Anda di halaman 1dari 81

KATA PENGANTAR

Buku panduan ini disusun sebagai pedoman bagi mahasiswa untuk melakukan
praktikum Geomorfologi di Prodi Teknik Geologi, Fakultas Teknik UNTAD. Praktikum yang
dilakukan merupakan bagian dari matakuliah Geomorfologi (TG63312), olehnya keberhasilan
melakukan praktikum ini juga akan mempengaruhi keberhasilan matakuliah tersebut
Buku ini disusun sebagai acuan awal praktikan dalam memahami praktikum
geomorfologi, demi kelancaran proses belajar mengajar. Buku ini terutama berisi tentang
materi-materi geomorfologi yang terdiri dari pembahasan tentang peta topografi, proses-
proses geomorfik 7 bentang alam, laju erovirsitas tanah, morfometri lereng,
paleogeomorfologi dan dasar-dasar pemetaan geologi. Materi dalam panduan ini disusun oleh
beberapa orang staf dosen pengajar matakuliah geomorfologi sekaligus sebagai penanggung
jawab materi yang dipraktekkan dengan mengacu/mengadopsi model penuntun praktikum
geomorfologi Teknik Geologi UGM. Kepada mereka diucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya.
Evaluasi dan perbaikan akan terus dilakukan pada buku ini sehingga setiap saran akan
diterima dengan senang hati. Semoga buku ini memberikan manfaat yang banyak kepada
pembaca semua.

Palu, September 2019

Penyusun.
TATA TERTIB PRAKTIKUM GEOMORFOLOGI

1. Setiap praktikan wajib hadir tepat waktu (tidak ada toleransi keterlambatan).
2. setiap praktikan wajib membawa kartu kontrol, penuntun praktikum dan perlengkapan
yang dibutuhkan selama praktikum setiap praktikum.
3. wajib berpakaian rapi dan sopan(tidak di perkenankan menggunakan kaos oblong dan
sendal).
4. Selama mengikuti praktikum peserta wajib menjaga ketertiban (tidak diperkenankan
mengobrol, makan dan minum).
5. sebelum memulai praktikum peserta harus memperlihatkan bukti tanda acc acara
sebelumnya yang ditanda tangani oleh asisten dan dosen penanggung jawab.
6. asistensi pertama laporan peserta harus 40% (2 hari setelah praktikum) dan asistensi
kedua harus (hari ke 4 setelah praktikum) 60% dan ketiga harus 90% (hari ke 6 setelah
praktikum).
7. Apabila praktikan tidak mengikuti praktikum selama 2 kali maka tidak di perkenankan
mengikuti praktikum (dapat lanjut apabila mendapat surat rekomendasi dari kaprodi).
8. ketika jam shalat praktikan di beri izin keluar selam 20 menit.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
TATA TERTIB PRAKTIKUM...................................................................................ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
PENGENALAN PETA DASAR DAN SIMBOL GEOMORFOLOGI……................................. 1
PEMBUATAN SAYATAN ……................................................................................. 4
POLA ALIRAN SUNGAI DAN TIPE GENETIK SUNGAI…............................................. 5
MORFOMETRI LERENG ………............................................................................ 7
LAJU EROSIVITAS TANAH................................................................................. 11
BENTANG ALAM STRUKTURAL........................................................................... 16
BENTANG ALAM DENUDASIONAL....................................................................... 23
BENTANG ALAM FLUVIAL.................................................................................. 26
BENTANG ALAM MARINE.................................................................................. 34
BENTANG ALAM KARS...................................................................................... 47
BENTANG ALAM VULKANIK............................................................................... 54
BENTANG ALAM EOLIAN.................................................................................. 63
PALEOGEOMORFOLOGI.................................................................................... 67
PENGENALAN PETA DASAR DAN SIMBOL GEOMORFOLOGI

I.1. Peta Topografi


I.1.1. Pengertian
Peta Topografi adalah proyeksi vertikal roman muka bumi. Defenisi
secara umum dari peta topografi adalah peta yang menggambarkan
penyebaran, bentuk dan ukuran dari roman muka bumi.
Yang dimaksud dengan roman muka bumi meliputi relief, penyaluran
(drainage) dan budaya manusia (culture). Elief adalah beda tinggi rendahnya
suatu tempat dengan tempat lain dan curam landainya lereng yang ada pada
suatu daerah. Drainage atau penyaluran adalah semua alur atau sungai
tempat mengalirnya air permukaan. Di samping sungai, danau, laut, dan
rawa juga termasuk penyaluran (pola penyaluran). Budaya adalah semua
hasil aktifitas manusia, diantaranya adalah desa, kota, jalan, rel kereta api,
dll.
Kegunaan peta topografi bermacam-macam, diataranya adalah sebagai
peta dasar, untuk menghitung cadangan, untuk menentukan lokasi suatu
daerah (orientasi), dll.
I.1.2. Unsur-unsur peta topografi
Hal-hal yang perlu ada/diperhatikan dalam pembuatan peta (topografi)
adalah;
a. Judul peta, meliputi nama kecamatan dan nama kabupaten/propinsi
b. Nomor lembaran peta, meliputi bermacam-macam, yaitu nomor pada skala
1 : 100.000, nomor pada skala 1 : 50.000, dan nomor pada skala 1 :
25.000.
c. Indeks peta, biasanya ditempatkan di sudut kiri bawah peta. Umumnya
lembar peta tersebut diletakkan pada bagian tengah indeks peta.
d. Arah utara peta, arah utara peta menunjukkan arah utara relatif pada peta
tersebut. Hal ini dikarenakan ada 3 pengertia arah utara, yaitu utara
sebenarnya (true north), utara peta (grid north), dan utara magnetik
(magnetic north).

Gambar 1.1 Macam-macam cara penulisan nomor lembar peta pada


berbagai skala
e. Deklinasi adalah sudut yang dibentuk oleh jarum magnet terhdap arah utara
sebenarnya pada tempat-tempat tertentu dalam peta tersebut. biasanya
pengukuran deklinasi dilakukan pada titik tengah lebar skala 1 : 50.000.
Hal-hal yang mempengaruhi besar kecilnya sudut deklinasi adalah posisi
bujur peta tersebut, sehingga untuk lembar A da Lembar C memiliki
deklinasi yang sama, demikian pula untuk nomor B dan D. Angka deklinasi
ini berfungsi sebagai koreksi agar pengeplotan ke dalam peta topograi dapat
dilakukan setepat mungkin.
1
f. Skala, merupakan perbandingan antara ukuran sebenarnya di lapangan
terhadap ukuran di peta. Dalam penyajiaanya dapat dilakukan dengan
berbagai cara yaitu; skala verbal ( 1cm : 1km), skala fraksional ( 1:
50.000), dan skala grafis.
g. Administrasi pemerintahan, merupakan bagian yang menunjukkan
pembagian wilayah secara administratif pemerintahan. Pembagian ini
disesuaikan dengan batas kecamatan, kabupaten dan propinsi.
h. Legenda peta, merupakan segala keterangan mengenai simbol-simbol yang
digunakan dalam peta tersebut. simbol-simbol tersebut meliputi warna ata
tanda-tanda khusus yang dipakai dalam bidang geologi, misalnya tanda
struktur geologi, maupun tanda morfologi. Legenda biasanya ditempatkan
pada samping kanan bawah dari peta tersebut.
i. Edisi peta, merupakan keterangan kapan peta tersebut dibuat. Edisi peta ini
sangat penting untuk daerah yang proses eksogennya sangat berpengaruh
dalam pembentukan bentang alam sehingga daerah tersebut sangat mudah
mengalami perubahan
j. Garis kontur, merupakan garis imaginer yang melalui titik-titik yang
memiliki elevasi yang sama. Garis kontur akan menunjukkan bentuk dan
penyebaran morfologi. Disamping itu juga memiliki pola yang khsa untuk
setiap bentang alam yang dikontrol oleh pengontrol yang berbeda. Misalnya
bentang alam struktural akan menunjukkan pola garis kontur berbeda
dengan benang alam kars.
Dikenal beberapa jenis kontur dalam peta topografi, diantaranya adalah:
1. Kontur biasa
2. Kontur indeks, yaitu garis kontur yang menunukkan ketinggian tertentu
untuk memudahkan dalam menuntukkan elevasi.
3. Kontur depresi, adalah kontur yang menunjukkan adanya morfologi
cekungan/depresi. Bentuknya adalah kontur biasa dengan garis tegak lurus
ke arah bawah
4. Kontur setengah, adalah kontur yang menunjukkan elevasi setengah dari
interval kontur dala peta tersebut.

Gambar 1.2 Macam-macam garis kontur pada peta

Interval kontur adalah beda tinggi antara garis kontur satu dengan yang
lain yang nerturutan. Di dalam peta standar, besarnya iterval kontur dapat
dihitung bila diketahui skala petanya, yaitu dengan persamaan :

IK = 1/2000 x Skala Peta

2
Misalnya peta topografi skala 1 : 25.000, maka interval konturnya
1/2000x25000=12,5 m.
k. Pola penyaluran (drainage pattern), merupakan gambaran yang dibentuk
oleh sungai dan atau anak-anak sungai sehingga membentuk pola-pola
tertentu.
l. Budaya (culture), merupakan budaya/hasil karya manusia. Budaya yang
sering ditampilkan dalam peta diantaranya adalah desa, kota, jalan, dan rel
kereta api. Di samping itu kadang-kadang juga ditampilkan bangunan
seperti dam atau bendungan, dll
Di dalam peta topografi dikenal ada elemen dasar penafsiran yaitu;
kontur, pola penyaluran, dan budaya manusia. Artinya dengan data tersebut
seseorang dapat menafsirkan kemungkinan-kemingkinan kondisi geologi
yang dihadapi. Dengan adanya kontur dapat menunjukkan pola relief. Pola
adalah paduan kontur yang didalamnya tercakup bentuk dan penyebaran
secar relatif. Relief adalah perbedaan tinggi dari suatu tempat dengan tempat
lain dibandingkan dengan jarak horisontalnya.

Pengertian relief adalh mutlak, karena merupak suatu unsur yang paling
mudah dilihat dan pada sebagian besar bentang alam mencirikan kekhasan
bentang alam tersebut. kekhasan tersebut hanya dapt dilihat bila
penggambaran dengan cara konturing dan bentang alam tersebut berskala
mega.

3
PEMBUATAN SAYATAN

Penggambaran peta topografi adalah penggambaran bentuk 3D di dalam


bidang 2D. Untuk menggambarkan 3D (dalam hal ini ketinggian/ketebalan),
maka diperlukan sayatan geologi atau sayatan morfologi. Kedua sayatan
tersebut dibedakn pada aspek-aspek yang digambarkan di dalamnya.
Sayatan geologi menggambarkan semua aspek geologi sepanjang garis
sayatan tersebut, sedang sayatan geomorfologi menggambarkan aspek
geomorfologi sebanjang garis sayatan tersebut. Terdapat 2 macam model
sayatan, yaitu sayatan normal (skala vertikal = skala horisontal) dan sayatan
agregasi (skala vertikal ≠skala horizontal).

Gambar 2.1. sayatan topografi


(sumber; https://rizkykurniarubianto.wordpress.com)

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membuat sayatan diantaranya ;


a. Pemilihan arah sayatan. Arah sayatan ditentukan sesuai dengan tujuan
yang dikehendaki, sehingga semua aspek yang diinginkan dapat
terekam.
b. Penentuan baseline. Baseline atau garis dasar adalah garis yang
membatasi sayatan pada bagian bawahnya. Penentuan garis dasar ini
disesuaikan dengan kondisi bawah permukaan yang ingin ditampilkan.
c. Penentuan endline. Endline (garis akhir) dari sayatan adalah garis yang
membatasi panjang sayatan ke arah lateral. Penentuan garis ini
disesuaikan dengan kebutuhan, maksudnya setelah sampai pada daerah
yang homogen garis sayatan tidak perlu diperpanjang lagi.

4
POLA ALIRAN SUNGAI DAN TIPE GENETIK SUNGAI

Rangkaian proses fluvial dapat dilakukan secara individu oleh satu sungai,
tetapi umumnya merupakan integrasi dari sejumlah sungai, membentuk jejaring
sungai yang disebut dengan pola penyaluran (drainage pattern). Dengan
demikian unsur yang harus terpenuhi dalam satu kawasan pola penyaluran yaitu
adanya beberapa sungai yang bergabung, menghasilkan kenampakan/pola
tertentu, cakupan kawasannya tertentu yang di bagian terluar dibatasi oleh garis
(imajiner) pembagi sungai / stream divide.
Jenis pola penyaluran dasar :
a. Tegaklurus (rectangular), memberikan kenampakan baik individu maupun
bergabungnya dengan sungai utama/induk membentuk sudut tegaklurus.
Pola ini berkembang pada daerah structural geologi yang sistematik
(teratur).
b. Tulang pohon (dendritic), kenampakannya serupa dengan percabangan
pohon, percabangannya membentuksudut lancip. Control pembentukannya
adalah daerah yang resistensi batuannya seragam, kalau batuan sediment
kedudukannya datar atau hampir datar. Kontrol struktur tidak dominan .
c. Sejajar (parallel), dibentuk oleh gabungan sungai yang individunya saling
sejajar. Pengontrolnya adalah daerah dengan lerengnya mempunyai
kemiringan yang nyata, dan berkembang pada batuan yang bertekstur halus
dan homogen.
d. Teralis/trellis (trellis), dicirikan oleh perpaduan antara anak sungai dengan
sungai induk tampak tegaklurus / hampir tegaklurus. Sungai utamanya
biasanya mengalir searah dengan jurus perlapisan batuan atau jurus struktur
geologi mayor lainnya. Anak-anak sungai akan dominan terbentuk dari erosi
pada batuan sedimen yang mempunyai resistensi rendah.
e. Menjari (radial), berkembang pada daerah morfologi cembung atau cekung
dan terkontrol oleh sudut lereng dari morfologi. Dari pola ini dikenal dua tipe,
yaitu tipe memencar (radial centrifugal) yang terbentuk pada daerah
struktur kubah (dome) muda, pada kerucut gunung api dan pada bukit-bukit
yang berbentuk kerucut. Tipe yang lain adalah mengumpul (radial
centripetal), berkembang pada daerah struktur cekungan (basin) atau
depresi yang luas.
f. Melingkar (annular), adalah pola pengaliran dimana sungai atau anak
sungainya mempunyai penyebaran yang melingkar dan menjari, sering
dijumpai pada daerah kubah berstadia dewasa. Pola ini merupakan
perkembangan dari pola radier. Pola penyaluran ini melingkar mengikuti
jurus perlapisan batuannya.
g. Multi basinal adalah pola pengaliran yang tidak sempurna, kadang nampak di
permukaan bumi, kadang tidak nampak. Pola ini berkembang pada kawasan
karst atau morfologi gurun.
h. Contorted, adalah pola pengaliran dimana arah alirannya berbalik / berbalik
arah. Kontrol struktur yang bekerja berupa pola lipatan yang tidak beraturan
yang memungkinkan terbentuknya suatu tikungan atau belokan pada lapisan
sediment yang ada.

5
Gambar 3.1. Jenis Pola Penyaluran dasar

6
MORFOMETRI LERENG
Plotting Lokasi
 Pilih daerah di peta rupa bumi 3 x 3 grid

 Buat grid baru dalam 1 grid menjadi 4 x 4 bagian

 Buat garis yang menghubungkan garis kontur

 Pada tiap grid yang baru, hitunglah beda tinggi dan kemiringan lereng.
 Menentukan beda tinggi dengan menghitung banyaknya garis kontur yang ada
dalam 1 grid. Mis pada gambar disamping terdapat 13 buah garis kontur
yang berimpit dengan garis warna biru maka beda tinggi = (13-1)x interval
kontur = 12 x 12.5 =150 m
 Menentukan kemiringan dengan cara membandingkan antara beda tinggi dan
jarak (jarak ditentukan dari panjang garis x skala peta). Mis panjang garis =
0,9 cm maka jarak = 0.9 x 250 = 225 m sehingga kemiringan = Tan -1
(150/225) = 33,7⁰

7
 Pada gambar dibawah terdapat 7 buah garis kontur yang berimpit dengan
garis warna biru maka beda tinggi = (7-1)x interval kontur = 6 x 12.5 =75
m.
 Menentukan kemiringan dengan cara membandingkan antara beda tinggi
dan jarak (jarak ditentukan dari panjang garis x skala peta). Mis panjang
garis = 0,9 cm maka jarak = 0.9 x 250 = 225 m sehingga kemiringan =
Tan-1 (75/225) = 18⁰

Contoh Hasil Digitasi

Pembagian Landform Berdasarkan Relief


• Ditentukan oleh besarnya lereng dan perbedaan tinggi.

8
 Tidak ada kontur = 0⁰ kemungkinan kategori datar

 Beda tinggi 150 kemiringan lebih 30, kemungkinan kategori perbukitan

9
 Beda Tinggi 50 -75, kemiringan 2 -10, kemungkinan kategori perbukitan

 Bila digabung kemungkinan ketiga kategori menjadi

 Peta morfologi akan menjadi seperti ini

10
LAJU EROSIVITAS TANAH

Konsep Dasar Erosi


 Erosi merupakan proses/hasil pengikisan batuan atau suatu perlapisan
 Pengikisan dapat disebabkan oleh gaya berat/topo, air, es, angin, dan
manusia (organisme)
 Perubahan bentuk/relief/roman bentang alam karena erosi tergantung
besaran resistansi suatu batuan
 Faktor vegetasi salah satu komponen penting untuk konservasi tanah
 Jenis erosi: erosi alur, erosi lembar, erosi drainase, erosi saluran/parit, erosi
lembah, dan erosi percik, erosi internal, erosi tebing sungai, erosi pantai
(abrasi)
1. Erosi Alur (Rill Erosion)

 Pengikisan air
 Hasil kerja air berbentuk alur-alur, membentuk tempat mengalirnya air
hingga beberapa centimeter - (1) meter
 Erosi ravine perkembangan dari erosi alur
2. Erosi Saluran/Parit (Gully Erosion)

 pengikisan air
 Hasil kerja air berbentuk alur-alur, membentuk tempat mengalirnya air >
(1) meter - < 10 meter

11
3. Erosi Lembah (Valley Erosion)

 Pengikisan air
 Hasil kerja air berbentuk alur-alur, membentuk tempat mengalirnya air
hingga > 10 meter

4. Fungsi vegetasi terhadap erosi

 Melindungi (langsung) terhadap tumbukan air hujan


 Menurunkan laju aliran permukaan
 Memperkuat ikatan tanah (partikel tanah pada posisinya)
 Mempertahankan kapasitas tanah dalam air

12
5. Teknik Perhitungan Erosi

 Metode Universal Soil Loss Equation (USLE)

 Indeks daya erosi curah hujan/erosivitas curah hujan (R)

 Faktor panjang lereng (L)

 Faktor kemiringan lereng (S)

13
 Faktor erodibilitas tanah (K) dan Faktor pengelolaan-pengawetan tanah
(CP), “nilai-nilai rerensi”

 Nilai CP.

14
 Indeks bahaya erosi

15
BENTANG ALAM STRUKTURAL

VI.1. Pendahuluan
Bentang alam struktural adalah bentang alam yang pembentukannya
dikontrol oleh struktur geologi daerah yang bersangkutan. Struktur geologi
yang paling banyak berpengaruh terhadap pembentukan morfologi adalah
struktur geologi sekunder, yaitu struktur yang terbentuk setelah batuan itu
ada.
Bentang alam struktural atau geomorfologi struktur disebut pula
sebagai Morfogenesa struktural, atau morfotektonik. Proses pembentukan
morfogenesa struktural disebabkan utamanya oleh diastrofisme. Para ahli
kebumian Belanda mengelompokkan morfogenesa struktural sebagai
morfostruktur aktif. Diastrofisme terjadi apabila dari gerak-gerak antar
lempeng global tidak menghasilkan volkanisme. Diastrofisme dibedakan
menjadi yaitu orogenesa dan epirogenesa.
Agar diastrofisme yang terjadi pada batuan dapat menghasilkan
morfogenesa struktural, diperlukan persyaratan:
1. Struktur geologi yang dihasilkan dalam cakupan ukuran ke arah vertikal
(beda tinggi) maupun lateral, relativ mempunyai intensitas yang kuat.
2. Bebatuan yang mengalami diastrofisme mempunyai kondisi utuh, atau
mengikuti asas horizontalitas untuk batuan sedimen.
3. Kalau bebatuan yang mengalami diastrofisme batuan sedimen, yang terbaik
hasilnya adalah pada batuan yang bervariasi resistensinya
4. Proses fluvial berlangsung efektif.
Pada peta topografi, morfogenesa ini dicirikan oleh kumpulan kontur
yang mempunyai arah-arah memanjang dan tertentu. Berlawanan dengan
arah tersebut, dapat dicermati adanya relief yang bervariasi, bahkan
membalik. Arah memanjang itu menggambarkan jurus perlapisan batuan,
atau zona sesar, atau kekar, sedangkan relief seperti itu mengekspresikan
variasi resistensi litologi, atau kemiringan (dip). Penyaluran sungai yang
berkembang pada morfogenesa ini, banyak macamnya, yaitu tipe dasar
paralel, trelis, dan pola penyaluran modifikasi dari dua penyaluran tersebut,
melingkar/anuler, dan contorted.

VI.2. Macam-macam Bentang Alam Struktural


Morfogenesa struktural diklasifikasikan dengan berbagai dasar.
Pembagiannya mendasarkan atas kemiringan/dip perlapisan batuan (khusus
untuk batuan sedimen) pasca mengalami tektonik, dan jenis struktur
geologi.
Pembentukan morfologi yang tersusun oleh batuan beku, atau batuan
metamorf masih menarik untuk menjadi bahan diskusi. Morfologi dari
batuan beku akibat magmatisme masa geologi lampau, masih
diperdebatkan apakah termasuk morfogenesa structural atau morfogenesa
volkanik purba. Untuk morfologi dari batuan metamorf, ada pendapat
termasuk dalam morfogenesa structural, tetapi ada yang lebih spesifik
dikelompokkan menjadi mélange terrain (seperti yangdikenalkan oleh
Bloom, 1978 dan Sabins, 1980-an).
16
Morfogenesa struktural yang tersusun oleh batuan sedimen dirinci
menjadi morfologi: lapisan horizontal (dataran / plain, dataran tinggi /
plateau), lapisan miring dua arah (antiklin / anticline, sinklin / syncline),
lapisan miring tiga arah (antliklin menunjam / plunging anticline, sinklin
menunjam / plunging syncline), dan miring empat arah (kubah / dome,
cekungan / basin).
Jenis-jenis morfologi tersebut di atas akan lebih mudah diidentifikasi
apabila stadia erosinya dewasa. Stadia ini dicirikan oleh berkembangnya
proses topografi terbalik (inverted topography). Pengenalan kemiringan
lapisan batuan melalui perbedaan sudut lereng. Apabila berkembang dua
sudut lereng yaitu yang lebih terjal (fore slope) dan lebih landai (lereng
belakang / back slope), maka arah kemiringan lapisan batuan sesuai dengan
lereng belakang. Pada keadaan tertentu, ketika di atas lereng tidak ada
temuan tanah, sehingga permukaan lereng belakang identik dengan
permukaan lapisan batuan, kondisi seperti itu disebut lereng kemiringan
(dip slope). Morfologi lapisan miring lebih dari satu arah dapat diidentifikasi
melalui pembentukan in facing scarp (lereng depan yang saling
berhadapan).

Gambar 6.1 Klasifikasi bentang alam struktural


6.2.1. Morfologi Lapisan Horizontal
Menurut ketinggiannya (elevasi) dataran dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Dataran rendah (plain), adalah dataran yang berada pada elevasi 0 –
500 kaki di atas muka air laut (mal).
2. Dataran tinggi / plato (plateau), adalah dataran yang berada pada
elevasi lebih dari 500 kaki di atas mal.
17
Kenampakan permukaan topografi kedua dataran tersebut hampir
sama, hanya dibedakan pada reliefnya saja. Batas luar dari dataran tinggi
mempunyai relief terjal. Pada daerah yang berstadia muda terlihat datar
dan dalam peta tampak spasi kontur yang jarang. Pada daerah yang
berstadia tua, kadang-kadang berkembang dataran luas dan bukit sisa
(monadnock), terbentuk gunung meja (table mountain) terdiri dari messa
atau butte. Morfologi messa hampir sama dengan butte, hanya saja messa
memiliki ukuran yang lebih luas dibanding butte. Contoh gunung meja
ditemukan di sekitar ruas jalan Babat – Tuban, Jawa Timur.
Pola penyaluran yang berkembang pada daerah yang berstruktur
mendatar adalah dendritik. Hal ini dikontrol oleh adanya keseragaman
resistensi batuan pembentuk morfologi.

6.2.2 Morfologi Lapisan miring satu arah/homoklin/monoklin


Secara konseptual penyebab utama pembentukan morfologi ini oleh
lapisan yang miring satu arah akibat tektonik. Kemiringan satu arah juga
dapat dipahami sebagai bagian dari lapisan miring lebih dari satu arah
(lipatan, atau lipatan menunjam), namun karena kendala cakupan daerah
analisis, atau bagian dari lipatan itu terkubur di bawah permukaan.
Kebanyakan lapisan sedimen yang miring, disebabkan oleh proses
endogenik. Morfologi yang dihasilkannya akan memperlihatkan pola
memanjang searah dengan jurus (strike) perlapisan batuan. Berdasarkan
besarnya sudut lereng, terutama lereng belakang (back slope, dip slope),
morfologi homoklin dibedakan menjadi tiga, yaitu :

Kuesta (cuesta). Pada kuesta besar slope dari lereng depan lebih besar
dibading dengan slope dari lereng belakang. Kenampakan ini terbentuk oleh
kemiringan lapisan batuan yang landai, maksimum 300.
Hogback mempunyai slope lereng depan hampir sama dengan slope lereng
belakang, sehingga tampak sebagai bukit atau gunung yang simetri,
kemiringan lapisaan batuan lebih dari 300.
Razor back mirIp hog back, tetapi kemiringan batuan hamper tegak/900.

Gambar 6.2 Kenampakan beberapa morfologi pada bentang alam structural (A.
dataran tinggi, B. Cuesta, C, Hogback).

18
Pada morfologi homoklin berkembang jenis pola penyaluran trelis,
dimana aliran sungai utama searah dengan jurus struktur homoklin,
sedangkan aliran anak-anak sungai mengikuti atau berlawanan dengan arah
kemiringan lapisan batuan.

6.2.3 Morfologi Lapisan miring dua arah/morfologi lipatan


Lipatan terjadi karena lapisan batuan mengalami kompresi (gaya tekan).
Pada suatu lipatan yang sederhana, bagian punggungan disebut dengan
antiklin, dan bagian lembah disebut dengan sinklin. Antiklin untuk menyebut
lipatan dengan arah kemiringan ke luar, sedangkan sinklin adalah lipatan
dengan arah kemiringan ke dlam.
Unsur-unsur yang terdapat pada struktur ini dapat diketahui dengan
menafsirkan arah kemiringan lapisan batuan. Arah tersebut sesuai dengan
arah lereng belakang (back slope, dip slope).
Morfologi antiklin dan sinklin. Penafsiran antiklin berdasarkan atas
kenampakan saling berhadapan antara lereng depan. Bila lereng depan saling
berhadapan (in facing scarp), maka terbentuk morfologi punggungan antiklin,
dan sebaliknya apabila yang saling berhadapan adalah lereng belakang (out
facing scarp), disebut morfologi lembah sinklin. Penyaluran yang terbentuk
biasanya adalah pola trelis. Uraian di atas dijumpai pada morfologi stadia
erosinya muda, namun apabila erosi menjadi dewasa maka akan terjadi
pembalikan topografi, sehingga struktur antiklin menjadi morfologi lembah
dan sinklin menjadi morfologi punggungan.

Gambar 6.3 Sketsa dan contoh pola garis kontur pada pegunungan lipatan
(a) antiklin, (b) lembah sinklin
6.2.4 Morfologi Lapisan miring tiga arah/morfologi lipatan menunjam
Morfologi antiklin dan sinklin menunjam. Struktur ini merupakan jenis
lain dari morfologi antiklin atau sinklin, dikarenakan ada penunjaman atau
penambahan satu kemiringan lapisan batuan. Pada keadaan pembalikan
topografi, apabila tiga lereng depan saling berhadapan maka disebut sebagai
lembah antiklin menunjam. Sedangkan apabila tiga lereng belakang yang
saling berhadapan maka disebut sebagai punggungan sinklin menunjam

19
Gambar 6.4 Sketsa dan contoh pola garis kontur pada struktur (a) sinklin
dan (b) antiklin menunjam.

6.2.5 Morfologi Lapisan miring empat arah/lipatan tertutup


Morfologi kubah (dome), mempunyai ciri-ciri kenampakan kemiringan
lapisan ke arah luar, pada keadaan pembalikan topografi lereng depan
menghadap ke arah dalam dengan penyaluran berpola anuler tetapi berpola
radier memencar pada keadaan initial dikarenakan morfologi berupa bukit
cembung.
Morfologi cekungan (basin) memberikan kenampakan outfacing scarp
karena lapisan batuan miring ke arah dalam dikarenakan lapisan miring ke
arah dalam (back slope ke arah dalam), pola kontur melingkar tertutup. Pada
stadia erosi muda berkembang pola penyaluran radier memusat.

Gambar 6.5 Sketsa dan contoh pola kontur pada struktur lipatan tertutup (a).
Kubah dan (b). Cekungan

6.2.6 Morfologi Kekar


Kekar (joint) terjadi akibat proses endogenik epigenik pada bebatuan,
mengakibatkan terpisahnya massa batuan tanpa ada pergeseran letak.

20
Struktur geologi ini diklasifikasi menjadi kekar gerus (shear joint), kekar tarik
/ tensi (tension joint), dan kekar keseimbangan / rilis (release joint).
Sedangka kenampakan yang secara obyektif dapat disebut kekar, yaitu
struktur gigi gergaji (jig saw structure), dan kekar tiang (columnar joint)
dikelompokkan sebagai akibat dari proses endogenik-singenetik bersamaan
dengan pembentukan batuan. Dua jenis kekar yang terakhir tidak dapat
diidentifikasi melalui kenampakan morfologi.
Jenis kekar gerus, tensi dan rilis hanya dapat diidentifikasi dari
morfologi, apabila intensitas/dimensi pembentukannya minimal mencapai
ratusan meter. Perkembangan erosi tidak meghalangi untuk menafsirkannya.
Adapun kriteria morfologi sebagai petunjuk adanya pembentukan kekar
adalah:
a. tidak ada beda tinggi pada luasan daerah yang sempit.
b. pada posisi/elevasi yang sama, batuan yang terpisahkan oleh kekar sangat
mempunyai resistensi relativ sama
c. kelurusan sungai melalui kekar, dan mendadak berbelok-belok mengikuti
zone kekar
d. diindikasikan oleh pembentukan tipe pola penyaluran rektanguler
(dominan), trelis, dan modifikasi dari keduanya

6.2.7. Morfologi Patahan/Sesar


Patahan / sesar (fault) terjadi akibat proses endogenik pada bebatuan,
mengakibatkan terpisahnya massa batuan disertai ada pergeseran letaknya
(displacement). Berdasarkan arah gerak relativ, diklasifikasikan menjadi tiga
jenis, yaitu sesar geser (strike slip fault), naik / anjakan (thrust fault) dan
normal / turun (normal fault) dengan modifikasinya berupa sembulan (horst)
atau terban (graben).
Secara umum, menentukan jenis patahan melalui fenomena morfologi
ada kesulitan. Namun kriteria morfologik di bawah ini dapat dipergunakan
sebagai petunjuk pembentukan patahan pada kawasan morfologi yang
bersangkutan. Adapun kriteria yang dimaksud adalah:
a. beda tinggi yang relatif menyolok pada luasan daerah yang sempit.
b. pada posisi / elevasi yang sama, batuan yang terpisahkan oleh patahan
mempunyai resistensi yang berbeda menyolok
c. pembentukan dataran / depresi yang sempit memanjang.
d. sistem gawir (escarpment) yang lurus (pola kontur memanjang, lurus,
lengkung dan rapat), dan di bawahnya banyak pemunculan mata-air, atau
temuan bukit-bukit terisoler (isolated hills) yang batuan pembentuknya
banyak kesamaannya dengan batuan pembentuk perbukitan utama
e. kelurusan sungai melalui zona patahan, dan mendadak membelok dan
menyimpang dari arah umum.
f. pembelokan dan perpindahan deretan perbukitan atau pegunungan
g. pembentukan sanding segitiga (triangular facets) pada hanging wall
h. diindikasikan oleh pembentukan tipe pola penyaluran rektanguler, trelis,
contorted, dan modifikasi dari ketiganya

21
Gambar 6.6 Kenampakan triangular facets yang mengindikasikan adanya
sesar

22
BENTANG ALAM DENUDASIONAL

VII.1. Definisi Bentuk Lahan Asal Denudasional


Denudasi berasal dari kata dasar nude yang berarti telanjang, sehingga
denudasi berarti proses penelanjangan permukaan bumi. Bentuk lahan asal
denudasional dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk lahan yang terjadi
akibat proses-proses pelapukan, erosi, gerak masa batuan (mass wasting)
dan proses pengendapan yang terjadi karena agradasi atau degradasi
(Herlambang, Sudarno. 2004:42). Proses degradasi cenderung menyebabkan
penurunan permukaan bumi, sedangkan agradasi menyebabkan kenaikan
permukaan bumi.
a. Ciri-ciri Bentuk Lahan Asal Denudasional
Ciri-ciri dari bentuk lahan asal denudasioanal, yaitu:
 Relief sangat jelas: lembah, lereng, pola aliran sungai.
 Tidak ada gejala struktural, batuan massif, dep/strike tertutup.
 Dapat dibedakan dengan jelas terhadap bentuk lain
 Relief lokal, pola aliran dan kerapatan aliran menjadi dasar utama untuk
merinci satuan bentuk lahan.
 Litologi menjadi dasar pembeda kedua untuk merinci satuan bentuk lahan.
Litologi terasosiasi dengan bukit, kerapatan aliran,dan tipe proses.

b. Proses Terbentuknya Bentuk Lahan Asal Denudasional
Denudasi meliputi proses pelapukan, erosi, gerak masa batuan (mass
wating) dan proses pengendapan/sedimentasi
1. Pelapukan
Pelapukan (weathering) dari perkataan weather dalam bahasa
Inggris yang berarti cuaca, sehingga pelapukan batuan adalah proses yang
berhubungan dengan perubahan sifat (fisis dan kimia) batuan di permukaan
bumi oleh pengaruh cuaca. Secara umum, pelapukan diartikan sebagai proses
hancurnya massa batuan oleh tenaga Eksogen
Jenis-jenis pelapukan
a. Pelapukan fisik (mekanis), yaitu pelapukan yang disebabkan oleh
perubahan volume batuan, dapat ditimbulkan oleh perubahan kondisi
lingkungan (berkurangnya tekanan, insolasi, hidrasi, akar tanaman,
binatang, hujan dan petir), atau karena interupsi kedalam pori-pori atau
patahan batuan.
b. Pelapukan kimiawi, yaitu pelapukan yang ditimbulkan oleh reaksi kimia
terhadap massa batuan. Air, oksigen dan gas asam arang mudah bereaksi
dengan mineral, sehingga membentuk mineral baru yang menyebabkan
batuan cepat pecah.
c. Pelapukan organik, yaitu pelapukan yang disebabkan oleh mahkluk hidup,
seperti lumut. Pengaruh yang disebabkan oleh tumbuh tumbuhan ini
dapat bersifat mekanik atau kimiawi.

23
2. Gerakan massa batuan (mass wasting)
Yaitu perpindahan atau gerakan massa batuan atau tanah yang ada di
lereng oleh pengaruh gaya berat atau gravitasi atau kejenuhan massa air.
3. Erosi
Erosi adalah suatu proses geomorfologi, yaitu proses pelepasan dan
terangkutnya material bumi oleh tenaga geomorfologis baik kekuatan air,
angin, gletser atau gravitasi. Faktor yang mempengaruhi erosi tanah antara
lain sifat hujan, kemiringan lereng dari jaringan aliran air, tanaman penutup
tanah, dan kemampuan tanah untuk menahan dispersi dan untuk menghisap
kemudian merembeskan air kelapisan yang lebih dalam.
Klasifikasi bentuk erosi :
 Erosi percik (splash erotion), ialah proses percikan partikel-partikel tanah
halus yang disebabkan oleh pukulan tetes air hujan terhadap tanah dalam
keadaan basah (Yunianto, 1994).
 Erosi lembar (sheet erosion) adalah erosi yang terjadi karena pengangkutan
atau pemindahan lapisan tanah yang hampir merata ditanah permukaan
oleh tenaga aliran perluapan.
 Erosi alur (rill erosion). Erosi ini terjadi karena adanya proses erosi dengan
sejumlah saluran kecil (alir) yang dalamnya <30 cm, dan terbentuk
terutama dilahan pertanian yang baru saja diolah. Erosi ini dimulai dengan
genangan-genangan kecil tempat-tempat di suatu lereng, maka bila air
dalam genangan itu mengalir, terbentuklah alur-alur bekas aliran air
tersebut
 Erosi parit (channel erosion). Erosi ini terbentuk sama dengan erosi alur,
tetapi tenaga erosinya berupa aliran lipasan dan alur-alur yang terbentuk
sudah sedemikian dalam sehingga tidak dapat dihilangkan dengan
pengolahan tanah secara biasa.
4. Sedimentasi atau Pengendapan
Sedimentasi adalah proses penimbunan tempat-tempat yang lekuk
dengan bahan-bahan hasil erosi yang terbawa oleh aliran air, angin, maupun
gletser (Suhadi Purwantara, 2005:74). Sedimentasi tidak hanya terjadi dari
pengendapan material hasil erosi saja, tetapi juga dari proses mass wasting.
Namun kebanyakan terjadi dari proses erosi. Sedimentasi terjadi karena
kecepatan tenaga media pengangkutnya berkurang (melambat). Berdasarkan
tenaga alam yang mengangkutnya sedimentasi dibagi atas : Sedimentasi air
sungai (floodplain dan delta), air laut, angin, dan geltsyer.

VII.2. Satuan Bentuk Lahan Asal Denudasioal


a. Pegunungan Denudasional
Karakteristik umum unit mempunyai topografi bergunung dengan lereng
sangat curam (55>140%), perbedaan tinggi antara tempat terendah dan
tertinggi (relief) > 500 m. mempunyai lembah yang dalam, berdinding terjal
berbentuk v karena proses yang dominan adalah proses pendalaman
lembah.

24
b. Perbukitan Denudasional
Mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan lereng berkisar
anatara 15>55%, perbedaan tinggi antara 50-500m. Terkikis sedang hingga
kecil tergantung pada kondisi litologi, iklim, vegetasi penutup daik alami
maupun tataguna lahan.Salah satu contoh adalah pulau berhala, hamper
72,54 % pulau tersebut merupakan perbukitan dengan luas 38,19 ha.
Perbukitan yang berada dipulau tersebut adalah perbukitan denudasional
terkikis sedang yang disebabkan oleh gelombang air laut serta erosi
sehingga terbentuk lereng-lereng yang sangat curam.
c. Dataran Nyaris (Peneplain)
Akibat proses denudasional yang bekerja pada pegunungan secara terus
menerus, maka permukaan lahan pada daerah tersebut menurun
ketinggiannya dan membentuk permukaan yang hamper datar yang disebut
dataran nyaris
d. Perbukitan Sisa Terpisah (inselberg)
Apabila bagian depan perbukitan mundur akibat proses denudasi dan
lereng kaki bertambah lebar secara terus menerus akan meninggalkan
bentuk sisa dengan bentuk lereng yang curam.
e. Kerucut Talus (Talus cones) atau kipas koluvial (coluvialvan)
Mempunyai topografi berbentuk kerucut dengan lereng curam (35). Secara
individu fragmen batuan bervariai dari ukuran pasir hingga blok, tergantung
pada besarnya cliff dan batuan yang hancur.

25
BENTANG ALAM FLUVIAL

VIII.1. Proses Fluviatil


Aliran air merupakan agen dominan pengubah morfologi. Bahkan
dapat dinyatakan tidak akan terbentuk jenis morfogenesa apapun
tanpa menyertakan peranan aliran air alami. Proses geomorfik yang diageni
oleh aliran air disebut proses fluvial, dan dalam proses berlaku pula proses
fisik maupun kimia. Jenis dan intensitasnya tergantung pada bebatuan
yang terkena proses, kompetensi aliran air dengan segala karakternya,
iklim setempat, gradien temperatur, curah hujan, dan ketinggian tercakup
di dalamnya adalah sudut lereng, jarak yang ditempuh sejak mengerosi
sampai dengan mendeposisi, dan rentang waktu yang diperlukan untuk
berlangsungnya proses
Media proses fluvial dominan melalui sungai (fluvius, bahasa
Latin). Sungai dalam setiap tingkatan statusnya mulai dari masih berupa
alur tidak tetap (gullies, ephemeral streams), berkembang menjadi sungai
musiman (intermittent streams), dan kemudian menjadi sungai tetap
(perennial stream); semuanya mempunyai peranan mengerosi dan
mengangkut massa batuan untuk dibentuk menjadi endapan di lokasinya
yang baru. Sungai merupakan agen dominan pengangkut sedimen yaitu
hampir 90%, dan selebihnya diageni berturut-turut gletser, air tanah,
gelombang, angin, dan volkanisme.
Proses fluvial layaknya proses geomorfik yang lain, dalam aksinya
secara berurutan melakukan aktivitas mengerosi, mengangkut (transportasi),
dan mengendapkan (deposisi). Pada setiap aktivitas mempunyai kekhasan
tertentu.

VIII.2. Macam-macam Proses Fluviatil


8.2.1 Proses Erosi
Perilaku erosi fluvial terhadap bebatuan, mengikuti alur menggerus
tanpa diikuti pelapukan kimia (abrasi / abrasion), kalau disertai pelapukan
kimia maka disebut melakukan korosi (corrosion), apabila pengerusan terjadi
pada dasar sungai disebut scouring, dan selalu terjadi pengdongkelan
(quarrying).
proses erosi menghasilkan pendalaman (deepening, erosi vertikal),
pelebaran (widening, erosi lateral) arah kiri dan kanan, dan pemanjangan
(lengthening, erosi memanjang) baik ke arah hulu maupun hilir. Erosi vertikal
yang menghasilkan pendalaman lembah sungai, terjadi efektif pada ruas
sungai bagian hulu, namun tidak tertutup kemungkinan terjadi pula di bagian
ruas yang lain. Ada kekhasan hasil erosi vertikal pada dasar sungai yang
tersusun oleh batuan volkanik maupun karbonat yang berukuran pasir
atau lempung. Kekhasan yang dimaksud adalah pembentukan pot hole
drilling dengan kenampakan ceruk-ceruk soliter yang dangkal (skala
sentimeteran) pada dasar sungai. Erosi lateral, erosinya mengarah ke
samping, dan dominan terjadi pada ruas tengah - hilir suatu alur sungai,
sehingga dihasilkan sungai bertambah lebar. Erosi ke arah hulu (head ward
erosion, up stream erosion), berarti erosi terjadi pada ujung bagian hulu
sungai, menghasilkan sungai bertambah panjang, tetapi ada akibat yang
berkepanjangan yaitu matinya salah satu sungai (stream capture) yang
keduanya beraktivitas erosi ke hulu. Erosi akan berlangsung terus sampai
dengan energi aliran tidak mempunyai kompetensi lagi untuk mengerosi.

26
Lokus dengan kondisi seperti itu disebut aras erosi (base level of erosion).
Aras erosi dibagi menjadi dua, yaitu aras erosi sementara (temporary base
level of erosion), dan aras erosi mutlak (ultimate base level of erosion). Aras
erosi sementara merupakan cekungan pengendapan setempat, lokasi di
daratan, aliran air akan terhenti di situ, tetapi untuk sementara, dan pada
waktu yang lain ada peluang air akan mengalir lagi dan beraktivitas normal.
Contoh aras erosi sementara antara lain cekungan setempat (locally basin),
danau (lake), rawa (swamp), dan lain-lain Menurut pemikiran lama, aras
erosi mutlak adalah pantai lokasi dimana aliran sungai berakhir, tetapi
menurut pemikiran baru lokasi aras erosi mutlak baru akan tercapai pada
kedalaman laut paling dalam di suatu kawasan, antara lain pada
pembentukan kipas alluvial bawah laut.

8.2.2 Proses Transportasi


Transportasi adalah proses perpindahan / pengangkutan bebatuan hasil
erosi oleh aliran air sungai. Suksesi proses perpindahan ditentukan oleh
kapasitas sungai (stream capacity), dan kompeten sungai (stream
competence). Kapasitas sungai adalah jumlah maksimum endapan yang
mampu diangkut oleh air sungai. Kompeten sungai adalah ukuran maksimum
endapan yang terangkut sungai.
Sungai dalam mengangkut endapan hasil erosi melalui dua mekanisme,
yaitu sebagai endapan/beban dasar (bed load) dan melayang
(suspended load) bersamaan dengan aliran. Mekanisme endapan dasar
terjadi apabila endapan terangkut sepanjang dasar sungai, dibedakan
menjadi tiga cara, yaitu terseret (traction), menggelinding (rolling), dan
melompat (saltation). Mekanisme transportasi endapan melayang, yaitu
apabila endapan terangkut melayang dalam tubuh air sungai, dibedakan
menjadi melayang/suspensi (suspension) yang kejadiannya endapan
bercampur dengan air, dan terlarut (solution) dalam air untuk kemudian
membentuk larutan kimia.

8.2.3 Proses Sedimentasi


Sedimentasi proses fluvial dapat juga disebut agradasi, terjadi apabila
kapasitas dan kompeten air sungai berubah menjadi lebih kecil dibandingkan
dengan keadaan sebelumnya. Proses sedimentasi mulai aktif berlangsung
pada bagian sungai berstadia dewasa. Perubahan akan berakibat sungai tidak
mampu lagi mengangkut endapan yang dibawa, dan endapan mengalami
sedimentasi dengan urutan yang berukuran lebih kasar akan diendapkan
terlebih dahulu, kemudian endapan yang lebih halus.

Gambar 8.1 Profil Sungai


27
sedimentasi berlangsung di kaki lereng dari suatu tinggian morfologi,
alur sungai dan sekitar, dan di kawasan muara sungai. Sedimentasi di kaki
lereng tinggian morfologi terjadi pada pembentukan pedimen (pediment),
dan kipas aluvial (alluvial fan). Kipas aluvial tidak hanya terbentuk di
daratan, di kaki lereng perbukitan-pegunungan struktural atau glasial, tetapi
juga di dasar laut di kaki morfologi lereng – benua (continental slope).
Jenis-jenis bentukan morfologi dari hasil sedimentasi di alur sungai dan
meliputi endapan dataran aluvial (alluvial plain deposits), endapan dataran
limpah banjir (flood plain deposits), gosong tepi (point bars) pada sisi lekuk
dalam (slip of slope), gosong tengah (channel bars) di tengah alur, gosong
rentang (splay bars) yang terbentuk di bagian lekuk luar sungai (cut off
slope). Sedimentasi di muara membentuk morfologi delta. Faktor-faktor
pembentukan delta adalah pasokan endapan yang terangkut sungai dan
proses asal laut seperti arus dan

Gambar 8.2 Pembagian sungai yang proses pengendapannya efektif

Sedimen yang dihasilkan proses fluvial mempunyai ciri-ciri tekstur,


struktur, dan tubuh tertentu, hal ini terkait dengan kapasitas maupun
kompeten air sebagai media utama. Teksturnya berukuran mulai dari
bongkah (>256 mm) sampai dengan lempung (1/256 mm), dengan kemas
tertutup (closed fabric). Jenis-jenis struktur sedimen yang terbentuk meliputi
perlapisan: laminasi ( < 1 cm) – masif ( > 1 m), pilihan (graded bedding),
silang siur (cross bedding), susunan atap genting / imbrikasi (imbrication).
Tekstur dan struktur tersebut terekspresikan pada tubuh sedimen yang
tampak sebagai berlapis memanjang, lensa-lensa, atau membaji
(wedging). Periodisasi atas sedimen fluvial yang terbentuk pada Zaman
Kuarter dengan menerapkan konsep morfostratigrafi yang dikenalkan
pertama kali oleh Frye and Wilmann pada awal tahun 1960-an.
Morfostratigrafi tidak hanya dapat diberlakukan untuk sedimen fluvial
saja, tetapi juga dapat diterapkan pada endapan Kuarter lainnya, terbentuk
di daratan seperti endapan glasial, dan endapan eolian.

28
VIII.3. Pola Penyaluran
Rangkaian proses fluvial dapat dilakukan secara individu oleh satu
sungai, tetapi umumnya merupakan integrasi dari sejumlah sungai,
membentuk jejaring sungai yang disebut dengan pola penyaluran (drainage
pattern). Dengan demikian unsur yang harus terpenuhi dalam satu kawasan
pola penyaluran yaitu adanya beberapa sungai yang bergabung,
menghasilkan kenampakan/pola tertentu, cakupan kawasannya tertentu yang
di bagian terluar dibatasi oleh garis (imajiner) pembagi sungai / stream
divide.

Jenis pola penyaluran dasar :


a. Tegaklurus (rectangular), memberikan kenampakan baik individu maupun
bergabungnya dengan sungai utama/induk membentuk sudut
tegaklurus. Pola ini berkembang pada daerah structural geologi
yang sistematik (teratur).
b. Tulang pohon (dendritic), kenampakannya serupa dengan percabangan
pohon, percabangannya membentuksudut lancip. Control
pembentukannya adalah daerah yang resistensi batuannya seragam,
kalau batuan sediment kedudukannya datar atau hampir datar. Kontrol
struktur tidak dominan .
c. Sejajar (parallel), dibentuk oleh gabungan sungai yang individunya
saling sejajar. Pengontrolnya adalah daerah dengan lerengnya
mempunyai kemiringan yang nyata, dan berkembang pada batuan yang
bertekstur halus dan homogen.
d. Teralis/trellis (trellis), dicirikan oleh perpaduan antara anak sungai dengan
sungai induk tampak tegaklurus / hampir tegaklurus. Sungai
utamanya biasanya mengalir searah dengan jurus perlapisan batuan
atau jurus struktur geologi mayor lainnya. Anak-anak sungai akan
dominan terbentuk dari erosi pada batuan sedimen yang mempunyai
resistensi rendah.
e. Menjari (radial), berkembang pada daerah morfologi cembung atau
cekung dan terkontrol oleh sudut lereng dari morfologi. Dari pola ini
dikenal dua tipe, yaitu tipe memencar (radial centrifugal) yang
terbentuk pada daerah struktur kubah (dome) muda, pada kerucut
gunung api dan pada bukit-bukit yang berbentuk kerucut. Tipe
yang lain adalah mengumpul (radial centripetal), berkembang
pada daerah struktur cekungan (basin) atau depresi yang luas.
f. Melingkar (annular), adalah pola pengaliran dimana sungai atau
anak sungainya mempunyai penyebaran yang melingkar dan
menjari, sering dijumpai pada daerah kubah berstadia dewasa.
Pola ini merupakan perkembangan dari pola radier. Pola penyaluran
ini melingkar mengikuti jurus perlapisan batuannya.
g. Multi basinal adalah pola pengaliran yang tidak sempurna, kadang nampak
di permukaan bumi, kadang tidak nampak. Pola ini berkembang pada
kawasan karst atau morfologi gurun.
h. Contorted, adalah pola pengaliran dimana arah alirannya berbalik /
berbalik arah. Kontrol struktur yang bekerja berupa pola lipatan yang
tidak beraturan yang memungkinkan terbentuknya suatu tikungan atau
belokan pada lapisan sediment yang ada.

29
Gambar 8.3 Jenis Pola Penyaluran dasar

VIII.4. Macam-macam Bentang Alam Fluviatil


Bentang alam fluviatil dapat dibedakan menjadi beberapa macam
berdasarkan proses pembentukkannya, antara lain :

 Sungai Teranyam (Braided Stream)


Sungai teranyam terbentuk pada bagian hilir sungai yang memiliki
slope hampir datar – datar, alurnya luas dan dangkal Sungai teranyam
terbentuk karena adanya erosi yang berlebihan pada bagian hulu sungai
sehingga terjadi pengendapan pada bagian alurnya dan membentuk
endapan gosong tengah. Karena adanya endapan gosong tengah yang
banyak, maka alirannya memberikan kesan teranyam. Keadaan ini
disebut juga anastomosis( Fairbridge, 1968).

Gambar 8.4 Sketsa Sungai Teranyam


30
 Bar deposit
Bar deposit adalah endapan sungai yang terdapat pada tepi atau
tengah dari alur sungai. Endapan pada tengah alur sungai disebut gosong
tengah (channel bar) dan endapan pada tepi disebut gosong tepi (point
bar).Bar deposit ini bisa berupa kerakal, berangkal, pasir, dll.

Gambar 8.5 Endapan gosong tengah dan gosong tepi.

 Dataran banjir ( Floodplain) dan Tanggul alam (Natural levee)


Sungai stadi dewasa membentuk dataran banjir dengan mengendapkan
sebagian material yang terangkut saat banjir pada sisi kanan maupun
kiri sungai. Seiring dengan proses yang berlangsung kontinyu akan terbentuk
akumulasi sedimen yang tebal sehingga akhirnya membentuk tanggul alam..
Material pembentuk tanggul alam berasal dari material hasil transportasi
sungai saat banjir dan diendapkan di luar saluran sehingga membentuk
tanggul-tanggul sepanjang aliran.

 Kipas Aluvial (alluvial fan)


Bila suatu sungai dengan muatas sedimen yang besar mengalir
dari bukit atau pegunungan, dan masuk ke datarn rendah, maka akan
terjadi perubahan gradien kecepatan yang drastis, sehingga akan
terjadi pengendapan material yang cepat, yang dikenal sebagai Kipas
aluvial . Biasanya meruapakn suatu onggokan material lepas, berbentuk
seperti kipas, biasanya terdapat pada suatu dataran di depan suatu gawir.
Biasanya pada daerah kipas aluvial terdapat air tanah yang melimpah. Hal ini
dikarenakan umumnya kipas aluvial terdiri dari perselingan pasir dan
lempung sehingga merupakan lapisan pembawa air yang baik.

Gambar 8.6. Kenampakan Kipas Alluvial.


31
 Meander dan Danau tapal Kuda ( Oxbow Lake)
Menurut C.R. Twidale (1975), meander adalah bentukan pada
dataran banjir sungai yang berbentuk kelokan karena pengikisan tebing
sungai sampai radius tertentu. Sedangkan daerah alirannya disebut
sebagai
Meander Belt. Menader ini dapat terbentuk apabila pada suatu sungai
yang berstadia dewasa/tua dimana mempunyai dataran banjir yang cukup
luas, aliran sungai melintasinya dengan tidak teratur sebab adanya
pembelokan aliran Pembelokan ini terjadi karena ada batuan yang
menghalangi sehingga lairannya membelok dan terus melkaukan penggerusan
ke batuan yang lebih lemah. Sedangkan danau tapal kuda terbentuk apabila
lengkung meander terpotong oleh pelurusan air. Disebut danau tapal kuda
sebab bentuknya mirip dengan bentuk tapal kuda.

(a) (b)

Gambar 8.7. Kenampakan Meander (a) dan Danau Tapal Kuda (b)

 Delta
Delta adalah bentang alam hasil sedimentasi sungai pada bagian hilir
setelah masuk pada daerah base level. Selanjutnya akan dibahas dalam
bentang Alam Pantai dan Delta.

VIII.5. Bentang Alam Fluvial Dalam Peta Topografi


Dalam peta topografi standar, sebagaian dari bentang alam fluvial tidak
terekspresikan, utamanya yang berukuran kecil, misalnya gosong sungai,
tanggul alam. Sebagian bentang alam yang berukuran besar (terpetakan)
dapat terekspresikan dalam peta topografi, misalnya kipas aluvial.
Dalam peta topografi alur sungai tampak jelas pada pola konturnya yang
khas sepanjang alur sungai tersebut. Alur-alur sungai ditandai oleh kontur
yang meruncing ke arah hulu sungai.

32
VIII.6. Aplikasi
Daerah-daerah yang termasuk bentang alam fluvial merupakan daerah
yang sangat potensial untuk dapat dimanfaatkan bagi kehidupan manusia,
khususnya di sekitar aliran sungai. Daerah sekitar aliran sungai merupakan
daerah yang potensial untuk dijadikan wilayah penambangan didukung oleh
sesumber yang banyak terdapat di dalam sungai , misalnya sebagai pen
yedia air irigasi, untuk air minum, dan material pasir batu ( B.G. gol C) yang
terdapat di situ dapat dijadikan sebagai bahan bangunan.
Selain sesumber yang ada, daerah aliran sungai juga merupakan
sesumber bencana seperti banjir, dan tanah longsor. Analisa geomorfologi
terhadap bentang alam ini dapat memberikan informasi tentang kondisi
geologi suatu daerah, yang akan terekspresikan dalam pola penyaluran
dalam skala luas, dan dalam bentukan bentukan bentang alam lokal,
seperti kipas alluvial, dataran banjir, dan sejenisnya. Analisa tersebut
juga akan memberikan informasi tentang stadia daerah maupun stadia
erosi daerah yang terkait, yang akan memberikan kontribusi pemikiran dalam
rencana pengembangan wilayah.

33
BENTANG ALAM MARINE
IX.1. Delta
Delta merupakan daerah yang penting untuk penduduk yang berfungsi
untuk tempat tinggal, daerah pertanian dan perikanan. Istilah delta pertama
kali digunakan oleh Herodotus (sejarawan Yunani) pada 490 SM yang melihat
bahwa bentuk endapan Sungai Nil di Mesir menyerupai huruf D (atau
Delta dalam bahasa Yunani). Delta berkaitan sekali dengan bencana banjir di
pesisir, gelombang air laut, erosi gelombang air laut dan badai angin menuju
ke laut. Selain itu ada beberapa faktor yang mempengaruhi terbentuknya
delta yaitu : iklim, debit air, produk sedimen, energi gelombang, proses
pasang surut, arus pantai, kelerengan paparan dan bentuk cekunan penerima
dan proses tektonik.

9.1.1 Proses yang MemPengaruhi Pembentukan Delta


a) Iklim
Iklim berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi dalam semua
komponen dari system sungai. Pada daerah tropis, penyediaan volume air
permukaan besar. Pelapukan fisika dan kimia berpengaruh terhadap tingkat
sedimentasi. Pada lingkungan pengendapan beriklim tropis juga dijumpai
pengawetan material organic seperti gambut yang terdapat didaerah delta.

b) Debit Air
Debit sungai tergantung dari faktor iklim yang dapat mempengaruhi
bentuk geometri dari delta. Kecenderungan air sangat penting terhadap
kecepatan dan pola pertumbuhan suatu delta. Delta dengan debit air dan
sedimennya tinggi serta konstan tiap tahunnya (Delta Missisipi),
menghasilkan suatu tubuh pasir yang panjang dan lurus serta umumnya
membentuk sudut yang besar terhadap garis pantai. Sebaliknya bila produk
sediment serta variasi debit air tiap tahunnya berbeda, maka terjadinya
perombakan tubuh-tubuh pasir yang tadinya diendapkan, oleh proses-proses
laut dan cenderung membentuk tubuh delta yang sejajar dengan garis pantai.

c) Produk Sedimen
Pengaruh produk sediment dalam pembentukan suatu delta
sangatlah besar artinya. Delta tidak akan terbentuk jika produk sedimennya
terlalu kecil.

d) Energi Gelombang
Perkembangan suatu garis pantai pada muara sungai sangat dipengaruhi
oleh energi gelombang sepanjang pantai tersebut. Energi gelombang
merupakan mekanisme penting dalam merubah dan mencetak sediment delta
yang berada dilaut menjadi suatu bentuk tubuh pasir didaerah pantai.

34
e) Proses Pasang Surut
Beberapa delta mayor didunia didominasi oleh aktifitas pasang yang
kuat. Diantaranya adalah delta Gangga-Brahmanaputra di Bangladesh dan
delta Ord di Australia.
f) Arus Pantai
Arus pantai mengorientasikan tubuh-tubuh pasir hingga berbentuk
sejajar atau hamper sejajar dengan arah aliran sungai.
g) Kelerengan Paparan
Kelerengan paparan benua sangat berperan dalam menentukan
pola perpindahan delta, yang terjadi dalam waktu yang cukup lama.
h) Bentuk Cekungan Penerima dan Proses Tektonik
Bentuk cekungan penerima merupakan pengontrol terhadap
konfigurasi delta serta pola perubahannya. Daerah dengan tektonik yang
aktif dengan akumulasi sediment yang sedikit, sulit terbentuk delta.
Sebaliknya untuk daerah dengan tektonik pasif dan akumulasi sediment yang
banyak akan terbentuk delta yang baik pula.

9.1.2 Syarat-syatrat terbentuknya delta


a) Arus sungai pada bagian muara mempunyai kecepatan yang minimum
b) Jumlah bahan yang dibawa sungai sebagai hasil erosi cukup banyak
c) Laut pada daerah muara sungai cukup tenang
d) Pantainya relative landau
e) Bahan-bahan hasil sedimentasi tidak terganggu oleh aktifitas air laut
f) Tidak ada gangguan tektonik (kecuali penurunan dasar laut seimbang
dengan pengendapan sungai, misal Delta Missisipi)

9.1.3 Unsur-unsur dasar delta


a) Sungai : sebagai sarana pengangkut material
b) Distributary Channel
c) Delta Plain : bagian delta yang berada didaratan, umumnya merupakan
rawa-rawa
d) Delta Front / Delta Slope : bagian delta yang berada didepan delta plain,
dan merupakan laut dangkal
e) Pro Delta : bagian terdepan dari delta yang menuju laut lepas

9.1.4 Klasifikasi Delta


1. Menurut Fisher, dkk (1969)
Dasar klasifikasinya adalah :
a. proses fluvial dan influks sediment
b. Proses laut (gelombang dan arus bawah permukaan)
Fisher membagi delta menjadi 3 (tiga) kelas, yaitu :
1. Cuspate Delta
2. Lobate Delta
3. Elongate Delta/Bird Food Delta

35
Gambar 9.1 Unsur-unsur dasar delta (Allen and Chambers, 1998)

2. Menurut Galloway (1975)


Galloway membagi delta berdasarkan dominasi proses fluvial, gelombang
dan pasang surut, yaitu :
a. Bird Food Delta : jika pengaruh fluvial paling dominan
b. Cuspate Delta : jika pegaruh gelombang paling dominant
c. Estuarine Delta : jika pengaruh pasang surut paling dominan

Gambar 9.2 Klasifikasi Delta berdasarkan Fisher (1969


36
Gambar 9.3 Klasifikasi Delta berdasarkan Galloway(1975)

Ada2 hal yang penting untuk diperhatikan :

IX.2. Bentang Alam Pantai


Pantai adalah jalur atau bidang yang memanjang, tinggi serta lebarnya
dipengaruhi oleh pasang surut dari air laut, yang terletak antara daratan dan
lautan (Thombury, 1969). Faktor-faktor yang mempengaruhi bentuk
morfologi pantai tersebut antara lain : pengaruh diatropisme, tipe
batuan, struktur geologi, pengaruh perubahan naik turunnya muka air laut,
serta pengendapan sedimen asal daratan/sungai, erosi daratan dan angin.
Daerah pantai yang masih mendapat pengaruh air laut dibedakan
menjadi 3,yaitu:
a. Beach (daerah pantai), yaitu daerah yang langsung mendapat pengaruh
air laut dan selalu dapat dicapai oleh pasang naik dan pasang surut.
b. Shore line (garis pantai), yaitu jalur pemisah yang relatif berbentuk baris
dan relatif merupakan batas antara daerah yang dapat dan tidak dapat
dicapai air laut.
c. Coast (pantai), yaitu daerah yang berdekatan dengan laut dan masih
mendapat pengaruh dari air laut.

9.2.1 Klasifikasi Pantai


Ada berbagai klasifikasi pantai dengan dasar yang bermacam-macam
pula dari berbagai penyusun yang berbeda. Dalam bagian ini akan dibahas
klasifikasi pantai dari yang sifatnya klasik hingga yang modern.

37
9.2.1.1 Klasifikasi Pantai secara klasik
Klasifikasi ini dikemukakan oleh Johnson (1919) yang didasarkan pada
karekteristik geomorfik yang disebabkan oleh ayunan muka laut. Keuntungan
klasifikasi pantai ini adalah pembagiannya yang sederhana.
Sedangkan kelemahannya sulit diterapkan, karena kebanyakan pantai
telah dipengaruhi oleh penenggelaman selama transgresi laut kala Holosen
dan naiknya muka laut padafase antara glasial selama Pleistosen. Johnson
(1919) mengelompokkan pantai menjadi:

1. Pantai Tenggelam (submergence coast)


Pantai yang dibentuk karena penenggelaman daratan atau naiknya
muka laut. Dicirikan oleh garis pantai yang tidak teratur, adanya pulau-pulau
di depan pantai, teluk yang dalam, dan lembah-lembah yang turun. Contoh
pantai ini adalah:
a) Pantai Ria : pantai yang sebelum teggelam telah mengalami erosi darat,
teratarna erosi fluvial.
b) Pantai Fyord : pantai yang sebelum tenggelam mengalami proses
glasiasi.

Kenampakannya pada peta topografi ditunjukkan dengan garis pantai


yang tidak teratur, garis kontur berkelok-kelok tidak beraturan, pantainya
relatif curam, ditandai dengan adanya garis kontur yang relatif rapat dan
perkampungan di sekitar pantai umumnya tidak sejajar dengan garis pantai.

2. Pantai Naik (emercgence coast)


Pantai yang dibentuk oleh majunya garis pantai ataupun turunnya
muka laut. Pantai ini dicirikan oleh garis pantai yang relatif lurus, relief-relief
rendah, terbentuknya undak-undakan pantai dan gosong pantai atau
tanggul-tanggul dimuka pantai.
Kenampakan pada peta topografi ditandai dengan garis pantai yang
relatif lurus (kontur lurus), pantai yang relatif landai (garis kontur
renggang), perkampungan umumnya relatif sejajar dengan garis pantai.

3. Pantai Netral
Pantai yang tidak mengalami penenggelaman ataupun penaikkan dan
biasanya dicirikan oleh adanya garis parftai yang relatif lurus, pantainya
landaidan ombak tidak besar. Beberapa contoh pantai ini antara lain, Pantai
delta, Pantaidataran aluvial, Pantai gunungapi, Pantai terumbu karang dan
Pantai sesar.
Kenampakan pada peta topografi adalah dengan adanya delta
plain, alluvial plain, dll; biasanya garis kontur renggang, benfuk garis
pantainya relative lurus melengkung dalsungai dibagian muara
mempunyai banyak cabang, yang seolah-olah mempunyai pola sungai
berbentuk pohon (dendritik).

38
4. Pantai Campuran
Pantai yang mempunyai kenampakan lebih dahulu terbentuk daripada
yang lain. Seperti kenampakan undak pantai, lembah yang tenggelam, yang
merupakan hasil dari naik turunnya permukaan air laut.
Kenampakan pada peta topografi adalah dengan adanya dataran
pantai teras-teras (emergence), adanya teluk-teluk dengan kontur yang
relatif rapat (submergence), dan perkampungan tidak teratur.

9.2.1.2 Klasifikasi Pantai secara Genetik dan derkriptif


Klasifikasi ini disusun oleh Valentine (1952). Ia mengemukakan bahwa
kestabilan muka laut dipengaruhi oleh fluktuasi iklim dan ketidakstabilan
diastrofik selama masa Kuarter. Valentine (1952) menggabungkan pengaruh
muka laut dan dinamika pantai yang sebagian secara genetik dan sebagian
secara deskriptif (Sharma, 1986). Susunan klasifikasi pantai menurut Valentine
(1952) dikutip Sunarto (1991) :

9.2.1.3 Klasifikasi Pantai berdasarkan tenaga geomorfik


Shephard (1963) dikutip Sunarto (1991) mengelompokkan pantai
menjadi 2 (dua).
1. Pantai primer(muda)
Pantai primer terbentuk oleh tenaga-tenaga dari darat (erosi, deposisi
darat gunung api, sesar dan lipatan).
Macam-macam pantai primer
a. Pantai karena erosi dari daratan . Erosi baik oleh sungai maupun glasial
sebelum mengalami pengangkatan.
i. Pantai erosi fluvial yang tenggelam, misalnya pantai ria
ii. Tenggelamnya lembah-lembah glasial, misalnya pantai Fyord.

39
b. Pantai yang dibentuk oleh pengendapan asal darat.
i. Pantai hasil pengendapan fluvial, misalnya pantai delta, pantai
daratan aluvial yang turun (pantai semarang)
ii. Pantai pengendapan fluvial, misalnya sebagai morena yang
tenggelam atau sebagai drumline yang tenggelam.
iii. Pantai yang karena pengendapan pasir oleh angin (progranding sand
dune)
iv. Meluasnya tumbuh-tumbuhan pada pantai atau rawa bakau yang
luas (contohnya pantai di dekat Townsvill, timur laut Queensland,
Australia)

c. Bentuk pantai akibat aktivitas volkanisme.


i. Pantai yang dipengaruhi oleh aliran lava masa kini. Cirinya adalah
jika lavanya bersifat basa, maka bentuk pantai tak teratur, kalau
bersifat asam maka bentuk pantai lebih teratur.
ii. Pantai amblesan volkanik dan pantai kaldera

d. Pantai yang terbentuk akibat adanya pengaruh diatropisme atau


tektonik.
i. Pantai yang terbentuk karena patahan.
ii. Pantai yang terbentuk karena lipatan.

2. Pantai Sekunder (Pantai dewasa)


Pantai sekunder terjadi dari hasil proses laut, meliputi erosi laut,
deposisi laut dan bentukan organik.
Macam-macam pantai sekunder
a. Bentuk pantai karena erosi laut
i. Pantai yang berliku-liku karena erosi gelornbang
ii. Pantai terjalyang lurus karena erosi gelombang
b. Bentuk pantar karena pengendapan laut
i. Pantai yang lurus karena pengendapan gosong pasir (bars) yang
memotong teluk.
ii. Pantai yang maju karena pengendapan laut.
iii. Pantai dengan gosong pasir lepas pantai (offshore bars and
longshore spit)

Kelebihan klasifikasi ini adalah pembagiannya yang lengkap, tetapi


kelemahannnya sulit diterapkan untuk menentukan pantai primer yang telah
berubah karena proses-proses laut, sehingga pantai ini tidak jelas termasuk
pantai primer atau sekunder (Sharma, 1986).
9.2.1.4 Klasifikasi Pantai secara Klimato-genetik
Davies (1980) dikutip Sunarto (1991) mengklasifikasikan pantai secara
klimato-genetik. Klasifikasi ini didasarkan pada hubungan antara energi
gelombang dengan morfologi pantai, serta memperhatikan signifikasi
peninggalan sejarah dan aspek-aspek geologis dalam evolusi pantai.

40
Berdasarkan aspek klimato-genetik, pantai dapat diklasiflkasikan
menjadi 3 macam, yaitu:
1. Pantai Lintang Rendah
Pantai ini dicirikan oleh energi gelombang rendah dan lingkungan angin
pasat. Sedimen pantai banyak, sehingga banyak pantai berbatu di daerah
tropis. Ada beberapa pantai yang terjadi dari karang dan ganggang. Terdapat
hubungan antara variasi morfologi pantai dan wilayah hujan. Mangrove
tumbuh di daerah beriklim tropis panas-basah, sedangkan gumuk pantai
terdapat di lingkungan yang beriklim tropik panas-kering.
2. Pantai Lintang tengah
Pantai ini terdapat di lingkungan gelombang berenergi tinggi. Karena
aktivitas gelombang dan abrasi bertenaga tinggi itu, maka cliff dan
bentukan yang berasosiasi dapat berkembang dengan baik.
3. Pantai Lintang tinggi
Pantai ini dicirikan dengan gelombang berenergi rendah. Kebanyakan
merupakan sisa-sisa pembekuan. Gisik terbentuk dengan dominasi kerikil dan
kerakal. Perkembangan morfologi cliff dipengaruhi kuat oleh gerakan massa
batuan dalam skala besar.
Selain klasifikasi di atas, berdasarkan elevasinya maka pantai dapat
dibagi menjadi :
1) Pantai dengan elevasi rendah

Gambar 9.4 Pantai dengan elevasi rendah


2) Pantai dengan elevasi tinggi

Gambar 9.5 Pantai dengan elevasi tinggi

41
9.2.2 Proses-proses di pantai

GEOMORFOLOGI BAWAH LAUT


Setelah adanya penelitian dasar laut dengan gelombang elektronik
berkembang, maka pengetahuan tentang bentuk permukaan bumi pada dasar
laut ikut berkembang pula. Anggapan bahwa dasar laut merupakan cekungan
yang maha luas, datar dengan sedikit relief lambat laut menjadi hilang
IX.3. Macam Bentuk Lahan Bawah Laut/Samudera
Heezen dan wilson (1968, dari Gunter et al., 1980) mengklasifikasikan
bentuk lahan dasar samudera menjadi 3 bagian yang paling penting, yaitu
Tepi benua (continental margin), cekungan laut dalam (deep-sea basin),
punggungan tengah samudera (mid-ocean ridge) .
Pembagian ini secara lebih singkat dapat diperinci dengan gambar
berikut :

Gambar 9.6 Klasifikasi bentang alam dasar samudera (Heezen & Wilson,
1968, dlm Gunter et,al.,1980)

42
Menurut Edward Suess 1831 1914, Wilayah benua dan samudra
bersambung membentuk satu kesatuan wilayah yang saling terkait. Bagian
Penampang Samudra yaitu.
a. Lantai Abisal yaitu lantai dasar samudra dengan kedalaman kurang
dari 3000. Misalnya dasar samudra Pasifik, dasar samudra Hindia, den
samudra Atlantik.
b. Palung Laut yaitu jurang di dasar laut yang dalam; terbentuk di
daerah sepanjang zona tumbukan antara lempeng benua dan
lempeng samudra yang berada di dasar laut. Misalnya palung sunda,
palung jepang, palung filiphina, palung new Britain dan palung Izu.
c. Igir tengah samudra (mid oceanic ridge) yaitu jalur gunung api yang
memanjang di tengah samudra. Jalur ini merupakan pusat pemekaran
(spreading center) yang menyebabkan benua-benua pecah dan bergeser
letaknya. Jalur ini juga merupakan pusat-pusat gempa bumi. Misalnya
igir tengah samudra atlantik.
Kondisi dasar samudera dari daerah yang dekat dengan dataran
hingga ke arah laut lepas maka akan didapati kekhasan topografi bawah
samudera. Subramanian (1986) secara umum membagi geomorfologi
bawah samudera menjadi tujuh bagian yang mudah dikenali yaitu :
pantai, paparan benua, laras benua, dasar cekungan samudera, palung
samudera, dataran tubir, dan punggungan tengah samudera.

Gambar 9.7 Kenampakan kondisi topografi bawah samudera (Subramanian,


1986)

Gambar 9.8 Gambaran kondisi geomorfologi bawah laut sederhana (Keith


Stowe, 1978)

43
Bloom (1978), mendasarkan kepada kedalaman dan bentuk struktur geologi
membagi bentuk lahan dasar samudera menjadi 2 propinsi, yaitu :
 Tepi benua (continental margin )→bagian yang lebih kecil.
 Dasar laut dalam (deep-seafloor) → bagianyang lebih luas.
Stowe (1978) berpendapat bahwa kondisi bawah samudera secara
geomorfologis dapat dibagi menjadi : paparan (shelf), lereng(slope),
jendulan (rise), cekungan samudera (ocean basin), sistem punggungan
tengah samudera (Mid Oceanic Ridge System), dan kenampakan lain
yang lebih kecil yang terdapat pada dasar samudera.
9.3.1 Tepi Benua
Tepi benua padabagian paling tepi disebut laras benua
(continental shelfl. Kelerengannya landai dari pantai sampai kedalaman
150 - 200 m. pada akhir dari laras (shelf break) kelerengannya menjadi
curam secara tiba-tiba disebut lereng benua (continental slope). Bagian di
bawah tepi benua yang menumpang di atas kerak samudera
menyerupai tinggian disebut jendulan benua (continental rise).
Kenampakan laras benua, lereng benua dan jendulan benua menunjukkan
tepi pasif (passive margin) dari benua pada lempeng litosfer.
a) Laras Benua (Continental Shelfl)
Sekitar 15 % dari bentang lahan bawah samudera merupakan laras
benua dan lereng benua (Menard & Smith, 1969, dalam Bloom, 1978).
Laras benua didefinisikan sebagai dataran atau teras yang dangkal dari
pantai ke arah laut suatu benua yang dibatasi oleh kelerengan yang
menjadi curam secara tiba-tiba dengan kedalaman berkisar 20 - 200 m
(Shepard, 1973, dalam Bloom, 1978). Lebar rata-rata dari laras benua
adalah 75 kmdengan kelerengan 0°07' (sekitar 2m/ km). Akumulasi
sedimen pada laras benua 70 % nya merupakan hasil deposisiyang terjadi
sewaktu muka at laut mengalami regresi.
b) Lereng benua (Continental Slope)
Lereng benua adalah kenampakan permukaan topografi yang
paling tinggi, paling curam dan paling panjang di dasar laut (Dietz, 1964,
dalam Bloom, 1978). Dari batas laras benua, kedalaman sekitar 200 m,
lereng benua menunjam sepanjang 1 - 3 km menuju puncak dari jendulan
benua pada kedalaman 1500 m dengan kelerengan sekitar 4°17'
(sekitar 75m/km). Gawir yang curam pada lereng benua terjadi oleh
control struktur, beberapa lereng benua merupakan gawir patahan.
9.3.2. Dasar Laut Dalam
a. Jendulan Benua (Continental Rise)
Pada Jendulan benua terakumulasi sedimen dengan jumlah sangat
besar dan membaji (mencapai ketebalan hingga 6 km) memanjang hingga
300 – 600 Km dihitung dari dasar lereng. Sedimen tersebut berasal dari
laras benua, dan merupakan akumulasi sedimen yang terbesar yang
terdapat di bumi (Emery, et al., 1970, dalam Bloom, 1978) Sedimen pada
jendulan benua tersusun oleh endapan pelagik berbutir halus, campuran
massa air bersamaan lumpur, pasir dan kerikil terbawa oleh masa aliran
arus pekat dan gerakan massa bawah samudera. Kipas bawah samudera
merupakan bagian terluar dari jendulan benua. Pada kipas ini terdapat
44
lembah-lembah bermeander berfungsi sebagai kanal yang secara episodik
membawa aliran lumpur dari lereng benua (Shepard & Dill, 1966, dalam
Bloom, 1978). Lembah tersebut tampak berbentuk percabangan menyebar
(distributary).

b. Dataran Tubir (Abyssal Plain) dan Bukit-bukit tubir (Abyssal hills)


Sekitar 42 % dari dasar samudera, atau hampir mencapai 30 % dari
permukaan bumi, merupakan dataran tubir dan perbukitan tubir (Menard &
Smith, 1966, dalam Bloom, 1978). Kedalamannya berkisar 3 - 6 km di
bawah muka air laut dengan ketinggian bukit tubfu mencapai beberapa
ratus hingga 1000 m dari dasar samudera dan merupakan fungsi dari
umur kerak samudera. Dari hasil pemotretan diketahui bahwa perbukitan
tubir terbentuk dari basalt pahoehoe (Bonatti, 1967,Ballard, et.al., 1975,
dalam Bloom, 1978). Beberapa bukit tubir merupakan lakolit, tetapi hampir
semuanya adalah blok patahan (Luyeniyk, 1970, Ballard & Van Andel, 1971,
dalam Bloom, 1978).

c. Punggungan Tengah Samudera (Mid Ocean Ridge)


Punggung tengah samudera merupakan barisan pegunungan bawah
samudera pada kedalaman laut kurang dari 4 km, tetapi pada sisi-sisinya
merupakan samudera yang lebih dalam. Lebar bentuk lahan ini mencapai
ribuan km dengan ketinggian mencapai 2 km, dan agihannya mencapai
sepertiga dari bentuk lahan samudera (Bloom, 1978). Punggung tengah
samudera adalah bagian paling muda dari kerak samudera yang
membentuk dasar samudera, dan hanya memiliki lapisan/sedimen yang
tipis di atasnya. Bentuk lahan ini dicirikan oleh adanya kompleks sesar
geser (transform fault).

d. Cekungan Samudera(Ocean Basin)


Cekungan samudera berada antara lereng benua dan sistem
punggungan tengah samudera dan mempunyai rata-rata kedalaman 4000 -
6000 m. Luas cekungan samudera ini merupakan 30% dari luas
keseluruhan permukaan bumi. Pada dasar Cekungan samudera ini terdapat
ratusan hingga ribuan abyssal hill. juga kadang seamount.

e. Seamount dan guyot (gunung api bawah samudera)


Sebagian kecil dari dasar samudera terdiri dari gunung api. terisolasi
atau merupakan pegunungan yang bukan merupakan bagian dari punggung
tengah samudera. Elevasi yang menjulang sekitar 3 - 4 km dari dasar
samudera sampai beberapa ratus meter di bawah permukaan laut. Gunung
api bawah samudera dengan puncak berupa kerucut vulkanik disebut
seamount, sedangkan yang berpuncak datar biasa disebut guyot (Hess.
dalam Bloom, 1978). puncak yang datar dari guyot ini selain akibat
erosi. juga dapat terbentuk oleh erupsi vulkanik.

45
Gambar 9.9 Kenampakkan Guyot dan seomount pada cekungan dasar
samudera (Wesiberg,1974)

f. Palung Samudera (trench) dan Busur Kepulauan (Island arc)


Bagian paling dalam dari samudera tidak terletak di tengahnya,
tetapi pada bagian dekat tepi. Sekitar setengah dari tepi benua dibatasi
oleh palung yang, memiliki kedalaman sampai 2 kali kedalaman dasar
samudera. Palung samudera adalah suatu jalur yang terjal, sempit dan
memanjang pada dasar samudera yang dapat mencapai kedalaman 10.000
m. Keberadaan palung pada umumnya selalu berasosiasi dengan busur
kepulauan, yaitu rangkaian- pulau- pulau atau busur punggungan yang
memisahkan laut dangkal dengan laut dalam serta sering merupakan pusat
gempa dan aktivitas vulkanisme.

IX.4. Morfologi Bawah Samudera Minor


Ada beberapa bagian dari morfologi bawah samudera/laut yang
lebih kecil bentuk dan ukurannya yaitu plato, palung samudera, reef dan
atol.

1. Plato
Terdapat sejumlah bagian kerak benua yang terangkat ke permukaan
laut berupa dataran membentuk pulau kecil, Tingginya sekitar 1-2 km di
atas dasar laut. Kerak pada bagian plato ini lebih tebal lika dibanding
sekitarnya. Sifat keraknya sama dengan kerak benua. Sebagian dari plato
ini terbentuk dari sisa kerak benua masa lampau geologi, atau hasil
pengerjaan vulkanik lokal.

2. Reef dan Atol


Di daerah dengan kondisi air laut hangat, kedalaman dasar laut
berkisar 50 m, kondisi air laut jernih, jauh dari delta atau sungai maka
akan sangat menguntungkan bagi pertumbuhan koral. Koral ini akan
berkoloni membentuk kelompok besar yang disebut reef. Apabila reef ini
tumbuh di sekitar pulau kecil sisa vulkanik atau suatu plato, maka
koloni koral ini akan tumbuh mengelilingi pulau tersebut, sebagai akibat
erosi atau mengalami penurunan muka air laut makayang tersisa hanya
koloni koral ini yang berbentuk cincin yang biasa disebut atol.

46
BENTANG ALAM KARS
X.1. Pendahuluan
morfogenesa kars merupakan roman muka bumi yang terbentuk oleh
batugamping yang kaya rongga-rongga mengalami pelarutan oleh air,
manifestasi di atas permukaan tanah tampak bukit-bukit kerucut dan
sejenisnya, penyaluran permukaan jarang dan lebih banyak sebagai sungai
bawah permukaan mengalir di lorong-lorong gua.
Persyaratan pembentukan morfogenesa kars meliputi:
1. batuan (batugamping dan dolomit yang dominan) yang terlarut
mempunyai tebal perlapisan kategori masif (minimal 1 m), tebal
keseluruhan batuan cukup, porus, kompak, keras, mengalami diagenesa
di darat yang menghasilkan sistem rongga tertentu atau bidang ketidak
menerusan / diskontinu,
2. pembentukan struktur geologi (kemiringan, kekar, sesar, pengangkatan)
yang pada kelanjutannya menghasilkan retakan, peronggaan, dan
tinggian morfologi
3. keterlibatan mikrobia/bakteri, utamanya yang ada pada ujung perakaran
tetumbuhan yang hidup di batuan yang gampang terlarut
4. iklim (temperatur udara, curah hujan, kelembaban) yang pada waktunya
akan mendukung berkembangnya erosi, (kimia/pelarutan, mekanik /
pemecahan batuan), karstifikasi, dan pemanfaatan lahan
Karstifikasi atau proses pembentukan morfogenesa (topografi) karst,
proses pelarutan air hujan terhadap batugamping merupakan proses
utama. Pelarutan melibatkan dua hal, yaitu batuan terlarut dan unsur
pelarut.
a. Batugamping dan dolomit akan mudah mengalami pelarutan secara
intensif apabila berada dekat dengan permukaan tanah (Thornbury, 1969).
Batuan lain (batuan evaporit) seperti gipsum dan batugaram dapat terlarut
dan membentuk morfogenesa kars, tetapi kurang lazim. Agar efektif
mengalami pelarutan, batugamping dan dolomit harus bersifat kompak,
keras, terkekarkan secara intensif dan ketebalannya cukup.
b. Pelarutan, merupakan salah satu jenis dari pelapukan kimiawi
dengan agen air. Proses ini merupakan reaksi hidrolisis, dengan indikasi
antara lain pembentukan asam karbonat (H2CO3) yang termasuk jenis
senyawa asam yang bersifat korosif. Sifat korosif ini akan mempercepat
proses pelarutan terhadap batugamping (CaCO3).
Reaksi pelarutan dalam pembentukan topografi kars terdiri dari
beberapa tahapan (Ritter, 1978), antara lain :

47
Reaksi pelarutan dalam batugamping merupakan sistem reaksi kimia
CaCO3 -, CO2-, dan H2O. Reaksi ini sangat kompleks dan mekanismenya
sangat rumit, oleh karena itu Ritter (1978) menyederhanakan reaksi
tersebut menjadi :
CaCO3 + H2O + CO2 (terlarut) Ca2+ + 2HCO3-
Reaksi larutan tersebut merupakan reaksi yang terbalikkan.
Keterbalikan reaksi ini merupakan fungsi dari kandungan karbondioksida
(CO2) dalam air (H2O). Pada waktu kandungan karbondioksida (CO2)
meningkat maka reaksi berjalan kekanan atau disebut reaksi pelarutan,
sedangkan pada waktu kandungan karbondioksida (CO2) menurun maka
reaksi berjalan kekiri atau disebut reaksi pengendapan.
Menurut Ritter (1978), tahapan pembentukan topografi kars melalui
diawali dengan perubahan sifat penyaluran dari permukaan menjadi aliran
bawah permukaan (sub drainage). Pada tahapan ini akan membentuk
doline, dan lembah-lembah di permukaan. Tahapan selanjutnya
pembentukan bukit-bukit terpisah (isolated hills), kemudian diakhiri dengan
pembentukan corrosional peneplain
X.2. Klasifikasi Bentang Alam Kars
Berdasarkan ukuran, pembentukan morfologi kars ada tiga tingkatan,
yaitu kars mikro, minor, dan makro/mayor. Kars mikro, apabila
identifikasinya melalui mikroskop. Bentukan ini ekspresi diagenesa
batugamping pada stadium 7-8 yang menandai kejadiannya di daratan,
dicirikan pembentukan pori sekunder tipe vuggy (Longman, 1981). Kars
minor, kenampakannya tampak mata. Pembentukan kars minor masih
terbatas pada permukaan batuan, dengan kenampakan berupa alur, parit,
dan ceruk-ceruk dangkal. Kenampakan tersebut tidak dapat diidentifikasi
melalui media apapun selain ke lapangan. Morfologi kars yang sudah dapat
disebut kars makro/mayor, artinya perkembangan karsnya sudah tampak
pada roman muka bumi.
Berdasarkan kriteria keberadaan kars secara geografi dan iklim,
Sweeting (1972, dikutip, Tjia, 1987) membagi kawasan kars menjadi kars
tulen (holokarst), glasiasi (glaciokarst), fluvial (fluviokarst), tropik (tropical
karst), dan kars iklim kering (arid karst).
Keberadaan kawasan kars terhadap permukaan tanah sebagai kriteria,
menghasilkan pembagian eksokars, endokars. Eksokars apabila
keberadaannya di atas permukaan tanah di sekitarnya, kenampakan yang
menyolok dan mudah dikenali adalah bukit kerucut atau sejenisnya, dan
cekungan/depresi luas yang kadang-kadang terisi air menjadi telaga.
Apabila pembentukan kars di bawah permukaan tanah, maka disebut
endokars, dengan bentukan utama berupa gua-gua kars kadang disertai
pembembentukan telaga di dasarnya atau aliran sungai bawah tanah (sub
drainage) melalui lorong-lorong gua.
Klasifikasi kars dengan kriteria pembentukannya terkait dengan
batuan alas (basement rocks) di bawahnya, menghasilkan pembagian
menjadi merokars, dan, holokars. Penyebutan merokars, apabila
pembentukannya tidak sempurna, dikarenakan kemungkinan batuan
terlarut relatif tipis, atau keberadaan batuan alas dangkal di bawah
batugamping. Holokars berarti pembentukan kars berkembang sempurna,
tidak terhalang oleh keberadaan batuan alas.
Kriteria stadia erosi kawasan merupakan salah satu klasifikasi klasik,
dan dihasilkan pembagian menjadi kars muda, dewasa, dan tua. Kars muda
memperlihatkan tinggian-tinggian roman muka bumi kars, perkembangan
pembentukan lembah-lembah belum terintegrasi, penyaluran permukaan

48
(surface drainage) masih berkembang. Kars dewasa dicirikan mulai
pembentukan bukit kerucut atau sejenisnya disebabkan media erosi sudah
terintegrasi, antara lain membentuk lembah-lembah yang lebar, bahkan
cenderung mulai berubah menjadi penyaluran bawah tanah. Kars tua
dicirikan oleh kerucut-kerucut yang rendah-terpisah kadang-kadang dalam
jarak cukup jauh, semua penyaluran menjadi bawah tanah.
Dengan fokus perhatian kepada pelarutan sebagai kriteria klasifikasi,
maka dikenal kars konstruksional, dan kars sisa/destruksional. Uraian dari
dua tipe ini akan dirinci seperti di bawah ini.

10.2.1 Kars konstruksional


Bentuk kars konstruksional adalah bentuk topografi yanng dibentuk
oleh proses pelarutan batugamping atau pengendapan material karbonat
yang dibawa oleh air. Berdasarkan ukurannya, topografi konstruksional
dapat dikelompokkan menjadi 2 macam, yaitu bentuk-bentuk minor dan
bentuk-bentuk mayor. Menurut Bloom (1979), yang dimaksud dengan
bentang alam kars minor adalah bentang alam yang tak dapat diamati pada
foto udara atau peta topografi, sedang bentang alam mayor adalah bentang
alam yang dapat diamati baik di dalam foto udara maupun peta topografi.
Bentuk kars konstruksional dalam ujud eksokars antara lain :
1. Kars split, adalah celah pelarutan yang terbentuk di permukaan
batugamping, merupakan kumpulan beberapa kars-runnel (solution
runnel) yang saling berpotongan. Apabila karts split tumbuh kembang
memanjang, akan membentuk parit kars
2. Palung kars adalah alur yang besar dan lebar pada permukaan batuan
terlarut dengan struktur perlapisan horizontal atau miring landai, dan
terkontrol pula oleh struktur yang memanjang. Kedalaman alur sampai
lebih dari 50 cm.
Lapies (bahasa Perancis) / Karren (bahasa Jerman) / clints (bahasa
Inggeris) adalah bentuk tidak rata pada permukaan batugamping akibat
pelarutan, penggerusan atau karena proses lain. Sementara Ritter (1978)
mengklasifikasikan lapies menjadi dua kelompok, yaitu yang mempunyai
bentuk lurus dan melingkar / seperti bulan sabit (Tabel 5.1).

Tabel 5.1. Klasifikasi lapies (Ritter, 1978)


Bentuk Nama Keterangan
Berupa lekukan halus, lurus, kedalaman
Linier Solution 1-2
cm, lebar kira-kira 2 cm, seragam, panjang
(Kurva flutes 10
cm – beberapa meter, antar celahnya
linier) dibatasi
oleh pematang yang tajam, terorientasi
searah
dengan slope.
Berupa alur terbatas, dalamnya kira-kira
Solution 40
cm, lebar 40 –50 cm, panjang lebih dari 2
runnels m,
bila terjadi pada kekar/bidang
perlapisan
disebut grikes.

49
Berupa gelembur gelombang yang tegak
Solution lurus
terhadap slope, tingginya 10-50 cm,
ripple terbentuk
pada permukaan yang miring curam.
Berupa lubang kecil pada permukaan
Melingkar Rain pits yang
datar, diameter 3 cm, dalamnya kira-kira 2
(bulan cm,
sabit) terbentuk oleh tetesan air hujan.
Solution Berupa cekungan dengan lantai yang
pans datar,
dalamnya 1-50 cm, lebar 3cm – 3 m,
terbentuk
pada batuan dasar yang tertutup vegetasi.
Berupa jejak (treads) dan lereng (scarps)
Solution yang
datar dan licin, panjang treads 20 cm – 1
bevels m,
tinggi scarps 3-5 cm, terbentuk oleh
gerakan
air di atas batuan dasar yang miring
rendah.

Bentukan kars konstruksional kategori topografi kars mayor adalah :


1. Surupan (dolines) / sink / sink-hole, adalah depresi tertutup hasil pelarutan
dengan diameter mulai beberapa meter sampai beberapa kilometer,
kedalamannya mencapai ratusan meter dan bentuknya dapat bundar atau
lonjong/oval Jenning (1971, dalam Bloom 1978) membagi surupan menjadi
lima macam, yaitu surupan runtuhan (collapse doline), surupan pelarutan
(solution doline), subsidence doline, subjacent karst collapse doline dan star
shape doline
2. Uvala, adalah depresi tertutup yang besar, terdiri dari gabungan beberapa
doline, lantai dasarnya tidak rata. Ukuran diameter berkisar 5–1.000 m dan
kedalamannya berkisar 1–200 m, dindingnya curam.
3. Polje, adalah depresi tertutup yang luas (minimal dalam satuan kilometer
persegi) dengan lantai datar dan dinding yang curam, bentuknya tidak
teratur dan biasanya memanjang searah jurus perlapisan atau zona lemah
struktural. Pembentukannya dikontrol oleh litologi dan struktur.
4. Jendela kars (karst windows), adalah lubang pada atap gua yang
menghubungkan antara ruang dalam gua dengan udara di luar,
pembentukannya akibat atap gua atau atap sungai bawah tanah menalami
runtuh.
5. Lembah kars (karst valleys), adalah lembah atau alur yang luas pada lahan
kars. Pembentukannya oleh erosi aliran air permukaan. Secara umum,
lembah kars dibedakan menjadi empat macam (Ritter, 1978), yaitu :
a. Allogenic valley, yaitu lembah yang bagian hulunya berada pada batuan
yang kedap air kemudian masuk ke dalam daerah kars.
b. Lembah buta (blind valley), yaitu lembah atau sungai pada lahan kars
yang secara tiba-tiba berakhir pada suatu tempat dan biasanya pada
akhir lembah ini sungai permukaan akan masuk ke bawah permukaan
(sub drainage). Apabila pada kondisi saat hujan lebat atau terjadi
50
pencairan es aliran dapat melewati lembah tersebut, maka lembah ini
disebut sebagai semiblind valley.
c. Pocket valley, yaitu lembah yang dimulai dari tempat keluarnya air yang
masuk melalui surupan. Pada umumnya pocket valley berassosiasi
dengan mata air yang besar yan keluar di atas batuan kedap air yang
terletak di bawah lapisan batugamping yang tebal. Lembah ini biasanya
berbentuk U dan memiliki tebing yang curam, ukurannya tergantung
besar kecilnya debit mata air yang keluar. Sweeting (1973, dalam Ritter
1978) menyebutkan bahwa ukuran lembah ini 1 - 8 km, dan
kedadalamnya 300 –400 m.
d. Lembah kering (dry valleys) terbentuk pada lahan kars, mirip dengan
lembah fluvial, kondisinya kering. Kemungkinan pernah menjadi aliran
sungai permukaan.
Bentuk kars konstruksional dalam tampilam endokars yang sangat
dikenal adalah gua kars dengan modifikasinya, dan pembentukan ornamen
baik pada atap atau dinding dan pada dasarnya. Rincian dari masing-masing
bentukan adalah sebagai berikut:
1. Gua kars (karst caves, karst caverns) adalah serambi atau ruangan bawah
tanah yang dapat dicapai dari permukaan dan cukup besar bila dimasuki
oleh manusia. Unsur yang ditemui pada bentukan ini adalah pembentukan
lorong memanjang baik lateral maupun vertikal, dan mulut/pintu pada
kedua ujungnya. Kalau jarak antara dua pintu tersebut (sangat, cukup)
pendek, maka akan tampak sebagai jembatan alam (natural bridge).
Pembentukan jembatan alam disebabkan oleh runtuhnya atap terowongan
alam, sehingga panjang terowongan berkurang (Von Englen, 1942). Apabila
lorong itu lebih panjang, Thornbury (1969) menyebutnya sebagai
terowongan alam (natural tunnel) dan masyarakat Gunungkidul menamakan
sebagai song untuk gua kering dengan lorong lateral yang relatif tidak
panjang, sedangkan apabila lorongnya vertikal disebutnya luweng. Gilleson
(1996, dikutip Kusumayudha, 2004) menginformasikan bahwa gua
mendatar terpanjang adalah Mammouth Cave System, USA, sejauh 531.069
m, sedangkan gua vertikal terdalam adalah Gua Reseau Jean-Bernard,
Perancis, sampai mencapai kedalaman 1.602 m.
2. Fitokars (phytokarst), adalah permukaan yang berlekuk-lekuk, dengan
perlubangan saling berhubungan. Antara lubang satu dengan lainnya
dibatasi oleh batuan yang tajam, sehingga memberikan bentuk seperti
bunga karang. Pembentukannya karena pengaruh aktifitas biologis algae
yang tumbuh di dalam batugamping. Algae menutup di permukaan dan
masuk ke bawah permukaan mencapai sekitar 0,2 mm ditengarai biota
tersebut menghasilkan larutan asam sebagai pelarut batugamping sehingga
membentuk perlubangan (Bloom, 1978).
3. Speleotem (Speleothems) adalah hiasan yang terdapat pada langit-langit,
dinding, atau lantai suatu gua kas. Pembentukannya diageni oleh tetesan,
aliran air, atau evaporasi di dalam gua. Bentukan endapan yang terdiri dari
mineral karbonat, mempunyai warna yang bervariasi, tergantung komponen
pengotor yang larut atau tercampur bersama-sama dengan air kars.
Ornamen hasil tetesan air disebut batu-tetes (dripstone), dimana ragam
bentuknya dipengaruhi oleh jenis mineral karbonat dan laju
pertumbuhannya. Pembentukan ornamen menggantung yang aneh,
misalnya tumbuh memancar, kesamping, bahkan berbelok dari bawah ke
atas, disebabkan karena kecepatan tumbuh kristal melebihi jumlah air yang
mengalir atau menetes. Batu-tetes terbentuk oleh tetesan air kars jatuh
secara bebas, baik dari langit-langit maupun dari dinding gua, sebagai
media tetesan adalah struktur geologi baik zone kekar ataupun celah bidang
perlapisan. Air yang muncul terakumulasi dan kemudian jatuh dengan
menguapkan CO2 dan mengendapkan kalsit sebelum menetes dan jatuh.
51
Tiap-tiap tetesan air akan menambah jumlah lapisan tipis yang memanjang
terhadap rongga kapiler yang terbentuk lebih dahulu yang disebut serutan
soda / soda straw / straw stalactite, garis tengah sentimeteran, dan saluran
kapiler utama di tengah-tengahnya hanya berdiameter 2-3 mm.
Speleotem menggantung lainnya tetapi
seukuran serutan soda, yaitu bottlebrushes, mammilaries (cave clouds),
pool fingers, helictite, draperies, moonmilk, ballons, blisters, showerheads,
flowers, popcorns, dan shileds.
a. Serutan soda menggambarkan pertumbuhan awal stalaktit, memiliki
diameter 4 sampai 6 mm dengan ketebalan 0,3 mm sampai lebih dari 1 mm.
b. Sikat-botol (bottlebrushes) terbentuk ketika batu-tetes tercelup pada kolam
atau genangan air pada gua untuk waktu yang lama, pertumbuhannya
terlapisi oleh pool spar yaitu kristal yang tumbuh di bawah air pada kolam
gua. Mammilaries atau awan gua (cave clouds) cara terbentuknya mirip
sikat-botol, hanya saja mammilaries tidak harus berasal dari batu-tetes.
c. Pool fingers adalah bentuk batu-tetes yang sangat jarang dan terbentuk di
air pada kolam gua. Heliktit adalah ornamen dengan bentuk pertumbuhan
ke segala arah, layaknya melawan gravitasi.
d. Draperies adalah endapan yang berasal dari larutan yang kaya akan kalsit
yang mengalir melalui dinding gua yang menggantung. Moonmilk adalah
campuran kalsit mikrokristalin dengan air dengan kandungan kalsitnya 35%-
70%. Sembilan puluh persen dari isi keringnya terdiri dari kalsit
(rhombohedral), biasanya sebagai lublinit (kalsit berbentuk mie tipis). Pada
batuan dolomit, moonmilk terdiri dari 0,05%-10% Mg-hidrokarbonat,
diantaranya hidromagnesit dan huntit.
e. Balon (balloons) adalah tipe ornamen berupa kantong yang berisi gas dan
berukuran kecil, terbuat dari hidromagnesit. Blisters agak menyerupai
balloons, tapi lebih umum dijumpai dan cenderung terbentuk dari variasi
mineral kristalin yang berukuran lebih besar, di dalamnya sering terisi
sedimen atau mineral yang komposisinya berbeda dengan batuan dinding.
f. Showerheads hanya ditemukan pada gua kars tropis, tumbuh dari langit-
langit tempatnya merembes, berbentuk seperti corong berlubang,
menyempit di bagian atas dan lebih luas di bagian bawahnya.
g. Bunga (flowers) adalah ornamen gua dengan bentuk kristal seperti bunga
yang berputar dari pusatnya dan berserat atau kristal prismatik yang
tumbuh dengan orientasi sejajar.
h. Berondong (popcorn) dapat dikenali dari bentuknya, pembentukannya
secara bergerombol, dan di ujungnya terdiri dari lapisan konsentris kalsit
mikrokristalin.
i. Perisai (shield) merupakan hasil rembesan air yang kaya kalsit dibawah
tekanan hidrostatik, terbentuk pada retakan kecil di dinding gua, langit-
langit atau atap lantai gua.
j. Pembentukan ornamen menggantung yang lebih besar garis tengahnya
(sampai beberapa meter) menghasilkan stalaktit (stalactite). Temuan
stalaktit di gua-gua Kars Gunungsewu, Kabupaten Gunungkidul DIY,
menarik untuk disimak, dikarenakan sampai diameter yang berukuran
kurang lebih 20 cm, bagian ujungnya miring (ada inklinasi, tidak vertikal) ke
arah luar gua. Apabila tetesan air jatuh dilantai gua, baru kemudian
mengalami pengkristalan, maka akan terbentuk stalagmit (stalagmite).
Bersambungnya stalaktit dan stalagmit akan menghasilkan tiang masif
(massive column). Pembentukan ornamen pada lantai gua kars diageni oleh
aliran air atau evaporasi. Sepertinya halnya pada langit-langit dan dinding
gua, banyak ragam ornamen yang terbentuk pada lantai gua kars, yaitu
stalagmit. flowstone, cave pearl, rimstone dam / gour dam, cave coral, cave
raft, dan dogtooth spar. Stalagmit, penyebab awalnya adalah tetesan
52
lanjutan pada waktu pembentukan stalaktit, namun dalam pertumbuhan
stalagmit seolah-olah pertambahan tinggi dan besarannya dari lantai gua.
k. Batualir (flowstone) terbentuk di atas dan mengikuti permukaan batuan
alas, sebagai endapan evaporasi menampakkan struktur lapisan laminasi,
kadang diikuti pembentukan kristal yang sempurna mengikuti bidang
laminasi.
l. Mutiara gua (cave pearl) pada kenyataannya merupakan nodul, dimana
mineral karbonat hasil evaporasi menyelimuti butiran intinya (core) yang
tidak harus butiran mineral karbonat. Pembentukan mutiara karbonat sangat
langka, dicontohkan adanya temuan di Luweng Jaran, Kabupaten Pacitan –
Jawa Timur. Rimstone dam / gour dam akan terbentuk apabila batuan
alasnya menampakkan bentukan undak-undakan dan kemudian diatasnya
mengalir air kars secara episodik.
m. Koral gua (cave coral) umum terbentuk pada lantai gua, terbentuk oleh
rembesan air tanpa saluran sentral, air keluar dari antara kristal-kristal,
struktur internal tampak banded yang konsentris.
n. Es kalsit (cave raft) terbentuk akibat presipitasi partikel ukuran kecil,
kenampakannya mengapung dan pada kondisi tertentu dia akan dapat
tenggelam. Dogtooth spar akan tumbuh kembang pada gua yang mengalami
penggenangan secara periodik, ornamen ini terbentuk oleh kristal karbonat
yang berbentuk scalenohedrons berwarna cerah dengan sifat transparan-
translusen.
10.2.2. Bentuk sisa
Yang dimaksud dengan bentuk morfologi sisa pelarutan adalah morfologi
yang terbentuk karena pelarutan dan erosi sudah berjalan sangat lanjut
sehingga meninggalkan sisa yang khas untuk lahan kars. Morfologi sisa dapat
berkembang baik terutama pada daerah yang beriklim tropis basah (Bloom,
1979). Macam-macam bentuk morfologi sisa yaitu :
1. Kerucut kars, adalah bukit kars yang berbentuk kerucut, berlereng terjal dan
dikelilingi oleh depresi yang biasanya disebut sebagai bintang (Ritter, 1978).
Kerucut kars sering disebut sebagai kegelkarst (bahasa Jerman). Pada
kenyataannya kerucut kars sering kali lebih mirip setengah bola dibanding
dengan bentuk kerucut (Lehman, 1963, dalam Bloom, 1979)(Gambar 5.17).
Depresi tertutup yan mengelilingi bukit sisa, yang biasanya berbentuk
bintang dan tidak teratur disebut sebagai cockpits, dan terbentuk oleh proses
pelarutan sepanjang zona kekar atau patahan (Sweeting. 1958 dalam Ritter,
1978).
2. Menara kars, adalah bukit sisa pelarutan dan erosi yang berbentuk menara
dengan lereng yang terjal, tegak atau menggantung, terpisah satu dengan
lainnya dan dikelilingi oleh dataran aluvial (Ritter, 1978). Menurut Jenning
(1971) dalam Ritter (1978), menara kars dan kerucut kars dibedakan dalam
hal keterjalan lereng dan adanya rawa/dataran aluvial yang mengelilinginya.
Menara kars disebut juga pepino hills atau haystacks atau turmkarst. Contoh
menara kars Indonesia adalah di Kabupaten Maros – Pangkep, Sulawesi
Selatan.
3. Mogote, adalah bukit terjal merupakan hasil sisa karstifikasi, umumnya
dikelilingi oleh dataran aluvial yang hampir rata. Bentuk mogote kadang
asimetri pada dua sisi tebing bukit yang berlawanan (Ritter, 1978). Mogote
dan menara kars dibedakan dari bentuk dan keterjalan lereng pada sisi-
sisinya.

53
BENTANG ALAM VOLKANIK
XI.1. Proses Volkanisme
Volkanisme adalah aktifitas alamiah keluarnya magma sampai di atas
permukaan bumi. Berdasarkan tinjauan dari sudut pandang tektonik global,
volkanisme terjadi akibat subdaksi dari kerak samudra,;yang melesak di
bawah kerak benua, seperti pada kejadian pembentukan cinicin api.
Peristiwa lain karena pemekaran kerak samudra di dasar laut, hal ini
terjadi pada pembentukan Kepulauan Hawaii. Gerakan magma keluar
ditentukan oleh kekentalannya yang dipengaruhi faktor kandungan gas di
dalamnya. Hasil volkanisme berupa padatan yang terdiri dari batuan volkanik
dengan berbagai ukuran. Selain itu dalam wujud gas dan likuid. Gerakan
magma bersama-sama gas dan likuid keluar di permukaan bumi selain
pembentukan lava, dengan media bebatuan volkanik melakukan pula
proses erosi, transportasi, dan agradasi.
Selain manifestasi hasil volkanisme mayor, terjadi pula volkanisme
minor yang menghasilkan ekshalasi gas fumarol, solfatara dan mofet serta
pembentukan volcanic neck. Volkanisme yangterjadi pada Zaman Kuarter
sebagian besar masih tampak pada roman muka bumi, dan dihasilkan
morfogenesa volkanik.

XI.2. Gunungapi
XI.2.1 Pengertian Gunung api
MacDonald (1972), berpendapat bahwa gunungapi adalah lubang tempat
keluarnya material volkanik yang terakumulasi di sekitarnya membentuk
gunung atau bukit. Rittmann (1961), menyatakan gunungapi adalah celah
tempat keluarnya magma. Berdasarkan batasan tersebut, gunungapi
merupakan bentang-alam, sebagai manifestasi gejala volkanisme.
Gunungapi merupakan suatu bentuk permukaan, sebagai
manifestasi gejala volkanisme yang melewati suatu sistem lubang tertentu
(diatrema). Gunungapi dibagi menjadi gunungapi aktif (active volcano),
gunungapi beristirahat (dormant) gunungapi padam (extinct). Di
Indonesia hampir ketiganya dikenal. Selain itu terdapat pula pembagian
berdasarkan waktu peletusannya dan jenis peletusannya. Akan tetapi kedua
dasar pembagian tersebut di atas tidak mempengaruhi roman muka
bumi (morfologi). Kenampakan morfologi gunungapi ditentukan tektur dan
sifat-sifat batuan pembentuk, dan umurnya (morfokronologi).
Gunungapi memiliki ciri yang khas meliputi bentuk, tipe erupsi
dan bebatuan yane dihasilkan. Perbedaan ini berhubungan erat dengan
komposisi magma dan letak gunungapi terhadap tatanan tektonik.

XI.2.2 Tipe Erupsi Gunungapi


1. Tipe Hawaii
Tipe gunungapi ini dicirikan oleh lava cair dan tipis yang
dalam perkembangannya akan membentuk tubuh gunungapi tipe
perisai. SifaT magma yang sangat cair memungkinkan terbentuk lava pijar
54
yang disebabkan oleh arus konveksi pada danau lava dan akan mancur,
dimana lava banyak mengandung gas, sehingga yang ringan akan
terlempar ke atas sedangkan yang berat setelah gas hilang akan tenggelam
lagi. Tipe ini banyak ditemukan di Hawaii, seperti di Gunung Kilauea dan
Gunung Maunaloa.
2. Tipe Stromboli
Tipe ini sangat khas untuk Gunung Stromboli dan beberapa gunungapi
lainnya yang sedang meningkat kegiatan volkanismenya. Magmanya
sangat cair, ke arah permukaan sering dijumpai letusan pendek disertai
ledakan. Bahan yang dikeluarkanberupa abu, bom, lapili dan setengah
padatanbongkah lava.
3. Tipe Volkano
Tipe ini dicirikan oleh awan debu membentuk bunga kol karena gas yang
ditembakkan ke atas meluas hingga jauh di atas kawah. Tipe ini memiliki
tekanan gas relatif sedang dan lavanya tidak begitu cair. Berdasarkan
kekuatan letusannya, tipe ini dibedakan menjadi tipe volkano kuat, contohnya
Gunung Vesusius dan Gunung Etna dan tipe volkano lemah, sebagai
contohnya Gunung Raung dan Gunung Bromo.
4. Tipe Merapi
Tipe ini dicirikan oleh lavanya yang kental, dapur magma relatif
dangkal dan tekanan gas yang agak rendah, akibatnya terjadi
pembentukan kubah lava, sementara bagian bawah dari sumbat lava
tersebut akan cenderung dalam keadaan masih cair. Kubah lava yang gugur
akan menyebabkan terjadinya awan panas guguran. Jika semakin tinggi
tekanan gas karena pipa kepundan tersumbat, maka akan menyebabkan
terjadinya letusan dan akan membentuk awan panas letusan.
5. Tipe Pele
Tipe ini memiliki kekentalan magma hampir sama dengan tipe
Merapi, tetapi tekanan gas kuat, sehingga ciri khasnya adalah adanya letusan
gas ke arah lateral.
6. Tipe Vincent
Tipe Vincent ini memiliki lava yang agak kental, tekanan gas sedang dan
terdapat danau kawah yang pada waktu meletus akan dimuntahkan
membentuk lahar letusan dengan suhu sekitar 100°C kemudian akan disusul
oleh pelontaran bahan lepas berupa bom, lapili dan awan pijar.
7. Tipe Perret atau Plinian
Tipe ini dicirikan oleh tekanan gas yang sangat kuat dan lava cair. Sifat
letusannya merusak diduga ada kaitannya dengan perkembangan
pembentukan kaldera.

55
Gambar 11.1 Tipe erupsi gunung api berdasarkan derajat kesamaan magma,
tekanan gas , kedalaman dapur magma (Escher, 1952; sumber:
http://smat.kridanusantara.com/lms/geografi/vulkanisme.html)

XI.2.3 Bentuk Gunungapi


Berdasarkan sifat erupsi dan bahan yang dikeluarkannya, ada 3 macam
bentuk gunungapi, yaitu:
1. Gunungapi perisai (shield volcano)
Gunungapi ini terjadi karena magma yang keluar sangat encer.
Magma yang encer ini akan mengalir ke segala arah sehingga membentuk
lereng sangat landai. Ini berarti gunung ini tidak menjulang tinggi tetapi
melebar.Contohnya: Gunung Maona Loa dan Maona Kea di Kepulauan Hawaii.
2. Gunungapi maar (maar volcano)
Gunungapi ini terjadi akibat adanya letusan eksplosif. Bahan yang
dikeluarkan relatif sedikit, karena sumber magmanya sangat dangkal dan
sempit. Gunung api ini biasanya tidak tinggi, dan terdiri dari timbunan
bahan padat (efflata). Di bekas kawahnya seperti sebuah cekungan yang
kadang-kadang terisi air dan tidak mustahil menjadi sebuah danau.
Misalnya Danau Klakah di Lamongan atau Danau Eifel di Prancis.
3. Gunungapi strato (strato volcano)
Gunungapi ini terjadi akibat erupsi campuran antara eksplosif dan efusif
yang bergantian secala terus menerus. Hal ini menyebabkan lerengnya
berlapis-lapis dan terdiri dari bermacam-macam batuan. Gunung api inilah
yang paling banyak ditemukan di dunia termasuk di Indonesia. Misalnya
gunung Merapi, Semeru, Merbabu dan Kelud

56
Gambar 11.2 Bentuk-bentuk gunungapi (sumber:
http://smat.kridanusantara.com/lms/geografi/vulkanisme.
html)

XI.2.4 Morfologi Gunungapi


Dari satu tubuh gunungapi dapat dikelompokkan menjadi tiga fasies,
yaitu fasies pusat (central facies), dekat (Proximal facies), dan jauh (destal
facies). Fasies pusat dicirikan oleh pembentukan banyak retas (dike) atau sill
yang menjari, sumbat kawah (plug) dan crumble breccia, zona hidrothermal,
kubah lava pada pusat erupsi, dan ukuran bebatuan kasar. Fasies dekat
dicirikan oleh pembentukan batuan terorientasi, pembentukan soil tipis hasil
pelapukan, ignimbrite dan welded tuff banyak terbentuk, dan pembentukan
kerucut parasit (trtarasitic cone). Fasies jauh dicirikan oleh batuan piroklastik
berukuran halus dan lahar, serta kadang terjadi letusan kenampakannya
berupa kerucut rendah dengan bagian puncak tampak cekung datar.

Gambar 11.3 Pembagian Fasies pada Gunungapi (sumber:


http://www.bgl.esdm.go.id)

57
XI.3. Macam-macam bentangalam Volkanik
11.3.1 Kubah Vulkanik
Merupakan morfologi gunungapi yang mempunyai bentuk cembung
ka atas. Morfologi ini dibedakan atas dasar asal kejadiannya menjadi :
1. Kerucut semburan atau kerucut perisai Morfologi ini terbentuk oleh erupsi
lava yang bersifat encer basaltis. Sedang lava yang bersifat granitis
menghasilkan morfologi kubah sumbat (plug dome)
2. Kerucut parasit (Parasitic Cone) Morfologi ini terbentuk sebagai hasil erupsi
gunung api yang berada pada lereng gunung api yang besar.
3. Kerucut silinder (Cilinder Cone) Merupakan kubah yang terbentuk oleh
letusan kecil yang terjadi pada kaki gunung api, berupa kerucut rendah
dengan bagian puncak tampak cekung datar.

11.3.2 Depresi Vulkanik


Depresi vulkanik adalah morfologi bagian vulkan yang secara umum
berupa cekungan. Berdasarkan material pengisinya, depresi vulkanik
dibedakan menjadi :
1. Danau Vulkanik
Danau vulkanik yaitu depresi vulkanik yang terisi oleh air sehingga
membentuk danau
2. Kawah
Yaitu depresi vulkanik yang terbentuk oleh letusan dengan diameter
maksimum 1,5 km, dan tidak terisi oleh apapun selain material hasil
letusan.
3. Kaldera
Yaitu depresi vulkanik terbentuknya belum tentu oleh letusan, tetapi
didahului oleh amblesan pada kompleks volkan, dengan ukuran lebih dari
1,5 km. Pada kaldera ini sering muncul gunung api baru.

Gambar 11.4 Proses pembentukan kaldera (sumber;


http://zonegeologi.blogspot.com)

58
11.3.3 Dataran Vulkanik
Secara relatif, dataran vulkanik dicirikan oleh topografi yang datar,
dengan variasi beda tinggi (relief) tidak menyolok. Macam-macam dataran
vulkanik diantaranya adalah : dataran rendah basal, plato basal, dan dataran
kaki vulkan.

11.3.4 Vulkanik semu


Vulkan semu adalah morfologi mirip kerucut gunung api, bahan
pembentuknya berasal dari vulkan yang berdekatan. Dapat pula terbentuk
oleh erosi lanjut terhadap suatu vulkan yang sudah lama tidak menunjukkan
kegiatannya (mati/dorman). Contoh morfologi vulkan semu ini adalah Gunung
Gendol di daerah Muntilan, Jawa Tengah pada dataran kaki vulkan gunungapi
Merapi.
Vulkan semu jenis lain adalah leher vulkanik (volcanic neck), yaitu
morfologi yang terbentuk bila suatu kubah vulkanik tererosi sehinggga tinggal
berbentuk kolom. Biasanya, di sekitar lajuran vulkanik tersebut sering
dijumpai retas yang memanjang (radial dike).

11.3.5 Morfologi lain


Morfologi-morfologi lain yang dihasilkan dari erupsi vulkanik antara lain yaitu ;
1. Morfologi hasil erupsi sentral
a. Dari magma encer ; Hornitos, exogenous dome
b. Dari Magma maderate; pyroclastic ring wall, indegeneous dome
c. Dari magma kental; Maar, Crater, Caldera
2. Morfologi hasil erupsi celah
a. Dari magma encer ; lava flow, lava plateau
b. Dari Magma maderate; Tanggul lava, strato volcano ridge
c. Dari magma kental; Endogenous ridge

XI.4. Dampak Lingkungan Gunungapi


Pada morfogenesa volkanik sebagai sumberdaya kebumian, di
dalamnya terkandung berbagai jenis sesumber, maupun bencana.
Sesumber yang ada antara lain keindahan bentang-lahan (landscape) yang
tercirikan oleh lembah dengan dinding bertebing terjal, panas bumi sebagai
sumber listrik dari proses hidrotermal yang terjadi di daerah gunung api
seperti yang diusahakan di pegunungan Dieng dan Lahendong, serta
sebagai daerah penyeimbang / pembagi hujan di daerah
sekitarnya.demikian pula gunung-gunung kecilnya; sebagai penutup
bentangan itu adalah pepohonan yang rindang, serta hawa yang sejuk.
Bebatuan yang dihasilkan oleh volkanisme sebagai sesumber bahan
galian industri, tidak ketinggalan sumberdaya air baku. Disamping itu
juga sebagai daerah pengisian (recharge) air tanah bagi daerah-daerah
sekitar gunung api seperti gunung Merapi untuk daerah sekitar Yogyakarta
dan daerah pertanian yang subur.
59
Selain potensial mengandung berbagai sesumber, morfogenesa volkanik
berpeluang sebagai sumber kebencanaan. Secara garis besar
kebencanaan akibat erupsi dapat dibagi menjadi dua yaitu bahaya
langsung (primer) dan bahaya setelah letusan (sekunder). Bahaya primer
akibat erupsi gunung api meliputi :

1. Aliran lava
Aliran lava yaitu terjadinya aliran batu cair yang pijar dan bersuhu
tinggi (sampai 1200 0 C ). Alirannya menuruni lereng yang terjal dan
dapat mencapai beberapa kilometer, sambil menghanguskan dan
membakar. Apabila melongsor akan menimbulkan awan panas.
2. Bom gunungapi
Bom gunung api berujud batuan yang panas dan pijar berukuran 10
cm – 2 m. batuan ini dapat terlempar dari pusat erupsi sejauh hingga 10
km. Bom ini dapat menimbulkan kebakaran lahan hutan, permukiman dan
pertanaian, serta Bila sampai di permukaan tanah akan mengeluarkan
letusan dan akan
hancur.
3. Pasir lapilli
Pasir dan lapilli adalah campuran material letusan yang ukurannya lebih
kecil dari bom (> 2 mm).Sedangkan lapilli lebih besar daripada pasir
hingga mencapai beberapa cm. Apabila terjadi letusan pasir dan lapilli
ini dapat terlempar hingga puluhan km, dapat menghancurkan atap rumah,
karena bebannya juga dapat merusak lahan pertanian hingga dapat
membunuh tanaman.
4. Awan Pijar
Awan pijar adalah suspensi dari material halus yang dihasilkan oleh
erupsi gunungapi dan dihembus oleh angin hingga mencapai beberapa
kilometer. Awan pijar ini merupakan campuran yang pekat dari gas, uap dan
material halus yang bersuhu tinggi (hingga 1200 0C). Suspensi ini berat
sehingga mengalir menuruni lereng gunungapi dan seolah-olah meluncur,
luncurannya dapat mencapai 10 – 20 km dan membakar apa yang dilaluinya
seperti yang terjadi pada Gunungapi Merapi pada tanggal 22 November 1994
yang memakan korban 60 orang terbakar hidup-hidup dan tak terhitung
lagi ternak yang mati terpanggang akibat letusan awan panas ini.
5. Abu Gunungapi
Abu ini merupakan campuran material yang paling halus dari suatu
letusan gunungapi. Suhunya bisa tidak panas lagi. Ukurannya kurang dari 1
mikron – 0,2 mm. Bahaya yang ditimbulkan antara lain bisa mengganggu
penerbangan seperti yang terjadi pada saat letusan Gunungapi Galunggung,
dapat menimbulkan sesak napas apabila terlalu banyak menghisap abu
gunung api dan menimbulkan penyakit silikosis. Yaitu penyakit yang
diakibatkan oleh penggumpalan silika bebas pada paru-paru yang
diakibatkan oleh terisapnya abu gunungapi yang mengandung silika bebas.

60
6. Gas beracun
Kadar gas yang tinggi dapat menimbulkan kematian. Gunungapi
biasanya mengeluarkan gas CO, CO2, H2S, HCN, H3As, NO2, Cl2, dan gas
lain yang jumlahnya sedikit. Nilai batas ambang untuk gas CO 50 ppm
(part per milion), CO2 5,00 ppm, sedangkan gas H3S yang sangat
mematikan pada 0,05 ppm. Gas yang dikeluarkan saat erupsi tidak begitu
berbahaya karena gas tersebut langsung terbakar pada saat terjadi letusan
gunungapi. Yang paling berbahaya adalah apabila gas tersebut
dikeluarkan pada sisa-sisa gunungapi seperti yang terjadi di Pegunungan
Dieng. Gas tersebut BJ-nya lebih besar dari udara bebas sehingga letaknya
berada pada daerah-daerah yang rendah seperti di lembah-lembah, dekat
permukaan tanah
7. Aliran lahar
Bahaya yang tidak kalah berbahayanya adalah bahaya setelah terjadi
letusan yaitu bahaya sekunder. Bahaya tersebut berupa bahaya aliran
lahar. Lahar terbentuk dari batuan yang dilemparkan dari pusat erupsi
baik block, bom, lapilli, tuff, abu, maupun longsoran kubah lava, apabila
terjadi hujan lebat yang turun bersamaan atau setelah erupsi maka
endapan material hasil erupsi tersebut akan terangkut oleh aliran air
membentuk aliran bahan rombakan yang biasa disebut aliran lahar. Aliran
lahar ini mempunyai kekuatan merusak yang besar dan akan melalui apa saja
yang ada di depannya tanpa kecuali baik pemukiman, hutan, tanah pertanian
maupun tanggul sungai yang dilaluinya.
Untuk menghindari bencana yang diakibatkan oleh letusan gunungapi ini
maka di setiap daerah gunungapi dibuat peta daerah bahaya yang
didasarkan pada potensi bencana yang ada baik primer maupun sekunder.
Seperti yang dilakukan oleh Dinas Vulkanologi (nama instansi dulu, sekarang
salah satu Pusat di lingkungan Badan Geologi Nasional) pada Gunung Merapi.

XI.5. Bentang Alam Volkanik Dalam Peta Topgrafi


Pada peta topografi, bentang alam volkanik memiliki
kenampakkan pada kontur yang khas. Umumnya pola kontur yang dibentuk
oleh bentang alam vulkanik adalah radial sesuai dengan bentuk
bentang alamnya. Disamping memiliki pola kontur yang khas juga
memiliki pola penya luran yang khas.

61
Gambar 11.5 Kenampakan peta kontur bentang alam vulkanik merapi dan
merbabu (sumber; http://id.earthquake-report.com)

62
BENTANG ALAM EOLIAN
XII.1. Pendahuluan
Pembentukan morfogenesa eolian diageni oleh angin. Morfogenesa
ini dijumpai pada bagian permukaan bumi yang terbatas. Ditinjau dari
koordinat lintang, morfogenesa ini berada pada lintang menengah
(300-500 LS/LU). Secara geografi morfogenesa eolian dijumpai di daerah
aliran sungai besar, daerah bekas salju/gletser mencair, atau zona pesisir
yang di depannya terbentang samudra.
Di atas telah dituliskan, bahwa angin sebagai syarat utama pada
pembentukan morfogenesa eolian. Selain itu masih melibatkan dua syarat
pembentukan lainnya, yaitu pasokan pasir (sand supply) yang kontinyu
dalam jumlah banyak, dan tutupan vegetasi yang jarang. Interaksi dan
intensitas ketiga di atas, akan menghasilkan jenis roman muka bumi
tertentu.
Pada peta topografi, morfogenesa eolian dimengerti dari
kenampakan- kenampakan banyaknya frekuensi pembentukan depresi
(oase, wadi, bolson), sehingga dari keadaan awal seperti itu akan
berkembang pola penyaluran sungai jenis multibasinal, analoginya di
kawasan morfogenesa kars. Pada daerah, dimana morfogenesa eolian
intens terbentuk, jenis morfologi besar seperti gumuk pasir (sand dunes)
kemungkinan dapat diamati melalui peta kontur/topografi. Relief
morfogenesa ini kurang ekspresif, disebabkan dinamika pasir yang sangat
aktif, sehingga dalam rentang waktu yang sebentar sudah terjadi
perubahan morfologi yang signifikan. Akibat lebih lanjut dari keadaan
tersebut adalah dalam cara penggambaran kontur yang disajikan secara garis-
garis putus (karena sifatnya tentatif).

XII.2. Proses-proses oleh Angin


12.2.1 Erosi
Angin sebagai agen proses geomorfologi, dalam melakukan
aktifitasnya (erosi, dan transportasi) menempuh dua cara yaitu abrasi dan
ablasi. Abrasi berlangsung apabila angin bekerja tanpa ada butir pasir di
dalamnya, sedangkan ablasi terjadi apabila di dalam angin terkandung
butir pasir.

12.2.2 Transportasi
Cara transportasi oleh angin pada dasarnya sama dengan cara
transportasi oleh air, yaitu secara melayang (suspesion) dan menggeser di
permukaan (traction). Secara umum partikel halus (debu) dibawa secara
melayang dan yang berukuran pasir dibawa secara menggeser di permukaan
(traction). Pengangkutan secara traction ini meliputi meloncat (saltation) dan
menggelinding (rolling).

12.2.3 Deposisi/Pengendapan
Hasil sedimentasi oleh angin mempunyai banyak kesamaan dengan
sedimen hasil pembentukan oleh proses fluvial. Kesamaan yang teramati pada
struktur sedimen jenis laminasi, perlapasan silang siur, dengan
sortasi/pemilahan yang baik. Sedikit perbedaan antara keduanya yaitu
laminasi sangat mencolok sebagai penciri produk proses angin, tekstur
sedimen dengan butiran berukuran lebih dari pasir sangat jarang. Dua
hal itu dikarenakan oleh kekuatan angin berubah dalam satuan jam.
63
XII.3. Macam-macam Bentang Alam Eolian
12.3.1. Hasil deflasi
1) Cekungan deflasi, merupakan suatu cekungan yang diakibatkan oleh
angin pada daerah yang lunak dan tidak terkonsolidasi atau material-
material yang tersemen jelek. Cekungan terbentuk akibat material yang
ada dipindahkan oleh angin ke tempat lain. Contoh cekungan ini terdapat di
Gurun Gobi, Cina daratan, yang terbentuk karena batuan telah
terpelapuk. Cekungan ini mempunyai ukuran panjang 300 m - > 45 km,
dan kedalamannya 15 – 150 m.
2) Lag gravel. Proses ini merupakan suatu reaksi dari adanya cekungan-
cekungan yang disebut sebagai blowout. Biasanya terdapat di daerah
akumulasi pasir di mana terbentuk cekungan-cekungan kecil yang di
dalamnya terdapat dune dan tipe akumulasi pasir yang lain. Pada proses
pengkikisan pasir dan partikel lain yang berukuran halus oleh deflasi,
terdapat pemilahan material yang mengacu pada ukuran butiran, di
mana material yang berukuran lebih kasar akan tertinggal. Kumpulan dari
material yang berukuran kerakal hingga berangkal pada suatu blowout akan
membentuk suatu morfologi yang disebut sebagi lag deposits. Kenampakan
tersebut ditemukan di daerah gurun.
3) Desert varnish. Beberapa lagstone yang tipis, mengkilat, berwarna hitam
atau coklat dan permukaannya tertutup oleh oksida besi, dikenal sebagai
desert varnish.

12.3.2 Hasil abrasi


Abrasi oleh angin hanya dapat terjadi di dekat permukaan tanah
karena angin tidak mampu mengangkat pasir lebih tinggi dari satu kaki.
Bagnold, 1941 (dalam Thornbury, 1969) menyatakan bahwa semburan
pasir jarang dapat mencapai tinggi >2 m di atas permukaan tanah.

Gambar 12.1 Sketsa bentukan morfologi bentang alam eolian yang berupa
Batu Jamur (Mushroom fiocfr) (Sumber : Dynamic Earth)

64
Manifestasi hasil abrasi berupa:
1. Pengkilapan (polishing), terbentuk pada batuan berukuran butir halus,
sebagai hasil dari sand blast atau silt blast yang mempunyai kekuatan
lemah, sehingga hasilnya memberikan kenampakan pengkilapan pada
permukaan batuan.
2. Alur-alur (grooves), aktivitas angin berpasir dapat menggosok dan menyapu
permukaan batuan membentuk alur-alur yang tampak cekung. Pada
daerah kering, alur yang demikian itu sangat jelas. Alur-alur tersebut
memperlihatkan kenampakan yang sejajar dengan sisi sangat jelas.
3. Batu jamur (mushroom rock, sculpturing) terbentuk oleh kondisi awal batuan
yang mempunyai resistensi berbeda, sehingga ketika terkena abrasi angin
menghasilkan sisa erosi yang berbeda dan membentuk batu-jamur.
4. Shaping dan faceting

12.3.1. Hasil deposisi


1. Skala minor, morfologi yang dihasilkan adalah gelembur
(ripple), menampakkan punggungan minor (ukuran lebar sentimeter)
yang asimetri. Sisi punggungan yang landai sebagai wind face (lereng
yang berhadapan dengan arah datangnya angin) dan yang terjal sebagai
slip face.
2. Skala mayor, morfologi hasil pengendapan pasir:
a. S
and shadow dan sand drifts
Sand shadow merupakan akumulasi pasir yang terhenti karena di lokus
itu ada penghalang. Penghalang dapat berupa tebing menggantung,
atau
bongkah. Apabila ditemukan dua penghalang, dan pengangkutan pasir
terhenti di antara keduanya, maka terbentuk sand drift.
b. Gumuk pasir (sand dunes)
Gumuk pasir tampak sebagai roman muka bumi yang khas, berupa
bukit sampai perbukitan rendah, dua lerengnya asimetri dimana lereng
yang landai berhadapan langsung dengan datangnya angin dan lereng
lainnya sebagai lereng bayangan angin, ukuran individu luasnya 10 an –
104 m2, dengan tinggi beberapa meter sampai 20 an meter. Sifat gumuk
dinamis, artinya selalu bergerak dengan kecepatan beberapa meter
sampai 30-an meter per tahun. Tumbuh kembang gumuk pasir
dipengaruhi kehadiran vegetasi penutup lahan.
Berdasarkan geometri, gumuk pasir dibagi menjadi tiga, yaitu gumuk
pasir melintang (tranversal sand dunes) dimana sebaran memanjang ke
arah lateral tegaklurus terhadap arah datangnya angin. Gumuk pasir
parabolic (parabolic sand dunes), secara lateral mirip gumuk transversal,
tetapi secara individu lebih kecil dari gumuk transversal, morfologi
modifikasinya adalah gumuk pasir bulan sabit (barchan sand
dunes). Gumuk pasir memanjang (longitudinal sand dunes) menampakkan
sebagai punggungan memanjang sejajar terhadap arah angin yang dominan,
dengan bentuk modifikasi adalah lee sand dunes, seif sand dunes.
Dikarenakan ada kondisi khusus, seperti angin yang berubah-ubah,
sementara pasokan pasir dan tutupan vegetasi banyak, maka pembentukan
gumuk pasir berkembang setempat-setempat dengan bentuk yang tidak lagi
khas. Gumuk pasir seperti itu disebut sebagai complex sand dune.

65
c. Tanggul pasir (sand levees, whaleback), merupakan morfologi yang datar,
terletak di bagian atas dari suatu punggungan pasir, memanjang
sejajar dengan arah angin.
d. Undulasi (undulating), pada hasil ini tidak morfologi khusus, kecuali
di medan hanya tampak naik – turun, dengan beda tinggi cukup rendah.
e. Sand sheets, menampakkan roman muka bumi yang sangat datar, dan
tidak memiliki relief topografi, hanya terdapat gelembur-gelembur (ripples)
minor.
3. Skala mayor, morfologi hasil pengendapan lempung dan meterial halus
lainnya.
Selain mengendapkan pasir, proses oleh angin juga mengendapkan
butiran berukuran lempung, membentuk roman muka bumi gumuk lempung
(clay dunes). Morfologi lain yang dihasilkan adalah loess, tanpa
kenampakan yang khas, terdiri dari material berukuran halus, bersifat lepas-
lepas. Tergantung material penyusun, kadang-kadang kawasan loess
merupakan daerah subur. Penyelidikan secara mikroskopis membuktikan
loess terdiri dari partikel yang runcing (angular), berdiameter kurang
dari 0,5 mm. Terdiri dari kuarsa, feldspar, hornblende, dan mika.
Kebanyakan partikel dalam keadaan segar atau terlapukkan sedikit.

66
PALEOGEOMORFOLOGI
XIII.1. Paleogeomorfologi
Paleogeomorfologi merupakan bagian dari geomorfologi yang
mempelajari roman muka bumi purba. Morfologi tersebut dipelajari karena
kehendak ingin mengetahui runtutan proses kebumian pada masa geologi
lampau yang terekam dan tertinggal jejaknya sebagai morfologi tertentu.
Konsep pembentukan geomorfologi purba secara sederhana dapat
diterangkan sebagai berikut, apabila suatu episode proses geomorfik 'selesai'
pasti terekam pada fenomena morfologi yang khas. Pada episode berikut,
proses geomorfik yang bekerja berubah, dan ini akan meninggalkan
jejaknya sebagai morfologi tertentu yang berbeda dibandingkan dengan
morfologi purba sebelumnya. Demikian pula pada episode proses geomorfik
seterusnya, dan pada episode terakhir teramati morfologi masa kini
sebagai jejak dari proses geomorfik yang terakhir.
XIII.2. Macam-macam Bentang Alam Paleogeomorfologi
Klasifikasi Jenis-Jenls paleomorfologi mendasarkan kepada
keberadaannya dengan datum permukaan topografi saat ini, dengan
melibatkan proses geomorfik yang bekerja padanya. Atas dasar kriteria
tersebut, ditetapkan ada tiga jenis morfologi purba, masing-masing adalah
topografi terkubur (buried topography), topografi sisa (relict topography),
dan topografi tersingkap ulang (exhumed topography).
a. Topografi terkubur, diyakini pembentukannya dari selesainya suatu
proses kebumian, seperti peristiwa pengangkatan cekungan sedimentasi
diikuti hiatus (rumpang waktu tanpa ada pengendapan), peristiwa itu
berarti morfologi hasil dua proses tersebut menampakkan fenomena
tertentu dan ditempatkan pada elevasi tertentu. Episode berikut terjadi
pengendapan di atas morfologi tadi, pada episode ini bidang hiatus tidak
lagi sebagai permukaan topografi paling atas, dan disebut sebagai-topografi
terkubur.
b. Topografi sisa. Apabila proses penguburan topografi di atas tidak
sampai mengubur Semua permukaan topografi episode sebelumnya,
artinya ada sisa dari permukaan topografi terdahulu dan kenampakan ini
disebut dengan topografi sisa. Pembentukan topografi sisa diduga karena
permukaan topografi terdahulu tidak rata pada satu elevasi tertentu, atau
bahkan merupakan topografi dengan relief setempat yang tinggi
seperti pembentukan perbukitan-pegunungan struktural. Sehingga pada
waktu penguburan, masih menghasilkan bukit-bukit terisoler sebagai
topografi sisa.
c. Topografi tersingkap ulang. Secara konseptual, pembentukan topografi
tersingkap ulang disebabkan oleh proses yang mengerosi endapan
pengubur topografi terkubur. Proses erosi terakhir tersebut sebagian ulah
proses antropogenik. Hasil akhirnya kita dapat mengamati topografi
tersingkap ulang, dengan harapan mendapat manfaat selanjutnya.

67
PEMETAAN GEOMORFOLOGI
XIV.1. Pendahuluan
Geomorfologi ialah ilmu yang mempelajari bentuk lahan dan bentang
alam, proses-proses yang mempengaruhinya, asal mula pembentukannya
(genesa) dan kaitan lingkungannya dalam ruang dan waktu. Pembahasan
geomorfologi suatu daerah pemetaan mencakup 2 hal, yaitu :
1. Mengapa dan bagaimana dapat terbentuk macam-macam bentang alam di
daerah penelitian, dan kaitannya dengan ganesanya.
2. Seberapa jauh data geomorfologi dapat membantu dalam penafsiran
kondisi stratigrafi, struktur geologi, dan penilaian potensi sesumber dan
bencana.

Berkaitan dengan hal kedua tersebut, pem bahasan mengenai


pemetaan geomorfologi, sebagai acuan awal dalam penelitian geologi
sangat perlu. Oleh karena itu acara pemetaan geomorfologi merupakan
rangkaian lanjutan dan penggabungan dari acara sebelumnya.
Pada acara-acara sebelumnya telah dibahas karakteristik, proses dan
pembentukan (ganesa) masing-masing bentang alam dan bentuk lahan
secara terpisah-pisah dan dalam bentuk ideal. Berbekal dari pengetahuan
tersebut acara pemetaan geomorfologi diharapkan dapat membuat sebuah
kompilasi dan dapat membuat pembahasan yang komprehensif terhadap
permasalahan geomorfologi suatu daerah.
XIV.2. Defenisi
Pemetaan geomorfologi ialah usaha pembuatan peta dengan tujuan
untuk mengenal, melokalisir dan menggambarkan setiap aspek bentang
alam pada suatu peta (Wahyu dan Astadiredja, 1984). Ditambahkan dari
hasil Lokakarya Pembakuan peta Geomorfogi Indonesia, agar
dicantumkannya aspek gerak masa, angka sudut lereng, dan aspek praktis
lainnya. Van Zuidam (1984) menyatakan pembahasan geomorfologi suatu
daerah mencakup semua aspek geomorfologi, yang meliputi aspek
morfologi, morfogenesa, morfoarrangement, dan morfokronologi.

1. Morfologi
 Morfografi : mengenai gambaran/deskriptif dari geomorfologi suatu area.
Contoh ; dataran, perbukitan, pegunungan dan plateau.
 Morfometri : aspek kuantitatif dari suatu area seperti slope / kemiringan,
ketinggian.
Tabel 10.1Klasifikasi geomorfologi berdasarkan Van Zuidam

68
2. Morfogenesa (pembentukan dan perkembangan bentuk lahan dan
proses yang membentuk dan yang berlangsung pada bentuk lahan)
 Pasif morfostruktur : litologi baik jenis maupun struktur batuan yang
berhubungan dengan denudasi seperti messa, cuesta, hogback, dan
dome.
 Aktif morfostruktur : gaya endogen yang termasuk volkanisme, lipatan,
dan patahan.
 Morfodinamik: gaya eksogen yang berhubungan dengan angin, air dan es
serta mass wasting (gerakan massa)
3. Morfokronologi (waktu relatif dan mutlak mengenai macam-macam
bentuk lahan dan proses yang berhubungan, contoh Monastrian untuk
tingkatan marine yang lebih muda)
4. Morfoarrangement yakni pengaturan meruang dan hubungan antar
berbagai macam bentuk lahan dan proses- proses yang berhubungan.
Dessaunetts (1969) menyatakan bahwa pada hakekatnya suatu
bentuk lahan terbentuk karena proses geomorfik yang meliputi proses
eksogenik, endogenik dan ekstraterestrial, terhadap suatu batuan dalam
suatu periode waktu tertentu. Suatu bentuk lahan mempunyai karakteristik
tertentu dan berbeda dengan bentuk lahan yang lain.
Menurut Handayana dan Hindartan (1994) ada 3 aspek pemisah
satuan bentuk lahan dalam pemetaan geomorfologi yaitu aspek relief,
aspek litologi dan aspek genesa. Ketiga aspek pemisah tersebut diharapkan
dapat mencakup semua aspek geomorfologi (morfometri, morfogenesa,
morfoarangement, dan morfokronologi).

14.2.1 Relief
Relief adalah beda tinggi suatu tempat dengan tempat lainnya pada
suatu daerah dan juga curam landainya lereng, pola bentuk dan ukuran
suatu bentuk lahan.
Untuk penemaan relief telah disajikan beberapa klasifikasi relief,
antara lain : Dessaunets (1971), Van Zuidam (1983), Verstapen (1967),
Meijerink (1982) dan lain-lain. Masalahnya dalam kondisi lapangan kadang-
kadang tidak secara tepat klasifikasi tersebut dapat diterapkan. Adanya
kenyataan tidka sesuainya kisaran beda tinggi dan kelerengan kondisi
lapangan dengan kisaran beda tinggi dan kelerengan dalam klasifikasi,
sehingga hal demikian sering menjadi permasalahan yang cukup rumit.
Kenyataan seperti ini sebenarnya tidak menjadi rumit jika disadari dan
dipahami bahwa klasifikasi ini hanyalah klasifikasi relief (untuk penamaan
satuan dari aspek relief) jadi bukan klasifikasi bentuk lahan itu sendiri
(karena masih ada 2 aspek pemisah lainnya yaitu litologi dan ganesa).
Menanggapi permasalahan ketidaksesuaian kisaran klasifikasi tersebut,
Hidartan dan Agus Handayana (1994) menyarankan untuk membuat
modifikasi dan bila perlu membuat klasifikasi sendiri untuk daerah
penelitiannya.
14.2.2 Genesa
Mengacu pada Desseunetts (1969) mengenai hakekat bentuk lahan,
69
maka dalam pembahasan genesa suatu bentuk lahan menyangkut 2 hal
yaitu litologi dan proses geomorfik. Pembahasan litologi kaitannya dengan
pembentukan bentuk lahan meliputi sifat resistensi batuan, tekstur dan
struktur batuan, pola penyebaran, dan stratanya dalam dimensi vertikal.
Proses geomorfik meliputi bahasan intensitas dan kulaitas proses,waktu,
agen geomorfik, dan dominasi proses.
Hasil dari interaksi proses geomorfik terhadap batuan meninggalkan
kenampakan bentuk lahan tertentu. Suatu bentuk lahan akan berbeda
dengan bentuk lahan lainnya, hal ini disebabkan karena perbedaan proses
geomorfik, litologi dan kondisi interaksinya. Dilihat dari genesanya, bentuk
lahan dapat

dibedakan menjadi 8 macam, yaitu :


1. Bentuk Asal Fluvial 5. Bentuk Asal Eolian
2. Bentuk Asal Vulkanik 6. Bentuk Asal Marine
3. Bentuk Asal Fluvial 7.Bentuk Asal Denudasional
4. Bentuk Asal Pelarutan/kars 8. Bentuk Asal Glasiasi

1. Bentuk Asal Fluvial


Bentuk Asal Fluvial berkaitan dengan aktivitas sungai dan aliran permukaan
yang berupa pengikisan, pengangkutan dan penimbunan pada daerah-daerah
rendah.
Penimbunan bersifat meratakan, sehingga hampir semua bentuk lahan
fluvial mempunyai relief datar. Material penlusun bentuk lahan fluvial berupa
bahan-bahan rombakan dari perbukitan denudasional.

Contohnya ;
Dataran Aluvial Bentuk Asal Denudasional
Dasar sungai Bentuk Asal Glasiasi
Danau Teras fluvial
Rawa Kipas aluvial aktif
Rawa Belakang Kipas aluvial tidak aktif
Saluran sungai mati Delta
Dataran banjir Igir delta
Tanggul Alam Ledok delta
Ledok Pantai delta
Gosong lengkung dalam Bekas dasar danau
Gosong sungai Hamparan celah/tonjolan fluvial
Bentuk Asal Eolian Rataan delta
Bentuk Asal Marine Dan lain-lain

2. Bentuk Asal Vulkanik


Volkanik adalah berbagai fonemena yang berkaitan dengan aktifitas
magma yang bergerak naik ke permukaan bumi. Sebagai akibat aktifitas ini
maka terbentuk bentuk lahan volkanik.
Klasifikasi bentuk lahan volkanik lebih ditekankan pada aspek genesa
yang menyangkut aktifitas kegunungapian, seperti kepundan, kerucut
70
semburan, medan lava, medan lahar, dll. Selain itu masih ada bentukan
yang terpisah dari kompleks gunungapi, yaitu dikes, stock, dll.

Contohnya :
Kepundan Bukit gunung api
Planeze Dataran fluvial gunung api
Kerucut Gunung api Sumbat gunung api
Padang abu, tuff, atau Padang Lava
lapilli Kerucut parasite
Lereng gunungapi atas Padang lelehan lava
Solfatara Boka
Lereng gunung api bawah Aliran lahar
Bukitgunung api Dike
terdenudasi Dataran antar gunring api
Kaki gunung api Branko
Leher gunung api Dataruntinggi lava
Dataran kaki gunung api dll

3. Bentuk Asal Struktural


Bentuk lahan struktural terbentuk karena adanya proses endogen atau
proses tektonik. Proses ini bersifat konstruktif. Pada awal pembentukan,
struktur antiklin memberikan kenampakan cembung, struktur sinklin
memberikan kenampakan cekung dan struktur horizontal memberikan
kenampakan datar.
Tahap selanjutnya karena proses eksogenik yang bersifat destruktif,
sehingga pada akhirnya, tidak semua bentuk lahan struktural masih
menampakkan kenampakan morfologi stmktural lagi, maka bentuk lahan
tersebut bukan bentuk lahan struktural, tetapi mungkin sudah menjadi
bentuk lahan denudasional.
Umumnya bentuk lahan struktural masih dapat dikenali dan dapat
dikatakan bentuk lahan struktural jika penyebaran struktural geologinya
masih dapat dicerminkan dari penyebaran reliefnya. Jika sudah tidak
tercermin pada pola penyebaran reliefnya, maka bukan termasuk bentuk
lahan struktural.

Contohnya :
Blok sesar Perbukitan sinklinal
Dataran tinggi Lembah sinklinal
Gawir sesar Pegunungan sinklinal
Cuesta Lembah subsekuen
Gawir garis sesar Perbukitan monoklinal
Hogback Sembul (horst)
Pegunungan antiklinal Pegunungan dome
Bentuk seterika (ironflat) Tanah terban (graben)
Perbukitan antiklinal Perbukitan dome
Lembah antiklinal dll

71
4. Bentuk Asal Pelarutan/Kars
Bentuk lahan karst dihasilkan oleh proses pelarutan pada batuan yang
mudah larut. Menurut Jennings (1971) kars adalah sebuah kawasan yang
mempunyai karateristik relief dan drainase yang khas, yang disebabkan
sifat kelarutan batuan yang cukup tinggi.
Contohnya :
Dataran tinggi Dataran aluvial kars
Lereng perbukitan karst terkikis Uvala, doline
Kubah Polje
Bukit sisa batugamping tererosi Lembah kering
Ngarai kars dll
Gisik

5. Bentuk Asal Eolian


Gerakan udara atau angin dapat membentuk medan yang khas dan
berbeda dari bentuk proses yang lainnya. Medan eolian dapat terbentuk
jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
 Tersedia material berukuran pasir halus hingga debu (lempung) dalam
jumlah banyak.
 Ada periode kering yang panjang disertai angin yang mampu
mengangkut dan mengendapkan bahan tersebut.
 Gerakan angin tidak terhalang oleh vegetasi atau objek lainnya. Endapan
angin terbentuk oleh pengikisan, pengangkatan, dan pengendapan
material lepas oleh angin. Endapan angin secara umum dibedakan
menjadi gumuk pasir (dune) dan endapan debu (loess).
Contohnya :
a) Gumuk pasir memanjang c) Gumuk pasir parabola
b) Gumuk pasir barchans d) dll
6. Bentuk Asal Marine
Aktifitas marine yang utama adalah abrasi, sedimentasi, pasang surut,
dan perlumbuhan terumbu karang. Bentuk lahan yang dihasilkan aktifitas
marine berada di kawasan pesisir yang melampar sejajar garis pantai.
Proses lain yang mempengaruhi kawasan pesisir misalnya tektonik masa
lalu, erupsi gunung api, perubahan muka air laut (trangresi/regresi) dan
litologi penyusun.

72
7. Bentuk Asal Denudasional
Proses denudasional merupakan kesatuan dari proses pelapukan
gerakan tanah, erosi dan proses pengendapan. Proses pelapukan
merupakan kesatuan dari semua proses pada batuan secara fisik, kimia dan
biologi sehingga batuan menjadi disintegrasi dan dekomposisi. Batuan yang
lapuk menjadi tanah, kemudian karena. aktifitas erosi dan gravitasi
terangkut kemudian terendapkan pada daerah yang lebih stabil.
Daerah yang ditinggal akan memberikan kenampakan topografi yang
lebih tinggi dengan relief yang kasar karena terjadinya alur-alur dan
lembah-lembah. Bentuk lahan denudasional parameter utamanya ialah
erosi atau tingkat pengikisan. Derajat erosi ditentukan oleh jenis batuan,
iklim, vegetasi, dan relief.

Contohnya :
Perbukitan terkikis Pedimen
Pegunungan terkikis Piedmot
Bukit sisa Gawir
Bukit terisolasi Kipas rombakan lereng
Dataran nyaris Lahan rusak
Dataran nyaris yang Daerah dengan gerak masa
terangkat batuan yang kuat
Lereng kaki dll

8. Bentuk Asal Glasiasi


Bentuk lahan glasial terbentuk karena aktifitas es/gletser. Bentuk
lahan ini tidak berkembang di sini (Indonesia), kecuali sedikit di daerah
Pegunungan Jaya
Wijaya di Irian jaya.

Contohnya:
a) Cirque c) lembah bergantung glasial
b) Pegunungan tertutup salju, d) Padang berangkal, puing batuan
gletser, es abadi e) Dataran end material glacial

XIV.3. Pemetaan
Pemetaan Geomorfologi dilakukan untuk mencari dan mengumpulkan
data gemorfologi dari suatu daerah penyelidikan melalui observasi
lapangan. Observasi dilakukan dengan cara penjelajahan medan menuju ke
tempat atau lokasi yang agak tinggi sehingga dapat diperoleh suatu
pandangan burung dari daerah tersebut.
Pengamatan geomorfologi tersebut bertujuan untuk mengungkap
keadaan geomorfologi suatu daerah yang diteliti. Adapun keadaan
geomorfologi yang dimaksud adalah:

73
a. Identifikasi faktor-faktor yang dominan yang membentuk bentang alam
suatu daerah
b. Pengelomokan suatu daerah menjadi satuan-satuan bentang alam
tertentu berdasarkan genesanya.
c. Evaluasi perkembangan daerahyang bersangkutan secara geomorfologis
d. Evaluasi proses – proses
e. Evaluasi morfogenesis daerah yang bersangkutan tersebut berdasarkan
proses–proses eksogenik maupun endogenik yang bekerja,
morfoarrangemen, dan morfometrinya.
Evaluasi tersebut di atas dapat dilakukan dengan baik secara
kualitatif, kuantitatif maupun secara gabungan dari keduanya.

14.3.1. Kerincian dan Skala


Sebagaimana peta tematik lainnya, maka peta geomorfologi dibuat
dalam skala yang disesuaikan dengan maksud dan tingkat kerincian yang
dikehendaki. Pada dasarnya pemetaan satuan geomorfologi pada suatu
daerah haruslah mempertimbangkan ketiga aspek yaitu proses geologi
(ganesa), material (litologi) dan relief. Tingkat kerincian peta geomorfologi
yang dikehendaki mempengaruhi bobot penekanan aspek pembeda antar
satuan geomorfologi.

14.3.2. Pemisahan dan Penamaan


Pada pemetaan geomorfologi suatu daerah, sebenarnya ada dua jenis
pekerjaan yaitu, pemisahan satuan bentuk lahan (satuan peta
geomorfologi), dan penamaan satuan bentuk lahan (satuan geomorfologi)
setelah dipisahkan.

14.3.2.1 Pemisahan
Pemisahan satuan peta gemorfologi adalah membedakan satuan-
satuan bentuk lahan berdasarkan aspek relief, drainnage, litologi dan
genesanya. Penekanan salah satu aspek sebagai dasar utama pemisahan
satuan bentuk lahan, sangat tergantung dari aspek genetik yang bekerja
disetiap kenampakan relief dan drainnage di daerah tersebut.
Aspek litologi misalnya, akan menjadi dasar utama jika proses geologi
dominan yang bekerja di daerah itu adalah proses pelarutan (karst) dan
denudasional. Pada proses denudasional litologi yang resisten akan
meninggalkan relief yang lebih menonjol dibanding litologi yang kurang
resisten. Pada proses pelarutan (karts) maka batuan yang mudah larut
akan menunjukkan kenampakan topografi karts yang lebih nampak
dibandingkan batuan yang kurang mudah larut. Selain pada proses
pelarutan dan proses denudasional maka aspek litologi lazimnya kurang
berperan untuk dipertimbangkan sebagai dasar pembagian satuan bentuk
lahan.
Langkah pertama untuk dapat memisahkan satuan bentuk lahan
haruskah dikenali lebih dahulu proses geologi (genetik) apa yang
mempengaruhi terbenflrknya relief di daerah itu. Selanjutnya barulah
dipertimbangkan aspek lainnya seperti relief dan litologi, sekiranya dapat
74
digunakan sebagai aspek pembeda satuan sesuai dengan aspek genetikaya.
Dengan demikian, maka kita akan dapat menjawab mengapa ada
relief seperti itu, yang kemudian akan lebih diperjelas dalam pernbahasan
morfogenesa. Dengan mengetahui proses geologi utama yang membentuk
macam dan agihan relief di daerah membantu dalam menguraikan kondisi
stratigrafi, struktur geologi, sejarah geologi dan geologi tata lingkungan.

14.3.2.2 Penamaan Bentuk Lahan


Pada pemetaan geomorfologi penamaan satuan bentuk lahan sebagai
satuan peta, sebenarnya hanya sekedar mempermudah pembacaan peta,
sehingga dapat dengan mudah mengetahui ketiga aspek satuan bentuk
lahan (relief, litologi dan ganesanya). Untuk itu maka, penamaan satuan
bentuk lahan sebaiknya mencerminkan runtutan ketiga aspek tersebut.
contohnya dataran aluvial pantai (dataran=relief, aluvial= litologi, pantai
= genesa), perbukitan sinklin(perbukitan=relief, sinklin= genetiknya,
sementara litologi tidak berperan)
Persoalannya, terutama pada aspek relief, klasifikasinya yang
diberikan, tidak cocok dengan kondisi lapangan, sehingga cukup
menyulitkan untuk penamaan reliefnya. Namun demikian bila dikaji lebih
dalam kesulitan itu berawal dari pemisahan satuan peta, bukan pada
penamaan satuan berdasarkan relief.

14.3.3 Warna dan Simbol


Untuk penamaan acuan yang digunakan ialah yang diberikan oleh
Verstappen dan Van Zuidam (1969), yaitu :

1) Struktural = purple
2) Volkanik = red
3) Fluvial = dark-blue
4) Marine = green
5) Kars = orange
6) Eolian = yellow
7) Glasial = light blue
8) Denudasional = brown

Selain penggunaan wama, dapat juga digunakan simbol yang dapat


menginformasikan kondisi dan genesa morfologi daerah pemetaan.

XIV.4. Materi
Berdasarkan buku petunjuk pembuatan laporan geologi, materi yang
dibahas dalam bab geomorfologi meliputi :
1. Tinjauan umum
a) Tinjauan fisiografi regional
b) Keadaan geografi daerah penelitian
2. Geomorfologi daerah pemetaan
a) Pembagian dan penamaan satuan geomorfik
b) Peta satuan geomorfik dan penampangnya
75
c) Hubungan satuan geomorfik dengan satuan batuan dan struktur
gaologi
3. Pola penyaluran
a) Pola penyaluran daerah pemetaan
b) Hubungan pola penyaluran dengan struktur geologi dan litologi
c) Sistem sungai, densitas sungai, stadia sungai.
4. Stadia daerah
a) Tingkat kedewasaan daerah ditinjau dari bentuk bentang alam, sungai
dan pelapukan
b) Morfogenesa
XIV.5. Sumber Data
Peta topografi, foto udara, citra, pengamatan lapangan peta geologi.
1. Data yang dapat diambil dari peta topografi, foto udara dan citra yaitu :
a. Kelerengan
b. Beda elevasi
c. Pola morfologi (kelurusan, bentuk dan pola kontur)
d. Pola penyaluran dan tipe sungai
2. Data yang dapat diperoleh dari pengamatan lapangan, yaitu :
a. Kelerengansebenarnya
b. Beda elevasi
c. Bentuk lembah
d. Sketsa, foto, dan gambar, dan lain-lain.
3. Datayang dapat diambil dari peta geologi, yaitu :
a. Jenis batuan
b. Bentuk dan pola penyebaran batuan
c. Struktur geologi
d. Stratigrafi, dan lain-lain.

XIV.6. Pengamatan Geomorfologi


Pengamatan geomorfologi baik dilakukan sebelum melakukan
pengamatan di lapangan. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar peneliti
mendapatkan gambaran mengenai kondisi geornorfologi daerah
penelitiannya.
Berikut ini adalah beberapa langkah yang perlu dilakuakan dalam
pengamatan geomorfologi, yaitu:
1. Amati dengan baik apakah daerah yang diteliti terdiri dari suatu bentukan
bentang alam (homogen) atau lebih dari satu (heterogen). Misalnya,
apakah daerah yang diteliti tersebut hanya terdiri dari dataran saja,
perbukitan saja, ataukah terdiri dari sebagaian datar dan sebagian
berbukitan. Apabila perbukitan, apakah seluruh perbukitan tersebut
memiliki relief yang sama tau ada perbedaan. Dari langkah pertama inilah
akan diketahui homogenitas/heterogenitas dari daerah tersebut sehingga
dapat diketahui ada berupa calon satuan geomorfologi yang mungkin ada di
daerah tersebut.
2. Untuk setiap calon satuan geomorfologi yang mungkin ada, amati dan ukur
elevasi rata-rata dari puncak puncaknya, besarnya sudut lereng rata-rata,
keruncingan/kepapakan puncaknya, serta tingkat keterbikuan masing –
76
masing Langkah kedua ini merupakan manifestasi dan morfometri. Lakukan
perbandingan dari harga-harga yang diperoleh. Apabila dari dua calon
satuan geomorfologi teryata mempunyai harga unsur-unsur geomorfik yang
hampir sama, satukan sata kedua satuan tersebut. Untuk mendirikan dua
satuan yang berbeda, perbedaan hasil pengukuran unsur morfologi di
kedua calon satuan geomorfologi tersebut harus tampak jelas.
3. Setelah langkah penyatuan tersebut dilakukan, amati dengan baik apakah
ada tatanan atau pola dari relief yang ada, baik secara keseluruhan
maupun di satuan itu sendiri. Langkah ketiga ini merupakan usaha untuk
melihat apakah ada suatu morphoarrangement tertentu di daerah tersebut.
Kalo pola itu ada, bagaimana bentuk pola itu, linier, linier melengkung,
kumpulan acak, perjenjangan dan sebagainya.
4. Amati penyaluran di daerah tersebut sejauh tampak dari tempat
pengamatan. Perhatikan apakah aspek-aspek dari penyaluran yaitu pola,
kerapatan dan stadianya, berkembang merata di seluruh daerah atau
hanya di bagian tertentu. Dan apabila perkembangannya tidak merata,
apakah perbedaan perkembangan tersebut terjadi sesuai dengan satuan
morfologi yang dilalui oleh penyaluran tersebut.

77

Anda mungkin juga menyukai