakai
smartphone dengan berbagai aplikasinya; televisi dengan beragam
acara. Namun, tetap waspada dengan pilihan informasi, jangan
tergoda info yang menggusik keyakinan (abaikan dan segera matikan
saja gajet Anda jika Anda info sains masuk). Manfaatkan sarana
transportasi darat, laut dan udara, untuk memudahkan mobilitas
dari satu tempat ke tempat lain.
Manfaatkan juga sains terkait dengan kesehatan, saat sakit jantung,
gagal ginjal, sakit hati, dan berbagai penyakit terkait organ tubuh,
dengan transplantasi organ. Temuan sains di bidang kesehatan telah
banyak membantu manusia, sejumlah penyakit degeneratif seperti
kanker, Alzheimer, Parkinson, cepat atau lambat akan bisa diobati
dengan sains nano-technology. Namun jika tidak yakin dengan
kemajuan dan resep ilmu kesehatan, silakan lanjutkan memilih obat
tradisional, mengkonsumsi herbal, konsultasi dengan “orang
pointer” (dukun atau cenayang).
Keempat:
Jika Anda termasuk orang beriman yang memanfaatkan pengetahuan
dan produk sains modern untuk memudahkan hidup. Anda tetap bisa
menjalankan keyakinan; atau sebagai filsuf terus meragukan sains.
Namun, sedikit mengingatkan, sains dihasilkan oleh proses panjang
pengamatan, penelitian dan pengujian hasil kolaborasi saintis dari
berbagai penjuru dunia. Sains dan teknologi bukan hadir secara ajaib
dari alam ghaib (sains bukan sulap kelinci yang bisa sekonyong-
konyong-konyong muncul dari topi pesulap) atau hasil renungan
spekulatif belaka.
Akan lebih mudah bagi hidup Anda, setidaknya secara pemahaman
kognitif, jika selain menggunakan teori atau produk sains, Anda juga
menerima metode dan paradigmanya. Anda akan selalu menjadi orang
342
yang mengalami “kebingungan paradigmatis”, jika getol
menggunakan produk sains-teknologi tapi mempersoalkan
metodenya. Gemar memakai aplikasi media sosial, sekaligus
mengecam sains yang menghasilkannya. Berpretensi kritis-
filosofis, mempertanyakan epistemologi sains, baik-baik saja jika
jelas bidikannya. Bermaksud membawa sains ke “tempat yang bersih,
dan terang lampunya,” seperti Goenawan Mohamad, tentu satu niat
yang mulia. Tapi, sekadar mengingatkan, pastikan tempat yang
bersih itu ada aliran listriknya, agar lampu (produk sains) menyala.
Karena lilin atau obor, pasti kurang efektif untuk penerangan.
Kelima:
Seperti fatwa: “ketidaksukaan tidak boleh membuat kita tidak adil.”
Kritis pada sains tentu baik dan penting. Komunitas sains
menjadikan sikap kritis bukan cuma sebagai slogan, wacana, atau
khotbah, namun memakai sebagai metode. Berpikir kritis inheren
dalam metode sains, bagian dari metode ilmiah saat merumuskan,
menyimpulkan hingga menguji teori sains. Jadi kritisisme yang
proporsional dan tepat sasaran pasti disambut dengan baik dan
diperlukan. Sains mustahil menjadi “dogma atau panglima”, karena
“dogmatisme dan panglimaisme” justru dipersoalkan dan ditolak
oleh sains.
Sangat penting Anda mampu secara jernih membedakan sains,
saintisme, dan saintologi (“science, scientism, dan scientology”).
Anda pasti sedang bingung atau ragu, jika bersikap “kritis” pada
sains, namun yang Anda serang dan persoalkan adalah saintisme.
Anda cocok menjadi penganut Scientology (yang menjadikan novel
sains-fiksi L. Ron Hubbard sebagai ajaran agama) jika gagal
memahami perbedaan science dengan scientism. Dan gemar
menggunakan diksi keagamaan, seperti “dogmatis” atau “bigotry”
untuk memberi label pada sains. Poin ini penting untuk diperhatikan
“Men of faith” seperti Budhy Munawar-Rahman, F Budi Hardiman, dan
Haidar Bagir.
Kebingungan yang fatal, tapi bisa dipahami secara empati. Bagi
mereka yang cara berpikirnya terbiasa dengan dogmatisme agama,
maka kegemaran menggunakan diksi agama, seperti “dogmatisme”,
“bigotry”, tentu harus dimaklumi. Sikap superficial dalam melihat
sains, seperti kegemaran mempermainkan label istilah ketimbang
substansi, perlu dimaklumi secara empati. (Majalah Tempo,
343
misalnya, dua kali menggelar diskusi online dengan memilih tema
“saintisme”, ketimbang “sains”. Boleh diduga panitia penggagas
diskusi di Tempo adalah para penganut Scientology, mereka pasti
mengidolakan Tom Cruise.
***
Demikian pernyataan empati saya, untuk para “Penafsir dan Pencari
Makna”. Saya mendukung penuh, bersimpati, sekaligus berempati
pada upaya menafsirkan dan memaknai dunia. Saya berharap upaya
Anda menafsir dan memaknai dunia akan menemukan kejelasan, baik
Anda memakai atau mengabaikan sains.
Sekali lagi, saya ingin menegaskan, seperti agama dan filsafat, sains
adalah juga produk intelegensia manusia. Sains bukan produk setan,
delusi, atau halusinasi yang perlu ditakuti. Sudah sepantasnya
sains, filsafat, dan agama dapat bersama-sama memperkaya
pemahaman kognisi kita (tanpa menganggap yang satu panglima yang
lain prajurit atau pramuwisma). Saya berharap, semoga Anda dapat
menikmati hidup di dunia, yang begitu luas dan indah, dengan lebih
tenang dan bahagia, tidak terganggu dan terusik sains. Semoga poin-
poin empati saya ini dapat mengurangi satu kecemasan Anda yang
tidak perlu: cemas pada sains.
344
Tuhan tapi semata ciptaan Tuhan. Ketika bangsa Yahudi menyatakan bahwa
manusia diciptakan menurut citra Allah dan diberi mandat menguasai alam
binatang, bangsa Yahudi menolak pemujaan terhadap hewan yang dilakukan
kaum pagan.
Di kebudayaan pagan, dunia dipenuhi oleh dewa-dewi seperti dewi fertilitas,
dewa laut dan masih banyak lagi. Mereka percaya dewa-dewi ini mempunyai
kekuatan untuk mengendalikan alam semesta. Agama Yahudi menegaskan
Tuhan yang satu dan berada di luar alam semesta yang mengendalikan alam
semesta. Dengan kata lain, Agama Yahudi melakukan desakralisasi dan
depersonalisasi alam semesta.
Aspek kedua, Agama Yahudi menganggap Tuhan (yang bukan bagian alam
semesta adalah) adalah law giver baik untuk hukum moral maupun hukum
alam, kepercayaan ini mendorong penganutnya untuk memahami hukum
alam.
Konsepsi waktu juga berbeda antara kaum pagan dan bangsa Yahudi. Kaum
pagan memandang waktu itu cyclical (cakra manggilingan) termasuk oleh
peradaban Yunani yang sudah sangat maju, Sementara agama Yahudi
menganggap waktu itu linear.
Banyak ahli antropologi dan sejarah yang menduga bahwa tiga aspek ini, (i)
desakralisasi dan depersonalisasi alam semesta, (ii) Tuhan yang esa di luar
alam-semesta sebagai pemberi hukum termasuk hukum yang mengatur
alam semesta dan (iii) konsepsi tentang waktu yang linear, justru memberi
ladang yang subur (memberi prekondisi) bagi lahirnya ilmu pengetahuan
dan progresivisme di kemudian hari. Worldview Agama Yahudi ini tetap
dipegang oleh saudara-saudara mudanya Agama Kristen dan Islam
Tentang supranatural yang disebut juga di tulisan Lukas. Banyak yang
menyamakan supranatural dengan tahayul. Supranatural bukan melawan
atau mengesampingkan nalar tapi melampaui nalar, yaitu penerimaan
kebenaran setelah semua alasan rasional sudah habis. Saya senang dengan
penggambaran iman seperti ini: Ketika seseorang jatuh cinta pada seorang
dia akan mencari segala informasi tentang dia dari teman-temannya, gosip-
gosip tentang dirinya, juga mencari informasi melalui Google, Linked-In,
bahkan stalking laman FBnya.
Dengan akalnya menimbang-nimbang informasi yang dia peroleh, berdebat
dengan dirinya sendiri atau dengan orang lain tentang dia. Tapi pada suatu
saat sang pemburu bertemu dengan sang ”gebetan” dan sang "gebetan"
menceritakan segalanya tentang dirinya ("mewahyukan" dirinya). Di saat itu
sang “pemburu” harus memutuskan percaya atau tidak atas “wahyu” sang
"gebetan." Mungkin tahayul bisa disejajarkan dengan cinta buta.
345
Analogi lain terkait dengan supra natural vs natural kali ini terkait dengan
soal kausalitas. Ketika Karna dibunuh Arjuna, siapakah yang menjadi
penyebab kematian Karna? Arjuna atau Walmiki sang pengarang. Tentu saja
dua-duanya, Tapi ada perbedaan. Arjuna menjadi penyebab kematian Karna
di dalam plot. Sementara Walmiki menciptakan seluruh plot dalam
pikirannya, termasuk peristiwa pembunuhan Karna oleh Arjuna.
Pembedaan ini sudah ditunjukkan oleh Thomas Aquinas tujuh abad yang
lalu dengan konsep primary cause dan secondary cause. Secondary cause itu
kausalitas horizontal di dalam alam semesta (di dalam plot cerita di analogi
di atas) sementara primary cause itu kausalitas vertikal oleh sang pencipta.
Bahkan Thomas Aquinas berpendapat lebih terhormat bagi Tuhan untuk
menggunakan secondary cause, melalui hukum alam, dalam mencapai
tujuanNya dibanding jika Tuhan terlalu sering menggunakan intervensi
langsung (salah satu alasannya itu akan membuat kepastian dan keteraturan
hukum alam, yang diciptakanNya sendiri menjadi tidak pasti dan tidak
teratur)
Penerimaan atau penolakan terhadap filsafat tentang primary and secondary
cause ini terlihat cukup jelas akhir-akhir ini dalam polemik tentang teori
evolusi. Pendukung creationism yang sebagian besar adalah bible literalist
menganggap jika Tuhan tidak mengintervensi langsung proses evolusi
(mementingkan primary cause), Keagungan Tuhan berkurang, jadi bagi
mereka ada persaingan antara hukum alam dan Tuhan. Sebaliknya bagi
pendukung interpretasi Thomas Aquinas tidak ada kompetisi antara hukum
alam dan Tuhan, dua-duanya bersumber dari sang Pencipta yang sama
Masih banyak yang bisa dibahas terkait hubungan Sains dan Agama
misalnya: apakah Teologi Voluntarisme vs Teologi Rasionalisme
mempengaruhi penerimaan terhadap reason. Apakah perkembangan ilmu-
ilmu pengetahuan terakhir memperkuat atau melemahkan posisi
pendukung filsafat Physicalism atau sering juga disebut Materialisme atau
Naturalisme. Mudah-mudahan bisa saya bahas di kesempatan lain.
EINSTEIN, TUHAN…
Galileo menafsir ciptaan Tuhan dengan matematika, Einstein
menyimaknya dengan ketakjuban.
346
Pada umur 12, anak Yahudi calon penemu Teori Relativitas ini tak
lagi mempercayai Kitab Suci. Ia membaca sebuah buku kecil tentang
bidang geometri Euklides, dan ia terpesona. Dalam otobiografinya
yang ia tulis pada usia 67 — sebuah buku 45 halaman — ia menyebut
yang ia baca saat itu sebuah “Keajaiban”.
Di dalam diri remaja itu, dunia sains menampakkan diri bagai “sebuah
teka-teki besar yang kekal”. Maka pada umur 16 ia meyakinkan
ayahnya bahwa ia tak beragama. Ia sedang menciptakan iman dan
sains-nya sendiri.
Dua dasa warsa kemudian, dalam pidato buat ulang tahun ke-60
Ilmuwan Max Planck, Einstein menyebut “iman” itu. Dalam
menghadapi problem sains yang paling sulit, katanya, agar tetap
teguh, kita perlu “sebuah Gefühlszustand (keadaan perasaan) seperti
seorang religius…”
“Kekuatan” itu bisa disebut Tuhan, tapi bukan Tuhan dalam doa
Yahudi, Kristen, dan Islam. Tuhan Einstein bukan “person” yang minta
disembah, memberkahi dan mengutuk. Tuhan bagi Einstein adalalah
“kehadiran satu kecerdasan intelektual, “einer geistigen
Intelligenz”, yang terungkap dalam alam semesta yang tak dapat
difahami”.
Tapi mau tak mau, tentang Tuhan yang subtil, tafsir seseorang akan
berlaku. Dalam tafsir Einstein, Tuhan adalah Tuhan yang tak membuat
alam semesta acak-acakan. “Tuhan tak bermain dadu”, ucapan
Eisntein yang terkenal, yang ia arahkan sebagai kritik kepada teori
mekanika kuantum.
Ada sikap angkuh yang langka di sini. Einstein tampak merasa mampu
“membaca kartu Tuhan” (dalam kiasan Einstein sendiri) hingga bisa
menilai demikian. Niels Bohr, fisikawan Denmark, tokoh teori
mekanika kuantum, kesal. Ia jawab Einstein, “Stop telling God what
to do!”
348
Tapi itulah dua sisi cerita sains. Ia lahir dari ketakjuban akan
“kekuatan intelektual yang tak terhingga” dari Alam dan dalam Alam.
Tapi ia juga merasa, setidaknya sesekali, sanggup bisa menguak
“misteri yang kekal” itu.
349