PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Selama dua dekade terakhir ini, telah terjadi transisi epidemiologis yang signifikan
dimana penyakit tidak menular telah menjadi beban utama, meskipun beban penyakit
menular masih berat juga. Penyakit tidak menular utama meliputi hipertensi, diabetes
melitus, kanker, dan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) (Renstra Kemenkes,
2015).
Penyakit Tidak Menular (PTM) merupakan penyakit kronis yang tidak
ditularkan dari orang ke orang. Oemiati (2013) menyatakan bahwa morbiditas PPOK
diantara Penyakit Tidak Menular di negara maju dan berkembang, merupakan ancaman
kematian yang tinggi. PPOK merupakan masalah kesehatan masyarakat utama di dunia,
dan salah satu dari penyebab kasus mortalitas dan morbiditas di negara-negara dengan
pendapatan tinggi dan pendapatan rendah.
World Health Organization (WHO) (2015), menyatakan bahwa PPOK
merupakan penyebab utama keempat morbiditas kronis dan kematian di Amerika
Serikat, dan diproyeksikan akan menjadi peringkat kelima pada tahun 2020 sebagai
beban penyakit di seluruh dunia. 2 Diperkirakan 65 juta penduduk dunia menderita
PPOK sedang sampai berat, dimana lebih dari 3 juta orang meninggal karena PPOK,
dan menyumbang 6% dari seluruh penyebab kematian. Data mengenai morbiditas dan
mortalitas PPOK tersebut didapatkan sebagian besar dari negara-negara dengan
penghasilan tinggi (Widayana, 2016).
Di Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta penderita PPOK, dengan prevalensi
5,6 persen. Data dalam Riskesdas tahun 2013, menyebutkan bahwa prevalensi PPOK
berdasarkan wawancara di Indonesia sebesar 3,7 persen per mil, dengan prevalensi
lebih tinggi pada laki-laki yaitu sebesar 4,2%.
Propinsi Jakarta berada pada urutan ke-14 berdasarkan jumlah penderita PPOK
di Indonesia, dengan prevalensi sebesar 4.5% (Riskesdas, 2018)
Rabe et al (2007) menyatakan bahwa PPOK adalah penyakit kronis saluran napas yang
ditandai dengan hambatan aliran udara khususnya udara ekspirasi dan bersifat progresif
lambat (semakin lama semakin memburuk), disebabkan oleh pajanan faktor resiko
seperti merokok, polusi udara di dalam maupun di luar ruangan. Onset (awal terjadinya
penyakit) biasanya pada usia pertengahan dan tidak hilang dengan pengobatan
(Riskesdas, 2013).
Perkumpulan Dokter Paru Indonesia (2011) menyatakan bahwa inflamasi dan
air trapping adalah dasar dari PPOK yang menyebabkan penurunan saturasi oksigen
dan penyempitan saluran napas periferal. Besarnya inflamasi, fibrosis, dan eksudat
pada saluran napas kecil berhubungan dengan penurunan saturasi oksigen. Gejala klinis
PPOK antar lain batuk, produksi sputum, sesak nafas, dan keterbatasan aktivitas.
Ketidakmampuan beraktivitas pada pasien PPOK terjadi bukan hanya akibat
dari adanya kelainan obstruksi saluran nafas pada parunya saja, tetapi juga akibat
pengaruh beberapa faktor, salah satunya adalah penurunan fungsi otot skeletal. Adanya
disfungsi otot skeletal akan membatasi kapasitas latihan dari pasien PPOK. Penurunan
aktivitas pada kehidupan sehari-hari akibat sesak nafas yang dialami pasien PPOK akan
mengakibatkan makin memperburuk kondisi tubuhnya (Celli, 2004 dalam Khotimah,
2012).
Faktor patofisiologi yang diperkirakan berkontribusi dalam kualitas dan
intensitas sesak nafas saat melakukan aktivitas pada PPOK antara lain kemampuan
mekanis (elastisitas dan reaktif) dari otot-otot inspirasi, meningkatnya mekanis
(volume) restriksi selama beraktivitas, lemahnya fungsi otot-otot inspirasi,
meningkatnya kebutuhan ventilasi relatif terhadap kemampuannya, gangguan
pertukaran gas, kompresi jalan nafas dinamis, dan faktor kardiovaskuler (Khotimah,
2012). Menurut Ikalius (2006 cit Khotimah, 2013), menyatakan bahwa untuk
memperbaiki ventilasi dan menyelaraskan kerja otot abdomen dan paru-paru dengan
teknik latihan yang meliputi latihan pernafasan. Tujuan latihan pernafasan pada pasien
PPOK adalah untuk mengatur frekuensi dan pola pernafasan sehingga mengurangi air
trapping, memperbaiki fungsi diafragma, memperbaiki ventilasi alveoli untuk
memperbaiki pertukaran gas tanpa meningkatkan kerja pernafasan, mengatur dan
mengkoordinasi kecepatan pernafasan sehingga sesak nafas berkurang. Keperawatan
sebagai salah satu bentuk pelayanan kesehatan, dapat membantu pasien PPOK untuk
memulihkan kondisi fisiknya dan memperbaiki pola nafasnya, sehingga dapat memutus
mata rantai keluhan yang saling menjadi sebab akibat.
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan pada beberapa perawat di
Rumah Sakit Pelni Jakarta Barat, selama ini mereka lebih fokus untuk memberikan
advise dari dokter kepada pasien PPOK berupa pemberian terapi farmakologi untuk
mengatasi keluhan pasien, sedangkan tindakan non-invasif dari perawat tidak secara
spesifik diberikan sebab masih belum ada Standar Operasional Prosedur (SOP) yang
baku dari rumah sakit sehingga perawat hanya memberikan intervensi keperawatan
sesuai dengan apa yang pernah mereka ketahui saja. Intervensi keperawatan untuk
mempertahankan dan meningkatkan pengembangan paru, dengan melakukan teknik
non-invasif (Potter dan Perry, 2006), meliputi Postural Drainage (PD), Fisioterapi
Dada, Forced Expiratory Technique (FET), Active Cycle of Breathing Techniques
(ACBT), Positive Expiratory Pressure (PEP), Humidification, Exercise, dan Suction
(Kabukie, 2016).
Active Cycle of Breathing Technique (ACBT) mempunyai tujuan utama
membersihkan jalan nafas dari sputum yang merupakan produk dari infeksi atau proses
patologi penyakit tersebut yang harus dikeluarkan dari jalan nafas agar diperoleh hasil
pengurangan sesak nafas, pengurangan batuk, perbaikan pola nafas, serta
meningkatkan mobilisasi sangkar thoraks. Metode ini terdiri dari tiga subteknik yang
dapat diterapkan secara bersama-sama maupun satu persatu, yaitu Breathing Control
(BC), Thoracic Expansion Exercise (TEE), dan Forced Expiratory Technique (FET)
(Ririt, 2015). 6
Melam et al (2015) menyatakan bahwa ACBT merupakan teknik yang efektif
dalam pembersihan sputum, dengan rata-rata perbedaan menunjukkan peningkatan
jumlah sputum yang dapat dikeluarkan selama dan sampai satu jam setelah diberikan
ACBT (Lewis et al, 2010), yaitu sebanyak 1,00 ml pada saat pre-test menjadi 6,56 ml
pada saat post-test. Selain itu, dari penatalaksanaan ACBT juga dilaporkan bahwa
keluhan sesak nafas berkurang (Ririt, 2015). Melihat latar belakang tersebut, peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian aplikasi ACBT untuk membersihkan jalan nafas
pasien PPOK.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah “Bagaimana efektifitas ACBT terhadap peningkatan nilai saturasi oksigen
dan pengurangan jumlah volume sputum penderita PPOK?”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh ACBT terhadap peningkatan nilai saturasi oksigen dan
pengurangan jumlah volume sputum penderita PPOK.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui perbedaan nilai saturasi oksigen sebelum dan setelah
diberikan ACBT
b. Untuk mengetahui perbedaan jumlah volume sputum yang dikeluarkan sebelum
dan setelah diberikan ACBT
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pendidikan dan Perkembangan Ilmu Keperawatan
ACBT dapat digunakan sebagai bagian dari intervensi mandiri keperawatan dan
pengembangan ilmu praktis keperawatan khususnya dalam menangani pasien
PPOK, sehingga meningkatkan pengakuan terhadap perawat sebagai profesi
mandiri.
2. Bagi pasien PPOK
Pasien PPOK dapat menjadikan ACBT ini sebagai bagian dari pola hidupnya, untuk
mengurangi akumulasi sputum dalam saluran pernapasan, mengurangi sesak nafas
sehingga kebutuhan oksigennya terpenuhi.
3. Bagi Institusi Pelayanan Keperawatan
Sebagai evidance based practice dalam mengaplikasikan profesionalisme
pemberian asuhan keperawatan bagi masyarakat, guna mengembangkan bentuk
pelayanan nonfarmakologis sebagai salah satu intervensi keperawatan dalam
mengatasi masalah pada pasien PPOK.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi tambahan bagi penelitian
lain yang sejenis dengan penelitian ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Pernapasan
a. Fisiologi Pernapasan
Potter dan Perry (2006) menyatakan bahwa pernapasan adalah upaya yang
dibutuhkan untuk mengembangkan dan membuat paru berkontraksi. Kerja
pernapasan ditentukan oleh tingkat kompliansi paru, tahanan jalan napas,
keberadaan ekspirasi yang aktif, dan penggunaan otot-otot bantu pernapasan.
Sebagian besar sel dalam tubuh memperoleh energi dari reaksi kimia yang
melibatkan oksigen dan pembuangan karbondioksida. Pertukaran gas pernapasan
terjadi antara udara di lingkungan dan darah. Terdapat tiga langkah dalam proses
oksigenasi, yaitu:
1) Ventilasi
Ventilasi merupakan proses untuk menggerakkan gas ke dalam dan keluar paru-
paru. Ventilasi membutuhkan koordinasi otot paru dan thoraks yang elastis dan
persyarafan yang utuh. Otot pernapasan inspirasi utama adalah diafragma yang
dipersyarafi oleh saraf frenik, yang keluar dari medulla spinalis pada vertebra
servikal keempat.
2) Perfusi
Fungsi utama sirkulasi paru adalah mengalirkan darah ke dan dari membran
kapiler alveoli sehingga dapat berlangsung pertukaran gas. Sirkulasi pulmonar
merupakan suatu reservoar untuk darah, sehingga paru dapat meningkatkan
volume darahnya tanpa peningkatan tekanan dalam arteri atau vena pulmonar
yang besar. Sirkulasi pulmonar juga berfungsi sebagai suatu filter, yang
menyaring trombus kecil sebelum trombus tersebut mencapai organ-organ vital.
3) Difusi
Difusi merupakan suatu gerakan molekul dari suatu daerah dengan konsentrasi
yang lebih tinggi ke daerah dengan konsentrasi yang lebih rendah. Difusi gas
pernapasan terjadi di membran kapiler alveolar dan kecepatan difusi dapat
dipengaruhi oleh ketebalan membran. Peningkatan ketebalan membran
merintangi proses difusi karena hal tersebut membuat gas memerlukan waktu
lebih lama untuk melewati membran tersebut. Daerah permukaan membran
dapat mengalami perubahan sebagai akibat suatu penyakit kronik, penyakit
akut, atau proses pembedahan. Apabila alveoli yang berfungsi lebih sedikit,
maka daerah permukaan menjadi berkurang.
3. Patogenesis PPOK
Patogenesis PPOK ini ditandai dengan peradangan kronis seluruh jalan napas,
parenchyma, dan pembuluh darah paru-paru. Makrofag, limfosit T (didominasi
CD8+), dan neutrofil meningkat di berbagai bagian paru-paru. Sel-sel inflamasi
yang diaktifkan melepaskan berbagai mediator termasuk leukotrien B4 (LTB4),
interleukin-8 (IL-8), dan tumor nekrosis faktor-α (TNFa) mampu merusak struktur
paru-paru atau mempertahankan peradangan neutrophilic. Selain peradangan, dua
proses lainnya yang dianggap penting dalam patogenesis PPOK adalah
ketidakseimbangan proteinases dan antiproteinases di paru-paru, serta stres
oksidatif. Radang paru-paru yang disebabkan oleh paparan partikel-partikel yang
berbahaya dan gas yang dihirup. Asap rokok dapat menyebabkan peradangan dan
kerusakan secara langsung pada paruparu (Pauwels, 2001).
4. Patofisiologi PPOK
Perkumpulan Dokter Paru Indonesia (2011) menyatakan bahwa inflamasi dan air
trapping adalah dasar dari PPOK. Pada pasien PPOK penurunan saturasi oksigen
disebabkan inflamasi dan penyempitan saluran napas periferal, sementara
penurunan pertukaran gas disebabkan oleh kerusakan jaringan parenkim paru.
Besarnya inflamasi, fibrosis dan eksudat pada saluran napas kecil, berhubungan
dengan penurunan saturasi oksigen. Cepatnya penurunan saturasi oksigen,
merupakan karakteristik dari PPOK. Obstruksi saluran napas periferal secara
progresif, menyebabkan air trapping selama ekspirasi dan mengakibatkan
hiperinflasi. Hiperinflasi ini akan menurunkan kapasitas inspirasi, sehingga
kapasitas residu fungsional meningkat. Abnormalitas dari pertukaran gas itu akan
menyebabkan terjadinya hipoksemia dan hiperkapnia. Akibat dari obstruksi saluran
napas periferal menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (VA/Q) disertai
gangguan fungsi otot pernapasan, terjadilah retensi CO2.
5. Pemeriksaan Diagnostik
Dipiro (2015) menyatakan bahwa penegakan diagnosa didasarkan pada gejala yang
dikeluhkan pasien dan riwayat terpapar faktor risiko seperti merokok dan terpajan
polusi udara di lingkungan tempat kerja. Klasifikasi keparahan penyakit
berdasarkan penilaian saturasi oksigen oleh pulse oxymetri, pengukuran keparahan
gejala dan penilaian frekuensi eksaserbasi. Keparahan gejala PPOK dinilai
menggunakan COPD Assessment Test (CAT) atau skala Medical Research Council
(mMRC) yang dimodifikasi (Jones, 2009). Pasien diklasifikasikan menurut tingkat
keparahan penyumbatan aliran udara (derajat 1–4), kemudian dibagi ke dalam
kelompok (A, B, C, atau D) berdasarkan dampak dari gejala dan risiko masa depan
yang mengalami eksaserbasi.
Diagnosis PPOK Klinis ditegakkan apabila (PDPI, 2011):
a) Anamnesis
• Ada faktor resiko seperti usia (pertengahan) dan riwayat pajanan asap
rokok, polusi udara, polusi tempat kerja
• Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini
harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang
biasa terjadi pada proses penuaan. Batuk kronik adalah batuk yang hilang
timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan.
Berdahak kronik, kadang-kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus
menerus tanpa disertai batuk. Sesak napas, terutama pada saat melakukan
aktivitas seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak napas
yang bersifat progresif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan.
Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, gunakan ukuran sesak napas
sesuai skala sesak pada tabel berikut:
Skala sesak Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas
0 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat
1 Sesak mulai timbul jika berjalan cepat atau naik tangga satu
tingkat
2 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak
3 Sesak timbul bila berjalan 100m atau setelah beberapa menit
4 Sesak bila mandi atau berpakaian
b) Pemeriksan Fisik
Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang jelas, terutama
auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai mendapat hiperinflasi
alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat sedang dan berat, seringkali terlihat
perubahan cara bernapas atau perubahan bentuk anatomi toraks. Secara umum
pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut:
a. Inspeksi
Bentuk dada barrel chest (dada seperti tong), terdapat cara bernapas purse
lips breathing (seperti orang meniup), terlihat penggunaan dan hipoertrofi
otot bantu napas dan pelebaran sela iga.
b. Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar.
c. Perkusi
Hipersonor, auskultasi, fremitus melemah, suara napas vesikuler melemah
atau normal, ekspirasi memanjang, mengi (biasanya timbul pada
eksaserbasi) dan ronki.
d. Auskultasi
Suara nafas vesikuler normal atau melemah, terdapat ronkhi pada waktu
bernafas, ekspirasi memanjang, bunyi jantung terdengar jauh.
c) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada diagnosis PPOK meliputi
pemeriksaan radiologi, spirometri, laboratorium darah rutin (timbulnya
polisitemia menunjukkan telah terjadi hipoksia kronik), analisa gas darah,
mikrobiologi sputum (diperlukan untuk pemilihan antibiotik bila terjadi
eksaserbasi).
Meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada
PPOK ringan, pemeriksaan radiologis ini juga berfungsi untuk menyingkirkan
diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari
keluhan pasien.
Pada penderita PPOK derajat berat, telah terjadi gangguan fungsional sangat
berat, serta membutuhkan perawatan teratur dan spesialis respirasi.
7. Klasifikasi PPOK
Berdasarkan kesepakatan Perkumpulan Dokter Paru Indonesia (PDPI) tahun 2005,
PPOK dikelompokkan ke dalam :
1. PPOK ringan adalah pasien dengan atau tanpa batuk, dengan atau tanpa
produksi sputum, dan dengan sesak napas derajat nol sampai satu. Pemeriksaan
Saturasi Oksigen masih > 99%
2. PPOK sedang adalah pasien dengan gejala klinis dengan atau tanpa batuk,
dengan atau tanpa produksi sputum, dan sesak napas derajat dua. Pemeriksaan
Saturasi Oksigen > 95%.
3. PPOK berat adalah pasien dengan gejala klinis sesak napas derajat tiga atau
empat dengan gagal napas kronik, eksaserbasi lebih sering terjadi, disertai
komplikasi kor pulmonum atau gagal jantung kanan. Hasil Saturasi Oksigennya
>90 % dengan gagal napas kronik. Hal ini ditunjukkan dengan hasil
pemeriksaan analisa gas darah dengan kriteria hipoksemia dengan normokapnia
atau hipoksemia dengan hiperkapnia.
8. Tatalaksana PPOK
Tatalaksana PPOK dibedakan atas tatalaksana kronik dan eksaserbasi, masing-
masing sesuai dengan klasifikasi derajat beratnya. Secara umum tatalaksana PPOK
menurut Kemenkes (2008) meliputi:
1. Pemberian Obat-obatan
Bronkodilator dianjurkan penggunaannya dalam bentuk inhalasi, kecuali pada
eksaserbasi digunakan melalui oral atau sistemik. Anti inflamasi, pilihan utama
bentuk metilprednisolon atau prednison. Untuk penggunaan jangka panjang
pada PPOK stabil hanya bila uji steroid positif. Pada eksaserbasi dapat
digunakan dalam bentuk oral atau sistemik. Antibiotik, tidak dianjurkan
penggunaannya dalam jangka panjang untuk pencegahan eksaserbasi,
disesuaikan dengan pola kuman setempat. Mukolitik, tidak diberikan secara
rutin. Hanya digunakan sebagai pengobatan simtomatik bila terdapat dahak
yang lengket dan kental.
2. Pengobatan Penunjang
• Rehabilitasi, diantaranya mencakup edukasi, berhenti merokok, latihan fisik
dan respirasi. Terapi modalitas untuk penyakit pernapasan terdiri dari
latihan batuk efektif, latihan nafas dalam, latihan pernapasan diafragma,
fisioterapi dada, dan terapi oksigen (Muttaqin, 2008)
• Terapi Oksigen. Harus berdasarkan analisa gas darah baik pada penggunaan
jangka panjang atau pada eksaserbasi. Pemberian yang tidak hati-hati dapat
menyebabkan hiperkapnia dan memperburuk keadaan. Penggunaan jangka
panjang pada PPOK stabil serajat berat dapat memperbaiki kualitas hidup.
• Ventilasi mekanik. Ventilasi mekanik invasif digunakan di Intensif Care
Unit (ICU) pada eksaserbasi berat. Ventilasi mekanik noninvaif digunakan
di ruang rawat atau di rumah sebagai perawatan lanjutan setelah eksaserbasi
pada PPOK berat.
• Operasi paru. Dilakukan bulektomi bila terdapat bulla yang besar atau
transplantasi paru e) Vaksinasi influensa, untuk mengurangi timbulnya
eksaserbasi pada PPOK stabil. Ventilasi influensa diberikan pada usia diatas
60 tahun dan PPOK sedang
C. Saturasi Oksigen
a. Pengertian
Saturasi oksigen adalah presentasi hemoglobin yang berikatan dengan oksigen
dalam arteri, saturasi oksigen normal adalah antara 95 – 100 %. Pada sekitar 90%
(nilai bervariasi sesuai dengan konteks klinis) saturasi oksigen meningkat menurut
kurva disosiasi hemoglobin-oksigen dan pendekatan 100% pada tekanan parsial
oksigen> 10 kPa.
b. Pengukuran Saturasi Oksigen
Pengukuran saturasi oksigen dapat dilakukan dengan beberapa tehnik. Penggunaan
oksimetri nadi merupakan tehnik yang efektif untuk memantau pasien terhadap
perubahan saturasi oksigen yang kecil atau mendadak (Tarwoto, 2006). Adapun
cara pengukuran saturasi oksigen antara lain:
1. Saturasi oksigen arteri (Sa O2) nilai di bawah 90% menunjukan keadaan
hipoksemia (yang juga dapat disebabkan oleh anemia ). Hipoksemia karena
SaO2 rendah ditandai dengan sianosis. Oksimetri nadi adalah metode
pemantauan non invasif secara kontinyu terhadap saturasi oksigen hemoglobin
(SaO2). Meski oksimetri oksigen tidak bisa menggantikan gas-gas darah arteri,
oksimetri oksigen merupakan salah satu cara efektif untuk memantau pasien
terhadap perubahan saturasi oksigen yang kecil dan mendadak. Oksimetri nadi
digunakan dalam banyak lingkungan, termasuk unit perawatan kritis, unit
keperawatan umum, dan pada area diagnostik dan pengobatan ketika diperlukan
pemantauan saturasi oksigen selama prosedur.
2. Saturasi oksigen vena (Sv O2) diukur untuk melihat berapa banyak
mengkonsumsi oksigen tubuh. Dalam perawatan klinis, Sv O2 di bawah 60%,
menunjukkan bahwa tubuh adalah dalam kekurangan oksigen, dan iskemik
penyakit terjadi. Pengukuran ini sering digunakan pengobatan dengan mesin
jantung-paru (Extracorporeal Sirkulasi), dan dapat memberikan gambaran
tentang berapa banyak aliran darah pasien yang diperlukan agar tetap sehat.
3. Tissue oksigen saturasi (St O2) dapat diukur dengan spektroskopi inframerah
dekat . Tissue oksigen saturasi memberikan gambaran tentang oksigenasi
jaringan dalam berbagai kondisi.
4. Saturasi oksigen perifer (Sp O2) adalah estimasi dari tingkat kejenuhan oksigen
yang biasanya diukur dengan oksimeter pulsa.
Pemantauan saturasi O2 yang sering adalah dengan menggunakan oksimetri
nadi yang secara luas dinilai sebagai salah satu kemajuan terbesar dalam
pemantauan klinis (Giuliano & Higgins, 2005). Untuk pemantauan saturasi O2
yang dilakukan di perinatalogi ( perawatan risiko tinggi ) Rumah Sakit Islam
Kendal juga dengan menggunakan oksimetri nadi. Alat ini merupakan metode
langsung yang dapat dilakukan di sisi tempat tidur, bersifat sederhana dan non
invasive untuk mengukur saturasi O2 arterial (Astowo, 2005 ).
c. Alat yang digunakan dan tempat pengukuran
Alat yang digunakan adalah oksimetri nadi yang terdiri dari dua diode pengemisi
cahaya (satu cahaya merah dan satu cahaya inframerah) pada satu sisi probe, kedua
diode ini mentransmisikan cahaya merah dan inframerah melewati pembuluh darah,
biasanya pada ujung jari atau daun telinga, menuju foto detektor pada sisi lain dari
probe (Welch, 2005).
A. Kerangka Konsep
Active Cycle
Breathing
Technique
(ACTB)
B. Hipotesis
Ha.1 : Active Cycle Breathing Technique (ACTB) efektif dalam
meningkatkan nilai SpO2 pada pasien PPOK
C. Definisi Operasional
Bertujuan untuk mendefinisikan variabel secara operasional berdasarkan karakteristik
yang diamati yang memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau
pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena (Nursalam, 2008).
Dalam penelitian ini yang dimaksudkan sebagaimana dalam variabel-variabel yang
akan diteliti adalah sebagai berikut:
No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Skala
Ukur
1. Pasien Pasien yang - - - -
PPOK terdiagnosa
PPOK
berdasarkan
rekam medis dan
menjalani rawat
inap di ruang
HCU Rumah
Sakit Pelni
2. Active Cycle Teknik - - - -
of Breathing pernapasan yang
Technique digunakan untuk
(ACBT) membantu pasien
PPOK
mengeluarkan
sputum dari paru-
parunya. Peneliti
mengajarkan dan
membimbing
responden dalam
melakukan
tahapan dalam
ACBT ini, yaitu
(1) Breathing
Exercise yang
akan
meningkatkan
kapasitas
inspirasi dan
merangsang kerja
otot-otot
pernapasan, (2)
latihan Huffing
untuk
meningkatkan
tidal volume dan
membuka sistem
colateral saluran
napas sehingga
sputum mudah
dikeluarkan, dan
(3) Breathing
Control untuk
mendidik
kembali pola
pernapasan
tenang dan ritmis
sehingga
penderita dapat
menghemat
energi untuk
bernapas serta
penderita akan
terbiasa
melakukan
pernapasan yang
teratur ketika
serangan sesak
napas terjadi.
Terapi ini
dilakukan setiap
hari selama 3 hari
perlakuan, oleh
responden dan
dipandu oleh
peneliti, selama
15 -20 menit
setiap sesinya,
dengan tripod
position
3. Saturasi Presentasi Pulse Responden Nilai yang Rasio
oksigen hemoglobin yang Oxymetri diposisikan ditunjukka
berikatan dengan (di bedside dalam n dari alat
oksigen dalam monitor keadaan Pulse
arteri, saturasi pasien, nyaman, Oxymetri
oksigen normal bersifat kemudian
adalah antara 95 sederhana Pulse
– 100 % dan non- Oxymetri
invasive) diletakkan
disalah satu
jari tangan
pasien
4. Sputum Produk yang Pot sputum Sebelum dan Jumlah Rasio
dihasilkan dan setelah volume
dikeluarkan dari diberikan sputum
paru, bronkus, intervensi, yang
dan trakea responden dikeluarka
melalui mulut diminta n,
untuk ditunjukka
mengeluarka n dengan
n sputumnya ukuran
dengan cara mililiter
di batukkan (ml)
sampai
responden
merasa
sudah tidak
ada sputum
yang
tertinggal
dalam
saluran
pernapasann
ya. Jika
sputum yang
dikeluarkan
sedikit, maka
pengukuran
menggunaka
n spuit 1 ml
atau 3 ml
yang telah
disediakan
oleh peneliti.
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Desain eksperimen ini menggunakan desain Quasi – eksperimental dengan pretest-
postest control group design. Mengenai pengertian desain penelitian ini, penjabaran
dari Latipun (2010) merupakan susunan desain penelitian yang dilakukan dengan jalan
memberikan perlakuan kepada subjek dengan adanya kelompok kontrol. Hal ini
dilakukan agar efek perlakukan dapat diidentifikasi dengan lebih jelas. Karena
kelompok yang akan diberikan perlakuan adalah kelompok kontrol, sehingga
perbedaan data setelah perlakuan antara kelompok eksperimen dengan kelompok
kontrol dapat menggambarkan keefektifan perlakuan. Dalam desain ini observasi
dilakukan sebanyak 2 kali tiap kelompok yaitu saat pretest dan posttest kelompok
kontrol, maka itu desain ini diberi nama pretest-postetst control group design.
Perlakuan ACBT dan terapi medikasi diberikan pada kelompok eksperimen, sedangkan
kelompok kontrol diberikan terapi medikasi
Desain penelitian ini dapat dilihat pada gambar berikut:
KE O1 → (X) → O2
KK O3 → (-) → O4
Keterangan:
O1 : hasil observasi sebelum perlakuan pada kelompok eksperimen
O2 : hasil observasi sesudah perlakuan pada kelompok eksperimen
X : Perlakuan dengan Active Cycle of Breathing Technique (ACBT)
O3 : hasil observasi sebelum perlakuan pada kelompok kontrol
O4 : hasil observasi sesudah perlakuan pada kelompok kontrol
C. Subjek Penelitian
Arikunto (2006:145) menyatakan bahwa subjek penelitian adalah subjek yang dituju
untuk diteliti oleh peneliti. Namun apabila subjek penelitiannya terbatas dan masih
dalam jangkauan sumber daya yang memadai, maka dapat dilakukan studi populasi
yaitu mempelajari seluruh subjek secara langsung. Kriteria subjek dalam penelitian ini
adalah subjek merupakan pasien dengan PPOK
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien PPOK yang dirawat di ruang
HCU Rumah Sakit Pelni yang berjumlah 134 orang pada bulan Januari 2018 sampai
Agustus 2018, dengan rata-rata pasien perbulan berjumlah 17 orang.
2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah pasien PPOK baik laki-laki maupun perempuan,
yang dirawat di ruang HCU Rumah Sakit Pelni minimal 2 hari rawat inap
3. Besar Sampel
Untuk sampel perkiraan dua kelompok untuk n1 dan n2 dapat digunakan rumus
(Sastroasmoro, 2015):
N= n2 = 2 (α+β)S
Keterangan:
n : jumlah sampel
α : nilai standart pada α = 0,05, yaitu 1,96
β : nilai standart pada power yang digunakan (80 %), yaitu 0,84
π : nilai π yaitu, 43,85 berdasarkan penelitian sejenis yang dilakukan
Shereen et al. (2015)
P1 & P2 : proprorsi kasus diambil dari penelitian yang sejenis yaitu penelitian
yang dilakukan Shereen et al. (2015) dengan selisih rata-rata = 48,07
D. Etika Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti tetap memperhatikan etika penelitian untuk menjaga
integritas peneliti dan melindungi subyek peneliti dari pelanggaran hak asasi manusia.
Pelaksanaan penelitian ini mempertimbangkan 5 petunjuk yang di tetapkan oleh
American Nursing Assosiation (ANA) yang meliputi:
1. Self Determination
Merupakan hak otonomi responden untuk menentukan keputusan berpartisipasi
atau tidak berpartisipasi dalam penelitian ini tanpa adanya paksaan dari pihak
manapun. Sebelum intervensi dilakukan, peneliti memberikan penjelasan kepada
responden mengenai tujuan penelitian, prosedur penelitian, serta prosedur
intervensi yang akan dilakukan. Responden juga diberikan kesempatan untuk
bertanya tentang hal-hal yang kurang jelas. Selanjutnya responden diberikan
kebebasan untuk menentukan akan berpartisipasi atau tidak pada penelitian ini. Jika
responden bersedia, selanjutnya peneliti memberikan lembar persetujuan atau
inform consent untuk ditanda tangani responden.
2. Privacy and Dignity
Selama penelitian berlangsung, peneliti menjaga privacy responden dengan
melakukan intervensi pada tempat yang nyaman bagi responden. Peneliti juga
menghargai data yang diberikan responden dengan tidak memaksa, dan informasi
tersebut digunakan dalam konteks penelitian ini. Peneliti tidak memberikan
intervensi atau paksaan pada waktu pengambilan data, klien diberikan suasana rasa
nyaman dengan ditempatkan di ruang pemeriksaan yang kondusif, peneliti tidak
berkenan untuk memaksa jika klien menolak.
3. Anonimity and Confidentialy
Peneliti menjaga kerahasiaan informasi yang telah diberikan responden, dengan
memberikan kode responden yang dituliskan pada lembar karakteristik responden
dan lembar observasi. Waktu mengisi data, klien ditempatkan pada posisi sendiri
atau didampingi keluarga yang dapat dipercaya sehingga meminimalisir gangguan
atau interupsi dari pihak yang tidak bertanggung jawab. Setelah selesai diisi,
peneliti menyimpannya dengan sangat rahasia tanpa diberitahukan kepada
siapapun.
4. Fair Treatment
Responden mempunyai hak untuk dilakukan intervensi yang sama oleh peneliti
tanpa diskriminasi. Pada penelitian ini pasien kontrol hanya diberikan terapi medis
tanpa intervensi lainnya, sedangkan kelompok intervensi diberikan Active Cycle of
Breathing Technique (ACBT) disamping pemberian terapi medis, sehingga baik
kelompok kontrol maupun intervensi sama-sama diberikan terapi.
5. Protection from Discomfort and Harm
Peneliti memperlihatkan aspek kenyamanan responden baik fisik, psikologi,
maupun sosial. Responden juga dilindungi terhadap kemungkinan bahaya yang
dapat timbul pada saat penelitian dilakukan. Laporan tentang efek negatif dari
Active Cycle Breathing Technique belum ada, namun demikian peneliti tetap
memberikan antisipasi yang mungkin dialami responden seperti keletihan pada saat
latihan. Peneliti selalu memperhatikan kondisi responden ketika mengambil data
dengan cara memperhatikan keamanan seperti mengurangi resiko terjatuh dengan
selalu berada disamping klien serta melibatkan keluarga responden yang
mendampingi responden selama dilakukannya intervensi ACBT. Kemudian
memperhatikan dengan seksama apabila klien mengeluh terhadap intervensi dan
sudah berkoordinasi dengan pihak rumah sakit apabila terjadi hal yang tidak
diinginkan.
E. Instrumen Penelitian
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1. Pulse Oxymetri yang digunakan untuk melihat saturasi oksigen perifer (SpO2)
sebagai estimasi dari tingkat kejenuhan oksigen
2. Pot sputum digunakan untuk mengukur jumlah sputum yang dikeluarkan pasien,
sebelum dan sesudah diberikan Active Cycle of Breathing Technique (ACBT).
3. Kuesioner yang digunakan untuk mengisi karakteristik responden meliputi umur,
jenis kelamin, riwayat keluarga menderita PPOK, riwayat merokok dan obat
bronkodilator yang diperoleh dari dokter, tinggi badan, berat badan, nilai saturasi
oksigen perifer (SpO2), jumlah respirasi/menit, dan jumlah sputum.
4. Lembar observasi meliputi hasil saturasi oksigen perifer (SpO2) dan jumlah sputum
sebelum dan sesudah diberikan intervensi.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). (2014). Global Strategy for
the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease.
GOLD. USA.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). (2015). Global Strategy for
the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease,
Update 2015. GOLD. USA.
Kementrian Kesehatan RI. (2015). Rencana Strategis Kementrian Kesehatan Tahun 2015 –
2019. Jakarta: Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.02.02/MENKES/52/2015.
Lewis, L.K., Williams, M.T., & Olds, T.S., (2010). The Active Cycle Breathing Techniques: A
Systematic Review and Meta-Analysis. 0954-6111/$ - see front matter ª 2011 Elsevier Ltd. All
rights reserved.doi:10.1016/j.rmed.2011.10.014.
Maranata, Daniel. (2010). Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru 2010. Surabaya: Departemen Ilmu
Penyakit Paru FK Unair-RSUD Dr.Soetomo. Melam, G.R., Zakaria, A.R., Buragadda, S.,
Sharma, D., & Alghamdi, M.A., (2012). Comparison of Autogenic Drainage & Active Cycle
Breathing Techniques on FEV1, FVC & PERF in Chronic Obstructive Pulmonary Disease.
World Applied Sciences Journal 20 (6): 818-822, 2012, ISSN 1818-4952, DOI:
10.5829/idosi.wasj.2012.20.06.71125.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2011). Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK):
Pedoman Dignosis dan Penatalaksanaan Di Indonesia. Jakarta.
Potter, P.A., Perry, A.G., (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan Edisi 4, Volume 2.
Jakarta: EGC.
Pryor J., Prasad S., (2008). Physiotherapy for Respiratory and Cardiac Problems Adults and
Paediatrics, 4th Edition. London: Churchill Livingstone.
Rabe, KlausF., Hurd, Suzanne., Anzueto, Antonio., Barnes, Peter J., Buist, Sonia A., Calverley,
Peter., Fukuchi, Yoshinosike., Jenkins, Christine., Rodriguez-Roisin, Roberto., Weel, Chris
van., and Zielinski, Jan. (2007). Global Strategy for the Diagnosis, Management, and
Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease, GOLD Executive Summary. Leiden
University Medical Center, Pulmonology, Leiden, The Netherlands.
Respira, (2015). Data 10 Besar Penyakit Pasien Rawat Inap dan Rawat Jalan. Yogyakarta:
Rumah Sakit Paru Respira Yogyakarta.
Sherwood, L. (2015). Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem, Edisi 8. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S.C., Bare, B.G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume 1. Jakarta:
EGC.
Swartz, Mark H. (1995). Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta: EGC. Widayana, I.G.E.,
Susianti. (2016). Penyakit Paru Obstruktif Kronik Pada Pria Berusia 63 Tahun. J Medula
Unila Vol.5/No.1/Mei2016, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung.