Anda di halaman 1dari 18

PEMBAHASAN

Psikodiagnostik sebagai teknik dalam metode psikologi yang bertujuan untuk


meramalkan kondisi psikis dilakukan melalui serangkaian prosedur yang
kemudian sering disebut dengan tes. Hasil dari tes tersebut kemudian akan
diinterpretasikan menjadi diagnosa psikis yang dimaksudkan.

Data Hasil Psikodiagnostik (Hasil Skoring Tes)

Diagnosa keadaan psikis dari suatu individu dapat dilakukan melalui metode-
metode seperti introspektif, ekstropektif/observasi, eksperimen, atau pengumpulan
data melalui angket. Yang sering menjadi masalah dalam interpretasi skor dari
suatu tes psikologi adalah masalah kerangka acuan yang digunakan untuk
menafsirkan skor yang diberikan. Berdasarkan tujuannya, interpretasi hasil tes
bergantung pada satu atau kedua sumber informasi berikut untuk memperoleh
kerangka acuan dalam memaknai skor.

1. Norma
Jenis interpretasi tes ini berguna terutama ketika kita perlu membandingkan
individu satu sama lain atau dengan kelompok referensi untuk mengevaluasi
perbedaan di antara mereka pada karakteristik tertentu yang ingin diukur melalui
tes. Istilah norma mengacu pada kinerja tes atau perilaku khas satu atau lebih
kelompok referensi. Kelompok referensi yang dimaksud ialah kelompok yang
yang performanya dijadikan sumber informasi/standar dalam mengartikan skor.
Norma biasanya disajikan dalam bentuk tabel dengan statistik deskriptif—seperti
rata-rata, standar deviasi, dan distribusi frekuensi—yang merangkum kinerja atau
performa kelompok yang dimaksud. Ketika norma dikumpulkan dari uji kinerja
kelompok orang (within-group norms), kelompok referensi ini diberi label sampel
normatif atau standar. Berikut ini istilah-istilah skor yang digunakan dalam norma
grup.

a. Skor Mentah
Tingkat informasi paling dasar yang dihasilkan oleh tes psikologi
adalah skor mentah. Sebagai contoh, dalam tes kepribadian, skor mentah
kerap berupa jumlah pertanyaan yang di jawab sesuai kecenderungan yang
di tetapkan dalam suatu skala. Dalam tes kemampuan, skor mentah
umumnya berisi jumlah soal yang dijawab dengan benar, kerap dengan
penambahan poin bonus untuk waktu penyelesaian yang cepat. Karena itu,
hasil awal tes hampir selalu berupa perhitungan numerik seperti 17 dari 44
soal dijawab sesuai dengan kecenderungan yang ditentukan pada suatu
skala depresi, atau 29 dari 55 poin skor mentah diperoleh dari sub skala
susun balok tes intelegensi.
Namun harus dijelaskan kepada para pembaca bahwa skor mentah itu
sendiri mutlak tidak bermakna. Sebagai contoh, manfaat apa yang dapat
diperoleh dengan mengetahui bahwa seorang subjek mengerjakan dengan
benar 12 dari 20 soal penalaran abstrak? Apa maknanya bahwa seorang
peserta tes menjawab sesuai kecenderungan yang di tetapkan pada 19 dari
33 pertanyaan benar-salah dalam skala pikiran psikologi?
Sulit untuk hanya memikirkan pertanyaan-pertanyaan semacam itu
tanpa beralih ke suatu jenis perbandingan. Kita ingin mengetahui
bagaimana kinerja orang lain dalam tes-tes tersebut, apakah skor yang
diperoleh tinggi atau rendah bila dibandingkan dengan kelompok subjek
representatif. Dalam kasus tes kemampuan, kita ingin mengetahui apakah
soal-soalnya mudah, sulit terutama terkait dengan umur subjek.
Kenyataanya nyaris tidak dapat disangkal lagi bahwa skor mentah
benar-benar menjadi tidak bermakna terutama ketika berkaitan dengan
norma, dan kerangka rujukan yang ditetapkan secara independen yang
diturunkan dari suatu sampel standarisasi. Untuk saat ini cukuplah
mengetahui bahwa norma ditetapkan secara empiris melalui tes pada suatu
sampel besar dan representatif. Skor seorang peserta tes kemudian
dibandingkan dengan distribusi skor yang didapat oleh sampel
standarisasi. Dengan cara ini, kita dapat menentukan berdasarkan norma
apakah skor yang diperoleh itu rendah, rata-rata, atau tinggi. Sebagian
besar tes psikologi diinterpresentasikan dengan menggunakan norma-
norma rujukan; seperti telah disampaikan, instrumen-instrumen itu disebut
norma (norm-referenced test). Namun, pembaca harus ingat bahwa
terdapat tes rujukan jenis-jenis intrumen lainnya. Secara khusus, tes-tes
rujukan kriteria yang membantu menentukan apakah seseorang dapat
mencapai kriteria objektif yang telah ditetapkan seperti menjumlahkan
sepasang angka dua digit dengan akurasi sebesar 97 persen. Dalam tes
rujukan kriteria, norma tidaklah penting. Terdapat berbagai jenis norma,
namun kesemuanya memiliki satu karakteristik yang sama: Masing-
masing mencakup rangkuman statistik atas sekumpulan besar skor. Karena
itu, guna memahami norma, pembaca harus menguasai statistik deskriptif
dasar.

b. Persentil
Persentil menunjukkan persentase orang dalam sampel standarisasi
yang memiliki skor dibawah skor mentah tertentu. Perhatikan bahwa
persentil yang lebih tinggi menunjukkan skor yang lebih tinggi. Dalam
kasus exstrem, seorang peserta tes memperoleh skor mentah lebih tinggi
dari semua skor dalam sampel standarisasi akan memiliki persentil 100.
Ingat bahwa persentil hanya menunjukkan posisi seseorang peserta tes
bila dibandingkan dengan sampel standarisasi dan tidak menunjukkan
persentase soal yang dijawab dengan benar. Persentil juga bisa dipandang
sebagai peringkat dalam kelompok 100 subjek representatif, dimana 1
merupakan peringkat terendah dan 100 merupakan yang tertinggi.
Perhatikan bahwa peringkat persentil merupakan kebalikan total prosedur
pemeringkatan biasa. Peringkat persentil (percentil rank) 1 berada di dasar
sampel, sedangkan persentil 99 hampir berada diposisi teratas.
Persentil mudah dihitung dan secara intuitif menarik bagi orang awam
dan juga professional. Jadi, tidak mengherankan bahwa persentil
merupakan jenis transformasi skor mentah yang paling umum dalam tes
psikologi. Hampir semua jenis hal tes dapat dilaporkan sebagai persentil,
meskipun jenis transformasi lainnya merupakan tujuan utama tes. Sebagai
contoh, tes-tes intelegensi biasanya digunakan untuk memperoleh skor IQ
130 setara dengan persentil 98, yang berarti bahwa skor tersebut tidak
hanya berada jauh diatas rata-rata namun, lebih tepatnya, juga berada
diatas 98 persen sampel standarisasi. Namun skor persentil memiliki satu
kelemahan utama: mendistorsi skala pengukuran dasar, terutama pada
kasus-kasus ekstrem.

c. Skor Standar
Kendati persentil merupakan jenis transformasi skor yang paling
populer, skor standar memiliki sifat psikometris yang paling diinginkan.
Skor standar menggunakan deviasi standar dari distribusi total skor
mentah sebagai unit dasar pengukuran. Skor standar menunjukan jarak
dari mean dalam unit deviasi standar. Sebagai contoh skor mentah tepat
satu deviasi standar diatas mean dikonversi menjadi skor standar +1,00.
Skor mentah yang tepat setengah deviasi standar dibawah mean dikonversi
menjadi skor standar -0,50. Penghitungan skor standar peserta tes (disebut
juga skor z) bersifat sederhana: skor mentah peserta tes dikurangi mean
kelompok normatif dan kemudian hasilnya dibagi dengan deviasi standar
kelompok normatif. Skor standar memiliki sifat psikometrik yang
diinginkan yakni mempertahankan besaran relatif jarak antara nilai-nilai
yang berurutan yang terdapat dalam skor mentah dasar. Ini karena
distribusi skor standar tidak mendistorsi skala pengukuran dasar.
Kesesuaian skala pengukuran trasnformasi ini merupakan keunggulan
utama skor standar dibandingkan dengan persentil dan peringkat persentil.
Seperti yang telah disampaikan, skor persentil sangat mendistorsi,
terutama pada kasus-kasus ekstrem. Suatu contoh spesifik akan
menggambarkan sifat suatu skor standar yang tidak mendistorsi. Ambil
contoh empat skor mentah 55,60,70, dan 80 pada tes dengan mean 50 dan
deviasi standar 10, dua skor pertama memiliki perbedaan sebesar 5 poin
skor menrah, sedangkan dua skor terakhir memiliki perbedaan sebesar 10
poin skor mentah dua kali lebuh besar dari perbedaan antara dua skor
pertama.
Banyak psikolog dan pendidik menghargai sifat-sifat psikometrik skor
standar namun menganggap pecahan desimal dan tanda positif/negatif
(misalnya, z=- 2,32) sebagai penggangu tidak perlu. Sebagai respons atas
masalah ini, para spesialis tes telah menyusun sejumlah variasi skor
standar yang secara kolektif disebut skor terstandarisasi.
Dari sudut pandang konseptual, skor terstandarisasi (standarized
scores) identik dengan skor standar (standard scores). Kedua jenis skor itu
mengandung informasi yang persis sama, bentuk distribusi skor tidak
terpengaruh, dan alur hubungan antara skor standar dan skor
terstandarisasi selalu berupa garis lurus.
Interpretasi skor tes yang berdasarkan norma terbagi menjadi dua, yaitu dan
norma kelompok (within-group norms) yang telah dijelaskan pada paragraf-
paragraf sebelumnya serta norma perkembangan (developmental norms). Norma
perkembangan mengindikasikan sebanyak/sejauh/sesesuai manakah individu telah
berkembang sesuai jalur perkembangan yang normal. Dalam bentuk skala ordinal,
norma perkembangan berupa teori-teori tahapan perkembangan yang dipelajari
dalam psikologi. Selain itu, norma perkembangan dapat pula berupa tinjauan usia
mental, juga ekuivalen kelas (kesesuaian antara kemampuan dengan kelas yang
normalnya diduduki dengan kemampuan tersebut di masa sekolah).

2. Kriteria Kinerja/Performa
Bila hubungan antara item atau tugas tes dan standar kinerja dapat ditunjukkan
dan didefinisikan dengan baik, nilai tes dapat dievaluasi melalui interpretasi
referensi kriteria. Jenis interpretasi ini menggunakan prosedur, indikator perilaku,
dan sejumlah keriteria seperti pengambilan sampel dari domain konten atau
perilaku yang terkait dengan pekerjaan, yang dirancang untuk menilai apakah dan
sejauh mana tingkat penguasaan yang diinginkan atau kriteria kinerja telah
dipenuhi.

Informed Consent

Istilah informed consent berasal dari hukum di Salgo v Leland Stanford Jr


University Board of Trustees pada 1957. Istilah ini mengambil kata demi kata dari
amicus curiae bidang singkat dari American Collage of Surgeons.
Menurut kode etik psikologi Indonesia informed consent adalah persetujuan
dari orang yang akan menjalani proses dibidang psikologi yang meliputi
penelitian pendidikan/pelatihan/asesmen dan intervensi psikologi. Informed
Consent ini merupakan suatu persetujuan tertulis yang di tanda tangani oleh
subjek penelitian dan saksi. Dalam informed consent persetujuan orang tua dan
anak adalah proses aktif yang melibatkan keduanya baik orang tua meupun anak
dalam perawatan kesehatan. Tujuan dari informed consent sendiri yaitu
melindungi dan mempromosikan minat terkait kesehatan dan mengabungkan
pasien dan/atau keluarganya dalam membuat keputusan perawatan kesehatan.
Kejujuran dalam membahas pengalaman dan persetujuan baik pada pasien
ataupun keluarganya itu sangat penting karena ada hukum yang mengatur tentang
kasus masalah ini.
Standar informasi apa yang harus dimasukkan dalam diskusi yang mengarah
pada persetujuan atau penolakan pengobatan yang diinformasikan telah
berkembang dari waktu ke waktu dan agak bervariasi dari satu negara dengan
negara lainnya. Informed consent tidak puas hanya dengan mendapatkan tanda
tangan pada formulir tetapi merupakan proses dialog dengan pasien tentang
tindakan yang direncanakan dan yang yang akan di lakukan. Bagian pertama dari
dialog adalah menentukan apakah pasien dan/atau keluarganya /pengganti mampu
mengerti dengan informasi yang diungkapkan. Istilah capacity dan competence
sering tidak jelas dalam pengungkapan medis. Capacity adalah penentuan klinis
yang membahas integritas kemampuan mental, dan competence adalah penentuan
sah atau legal yang membahas tentang ketertarikan masyarakat dalam membatasi
pembuatan keputusan ketika capacity terdapat pertanyaan.
Sedangkan aspek-aspek yang perlu dicantumkan dalam informed consent adalah
(menurut kode etik psikologi) :
1. Kesediaan untuk mengikuti proses tanpa paksaan
2. Perkiraan waktu yang dibutuhkan
3. Gambaran tentang apa yang akan di lakukan
4. Keuntungan dan/atau resiko yang dialami selama proses tersebut
5. Jaminan kerahasiaan selama proses tersebut
6. Orang yang bertanggung jawab jika terjadi efek samping yang merugikan
selama proses tersebut.

Laporan Hasil Pemeriksaan Psikologis

Laporan hasil pemeriksaan psikologis adalah sarana untuk


mengkomunikasikan data. Hasil-hasil interpretasi dari masing-masing data
diorganisir dan disistematis kemudian disimpulkan sehingga menjadi pemahaman
mengenai klien yang utuh. Hasil kesimpulan yang dikomunikasikan dalam bentuk
laporan disebut dengan psychological report. Laporan hasil pemeriksaaan
psikologi adalah komunikasi pertama dan terpenting. Itu harus ditulis dalam cara
dan bentuk yang dapat dipahami oleh pembaca, karenanya harus memenuhi
kriteria kejelasan, kebermaknaan, dan perpaduan.
a. Kejelasan
Laporan yang komunikatif harus ditulis dengan bahasa yang spesifik.
Kejelasan membutuhkan pemahaman dan apresiasi dari perhatian
pembaca, lalu diubah menjadi presentasi tertulis dari laporan. Penulis
harus menimbang dan membantu pembaca dalam memahami hasil
laporan. Salah satu cara untuk melakukan ini yaitu menggunakan kalimat
yang pendek daripada kalimat yang panjang dan tidak menggunakan
istilah-istilah yang membingungkan. Meskipun ini merupakan metode
yang bagus dalam semua penulisan professional, terutama ini berguna
untuk mendaptkan kejelasan dalam laporan test psikologi dimana
spesifikasi dibutuhkan untuk membuat isu yang komplek menjadi jelas
dan difokuskan. Dalam melaporkan tentang pasien, ini penting untuk
diingat bahwa kita berhadapan dengan orang-orang nyata yang
masalahnya perlu dipahami secara bermakna.

b. Perpaduan
Perpaduan atau penggabungan yang relevan memiliki arti bahwa
perilaku pertama atau masalah eksperimental dari pasien telah
memberikan konteks yang berfungsi sebagai semacam peta di mana
rincian masalah yang relevan dapat dibuat terlihat dan terkait satu sama
lain. Dalam laporan akhir, keluhan yang di sampaikan sudah tidak lagi
acak, tidak dijelaskan, atau fenomena yang tidak tepat, melainkan ini bisa
di mengerti berhubungan dengan kepribadian komprehensif.

c. Kebermaknaan / Usefulness
Laporan dikatakan bermakna jika pembaca menemukan bahwa itu jelas
dan memahaminya. Tujuan laporan sebagai alat komunikasi adalah untuk
mengubah misteri, kompleksitas, atau kebingungan menjadi bermakna.
Tetapi kemanfaatannya bukan hnya untuk klien saja, melainkan juga
diharapkan bermanfaat lebih luas lagi sepeti di dunia pendidikan atau
industri.

Reliabilitas

Istilah reliabilitas mengarah pada kepercayaan. Sejauh keputusan apa pun


harus dibuat, seluruhnya atau sebagian, berdasarkan nilai tes, pengguna tes harus
memastikan bahwa skor tersebut cukup dapat dipercaya. Ketika digunakan dalam
hubungan dengan tes dan pengukuran, reliabilitas didasarkan pada konsistensi dan
ketepatan hasil dari proses pengukuran.
Skor tes psikologi, khususnya, sangat rentan terhadap pengaruh dari berbagai
sumber termasuk peserta tes, penguji, dan konteks dimana pengujian berlangsung
yang semuanya dapat menghasilkan variabilitas yang tidak sesuai dengan tujuan
dari tes tersebut. Salah satu pendekatan yang paling abadi untuk topic dari
reliabilitas adalah teori test klasik gagasan dari true score. Di satu sisi, gagasan ini
dapat dikatakan mewakili objek pencarian, atau Holy Grail, dari usaha
psikometrik. Meskipun true score tidak terlalu ada, namun demikian ini mungkin
untuk membayangkan wujudnya. True score adalah entitas hipotetis yang akan
dihasilkan dari pengukuran error-free. Metode untuk menaksir skor reliabilitas
memberikan cara memperkirakan true score, atau setidaknya batas-batas di mana
true score mungkin berada. Konsep dari reliabilitas dan kesalahan dalam true
score yang jelas harus mempertimbangkan skor apa pun, diterapkan secara paralel
namun agak berbeda ketika berhadapan dengan satu atau lebih skor satu individu
daripada ketika berhadapan dengan skor kelompok.

a. Konsep True Score dalam Data Individu


Dalam teori tes klasik, true score individu dikonseptualisasikan sebagai
skor rata-rata dalam distribusi hipotetis skor yang akan diperoleh jika
individu mengambil tes yang sama beberapa kali. Dalam praktiknya , ini
jelas jelas tidak mungkin untuk mendapatkan skor di tiap individu, apalagi
banyak orang. Sebagai ganti dari true score, yang diperoleh seseorang dari
tes adalah observed score (skor yang diperoleh individu). Berkaitan
dengan skor tunggal, ide-ide yang disajikan sejauh ini dapat dinyatakan
secara ringkas dengan menggunakan persamaan berikut:
Xo = Xtrue + Xerror
Yang memiliki arti konsep bahwa skor apapun yang diamati (Xo) di ambil
dari dua komponen yaitu true score (Xtrue) dan error score (Xtrue). Dari
sudut pandang realistis, besaran kedua komponen ini akan tetap tidak
diketahui dalam setiap contoh. Namun demikian, secara teori, komponen
true score ditafsirkan sebagai bagian dari observed score yang
mencerminkan kemampuan, sifat, atau karakteristik apa pun yang dinilai
tes. Sebaliknya, komponen kesalahan, yang didefinisikan sebagai
perbedaan antara observed score dan true score, mewakili faktor-faktor
lain yang dapat masuk ke dalam observed score sebagai konsekuensi dari
proses pengukuran.

b. Konsep True Score Dalam Data Kelompok


Tanpa variabilitas skor, tes tidak dapat membantu kita membuat
keputusan komparatif tentang orang. Dapat juga diingat bahwa, varians
sampel (s2) didefinisikan sebagai jumlah rata-rata variabilitas dalam
kelompok skor. Berdasarkan dari rumus true score data individu dapat di
ekstrapolasi dan di aplikasikan ke distribusi skor tes yang diperoleh dari
sampel, atau populasi, dengan cara sebagai berikut :
Sample variance = s 2 = st2 + se2
atau
Population variance = σ2 = σt2 +σe2
Kedua rumus tersebut memiliki arti yang sama, yaitu bahwa varian
dalam satu set observed score untuk sample dan populasi terdiri dari true
variance dan error variance. True Variance terdiri dari perbedaan-
perbedaan di antara skor individu dalam suatu kelompok yang
mencerminkan posisi atau posisi mereka dalam karakteristik apa pun yang
dinilai oleh tes. Sedangkan Error Variance terdiri dari perbedaan antara
skor tes yang mencerminkan faktor-faktor yang tidak relevan dengan apa
yang dinilai tes. Dalam kedua rumus diatas juga memiliki arti bahwa skor
dari reabilitas naik dan skor dari error component menurun. Maka,
reliability coefficient (rxx) dapat didefinisikan dari varian true score
menjadi skor test total, atau

rxx = st2

s2
Dengan kata lain, jika semua varian skor tes adalah varian benar,
reliabilitas skor akan sempurna (1,00). Koefisien reliabilitas dapat dilihat
sebagai angka yang memperkirakan proporsi varians dalam kelompok skor
tes yang dicatat oleh kesalahan yang berasal dari satu atau lebih sumber.
Dari perspektif ini, evaluasi skor reliability melibatkan dua langkah proses
yang terdiri dari (a) penentuan sumber-sumber kesalahan apa yang
mungkin dimasukkan ke dalam nilai tes dan (b) memperkirakan besarnya
kesalahan-kesalahan itu.
Seperti yang telah kita lihat, kesalahan dapat masuk kedalam skor tes
psikologis karena sejumlah besar alasan, yang kebanyakan dari luar bidang
perkiraan reliabilitas psikometrik. Secara umum, bagaimanapun, kesalahan
yang masuk kedalam hasil test mungkin dikategorikan berasal dari salah
satu atau lebih dari ketiga sumber berikut :
a. Konteks dimana tepat berlangsungnya test, termasuk dengan faktor
yang terkait dengan administrator tes, alat penghitung test, lingkungan
ujian, serta alasan pengujian dilakukan.
b. Peserta ujian
c. Test itu sendiri
Beberapa dari sumber kesalahan diatas dapat di minimalisasikan atau
dihilangkan asalkan tepat dalam melakukan test yang diikuti oleh pihak-
pihak yang terlibat dalam proses pengembangan, pemilihan, administrasi,
dan penilaian skor.
Selain sumber kesalahan di atas, perbedaan dari Interscorer juga
mempengaruhi kesalahan dalam memberikan nilai test psikologis.
Perbedaan Interscorer (penilai) adalah label yang ditetapkan untuk
kesalahan yang dapat masuk ke dalam skor setiap kali elemen subjektivitas
memainkan peran dalam penilaian tes. Ini berarti bahwa penilai yang
berbeda tidak akan selalu memberikan skor atau peringkat yang sama
persis untuk kinerja tes yang diberikan bahkan jika arah untuk pemberian
skor yang ditentukan dalam uji manual bersifat eksplisit dan terperinci dan
juga para penilai teliti dalam menerapkan arahan tersebut. Metode dasar
untuk memperkirakan kesalahan karena perbedaan penilai terdiri dari
memiliki setidaknya dua individu yang berbeda dalam menilai set tes yang
sama, jadi sehingga untuk setiap kinerja peserta tes, dua atau lebih skor
independen dihasilkan. Korelasi diantara set skor yang dihasilkan dengan
cara ini adalah indeks scorer reliability. Korelasi positif dan sangat tinggi,
dalam urutan 0,90 atau lebih tinggi, menunjukkan bahwa proporsi
kesalahan yang diperhitungkan oleh perbedaan interscorer adalah 10%
atau kurang, karena 1 - (≥ .90) = ≤ .10.
Reliabilitas skor adalah pertimbangan abadi dalam pengujian psikologis
karena kemungkinan yang ada saat ini bahwa kesalahan dari berbagai
sumber akan masuk ke dalam hasil tes. Namun, cara di mana reliabilitas
skor dianggap berbeda di berbagai titik dalam proses pengembangan tes
serta dalam aplikasi tes yang sebenarnya. Dari perspektif pengguna tes,
yang paling relevan untuk tujuan ini, perkiraan reliabilitas harus
dipertimbangkan dengan hati-hati dan diterapkan dalam tahap pemilihan
tes dan interpretasi skor tes.
Setelah tes dipilih, diadministrasikan, dan diberi skor, data reliabilitas
diterapkan dalam proses interpretasi tes untuk dua tujuan yang berbeda
tetapi tetap terkait. Yang pertama adalah mengetahui dan mengukur batas
kesalahan dalam skor tes yang diperoleh. Tujuan kedua adalah untuk
mengevaluasi signifikansi statistik dari perbedaan antara skor yang
diperoleh untuk membantu menentukan makna perbedaan tersebut dalam
hal apa skor tersebut diwakili.

Validitas

Definisi pertama dari validitas sebagai “sejauh mana test mengukur apa yang
akan diukur” yang di kemukakan pada 1921 oleh National Association of the
Directors of Educational Research (T.B. Rogers, 1995). Tetapi untuk konsep yang
menjelaskan tentang validitas sekarang tidak ada yang sebaik dari Samuel
Messick, yang menyatakan bahwa Validitas adalah penilaian evaluatif terintegrasi
dari tingkat di mana bukti empiris dan rasional teoritis mendukung kecukupan dan
kesesuaian kesimpulan dan tindakan berdasarkan skor tes atau mode penilaian
lainnya.
Sumber dari bukti validitas dapat di dapatkan dari beberapa hal, berikut ini
merupakan sumber dari bukti validitas :

1. Bukti Validitas berdasarkan Konteks Uji dan Proses Respon


Kebanyakan dari test psikologis menggunakan pengaturan
pendidikan dan pekerjaan, meskipun mereka juga bisa diterapkan di
bidang dimana perlu dipastikan apakah seseorang mampu atau tidak
untuk melakukan tugas yang mungkin memiliki arti diagnostik. Tes-tes
ini terdiri dari item-item yang memiliki pengetahuan sampel dari
domain konten yang ditentukan atau meminta peserta tes untuk
menunjukkan bahwa mereka memiliki kemampuan atau kompetensi
yang diberikan dalam beberapa keterampilan. Bukti validitas skor tes
yang berasal dari konten tes dapat dibangun menjadi instrumen baru di
awal, dengan pilihan item atau tugas yang termasuk dalam tes.
Persyaratan utama untuk mengembangkan tes semacam ini adalah
spesifikasi yang cermat dari domain konten, proses kognitif,
keterampilan, atau jenis kinerja yang akan diambil sampelnya melalui
tes dan kepentingan atau berat relatifnya.
a. Dalam konteks pendidikan, misalnya seperti pada kurikulum
sekolah, teksbook, pengalaman mengajar dan mendidik dan lain
lain. Proses pembatasan domain pengetahuan dan menentukan
hasil instruksi yang diinginkan berada dalam lingkup guru, pelatih,
dan ahli materi pelajaran lainnya yang menentukan kurikulum atau
menulis buku teks dalam berbagai disiplin ilmu.
b. Dalam lingkup pekerjaan, spesifikasi dari keterampilan atau
domain pengetahuan menjadi sample pada test berdasarkan analisis
pekerjaan. Analisis pekerjaan mengacu pada salah satu dari
berbagai metode yang bertujuan untuk menemukan sifat pekerjaan
yang diberikan melalui deskripsi elemen, kegiatan, tugas, dan tugas
yang berkaitan dengannya.
c. Pada neuropsychological assessment, spesifikasi proses dan
kemampuan kognitif yang akan dinilai berasal dari pengetahuan
teoritis dan empiris hubungan antara sistem saraf pusat dan fungsi
perilaku.

2. Bukti Validitas Berdasarkan Pola Eksplorasi Konvergensi Dan


Divergensi
a. Reliabilitas skor tes sebagai sumber bukti validitas
Skor reliabilitas dengan sendirinya dapat dilihat sebagai bukti awal
bahwa ukuran perilaku sampel yang dapat dipercaya telah diperoleh
dan dengan demikian secara tidak langsung dapat berkontribusi pada
validitas skor tes. Jika, misalnya, tes dirancang untuk menilai konstruk
unidimensional seperti kemampuan mengeja, koefisien konsistensi
internal yang tinggi akan mendukung pertentangan unidimensionality.
Demikian pula, jika konsistensi skor di berbagai scorers dapat dicapai,
orang mungkin mengira bahwa mereka semua menggunakan kriteria
yang sama dan, dengan demikian, mungkin mengevaluasi karakteristik
yang sama. Jika konstruk yang dinilai seharusnya stabil, misalnya, sifat
atau tipe kepribadian maka reliabilitas skor tes-ulang yang tinggi akan
menjadi prasyarat penting untuk bukti validitas.

b. Korelasi diantara tes dan subtes


Cara sederhana dan sering digunakan untuk mengumpulkan bukti
bahwa tes tertentu mengukur konstruk yang hendak diukur adalah
dengan membangun korelasi tinggi antara skornya dan orang-orang
dari instrumen lain yang dimaksudkan untuk menilai konstruk yang
sama. Salah satu contoh paling mendasar dari jenis prosedur ini terjadi
ketika tes direvisi dan dinamai kembali. Dengan cara yang sama, test
developers biasanya menyajikan korelasi antara skor tes mereka dan
orang-orang dari instrumen yang sebanding sebagai bukti validitas
skor. Korelasi yang tinggi secara konsisten antara langkah-langkah
yang dirancang untuk menilai konstruk yang diberikan seperti korelasi
untuk skala depresi, dapat diambil sebagai bukti validitas konvergen,
yaitu, bukti tentang kesamaan, atau identitas, dari konstruk yang
mereka miliki. mengevaluasi. Dengan bukti yang sama, bukti validitas
diskriminan, berdasarkan pada korelasi rendah yang konsisten antara
tindakan yang seharusnya berbeda, juga dapat digunakan untuk
memperkuat identitas konstruk yang mereka tekan.

c. Diferensisasi Usia
Hasil tes yang konsisten dengan tren perkembangan yang mapan
lintas kelompok umur sering dilihat sebagai bukti skor validitas.
Nyatanya, kriteria diferensiasi usia adalah salah satu sumber bukti
tertua dari validasi tes kemampuan. Keberhasilan skala Binet-Simon
yang diukur terutama melalui studi yang membuktikan bahwa
pengambilan sampel fungsi kognitif mereka menghasilkan hasil yang
dapat digunakan untuk menggambarkan tingkat kemampuan anak-anak
secara kuantitatif, dalam hal tingkat usia yang sesuai dengan kinerja
mereka. Dalam kebanyakan tes kemampuan, kinerja anak-anak dan
remaja dalam sampel normatif biasanya menunjukkan kenaikan pada
usia kronologis yang berurutan. Sebaliknya pada akhir dari spectrum
umur, penurunan kinerja diamati di antara sampel orang dewasa yang
lebih tua pada instrumen yang mengukur kemampuan yang cenderung
berkurang dengan bertambahnya usia, seperti tes memori dan tes yang
menilai kecepatan kinerja.

d. Hasil Eksperimen
Sumber tidak langsung bukti lain yang dapat berguna dalam
validasi skor tes disediakan oleh investigasi yang menggunakan skor
tes psikologis sebagai variabel dependen untuk mengukur efek
intervensi eksperimental. Dalam bidang pengujian kemampuan, bukti
ini terutama berasal dari perbedaan skor sebelum dan sesudah tes
setelah intervensi yang bertujuan memperbaiki kekurangan atau
meningkatkan kinerja dalam berbagai keterampilan kognitif dan
intelektual.

3. Bukti Validitas Berdasarkan Hubungan Antara Nilai Tes dan


Kriteria
Bukti validitas perlu membahas nilai tes signifikansi yang mungkin
ada dalam hal-hal yang melampaui nilai-nilai tersebut atau dalam
ranah yang berada di luar lingkup langsung tes. Dengan kata lain, nilai
test harus menunjukan hubungan dengan beberapa kriteria yang
digunakan dalam membuat keputusan dan prediksi. Merriam-
Webster’s Collegiate Dictionary (1995) mendefinisikan kriteria
“sebagai sebuah standar yang menjadi dasar penilaian atau keputusan”
atau “ karakteristik atau ciri khas”.
Untuk tes psikologi yang digunakan dalam menilai atau membuat
keputusan tentang orang orang, bukti hubungan antara nilai tes dan
ukuran kriteria sangat diperlukan, tapi tidak tentu cukup, dasar untuk
mengevaluasi validitas. Criterion measures adalah indeks dari kriteria
yang bahwa tes dirancang untuk menilai atau memprediksi dan
dikumpulkan secara independen dari tes yang dimaksud. Karena sifat
kriteria tergantung pada pertanyaan yang ingin dijawab dengan
bantuan tes, maka mengikuti prosedur validasi berdasarkan sebagian
atau seluruhnya pada hubungan antara skor tes dan ukuran kriteria
harus menghasilkan bukti hubungan antara prediktor (skor tes) dan
kriteria.
Besarnya indeks validitas prediktif yang diperoleh untuk skor tes
tergantung pada empat elemen dasar:
a. komposisi sampel validasi dalam hal ukuran dan variabilitas
b. sifat dan kompleksitas kriteria yang akan diprediksi
c. karakteristik dari tes itu sendiri
d. interaksi diantara semuanya.
Karena masing-masing dari keempat faktor ini dapat mengubah hasil
studi validasi, pengguna tes harus mempertimbangkannya dengan hati-hati
sebelum mengasumsikan bahwa bukti yang dipublikasikan tentang
validitas skor tes yang berasal dari studi tunggal akan berlaku untuk tujuan
mereka dan untuk populasi mereka yang ikut tes.

Kerahasiaan Data

Untuk kerahasiaan data hasil tes psikologi sendiri telah diatur dalam kode etik
psikologi pasal 24 yang harus dipatuhi oleh baik psikolog itu sendiri maupun
orang yang memberikan layan psikologi, yang hendaknya mematuhi hal – hal
sebagai berikut :
a. Dapat diberikan hanya kepada yang berwenang mengetahuinya dan hanya
memyat hal-hal yang langsung berikatan dengan tujuan pemberian layanan
psikologi.
b. Dapat didiskusikan hanya dengan orang-orang atau pihak yang secara
langsung berwenang atas diri pengguna layanan Psikologi.
c. Dapat dikomunikasikan dengan bijaksana secara lisan atau tulis kepada
pihak ketiga hanya bila pemberitahuan ini diperlukan untuk kepentingan
pengguna layanan psikologi, profesi, dan akademisi.
Dalam kondisi tersebut indentitas orang yang menjalani pemeriksaan psikologi
tetap dijaga kerahasiaannya.
DAFTAR PUSTAKA

HIMPSI. (2010). Kode Etik Psikologi Indonesia. Jakarta: Pengurus Pusat


Himpunan Psikologi Indonesia.
Katz, A.L., et al. (2016). Informed Consent in Decision-Making in Pediatric
Practice. Pediatric, 138(2), e1-e16. doi: 10.1542/peds.2016-1485
Kellerman, H., Burry, A. (2007). Handbook of Psychodiagnostic Testing Analysis
of Personality in the Psychological Report, Fourth Edition. USA : Springer
Science and Bussiness Media, LLC.
Sari, G.C.P., Latipah, E. (2016). Psikodiagnostik dan Kesulitan Belajar Siswa
Bidang Pendidikan Agama Islam di Somboonsard School, Thailand. Jurnal
Pendidikan Agama Islam, 13(1), 89-98. doi: 10.14421/jpai.2016.131-06
Urbina, S. (2004). Essentials of Psychological Testing. Canada: John Wiley &
Sonsc, Inc.

Anda mungkin juga menyukai