Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Selama dua dekade terakhir ini, telah terjadi transisi epidemiologis yang signifikan
dimana penyakit tidak menular telah menjadi beban utama, meskipun beban penyakit
menular masih berat juga. Penyakit tidak menular utama meliputi hipertensi, diabetes
melitus, kanker, dan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) (Renstra Kemenkes,
2015).
Penyakit Tidak Menular (PTM) merupakan penyakit kronis yang tidak
ditularkan dari orang ke orang. Oemiati (2013) menyatakan bahwa morbiditas PPOK
diantara Penyakit Tidak Menular di negara maju dan berkembang, merupakan
ancaman kematian yang tinggi. PPOK merupakan masalah kesehatan masyarakat
utama di dunia, dan salah satu dari penyebab kasus mortalitas dan morbiditas di
negara-negara dengan pendapatan tinggi dan pendapatan rendah.
World Health Organization (WHO) (2015), menyatakan bahwa PPOK
merupakan penyebab utama keempat morbiditas kronis dan kematian di Amerika
Serikat, dan diproyeksikan akan menjadi peringkat kelima pada tahun 2020 sebagai
beban penyakit di seluruh dunia. 2 Diperkirakan 65 juta penduduk dunia menderita
PPOK sedang sampai berat, dimana lebih dari 3 juta orang meninggal karena PPOK,
dan menyumbang 6% dari seluruh penyebab kematian. Data mengenai morbiditas dan
mortalitas PPOK tersebut didapatkan sebagian besar dari negara-negara dengan
penghasilan tinggi (Widayana, 2016).
Di Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta penderita PPOK, dengan
prevalensi 5,6 persen. Data dalam Riskesdas tahun 2013, menyebutkan bahwa
prevalensi PPOK berdasarkan wawancara di Indonesia sebesar 3,7 persen per mil,
dengan prevalensi lebih tinggi pada laki-laki yaitu sebesar 4,2%.
Propinsi Jakarta berada pada urutan ke-14 berdasarkan jumlah penderita
PPOK di Indonesia, dengan prevalensi sebesar 4.5% (Riskesdas, 2018)
Rabe et al (2007) menyatakan bahwa PPOK adalah penyakit kronis saluran napas
yang ditandai dengan hambatan aliran udara khususnya udara ekspirasi dan bersifat
progresif lambat (semakin lama semakin memburuk), disebabkan oleh pajanan faktor
resiko seperti merokok, polusi udara di dalam maupun di luar ruangan. Onset (awal
terjadinya penyakit) biasanya pada usia pertengahan dan tidak hilang dengan
pengobatan (Riskesdas, 2013).
Perkumpulan Dokter Paru Indonesia (2011) menyatakan bahwa inflamasi dan
air trapping adalah dasar dari PPOK yang menyebabkan penurunan saturasi oksigen
dan penyempitan saluran napas periferal. Besarnya inflamasi, fibrosis, dan eksudat
pada saluran napas kecil berhubungan dengan penurunan saturasi oksigen. Gejala
klinis PPOK antar lain batuk, produksi sputum, sesak nafas, dan keterbatasan
aktivitas.
Ketidakmampuan beraktivitas pada pasien PPOK terjadi bukan hanya akibat
dari adanya kelainan obstruksi saluran nafas pada parunya saja, tetapi juga akibat
pengaruh beberapa faktor, salah satunya adalah penurunan fungsi otot skeletal.
Adanya disfungsi otot skeletal akan membatasi kapasitas latihan dari pasien PPOK.
Penurunan aktivitas pada kehidupan sehari-hari akibat sesak nafas yang dialami
pasien PPOK akan mengakibatkan makin memperburuk kondisi tubuhnya (Celli,
2004 dalam Khotimah, 2012).
Faktor patofisiologi yang diperkirakan berkontribusi dalam kualitas dan
intensitas sesak nafas saat melakukan aktivitas pada PPOK antara lain kemampuan
mekanis (elastisitas dan reaktif) dari otot-otot inspirasi, meningkatnya mekanis
(volume) restriksi selama beraktivitas, lemahnya fungsi otot-otot inspirasi,
meningkatnya kebutuhan ventilasi relatif terhadap kemampuannya, gangguan
pertukaran gas, kompresi jalan nafas dinamis, dan faktor kardiovaskuler (Khotimah,
2012). Menurut Ikalius (2006 cit Khotimah, 2013), menyatakan bahwa untuk
memperbaiki ventilasi dan menyelaraskan kerja otot abdomen dan paru-paru dengan
teknik latihan yang meliputi latihan pernafasan. Tujuan latihan pernafasan pada
pasien PPOK adalah untuk mengatur frekuensi dan pola pernafasan sehingga
mengurangi air trapping, memperbaiki fungsi diafragma, memperbaiki ventilasi
alveoli untuk memperbaiki pertukaran gas tanpa meningkatkan kerja pernafasan,
mengatur dan mengkoordinasi kecepatan pernafasan sehingga sesak nafas berkurang.
Keperawatan sebagai salah satu bentuk pelayanan kesehatan, dapat membantu pasien
PPOK untuk memulihkan kondisi fisiknya dan memperbaiki pola nafasnya, sehingga
dapat memutus mata rantai keluhan yang saling menjadi sebab akibat.
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan pada beberapa perawat di
Rumah Sakit Pelni Jakarta Barat, selama ini mereka lebih fokus untuk memberikan
advise dari dokter kepada pasien PPOK berupa pemberian terapi farmakologi untuk
mengatasi keluhan pasien, sedangkan tindakan non-invasif dari perawat tidak secara
spesifik diberikan sebab masih belum ada Standar Operasional Prosedur (SOP) yang
baku dari rumah sakit sehingga perawat hanya memberikan intervensi keperawatan
sesuai dengan apa yang pernah mereka ketahui saja. Intervensi keperawatan untuk
mempertahankan dan meningkatkan pengembangan paru, dengan melakukan teknik
non-invasif (Potter dan Perry, 2006), meliputi Postural Drainage (PD), Fisioterapi
Dada, Forced Expiratory Technique (FET), Active Cycle of Breathing Techniques
(ACBT), Positive Expiratory Pressure (PEP), Humidification, Exercise, dan Suction
(Kabukie, 2016).
Active Cycle of Breathing Technique (ACBT) mempunyai tujuan utama
membersihkan jalan nafas dari sputum yang merupakan produk dari infeksi atau
proses patologi penyakit tersebut yang harus dikeluarkan dari jalan nafas agar
diperoleh hasil pengurangan sesak nafas, pengurangan batuk, perbaikan pola nafas,
serta meningkatkan mobilisasi sangkar thoraks. Metode ini terdiri dari tiga subteknik
yang dapat diterapkan secara bersama-sama maupun satu persatu, yaitu Breathing
Control (BC), Thoracic Expansion Exercise (TEE), dan Forced Expiratory Technique
(FET) (Ririt, 2015). 6
Melam et al (2015) menyatakan bahwa ACBT merupakan teknik yang efektif
dalam pembersihan sputum, dengan rata-rata perbedaan menunjukkan peningkatan
jumlah sputum yang dapat dikeluarkan selama dan sampai satu jam setelah diberikan
ACBT (Lewis et al, 2010), yaitu sebanyak 1,00 ml pada saat pre-test menjadi 6,56 ml
pada saat post-test. Selain itu, dari penatalaksanaan ACBT juga dilaporkan bahwa
keluhan sesak nafas berkurang (Ririt, 2015). Melihat latar belakang tersebut, peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian aplikasi ACBT untuk membersihkan jalan nafas
pasien PPOK.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah “Bagaimana efektifitas ACBT terhadap peningkatan nilai saturasi oksigen
dan pengurangan jumlah volume sputum penderita PPOK?”

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh ACBT terhadap peningkatan nilai saturasi oksigen
dan pengurangan jumlah volume sputum penderita PPOK.

2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui perbedaan nilai saturasi oksigen sebelum dan setelah
diberikan ACBT
b. Untuk mengetahui perbedaan jumlah volume sputum yang dikeluarkan
sebelum dan setelah diberikan ACBT

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pendidikan dan Perkembangan Ilmu Keperawatan
ACBT dapat digunakan sebagai bagian dari intervensi mandiri keperawatan dan
pengembangan ilmu praktis keperawatan khususnya dalam menangani pasien
PPOK, sehingga meningkatkan pengakuan terhadap perawat sebagai profesi
mandiri.
2. Bagi pasien PPOK
Pasien PPOK dapat menjadikan ACBT ini sebagai bagian dari pola hidupnya,
untuk mengurangi akumulasi sputum dalam saluran pernapasan, mengurangi
sesak nafas sehingga kebutuhan oksigennya terpenuhi.
3. Bagi Institusi Pelayanan Keperawatan
Sebagai evidance based practice dalam mengaplikasikan profesionalisme
pemberian asuhan keperawatan bagi masyarakat, guna mengembangkan bentuk
pelayanan nonfarmakologis sebagai salah satu intervensi keperawatan dalam
mengatasi masalah pada pasien PPOK.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi tambahan bagi penelitian
lain yang sejenis dengan penelitian ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Pernapasan
a. Fisiologi Pernapasan
Potter dan Perry (2006) menyatakan bahwa pernapasan adalah upaya yang
dibutuhkan untuk mengembangkan dan membuat paru berkontraksi. Kerja
pernapasan ditentukan oleh tingkat kompliansi paru, tahanan jalan napas,
keberadaan ekspirasi yang aktif, dan penggunaan otot-otot bantu pernapasan.
Sebagian besar sel dalam tubuh memperoleh energi dari reaksi kimia yang
melibatkan oksigen dan pembuangan karbondioksida. Pertukaran gas pernapasan
terjadi antara udara di lingkungan dan darah. Terdapat tiga langkah dalam proses
oksigenasi, yaitu:
1) Ventilasi
Ventilasi merupakan proses untuk menggerakkan gas ke dalam dan keluar
paru-paru. Ventilasi membutuhkan koordinasi otot paru dan thoraks yang
elastis dan persyarafan yang utuh. Otot pernapasan inspirasi utama adalah
diafragma yang dipersyarafi oleh saraf frenik, yang keluar dari medulla
spinalis pada vertebra servikal keempat.
2) Perfusi
Fungsi utama sirkulasi paru adalah mengalirkan darah ke dan dari membran
kapiler alveoli sehingga dapat berlangsung pertukaran gas. Sirkulasi pulmonar
merupakan suatu reservoar untuk darah, sehingga paru dapat meningkatkan
volume darahnya tanpa peningkatan tekanan dalam arteri atau vena pulmonar
yang besar. Sirkulasi pulmonar juga berfungsi sebagai suatu filter, yang
menyaring trombus kecil sebelum trombus tersebut mencapai organ-organ
vital.
3) Difusi
Difusi merupakan suatu gerakan molekul dari suatu daerah dengan konsentrasi
yang lebih tinggi ke daerah dengan konsentrasi yang lebih rendah. Difusi gas
pernapasan terjadi di membran kapiler alveolar dan kecepatan difusi dapat
dipengaruhi oleh ketebalan membran. Peningkatan ketebalan membran
merintangi proses difusi karena hal tersebut membuat gas memerlukan waktu
lebih lama untuk melewati membran tersebut. Daerah permukaan membran
dapat mengalami perubahan sebagai akibat suatu penyakit kronik, penyakit
akut, atau proses pembedahan. Apabila alveoli yang berfungsi lebih sedikit,
maka daerah permukaan menjadi berkurang.

b. Volume dan Kapasitas Paru


Sherwood (2015) mengemukakan bahwa volume dan kapasitas paru (kapasitas
paru adalah jumlah dua atau lebih volume paru) dapat diukur, yaitu:
1. Volume Tidal (VT)
Volume udara yang masuk atau keluar paru selama selama satu kali bernapas.
Nilai rerata pada kondisi istirahat = 500 mL.
2. Volume Cadangan Inspirasi (VCI)
Volume udara tambahan yang dapat secara maksimal dihirup diatas volume
tidal istirahat. VCI dicapai oleh kontraksi maksimal diafragma, otot
interkostalis eksternal, dan otot inspirasi tambahan. Nilai rerata = 3000 mL.
3. Kapasitas Inspirasi (KI)
Volume udara maksimal yang dapat dihirup pada akhir ekspirasi tenang
normal (KI = VCI + VT). Nilai rerata = 3500 mL.
4. Volume Cadangan Ekspirasi (VCE)
Volume udara tambahan yang dapat secara aktif dikeluarkan dengan
mengontraksikan secara maksimal otot-otot ekspirasi melebihi udara yang
secara normal dihembuskan secara pasif pada akhir volume tidal istirahat.
Nilai rerata = 1000 mL.
5. Volume Residu (VR)
Volume udara minimal yang tertinggal di paru bahkan setelah ekspirasi
maksimal. Nilai rerata = 1200 mL. Volume residu tidak dapat diukur secara
langsung dengan spirometer karena volume udara ini tidak keluar dan masuk
paru. Namun, volume ini dapat ditentukan secara tak langsung melalui teknik
pengenceran gas yang melibatkan inspirasi sejumlah gas penjejak yang tak
berbahaya misalnya helium.
6. Kapasitas Residu Fungsional (KRF)
Volume udara di paru pada akhir ekspirasi pasif normal (KRF = VCE + VR).
Nilai rerata = 2200 mL.
7. Kapasitas Vital (KV)
Volume udara maksimal yang dapat dikeluarkan dalam satu kali bernapas
setelah inspirasi maksimal. Subjek pertama-tama melakukan inspirasi
maksimal lalu ekspirasi maksimal (KV = VCI + VT +VCE). KV
mencerminkan perubahan volume maksimal yang dapat terjadi pada paru. Uji
ini jarang digunakan karena kontraksi otot maksimal yang terlibat melelahkan,
tetapi berguna untuk memastikan kapasitas fungsional paru. Nilai rerata =
4500 mL.
8. Kapasitas Paru Total (KPT)
Volume udara maksimal yang dapat ditampung oleh paru (KPT = KV + VR).
Nilai rerata = 5700 ml.
9. Volume Ekspirasi Paksa dalam Satu Detik (VEP1)
Volume udara yang dapat dihembuskan selama detik pertama ekspirasi dalam
satu ketentuan KV. Biasanya VEP1 berkisar 80% dari KV: yaitu, dalam
keadaan normal 80% udara yang dapat dihembuskan secara paksa dari paru
yang telah mengembang maksimal dapat dihembuskan dalam satu detik.
Pengukuran ini menunjukkan laju aliran udara paru maksimal yang dapat
dicapai.

B. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)


1. Pengertian
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) tahun 2015
menyatakan bahwa, PPOK adalah penyakit dengan karakteristik keterbatasan
saluran napas yang tidak seluruhnya reversibel. Keterbatasan aliran udara
biasanya progresif dan terkait dengan respon inflamasi abnormal dari paru-paru
terhadap partikel atau gas (Oemiati, 2013).
Karakteristik keterbatasan aliran udara kronis pada PPOK, disebabkan oleh
gabungan penyakit saluran pernapasan kecil (obstruktif bronkiolitis) dan
kerusakan parenkim (emfisema), yang berkontribusi relatif bervariasi dari orang
ke orang. Peradangan kronis menyebabkan perubahan struktural dan penyempitan
saluran pernapasan kecil. Penghancuran parenkim paru, juga oleh proses
inflamasi, menyebabkan hilangnya lapisan alveolar untuk saluran pernapasan
kecil dan menurunkan elastisitas paru-paru. Perubahan ini mengurangi
kemampuan saluran udara tetap terbuka selama ekspirasi (GOLD, 2015).
Menurut Smeltzer & Bare (2002), PPOK merupakan kondisi ireversibel yang
berkaitan dengan dispnea saat beraktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar
udara paru-paru. Hambatan aliran udara pada penyakit ini seringkali disebabkan
oleh diameter saluran napas yang menyempit berkaitan dengan beberapa faktor,
antara lain meningkatnya ketidakelastisan dinding saluran napas, meningkatnya
produksi sputum di saluran napas, dan lain sebagainya (PDPI, 2011).
Oleh karena itu, ketika resistensi saluran napas meningkat, harus diciptakan
garadien tekanan yang lebih besar untuk mempertahankan bahkan kecepatan
aliran udara yang normal (Sherwood, 2015). Gangguan aliran udara di dalam
saluran napas disebabkan proses inflamasi paru yang menyebabkan terjadinya
kombinasi penyakit saluran napas kecil dan destruksi parenkim. Kerusakan pada
jaringan parenkim paru, yang juga disebabkan proses inflamasi, menyebabkan
hilangnya perlekatan alveolar pada saluran napas kecil dan penurunan rekoil
elastik paru (PDPI, 2011).

2. Faktor Resiko PPOK


Faktor resiko PPOK mencakup faktor pejamu dan paparan lingkungan, dan
penyakit biasanya timbul dari interaksi antara kedua faktor tersebut. Peran jenis
kelamin sebagai faktor resiko untuk PPOK masih belum jelas. Di masa lalu,
banyak studi menunjukkan bahwa prevalensi PPOK dan kematian lebih besar di
antara laki-laki daripada perempuan, sedangkan studi terbaru menunjukkan bahwa
dari negaranegara maju, prevalensi penyakit ini hampir sama pada pria dan wanita
yang mungkin mencerminkan perubahan pola merokok tembakau (Pauwels,
2001).
Identifikasi merokok sebagai faktor resiko PPOK yang paling sering ditemui,
menyebabkan penggabungan program penghentian merokok sebagai elemen kunci
pencegahan PPOK, serta intervensi penting untuk pasien yang sudah menderita
PPOK (Rebe et al, 2007).
Beberapa faktor resiko PPOK meliputi (PDPI, 2011):
(1) Kebiasaan merokok merupakan satu-satunya penyebab kausal yang terpenting,
jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya.
Pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan:
 Riwayat merokok, perokok akif, perokok pasif, bekas perokok
 Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian
jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok
dalam tahun:
Ringan : 0 – 200
Sedang : 200 – 600
Berat : > 600
(2) Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja.
Polusi udara mempunyai pengaruh buruk terhadap nilai saturasi oksigen, zat
polutan yang paling kuat menyebabkan PPOK adalah Cadmium, Zink, dan
debu, serta bahan asap pembakaran/pabrik/ tambang. Polusi dari tempat kerja
misalnya debu-debu oraganik (debu sayuran dan bakteri atau racun-racun dari
jamur), industri tekstil (debu dari kapas), dan lingkungan industri.
(3) Hipereaktivitas bronkus
Hiperresponsivitas dari saluran napas ditambah dengan faktor merokok akan
meningkatkan resiko untuk menderita PPOK disertai dengan penurunan fungsi
dari paru-paru yang drastis. Selain itu, hiperaktivitas dari bronkus dapat terjadi
akibat dari peradangan pada saluran napas yang dapat diamati pada bronkitis
kronis yang berhubungan dengan merokok. Hal ini dapat menimbulkan
terjadinya ‘remodelling’ pada saluran napas yang memperparahkan lagi
obstruksi pada saluran napas pada penderita PPOK (Rebe et al, 2007).
(4) Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
Infeksi saluran napas akut adalah infeksi akut yang melibatkan organ saluran
pernapasan, hidung, sinus, faring, atau laring. Penyakit saluran pernapasan
pada bayi dan anak-anak dapat pula memberi kecacatan sampai pada masa
dewasa, dimana ada hubungan dengan terjadinya PPOK.
(5) Defisiensienzim α1-antitripsin, umumnya jarang terdapat di Indonesia
Defisiensi enzim α1-antitripsin merupakan faktor predisposisi untuk
berkembangnya PPOK secara dini. Enzim α1- antitripsin merupakan sejenis
protein tubuh yang diproduksi oleh hati, berfungsi dalam melindungi paru-
paru dari kerusakan dan sapat menetralkan tripsin yang berasal dari rokok.
Jika enzim ini rendah dan asupan rokok tinggi, maka akan mengganggu sistem
kerja enzim tersebut yang bisa mengakibatkan infeksi saluran pernafasan.
Defisiensi enzim ini menyebabkan emfisema pada usia muda yaitu pada
mereka yang tidak merokok, onsetnya sekitar usia 53 tahun manakala bagi
mereka yang merokok sekitar 40 tahun (GOLD, 2015).

3. Patogenesis PPOK
Patogenesis PPOK ini ditandai dengan peradangan kronis seluruh jalan napas,
parenchyma, dan pembuluh darah paru-paru. Makrofag, limfosit T (didominasi
CD8+), dan neutrofil meningkat di berbagai bagian paru-paru. Sel-sel inflamasi
yang diaktifkan melepaskan berbagai mediator termasuk leukotrien B4 (LTB4),
interleukin-8 (IL-8), dan tumor nekrosis faktor-α (TNFa) mampu merusak struktur
paru-paru atau mempertahankan peradangan neutrophilic. Selain peradangan, dua
proses lainnya yang dianggap penting dalam patogenesis PPOK adalah
ketidakseimbangan proteinases dan antiproteinases di paru-paru, serta stres
oksidatif. Radang paru-paru yang disebabkan oleh paparan partikel-partikel yang
berbahaya dan gas yang dihirup. Asap rokok dapat menyebabkan peradangan dan
kerusakan secara langsung pada paruparu (Pauwels, 2001).

4. Patofisiologi PPOK
Perkumpulan Dokter Paru Indonesia (2011) menyatakan bahwa inflamasi dan air
trapping adalah dasar dari PPOK. Pada pasien PPOK penurunan saturasi oksigen
disebabkan inflamasi dan penyempitan saluran napas periferal, sementara
penurunan pertukaran gas disebabkan oleh kerusakan jaringan parenkim paru.
Besarnya inflamasi, fibrosis dan eksudat pada saluran napas kecil, berhubungan
dengan penurunan saturasi oksigen. Cepatnya penurunan saturasi oksigen,
merupakan karakteristik dari PPOK. Obstruksi saluran napas periferal secara
progresif, menyebabkan air trapping selama ekspirasi dan mengakibatkan
hiperinflasi. Hiperinflasi ini akan menurunkan kapasitas inspirasi, sehingga
kapasitas residu fungsional meningkat. Abnormalitas dari pertukaran gas itu akan
menyebabkan terjadinya hipoksemia dan hiperkapnia. Akibat dari obstruksi
saluran napas periferal menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (VA/Q)
disertai gangguan fungsi otot pernapasan, terjadilah retensi CO2.

5. Pemeriksaan Diagnostik
Dipiro (2015) menyatakan bahwa penegakan diagnosa didasarkan pada gejala
yang dikeluhkan pasien dan riwayat terpapar faktor risiko seperti merokok dan
terpajan polusi udara di lingkungan tempat kerja. Klasifikasi keparahan penyakit
berdasarkan penilaian saturasi oksigen oleh pulse oxymetri, pengukuran keparahan
gejala dan penilaian frekuensi eksaserbasi. Keparahan gejala PPOK dinilai
menggunakan COPD Assessment Test (CAT) atau skala Medical Research
Council (mMRC) yang dimodifikasi (Jones, 2009). Pasien diklasifikasikan
menurut tingkat keparahan penyumbatan aliran udara (derajat 1–4), kemudian
dibagi ke dalam kelompok (A, B, C, atau D) berdasarkan dampak dari gejala dan
risiko masa depan yang mengalami eksaserbasi.
Diagnosis PPOK Klinis ditegakkan apabila (PDPI, 2011):
a) Anamnesis
 Ada faktor resiko seperti usia (pertengahan) dan riwayat pajanan asap
rokok, polusi udara, polusi tempat kerja
 Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini
harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala
yang biasa terjadi pada proses penuaan. Batuk kronik adalah batuk yang
hilang timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan pengobatan yang
diberikan. Berdahak kronik, kadang-kadang pasien menyatakan hanya
berdahak terus menerus tanpa disertai batuk. Sesak napas, terutama pada
saat melakukan aktivitas seringkali pasien sudah mengalami adaptasi
dengan sesak napas yang bersifat progresif lambat sehingga sesak ini tidak
dikeluhkan. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, gunakan ukuran
sesak napas sesuai skala sesak pada tabel berikut:
Skala Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas
sesak
0 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat
1 Sesak mulai timbul jika berjalan cepat atau naik tangga
satu tingkat
2 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak
3 Sesak timbul bila berjalan 100m atau setelah beberapa
menit
4 Sesak bila mandi atau berpakaian

b) Pemeriksan Fisik
Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang jelas,
terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai mendapat
hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat sedang dan berat,
seringkali terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan bentuk anatomi
toraks. Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai
berikut:

a. Inspeksi
Bentuk dada barrel chest (dada seperti tong), terdapat cara bernapas purse
lips breathing (seperti orang meniup), terlihat penggunaan dan hipoertrofi
otot bantu napas dan pelebaran sela iga.
b. Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar.
c. Perkusi
Hipersonor, auskultasi, fremitus melemah, suara napas vesikuler melemah
atau normal, ekspirasi memanjang, mengi (biasanya timbul pada
eksaserbasi) dan ronki.
d. Auskultasi
Suara nafas vesikuler normal atau melemah, terdapat ronkhi pada waktu
bernafas, ekspirasi memanjang, bunyi jantung terdengar jauh.
c) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada diagnosis PPOK meliputi
pemeriksaan radiologi, spirometri, laboratorium darah rutin (timbulnya
polisitemia menunjukkan telah terjadi hipoksia kronik), analisa gas darah,
mikrobiologi sputum (diperlukan untuk pemilihan antibiotik bila terjadi
eksaserbasi).
Meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada
PPOK ringan, pemeriksaan radiologis ini juga berfungsi untuk menyingkirkan
diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari
keluhan pasien.

6. Tingkat Keparahan PPOK


Tingkat keparahan PPOK diukur dari skala sesak napas. Menurut American
Thoracic Society (ATS), pengelolaan PPOK berdasarkan derajat obtruksi saluran
napas yaitu ringan, sedang, berat, dan sangat berat. Gejala ini ditandai dengan
sesak napas pada penderita yang dirinci sebagai berikut:
1. Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat dengan skala 0.
2. Terganggu oleh sesak napas saat bergegas waktu berjalan atau sedikit
mendaki, dengan nilai 1 skala ringan.
3. Berjalan lebih lambat dari pada orang lain yang sama usianya karena sesak
napas, atau harus berhenti sesaat untuk bernapas pada saat berjalan walau jalan
mendatar, nilai 2 skala sedang.
4. Harus berhenti bila berjalan 100 meter atau setelah beberapa menit berjalan,
nilai 3 skala berat.
5. Sesak napas tersebut menyebabkan kegiatan sehari-hari terganggu atau sesak
napas saat menggunakan atau melepaskan pakaian, nilai 4 skala sangat berat.

Pada penderita PPOK derajat berat, telah terjadi gangguan fungsional sangat
berat, serta membutuhkan perawatan teratur dan spesialis respirasi.

7. Klasifikasi PPOK
Berdasarkan kesepakatan Perkumpulan Dokter Paru Indonesia (PDPI) tahun 2005,
PPOK dikelompokkan ke dalam :
1. PPOK ringan adalah pasien dengan atau tanpa batuk, dengan atau tanpa
produksi sputum, dan dengan sesak napas derajat nol sampai satu.
Pemeriksaan Saturasi Oksigen masih > 99%
2. PPOK sedang adalah pasien dengan gejala klinis dengan atau tanpa batuk,
dengan atau tanpa produksi sputum, dan sesak napas derajat dua. Pemeriksaan
Saturasi Oksigen > 95%.
3. PPOK berat adalah pasien dengan gejala klinis sesak napas derajat tiga atau
empat dengan gagal napas kronik, eksaserbasi lebih sering terjadi, disertai
komplikasi kor pulmonum atau gagal jantung kanan. Hasil Saturasi
Oksigennya >90 % dengan gagal napas kronik. Hal ini ditunjukkan dengan
hasil pemeriksaan analisa gas darah dengan kriteria hipoksemia dengan
normokapnia atau hipoksemia dengan hiperkapnia.

8. Tatalaksana PPOK
Tatalaksana PPOK dibedakan atas tatalaksana kronik dan eksaserbasi, masing-
masing sesuai dengan klasifikasi derajat beratnya. Secara umum tatalaksana
PPOK menurut Kemenkes (2008) meliputi:
1. Pemberian Obat-obatan
Bronkodilator dianjurkan penggunaannya dalam bentuk inhalasi, kecuali pada
eksaserbasi digunakan melalui oral atau sistemik. Anti inflamasi, pilihan
utama bentuk metilprednisolon atau prednison. Untuk penggunaan jangka
panjang pada PPOK stabil hanya bila uji steroid positif. Pada eksaserbasi
dapat digunakan dalam bentuk oral atau sistemik. Antibiotik, tidak dianjurkan
penggunaannya dalam jangka panjang untuk pencegahan eksaserbasi,
disesuaikan dengan pola kuman setempat. Mukolitik, tidak diberikan secara
rutin. Hanya digunakan sebagai pengobatan simtomatik bila terdapat dahak
yang lengket dan kental.

2. Pengobatan Penunjang
 Rehabilitasi, diantaranya mencakup edukasi, berhenti merokok, latihan
fisik dan respirasi. Terapi modalitas untuk penyakit pernapasan terdiri dari
latihan batuk efektif, latihan nafas dalam, latihan pernapasan diafragma,
fisioterapi dada, dan terapi oksigen (Muttaqin, 2008)
 Terapi Oksigen. Harus berdasarkan analisa gas darah baik pada
penggunaan jangka panjang atau pada eksaserbasi. Pemberian yang tidak
hati-hati dapat menyebabkan hiperkapnia dan memperburuk keadaan.
Penggunaan jangka panjang pada PPOK stabil serajat berat dapat
memperbaiki kualitas hidup.
 Ventilasi mekanik. Ventilasi mekanik invasif digunakan di Intensif Care
Unit (ICU) pada eksaserbasi berat. Ventilasi mekanik noninvaif digunakan
di ruang rawat atau di rumah sebagai perawatan lanjutan setelah
eksaserbasi pada PPOK berat.
 Operasi paru. Dilakukan bulektomi bila terdapat bulla yang besar atau
transplantasi paru e) Vaksinasi influensa, untuk mengurangi timbulnya
eksaserbasi pada PPOK stabil. Ventilasi influensa diberikan pada usia
diatas 60 tahun dan PPOK sedang
C. Saturasi Oksigen
a. Pengertian
Saturasi oksigen adalah presentasi hemoglobin yang berikatan dengan oksigen
dalam arteri, saturasi oksigen normal adalah antara 95 – 100 %. Pada sekitar 90%
(nilai bervariasi sesuai dengan konteks klinis) saturasi oksigen meningkat menurut
kurva disosiasi hemoglobin-oksigen dan pendekatan 100% pada tekanan parsial
oksigen> 10 kPa.

b. Pengukuran Saturasi Oksigen


Pengukuran saturasi oksigen dapat dilakukan dengan beberapa tehnik.
Penggunaan oksimetri nadi merupakan tehnik yang efektif untuk memantau
pasien terhadap perubahan saturasi oksigen yang kecil atau mendadak (Tarwoto,
2006). Adapun cara pengukuran saturasi oksigen antara lain:
1. Saturasi oksigen arteri (Sa O2) nilai di bawah 90% menunjukan keadaan
hipoksemia (yang juga dapat disebabkan oleh anemia ). Hipoksemia karena
SaO2 rendah ditandai dengan sianosis. Oksimetri nadi adalah metode
pemantauan non invasif secara kontinyu terhadap saturasi oksigen hemoglobin
(SaO2). Meski oksimetri oksigen tidak bisa menggantikan gas-gas darah
arteri, oksimetri oksigen merupakan salah satu cara efektif untuk memantau
pasien terhadap perubahan saturasi oksigen yang kecil dan mendadak.
Oksimetri nadi digunakan dalam banyak lingkungan, termasuk unit perawatan
kritis, unit keperawatan umum, dan pada area diagnostik dan pengobatan
ketika diperlukan pemantauan saturasi oksigen selama prosedur.
2. Saturasi oksigen vena (Sv O2) diukur untuk melihat berapa banyak
mengkonsumsi oksigen tubuh. Dalam perawatan klinis, Sv O2 di bawah 60%,
menunjukkan bahwa tubuh adalah dalam kekurangan oksigen, dan iskemik
penyakit terjadi. Pengukuran ini sering digunakan pengobatan dengan mesin
jantung-paru (Extracorporeal Sirkulasi), dan dapat memberikan gambaran
tentang berapa banyak aliran darah pasien yang diperlukan agar tetap sehat.
3. Tissue oksigen saturasi (St O2) dapat diukur dengan spektroskopi inframerah
dekat . Tissue oksigen saturasi memberikan gambaran tentang oksigenasi
jaringan dalam berbagai kondisi.
4. Saturasi oksigen perifer (Sp O2) adalah estimasi dari tingkat kejenuhan
oksigen yang biasanya diukur dengan oksimeter pulsa.
Pemantauan saturasi O2 yang sering adalah dengan menggunakan oksimetri
nadi yang secara luas dinilai sebagai salah satu kemajuan terbesar dalam
pemantauan klinis (Giuliano & Higgins, 2005). Untuk pemantauan saturasi O2
yang dilakukan di perinatalogi ( perawatan risiko tinggi ) Rumah Sakit Islam
Kendal juga dengan menggunakan oksimetri nadi. Alat ini merupakan metode
langsung yang dapat dilakukan di sisi tempat tidur, bersifat sederhana dan non
invasive untuk mengukur saturasi O2 arterial (Astowo, 2005 ).

c. Alat yang digunakan dan tempat pengukuran


Alat yang digunakan adalah oksimetri nadi yang terdiri dari dua diode pengemisi
cahaya (satu cahaya merah dan satu cahaya inframerah) pada satu sisi probe,
kedua diode ini mentransmisikan cahaya merah dan inframerah melewati
pembuluh darah, biasanya pada ujung jari atau daun telinga, menuju foto detektor
pada sisi lain dari probe (Welch, 2005).

D. Konsep Active Cycle Breathing Technique (ACBT)


a. Pengertian
Active Cycle Breathing Technique (ACBT)adalah suatu teknik latihan bernapas
yang digunakan untuk memindahkan sputum dari paru-paru. Teknik ini
menggunakan kedalaman bernapas untuk memindahkan sputum dari saluran udara
kecil di bagian bawah paruparu menuju ke saluran udara yang lebih besar di
bagian atas, sehingga mudah untuk dikeluarkan dengan cara dibatukkan (Pryor,
2008).

b. Tahapan dalam melakukan Active Cycle Breathing Technique (ACBT)


Active Cycle Breathing Technique (ACBT) digunakan untuk membersihkan
sekresi jalan napas, yang dilakukan dalam tiga tahapan, yaitu:
1. Kontrol Pernapasan
Kontrol pernapasan digunakan untuk merilekskan saluran pernapasan dan
meringankan sesak napas yang dirasakan oleh pasien PPOK. Hal ini dapat
dilakukan dengan cara:
 Letakkan satu tangan diatas perut dan biarkan bahu dalam posisi rileks
 Bernapasalah dengan tenang dan lembut.
 Lamanya waktu yang digunakan untuk melakukan kontrol pernapasan ini
bervariasi, tergantung sejauh mana pasien merasakan sesak napasnya. Tiga
atau 4 kali bernapas dirasa cukup pada keadaan sesak napas yang ringan
dan lebih dari itu jika disertai adanya infeksi.
2. Latihan Pernapasan
Napas dalam digunakan untuk mendapatkan udara dibelakang sputum yang
terjebak di saluran napas kecil. Langkah yang harus dilakukan yaitu:
 Rilekskan dada bagian atas
 Tarik napas secara perlahan dan dalam
 Bernapaslah perlahan hingga udara dalam paru-paru kosong, dengan tidak
memaksakan udara keluar
 Ulangi 3 hingga 4 kali. Jika merasa ringan, ulangi kembali dari kontrol
pernapasan awal.
 Setelah melakukan latihan pernapasan, kembali ke kontrol pernapasan lagi
untuk memastikan saluran napas benar-benar rileks. Terkadang jika pasien
sedang dalam kondisi yang kurang sehat, atau dahaknya sulit untuk
dibersihkan, disarankan agar pasien mengulangi latihan pernapasan dalam
untuk kedua kalinya sebelum terengah atau batuk.
3. Huffing
Huffing digunakan untuk menggerakkan sputum dari saluran napas kecil ke
saluran napas yang lebih besar, yang nantinya akan dikeluarkan melalui batuk.
Batuk saja tidak dapat menghilangkan sputum dari saluran napas kecil.
Langkah yang harus dilakukan yaitu:
 Ambil napas dalam secukupnya
 Kontraksikan otot perut untuk menekan napas dan jaga agar mulut dan
tenggorokan tetap terbuka. Napas harus diperpanjang tetapi tidak
diteruskan hingga paru-paru kosong
 Ambil napas dalam lebih banyak lagi
 Tekan udara keluar seperti sebelumnya.
 Batuk dan keluarkan dahak apa pun. Jika tidak ada sputum yang dihasilkan
dengan satu atau dua kali batuk, cobalah untuk berhenti batuk dengan
menggunakan kontrol pernapasan.
 Biarkan napas menetap dengan kontrol pernapasan dan kemudian ulangi
siklus sampai dada terasa bersih dari sputum.

BAB III
KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep

Pasien PPOK: Peningkatan


1. Rawat HCU nilai SpO2
2. Sesak nafas
grade 0 sampai 3 Manifestasi
3. 3. Tidak ada klinis:
komplikasi Dispnea
kardiovaskuler
4. Nilai Saturasi Pengurangan
O2: < 90% jumlah sputum

Active Cycle
Breathing
Technique
(ACTB)

B. Hipotesis
Ha.1 : Active Cycle Breathing Technique (ACTB) efektif dalam
meningkatkan nilai SpO2 pada pasien PPOK

Ha.2 : Active Cycle Breathing Technique (ACTB) efektif dalam menurunkan


jumlah sputum pada pasien PPOK

C. Definisi Operasional
Bertujuan untuk mendefinisikan variabel secara operasional berdasarkan karakteristik
yang diamati yang memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau
pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena (Nursalam, 2008).
Dalam penelitian ini yang dimaksudkan sebagaimana dalam variabel-variabel yang
akan diteliti adalah sebagai berikut:
No Variabel Definisi Alat Cara Ukur Hasil Skala
Ukur Ukur
1. Pasien Pasien yang - - - -
PPOK terdiagnosa
PPOK
berdasarkan
rekam medis
dan menjalani
rawat inap di
ruang HCU
Rumah Sakit
Pelni
2. Active Teknik - - - -
Cycle of pernapasan
Breathing yang
Technique digunakan
(ACBT) untuk
membantu
pasien PPOK
mengeluarkan
sputum dari
paru-parunya.
Peneliti
mengajarkan
dan
membimbing
responden
dalam
melakukan
tahapan dalam
ACBT ini, yaitu
(1) Breathing
Exercise yang
akan
meningkatkan
kapasitas
inspirasi dan
merangsang
kerja otot-otot
pernapasan,
(2) latihan
Huffing untuk
meningkatkan
tidal volume
dan membuka
sistem
colateral
saluran napas
sehingga
sputum mudah
dikeluarkan,
dan
(3) Breathing
Control untuk
mendidik
kembali pola
pernapasan
tenang dan
ritmis sehingga
penderita
dapat
menghemat
energi untuk
bernapas serta
penderita akan
terbiasa
melakukan
pernapasan
yang teratur
ketika
serangan sesak
napas terjadi.
Terapi ini
dilakukan
setiap hari
selama 3 hari
perlakuan,
oleh
responden dan
dipandu oleh
peneliti,
selama 15 -20
menit setiap
sesinya,
dengan tripod
position
3. Saturasi Presentasi Pulse Responde Nilai Rasio
oksigen hemoglobin Oxymetri n yang
yang berikatan (di diposisika ditunjukk
dengan bedside n dalam an dari
oksigen dalam monitor keadaan alat
arteri, saturasi pasien, nyaman, Pulse
oksigen bersifat kemudian Oxymetri
normal adalah sederhan Pulse
antara 95 – a dan Oxymetri
100 % non- diletakkan
invasive) disalah
satu jari
tangan
pasien
4. Sputum Produk yang Pot Sebelum Jumlah Rasio
dihasilkan dan sputum dan volume
dikeluarkan setelah sputum
dari paru, diberikan yang
bronkus, dan intervensi, dikeluark
trakea melalui responden an,
mulut diminta ditunjukk
untuk an
mengeluar dengan
kan ukuran
sputumny mililiter
a dengan (ml)
cara di
batukkan
sampai
responden
merasa
sudah
tidak ada
sputum
yang
tertinggal
dalam
saluran
pernapasa
nnya. Jika
sputum
yang
dikeluarka
n sedikit,
maka
pengukura
n
mengguna
kan spuit
1 ml atau
3 ml yang
telah
disediakan
oleh
peneliti.
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Desain eksperimen ini menggunakan desain Quasi – eksperimental dengan pretest-
postest control group design. Mengenai pengertian desain penelitian ini, penjabaran
dari Latipun (2010) merupakan susunan desain penelitian yang dilakukan dengan
jalan memberikan perlakuan kepada subjek dengan adanya kelompok kontrol. Hal ini
dilakukan agar efek perlakukan dapat diidentifikasi dengan lebih jelas. Karena
kelompok yang akan diberikan perlakuan adalah kelompok kontrol, sehingga
perbedaan data setelah perlakuan antara kelompok eksperimen dengan kelompok
kontrol dapat menggambarkan keefektifan perlakuan. Dalam desain ini observasi
dilakukan sebanyak 2 kali tiap kelompok yaitu saat pretest dan posttest kelompok
kontrol, maka itu desain ini diberi nama pretest-postetst control group design.
Perlakuan ACBT dan terapi medikasi diberikan pada kelompok eksperimen,
sedangkan kelompok kontrol diberikan terapi medikasi
Desain penelitian ini dapat dilihat pada gambar berikut:

KE O1 → (X) → O2
KK O3 → (-) → O4

Gambar Desain eksperimen ulang (pretest-postetst control group design)

Keterangan:
O1 : hasil observasi sebelum perlakuan pada kelompok eksperimen
O2 : hasil observasi sesudah perlakuan pada kelompok eksperimen
X : Perlakuan dengan Active Cycle of Breathing Technique (ACBT)
O3 : hasil observasi sebelum perlakuan pada kelompok kontrol
O4 : hasil observasi sesudah perlakuan pada kelompok kontrol
B. Waktu dan Tempat Penelitian
1. Waktu penelitian
Waktu penelitian mulai dari pembuatan proposal, pengambilan data dan pelaporan
hasil penelitian dilaksanakan mulai dari bulan Mei 2019 hingga Juni 2019
2. Tempat penelitian
Penelitian ini dilakukan di Ruang HCU Rumah Sakit Pelni Jakarta Barat

C. Subjek Penelitian
Arikunto (2006:145) menyatakan bahwa subjek penelitian adalah subjek yang dituju
untuk diteliti oleh peneliti. Namun apabila subjek penelitiannya terbatas dan masih
dalam jangkauan sumber daya yang memadai, maka dapat dilakukan studi populasi
yaitu mempelajari seluruh subjek secara langsung. Kriteria subjek dalam penelitian ini
adalah subjek merupakan pasien dengan PPOK
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien PPOK yang dirawat di ruang
HCU Rumah Sakit Pelni yang berjumlah 134 orang pada bulan Januari 2018
sampai Agustus 2018, dengan rata-rata pasien perbulan berjumlah 17 orang.
2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah pasien PPOK baik laki-laki maupun
perempuan, yang dirawat di ruang HCU Rumah Sakit Pelni minimal 2 hari rawat
inap
3. Besar Sampel
Untuk sampel perkiraan dua kelompok untuk n1 dan n2 dapat digunakan rumus
(Sastroasmoro, 2015):

N= n2 = 2 (α+β)S

Keterangan:
n : jumlah sampel
α : nilai standart pada α = 0,05, yaitu 1,96
β : nilai standart pada power yang digunakan (80 %), yaitu 0,84
π : nilai π yaitu, 43,85 berdasarkan penelitian sejenis yang dilakukan
Shereen et al. (2015)
P1 & P2 : proprorsi kasus diambil dari penelitian yang sejenis yaitu penelitian
yang dilakukan Shereen et al. (2015) dengan selisih rata-rata = 48,07

Dengan menggunakan rumus tersebut, maka diperoleh hasil besar sampel


yaitu: n = 13.066.
Untuk menghindari responden yang mengundurkan diri selama penelitian,
peneliti menambahkan 10% perkiraan besar sampel dari masing-masing
kelompok, sehingga jumlah sampel yang digunakan adalah 30 sampel. Jumlah
sampel untuk masing-masing kelompok yaitu 15 responden untuk kelompok
intervensi dan 15 responden untuk kelompok kontrol. Pemilihan responden
penelitian berdasarkan pada pertimbangan peneliti, dengan kriteria inklusi dan
eksklusi, sebagai berikut:
a. Kriteria inklusi merupakan kriteria penentuan subjek studi dengan jelas
terhadap siapa keberhasilan atau kegagalan studi diberlakukan. Tujuan dari
penetuan kriteria inklusi adalah menghindari pengumpulan subjek studi yang
tidak sesuai dengan penelitian yang akan dilakukan (Budiarto, 2006). Ktiteria
inklusi adalah:
(1) Pasien terdiagnosa PPOK, dengan sesak napas grade 0 sampai dengan 3
(2) Saturasi oksigen > 90%
(3) Pasien dalam keadaan sadar penuh dan kooperatif
(4) Pasien dapat berkomunikasi dengan baik secara verbal maupun non verbal
b. Kriteria ekslusi merupakan kriteria yang memenuhi kriteria inklusi tetapi
tidak dapat diikutsertakan dalam penelitian (Budiharto, 2006). Dalam
penelitian ini yang termasuk kriteria ekslusi pada kelompok kontrol dan
intervensi adalah:
1) Pasien PPOK dengan komplikasi kardiovaskuler
2) Pasien PPOK dengan gangguan jiwa
3) Pasien PPOK dengan penyakit penyerta lain yang kronik
4) Pasien PPOK menolak tidak mau mengikuti program latihan ACBT
5) Pasien PPOK meminta berhenti sebelum menyelesaikan latihan ACBT
Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik quota sampling
yaitu teknik penetapan sampel dengan cara menetapkan subyek berdasarkan
kapasitas atau daya tampung yang diperlukan dalam penelitian. Untuk pembagian
kelompok intervensi dan kelompok kontrol, peneliti menggunakan convenience
sampling (Nursalam, 2013).

D. Etika Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti tetap memperhatikan etika penelitian untuk menjaga
integritas peneliti dan melindungi subyek peneliti dari pelanggaran hak asasi manusia.
Pelaksanaan penelitian ini mempertimbangkan 5 petunjuk yang di tetapkan oleh
American Nursing Assosiation (ANA) yang meliputi:
1. Self Determination
Merupakan hak otonomi responden untuk menentukan keputusan berpartisipasi
atau tidak berpartisipasi dalam penelitian ini tanpa adanya paksaan dari pihak
manapun. Sebelum intervensi dilakukan, peneliti memberikan penjelasan kepada
responden mengenai tujuan penelitian, prosedur penelitian, serta prosedur
intervensi yang akan dilakukan. Responden juga diberikan kesempatan untuk
bertanya tentang hal-hal yang kurang jelas. Selanjutnya responden diberikan
kebebasan untuk menentukan akan berpartisipasi atau tidak pada penelitian ini.
Jika responden bersedia, selanjutnya peneliti memberikan lembar persetujuan atau
inform consent untuk ditanda tangani responden.
2. Privacy and Dignity
Selama penelitian berlangsung, peneliti menjaga privacy responden dengan
melakukan intervensi pada tempat yang nyaman bagi responden. Peneliti juga
menghargai data yang diberikan responden dengan tidak memaksa, dan informasi
tersebut digunakan dalam konteks penelitian ini. Peneliti tidak memberikan
intervensi atau paksaan pada waktu pengambilan data, klien diberikan suasana
rasa nyaman dengan ditempatkan di ruang pemeriksaan yang kondusif, peneliti
tidak berkenan untuk memaksa jika klien menolak.
3. Anonimity and Confidentialy
Peneliti menjaga kerahasiaan informasi yang telah diberikan responden, dengan
memberikan kode responden yang dituliskan pada lembar karakteristik responden
dan lembar observasi. Waktu mengisi data, klien ditempatkan pada posisi sendiri
atau didampingi keluarga yang dapat dipercaya sehingga meminimalisir gangguan
atau interupsi dari pihak yang tidak bertanggung jawab. Setelah selesai diisi,
peneliti menyimpannya dengan sangat rahasia tanpa diberitahukan kepada
siapapun.
4. Fair Treatment
Responden mempunyai hak untuk dilakukan intervensi yang sama oleh peneliti
tanpa diskriminasi. Pada penelitian ini pasien kontrol hanya diberikan terapi medis
tanpa intervensi lainnya, sedangkan kelompok intervensi diberikan Active Cycle
of Breathing Technique (ACBT) disamping pemberian terapi medis, sehingga baik
kelompok kontrol maupun intervensi sama-sama diberikan terapi.
5. Protection from Discomfort and Harm
Peneliti memperlihatkan aspek kenyamanan responden baik fisik, psikologi,
maupun sosial. Responden juga dilindungi terhadap kemungkinan bahaya yang
dapat timbul pada saat penelitian dilakukan. Laporan tentang efek negatif dari
Active Cycle Breathing Technique belum ada, namun demikian peneliti tetap
memberikan antisipasi yang mungkin dialami responden seperti keletihan pada
saat latihan. Peneliti selalu memperhatikan kondisi responden ketika mengambil
data dengan cara memperhatikan keamanan seperti mengurangi resiko terjatuh
dengan selalu berada disamping klien serta melibatkan keluarga responden yang
mendampingi responden selama dilakukannya intervensi ACBT. Kemudian
memperhatikan dengan seksama apabila klien mengeluh terhadap intervensi dan
sudah berkoordinasi dengan pihak rumah sakit apabila terjadi hal yang tidak
diinginkan.

E. Instrumen Penelitian
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1. Pulse Oxymetri yang digunakan untuk melihat saturasi oksigen perifer (SpO2)
sebagai estimasi dari tingkat kejenuhan oksigen
2. Pot sputum digunakan untuk mengukur jumlah sputum yang dikeluarkan pasien,
sebelum dan sesudah diberikan Active Cycle of Breathing Technique (ACBT).
3. Kuesioner yang digunakan untuk mengisi karakteristik responden meliputi umur,
jenis kelamin, riwayat keluarga menderita PPOK, riwayat merokok dan obat
bronkodilator yang diperoleh dari dokter, tinggi badan, berat badan, nilai saturasi
oksigen perifer (SpO2), jumlah respirasi/menit, dan jumlah sputum.
4. Lembar observasi meliputi hasil saturasi oksigen perifer (SpO2) dan jumlah
sputum sebelum dan sesudah diberikan intervensi.
F. Analisa Data Penelitian
1. Cara Pengumpulan Data
Proses pengumpulan data dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu:
a. Prosedur Administrasi
Peneliti meminta surat rekomendasi untuk melakukan penelitian ke Program
Sarjana Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta selanjutnya
mengurus perijinan ke Rumah Sakit Pelni. Setelah prosedur administrasi
selesai, peneliti dapat melakukan pengambilan data.
b. Prosedur Pelaksanaan
Peneliti mengambil seluruh pasien rawat inap dengan diagnosa penyakit
PPOK yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan,
kemudian membaginya kedalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
Langkah pelaksanaan penelitian dijelaskan sebagai berikut:
1) Peneliti memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan penelitian, prosedur
dan resiko penelitian kepada calon responden, kemudian responden
diminta untuk mengisi persetujuan ikut berpartisipasi dalam penelitian.
2) Pengambilan data karakteristik responden, pada kesempatan ini juga
dijelaskan teknik Active Cycle Breathing Technique (ACBT).
3) Peneliti mengambil sampel sebanyak 30 orang responden berdasarkan
jumlah perhitungan besar sampel yang telah di tentukan, kemudian
membaginya menjadi dua kelompok. Pembagian responden kedalam
kelompok intervensi atau kelompok kontrol dilakukan berdasarkan
kemudahan yang ditemukan oleh peneliti.
4) Pada hari pertama, pada kelompok intervensi peneliti melakukan
pengukuran jumlah sputum dan nilai SpO2 sebagai nilai pre-test yang
dilakukan 30 menit sebelum responden minum obat, kemudian responden
dilatih untuk melakukan ACBT selama 15-20 menit.
5) Selama latihan peneliti membimbing responden untuk melakukan tahapan
dalam ACBT, yaitu:
 Breathing control: Responden diposisikan duduk rileks diatas tempat
tidur dengan rileks, kemudian dibimbing untuk melakukan inspirasi
dan ekspirasi secara teratur dan tenang, yang diulang sebanyak 3 – 5
kali oleh responden. Tangan peneliti diletakkan pada bagian belakang
toraks responden untuk merasakan pergerakan yang naik turun selama
responden bernapas.
 Thoracic Expansion Exercises: masih dalam posisi duduk yang sama,
responden kemudian dibimbing untuk menarik napas dalam secara
perlahan lalu menghembuskannya secara perlahan hingga udara dalam
paru-paru terasa kosong. Langkah ini diulangi sebanyak 3 – 5 kali oleh
responden, jika responden merasa napasnya lebih ringan, responden
dibimbing untuk mengulangi kembali dari kontrol pernapasan awal.
 Forced Expiration Technique: setelah melakukan dua langkah diatas,
selanjutnya responden diminta untuk mengambil napas dalam
secukupnya lalu mengkontraksikan otot perutnya untuk menekan napas
saat ekspirasi dan menjaga agar mulut serta tenggorokan tetap terbuka.
Huffing dilakukan sebayak 2 – 3 kali dengan cara yang sama, lalu
ditutup dengan batuk efektif untuk mengeluarkan sputum.
6) Bila ketiga langkah diatas telah dilakukan oleh responden, selanjutnya
peneliti membimbing responden untuk merilekskan otot-otot
pernapasannya dengan tetap melakukan kontrol pernapasan dan kemudian
mengulangi siklus tersebut 3 hingga 5 siklus atau sampai responden
merasa dadanya telah bersih dari sputum.
7) Setelah ACBT selesai, dilakukan pengukuran jumlah sputum dan nilai
SpO2 sebagai nilai post-test. Responden dilatih untuk melakukan ACBT
setiap hari dalam 3 hari penatalaksanaan, selama responden dirawat di RS
Pelni Jakarta Barat
8) Kelompok kontrol, tetap mendapatkan pengukuran dan terapi medikasi
tanpa diberikan intervensi ACBT. Peneliti tetap melakukan pengukuran
jumlah sputum dan nilai SpO2 30 menit sebelum responden minum obat
sebagai nilai pre-test dan 30 menit setelah waktu durasi obat selesai
sebagai nilai pos-test.
9) Peneliti membuat kontrak untuk bertemu responden pada hari berikutnya
untuk dilakukan pre-test dan post-test selama 3 hari. Kelompok ini
dievaluasi oleh peneliti.
10) Peneliti melakukan pengukuran jumlah sputum dengan menggunakan pot
sputum dan nilai SpO2 dengan menggunakan pulse oxymetri.
2. Pengolahan Data
Setelah selesai proses pengumpulan data, selanjutnya dilakukan pengolahan data
sebagai berikut:
a. Editing
Peneliti melakukan pengecekan kelengkapan pengisian kuesioner mengenai
karakteristik responden dan data mengenai hasil pengukuran jumlah sputum
dan nilai SpO2
b. Coding
Peneliti memberikan kode atau nilai pada jenis data untuk memudahkan
pengolahan data. Pada penelitian ini peneliti memberikan kode 1 untuk
kelompok eksperimen dan kode 2 untuk kelompok kontrol.
c. Tabulating
Setelah semua data dilakukan pengecekan dan pengkodean, peneliti
melakukan pemrosesan data. Pemrosesan data ini dilakukan dengan cara
meng-entri data ke paket program komputer SPSS statistik 20 for Window.
Kemudian dicek lagi apakah ada kesalahan atau tidak untuk dilanjutkan ke
tahap analisa data.
3. Analisis Data
Setelah dilakukan entery data, selanjutnya dilakukan analisis data yang meliputi:
a. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk mendiskripsikan semua variabel yang
diteliti. Adapun variabel yang dianalisis dengan univariat adalah data
kategorik yang dianalisis menggunakan distribusi frekuensi dan ukuran
presentasi atau proporsi, sedangkan data numerik dengan menghitung mean,
standar deviasi, nilai maksimum dan minimun dengan confidence interval
95% (α = 0,05).
b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk membuktikan hipotesis penelitian yaitu
dengan melihat efektifitas Active Cycle of Breathing Technique (ACBT)
dalam meningkatkan nilai SpO2 dan menurunkan jumlah sputum pasien PPOK
pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Dalam analisis bivariat, data
diolah dengan menggunakan perangkat komputer dengan menggunakan
paired t-test dan independent t-test.
G. Validitas dan Reabilitas
Pada suatu penelitian, dalam pengumpulan data (fakta atau kenyataan hidup)
diperlukan adanya alat dan cara pengumpulan data yang baik sehingga data yang
dikumpulkan merupakan data yang valid, andal (reliable), dan akurat (Nursalam,
2013).
1. Validitas (Kesahihan)
Prinsip validitas adalah pengukuran dan pengamatan yang berarti prinsip
keandalan instrumen dalam mengumpulkan data (Nursalam, 2013). Dalam
penelitian ini alat pengumpulan data nilai SpO2 menggunakan pulse oxymetri dan
pot sputum untuk mengukur jumlah sputum.
2. Reliabilitas (Keandalan)
Reliabilitas adalah kesamaan hasil pengukuran atau pengamatan bila fakta atau
kenyataan hidup tadi diukur atau diamati berkali-kali dalam waktu yang berlainan
(Nursalam, 2013). Dalam penelitian ini pengukuran nilai SpO2 dan jumlah sputum
akan dilakukan sehari dua kali (pada saat pre-test dan post-test) dalam 3 hari
penatalaksanaan.
DAFTAR PUSTAKA

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). (2014). Global Strategy for
the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease.
GOLD. USA.

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). (2015). Global Strategy for
the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease,
Update 2015. GOLD. USA.

Kementrian Kesehatan RI. (2015). Rencana Strategis Kementrian Kesehatan Tahun 2015 –
2019. Jakarta: Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.02.02/MENKES/52/2015.

Lewis, L.K., Williams, M.T., & Olds, T.S., (2010). The Active Cycle Breathing Techniques:
A Systematic Review and Meta-Analysis. 0954-6111/$ - see front matter ª 2011 Elsevier Ltd.
All rights reserved.doi:10.1016/j.rmed.2011.10.014.

Maranata, Daniel. (2010). Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru 2010. Surabaya: Departemen Ilmu
Penyakit Paru FK Unair-RSUD Dr.Soetomo. Melam, G.R., Zakaria, A.R., Buragadda, S.,
Sharma, D., & Alghamdi, M.A., (2012). Comparison of Autogenic Drainage & Active Cycle
Breathing Techniques on FEV1, FVC & PERF in Chronic Obstructive Pulmonary Disease.
World Applied Sciences Journal 20 (6): 818-822, 2012, ISSN 1818-4952, DOI:
10.5829/idosi.wasj.2012.20.06.71125.

Nursalam. (2008). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Edisi 2. Jakarta: Salemba


Medika.

Nursalam. (2013). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Edisi 3. Jakarta: Salemba


Medika.

Oemiyati, R. (2013). Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).


Jakarta: KEMENKES RI.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2011). Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK):
Pedoman Dignosis dan Penatalaksanaan Di Indonesia. Jakarta.

Potter, P.A., Perry, A.G., (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan Edisi 4, Volume 2.
Jakarta: EGC.

Pryor J., Prasad S., (2008). Physiotherapy for Respiratory and Cardiac Problems Adults and
Paediatrics, 4th Edition. London: Churchill Livingstone.

Rab, T. (2010). Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Trans Info Media.

Rabe, KlausF., Hurd, Suzanne., Anzueto, Antonio., Barnes, Peter J., Buist, Sonia A.,
Calverley, Peter., Fukuchi, Yoshinosike., Jenkins, Christine., Rodriguez-Roisin, Roberto.,
Weel, Chris van., and Zielinski, Jan. (2007). Global Strategy for the Diagnosis, Management,
and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease, GOLD Executive Summary.
Leiden University Medical Center, Pulmonology, Leiden, The Netherlands.

Respira, (2015). Data 10 Besar Penyakit Pasien Rawat Inap dan Rawat Jalan. Yogyakarta:
Rumah Sakit Paru Respira Yogyakarta.
Sherwood, L. (2015). Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem, Edisi 8. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S.C., Bare, B.G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume 1.
Jakarta: EGC.

Swartz, Mark H. (1995). Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta: EGC. Widayana, I.G.E.,

Susianti. (2016). Penyakit Paru Obstruktif Kronik Pada Pria Berusia 63 Tahun. J Medula
Unila Vol.5/No.1/Mei2016, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung.

......... . 2018. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Jakarta: BPPK KEMENKES RI

Anda mungkin juga menyukai