Ileus PDF
Ileus PDF
Leonardo Basa Dairi, Lukman Hakim Zain, Juwita Sembiring, Mabel Sihombing,
Masrul Lubis, Hartono Apriliasta Purba
Divisi Gastroenterologi – Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK – USU
RSUP. HAJI Adam Malik Medan
PENDAHULUAN
2. Spikes
Spikes adalah potensial aksi yang sesungguhnya , yang terjadi setiap resting membrane
potential menjadi lebih positif dari – 40 milivolt. Yang berperan dalam timbulnya
potensial aksi pada otot halus gastrointestinal adalah membuka dan menutupnya kanal
ion kalsium yang membuka secara lambat sehingga memungkinkan terjadinya potensial
aksi berdurasi panjang7.
Selain adanya potensial slow waves dan spikes, terdapat banyak faktor yang
membuat level voltase pada resting membrane potential dapat berubah. Faktor yang
dapat menyebabkan depolarisasi membrane (sel otot lebih mudah tereksitasi) yaitu
peregangan pada otot, stimulasi asetilkolin, stimulasi syaraf parasimpatis dan stimulasi
pada hormon gastrointestinal. Sedangkan faktor yang menyebabkan hiperpolarisasi
membrane (sel otot lebih sulit tereksitasi) adalah norepinefrin atau epinefrin dan stimulasi
syaraf simpatis7.
Kontraksi tonik pada usus dapat disebabkan adanya potensial spikes yang
berulang, hormon, atau faktor lain yang menyebabkan depolarisasi parsial usus kontinyu,
atau masuknya ion kalsium secara terus-menerus ke dalam sel. Namun detail dari
mekanisme-mekanisme ini masih belum jelas7.
Sistem Syaraf Enterik (Intrinsik)
Sistem syaraf enterik terdiri atas dua pleksus, yaitu pleksus myenterik yang fungsi
utamanya adalah mengontrol pergerakan gastrointestinal dan pleksus submukosa yang
terutama berperan dalam sekresi gastrointestinal dan aliran darah lokal. Walaupun kedua
pleksus ini dapat bekerja sendiri, namun stimulasi dari syaraf simpatis dan parasimpatis
mempengaruhi kerja keduanya. Pleksus myenterik bersifat baik eksitatorik maupun
inhibitorik, di mana peran inhibitorik ini lebih pada penghambatan kontraksi sfingter
misalnya pada sfingter pilorik yang mengontrol pengosongan lambung. Pleksus
submukosa berperan pada sekresi intestinal, absorpsi lokal dan kontraksi lokal7.
ILEUS PARALITIK
Definisi
Ileus paralitik (adynamik ileus) sering diidentikkan dengan ileus yang terjadi
lebih dari tiga hari (72 jam) sesudah suatu tindakan operasi dan merupakan salah satu
spectrum disfungsi traktus gastro intestinal posoperatif.
Namun demikian sering juga salah disebut sebagai keadaan pseudoobstruction
karena sebenarnya berbeda, dimana ileus paralitik melibatkan semua bagian usus
sedangkan pseudo-obstruction hanya terbatas pada kolon (ileus kolonik).
Keadaan ileus paralitik terjadi karena adanya hipomotilitas usus tanpa disertai
adanya obstruksi mekanik dan keadaan paralitik pasca operasi umumnya membaik
setelah 24 jam pada usus halus, 24-48 jam pada lambung dan 48-72 jam pada kolon.
Etiologi
Meskipun ileus paralitik mempunyai banyak kemungkinan etiologi, tetapi pasca
operasi merupakan penyebab tersering dan tidak harus berupa operasi intra peritoneal,
dapat retroperitoneal maupun operasi selain di abdomen.Ileus paralitik tidak pernah
terjadi secara primer, oleh karena itu mencari gangguan yang menjadi penyebab adalah
hal yang penting untuk mencapai keberhasilan dalam tata laksana1.
Penyebab lain dari ileus paralitik antara lain sepsis, obat-obatan (seperti opioid,
anti depresan, antasida), metabolik (hipokalemi, hipomagnesemia, hiponatremia, anemia
dan hipoosmolalitas), infark miokard, pneumonia, komplikasi diabetes, trauma (misal
fraktur spinal), kolik bilier, kolik renal, trauma kepala atau prosedur-prosedur bedah
saraf, inflamasi intraabdominal dan peritonitis dan hematoma retroperitoneal.
Penyebab yang paling sering dari ileus paralitik adalah gangguan metabolik dan
gangguan elektrolit1.
Penyebab ileus paralitik dapat dibagi menjadi dua yaitu penyebab intra
abdomen, dan ekstra abdomen1.
Penyebab intraabdomen1,8:
c. Abnormalitas Metabolik
Sepsis, Diabetes mellitus, Hipotiroid, Ketidakseimbangan elektrolit
(hiperkalemia,hipokalemi,hipofosfatemia), Keracunan logam berat (merkuri) Porfiria,
Uremia, Ketoasidosis diabetic, Penyakit sistemik seperti SLE
Patogenesis
Mekanisme ileus yang terlibat pada ileus paralitik dapat bersifat neurogenik,
miogenik atau humoral1. Ketiga faktor tersebut dapat menghambat secara berlebihan
Hipokalemi
Hipokalemi adalah salah satu gangguan elektrolit yang paling sering pada diare akut.
Hipokalemi adalah suatu keadaan di mana konsentrasi plasma < 3,5 mmol/L sebagai
akibat dari satu atau lebih faktor berikut ini: berkurangnya intake, masuknya kalium ke
dalam sel, meningkatnya pengeluaran kalium. Gejala hipokalemi jarang muncul kecuali
konsentrasi plasma < 3 mmol/L. Gejala-gejala tersebut adalah fatigue, mialgia,
kelemahan otot, dari ektremitas bawah yang merupakan akibat dari lebih negatifnya
resting membrane potential. Hipokalemi yang lebih berat dapat berakibat kelemahan
yang progresif, hipoventilasi, dan kadang paralisis komplit. Salah satu manifestasi klinis
10
Pankreatitis Akut
Pankreatitis akut adalah gangguan inflamasi akut pankreas yang seringkali dapat
mempengaruhi sistem organ lainnya yang ditandai dengan nyeri abdomen, mual, muntah,
11
12
Pendekatan Klinis
Anamnesis
Keluhan pasien tergantung pada waktu perkembangan ileus terjadi, penyakit yang
mendasari, komplikasi dan faktor penyerta. Pasien dapat mengeluh perut kembung (oleh
karena distensi abdomen), anoreksia, mual dan obstipasi dan mungkin disertai muntah1,4,8
Nyeri abdomen yang tidak begitu berat namun bersifat kontinu dan lokasi nyeri yang
tidak jelas adalah karakteristik keluhan pasien ileus4. Riwayat penyakit keluarga perlu
13
14
15
Diagnosis Banding
Diagnosis banding utama pada ileus paralitik adalah penyebab akut abdomen
non-traumatik lain seperti ischemic bowel disease, divertikulitis, diseksi aorta,
inflammatory bowel disease yang berat, pankreatitis, dan kolik renal atau kolik bilier.
Beberapa penyakit di atas dapat berkembang menjadi ileus sehingga membuat
pemeriksaan fisik menjadi rancu1,4.
Tata Laksana
Hal yang paling penting dalam penatalaksanaan ileus paralitik adalah mencari
penyakit yang mendasari. Hal ini oleh karena ileus paralitik diterapi dengan mengobati
penyakit dasar dan perlu diingat bahwa terapi operatif harus dihindari kecuali terdapat
suatu katastrofi intraabdomen yang membutuhkan laparotomi1. Pengelolaan ileus
paralitik bersifat konservatif dan suportif. Tindakannya berupa dekompresi, menjaga
keseimbangan cairan dan elektrolit mengobati kausa dan pemberian nutrisi yang
adekuat4,8.Dekompresi dilakukan dengan menggunakan nasogastric tube untuk
mengurangi distensi akibat gas. Dekompresi dapat mengurangi gejala dan tanda distensi ,
mual dan muntah serta mengurangi regurgitasi dan aspirasi4. Pemberian cairan , koreksi
gangguan elektrolit dan nutrisi dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Perlu dilakukan
pembatasan penggunaan obat yang menghambat motilitas usus seperti opiat,dan obat
antikolinergik4.
Hal-hal yang dapat mencegah ileus paralitik postoperatif yaitu salah satunya
pemberian makanan via oral atau nasoenteric tube secara dini setelah operasi. Penjelasan
yang logis mengenai hal ini adalah bahwa asupan makanan dapat menstimulasi reflex
yang menghasilkan aktivitas gerak usus20.
16
Terapi lain
Asao et.al menyatakan dalam penelitian randomized, prospective, controlled bahwa
mengunyah permen karet dapat memicu motilitas usus setelah kolektomi laparoskopik
pada kanker kolorektal. Pada penelitian tersebut, pasien mengunyah permen karet tiga
kali sehari dimulai dari hari pertama setelah operasi18.
17
ILEUS OBSTRUKSI
Definisi
Ileus obstruksi adalah hambatan pada satu atau lebih area di usus yang
disebabkan problem mekanik. Penyebab obstruksi mekanis pada lumen usus dapat dibagi
menjadi 3 (tiga) yaitu lesi ekstrinsik, lesi intrinsik, dan obturasi yang akan dibahas lebih
lanjut1, 4, 19, .
Etiologi
Terkadang penyebab dari ileus obstruksi tidak dapat diketahui sebelum operasi,
namun dengan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang yang tepat kita dapat
menegakkan diagnosis dan merencanakan terapi.
Lesi ekstrinsik
Adhesi adalah penyebab paling sering dari obstruksi pada usus halus namun
jarang terjadi pada kolon. Pita adhesi yang dapat memendek sejalan dengan waktu
18
19
Patogenesis
Tuberkulosis gastrointestinal
Tuberkulosis gastrointestinal termasuk masalah utama pada negara-negara
sedang berkembang. Kira-kira terdapat 20-25% pasien tuberkulosis abdominal yang juga
disertai dengan tuberkulosis paru. Tuberkulosis gastrointestinal dapat menyerang semua
bagian usus, namun area yang paling umum terkena tuberkulosis abdominal adalah ileum
dan kolon. Penyebaran infeksi gastrointestinal berasal dari tiga jalur berikut ini23:
1. Penyebaran yang berasal dari sputum yang terinfeksi yang tertelan, biasa terjadi pada
pasien dengan tuberkulosis paru akut.
20
21
22
23
24
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan foto polos abdomen dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis
obstruksi usus pada lebih dari 60 % kasus26. Dilakukan dengan dua posisi yaitu supine
dan tegak (atau lateral dekubitus bila pasien tidak bisa tegak) merupakan pemeriksaan
25
Gambar 6. Obstruksi usus halus(kiri) foto polos abdomen pasien dengan obstruksi usus halus posisi supine .(kanan)
foto dari pasien yang sama dengan posisi tegak, menunjukkan adanya air-fluid levels.
.
26
Gambar 7. CT-scan menunjukkan adanya dilatasi jejunum dengan transisi yang jelas, bagian distal kolaps.
Tampak usus halus sesuai dengan gambaran obstruksi usus halus komplit
27
3.4.Komplikasi
Hilangnya cairan dan elektrolit dapat sangat berat, dan apabila tidak dilakukan
terapi penggantian cairan, maka dapat terjadi hipovolemi, insufisiensi renal dan bahkan
syok. Komplikasi yang paling berbahaya dari obstruksi intestinal akut adalah “closed-
loop” obstruction yang terjadi ketika lumen usus mengalami oklusi pada dua titik yang
disebabkan satu mekanisme misalnya hernia fasial atau pita adhesi. Pada komplikasi
tersebut, aliran darah juga terhambat. Pada kolon, walaupun aliran darah tidak terhambat
oleh karena adanya mekanisme obstruksi, namun distensi pada sekum menjadi sangat
ekstrim oleh karena diameternya yang besar, akibatnya, aliran darah intramural dapat
terganggu pula dan pada akhirnya terjadi gangrene pada dinding sekum. Setelah terjadi
hambatan aliran darah maka sebagai akibatnya terjadi invasi bakteri dan dapat pula timbul
peritonitis. Sama halnya dengan ileus paralitik, efek sistemik yang disebabkan distensi
adalah elevasi diafragma dengan ventilasi yang terhambat dan selanjutnya ateletaksis19.
Tata Laksana
Dalam menentukan keputusan untuk melakukan terapi pada pasien ileus
obstruksi, maka diperlukan observasi yang cermat. Segera setelah diagnosis ileus
obstruksi ditegakkan, maka resusitasi cairan, elektrolit, dan asam basa harus dimulai.
Langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah menentukan apakah akan dilakukan
terapi operatif, pertimbangan akan dilakukan terapi operatif atau terapi nonoperatif1. Salah
satu contoh yang membutuhkan operasi segera adalah obstruksi intestinal komplit yang
akut yang merupakan keadaan emergensi yang dengan tujuan terapinya adalah
membebaskan obstruksi1.
Apabila terdapat hipovolemia berat, maka terapi cairan intravaskuler harus
dimonitor dengan pengukuran pengeluran urin dan evaluasi central venous pressure.
Terapi cairan harus dilakukan berdasarkan defisit cairan dan kebutuhan cairan sehari-
hari1.
28
29
Tabel 3. Rekomendasi tata laksana obstruksi usus halus(Eastern Association fot the Surgery of Trauma)26
No. Rekomendasi
1. Semua pasien dengan kecurigaan adanya obstruksi usus halus harus diperiksa dengan foto polos abdomen
karena foto polos abdomen sama sensitifnya dengan Ct-scan dalam mmbedakan obstruksi dengan non-
obstruksi.(level III)
2. Semua pasien yang dengan foto polos abdomen belum dapat ditentukan obstruksi komplit atau letak tinggi
sebaiknya diperiksa dengan CT-scan sebagai dasar untuk menetukan letak serta etiologi obstruksi(level I)
3. Beberapa literatur menyatakan bahwa pemeriksaan kontas sebaiknya dipertimbangkan pada pasien yang
tidak membaik setelah mendapatkan terapi konservatif selama 48 jam karena pemeriksaan kontras dapat
menyingkirkan adanya obstruksi usus halus yang memerlukan operasi(level II)
4. Kontras dengan osmolaritas rendah nonionik dapat menjadi alternatif dari barium untuk pemeriksaan
kontras pada evaluasi obstruksi usus halaus untuk tujuan diagnostic(level I)
30
31
1. Summers RW. Approach to the patient with ileus and obstruction. In: Yamada T, Owyang
C, Powell DW. Textbook of Gastroenterology vol I 4th edition. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2003. Pg: 829-842
2. Mukherjee S. Ileus. Dec 2009. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/178948-overview#a0104. Diunduh 7 April 2011
3. Chen X, Wei T, Jiang K et. al. Etiological and factors acute intestinal obstruction: a review
of 705 cases. Journal of Chinese Integrative Medicine , October 2008, Vol 6. No 10.
Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18847534
4. Bielefeldt K, Bauer AJ. Approach to the patient with ileus and obstruction . In: Yamada T,
Alpers DH, Kalloa AN et. al. Principles of clinical gastroenterology. Singapore: Wiley-
Blackwell; 2008. Pg: 287- 300
5. Souvik A, Hossein MZ, Amitabha D et. al. Etiology and outcome of acute intestinal
obstruction: a review of 367 patients in Eastern India. Saudi J Gastrointestinal. 2010
October; 16(4): 285-287. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2995099/?tool=pubmed
6. Anonymous. Society issues for paralytic issues. Cure Research. Available at
www.cureresearch.com
7. Guyton AC. Textbook of medical physiology. Penyysylvania: Elsevier Saunders; 2006.pg
771-780
8. Djumhana A. Ileus paralitik. : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S,
eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4 ed. Vol. I. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2006
9. Singer GG, Brenner BM. Fluid and electrolyte imbalance. In: Kasper, Braunwald, Fauci et
al. Harrison’s Principles of Internal Medicine vol II 17th ed. New York: McGrawHill; 2005.
Pg : 282
10. Majeed R, Shamsi HA, Rajar UD. Clinical manifestations of hypokalemia. JLUMHS May-
August 2006. Available at: http://beta.lumhs.edu.pk/jlumhs/Vol05No02/pdfs/v5n2oa01.pdf
11. Camilleri M. Dysmotility of the small intestine and colon. In: : Yamada T, Owyang C,
Powell DW. Textbook of Gastroenterology vol I 4th edition. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2003.
12. Rodrigo C, Gamakaranage CS. Epa DS. Et.al . Hypothyroidism causing paralytic ileus and
acute kidney injury - case report. Thyroid research April 2011. Available at:
http://www.thyroidresearchjournal.com/content/pdf/1756-6614-4-7.pdf--
13. Tian X, Zhang X. Gastrointestinal involvement in systemic lupus Erythematosus. World J
Gastroenterol 2010 June 28; 16(24): 2971-2977. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2890936/pdf/WJG-16-2971.pdf
14. Greenberger NJ. Acute pancreatitis. In: Greenberger NJ, Blumberg RS, Burakoff R. Lange
Current Diagnosis & Treatment, Gastroenterology, Hepatology, Endocopy. New York:
McGrawHill; 2009.
15. Greenberger NJ, Toskes PP. Acute and chronic pancreatitis. In: Kasper, Braunwald, Fauci et
al. Harrison’s Principles of Internal Medicine vol II 17th ed. New York: McGrawHill; 2005.
Pg : 2006-2011
16. Sun B, Li H, Xu J, Jiang HC. Analysis and prevention of factors predisposing to infections
associated with severe acute pancreatitis. Hepatobiliary & Pancreatic Disease International,
32
33