Anda di halaman 1dari 15

TUGAS-TUGAS DAN FUNGSI

MANAJEMEN PELAYANAN SOSIAL

1. Manajer pelayanan sosial secara rutin dihadapkan pada dilema moral yang

mempersyaratkan pembuatan keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan secara

moral.

Manajer, walaupun telah memiliki pedoman yang telah ditetapkan oleh kebijakan publik

dan ideologi kelembagaan namun menghadapi sejumlah besar pilihan-pilihan moral yang sulit.

Kesulitan-kesulitan yang dihadapi kebanyakan pada tingkatan makro pembuatan keputusan

(misalnya : apakah sumber-sumber organisasi dipusatkan pada penduduk yang lemah dan sangat

membutuhkan, ataukah pada penduduk yang kurang membutuhkan tapi lebih potensial untuk

direhabilitasi), disamping itu juga, pembuatan keputusan pada tingkatan program dan pelayanan

(misalnya : apakah mencabut hak pengasuhan orang tua terhadap anaknya ataukah

mengembalikan orang dengan kecacatan kepada keluarganya ataukah mengirimkan ke panti

sosial). Manajer Human Services Organization/HSO secara langsung atau tidak langsung

bertugas untuk membuat pilihan tersebut atau mempertahankan pilihan yang sudah dibuat oleh

stafnya. Alasan-alasan seperti ini menyebabkan etika dan nilai-nilai selalu berpengaruh dalam

pembuatan keputusan.

Keputusan administratif dalam kesejahteraan sosial dipengaruhi oleh nilai-nilai yang

dikehendaki oleh badan-badan sosial terkait yang penting. Badan-badan sosial tersebut seringkali

mengakibatkan dilema etis dimana dua atau lebih nilai-nilai yang setaraf dan lebih penting

diperselisihkan. Lebih lanjut, pemecahannya seringkali lebih bersifat pertukaran, yaitu

mengorbankan atau membelakangkan satu nilai untuk memperoleh yang lain. Pada lingkungan

keputusan seperti ini, manajer dituntut untuk membuat pilihan-pilihan yang masuk akal yang
didasarkan pada kriteria etis yang jelas. Sesuatu yang sangat penting dilakukan oleh manajer

adalah meneladankan (menjadikan dirinya sebagai teladan) alasan-alasan etis dan ketulusan hati

bagi seluruh organisasi, dengan demikian menciptakan iklim yang normatif bagi pembuatan

keputusan di setiap tingkat kedudukan. Hal ini sangat penting, karena Human Services

Organization/HSO bekerja dengan ruang lingkup transaksi yang sangat luas yaitu dengan

penerima manfaat, mitra kerja dan pendukun-pendukung; sukses jangka panjang, dalam banyak

hal sangat tergantung pada tumbuhnya perasaan kejujuran dan kepercayaan timbal balik.

2. Praktik manajemen Human Services Organization/HSO memerlukan perhatian penuh

pada mediasi (merundingkan), mendamaikan dan mempengaruhi pilihan-pilihan dan

harapan-harapan konstituen (pendukung) dari luar.

Human Services Organization/HSO menggantungkan diri pada berbagai jenis kelompok

untuk memperoleh sumber-sumber yang dibutuhkan agar supaya dapat mempertahankan,

mengembangkan dan memperbaiki program-program organisasi. Manajer tergantung dari

dukungan dan kerjasama dari berbagai konstituen untuk melaksanakan pekerjaan organisasi dan

jarang sekali dalam posisi bertindak secara sepihak (dapat menentukan sendiri) tentang

persoalan-persoalan penting.

Klien atau penerima manfaat merupakan “bahan mentah” yang organisasi kerjakan untuk

mencapai tujuan dan menjadi alasan organisasi diberi dana. DPR, lembaga pemerintah, badan-

badan pemberi dana, donatur dan yayasan-yayasan menyediakan dana yang dibutuhkan agar

kegiatan organisasi dapat berlangsung. Berbagai lembaga pembina dan DPR memberikan

kewenangan dan arahan kebijakan, yang menetapkan kerangka kerja pemberian pelayanan.

Lembaga akreditasi meninjau ulang dan mengesahkan organisasi berkaitan dengan kriteria

kualitas. Administrator wajib mengakomodasi (menampung) kebutuhan-kebutuhan dan minat-


minat berbagai kelompok tersebut, di samping itu pada saat yang bersamaan mengupayakan

kesesuaian yang cukup memuaskan antar kelompok tersebut agar Human Services

Organization/HSO terhindar dari harapan-harapan yang saling bertentangan yang dapat

mengakibatkan tidak efisien dan efektifnya penggunaan sumber-sumber (dibagi-bagi sedikit-

sedikit kepada terlalu banyak sasaran).

Salah satu penyebab perbedaan harapan tersebut adalah fakta bahwa pengguna pelayanan

membayar sedikit (atau tidak membayar sama sekali) dalam menerima pelayanan. Pembinaan

ditanggung oleh pihak ketiga seperti pemerintah, yayasan, asuransi dan sumbangan. Penerima

manfaat (klien) dan penyedia dana seringkali menuntut hasil (outcomes) yang berbeda. Klien

mengharapkan menerima pelayanan se-memuaskan mungkin (“private good”), sedangkan

penyedia dana mengharapkan se-minimal mungkin (“public good”). Masalah yang muncul

cukup rumit, terutama apabila organisasi menggunakan teknologi pelayanan pribadi (ini

seringkali terjadi) yang tergantung pada dicapainya kesepakatan diantara pemberi pelayanan

dengan penerima pelayanan tentang tujuan dan teknik penyembuhan. Sehubungan dengan ini

manager Human Services Organization/HSO dihadapkan pada tantangan untuk memenuhi

kebutuhan kedua kelompok, dengan cara di satu segi mendesakkan pengertian pelayanan publik

kepada pengguna pelayanan atau di segi lain membujuk penyedia dana agar pelayanan publik

dilayani dengan menggunakan pelayanan pribadi. Kegagalan mencapai kesejalanan harapan-

harapan ini cenderung akan mengakibatkan masalah bagi organisasi, karena staf akan

menghadapi tuntutan-tuntutan yang saling bertentangan dan atau sumber-sumber akan dibagi-

bagikan untuk memenuhi tujuan-tujuan yang beraneka ragam dan saling tidak cocok. Tugas

utama manajer adalah menengahi perbedaan-perbedaan ini.


3. Manajer organisasi melakukan advokasi bagi kepentingan kelompok-kelompok yang

terstigmatisasi dan dianggap rendah dengan memobilisasi sentimen masyarakat dan

sumber-sumber.

Manajer organisasi yang mengurusi pelayanan sosial pribadi seringkali harus berupaya

untuk mengubah stereotip tentang kelompok-kelompok yang tidak beruntung (tidak dikehendaki

masyarakat) yang mereka layani atau merubah prioritas publik (masyarakat) berkaitan dengan

kebutuhan-kebutuhan kelompok tersebut. Sebagai gambaran, misalnya, administrator pelayanan

anak perlu meyakinkan pemerintah atau DPRD agar orang tua yang menyalahgunakan anak akan

lebih baik apabila direhabilitasi; manajer kesehatan mental akan berusaha untuk menjelaskan

kepada pejabat pemerintah daerah bahwa orang-orang yang mengalami gangguan jiwa yang

tidak memiliki rumah sesungguhnya tidak suka dengan cara hidup mereka dan bersedia

menerima pelayanan penjangkauan (outreach services); direktur program pencegahan kenakalan

berupaya mempengaruhi publik, bahwa anggota-anggota geng ini memiliki harapan-harapan dan

tidak ingin melakukan kejahatan serta dapat dibantu untuk memilih gaya hidup yang berbeda

apabila diberi kesempatan; manajer program pencegahan kehamilan remaja akan berupaya untuk

mempengaruhi pemimpin-pemimpin masyarakat agar klien mereka tidak memiliki bayi bagi

kepentingan kesejahteraan mereka.

Situasi yang digambarkan tersebut menunjukkan bahwa penerima manfaat dari program

tersebut adalah terstigmatisasi secara moral. Dengan demikian, mereka dianggap tidak layak

menerima bantuan dan atau patut menerima hukuman. Ada tiga alasan mengapa manajer Human

Services Organization/HSO perlu melakukan advokasi terhadap penerima manfaat (klien) ini,

yaitu:
a. Tujuan dari Human Services Organization/HSO adalah merubah orang atau lingkungan

sosial mereka. Organisasi tidak dapat memperoleh sumber-sumber dan kerjasama yang

dibutuhkan agar berhasil melaksanakan misinya apabila pimpinan-pimpinan masyarakat

tidak yakin akan potensi yang dimiliki oleh orang-orang yang secara moral dianggap tidak

berharga (klien) atau memahami kaitan diantara tujuan pelayanan dengan minat-minat

masyarakat luas.

b. Penyedia pelayanan (pegawai-pegawai Human Services Organization/HSO) yang

memberikan pelayanan kepada kelompok-kelompok penerima manfaat tersebut akan

memperoleh penghargaan yang kecil, karena walau bagaimanapun terampilnya mereka atau

walau bagaimanapun menantangnya pekerjaan mereka, sasaran pelayanannya dianggap

tidak layak. Pandangan yang tidak menyenangkan (terhadap klien) tersebut cenderung akan

merusak moral staf sepanjang waktu, berakibat pada rendahnya semangat dan masalah-

masalah kinerja lainnya.

c. Tuntutan organisasi terhadap sumber-sumber kemasyarakatan (publik) sebagian tergantung

pada persepsi dari penyandang dana bahwa apa yang dikerjakan oleh pegawai dengan cara-

cara tertentu dapat memberikan sumbangan pada kualitas kehidupan masyarakat. Apabila

persepsi terhadap kelompok-kelompok yang secara moral dianggap tidak berharga (klien)

tersebut tidak dapat dirubah sehingga mereka dipandang sebagai asset potensial bagi

masyarakat atau paling sedikit dianggap dapat mengurangi ancaman, maka kesuksesan

organisasi akan memiliki makna yang kecil bagi masyarakat.

4. Manajer Human Services Organization/HSO perlu berkolaborasi (bekerjasama) dengan

organisasi lainnya untuk memobilisasi dan memusatkan pendayagunaan sumber-sumber


pada klien yang sama agar memperoleh manfaat dari sekelompok spesialis (pekerja ahli)

yang diperluas dan kerjasama yang ditingkatkan.

Manajemen pelayanan sosial memerlukan pengembangan dan pemeliharaan kerjasama

antar organisasi karena perawatan dan perubahan manusia secara khas dihasilkan secara

bekerjasama oleh antar organisasi. Pada tingkat yang sangat luas (secara rasional), hasil yang

dicapai oleh klien dari suatu organisasi tergantung dari pelayanan pelengkap atau pendukung

yang disediakan oleh organisasi lain di dalam sistem pemberian pelayanan. Dengan kata lain,

apabila organisasi-organisasi bekerjasama dengan cara yang bertujuan maka dapat dicapai

dampak (hasil) yang diharapkan pada banyak kelompok klien. Meskipun kolaborasi telah lama

dianggap sebagai strategi yang baik untuk mengatasi kesenjangan pelayanan, meningkatkan

akses dan mencapai keekonomisan (mengurangi biaya-biaya yang tidak perlu), pada

perkembangan terakhir ini kolaborasi menjadi sangat penting bagi keberhasilan organisasi.

Selama dua dekade terakhir ini, beberapa perkembangan demografis dan kebijakan sosial

mengakibatkan munculnya jenis klien yang berbeda yang dihadapi oleh organisasi.

Perkembangan pertama adalah meningkatnya disparitas (perbedaan) kemakmuran karena

kebijakan perpajakan dan ekonomi yang lebih menguntungkan kelompok-kelompok penduduk

berpenghasilan tinggi. Sehubungan dengan ini, tingkat kemiskinan (kebanyakan anak-anak)

menunjukkan peningkatan. Serentak dengan ini, terjadi pertumbuhan yang cepat jumlah lanjut

usia disertai dengan masalah-masalah sosial dan kesehatan. Perkembangan berikutnya,

meningkatnya jumlah orang-orang yang mengalami gangguan mental dan penyandang cacat

yang membutuhkan pelayanan sosial. Perkembangan lainnya adalah meningkatnya jumlah

migran yang kebanyakan mengalami latar belakang traumatis (bermasalah). Kesemua


perkembangan ini menyebabkan sejumlah besar kelompok penduduk yang tergantung pada

pelayanan sosial yang didukung oleh publik.

Perkembangan demografis tersebut berjalan seiring dengan perkembangan kebijakan

sosial. Pada dua dekade terakhir ini tuntutan akan pelayanan sosial timbul lebih cepat dari

kemampuan program-program yang didukung publik untuk memenuhi tuntutan tersebut.

Penyebabnya adalah karena keterbatasan sumber-sumber atau menurunnya kemauan

publik untuk mendanai pelayanan yang diperluas. Terdapat kecenderungan menurunnya

pendanaan bagi kesejahteraan sosial pada kelompok penduduk yang termasuk kategori

berdasarkan pada ketentuan “means-tested” (penerima pelayanan adalah penduduk yang

penghasilannya rata-rata penghasilan terendah di negaranya) dan lebih mengutamakan program-

program yang ditujukan pada penduduk miskin dan hampir miskin. Untuk menghadapi

meningkatnya kesenjangan diantara kebutuhan dan sumber-sumber, pembuat kebijakan baik

pada tingkat pusat maupun daerah menetapkan strategi pendistribusian yang memusatkan

pengguna sumber-sumber kepada orang yang sangat membutuhkan dan bermasalah sementara

itu mengeluarkan orang-orang yang kebutuhannya kurang mendesak atau kebutuhannya tidak

menimbulkan ancaman.

Akibat berantai dari interaksi perkembangan demografis dan perubahan kebijakan adalah

meningkatnya secara dramatis jumlah orang yang mengalami beraneka ragam masalah, orang-

orang yang kondisinya lemah dan orang-orang yang sangat membutuhkan pelayanan sosial.

Meningkatnya kompleksitas kebutuhan ini, pada saat sumber-sumber tidak meningkat, pembuat

kebijakan dan manajer Human Services Organization/HSO menjadi sadar bahwa organisasi

secara sendiri-sendiri dan atau pemecahan masalah oleh satu profesi tidak sanggup mengatasi

masalah yang mereka hadapi. Timbulnya minat yang kuat untuk pemecahan masalah secara
kolaboratif, yang tidak hanya berakibat pada keekonomisan secara operasional, juga

menghasilkan strategi program menjadi lebih terpadu dan kompherensif (menyeluruh). Manajer

Human Services Organization/HSO menjadi sadar bahwa pelayanan terbaik kepada klien

dilakukan secara kolaboratif.

Pada saat ini, kolaborasi termasuk yang diatur dalam kebijakan sosial. Pelayanan sosial

dilihat dari sudut penanggung-jawabnya dikelompokkan ke dalam sektor pemerintah, swasta dan

pribadi yang disebut juga pemerintahan tri-parti, yaitu pemerintah mempercayakan pelaksanaan

kebijakan publik pada sektor-sektor yang mencari keuntungan dan yang tidak mencari

keuntungan. Manajer kesejahteraan sosial, apakah di organisasi pemerintah, organisasi yang

mencari keuntungan atau yang tidak mencari keuntungan harus dapat bekerja secara efektif pada

tingkat kolaborasi antar seksi ini.

5. Manajer kesejahteraan sosial menyampaikan secara jelas nilai-nilai dan tujuan-tujuan

organisasi yang mengilhami komitmen moral dari pendukung-pendukung, staf dan

relawan-relawan.

Manajer kesejahteraan sosial, bisa jadi lebih dari manajer di sektor lain, harus dapat

menggerakkan anggota organisasi berkaitan dengan nilai-nilai dan tujuan-tujuan yang secara

pribadi sangat berarti bagi mereka. Pendukung-pendukung, tenaga professional dan orang-orang

lainnya yang terlibat, cenderung merasa lelah pada jenis pekerjaan ini, karena mereka merasakan

secara mendalam perlunya merubah dunia sedemikian rupa, sehingga dapat melindungi

kelompok penduduk rawan (perempuan, anak-anak, penyandang cacat dan sebagainya) dari

perilaku kejahatan, menjamin hak-hak orang yang kehilangan hak-haknya, melindungi dan

memperkuat keluarga. Organisasi sosial, salah satu dari lembaga-lembaga yang ada, merupakan

wadah dimana tenaga-tenaga professional berupaya untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut.


Meskipun kinerja pekerja sosial dan tenaga professional lainnya yang bekerja di

organisasi sosial terbentuk dari sejumlah faktor, mulai dari ciri-ciri kepribadian mereka sampai

ke iklim, budaya dan struktur organisasi, salah satu sumber motivasi yang terpenting adalah

keyakinan mereka terhadap pekerjaan, tujuan-tujuan dan misi organisasi. Salah satu pakar

menyatakan, bahwa tipe kekuatan yang digunakan di dalam organisasi untuk menggerakkan

keterlibatan aktif anggota-anggota organisasi pelayanan sosial adalah menggunakan kekuatan

moral agar memperoleh keterlibatan normatif (yang seharusnya) dari pekerja-pekerjanya.

Di dalam organisasi pelayanan sosial, penyedia pelayanan adalah alat pelayanan. Kualitas

pelayanan sangat tergantung pada sumber-sumber pribadi (sikap pengetahuan, ketrampilan) dari

penyedia pelayanan dan keinginan mereka untuk menggunakan sumber-sumber tersebut dalam

transaksi (pemberian pelayanan) kepada klien. Jelaslah bahwa apabila penyedia pelayanan

berkomitmen (bersungguh-sungguh) pada tujuan pelayanan maka mereka cenderung akan

mengerahkan sumber-sumber pribadinya bagi kepentingan klien.

Keterlibatan normatif dari staf juga bermanfaat bagi tujuan-tujuan organisasi. Di dalam

organisasi yang mengalami kesulitan untuk memerinci tujuan-tujuannya secara spesifik, yang

menggunakan teknologi pelayanan dengan variabel dan dampak yang tidak pasti serta

menggantungkan pada penilaian dan diskresi (pengecualian-pengecualian) dari staf operasional

(digaris depan), keterlibatan normatif dari pekerja merupakan sumber utama dari reabilitas

(keterpercayaan) dan koherensi (keeratan hubungan). Keterbatasan kemampuan untuk

mengamati dan secara langsung memantau perilaku staf, organisasi sangat tergantung pada

komitmen staf pada tujuan-tujuan dan nilai-nilai organisasi untuk menjamin kinerja pegawai/staf.

6. Manajer kesejahteraan sosial berupaya untuk mengukur kinerja organisasi yang responsif

(tanggap) terhadap standar akuntabilitas yang ditentukan oleh lembaga pembuat


kebijakan dan lembaga penyandang dana, sekaligus berupaya untuk menyesuaikan

dengan sumber-sumber yang tersedia, kesulitan memperkirakan keberhasilan teknologi

pelayanan, dan pilihan-pilihan (keinginan-keinginan) penyedia pelayanan (pekerja) serta

klien.

Perumusan definisi dan pengukuran kinerja organisasi di satu segi merupakan kegiatan

yang sangat kompleks, di segi lain lembaga pembuat kebijakan dan lembaga penyandang dana

semakin proaktif berupaya memerinci pengukuran hasil (outcomes) keberhasilan klien sebagai

bukti dari pemberian dukungan. Tidaklah seperti halnya yang tidak memiliki indikator kinerja

yang dapat diterima secara umum, juga standar yang dapat diterapkan di berbagai bidang

pelayanan. Ukuran hasil (outcomes) akan berbeda-beda dari berbagai bidang pelayanan seperti di

bidang kesehatan mental, kesejahteraan anak, lanjut usia dan sebagainya. Meskipun demikian,

organisasi sosial didesak untuk menetapkan serta mempertanggungjawabkan hasil kinerja. Di

bidang kesejahteraan anak, ukuran keberhasilan (kriteria kinerja) yang dianggap penting adalah :

memperkuat keluarga yang memiliki anak beresiko, menempatkan anak di dalam pengaturan

kehidupan permanen (pengangkatan anak) dan mengurangi tingkat pengulangan (kambuh)

penyalahgunaan dan penelantaran anak. Di bidang kesehatan mental, adalah memelihara dan

penyesuaian diri orang-orang yang mengalami gangguan mental berat di masyarakat. Di bidang

program bantuan penghasilan adalah penurunan ketergantungan kesejahteraan serta partisipasi

angkatan kerja. Terdapat juga kebijakan-kebijakan dan pengaturan-pengaturan dari penyandang

dana yang menghendaki standar program yang spesifik, yang mempersyaratkan organisasi

pelayanan sosial pemerintah serta organisasi yang tidak mencari keuntungan untuk

mengembangkan dan mempertanggungjawabkan bagi standar kinerja yang lebih tajam.


Perkembangan keadaan seperti ini akan menjadikan perumusan dan pengukuran kinerja

merupakan bagian yang menyatu dari tanggung jawab manajer kesejahteraan sosial. Hal ini

mengandung makna lebih lanjut. Jika penyandang dana mengaitkan dengan pencapaian hasil

pelayanan (outcomes), maka kemampuan untuk menentukan sumber-sumber dan proses-proses

yang harus diterapkan untuk mencapai hasil pelayanan akan menjadi lebih penting. Faktor-faktor

yang terkait dengan hasil pelayanan adalah memerinci teknologi pelayanan, memilih dan melatih

pegawai yang dapat melaksanakan pelayanan ini serta mengembangkan sistem informasi

manajemen untuk melacak bagaimana kegiatan pemberian pelayanan. Karena penyandang dana

mengaitkan dengan hasil pelayanan, kemampuan manajer untuk menentukan biaya pelayanan

adalah sangat penting bagi keberlangsungan keuangan organisasi.

Pelaksanaan dari keseluruhan kegiatan ini menghadapi berbagai masalah dan dilema.

Pengguna pelayanan (klien) datang ke lembaga pelayanan dengan tujuan-tujuannya sendiri dan

memiliki cara-cara menilai kualitas dan efektifitas pelayanan. Karena hasil pelayanan dan cara-

cara mencapai hasil pelayanan lebih bersifat telah ditentukan sebelumnya dan bukanlah

dirumuskan secara bersama pada transaksi pelayanan adalah menjadi sulit untuk memperoleh

jenis-jenis keterlibatan dan kerjasama dari klien (kegiatan-kegiatan yang seharusnya dilakukan

klien) yang diperlukan untuk memenuhi standar kinerja. Sesungguhnya, gambaran tentang hal ini

mencerminkan menidakberdayakan (disempowement) klien, karena berlawanan dengan produksi

secara kolaboratif (bekerja bersama klien) untuk mencapai hasil pelayanan yang diinginkan.

Sebagai alternatif, organisasi berupaya untuk melakukan praktik “yang terbaik” (melakukan

akal-akalan) yaitu dengan cara mencari klien yang dianggap cocok dengan teknologi pelayanan

yang diperkirakan akan paling efektif.


Tantangan paling pokok dari manajer kesejahteraan sosial adalah mengembangkan

teknologi pelayanan yang memungkinkan bagi klien untuk memilih dan memberikan pengaruh

pada terumuskannya harapan-harapan tentang kinerja yang sangat spesifik.

7. Manajer kesejahteraan sosial berupaya untuk mengembangkan proses-proses pemberian

dukungan dan pemberdayaan di dalam organisasi agar dapat membangun komitmen dan

perasaan memiliki dan memelihara iklim yang kondusif bagi kesehatan psikologis dan

fisik.

Seperti telah dibahas sebelumnya, nilai-nilai organisasi sangat penting dalam menarik

perhatian dan melibatkan staf dan orang-orang terkait lainnya dalam pekerjaan organisasi. Hal

penting lainnya yang terkait dengan hal ini adalah perlunya memelihara komitmen yang tinggi

dari pegawai, oleh karenanya manajer wajib memusatkan upayanya pada pengembangan dan

pemeliharaan pegawai karena pegawai merupakan alat (instrumen) pemberian pelayanan.

Transaksi (proses) pelayanan secara khas memerlukan penggunaan kualitas dan perilaku pribadi

pegawai (misalnya : penilaian, empati, pengungkapan, pemberian contoh) dalam berinteraksi

dengan klien yang bermasalah, tertekan, bingung dan kadang-kadang sangat menyulitkan. Agar

dapat memberikan yang terbaik, staf professional dan relawan harus dapat menjaga komitmen

pribadi yang sangat tinggi. Hal-hal ini akan sangat melelahkan, sehingga apabila pemberian

dukungan dan strategi manajemen stres tidak efektif akan menimbulkan sejumlah akibat yang

tidak baik, seperti : gangguan emosional, depersonalisasi klien dan masalah-masalah psikologis

lainnya. Manajer kesejahteraan sosial wajib dengan sungguh-sungguh menciptakan kondisi yang

dapat meningkatkan motivasi dan kepuasan kerja agar kapasitas pemberian pelayanan oleh

organisasi tidak merosot.


8. Manajer kesejahteraan sosial harus dapat mengendalikan (control) program-program

mereka.

Hakikat teknologi pelayanan melibatkan transaksi-transaksi yang bersifat pribadi yang

sangat banyak antar pekerja dengan klien. Lebih lanjut, interaksi diantara staf dan klien secara

khas bersifat dinamis yang memerlukan penyesuaian-penyesuaian seketika pada saat itu dan

pemecahan yang baru. Meskipun intervensi pelayanan dibimbing oleh pedoman pemberian

pelayanan, supervisi dan pelatihan, namun terdapat unsur-unsur yang tidak dapat dihindarkan

dan diinginkan yang memerlukan pengecualian (diskresi) dan penilaian, jika pekerja dan klien

menemukan cara-cara untuk lebih meningkatkan kemajuan bagi pencapaian tujuan. Nilai-nilai

profesional dalam melaksanakan penilaian dan budaya professional memperkuat norma otonomi

dalam kaitannya dengan norma-norma tertentu.

Kurangnya cara-cara independen (teknik yang standar) untuk mengumpulkan informasi

tentang pelayanan dan hasil evaluasi menyebabkan manajer kesejahteraan sosial tergantung dari

staf untuk menyediakannya. Mekanisme akuntabilitas tipe komando dan kontrol ini tidak

mungkin akan memperoleh informasi yang reliable (yang dapat dipercaya), terutama jika

penyedia (organisasi) pelayanan meyakini bahwa informasi tersebut digunakan untuk

mengevaluasi kinerja. Sebaliknya, jika informasi dianggap sebagai cara untuk belajar dan

meningkatkan kinerja, dan jika digunakan untuk memfasilitasi (mendukung) pengembangan staf

dan meningkatkan pelayanan kepada klien barulah pekerja professional bersedia berpartisipasi.

Sehubungan dengan ini, diperlukan partisipasi staf untuk merancang sistem informasi dan

pengguna informasi bagi penyediaan umpan balik kepada staf. Sistem tersebut dapat bekerja

dengan baik di dalam struktur organisasi yang terdapat kewenangan yang di-desentralisasi-kan.
Manajer kesejahteraan sosial pada semua tingkatan harus bertanggung jawab terhadap

satuan kerjanya. Lembaga-lembaga yang berwenang dan lembaga di luar organisasi memerlukan

informasi untuk menegaskan adanya kepatuhan dan seringkali menuntut manajer untuk

melakukan perubahan jika kinerja dibawah yang diharapkan. Sehubungan dengan itu, manajer

kesejahteraan sosial dapat melakukan upaya-upaya untuk memperoleh informasi dan

menggunakannya dalam rangka menciptakan budaya kerja dengan titik berat pada

pengembangan professional dan penyempurnaan organisasi agar dapat memberikan pelayanan

yang lebih baik kepada pengguna pelayanan.

9. Manajer kesejahteraan sosial wajib mengupayakan agar klien terlibat secara langsung

dalam pemilihan cara-cara dan menentukan hasil (outcomes) dari pemberian pelayanan

(karena pengguna pelayanan sosial adalah orang yang berpartisipasi aktif dalam proses

pelayanan dan bertanggung jawab penuh terhadap perubahan-perubahan yang

diinginkan).

Pengguna pelayanan sosial adalah mitra yang sangat penting dalam menciptakan

perubahan. Mereka (klien) adalah ko produsen. Perubahan-perubahan dari perilaku, sikap dan

keterampilan serta bahkan perubahan kondisi lingkungan memerlukan partisipasi aktif dari klien.

Meskipun demikian, berdasarkan pola konvensional, terdapat kekuatan besar di dalam organisasi

dan praktik professional yang berupaya untuk mempertahankan kekuasaan dari penyedia

pelayanan dan mengekalkan ketergantungan klien. Prosedur-prosedur pengaturan telah

menghilangkan kekuatan-kekuatan tersebut (pola lama) dengan cara meningkatkan pemahaman

dan pelaksanaan norma-norma budaya yang menghormati klien dan menghargai kekuatan-

kekuatan dan kemampuan klien, dan memberikan kesempatan kepada klien untuk memilih dan

mempengaruhi teknologi pelayanan yang digunakan. Pengguna pelayanan sosial (klien)


seringkali mengalami tidak diberdayakan (disempowerment) dan tidak memiliki keterampilan

politis dan birokratis (keterampilan administrasi dan mengorganisasi) yang dibutuhkan untuk

melaksanakan tuntutan-tuntutan mereka. Kondisi ini dan kenyataannya, bahwa organisasi

memperoleh pengesahan (legitimasi) dan dana bukan dari klien, membuat manajer dan penyedia

pelayanan (pekerja) tidak memperhatikan atau mengabaikan minat-minat dan peranan

(kontribusi) klien dalam proses pelayanan. Manajer berperan sangat penting agar hal-hal tersebut

tidak terjadi dan klien diperlakukan sebagai mitra.

Anda mungkin juga menyukai