Anda di halaman 1dari 18

Jurnal Spektrum Hukum, Vol. 13/No.

1/April 2016

REKONSEPTUALISASI SISTEM PEMIDANAAN BAGI PELAKU TINDAK


PIDANA LANJUT USIA DALAM RANGKA KEBIJAKAN KRIMINAL
Oleh
Krismiyarsi
Fakultas Hukum UNTAG Semarang

ABSTRAK

Pelaku lanjut usia sering kita dengar melalui media massa. Terhadap pelaku
tindak pidana yang lanjut usia ini, Undang-undang Pidana baik KUHP maupun Undang-
undang di luar KUHP tidak mengatur tentang pembedaan perlakuan dalam sistim
peradilan pidananya maupun sistem pemidanaannya. Hal ini berbeda dengan anak
sebagai pelaku tindak pidana,yang secara legalitas formal telah diatur secara tersendiri
dalam Undang-undang Sistem Peradilan Anak. Mengingat lanjut usia memiliki
keterbatasan-keterbatasan seperti : kesehatan yang terus menurun, keuangan yang
semakin memburuk/kemiskinan, emosi yang semakin labil, dan sebagainya maka
kiranya perlu ada sistim pemindanaan yang mengatur pelaku tindak pidana lanjut usia.
Tulisan ini memberikan konsep pemikiran kepada pembuat Undang-undang mengenai
pemindanaan bagi pelaku tindak pidana lanjut usia.

Kata kunci: Sistem pemidanaan, lanjut usia, kebijakan kriminal.

ABSTRACT

We often hear about elderly perpetrators through mass media. To the elderly
criminal perpetrators, both the Criminal Code and the Laws out of the Criminal Code do
not regulate the different treatment in the criminal judicial system and the punishment
system. This is different from a child as the criminal, who has formally and legally dealt
separately in the Law of Child Judicial System. Given the elderly have limitations, such
as their health that continues to decline, deteriorating financial condition/poverty,
increasingly unstable emotion, and so forth, it is necessary to have punishment system
that regulates elderly crime. This paper provides suggestions to the law makers
regarding the punishment for the elderly criminal perpetrators.

Keywords: punishment system, the elderly, criminal policy.

A. Pendahuluan dicita-citakan adalah mewujudkan


Menurut Pembukaan Undang- masyarakat adil dan makmur bagi
undang Dasar Negara Republik seluruh rakyat Indonesia.
Indonesia Tahun 1945 Tujuan Penduduk lanjut usia sebagai
pembentukan Negara Indonesia adalah warga Negara mempunyai hak yang
melindungi segenap bangsa Indonesia sama dalam kehidupan bermasyarakat,
dan seluruh tumpah darah Indonesia, berbangsa dan bernegara, dan berhak
dan tujuan pembangunan nasional yang atas jaminan social yang

37
Jurnal Spektrum Hukum, Vol. 13/No. 1/April 2016

memungkinkan pengembangan dirinya yang menyebabkan jumlah penduduk


secara utuh sebagai manusia yang lansia terbesar di dunia.
bermartabat. Undang-undang no. 13 Proses penuaan penduduk
tahun 1998 tentang Kesejahteraan tentunya berdampak pada berbagai
Lanjut Usia mengamanatkan perlunya aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi,
lanjut usia untuk diberdayakan sehingga dan terutama kesehatan, karena dengan
dapat berperan dalam pembangunan semakin bertambahnya usia, fungi
nasional. organ tubuh akan semakin menurun
Menurut angka fertilitas dan baik, karena factor alamiah maupun
mortalitas, diiringi dengan karena penyakit. Dengan demikian,
meningkatnya angka harapan hidup peningkatan jumlah penduduk lanjut
menyebabkan jumlah penduduk lanjut usia menjadi salah satu indicator
usia meningkat. Menurut Undang- keberhasilan pembangunan, sekaligus
undang No. 13 Tahun 1998, yang sebagai tantangan dalam pembangunan.
dimaksud dengan lanjut usia adalah Diantara penduduk lanjut usia
penduduk yang telah mencapai usia 60 yang memerlukan perhatian khusus
tahun ke atas. Penduduk lanjut usia di adalah lanjut usia yang melakukan
Indonesia dua tahun terakhir mengalami tindak pidana. Pelaku tindak pidana
peningkatan yang signifikan. Pada sering kita dengar melalui media massa.
tahun 2007, jumlah penduduk lanjut Terhadap pelaku tindak pidana yang
usia sebesar 18,96 juta jiwa dan lanjut usia ini Undang-undang Pidana
meningkat menjadi 20.547.541 pada baik KUHP maupun Undang-undang di
tahun 2009 (U.S. Census Bureau luar KUHP tidak mengatur tentang
International Date Base, 2009). Jumlah pembedaan perlakuan dalam sistem
ini termasuk terbesar keempat setelah peradilan pidananya maupun system
Cina, India, dan Jepang. Badan pemindanannya. Hal ini berbeda dengan
kesehatan dunia (WHO) menyatakan anak sebagai pelaku tindak pidana, yang
bahwa: penduduk lansia di Indonesia secara legalitas formal telah diatur
pada tahun 2020 mendatang sudah secara tersendiri dalam Undang-undang
mencapai angka 11,34% atau tercatat No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem
28,8 juta orang, balitanya tinggal 6,9% Peradilan Anak, Sebagai pengganti
Undang-undang No. 3 Tahun 1997

38
Jurnal Spektrum Hukum, Vol. 13/No. 1/April 2016

tentang Pengadilan Anak. Mengingat semakin tua ada sebagian orang yang
lanjut usia memiliki keterbatasan- bersifat apatis.
keterbatasan seperti: kesehatan yang Perlindungan bagi pelaku tindak
terus menurun, keuangan yang semakin pidana lanjut usia akan menghadapi
memburuk/kemiskinan, emosi yang keterbatasan dalam beraktivitas, faktor
semakin labil, dan sebagainya maka lanjut uisa perlu perlindungan, faktor
kiranya perlu ada system pemidanaan lanjut usia perlu pemeliharaan
yang mengatur pelaku tindak pidana kesehatan, faktor lanjut usia perlu
lanjut usia. Contohnya: untuk pidana mempersiapkan diri pada kematian,
seumur hidup, karena lamanya pidana sehingga sistem pemidanaan yang
seumur hidup tidak dapat ditentukan berperikemanusiaan merupakan upaya
dapat saja terjadi terpidana berada di penghormatan dan penghargaan
Lembaga Pemasyarakatan sampai lanjut terhadap orang tua yang semakin tua
usia. Terpidana lanjut usia ini apabila akan mengalamai keterbatasan social,
berada di Lembaga Pemasyarakatan ekonomi dan kesehatan.
terlalu lama akan meninmbulkan Tidak adanya peraturan yang
masalah, kesehatan yang semakin mengatur tentang pembedaan perlakuan
menurun akan menyusahkan petugas terhadap pelaku tindak pidana lanjut
maupun teman sesame narapidana di usia secara formal menyebabkan tidak
dalam Lembaga Pemasyarakatan. Di adanya keharusan dari hakim untuk
sisi lain berdampak pada besarnya menjadikan usia lanjut sebagai bahan
anggaran Pemerintah yang harus di pertimbangan hal-hal yang
keluarkan untuk pembinaan dan meringankan, masih kuatnya paham
pemeliharaannya. pidana melihat kepada perbuatan yang
Pembinaan yang sifatnya dilakukan pelaku (positivism) yang
ketrampilan untuk lanjut usia juga tidak dijadikan pegangan hakim untuk
banyak bermanfaat bagi nara pidana. memutus perkara pidana menyebabkan
Pembinaan kepribadian yang sifatnya pidana tidak melihat kepada pelaku.
keagamaan yang dapat membantu nara Demi kepastian hukum
pidana lanjut usia untuk bekal menuju mengesampingkan keadilan dan
kematian, inipun juga belum tentu kemanfaatan. Kasus mbok minah
dimanfaatkan oleh mereka, mengingat merupakan salah satu contoh bagaimana

39
Jurnal Spektrum Hukum, Vol. 13/No. 1/April 2016

positivisme masih kental dijadikan menjadi dasar dari reaksi terhadap


sebagai contoh modifikasi system pelanggaran hukum yang berupa
pemidanaan khususnya pidana seumur pidana;
hidup, dimana atas dasar pertimbangan b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan
kemanusiaan terpidana dapat fungsi dari aparatur penegak
dikeluarkan sebelum masa pidananya hukum, termasuk didalamnya cara
berakhir. kerja dari Pengadilan dan Polisi.1
Kelemahan substansif hukum ini c. Dalam arti oaling luas, ialah
kiranya perlu untuk dievaluasi kembali keseluruhan kebijakan yang
dan dikembangkan model kebijakan dilakukan melalui perundang-
system pemidanaan bagi pelaku tundak undangan dan badan-badan resmi,
pidana lanjut usia yang berorientasi yang bertujuan untuk menegakkan
pada kemanusiaan. norma-norma sentral dari
2
masyarakat.
B. Perumusan Masalah: Dalam kesempatan yang lain beliau
Adapun permasalahan yang mengemukakan definisi singkat bahwa
akan dibahsas dalam tulisan ini adalah: kebijakan criminal merupakan suatu
1. Mengapa perlu kebijakan system usaha yang rasional dari masyarakat
pemidanaan bagi pelaku tindak dalam menanggulangu kejahatan.
pidana lanjut usia dalam rangka Upaya penanggulangan kejahatan
kebijkakan kriminal? pada hakikatnya merupakan bagian
2. Bagaimana rekonseptualisasi integral dari upaya perlindungan
kebijakan system pemidanaan bagi masyarakat (social defence) dan upaya
pelaku tindak pidana lanjut usia mencapai kesejahteraan masyarakat
dalam rangka kebijakan kriminal? (social welfare) . Oleh Karena itu dapat
dikatakan bahwa tujuan akhir atau
C. Pembahasan tujuan utama dari kebijakan criminal
1. Kebijakan Kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk
Menurut Sudarto, kebijakan mencapai kesejahteraan masyarakat.
criminal mempunyai 3 (tiga arti), yaitu:
1
a. Dalam arti sempit, ialah Sudarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana,
Alumni, Bandung, hlm. 113-114
keseluruhan asas dan metode yang 2
Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana,
Alumni, Bandung, hlm. 38

40
Jurnal Spektrum Hukum, Vol. 13/No. 1/April 2016

Oleh karenanya upaya penanggulangan penegakan hukum (law enforcement


kejahatan perlu diintergrasikan dengan policy).
keseluruhan kebijakan social dan 2. Sistem Pemidanaan
perencanaan pembanguna nasional. Sistem pemidanaan menurut
Kebijakan criminal atau kebijakan Hulsaman adalah aturan perundang-
penganggulangan kejahatan tidak undangan yang berhubungan dengan
banyak artinya apabila kebijakan social saksi pidana dan pemidanaan (the
atau kebijakan pembangunan itu sendiri statutory rules relating to penal
justru menimbulkan factor-faktor sanctions and punishment).4
kriminogen dan victimogen. Apabila pengertian
Kebijakan penanggulangan “pemidanaan” diartikan sebagai
kejahatan tidak dapat dilepaskan dari pemberian atau penjatuhan pidana,
kebijakan pembuatan undang-undang/ maka pengertian system pemidanaan
peraturan hukum pidana. Usaha dan dapat dilihat dari 2 (dua) sudut:
kebijakan untuk membuat peraturan 1. Dalam arti luas, system
hukum pidana yang baik atau yang pemidanaan dilihat dari sudut
disebut politik hukum pidana/kebijakan fungsional , yaitu dari sudut
hukum pidana. Sudarto menyatakan, bekerjanya/prosesnya.
bahwa melaksanakan politik hukum Dalam arti luas ini, system
pidana berarti usaha mewujudkan pemidanaan dapat diartikan
peraturan perundang-undangan pidana sebagai:
yang sesuia dengan keadaan dan situasi - Keseluruhan system (aturan
suatu waktu dan untuk masa-masa yang perundang-undangan) untuk
akan datang.3 fungsionalisasi/operasionalisasi
Usaha penanggulangan kejahatan /konkretisasi pidana.
dengan hukum pidana pada hakikatnya - Keseluruhan system
juga merupakan bagian dari usaha (perundang-undangan) yang
penegakan hukum pidana. Oleh karena mengatur bagaimana hukum
itu, sering pula dikatakan bahwa pidana itu ditegakan atau
politik/kebijakan hukum pidana 4
L.H.C. Hulsman, 1978, The Dutch Criminal
merupakan bagian dari kebijakan Justice System From A Comparative Legal
Perspective, di dalam D.C Fokkema (Ed),
Introduction to Dutch Law For Foreign Lawyers
3
Sudarto, Op Cit, hlm.95 Kluwer Deventer, The Nederlands, hlm. 30

41
Jurnal Spektrum Hukum, Vol. 13/No. 1/April 2016

dioperasionalkan secara konkret Keseluruhan peraturan perundang-


sehingga seseorang dijatuhi undangan (statutory rules) yang ada
sanksi (hukum) pidana. dalam KUHP, maupun didalam
Dengan pengertian demikian, maka undang-undang khusus diluar
system pemidanaan identik dengan KUHP, pada hakekatnya
system penegak hukum pidana merupakan satu kesatuan system
yang terdiri dari sub system hukum pemidanaan, yang terdiri dari
pidana materiil/substansif, sub aturan umum (general rules), dan
system hukum pidana formal, dan aturan khusus (special
sub system hukum pelaksanaan rules),.Aturan umum terdapat
pidana. Ketiga sub system itu dalam Buku I KUHP, dan aturan
merupakan satu kesatuan system khusus terdapat dalam Buku II dan
pemidanaan, karena tidak mungkin Buku III KUHP, maupun dalam
hukum pidana dioperasionalkan/ Undang-undang khusus di luar
ditegakan secara konkret hanya KUHP.5
dengan salah satu system.
2. Dalam arti sempit, system Bertolak dari pengertian di atas,
pemidanaan dilihat dari sudut maka system pemidanaan yang
normatife/substantive, yaitu hanya dimaksud dalam tulisan ini adalah
dilihat dari norma-norma hukum system pemidanaan dalam arti sempit,
pidana substantive. yaitu system pemidanaan dilihat dari
Dalam arti sempit ini, maka system sudt nomrmatif/substantive, yaitu hanya
pemidanaan dapat diartikan dilihat dari norma-norma hukum pidana
sebagai: substantive. Dalam arti sempit ini, maka
- Keseluruhan system (aturan system pemidanaan dapat diartikan
perundang-undangan) untuk sebagai: Keseluruhan system (aturan
pemidanaan. Perundang-undangan) untuk
- Keseluruhan system (aturan pemberian/penjatuhan dan pelaksanaan
perundang-undangan) untuk pidana.
pemberian/penjatuhan dan
pelaksanaan pidana.
5
Barda Nawawi Arief, 2011, Perkembangan
sistem pemidanaan di Indonesia, Pustaka
Magister, Semarang, hlm. 3.

42
Jurnal Spektrum Hukum, Vol. 13/No. 1/April 2016

3. Perlunya Sistem Pemidanaan Bai a. Jangan hukum pidana digunakan


Pelaku Tindak Pidana Lanjut semata-mata untuk tujuan
Usia Dalam Rangka Kebijakan pembalasan
Kriminal b. Jangan menggunakan hukum
Upaya penanggulangan pidana untuk memidana perbuatan
kejahatan/kebijakan criminal dapat yang tidak merugikan/
ditempuh melalui jalur penal (hukum membahayakan.
pidana) dan non penal. Kebijakan c. Jangan menggunakan hukum
penaggulangan kejahatan dengan pidana untuk mencapai suatu tujuan
menggunakan hukum pidana disebut yang dapat dicapai secara efektif
politik hukum pidana atau kebijakan dengan sarana-sarana lain yang
hukum pidana. Politik hukum pidana lebih ringan.
atau kebijakan hukum pidana d. Jangan menggunakan hukum
melingkupi ruang lingkup hukum pidana apabila kerugian/bahaya
pidana materiil, hukum pidana formil yang timbul dari pidana lebih besar
dan pelaksanaan hukum pidana. dari pada kerugian/bahaya dari
Masalah sentral dalam kebijakan perbuatan/tindak pidana itu sendiri.
penanggulangan kejahatan dengan e. Larangan-larangan hukum pidana
menggunakan sarana penal atau jangan mengandung sifat lebih
kebijakan/poilitk hukum pidana adalah berbahaya dari pada perbuatan yang
masalah penentuan perbuatan apa yang akan dicegah.
seharusnya dijadikan tindak pidana dan f. Hukum pidana jangan memuat
sanksi apa yang sebaiknya digunakan larangan-larangan yang tidak
atau dikenakan kepada si pelanggar. mendapat dukungan kuat dari
6
Terkait dengan penentuan public.
perbuatan yang akan dijadikan sebagai
tindak pidana, Nigel Walker yang Senada dengan pendapat Nigel
pernah mengingatkan adanya “prinsip- Walker ialah pendapat Sudarto
prinsip pembatas” (the limiting mengenai hal-hal yang perlu
principles) yang sepatutnya mendapat
6
perhatian antara lain: Barda Nawawi Arief, 2005, Beberapa Aspek
Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung,
hlm.5.

43
Jurnal Spektrum Hukum, Vol. 13/No. 1/April 2016

diperhatikan ketika akan melakukan sampai ada kelampauan beban


kriminalisasi yaitu: tugas (overbelasting).7
1. Penggunaan hukum pidana harus
memperhatikan tujuan Menurut Barda Nawawi Arief
pembangunan nasional, yaitu pembaharuan hukum pidana menuntut
mewujudkan masyarakat adil dan adanya penelitian dan pemikiran
makmur yang merata materiil dan terhadap masalah sentral yang sangat
spiritual berdasarkan Pancasila, fundamental dan strategis. Termasuk
sehubungan dengan ini maka dalam Klasifikasi masalah yang
(pengguaan) hukum pidana demikian antara lain masalah kebijakan
bertujuan untuk menanggulangi dalam menetapkan sanksi pidana,
kejahatan dan mengadakan termasuk penjara.8
pengugeran terhadap tindakan Memperhatikan itu semua, kiranya
penanggulanagn itu sendiri, demi perlu system pemidanaan bagi pelaku
kesejahteraan dan pengayoman tindak pidana lanjut usia dalam rangka
masyarakat. kebijakan criminal, meningat kalau
2. Perbuatan yang diusahakan untuk pelaku tindak pidana anak saja ada
dicegah atau ditanggulangi dengan undang-undangnya yang mengatur
hukum pidana harus merupakan Sistem Peradilan Pidana Anak,
perbuatan yang tidak dikehendaki mengapa orang tua tidak. Mestinya
yaitu perbuatan yang keduanya sangat perlu mendapat
mendatangkan kerugian (material pengaturan khusus.
dan atau spiritual) atas warga Perlunya kebijakan system
masyarakat. pemidanaan bagi pelaku tidak pidana
3. Penggunaan hukum pidana harus lanjut usia dalam rangka kebijakan
pula memperhitungkan prinsip criminal adalah karena: pelaku tindak
biaya dan hasil (cost benefit pidana lanjut usia memiliki
principle). keterbatasan-keterbatasan beraktivitas
4. Penggunaan hukum pidana harus secara fisik, psikis, social dan ekonomi,
pula memperhatikan kapasitas atau 7
Barda Nawawi Arief, 1994, kebijakan Legislatif
kemampuan daya kerja dari badan- Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan
Pidana Penjara, CV Ananta, Semarang, hlm. 38-
badan penegak hukum, yaitu jangan 39
8
Ibid,hlm. 3.

44
Jurnal Spektrum Hukum, Vol. 13/No. 1/April 2016

karenanya perlu perlindungan. Pelaku pidana tersebut, korban yang dirugikan,


lanjut usia perlu pemeliharaan dan sebagainya. Ini semua perlu diatur
kesehatan, perlu mempersiapkan pada dalam undang-undang khusus mengenai
kematian. Disisi lain tidak ada system pemidanaan bagi pelaku lanjut
perlakuan khusus terhadap pelaku usia.
tindak pidana lanjut usia dalam proses Adapun hal-hal yang perlu
peradilan maupun system diperhatikan dalam pembuatan undang-
pemidanaannya. Masih kuatnya paham undang system pemidanaan bagi lanjut
pidana melihat kepada perbuatan yang usia, penulis memberikan konsep-
dilakukan pelaku (positivisme) yang konsep pemikiran tersebut di bawah ini.
dijadikan pegangan hakim untuk 5. Rekonseptualisasi Sistem
memutus perkara pidana menyebabkan Pemidanaan Bagi Pelaku Tindak
pidana tidak melihat kepada pelaku. Pidana Lanjut Usia Dalam
Demi kepastian hukum Rangka Kebijakan Kriminal
mengesampingkan keadilan dan Reorientasi dan re evaluasi
kemanfaatan. Demikian juga pembinaan terhadap jenis pidana dan pemidanaan
dalam Lembaga Permasyarakatan tidak merupakan suatu hal diperlukan
bermanfaat bagi lanjut usia justru sehubungan dengan perkembangan
menimbulkan stigmatisasi. Oleh masyarakat dan meningkatnya
karenanya system pemidanaan yang kriminalitas di Indonesia.
berkemanusiaan merupakan tuntutan Penelitian kriminologi dapat
untuk segera diupayakan sebagai dipakai untuk membantu pembuatan
penghormatan dan penghargaan Undang-Undang pidana (kriminalitas)
terhadap orang tua yang semakin tua atau pencabutan undang-undang
akan mengalami keterbatasan social, (dekriminalisasi) sehingga kriminologi
ekonomi, dan kesehatan, namun sering di sebut “signal wetenchap”.
demikian tentu saja tidak semua pelaku Bahkan aliran modern yang
lanjut usia dikenakan system diorganisasikan oleh Von Liszt
pemidanaan secara sama, melainkan Menghendaki kriminologi bergabung
dengan melihat kepada umur, jenis dengan hukum pidana sebagai ilmu
tindak pidana yang dilakukan, modus bantunya agar bersama-sama
operandi bagaimana melakukan tindak menangani hasil penyelidikan “politik

45
Jurnal Spektrum Hukum, Vol. 13/No. 1/April 2016

criminal” sehingga memungkinkan nasional (yaitu “social defence”


memberikan petunjuk jitu terhadap dan “social welfare”)
penanggulangan hukum pidana dan 4. Merupakan upaya peninjauan dan
pelaksanaannya.9 penilaian kembali (“re-orientasi dan
Menurut Barda Nawawi Arief revaluasi”) pokok-pokok
upaya melakukan pembaharuan hukum pemikiran, ide-ide dasar, atau nilai-
pidana (“penal reform”) pada nilai sosio-filosofik, sosio-politik,
hakikatnya termasuk bidang “penal dan sosio-kultural yang melandasi
policy”, yang merupakan bagian dan kebijakan keiminal dan kebijakan
terkait erat dengan “Law enforcement (penegakan) hukum pidana selama
policy”, “criminal policy”, dan “social ini.
policy”. Ini berarti, rekonstruksi hukum Dengan demikian, pembaharuan
pidana pada hakikatnya: hukum pidana harus ditempuh dengan
1. Merupakan bagian dari kebijakan pendekatan yang berorientasi pada
(upaya rasional) untuk kebijakan (“policy oriented approach”)
memperbaharui substansi hokum dan sekaligus pendekatan yang
(legal substance) dalam rangka berorientasi pada nilai (value oriented
lebih mengefektifkan penegakkan approach”).10
hukum. Dari pendapat di atas maka
2. Merupakan bagian dari kebijakan rekonseptualisasi Sistem pemindanaan
(upaya rasional) untuk bagi pelaku tindak pidana lanjut
memberantas/ menanggulangi usiadipandang dari sudut pendekatan
kejahatan dalam rangka kebijakan (“policy oriented
perlindungan masyarakat. approach”), merupakan bagian dari
3. Merupakan bagian dari kebijakan upaya membangun substansi hukum.
(upaya rasional) untuk mengatasi Menilik pendapat-pendapat tersebut
masalah social dan masalah di atas, maka penulis memberikan
kemanusiaan dalam rangka beberapa konsep pemikiran tentang
mancapai/menunjang tujuan kebijakan pembaharuan system

10
Barda Nawawi Arief, 2005, Pembaharuan
HukumPidana Dalam Perspektif Kajian
9
I.S Susanto, 2011, Kriminologi,Genta Perbandingan, Citra Aditya Bakti, Bandung,
Publishing. Yogyakarta, hlm. 20 hlm. 3-4.

46
Jurnal Spektrum Hukum, Vol. 13/No. 1/April 2016

pemidanaan bagi pelaku tindak pidana pemidanaan non custodial bagi


lanjut usia di masa yang akan datang, pelaku tindak pidana lanjut usia
sebagai berikut: dalam rangka kebijakan criminal
1. Undang-Undang system yang berkemanusiaan sangat
pemidanaan yang akan datang diperlukan, karena dengan demikian
didalamnya perlu diatur mengenai narapidana lanjut usia dapat merasa
efektivitaas penjatuhan pidana non dilindungi dan diayomi sebagai
custodial, bagi lanjut usia, seperti: orang tua yang memiliki
pidana percobaan, pidana kerja keterbatasan-keterbatasan secara
social, pidana denda dan pidana fisik, psikis, dan ekonomi. Oleh
pengawasan. Penggunaanya lebih di karenanya pembinaan non custodial
dayagunakan. Sementara ini yang (seperti: pidana bersyarat, pidana
terjadi pidana percobaan, pidana denda, pidana pengawasan dan
kerja social dan pidana pengawasan pidana kerja social), perlu diatur
jarang sekali diterapkan oleh hakim dalam undang-undang untuk dapat
meskipun undang-undang mengatur diterapkan dalam system
hal itu, begitu juga mengenai siapa pemidanaan bagi pelaku tindak
lembaga pengawas dan monitoring pidana lanjut usia di masa yang
untuk hal ini juga tidak diatur dalam akan datang.
Undang-undang.
Sementara itu, system hukum dan 2. Di samping itu Undang-undang
penerapanya belum mampu system pemidanaan bagi lanjut usia
memberikan jaminan terhadap yang akan datang, harus ada
perubahan perilaku yang terlanjur pedoman mengenai pemanfaatan ide
menjadi terpidana. Di samping itu individualisasi pidana, bahwa
pengalaman buruk selama pidana harus cocok untuk orangnya,
mengikuti proses hukum dan bahwa hakim sebelum menjatuhkan
pemidanaan juga mempengaruhi pidana perlu memperhatikan asas
perkembangan psikologis bagi individualisasi pidana.
orang tua. Mendasarkan pada Individualisasi pidana perlu
asumsi-asumsi di atas, maka diterapkan terhadap kasus lanjut
kebutuhan akan suatu system usia dalam setiap tingkat

47
Jurnal Spektrum Hukum, Vol. 13/No. 1/April 2016

pemriksaan, sehingga pidana yang merupakan implementasi ide


dijatuhkan dapat berdayaguna dan individualisasi pidan yaitu:
berhasil guna. Di samping itu a. Kesalahan pembuat tindak
urgensi (keutamaan) konsep/model pidana.
efektivitas/mendayagunakan b. Motif dan tujuan melakukan
individualisasi pidana ini didasarkan tindak pidana.
pada perlunya menhindarkan orang c. Sikap batin pembuat tindak
lanjut usiadari efek/dampak pidana.
negative pidana penjara, serta d. Tindak pidana yang dilakukan
menghemat biaya penanggulanagan apakah direncanakan atau tidak
kejahatan yang harus dikeluarkan direncanakan.
oleh Negara. Pidana harus diberikan e. Cara melakukan tindak pidana.
secara berbeda-beda dengan melihat f. Sikap dan tindakan pembuat
umur, kesalahanya, latar belakang sesudah melakukan tindak
pelaku, jenis tindak pidana yang pidana.
dilakukan, modus operandinya, g. Riwayat hidup, keadaan social,
kerugian pihak korban dan dan keadaan ekonomi pembuat
masyarakat yang dirugikan dan tindak pidana.
sebagainya. Tidak semua lanjut usia h. Pengaruh pidana terhadap masa
mendapatkan perlakuan yang sama depan pembuat tindak pidana.
misalnya 70 tahun ke atas dan atau i. Pengaruh pidana terhadap
sakit-sakitan perlu mendapat korban atau keluarga korban.
pelakuan khusus, sedangkan j. Pemaafan dari korban dan/atau
walaupun sudah lanjut usia tetapi keluarganya, dan atau
apabila modusnya sangat kejam dan k. Pandangan masyarakat terhadap
tidak berperikemanusiaan perlu ada tindak pidana yang dilakukan.
pemberatan dan sebagainya. Menurut Pasal 55 ayat (2)
Didalam Pasal 55 Rancangan KUHP, ringanya
Rancangan KUHP, ada pedoman perbuatan, keadaan pribadi
pemidanaan yang harus pembuat, atau keadaan pada waktu
dipertimbangkan sebelum dilakukan perbuatan atau yang
menjatuhkan pidana, yang hal ini terjadi kemudian, dapat dijadikan

48
Jurnal Spektrum Hukum, Vol. 13/No. 1/April 2016

dasar pertimbangan untuk tidak treatment atau pembinaan atau


menjatuhkan pidana atau fase pengenaan pidana harus
mengenakan tindakan dengan dibedakan secara tajam dari
mempertimbangakan dari segi fase penentuan kesalahan
keadilan dan kemausiaan. (disebut pemisahan dua fase)
Namun demikian menurut The decision as to treatment
Barda Nawawi Arief, pendekatan must be made by a board or
humanistis dalam penggunaan tribunal specially qualified in
sanksi pidana tidak hanya berarti the interpretation and evalution
pidana yang dikenakan kepada si of psychiatric, psychological,
pelanggar harus sesuai dengan nila- and sociological data. Bahwa
nilai kemanusiaan dan nilai-nilai Penetapan treatment/ penetapan
pergaulan hidup bermasyarakat. pidana harus dilakukan oleh
3. Selain dari dua hal diatas menurut suatu badan khususyang
penulis untuk adanya pemidanaan dipandang mampu dalam
bagi pelaku tindak pidana lanjut usia menginterpretasikan atau
perlu diadakan system pemisahan mengevaluasikan data-data
dua fase dengan dibentuknya psikiatric, psykhologic dan
lembaga treatment tribunbal dalam sosiologic (harus ada treatment
peradilan pidana. tribunal).
Menurut Sheldon Glueck c. The treatment must be
ada 4 hal yang perlu diperhatikan modifiable in the
dalam individualisasi pidana, yaitu light of scientific reports of
:11 progress. Bahwa treatment
a. The treatment (sentence- yang digunakan terhadap
imposing) feature of the terhukum harus dapat
proceedings must be sharply dimodifisir, harus dapat diubah
differentiated from the guilth berdasarkan laporan-laporan
finding phase. Bahwa fase kemajuan secara ilmiah dari si
terpidana. Sebagai contoh yaitu
11
Barda Nawawi Arief, 2011 Bunga Rampai KUHP Greenland yang
Kebijakan Hukum Pidana,Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana mengenal: The elasticity
Prenada Media Grup, Jakarta, hlm.39.

49
Jurnal Spektrum Hukum, Vol. 13/No. 1/April 2016

sentencing denda.Selain itu juga diatur


(elastisitas dalam menjatuhkan mengenai Pidana bersyarat
pemidanaan, artinya hakim dalam Pasal 14 KUHP.
sangat bebas dalam memilih Penulis berpendapat
jenis sanksi dan juga bebas dalam memilih jenis pidana ini
untuk tidak menjatuhkan pidana perlu kiranya dilakukan oleh
walaupun terbukti lembaga treatment tribunal yang
kesalahannya. Di samping itu mengerti data-data psikhiatric,
juga dikenal The annulment, psychologic, dan sociologic,
alteration, revocation of sehingga pidana akan sesuai
sanction (prinsip penghapusan, dengan orangnya. Begitu juga
perubahan, penarikan kembali pidana yang dijatuhkan oleh
/pencabutan dari sanksi). hakim kiranya juga harus bisa
d. The right of the individual must dimodifikasi sesuai
be safeguarded against possible perkembangan perilaku dan
arbitrariness or other unlawful kepribadian nara pidana.
action onthe part of the Prinsip menghindari
treatment tribunal. Bahwa Hak pidana penjara perlu juga
individu harus dijamin terhadap diperhatikan tidak hanya oleh
kemungkinan kesewenang- hakim melainkan juga aparat
wenangan atau perbuatan- penegak hukum lainnya,
perbuatan melawan hukum sehingga prinsip individualisasi
lainnya pada bagian treatment pidana ini dapat diterapkan di
tribunal. semua sub si stem per-adilan
Sementara ini dalam pidana, baik tingkat penyidikan,
KUHP tidak mengatur tentang penuntutan maupun persidangan
individualisasi pidana ini. dan lembaga pemasyarakatan.
Dalam KUHP hanya mengatur Oleh karenanya perlu dibentuk
jenis-jenis pidana yang meliputi: lembaga treatment tribunal di
pidana pokok dan pidana setiap tahapan pemeriksaan.
tambahan. Pidana pokok terdiri 5. Tidak memberlakukan pidana
dari mati, penjara, kurungan dan seumur hidup.

50
Jurnal Spektrum Hukum, Vol. 13/No. 1/April 2016

Pidana seumur hidup yang dilakukan bersifat ringan,


janganlah dikenakan kepada pelaku tindak pidana yang dilakukan
tindak pidana lanjut usia, mengingat diancam dengan pidana penjara
terpidana semur hidup tidak paling lama 4 (empat) tahun, tindak
mendapat hak untuk mengajukan pidana yang dilakukan hanya
remisi dan pelepasan bersyarat. diancam dengan pidana denda, umur
Pidana seumur hidup dalam untuk mediasi penal, apabila tindak
pelaksanaannya di LP akan pidana yang dilakukan bersifat
menyulitkan pegawai LP apabila hal ringan, tindak pidana yang
ini dikenakan terhadap lanjut usia dilakukan diancam dengan pidana
mengingat lanjut usia mempunyai penjara paling lama 4 (empat) tahun,
keterbatasan- keterbatasan sosial, tindak pidana yang dilakukan hanya
ekono-mi dan kesehatan. Hal ini diancam dengan pidana denda, umur
pemah teijadi dalam kasus tersangka pada waktu melakukan
Subandrio terpidana seumur hidup tindak pidana di atas tujuh puluh
yang sakit-sakitan di dalam LP di si tahun dan atau kerugian telah
si lain tidak ada dasar hukum yang diganti. Dengan demikian RUU
dapat dipakai sebagai dasar unutuk KUHAP telah mengakses kebutuhan
mengeluarkannya dari LP. Sehingga akan perlunya perlindungan
pajda waktu itu Muladi yang terhadap pelaku tindak pidana lanjut
menjabat sebagai Menteri usia, dengan memberikan
KUMHAM mengeluarkan SK untuk kesempatan untuk mediasi penal.
mengeluarkan Subandrio dari LP Demikian pula Rancangan
dengan pertimbangan kemanusiaan. KUHP tahun 2012, juga mengatur
Di dalam rancangan KUHAP mengenai perlunya memberikan
Tahun 2012 Pasal 42 ayat (2) dan perlakuan khusus bagi pelaku tindak
ayat (3) telah diatur mengenai pidana usia 70 tahun, yaitu sejauh
kebutuhan akan perlunya mungkin tidak dijatuhkan pidana
perlindungan terhadap pelaku tindak penjara, dengan tetap
pidana lanjut usia, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 53
memberikan kesempatan untuk dan Pasal 54 Konsep/RKUHP.
mediasi penal, apabila tindak pidana Kebijakan penegakan hukum

51
Jurnal Spektrum Hukum, Vol. 13/No. 1/April 2016

pidana merupakan serangkaian bagi pelaku tindak pidana lanjut usia


proses yang terdiri dari tiga tahap dalam rangka kebijakan kriminal
kebijakan. Pertama, tahap kebijakan adalah karena. pelaku tindak pidana
formulatif atau tahap kebijakan lanjut usia memiliki keterbatasan-
legislatif, yaitu tahap keterbatasan beraktivitas secara
penyusunan/perumusan hukum fisik, psikis, sosial dan ekonomi,
pidana. Kedua,tahap kebijakan karenanya perlu perlindungan.
yudikatif/aplikatif, yaitu tahap Pelaku lanjut usia perlu
penerapan hukum pidana. Ketiga, pemeliharaan kesehatan, perlu
tahap kebijakan eksekutif/ mempersiapkan pada kematian.
administrasi, yaitu tahap Disisi lain tidak ada perlakuan
pelaksanaan/eksekusi hukum khusus terhadap pelaku tindak
pidana.Tahap pertama (kebijakan pidana lanjut usia dalam proses
legislatif) merupakan tahap peradilan maupun sistem
penegakan hukum “in abstracto” pemidanaannya. Masih kuatnya
sedangkan tahap kedua dan ketiga paham pidana melihat kepada
(tahap kebijakan judikatif dan perbuatan yang dilakukan
eksekutif) merupakan tahap pelaku (positivisme) yang dijadikan
penegakan hukum “in concrete”.12 pegangan hakim untuk memutus
Ketiga tahap kebijakan perkara pidana menyebabkan pidana
penegakan hukum pidana tersebut tidak melihat kepada pelaku. Demi
mengandung tiga kekuasaan atau kepastian hukum mengesam-
kewenangan, yaitu pingkan keadilan dan
D. Penutup kemanfaatan. Demikian juga
1. Kesimpulan: pembinaan dalam Lembaga
Berdasar uraian di atas, maka dapat Pemasyarakatan tidak bermanfaat
disimpulkan sebagai berikut: bagi lanjut usia justeru
1. Perlunya kebijakan sistem menimbulkan stigmatisasi. Oleh
pemidanaan karenanya sistem pemidanaan
yang berkemanusiaan merupakan
12
Barda Nawawi Arief, 2012, Kebijakan tuntutan untuk segera diupayakan
Formulasi Ketentuan Pidana, Dalam Peraturan
Perundang-Undangan, Pustaka Magister, sebagai penghormatan dan
Semarang, hlm.10.

52
Jurnal Spektrum Hukum, Vol. 13/No. 1/April 2016

penghargaan terhadap orang tua tribunal dalam peradilan pidana.


yang semakin tua akan mengalami d. Tidak memberlakukan pidana
keterbatasan sosial, ekonomi dan seumur hidup. Pidana seumur hidup
kesehatan. janganlah dikenakan kepada pelaku
2. Rekonseptualisasi kebijakan tindak pidana lanjut usia,
system pemidanaan bagi pelaku mengingat terpidana semur hidup
tindak pidana lanjut usia dalam tidak mendapat hak untuk
rangka kebijakan criminal adalah: mengajukan remisi dan pelepasan
a. Perlunya Undang-undang yang bersyarat.
mengatur lebih lanjut mengenai 2. Saran
efektivitas penjatuhan pidana non 1. Perlu dibuat undang-undang
custudial, seperti: pidana mengenai Sistem Pemidanaan bagi
percobaan, pidana kerja sosial, pelaku lanjut usia di masa
pidana pengawasan, dan pidana mendatang dengan mengakomodir,
denda. prinsip individualisasi pidana,
b. Di samping itu undang-undang prinsip modifikasi, menghindari
system pemidanaan bagi lanjut usia pidana seumur hidup dan prinsip
yang akan datang, harus ada pendayagunaan pidana non
pedoman mengenai pemanfaatan custodial.
ide Individualisasi pidana, bahwa 2. Perlu dimmuskan dalam Undang-
pidana harus cocok untuk undang Sistem Pemidanaan bagi
orangnya, bahwa hakim sebelum lanjut usia mendatang bahwa prinsip
menjatuhkan pidana perlu individualisasi dapat dilakukan
memperhatikan asas individualisasi dalam setiap tahap pemeriksaan
pidana. Pidana harus bisa perkara pidana, dengan melibatkan
dimodifikasi. ahli-ahli psikologi, psikiatri dan
c. Selain dari dua hal di atas, menumt sosiologi.
penulis untuk adanya pemidanaan
bagi pelaku tindak pidana lanjut DAFTAR PUSTAKA
usia perlu diadakan sistem Hulsman,L.H.C., 1978, The Dutch
Criminal Justice System From A
pemisahan dua fase dengan
Comparative Legal Perspective,
dibentuknya lembaga treatment di dalam D.C Fokkema (Ed),

53
Jurnal Spektrum Hukum, Vol. 13/No. 1/April 2016

Introduction to Dutch Law For Susanto, I S. 2011, Kriminologi, Genta


Foreign Lawyers Kluwer Publishing. Yogyakarta.
Deventer, The Nederlands.

Nawawi Arief, Barda, 2011,


Perkembangan Sistem
Pemidanaan di Indonesia,
Pustaka Magister, Semarang.

------- , 1994, Kebijakan Legislatif


DalamPenanggulangan Kejahatan
Dengan pidana Penjara, CV Ananta,
Semarang.

------- , 2005, Beberapa Aspek


KebijakanPenegakan dan
Pengembangan Hukum Pidana, Citra
Aditya Bakti, Bandung.

------- ,2005, Pembaharuan Hukum


PidanaDalam Perspektif Kajian
Perbandingan, Citra Aditya Bakti,
Bandung.

------- , 2011, Bunga Rampai


KebijakanHukum Pidana,
Perkembangan Penyusunan Konsep
KUHP Baru, Kencana Prenada Media
Gmp, Jakarta:

------- , 2012, Kebijakan


FormulasiKetentuan Pidana, Dalam
Peraturan Perundang-undangan,
Pustaka Magister, Semarang.

Sudarto, 1986, Kapita Selekta Hukum


Pidana, Alumni Bandung

------- , 1981, Hukum dan Hukum


Pidana, Alumni, Bandung.

54

Anda mungkin juga menyukai