Anda di halaman 1dari 13

Tugas Pengganti Ujian Tengah Semester

Pengantar Ilmu Filsafat dan Pemikiran Modern

ILMU PENGETAHUAN DALAM KONTEKS FILSAFAT

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

UNIVERSITAS INDONESIA

OKTOBER 2018

Nama : Nur Hizzah Pulungan

NPM : 1706073490

Prodi : Sastra Jerman


PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Filsafat bersala dari bahasa Yunani kuno, yaitu philosophia. Kata “philosophia”
terdiri dari kata “philos”, yang berarti cinta dan “sophos”, yang berarti
kebijaksanaan. Sehingga diperoleh bahwa “philosophia” berarti cinta
kebijaksanaan (love of wisdom). Istilah “philosophia” pertama kali muncul
sebagai protes Socrates terhadap kaum “Shopist”, yaitu kaum terpelajar yang pada
waktu itu menamakan dirinya sebagai seorang yang bijaksana. Karena menurut
Socrates kebijaksanaan itu hanyalah semu belaka, maka ia lebih suka menamakan
dirinya “pecinta kebijaksanaan (philosophus)”. Oleh karena begitu luas dan
dalamnya filsafat itu maka orang tidak akan dapat menguasainya dengan
sempurna dan tidak akan pernah mengatakan selesai belajar, karena
“kebijaksanaan” itu lebih dari pengetahuan ilmiah belaka. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa “filsafat adalah pengetahuan yang mempelajari sebab-
sebab yang pertama atau prinsip-prinsip yang tertinggi dari segala sesuatu yang
dicapai oleh akal budi manusia. Cinta kebijaksanaan dalam filsafat inilah yang
kemudian melahirkan pemikiran-pemikiran filosofi para filsuf untuk menjawab
persoalan-persoalan kehidupan, yang kemudian melahirkan berbagai ilmu
pengetahuan. Sehingga filsafat memiliki hubungan atau keterkaitan yang erat
dengan ilmu pengetahuan yang tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan
yang lain.
ISI

A. Pengertian Filsafat

Filsafat berasal dari bahasa Yunani kuno yang terdiri dari kata phylo dan
sophos. Phylo artinya cinta dan sophos artinya bijaksana. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Dalam bahasa Yunani kuno,
Phylo itu memiliki tiga makna, yaitu eros, agaphe, dan filia. Eros diartikan sebagai
relasi, yang mana makna cinta pada kata ini adalah cinta yang tujuan akhirnya tidak
lain untuk bereproduksi atau dapat dikatan sebagai cinta yang dipenuhi nafsu. Lalu
agaphe diartikan sebagai cinta yang vertikal, yaitu usaha dan upaya untuk
mengeluarkan perasaan yang berhubungan dengan dewa-dewi yang melahirkan
sistem ritual atau dengan kata lain disebut sebagai cinta yang religius. Sedangkan
filia merupakan cinta dengan bentuk kasih sayang yang memunculkan tanggung
jawab, yang mana setiap filsuf diharapkan dapat mempertanggungjawabkan setiap
tindakan dan pemikirannya dengan bijaksana.

Tulisan filsafat pertama yang sistematis ditulis oleh Plato (428-348 SM).
Hampir semua tulisannya merupakan dialog yang menggunakan tokoh Socrates.
Tulisan-tulisan Plato tersebut kemudian memunculkan budaya akademik dan yang
kemudian dihasilkan sebagai pengetahuan. Wujud dari budaya akademik yang
dimunculkan oleh Plato adalah dengan mendirikan lembaga “Akademia” pada
tahuun 387 SM, yang merupakan perguruan tinggi pertama di dunia. Untuk
menggambarkan alur pemikiran atau filsafat yang hidup pada masa Plato dan
Aristoteles, Rafael Sanzio membuat suatu karya besar pada tahun 1510, yaitu
lukisan “School of Athens”. Yang mana pada lukisan tersebut digambarkan Plato
yang menunjuk ke atas dan Aristoteles yang merentangkan tangan ke bawah
sambil memegang sebuah buku etika berdiri di dekat para ilmuwan Romawi dan
Yunani kuno.

Filsafat muncul pada abad ke-6 SM dan sekarang tersebutlah pembagian


ilmu-ilmu itu menjadi dua bagian, yaitu ilmu spekulatif dan ilmu teoritik. Ilmu
spekulatif terdiri dari matematika, teologi, dan metafisika. Sedangkan ilmu
teoritik terdiri dari kosmologi, fisika, kimia, dan biologi.

B. Ruang Lingkup Kebijaksanaan

Ruang lingkup kebijaksanaan (wisdom) itu sendiri memiliki virtue


(keutamaan), yakni dunia bijaknnya sendiri (dunia bijak orang-orang yang
bijaksana itu sendiri), yang meliputi keadilan, kebenaran, keindahan, dan
kebahagiaan (konsep ini merupakan konsep kehidupan Yunani kuno). Semua
keutamaan ini harus dijelaskan secara rasional sehingga dapat memunculkan sikap
cinta kebijaksanaan (The love of wisdom). Cinta kebijaksanaan diartikan sebagai
upaya atau gairah rasional untuk menjelaskan dan mengatasi persoalan hidup.
Seperti tulisan Plato pada bukunya yang berjudul “Republik” menjelaskan tata
cara atau uraian untuk menata masyarakat dan dari tulisan ini kemudian lahirlah
politik. Cinta kebijaksanaan berangkat dari akal pikiran dan hati nurani manusia.
Keduanya harus selaras dalam berfilsafat, sehingga peranan hat nurani sangat
dibutuhkan dalam hal ini agar tidak terjadi kemungkinan-kemungkinan terburuk.
Seperti yang tertulis dalam karya Immanuel Kant yang mengatakan bahwa
manusia membutuhkan hati nurani untuk menghasilkan perdamaian semesta,
sebab hati nurani memunculkan benih keagamaan dan etika sedangkan akal
pikiran menghasilkan ilmu pengetahuan.

B. Karakteristik dan Dimensi Berfilsafat

Karakteristik berfilsafat muncul dari kata “kritik”, yang mana dalam


bahasa Latin kritik berarti “krinein”, yang artinya mengupas, menguliti, memilah-
milahkan, membelah-belah untuk mendapatkan inti atau dasar (substance).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa “kritik” itu bertujuan untuk menemukan
Radix (akar, dasar, persoalan) dan dari kata “kritik” tersebut diperolehlah tiga
karakteristik berfilsafat, yakni universal (menyeluruh), radikal (mengakar atau
mendasar), dan spekulatif (berspekulasi). Cara awal filsafat untuk berpikir kritis
adalah dengan bertanya. Yang mana, pertanyaan yang muncul untuk berpikir
kritis memiliki empat dimensi, yaitu kuantitatif, kualitatif, relasional, dan
modalitas (berpikir tentang mungkin atau tidak mungkin).

Hasil berfilsafat para filsuf di masa lalu melahirkan ilmu pengetahuan dan
ilmu pengetahuan tersebut turut mempengaruhi peradaban manusia, mulai dari
aspek terkecil seperti sosial masyarakat hingga perkembangan teknologi. Pada
masa Yunani kuno terdapat suatu kota yang bernama Polis, yang dinilai sebagai
kota yang beradab di Yunani. Dari kota Polis ini kemudian melahirkan istilah
politik, yang pada dasarnya dimaksudkan agar mencapai keberadaban. Dengan
keberadaban kota Polis ini, manusia mengenal kata “city (kota)”. Yang mana, city
berasal dari dari kata civil society (kota yang peduli terhadap perbedaan-
perbedaan karena dinilai sudah beradab) dan hingga saat ini manusia masih
menggunakan kata “kota” untuk merujuk pada daerah yang lebih maju
peradabannya dibandingkan dengan daerah yang cenderung tertinggal (pedesaan).

Berkenaan dengan peradaban suatu wilayah, Aristoteles berpendapat


bahwa tidak ada pemimpin yang hebat untuk memimpin suatu wilayah kecuali
seorang filsuf. Pendapat Aristoteles ini kemudian terbukti dengan masa
kepemimpinan Alexander de Grades di Roma. Ia merupakan murid kesayangan
Aristoteles dan ia dianggap sebagai pemimpin terhebat sepanjang masa. Prestasi
yang diukir oleh Alexander de Grades adalah ilmu pengetahuan. Ia meninggalkan
knowledge di setiap koloninya, yang pada masa itu budaya knowledge merupakan
ciri khas bangsa Yunani. Hal ini kemudian melahirkan masa Helenisme di Roma,
yaitu masa di mana orang Roma keyunani-yunanian.

C. Lahirnya Ilmu Pengetahuan dalam Konteks Filsafat

Dalam konteks filsafat, ilmu pengetahuan lahir sebagai hasil dari


berfilsafat atau kebijaksanaan berpikir. Energi untuk bijaksana (wisdom) itu
muncul dari pertanyaan sederhana, yaitu “apa itu realita?”. Yang mana pertanyaan
tersebut tidak lain merupakan pertanyaan ontologis. Kata ontologi berasal dari
bahasa Yunani: On = being dan Logos = logic. Jadi ontologi adalah The theory of
being qua being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan). Dalam persoalan
ontologi muncul persoalan “bagaimanakah kita menerangkan hakikat dari segala
yang ada ini?”. Persoalan ini kemudian dijawab oleh beberapa filsuf dengan
pemikiran yang berbeda-beda.

Filsuf pertama yang menjawab persoalan tersebut adalah Thales (624-546


SM). Ia berpendapat bahwa airlah yang menjadi ultimate substance yang
mengeluarkan semua benda. Jadi “ada” itu dominannya (dasarnya) menurut
Thales adalah air karena peranannya sangat penting bagi kehidupan. Anaximenes
berpendapat bahwa dasar realita itu adalah udara dengan alasan bahwa udara
merupakan sumber dari segala kehidupan. Lalu Anaximander (585-528 SM)
kemudian memberikan pendapatnya bahwa dasar kehidupan itu adalah tak
terhingga (infinite).

Tak berhenti hanya pada pendapat Anaximander, Phytagoras pun turut


mengemukakan pemikirannya bahwa sesuatu itu adalah angka (number) dan
semua bisa diukur. Pernyataan Phytagoras ini kemudian melahirkan istilah
kosmos. Secara bahasa kosmos berarti harmoni, yaitu keselarasan antara satu
dengan yang lain dalam suatu kesatuan yang saling berhubungan dan teratur.
Sedangkan lawan kata dari harmoni adalah chaos, yang berarti kacau atau tidak
beraturan. Dari istilah kosmos tersebut, muncullah teori harmoni dan Phytagoras
menjelaskan teori harmoni itu pada karyanya yang berjudul “Law of Nature”.
Selain itu, Phytagoras juga merupakan tokoh yang pertama kali menemukan ilmu
musik. Ia menemukan teori bunyi harmoni (not angka) dan teori ketukan, yang
mana pada waktu itu masih memiliki empat tangga nada (do-re-mi-fa). Lalu
empat tangga nada berikutnya (sol-la-si-do) ditemukan oleh muridnya.
Berhubungan pada pemikiran sebelumnya, yaitu Phytagoras juga mengatakan
bahwa musik adalah suara kosmologis karena menghasilkan bunyi-bunyi yang
teratur.

Masih tentang persoalan ontologi, filsuf-filsuf lain pun turut


mengemukakan pendapatnya, seperti Herakleitos, Parmeides, Demokritus dan
Leucippus, serta Empedokles. Menurut Herakleitos, sesuatu itu dasarnya adalah
perubahan. Ia juga memberikan istilah Phantarei pada pemikirannya ini, yang
artinya hidup ini adalah mengalir. Jika terjadi perubahan, maka yang
menyebabkan perubahan itu adalah api. Pendapat Herakleitos tersebut kemudian
ditentang oleh Parmeides. Menurut Parmeides, realita itu tidak ada perubahan
dalam kehidupan. Lalu Demokritus (460-370 SM) bersama dengan Leucippus (±
450 SM) mengatakan bahwa ada itu tidak lain adalah atom, yang mana atom
merupakan materi yang terkecil yang tak terbagi lagi. Filsafat hingga pada masa
Empedokles hanya membahas tentang substansi (satu). Kemudian Empedokles
mengembangkan pembahasan persoalan ontologi itu menjadi tidak hanya tentang
substansi. Ia berpendapat bahwa di dalam suatu benda terdapat berbagai zat dan
dasar kehidupan ini adalah beragam zat dan bisa terbagi-bagi. Pendapat
Empedokles ini kemudian melahirkan teori kebudayaan pluralis sehingga
Empedokles disebut sebagai bapak Pluralisme. Ia juga mengatakan bahwa satu itu
berarti banyak namun tetap dihitung satu, yaitu satu yang berasal dari relasi-relasi
angka yang bergabung.

Pada dasarnya pemikiran-pemikiran para filsuf terdahulu telah melahirkan


ilmu pengetahuan. Namun yang diperoleh dalam filsafat pada masa filsafat awal
(sebelum Socrates) adalah hanya ilmu pengetahuan alam (fisika), matematika, dan
kosmologi. Lalu selanjutnya ilmu pengetahuan itu berkembang dan terbagi-bagi
ke dalam kelompoknya masing-masing. Pada masa Yunani kuno, logos diartikan
sebagai kata. Kata itu berwujud penamaan, sehingga manusia dapat memahami
realita. Dengan memahami berarti manusia berpikir. Berpikir itu adalah
merangkai kata-kata menjadi satu kalimat di dalam suatu rangkaian logis. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa berpikir secara sistematis adalah subjek + kata
sambung + predikat. Orang Yunani sadar bahwa ilmu pengetahuan harus
dibahasakan. Ilmu pengetahuan tidak lepas dari peran penting bahasa, sehingga
dapat disimpulkan bahwa ilmu-ilmu yang diperoleh diperkuat dengan bahasa,
tanpa kata-kata kita tidak bisa menjelaskan ilmu. Dahulu linguistik adalah logika,
sehingga dapat dikatakan bahwa dasar ilmu pengetahuan adalah bahasa.

Bentuk idealisme Plato memakai bentuk dialog (percakapan) sama seperti


gurunya (Socrates). Terdapat 24 dialog dari pena Plato, yang semuanya dianggap
sebagai kesusastraan dunia. Plato mengatakan bahwa realitas seluruhnya terbagi
atas dua dunia, yaitu dunia ideal dan dunia material. Dunia ide hanya terbuka bagi
rasio, yaitu segala yang berkaitan dengan jiwa. Sedangkan dunia materi hanya
terbuka bagi panca indra, yaitu dunia jasmani. Seorang filsuf harus dapat
melepaskan diri dari dunia jasmani agar sanggup memandang dunia ideal yang
sempurna. Karena jika manusia terjerumus ke dalam dunia jasmaninya, maka ia
akan menjadi seorang filosoma. Filsafat Plato ini dapat mendamaikan kontradiksi
antara pandangan Herakleitos dan Parmeides. Pernyataan Herakleitos tentang
“Pantha rei kei uden manei” ditanggapi oleh Plato bahwa itu benar, tetapi hanya
tentang dunia jasmani. Lalu pernyataan Parmeides tentang “Yang ada itu
sempurna dan tak berubah” ditanggapi juga oleh Plato bahwa itu benar, tetapi
hanya tentang dunia ide saja. Selain itu, Plato juga menemukan filsafat atau teori
film pertama, yaitu “The Alegori of The Cave”.

Aristoteles (384-322 SM) berangkat dari kesadaran matematik. Paradoks


dari matematik adalah aksioma, yaitu cara berpikir secara abstrak. Aristoteles
mengatakan bahwa manusia adalah animal rasional (rasionalanimale), karena
kekuatan pikirannya bisa mencari hal-hal yang bersifat abstrak (universal)
sedangkan hewan (konkret) terbatas pada hal-hal partikular. Manusia menjadi
bijak dengan membawa abstraksinya dalam kehidupan sehari-hari. Teori
Aristoteles yang terkenal ialah “hilemorphisme” (teori materi). Setiap benda
jasmani mempunyai bentuk dan materi, yang tak dapat dilihat, tetapi sebagai
prinsip-prinsip metafisis. Bagi Aristoteles, ilmu pengetahuan dimungkinkan
karena adanya bentuk yang terdapat dalam setiap benda konkret. Aristoteles juga
menemukan logika deduktif (silogisme) yang terdiri atas premis mayor dan
premis minor, yang kemudian dari keduanya dapat ditarik kesimpulan (konklusi).

Dari keseluruhan pemikiran para filsuf tentang persoalan ontologi,


Aristoteleslah yang akhirnya menemukan filsafat ilmu pengetahuan, yang mana
filsafat ilmu pengetahuan tersebut dikelompokkannya ke dalam tiga kategori,
seperti pada diagram di bawah ini. Dari diagram di bawah dapat disimpulkan
bahwa menurut Aristoteles semua ilmu pengetahuan berawal dari logika dan akan
terus menggunakan logika itu untuk memahaminya. Penemuan filsafat ilmu
pengetahuan oleh Aristoteles melahirkan karya-karya besar, seperti ”De Anima”,
yang membahas tentang makhluk dan “Poetics”, yang berisi tentang sastra.

Filsafat Ilmu Pengetahuan

Teoritis:
Abstrak: Praktis/ Produktif:
- Fisika
- Metafisika - Etika
- Biologi
- Theologi - Seni
- Ekonomi
-Matematika - Sastra
- Antropologi
- Sosiologi

Logiika

D. Sistematika Filsafat

Sistematika filsafat terdiri atas lima ilmu pengetahuan, yaitu metafisika,


epistomologi, axiologi, dan logika.

1. Metafisika/ Ontologi

Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan


kefilsafatan yang paling kuno. Persoalan ontologi (being) melahirkan ilmu
metafisika yang kemudian berkembang menjadi ilmu fisika. Metafisika
menyadarkan manusia bahwa ia berhubungan dengan “ada”, seperti pada aliran
realisme yang mengatakan “esse qua esse” (ada itu ada).

Lalu persoalan ontologi yang muncul adalah “bagaimana kita


menerangkan hakikat dari segala yang ada ini?”. Untuk menjawab persoalan ini
pertama kali manusia dihadapkan pada dua kenyataan yang berupa materi dan
non-materi. Sehingga ditemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran
materialisme dan idealisme. Aliran materialisme dipelopori oleh Thales. Aliran ini
menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi. Dari segi dimensinya,
paham ini sering dikaitkan dengan teori Atomisme, yang mengatakan bahwa
semua materi tersusun atas unsur-unsur yang bersifat tetap dan tidak dapat
dirusakkan. Sebagai lawan materialisme adalah idealisme. Aliran idealisme
beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal
dari ruh (non-materi), yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang.

Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui pada ajaran Plato dengan teori
idenya. Menurut Plato, segala yang ada di alam pasti memiliki ide, yaitu konsep
universal dari tiap sesuatu. Karena teorinya tersebut, Plato disebut sebagai bapak
idealisme. Plato menentang materialisme. Serangan Plato jatuh pada gagasan saat
ia menemukan teori hedonisme pada manusia, sehingga manusia tidak mau
berpikir (materialis etiks) dan hal ini sangat berbahaya bahkan dapat
menghancurkan Yunani kuno.

2. Epistomologi

Epistomologi atau teori pengetahuan merupakan cabang filsafat yang


berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian,
dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai
pengetahuan yang dimiliki.

Persoalan yang muncul dalam epistomologi adalah “bagaimana saya


mengetahui sesuatu?”. Pertanyaan ini kemudian dijawab oleh John Lock, yang
mengatakan “pengetahuan itu muncul dari tabularasa” dan dijawab pula oleh teori
David Hume bahwa manusia dapat mengetahui sesuatu dari proses penginderaan
yang dirasakan lalu menimbulkan kesan yang kemudian tersimpan di dalam
memori dan dapat dipikirkan untuk mengingat kembali memori tersebut (indera
 kesan  memori  pikiran). Dari pemikiran David Hhume, diperoleh
pengertian bahwa pengetahuan adalah sebuah kumpulan dari pengalaman (a
bundle of perceptions). Maka muncullah aliran empirisme (manusia memperoleh
pengetahuan dari pengalamannya). Sedangkan pengetahuan sendiri merupakan
keputusan yang diperoleh dari akal budi, yang mana akal budi adalah kumpulan
pengalaman. Sehingga aliran empirisme ini menyimpulkan akan pentingnya
inderawi untuk pengetahuan.

Sebagai lawan empirisme adalah rasionalisme (manusia cenderung


menunda keputusan karena harus berpikir terlebih dahulu). Bapak rasionalisme
adalah Rene Descartes, dengan kutipannya yang terkenal adalah “cogito ergo
sum” atau dalam bahasa Jerman “ich denke, also bin ich” (saya berpikir, maka
saya ada). Aliran rasionalisme ini menyimpulkan bahwa manusia adalah makhluk
yang berpikir (rasional) dan legitimasinya adalah terhadap matematika.

3. Aksiologi

Aksiolgi berasal dari bahasa Yunani, axios yang berarti nilai dan logos
yang berarti ilmu. Jadi, aksiologi adalah teori tentang nilai. Nilai yang dimaksud
adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan
tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai ini mengacu pada permasalahan etika
dan estetika.

Etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian


terhadap perbuatan-perbuatan manusia yang ditinjau dari segi baik atau jahat
dalam suatu kondisi yang normatif. Etika dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
teleologis dan deontologis. Teleologis dikenal dengan etika situasi, yang mana
hasilnya untuk sesuatu yang baik namun bersyarat. Penganut etika teleologis ini
adalah Aristoteles. Sedangkan deontologis merupakan etika yang berangkat dari
kewajiban (tanpa syarat) atau dapat juga disebut sebagai imperatif kategori.
Penganut etika deontologis adalah Immanuel Kant, yang mengatakan bahwa etika
tertinggi berangkat dari hati nurani dan ia juga mengatakan bahwa saat
pengetahuan tak mampu memberi keputusan, maka berangkatlah dari hati nurani.

Estetika merupakan suatu kumpulan pengetahuan yang berbicara tentang


keindahan dan kreativitas (penilaian terhadap indah atau buruk). Sama seperti
etika, teori estetika juga dibagi menjadi dua jenis, yaitu teori estetika Plato dan
Aristoteles. Plato dengan teori “mimesis” mengatakan bahwa seni itu bersifat
alamiah lalu untuk menjadi indah hanya harus menambahkan teknik dan skill.
Seni menurut teori mimesis ini dapat diartikan sebagai peniruan, yaitu meniru
sesuatu dari alam yang pada dasarnya sudah indah, yang meliputi teknik warna,
gerak, titik, dan bunyi. Sedangkan menurut Aristoteles, seni itu bersifat psikologis
atau sensitivitas. Teori seni Aristoteles adalah teori katarsis, yaitu pelepasan dari
ketertekanan gejolak atau dapat disebut sebagai seni yang ekspresif (ekspresi
lepas), sehingga hanya orang-orang tertentu yang memiliki sensitivitas seperti
teori katarsis ini.

4. Logika

Logika adalah filsafat tentang pikiran atau penalaran atau cara berpikir
benar dan salah. Logika terbagi atas dua jenis, yaitu logika formal dan logika
material atau kritik. Logika formal mempelajari asas-asas, hukum-hukum, norma-
norma berpikir yang harus ditaati agar dapat berpikir dengan benar dan mencapai
kebenaran. Sedangkan logika material mempelajari materi atau isi pengetahuan
dan bagaimana proses menimba ilmu pengetahuan serta bagaimana materi (isi)
pengetahuan itu dapat dipertanggungjawabkan. Buku logika yang terkenal dalam
sejarah adalah “Organon” karya Aristoteles.

KESIMPULAN

Filsafat yang berarti cinta kebijaksanaan membawa pengaruh besar bagi


peradaban manusia. Lahirnya filsafat merupakan penyebab lahirnya berbagai ilmu
pengetahuan. Dengan berfilsafat manusia dapat menggunakan akal budinya untuk
dapat mencintai kebijaksanaan dan untuk tidak pernah merasa puas akan ilmu
pengetahuan. Sebab manusia tidak akan dapat menguasai seluruh ilmu
pengetahuan dengan sempurna. Dorongan kebijaksanaan tersebut memunculkan
persoalan-persoalan kehidpan yang kemudian menghasilkan pemikiran-pemikiran
dan teori lalu ilmu pengetahuan.
Daftar Rujukan

Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004

Salam, Burhanuddin. Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi. Jakarta: PT Rineka


Cipta, 2000

Samuelheriant. “Di Balik School of Athens”. 05 September 2016

Anda mungkin juga menyukai