Anda di halaman 1dari 38

Devi Anisa Nasrah

NORMA DALAM
PSIKOMETRI
Kriteria
 Proses asesmen psikologi diawali dengan
kegiatan pengukuran yang akan
menghasilkan data yang dideskripsikan dalam
bentuk angka. Selanjutnya dilakukan
perbandingan hasil pengukuran dengan suatu
kriteria agar dapat menarik kesimpulan hasil
pengukuran yang berkenaan dengan atribut
yang diukur. Proses perbandingan tersebut
dinamakan evaluasi atau penilaian, dan
memerlukan suatu kriteria yang digunakan
sebagai pembandingnya.
Pengukuran
 Istilah pengukuran (measurement) sangat berkaitan
dengan istilah penilaian (evaluation). Pengukuran
adalah istilah yang merujuk pada upaya untuk
mendeskripsikan data, sedangkan penilaian merujuk
pada pengertian proses perbandingan hasil
pengukuran dengan suatu kriteria.
 Pengukuran yang tidak diikuti dengan langkah
penilaian tidak akan menghasilkan deskripsi data
yang mengandung arti yang jelas.
 Skor hasil pengukuran hanya mendeskripsikan
sebagaimana adanya atribut yang diukur dalam
bentuk angka.
Contoh
 Misalkan angka kecerdasan seorang
mahasiswa dengan menggunakan suatu tes
adalah 70. Angka ini tidak bermakna jelas,
apakah mahasiswa tersebut adalah individu
yang sangat cerdas, ataukah yang agak
cerdas.
 Barulah angka tersebut punya arti jika kita
memiliki data lain dari individu yang berbeda
yang diukur dengan tes yang sama misalkan
89. Individu pertama yang kurang cerdas
dibandingkan dengan individu kedua.
contoh
 Dapat pula kita menggunakan pembanding lain misalkan
klasifikasi angka kecerdasan menurut Louis Terman
bahwa kecerdasan berada pada taraf normal atau rata-
rata jika mendapat skor antara 90-110.
 Dengan menggunakan kriteria ini maka kita dapat menarik
kesimpulan bahwa kecerdasan individu pertama berada
pada taraf di bawah rata-rata. Sedangkan individu kedua
memiliki kecerdasan yang sama dengan kebanyakan
orang pada tingkat usia yang sama atau memiliki
kecerdasan pada taraf rata-rata.
 Dengan menggunakan suatu kriteria atau pembanding
maka hasil pengukuran dapat disimpulkan atau dapat
diinterpretasikan.
Asesmen
 Asesmen seperti diuraikan diatas
merupakan proses lanjutan dari kegiatan
pengukuran dan penilaian, atau dengan
perkataan lain dapat dinyatakan bahwa
keseluruhan prosedur itulah yang disebut
dengan asesmen.
 Asesmen adalah proses penarikan
kesimpulan berdasarkan data deskriptif
dan hasil perbandingan dengan suatu
kriteria.
Intervensi
 Melalui proses asesmen inilah kita dapat memahami
karakteristik individu sehingga dapat dilakukan kegiatan
lanjutan berupa penetapan diagnosis bahkan prognosis.
Dalam proses pemberian bantuan psikologi terhadap
individu yang mengalami masalah psikologi, proses
seperti ini dinamakan psikodiagnostika.
 Ketepatan dalam merumuskan tindakan pemberian
bantuan atau saran ataupun yang biasa dianamakan
teknik intervensi, sangat tergantung pada ketepatan
diagnosis dan prognosisnya
 maka ketepatan diagnosis tergantung pada kriteria yang
digunakan, bahkan tergantung pula pada tingkat
ketepatan instrument yang digunakan dalam pengukuran.
 Pemilihan kriteria yang tepat akan menentukan
kualitas kesimpulan yang dibuat.
 Jika yang digunakan adalah kriteria kelompok maka
dasar kesimpulan adalah kelompok dimana individu
yang dinilai menjadi anggota kelompok tersebut,
sehingga kesimpulannya tidak berlandaskan pada
ukuran ideal.
 Apalagi jika kriterianya adalah individu lain maka
kesimpulannya hanya akan dapat menemukan
apakah individu yang dinilai lebih atau kurang
dibandingkan dengan individu lain yang digunakan
sebagai kriteria.
Kriteria kecerdasan
 Jika kita menggunakan kriteria kecerdasan dari
Louis Terman tersebut diatas, dalam menarik
kesimpulan tentang taraf kecerdasan
mahasiswa kita, kemungkinan saja krtiteria itu
terlalu tinggi atau terlalu rendah dan tidak
sesuai dengan ukuran rata-rata orang
Indonesia.
 Timbulah pertanyaan kriteria seperti apa yang
tepat untuk digunakan dalam proses asemen
yang kita lakukan, dan ternyata banyak pilihan
tersedia dalam penetapan kriteria tersebut.
Jenis Kriteria
(Kower,1975)
 Kriteria Objektif
 Kriteria Subjektif
 Kriteria Langsung
 Kriteria Intermedier
 Kriteria Akhir
Kriteria Objektif
 Semua fakta tentang perilaku yang dituntut dalam
suatu tugas tertentu untuk dapat dikatakan berhasil.
 Misalkan kriteria untuk suatu tes psikologi yang
ditetapkan dalam mengukur atribut bakat teknik
adalah rata-rata skor yang dicapai sekelompok
subjek yang benar-benar menunjukkan bakat teknik
yang tinggi sebesar 54.
 Maka dengan kriteria ini individu yang hasil
pengukuran bakat tekniknya mendapat skor 55
dengan tes itu, disimpulkan memiliki bakat teknik
yang tinggi.
Kriteria Subjektif
 Pembanding yang digunakan berupa
judgment, pendapat orang-orang yang
ahli/kompeten dan mengetahui secara
pasti permasalahan yang diukur.
 Misalnya pendapat para ahli tentang
patokan/ukuran minimal yang
menggambarkan keberhasilan individu
dalam belajar atau dalam bekerja.
Kriteria Langsung
 Patokan yang ditetapkan berupa bentuk
perilaku, sikap, tindakan, atau prestasi
dan lainnya, sebagai ukuran
keberhasilan sesuai dengan perilaku
yang diukur.
 Misalkan seorang siswa sekolah
penerbang dinyatakan telah berhasil
dan lulus jika telah benar-benar dapat
menerbangkan pesawat.
Kriteria Intermedier
 Kriteria ini menetapkan patokan pada apa
yang harus dicapai subject pada tahapan-
tahapan tertentu sepanjang proses
pelaksanaan tugas.
 Misalkan dari suatu program kegiatan
ditetapkan ukuran keberhasilan tiga bulan
pertama apa yang harus dicapai, tiga
bulan kedua, sampai pada tahap terakhir
telah ditetapkan ukuran keberhasilannya.
Kriteria Akhir
 Suatu ukuran yang seharusnya dicapai
pada akhir program, atau akhir kegiatan,
jika semua proses perilaku telah
dilaksanakan.
Content
reference/performance
reference

Kriteria mutlak Expectancy reference


(absolute criterion)

Self reference

Jenis kriteria
(Thondike, 1991)
Grade norm

Age equivalents / age


norm

Kriteria kelompok
(norm criterion)

Percentile norm

Standard score norm


Kriteria Mutlak (Absolute
Criterion)
 Suatu pembanding dinamakan kriteria mutlak
jika berasal atau diambil dari ukuran ideal
atau yang seharusnya. Misalkan jika
instrument itu memiliki 20 item dan
maksimum skornya dalah 100, maka skor
maksimum atau ideal ini yang dijadikan
pembanding.
 Taraf pencapaian seharusnya atau ideal ini yg
digunakan sbg pembanding sehingga skor yg
dicapai subjek dalam tes ini dinilai mutlak.
Content reference / performance
reference
 Kriteria ini berwujud suatu pernyataan tentang
apa yang dilakukan individu dalam tes
dibandingkan dengan kondisi ideal yang dapat
diukur dengan tes itu.
 Misalkan seorang subjek dapat menyelesaikan
15 item dengan benar dari idealnya adalah 20
item, dengan skor tiap item benar adalah satu.
 Maka subjek tersebut dinilai dengan cara 15:20
maka apa yang dapat dilkukan subjek dalam tes
itu hanya 75% dari pencapaian yang
seharusnya (ideal).
Expectancy Reference
 Hasil pengukuran dibandingkan dengan prestasi yang
diharapkan (expectation) berdasarkan apa yang pernah
dicapai sebelumnya.
 Seharusnya subjek menampilkan performance sesuai
dengan yang pernah ditampilkan sebelumnya. Maka
hasil pengukuran yang sekarang seharusnya sama atau
tidak berbeda dengan hasil pengukuran pada waktu
sebelumnya, jika atribut yang diukurnya adalah sama
walaupun alat ukurnya berbeda.
 Seorang siswa kelas 4 seharusnya memiliki kemampuan
berhitung yang sama atau bahkan lebih baik jika
dibandinngkan dengan kemampuan berhitung pada saat
dia kelas 3.
Self Reference
 Hasil tes yang dicapai sekarang dibandingkan dengan
hasil pengukuran dengan instrument yang sama pada
waktu yang lalu.
 Artinya subjek seharusnya sudah berulangkali
menjalani tes atau pengukuran atribut tersebut
dengan instrument yang sama. Sehingga hasil tes
dibandingkan dengan skor yang telah dicapai
sebelumnya.
 Pernyataan hasil komparasi misalnya dapat berbunyi:
kecepatan kerja subjek sudah dua kali lebih cepat dari
tahun yang lalu. Atau skor Toeflnya sudah meningkat
50 point dibandingkan dengan 3 bulan yang lalu.
Kriteria Kelompok (Norm
Criterion)
 Kriteria kelompok atau seringkali juga
disebut dengan norma, adalah suatu
pembanding berupa pencapaian kelompok
dimana subjek yang diukur menjadi
anggota dari kelompok tersebut.
 Norma merupakan performance
sekelompok orang yang ditampilkan dalam
data suatu tes berupa distribusi skor yang
diperoleh dari hasil pengukuran terhadap
sekelompok orang.
Norma
 Data yang membentuk norma secara ideal
seharusnya merupakan data yang
representative dari suatu populasi dimana
tes tersebut dirancang untuk digunakan.
 Sehingga subjek yang dinlai dengan norma
tersebut benar-benar memiliki karakteristik
yang sama dengan populasi tadi. Norma
yang dikembangkan melalui prosedur
seperti ini dinamakan norma yang standard.
Norma
 Disamping norma yang standard dapat ditemukan
pula norma yang berlaku local. Artinya kelompok
acuan yang digunakan sebagai dasar pembentukan
norma adalah kelompok kecil dan terbatas.
 Misalkan satu kelas mahasiswa yang berjumlah 80
orang menjalani tes. Maka hasil tes setiap subjek
dibandingkan dengan performance sekelompok
mahasiswa tersebut.
 Pada umumnya penetapan norma berlandaskan
pada rata-rata hitung seperti mean, median, atau
modus.
Fungsi Norma
 Fungsi dari norma adalah untuk
mendapatkan informasi tentang skor tes
dari suatu populasi. Sehingga nantinya
skor itu dapat ditransformasikan ke
dalam suatu set data yang memiliki arti
atau dapat diinterpretasikan.
 Kedua fungsi dari norma adalah untuk
menentukan kedudukan individu dalam
kelompok.
Grade norm
 Anastasi (1997) : Grade Equivalent
 menyatakan bahwa kriteria ini merupakan pembanding yang
dibentuk berdasarkan pada segi ekivalensi kelas.
 Artinya skor yang mengelompok pada grade/kelas tingkatan
tertentu, dan pengelompokan skor itu berdasarkan pada
mean, median, atau modus. Subjek yang diukur dalam suatu
atribut, mendapatkan skor tertentu, maka dalam penilaian
skor itu termasuk atau ekivalen dengan skor kelompok subjek
pada grade/tingkatan yang mana.
 Norma berdasarkan tingkat atau grade dibentuk melalui
perhitungan mean, median, atau modus dari skor sejumlah
subjek pada setiap tingkat, yang merupakan sampel
representative.
Grade norm
 Dengan demikian jika rata-rata skor yang
diperoleh siswa kelas 4 dalam tes
aritmatika adalah 23 maka skor 23
berhubungan dengan ekivlen
kelas/tingkat 4 sekolah dasar. Skor
ekivalen pada kelas/grade lain juga dapat
diperoleh dengan menguji sejumlah siswa
yang menjadi sampel, kemudian
menghitung rata-rata skor dari
kelas/grade tersebut.
Prosedur pembentukan grade
norm :
Mean Grade equivalents

19 3

27 4

35 5

43 6
Prosedur pembentukan grade
norm :
 Berikan tes kepada sekelompok subjek
sebagai sampel
 Subjek terdiri kelompok pada beberapa
grade yang berbeda
 Hitung skor rata-rata pada setiap grade
 Siswa yang memeroleh skor 27 berarti
kemampuannya setara dengan pada
umumnya siswa yang berada pada
tingkat atau grade 4 karena skor itu
berada pada Grade Equivalents (GE) 4.
Age Equivalents atau Age Norm
 Dalam skala umur, item persoalan tes
dikelompokan ke dalam tingkatan usia.
 Misalkan sejumlah item yang dapat diselesaikan
dengan tepat oleh sekelompok anak berusia 7
tahun atau dengan kata lain skor rata-rata pada
kelompok usia itu adalah 45
 Skor inilah yang menjadi pembanding bagi setiap
anak yang diukur jika berusia 7 tahun. Contohnya
adalah anak usia 7 tahun hanya mendapat skor
40, berarti anak tersebut memiliki kemampuan di
bawah kemampuan anak lain yang seusia dalam
atribut yang diukur.
Percentile Norm
 Skor-skor persentil diungkapkan dalam kaitan
dengan persentase orang dalam sampel yang
berada di bawah skor tertentu. Misalkan
terdapat 28% orang hanya dapat menyelesaikan
dengan benar kurang dari 15 soal dalam
penalaran aritmatika, maka skor mentah itu
dapat disamakan dengan persentil ke 28
 Skor persentil menunjukan posisi relatif individu
dalam sampel. Persentil dapat dianggap sebagai
peringkat dalam suatu kelompok subjek yang
jumlah anggotanya 100 orang.
Percentile Norm
 Dengan catatan bahwa dalam penentuan peringkat
biasnya orang mulai menghitung dari atas, subjek terbaik
menduduki peringkat satu. Sebaliknya subjek yang
mendapat skor terendah akan menduduki peringkat 100.
 Namun dalam persentil kita menghitung dari bawah dimulai
dari skor terendah. Maka subjek yang mendapat skor
buruk berada pada posisi di bawah dan makin tinggi skor
yang diperoleh subjek maka posisinya akan makin tinggi.
 Skor pada suatu titik persentil misalkan 45, memisahkan
45 persen subjek berada di bawah posisi individu yang
mendapatkan skor tersebut dan 56 persen subjek berada
pada posisi diatas skor tersebut.
Contoh norma persentil
Standard Score Norm
 Norma yang paling banyak digunakan sekarang ini
adalah norma skor standar yang merupakan tipe
norma yang paling memuaskan
 Pembentukan norma ini berdasarkan pada suatu
proses yang diawali dengan pengukuran atribut
psikologis tertentu pada sekelompok subjek
sebagai sampel yang representatif dari suatu
populasi
 Skor yang ditampilkan dalam norma ini
menunjukan jarak skor individu dari rata-rata dalam
kaitan dengan simpangan baku dari distribusi skor.
Standard Score Norm
 Biasanya norma skor standar diperoleh
melalui transformasi linier maupun non
linier dari sekumpulan skor mentah.
 Skor standar dinamakan skor-z. untuk
menghitung skor-z dilakukan dengan
menemukan perbedaan antara skor
mentah individu dengan skor rata-rata
kelompok, kemudian membagi perbedaan
ini dengan simpangan baku kelompok itu.
Standard Score Norm
 Jika

  M = 60 dan SD = 5, maka skor standar untuk subjek yang mendapat
skor mentah 65 adalah:
 =
 z = +1,00

 Jika subjek mendapat skor mentah 58, maka z nya = -0,40. Perhitungan
skor-z diatas adalah untuk dua subjek, subjek pertama berada +1 SD di atas
kelompok rata-rata, sedangkan subjek kedua berada pada posisi 0,40 SD di
bawah rata-rata kelompok. Skor mentah yang tepat berada pada posisi
ekivalen dengan skor rata-rata adalah z = 0.
 Nampak dari prosedur diatas bahwa individu yang mendapat skor di bawah
rata-rata akan mendapat skor z di bawah 0 atau memiliki tanda negatif.
Kebanyakan rentang skor SD yang digunakan adalah -3,00 di atas atau
bertanda + dan 3,00 di bawah atau bertanda negatif. Berdasarkan tentang
skor SD yang digunakan ini ditetapkan skor standar berjenjang 5 atau 6, 7, 9
atau 11 dst. Sehingga ditemukan adanya istilah stanfive, stanine, staneleven,
dan sebagainya.
 Proses penyusunan norma standar lainnya
dihitung berdasarkan penyimpangan (deviasi)
dari mean. Misalkan dari distribusi skor hasil
pengukuran terhadap sejumlah subjek ditetapkan
menjadi 5 kategori, diperoleh mean = 55 dn
standar deviasi 10. Maka batas atas kategori 1
dinyatakan pada M -2 SD, kategori 2 diantara -2
SD sampai dengan M -1 SD, kategori 3 antara -1
SD sampai dengan M +1 SD, kategori 4 antara M
+1 SD sampai dengan M +2 SD dan kategori 5
dengan batas bawah pada M +2 SD.
Contoh
contoh

Anda mungkin juga menyukai