Anda di halaman 1dari 33

TINJAUAN TENTANG ETIKA PROFESI PADA PELAYANAN

KESEHATAN DI LABORATORIUM KESEHATAN


PROVINSI KALIMANTAN

Oleh Kelompok 6 :

1. Berlian Putri Nur Amanah


2. Laila Hikmah
3. Maria SY
4. Mutia Handayani
5. Nur Azizah
6. Zenny Fatica Girsang

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


STIKES WIYATA HUSADA
SAMARINDA
BAB I
ETIKA PROFESI

1.1 Pentingnya Etika Profesi


Menurut Martin (1993), etika didefinisikan sebagai “the
discpline which can act as the performance index or reference for
our control system”. Dengan demikian, etika akan memberikan
semacam batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan
manusia di dalam kelompok sosialnya. Dalam pengertiannya yang
secara khusus dikaitkan dengan seni pergaulan manusia, etika ini
kemudian dirupakan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang
secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral
yang ada dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan
sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang
secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang
dari kode etik. Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang
disebut dengan “self control”, karena segala sesuatunya dibuat dan
diterapkan dari dan untuk kepenringan kelompok sosial (profesi) itu
sendiri.
Selanjutnya, karena kelompok profesional merupakan
kelompok yang berkeahlian dan berkemahiran yang diperoleh
melalui proses pendidikan dan pelatihan yang berkualitas dan
berstandar tinggi yang dalam menerapkan semua keahlian dan
kemahirannya yang tinggi itu hanya dapat dikontrol dan dinilai dari
dalam oleh rekan sejawat, sesama profesi sendiri. Kehadiran
organisasi profesi dengan perangkat “built-in mechanism” berupa
kode etik profesi dalam hal ini jelas akan diperlukan untuk menjaga
martabat serta kehormatan profesi, dan di sisi lain melindungi
masyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupun penyalah-
gunaan kehlian (Wignjosoebroto, 1999).
Oleh karena itu dapatlah disimpulkan bahwa sebuah profesi
hanya dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat, bilamana
dalam diri para elit profesional tersebut ada kesadaran kuat untuk
mengindahkan etika profesi pada saat mereka ingin memberikan
jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang memerlukannya.
Tanpa etika profesi, apa yang semual dikenal sebagai sebuah
profesi yang terhormat akan segera jatuh terdegradasi menjadi
sebuah pekerjaan pencarian nafkah biasa (okupasi) yang
sedikitpun tidak diwarnai dengan nilai-nilai idealisme dan ujung-
ujungnya akan berakhir dengan tidak-adanya lagi respek maupun
kepercayaan yang pantas diberikan kepada para elite profesional
ini.
1.2 Definisi Etika
Kata etik atau etika berasal dari kata ethos (Yunani) yang
berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Etika berkaitan
dengan konsep yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok untuk
menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu
salah atau benar, buruk atau baik. Sedangkan etika merupakan
cerminan dari sebuah mekanisme kontrol yang dibuat dan
diterapkan oleh dan untuk kepentingan suatu kelompok sosial atau
profesi. Kehadiran organisasi profesi dengan kode etik profesi
diperlukan untuk menjaga martabat serta kehormatan profesi, dan
di sisi lain melindungi masyarakat dari segala bentuk
penyimpangan maupun penyalah-gunaan keahlian.
Etika sebagai kajian ilmu membahas tentang moralitas atau
tentang manusia yang terkait dengan perilakunya terhadap
manusia lain dan sesame manusia.
Kode etik adalah sistem norma, nilai dan aturan profesional
tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik,
dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi profesional. Kode etik
menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa
yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari. Tujuan kode
etik agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada
pemakai jasa. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang
tidak profesional. Orientasi kode etik hendaknya ditujukan kepada :
profesi, pekerjaan, rekan, pemakai jasa, dan masyarakat.
Dalam bidang kesehatan, ada suatu etika yang berlaku pada
tenaga medis. Etika dalam pelayanan kesehatan berkembang
secara dinamis mengikuti perkembangan masyarakat dan teknologi
kesehatan. Etika dan tenaga kesehatan masuk dalam etika profesi.
Tenaga kesehatan bekerja tetap sebagai pelaksanaan fungsi
pemasyarakatan berupa karya pelayanan yang pelaksanaannya
dijalankan secara mandiri dengan komitmen dan keahlian
berkeilmuan dalam bidang tertentu yang pengembangannya
dihayati sebagai panggilan hidup dan terikat pada etika umum dan
etika khusus (profesi) yang bersumber pada semangat pengabdian
terhadap kepentingan umum. Pada tenaga kesehatan, mereka
mengabdikan hidup mereka dalam melakukan tugas mereka
sebagai tenaga kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat
( Sidharta, 2004 ).
Etika profesi disusun dalam sebuah kode etik profesi. Kode
etik profesi adalah pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan
dalam melaksanakan tugas dan dalam kehidupan sehari-hari. Kode
etik dalam sebuah profesi berhubungan erat dengan nilai sosial
manusia yang dibatasi oleh norma -norma yang mengatur sikap dan
tingkah laku manusia itu sendiri, agar terjadi keseimbangan
kepentingan masing – masing di dalam masyarakat. Norma etik
tenaga kesehatan menggariskan kelakuan orang yang mengobati
terhadap orang yang diobati. Norma adalah aturan atau kaidah
yang dipakai untuk menilai sesuatu. Maka dari itu, etika dan norma
sangat penting adanya dalam suatu kehidupan bermasyarakat di
Indonesia khususnya. Agar tidak terjadi suatu penyimpangan –
penyimpangan yang dapat merugikan pihak – pihak terkait. Etika
menjadi sebuah pengatur yang membatasi tingkah laku masyarakat
yang ada (Wiradharma, 1996).

1.3 Peranan Etika Profesi


Nilai-nilai etika itu bukan hanya milik segelintir orang, atau
segolongan orang saja, tetapi milik setiap kelompok sosial, bahkan
komunitas yang paling kecil yaitu keluarga sampai pada suatu
bangsa. Dengan nilai-nilai etika tersebut, suatu kelompok
diharapkan akan mempunyai tata nilai untuk mengatur kehidupan
bersama, begitupan nilai-nilai etika profesi bukan hanya untuk
segelintir atau sekelompok profesional, namun dituntut bagi semua
orang yang terlibat dalam segala bidang profesi kerja.
Salah satu golongan masyarakat yang mempunyai nilai-nilai
Etika Profesi yang menjadi landasan dalam pergaulan baik dengan
kelompok atau masyarakat umumnya maupun dengan sesama
anggotanya, yaitu masyarakat profesional.

A. Etika Dan Tanggung jawab Profesi Terhadap Masyarakat


Etika  profesi sangat menekankan tanggung jawab terhadap
masyarakat. Tidak wajar mementingkan keuntungan semata tanpa
memikirkan akibat pekerjaan tersebut kepada masyarakat dan
lingkungan.
1. Amanah dalam Kerja
Etika profesi mendorong Sifat amanah dalam profesi,
sifat amanah adalah inti keharmonisan dan kesuksesan
sebuah institusi masyarakat atau pekerjaan; sebuah
perusahaan misalnya. Bayangkan jika seseorang karyawan
atau pegawai tidak memiliki sifat amanah; segala urusan tidak
akan berjalan sempurna dan membawa kepada kehancuran
institusi atau perusahaan tersebut.
Sifat amanah dalam kerja yang telah dipercayakan
tentunya akan menghasilkan nilai-nilai kepribadian karyawan
yang baik. Peranan kepala bagian atau majikan sangat
penting dalam memberantas gejala tidak amanah dalam kerja.
Pekerja seharusnya patuh kepada perintah yang diberi dan
melaksanakan tugas itu dengan baik. Sifat ini bukan hanya
melanda karyawan biasa saja, bahkan tidak kurang juga
majikan atau ketua sendiri yang menerapkan sifat tidak
amanah ini.
2. Berkomitmen terhadap Karir
Etika Profesi menganjurkan komitmen terhadap profesi.
Kunci kesuksesan seseorang adalah berkomitmen terhadap
karir yang ditekuninya. Berkomitmen yang dimaksud di sini
adalah berkonsentrasi dan sungguh-sungguh terhadap apa
yang dilakukan. Sifat berkomitmen ini dapat berkontribusi ke
arah adanya mutu kerja atau layanan yang cemerlang.
Kerja yang dilakukan harus selalu mencari peluang-
peluang untuk meraih keunggulan dalam pekerjaan. Pekerja
akan sentiassa melihat da merebut peluang yang tercipta atau
diciptakan sendiri. Kata-kata hikmat dalam bisnis yang sering
dijadikan pegangan pengusaha ternama yaitu, “Peluang harus
dicari, ia tidak diberi”. Ini merupakan faktor penting dalam
mencapai kesuksesan.
3. Moral
Etika Profesi intinya adalah Moral. Moral merupakan inti
pembentukan etika kerja professional. Moral  mulia yang
dimiliki oleh karyawan maupun pimpinan menjadi lambang
ketinggian pribadi dan kualitas individu tersebut. Apalah
gunanya seorang yang berpendidikan tinggi dan kemudian
menjabat pekerjaan yang bagus jika moralnya buruk. Mora
yang buruk di sini misalnya menerapkan korupsi, dasar pilih
kasih dalam kerja, dan tidak berkomitmen dalam kerja.
Banyak contoh yang dapat kita lihat dalam administrasi
negara kita sendiri di mana politisi yang mengamalkan korupsi
dan tidak kurangnya juga yang menerima suap untuk
menyetujui suatu proyek. Bahkan suatu gejala poltik uang
pernah menggemparkan sebuah raksasa politik di negara kita.
kesimpulannya  moral adalah inti dari etika profesi ini.
4. Jujur
Sifat jujur atau benar dapat membentuk hubungan yang
sehat di antara sesama karyawan, karyawan dan majikan dan
sesama pelanggan atau pun orang yang berurusan di dalam
pekerjaan tersebut. Sifat jujur dan benar dapat membendung
segala perasaan kecurigaan dan tipu daya atau pun dusta.
Contoh tipu daya dalam pekerjaan adalah trader yang suka
menipu pelanggannya dengan tujuan melipatgandakan
keuntungan. kejujuran  di dalam pekerjaan sanga ditekankan
pada Etika Profesi.

1.4 Manfaat Etika Tenaga Kesehatan


Adapun manfaat dari adanya etika tenaga kesehatan yaitu :
 Adanya sebuah pertanggung jawaban dari pihak tenaga
kesehatan untuk pasien mendapatkan kesehatan.
 Mengurangi terjadinya pelanggaran – pelanggaran yang
merugikan masyarakat.
 Dihasilkan sebuah keputusan etis dari tenaga kesehatan dalam
melakukan penanganan medis, dimana keputusan etis ini
memiliki manfaat untuk mencapai suatu pendirian moral dalam
pergolakan pandangan (tentang penggunaan obat tradisional),
menbantu agar tidak kehilangan orientasi (tujuan utama
menolong), tidak naif/ tidak ekstrem (merawat pasien tidak
diskriminasi), dan menemukan dasar kemantapan dalam iman
dan kepercayaan (dalam melakukan aborsi ) (Aristya, 2012).

1.5 Pelanggaran Etika Kesehatan


Etika dan norma kesehatan seringkali dilanggar oleh para
tenaga kesehatan yang tidak sungguh-sungguh dalam menjalani
profesinya sebagai tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan tersebut
tidak mematuhi kode etik yang telah disepakati oleh anggota
perkumpulan tenaga kesehatan. Hal ini terjadi karena banyak faktor
pendorong terjadinya pelanggaran. Adapun pelanggaran atau
penyimpangan etik tenaga kesehatan yang sering terjadi, yaitu :
 Indikasi medik tidak jelas. Hal ini dapat mengakibatkan
kesalahan untuk mengambil tindak lanjut penanganan penyakit
pasien atau akan mengakibatkan kesalahan mengonsumsi obat
dan paling fatal akan berakibat kematian.
 Tindakan medik yang menyimpang dari pedoman baku
pelayanan medik. Hal ini juga dapat menyebabkan kematian
pasien. Contoh dari pelanggaran ini, seperti : malpraktek, aborsi.
 Pasien tidak diberitahu mengenai tindakan yang akan dilakukan.
Hal ini akan membuat pasien syok setelah tindakan medik
dilakukan, apalagi jika terjadi hal yang tidak diinginkan akan
membuat rugi pasien.
 Persetujuan tindak medik tidak dibuat. Hal ini akan merugikan
pihak terkait ketika terjadi suatu hal yang diluar perkiraan. Bisa
pasien menuntut tenaga medis, maupun sebaliknya.
 Sikap acuh tak acuh terhadap masyarakat miskin yang berobat
dan ketidak ramahan tenaga kesehatan terhadap pasien.
(Darwin, 2011)

1.6 Pembagian Etika


Etika dalam perkembangannya sangat mempengaruhi
kehidupan manusia. Etika memberi manusia orientasi bagaimana ia
menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan sehari-hari. Itu
berarti etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan
bertindak secara tepat dalam menjalani hidup ini. Etika pada
akhirnya membantu kita untuk mengambil keputusan tentang
tindakan apa yang perlu kita lakukan dan yang pelru kita pahami
bersama bahwa etika ini dapat diterapkan dalam segala aspek atau
sisi kehidupan kita, dengan demikian etika ini dapat dibagi menjadi
beberapa bagian sesuai dengan aspek atau sisi kehidupan
manusianya.
Ada dua macam etika yang harus kita pahami bersama
dalam menentukan baik dan buruknya prilaku manusia:

1. Etika Deskriptif
Etika deskriptif yaitu etika yang berusaha meneropong
secara kritis dan rasional sikap dan prilaku manusia dan apa
yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu
yang bernilai. Etika deskriptif memberikan fakta sebagai dasar
untuk mengambil keputusan tentang prilaku atau sikap yang
mau diambil.
2. Etika Normatif
Etika normatif yaitu etika yang berusaha menetapkan
berbagai sikap dan pola prilaku ideal yang seharusnya dimiliki
oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai.
Etika normatif memberi penilaian sekaligus memberi norma
sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan.

Etika secara umum dapat dibagi menjadi :


1. Etika Umum
Etika umum berbicara mengenai kondisi-kondisi dasar
bagaimana manusia bertindak secara etis, bagaimana manusia
mengambil keputusan etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip
moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam
bertindak serta tolak ukur dalam menilai baik atau buruknya
suatu tindakan. Etika umum dapat di analogkan dengan ilmu
pengetahuan, yang membahas mengenai pengertian umum dan
teori-teori.
2. Etika Khusus
Etika khusus merupakan penerapan prinsip-prinsip moral
dasar dalam bidang kehidupan yang khusus. Penerapan ini bisa
berwujud : Bagaimana saya mengambil keputusan dan
bertindak dalam bidang kehidupan dan kegiatan khusus yang
saya lakukan, yang didasari oleh cara, teori dan prinsip-prinsip
moral dasar. Namun, penerapan itu dapat juga berwujud :
Bagaimana saya menilai perilaku saya dan orang lain dalam
bidang kegiatan dan kehidupan khusus yang dilatarbelakangi
oleh kondisi yang memungkinkan manusia bertindak etis : cara
bagaimana manusia mengambil suatu keputusan atau tidanakn,
dan teori serta prinsip moral dasar yang ada dibaliknya. Etika
khusus dibagi lagi menjadi dua bagian :
a. Etika individual, yaitu menyangkut kewajiban dan sikap
manusia terhadap dirinya sendiri
b. Etika sosial, yaitu berbicara mengenai kewajiban, sikap dan
pola perilaku manusia sebagai anggota umat manusia.

Perlu diperhatikan bahwa etika individual dan etika sosial


tidak dapat dipisahkan satu sama lain dengan tajam, karena
kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan sebagai anggota umat
manusia saling berkaitan.
Etika sosial menyangkut hubungan manusia dengan
manusia baik secara langsung maupun secara kelembagaan
(keluarga, masyarakat, negara) sikap kritis terhadpa pandangan-
pandangana dunia dan idiologi-idiologi maupun tanggung jawab
umat manusia terhadap lingkungan hidup.
Dengan demikian luasnya lingkup dari etika sosial, maka
etika sosial ini terbagi atau terpecah menjadi banyak bagian atau
bidang. Dan pembahasan bidang yang paling aktual saat ini adalah
sebagai berikut :
1. Sikap terhadap sesama
2. Etika keluarga
3. Etika profesi
4. Etika politik
5. Etika lingkungan
6. Etika idiologi

1.7 Sistem Penilaian Etika


a. Titik berat penilaian etika sebagai suatu ilmu, adalah pada
perbuatan baik atau jahat, susila atau tidak susila.
b. Perbuatan atau kelakuan seseorang yang telah menjadi sifat
baginya atau telah mendarah daging, itulah yang disebut akhlak
atau budi pekerti. Budi tumbuhnya dalam jiwa, bila telah
dilahirkan dalam bentuk perbuatan namanya pekerti. Jadi suatu
budi pekerti, pangkal penilaiannya adalah dari dalam jiwa; dari
semasih berupa angan-angan, cita-cita, niat hati, sampai ia lahir
keluar berupa perbuatan nyata.
c. Burhanuddin Salam, Drs. menjelaskan bahwa sesuatu perbuatan
di nilai pada 3 (tiga) tingkat :
 Tingkat pertama, semasih belum lahir menjadi perbuatan, jadi
masih berupa rencana dalam hati, niat.
 Tingkat kedua, setelah lahir menjadi perbuatan nyata, yaitu
pekerti.
 Tingkat ketiga, akibat atau hasil perbuatan tersebut, yaitu baik
atau buruk.

Dari sistematika di atas, kita bisa melihat bahwa ETIKA


PROFESI merupakan bidang etika khusus atau terapan yang
merupakan produk dari etika sosial. Kata hati atau niat biasa juga
disebut karsa atau kehendak, kemauan, wil. Dan isi dari karsa
inilah yang akan direalisasikan oleh perbuatan. Dalam hal
merealisasikan ini ada (4 empat) variabel yang terjadi :
 Tujuan baik, tetapi cara untuk mencapainya yang tidak baik.
 Tujuannya yang tidak baik, cara mencapainya ; kelihatannya
baik.
 Tujuannya tidak baik, dan cara mencapainya juga tidak baik.
 Tujuannya baik, dan cara mencapainya juga terlihat baik.

1.8 Pengertian Profesi


Profesi Istilah profesi telah dimengerti oleh banyak orang
bahwa suatu hal yang berkaitan dengan bidang yang sangat
dipengaruhi oleh pendidikan dan keahlian, sehingga banyak orang
yang bekerja tetap sesuai. Tetapi dengan keahlian saja yang
diperoleh dari pendidikan kejuruan, juga belum cukup disebut
profesi. Tetapi perlu penguasaan teori sistematis yang mendasari
praktek pelaksanaan, dan hubungan antara teori dan penerapan
dalam praktek.
Kita tidak hanya mengenal istilah profesi untuk bidang-
bidang pekerjaan seperti kedokteran, guru, militer, pengacara, dan
semacamnya, tetapi meluas sampai mencakup pula bidang seperti
manajer, wartawan, pelukis, penyanyi, artis, sekretaris dan
sebagainya. Sejalan dengan itu, menurut DE GEORGE, timbul
kebingungan mengenai pengertian profesi itu sendiri, sehubungan
dengan istilah profesi dan profesional. Kebingungan ini timbul
karena banyak orang yang profesional tidak atau belum tentu
termasuk dalam pengertian profesi. Berikut pengertian profesi dan
profesional menurut DE GEORGE :
PROFESI, adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai
kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang
mengandalkan suatu keahlian. PROFESIONAL, adalah orang yang
mempunyai profesi atau pekerjaan purna waktu dan hidup dari
pekerjaan itu dengan mengandalkan suatu keahlian yang tinggi.
Atau seorang profesional adalah seseorang yang hidup dengan
mempraktekkan suatu keahlian tertentu atau dengan terlibat dalam
suatu kegiatan tertentu yang menurut keahlian, sementara orang
lain melakukan hal yang sama sebagai sekedar hobi, untuk
senang-senang, atau untuk mengisi waktu luang. Yang harus kita
ingat dan fahami betul bahwa “PEKERJAAN / PROFESI” dan
“PROFESIONAL” terdapat beberapa perbedaan :
PROFESI yaitu mengandalkan suatu keterampilan atau
keahlian khusus, dilaksanakan sebagai suatu pekerjaan atau
kegiatan utama (purna waktu), dilaksanakan sebagai sumber
utama nafkah hidup dan dilaksanakan dengan keterlibatan pribadi
yang mendalam. Sedangkan PROFESIONAL yaitu orang yang tahu
akan keahlian dan keterampilannya, meluangkan seluruh waktunya
untuk pekerjaan atau kegiatannya itu, hidup dari situ dan bangga
akan pekerjaannya.

1.9 Ciri-Ciri Profesi


Secara umum ada beberapa ciri atau sifat yang selalu
melekat pada profesi, yaitu :
 Adanya pengetahuan khusus, yang biasanya keahlian dan
keterampilan ini dimiliki berkat pendidikan, pelatihan dan
pengalaman yang bertahun-tahun.
 Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Hal ini
biasanya setiap pelaku profesi mendasarkan kegiatannya pada
kode etik profesi.
 Mengabdi pada kepentingan masyarakat, artinya setiap
pelaksana profesi harus meletakkan kepentingan pribadi di
bawah kepentingan masyarakat.
 Ada izin khusus untuk menjalankan suatu profesi. Setiap profesi
akan selalu berkaitan dengan kepentingan masyarakat, dimana
nilai-nilai kemanusiaan berupa keselamatan, keamanan,
kelangsungan hidup dan sebagainya, maka untuk menjalankan
suatu profesi harus terlebih dahulu ada izin khusus.
 Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu profesi.

Dengan melihat ciri-ciri umum profesi di atas, kita dapat


menyimpulkan bahwa kaum profesional adalah orang-orang yang
memiliki tolak ukur perilaku yang berada di atas ratarata. Di satu
pihak ada tuntutan dan tantangan yang sangat berat, tetapi di lain
pihak ada suatu kejelasan mengenai pola perilaku yang baik dalam
rangka kepentingan masyarakat. Seandainya semua bidang
kehidupan dan bidang kegiatan menerapkan suatu standar
profesional yang tinggi, bisa diharapkan akan tercipta suatu kualitas
masyarakat yang semakin baik.

1.10 Prinsip-Prinsip Etika Profesi


a. Tanggung jawab
 Terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan terhadap hasilnya.
 Terhadap dampak dari profesi itu untuk kehidupan orang lain
atau masyarakat pada umumnya.
b. Keadilan
Prinsip ini menuntut kita untuk memberikan kepada siapa
saja apa yang menjadi haknya.
c. Otonomi
Prinsip ini menuntut agar setiap kaum profesional
memiliki dan di beri kebebasan dalam menjalankan profesinya.
1.11 Syarat-Syarat Suatu Profesi
a. Melibatkan kegiatan intelektual.
b. Menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus.
c. Memerlukan persiapan profesional yang alam dan bukan
sekedar latihan.
d. Memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan.
e. Menjanjikan karir hidup dan keanggotaan yang permanen.
f. Mementingkan layanan di atas keuntungan pribadi.
g. Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.
h. Menentukan baku standarnya sendiri, dalam hal ini adalah kode
etik.

1.12 Peranan Etika Dalam Profesi


a. Nilai-nilai etika itu tidak hanya milik satu atau dua orang, atau
segolongan orang saja, tetapi milik setiap kelompok
masyarakat, bahkan kelompok yang paling kecil yaitu keluarga
sampai pada suatu bangsa. Dengan nilai-nilai etika tersebut,
suatu kelompok diharapkan akan mempunyai tata nilai untuk
mengatur kehidupan bersama.
b. Salah satu golongan masyarakat yang mempunyai nilai-nilai
yang menjadi landasan dalam pergaulan baik dengan kelompok
atau masyarakat umumnya maupun dengan sesama
anggotanya, yaitu masyarakat profesional. Golongan ini sering
menjadi pusat perhatian karena adanya tata nilai yang mengatur
dan tertuang secara tertulis (yaitu kode etik profesi) dan
diharapkan menjadi pegangan para anggotanya.
c. Sorotan masyarakat menjadi semakin tajam manakala perilaku-
perilaku sebagian para anggota profesi yang tidak didasarkan
pada nilai-nilai pergaulan yang telah disepakati bersama
(tertuang dalam kode etik profesi), sehingga terjadi
kemerosotan etik pada masyarakat profesi tersebut. Sebagai
contohnya adalah pada profesi hukum dikenal adanya mafia
peradilan, demikian juga pada profesi dokter dengan pendirian
klinik super spesialis di daerah mewah, sehingga masyarakat
miskin tidak mungkin menjamahnya.
BAB II
ETIKA PROFESI ANALIS KESEHATAN

2.1 Analis Kesehatan


Analis Kesehatan merupakan bagian dari profesi di bidang
kesehatan yaitu petugas yang bekerja di laboratorium untuk
melakukan pemeriksaan laboratorium sebagai penunjang diagnose
dokter.
Standar Profesi Ahli Teknologi Laboratorium Kesehatan
Indonesia adalah suatu standar bagi profesi ahli teknologi
laboratorium kesehatan di Indonesia dalam menjalankan tugas
profesinya untuk berperan secara aktif teratah dan terpadu bagi
pembangunan nasional Indonesia.
Pelayanan Laboratorium Kesehatan merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Laboratorium kesahatan sebagai unit pelayanan penunjang medis,
diharapkan dapat memberikan informasi yang teliti dan akurat tentang
aspek laboratories terhadap spesimen/sampel yang pengujiannya
dilakukan di laboratorium. Masyarakat menghendaki mutu hasil
pengujian laboratoriumterus ditingkatkan seiring dengan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta pengembangan penyakit. Ahli
teknologi laboratorium kesehatan yang terdiri dari para analis
kesehatan dan praktisi laboratorium lainnya harus senantiasa
mengembangkan diri dalam menjawab kebutuhan masyarakat akan
adanya jaminan mutu terhadap hasil pengujian laboratorium dan
tuntutan diberikan pelayanan yang prima.
Diagnosa seorang dokter sangat dipengaruhi oleh sampel yang
diteliti oleh pranata laboratorium atau analis kesehatan. Jika terjadi
kesalahan dalam meneliti sampel maka yang patut disalahkan adalah
analis kesehatan yang tidak terampil dan bertanggungjawab atas
sampel tersebut. Diagnosa adalah identifikasi mengenai sesuatu.
Diagnosis digunakan dalam medis, ilmu pengetahuan, teknik, bisnis,
dan lain-lain. Sampel adalah bagian dari populasi yang ingin diteliti;
dipandang sebagai suatu pendugaan terhadap populasi, namun
bukan populasi itu sendiri. Dalam hal ini sudah sepatutnya seorang
analis bekerja sama dengan dokter dalam membantu mendiagnosa
suatu penyakit. Dengan demikian sudah sangat jelas bahwa analis
kesehatan adalah contoh dari salah satu profesi yang sangat
menunjang dalam dunia kedokteran.
Untuk memastikan jenis penyakit, sampel darah pasien akan
diperiksa di labaratorium. Demikian imbauan yang lazim diucapkan
pejabat di tengah merebaknya wabah flu burung. Bicara soal
laboratorium, ingatan kita selalu tertuju pada sebuah profesi analis
kesehatan. Sebagai operator laboratarium, analis kesehatan menjadi
ujung tombak untuk mendiagnosa beragam penyakit. Padahal dulu
dokter bagaikan ''dewa'', dan dianggap sebagai satu-satunya tenaga
medis yang berwenang menentukan derajat kesehatan pasien. Seiring
dengan perkembangan ilmu kesehatan, makin terbukalah rahasia
tautan derajat kesehatan dan komposisi kimia dalam tubuh manusia.
Alhasil, uji klinis seperti sampel darah, urine dan kandungan lain
dalam tubuh sangat penting, untuk memastikan jenis serta stadium
penyakit yang diderita pasien.
kesadaran masyarakat untuk meningkatkan taraf kesehatan dan
kualitas hidup juga meningkat. Salah satunya ditandai dengan
menjamurnya klinik atau laboratorium kesehatan. Apakah ini akibat
banyak masyarakat yang mengidap penyakit degeneratif seperti
diabetes, asam urat, liver, dan jantung. Bisa jadi memang begitu, atau
lantaran meningkatnya kesadaran masyarakat untuk melakukan
pemeriksaan secara berkala terhadap kondisi kesehatannya. Sudah
lumrah, jika penderita diabetes melakukan pengecekan kadar gulanya
secara teratur di laboratorium kesehatan. Ternyata setengah dari
sebagian responden mengaku datang atas inisiatif sendiri. Artinya,
bukan karena ada rekomendasi dokter. Mudahnya memperoleh
informasi kesehatan membuat masyarakat seakan mengabaikan
peran dokter. Dengan berpatokan pada hasil uji laboratorium,
masyarakat kemudian melakukan terapi penyakit secara mandiri.
Pada batas tertentu, hal itu diperbolehkan. Misalnya, hasil uji kadar
gula darah digunakan sebagai patokan diet bagi penderita diabetes.
Namun, peran dokter itu sangat diperlukan untuk memberikan terapi
secara menyeluruh.

2.2 Etika Profesi Analis Kesehatan


Terdiri dari tiga dimesi yaitu :
1. Keahlian : Pengetahuan, nalar atau kemampuan dalam sosialisasi
terlatih.
2. Keterampilan dalam komunikasi
3. Profesionalisme : Tahu apa yang harus dilakukan dan yang
sebaiknya di lakukan

2.3 Kewajiban-Kewajiban Analis Kesehatan


A. Kewajiban Analis Kesehatan Terhadap Profesi
 Menjunjung tinggi serta memelihara martabat, kehormatan,
profesi, menjaga integritas dan kejujuran serta dapat dipercaya
 Meningkatkan keahlian dan pengetahuannya sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
 Melakukan pekerjaan profesinya sesuai dengan standar
prosedur operasional, standar keselamatan kerja yang berlaku
dank ode etik profesi.

B. Kewajiban Analis Kesehatan Terhadap Pekerjaan


 Bekerja dengan ikhlas dan rasa syukur
 Amanah serta penuh integritas
 Bekerja dengan tuntas dan penuh tanggung jawab
 Penuh semangat dan pengabdian
 Kreatif dan tekun
 Menjaga harga diri dan jujur
 Melayani dengan penuh kerendahan hati

C. Kewajiban Terhadap Rekan


 Memperlakukan setiap teman sejawat dalam batas-batas norma
yang berlaku
 Menjunjung tinggi kesetiakawanan dalam melaksanakan
profesi.
 Membina hubungan kerjasama yang baik dan saling
menghormati dengan teman sejawat dan tenaga profesional
lainnya dengan tujuan utama untuk menjamin pelayanan tetap
berkualitas tinggi.

D. Kewajiban Analis Kesehatan Terhadap Pasien


 Bertanggung jawab dan menjaga kemampuannya dalam
memberikan pelayanan kepada pasien secara professional
 Menjaga kerahasiaan informasi dan hasil pemeriksaan pasien
serta hanya memberikan kepada pihak yang berhak
 Dapat berkonsultasi kepada teman sejawat atau pihak yang
lebih ahli untuk mendapatkan hasil yang akurat

E. Kewajiban Terhadap Masyarakat


 Memiliki tanggung jawab untuk menyumbangkan kemampuan
profesionalnya kepada masyarakat luas serta selalu
mengutamakan kepentingan masyarakat.
 Dalam melaksanakan pelayanan sesuai dengan profesinya
harus mengikuti peraturan dan perundang-undangan yang
berlaku serta norma-norma yang berkembang pada
masyarakat.
 Dapat menemukan penyimpangan pelayanan yang tidak sesuai
dengan standar norma yang berlaku pada saat itu serta
melakukan upaya untuk dapat melindungi kepentingan
masyarakat.

2.4 Batasan dan Ruang Lingkup


1. Teknologi Laboratorium Kesehatan adalah disiplin ilmu kesehatan
yang memberikan perhatian terhadap semua aspek laboratories
dan analitik terhadap cairan dan jaringan tubuh manusia serta ilmu
kesehatan lingkungan.
2. Ahli Teknologi Laboratorium Kesehatan adalah tenaga kesehatan
dan ilmuwan berketerampilan tinggi yang melaksanakan dan
mengevaluasi prosedur laboratorium dengan memanfaatkan
berbagai sumber daya.
3. Standar Profesi Ahli Teknologi Laboratorium kesehatan Indonesia
mencakup standar kompetensi kerja yang harus memiliki dank ode
etik yang harus dilaksanakan oleh ahli teknologi laboratorium
kesehatan Indonesia dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai
tenaga kesehatan.

2.5 Tugas Pokok dan Fungsi Ahli Teknologi Laboratorium Kesehatan


1. Melaksanakan pelayanan laboratorium kesehatan meliputi bidang
hematologi, kimia klinik, mikrobiologi, imunologi-serologi,
toksikologi, kimia lingkungan, patologi anatomi, biologi dan fisika.
2. Mengembangkan prosedur untuk mengambil dan memproses
specimen.
3. Melaksanakan uji analitik terhadap reagen dan specimen.
4. Mengoperasikan dan memelihara peralatan atau instrument
laboratorium.
5. Mengevaluasi data laboratorium untuk memastikan akurasi dan
prosedur pengendalian mutu dan mengembangkan pemecahan
masalah yang berkaitan dengan data hasil uji.
6. Mengevaluasi teknik, instrument, dan prosedur baru untuk
menentukan manfaat kepraktisannya.
7. Membantu klinisi dalam pemanfaatan data laboratorium secara
efektif dan efisien untuk menginterpretasikan hasil uji
laboratorium.
8. Merencanakan, mengatur, melaksanakan dan mengevaluasi
kegiatan laboratorium.
9. Membimbing dan membina tenaga kesehatan lain dalam bidang
teknik kelaboratoriuman.
10. Merancang dan melaksanakan penelitian dalam bidang
laboratorium kesehatan.

2.6 Kompetensi yang Harus Dimilki oleh Ahli Teknologi Laboratorium


Kesehatan
1. Menguasai ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan tugas pokok
dan fungsinya di laboratorium kesehatan.
2. Mampu merencanakan/merancang proses yang berkaitan dengan
tugas pokok dan fungsinya di laboratorium kesehatan sesuai
jenjangnya.
3. Memiliki keterampilan untuk melaksanakan proses teknis
operasional pelayanan laboratorium, yaitu :
a. Keterampilan pengambilan specimen, termasuk penyiapan
pasien (bila diperlukan), labeling, penanganan, pengawetan,
fiksasi, pemprosesan, penyimpanan dan pengiriman specimen.
b. Keterampilan melaksanakan prosedur laboratorium, metode
pengujian dan pemakaian alat dengan benar.
c. Keterampilan melakukan perawatan dan pemeliharaan alat,
kalibrasi dan penanganan masalah yang berkaitan dengan uji
yang dilakukan.
d. Keterampilan melaksanakan uji kualitas media dan reagen
untuk pengujian specimen.
4. Mampu memberikan penilaian analitis terhadap hasil uji
laboratorium.
5. Memiliki pengetahuan untuk melaksanakan kebijakan
pengendalian mutu dan prosedur laboratorium.
6. Memiliki kewaspadaan terhadap faktor-faktor yang mempengauhi
hasil uji laboratorium.

2.7 Professional Analis Kesehatan


1. Tangibles (bukti langsung dan nyata) meliputi hasil pengujian,
dapat menunjukkan konsep deajat kesehatan pada diri sendiri.
2. Reliability (kehandalan), yaitu kemampuan memberikan pelayanan
yang dijanjikan dengan segera dan memuaskan.
3. Responsiveness (daya tanggap), yaitu tanggap dalam memberikan
pelayanan yang baik terhadap pemakai jasa (pasien, klinisi, dan
profesi lain).
4. Assurance (jaminan), mencakup kemampuan, kesopanan, sifat
dapat dipercaya yang dimiliki Analis Kesehatan dan bebas dari
resiko bahaya atau keragu-raguan.
5. Emphaty (empati) meliputi kemudahan dalam melakukan
hubungan, komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan
pemakai jasa (pasien, klinisi, dan profesi lain).

2.8 Perlindungan Terhadap Analis Kesehatan


A. Perlindungan Hukum
 Tindak kekerasan
 Ancaman
 Perlakuan diskriminatif
 Intimidasi atau perlakuan tidak adil dari pimpinan unit kerja,
pasien, keluarga pasien, masyarakat, birokrasi dan pihak lain.

B. Perlindungan profesi
 Pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan
 Pemberian imbalan yang tidak wajar
 Pembatasan dalam menyampaikan pandangan
 Pelecehan terhadap profesi
 Pembatasan atau pelarangan lain yang dapat menghambat
dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya.
2.9 Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang
diselenggarakan sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi
untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan
mengobati penyakit, serta memulihkan kesehatan perorangan,
kelompok ataupun masyarakat.
Dalam pelayanan kesehatan tentu ada aturan-aturan yang
berkaitan dengan kesehatan yaitu bagaimana menghandle masalah-
masalah itu tidak keluar dari etika dan hukum agar apa yang
dikerjakan tidak menimbulkan efek secara etika dan hukum terhadap
diri sendiri dan orang lain.
Secara lebih luas, etika merupakan norma-norma, nilai-nilai
atau pola tingkah laku kelompok profesi tertentu dalam memberikan
pelayanan jasa kepada masyarakat. Pekerjaan profesi antara lain
dokter, apoteker, ahli kesehatan masyarakat, perawat, wartawan,
hakim, pengacara, akuntan, dan lain-lain.
Etika maupun hukum dalam suatu masyarakat mempunyai
tujuan yang sama, yakni terciptanya kehidupan masyarakat yang
tertib, aman dan damai. Oleh sebab itu, semua masyarakat harus
mematuhi etika dan hukum yang ada. Apabila tidak maka bagi
pelanggar etika sanksinya adalah “moral” sedangkan bagi para
pelanggar hukum, sanksinya adalah hukuman (pidana atau perdata).
Petugas kesehatan dalam melayani masyarakat, juga akan
terkait pada etika dan hukum, atau etika dan hukum kesehatan.
Dalam pelayanan kesehatan masyarakat, perilaku petugas
kesehatan harus tunduk pada etika profesi (kode etik profesi) dan
juga tunduk pada ketentuan hukum, peraturan. Perudangan-
undangan yang berlaku. Apabila petugas kesehatan melanggar kode
etik profesi akan memperoleh sanksi etika dari organisasi profesinya,
dan mungkin apabila juga melanggar ketentuan peraturan atau
perudangan-undangan, juga akan memperoleh sanksi hukum
(pidana atau perdana).
Seiring dengan kemajuan zaman, serta kemudahan dalam
akses informasi, era globalisasiatau kesejagatan membuat akses
informasi tanpa batas, serta peningkatan ilmupengetahuan dan
tekhnologi membuat masyarakat semakin kritis. Disisi lain
menyebabkantimbulnya berbagai permasalahan etik. Selain itu
perubahan gaya hidup, budaya dan tatanilai masyarakat, membuat
masyarakat semakin peka menyikapi berbagai persoalan, termasuk
memberi penilaian terhadap pelayanan yang diberikan petugas
kesehatan. Perkembangan ilmu dan tekhnologi kesehatan yang
semakin maju telah membawa manfaat yang besar untuk
terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
Perkembangan ini juga diikuti dengan perkembangan hukum di
bidang kesehatan, sehingga secara bersamaan, petugas kesehatan
menghadapi masalah hukum terkait dengan aktivitas, perilaku, sikap
dan kemampuannya dalam menjalankan profesi kesehatan.Ketika
masyarakat merasakan ketidakpuasan terhadap pelayanan atau
apabila seorang petugas kesehatan merugikan pasien, tidak
menutup kemungkinan untuk di meja hijaukan.
Bahkan didukung semakin tinggi peran media, baik media
massa maupun elektronik dalammenyoroti berbagai masalah yang
timbul dalam pelayanan kesehatan, merupakan hal yangperlu
diperhatikan dan perlu didukung pemahaman petugas kesehatan
mengenai kode etikprofesi dan hukum kesehatan, dasar kewenangan
dan aspek legal dalam pelayanan kesehatan. Untuk itu dibutuhkan
suatu pedoman ynag komprehensif dan integratif tentang sikap dan
perilaku yang harus dimiliki oleh seorang petugas kesehatan,
pedoman tersebut adalah kode etik profesi. Kode etik profesi penting
diterapkan, karena semakin meningkatnya tuntutan terhadap
pelayanan kesehatan dan pengetahuan serta kesadaran hukum
masyarakat tentang prinsip dan nilai moral yang terkandung dalam
pelayanan profesional. Kode etik profesi mengandung karakteristik
khusus suatu profesi. Hal ini berarti bahwa standar profesi harus
diperhatikan dan mencerminkan kepercayaan serta tanggung jawab
yang diterima oleh profesi dalam kontrak hubungan profesional
antara tenaga kesehatan dan masyarakat. Masyarakat memberi
kepercayaan kepada tenaga kesehatan untuk melaksanakan
kewajibannya dalam memutuskan dan melakukan tindakan
berdasarkan pada pertimbangan terbaik bagi kepentingan
masyarakat (penerima layanan kesehatan) yang mengacu pada
standar praktik dan kode etik profesi. Kode etik adalah seperangkat
prinsip etik yang disusun atau dirumuskan oleh anggota-anggota
kelompok profesi, yang merupakan cermin keputusan moral dan
dijadikan standar dalam memutuskan dan melakukan tindakan
profesi.

2.10 Beberapa Permasalahan Etika Pelayanan Kesehatan


Asumsi bahwa semua aparat pemerintah adalah pihakyang
telah teruji pasti selalu membela kepentingan publik atau
masyarakatnya, tidak selamanya benar. Banyak kasus membuktikan
bahwa kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, partai dan bahkan
struktur yang lebih tinggi justru mendikte perilaku seorang birokrat
atau aparat pemerintahan. Birokrat dalam hal ini tidak memiliki
“independensi”dalam bertindak etis, atau dengan kata lain, tidak ada
“otonomi dalam beretika”. Alasan lain lebih berkenaan dengan
lingkungan di dalam birokrasi yang memberikan pelayanan itu sendiri
Berkenaan dengan karakteristik masyarakat umum yang
terkadang begitu variatif sehingga membutuhkan perlakuan khusus.
Mempekerjakan pegawai negeri dengan menggunakan prinsip
“kesesuaian antara orang dengan pekerjaannya” merupakan prinsip
yang perlu dipertanyakan secara etis, karena prinsip itu akan
menghasilkan ketidak adilan, dimana calon yang dipekerjakan hanya
berasal dari daerah tertentuyang relatif lebih maju.
Kebijakan mengutamakan “putera daerah” merupakan salah
satu contoh yang populer saat ini. Alasan penting lainnya adalah
peluang untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika
yang berlaku dalam pemberian pelayanan kesehatan sangat besar.
Pelayanan kesehatan tidak sesederhana sebagaimana dibayangkan,
atau dengan kata lain begitu kompleksitas sifatnya baik berkenaan
dengan nilai pemberian pelayanan itu sendiri maupun mengenai cara
terbaik pemberian pelayanan kesehatan itu sendiri.
Kompleksitas dan ketidak menentuan ini mendorong pemberi
pelayanan kesehatan mengambil langkah-langkah profesional yang
didasarkan kepada “keleluasaan bertindak”(discretion). Keleluasaan
inilah yang sering menjerumuskan pemberi pelayanan publik atau
aparat pemerintah untuk bertindak tidak sesuai dengan kode etik
atau tuntunan perilaku yang ada. Dalam pemberian pelayanan publik
khususnyadi Indonesia, pelanggaran moral dan etika dapat diamati
mulai dari proses kebijakan publik (pengusulan program, proyek, dan
kegiatan yang tidak didasarkan atas kenyataan), desain organisasi
pelayanan kesehatan (pengaturan struktur,formalisasi, dispersi
otoritas) yang sangat bias terhadap kepentingan tertentu,
prosesmanajemen pelayanan kesehatan yang penuh rekayasa dan
kamuflase (mulai dariperencanaan teknis, pengelolaan keuangan,
SDM, informasi, dsb.), yang semuanyaitu nampak dari sifat-sifat tidak
transparan, tidak responsif, tidak akuntabel, tidak adil, dsb.
Pelanggaran moral dan etika ini telah diungkapkan sebagai
salah satu penyebab melemahnya pelayanan kesehatan di
Indonesia. Alasan utama yang menimbulkan tragedi tersebut sangat
kompleks, mulai dari kelemahan aturan hukum dan perundang-
undangan, sikap mental manusia, nilai-nilai sosial budaya yang
kurang mendukung, sejarah dan latar belakang kenegaraan,
globalisasi yang tak terkendali,sistem pemerintahan, kedewasaan
dalam berpolitik, dsb. Bagi Indonesia, pembenahan moralitas yang
terjadi selama ini masih sebatas lip service tidak menyentuh
sungguh-sungguh substansi pemenahan moral itu sendiri. Karena itu
pembenahan moral merupakan “beban besar” di masa mendatang
dan apabila tidak diperhatikan secara serius maka proses
“pembusukan” terus terjadi dan dapat berdampak pada disintegrasi
bangsa.
Dibutuhkan kode etik dalam pelayanan kesehatan.
Kode etik pelayanan kesehatan di Indonesia masih terbatas pada
beberapa profesi seperti ahli keperawatan, kebidanan dan
kedokteran sementara kode etik untuk profesi yang lain masih belum
nampak. Ada yang mengatakan bahwa kita tidak perlu kode etik
karena secara umum kita telah memiliki nilai-nilai agama, etika moral
Pancasila, bahkan sudah adasumpah pegawai negeri yang
diucapkan setiap apel bendera. Pendapat tersebut tidak salah,
namun harus diakui bahwa ketiadaan kode etik ini telah member
peluang bagi para pemberi pelayanan kesehatan untuk
mengenyampingkan kepentingan masyarakat umum. Kehadiran kode
etik itu sendiri lebih berfungsi sebagai alat kontrol langsung bagi
perilaku para pegawai yang bekerja dibidang kesehatan.
Kelemahan kita terletak pada ketiadaan atau terbatasnya kode
etik. Demikian pula kebebasan dalam menguji dan mempertanyakan
norma-norma moralitas yangberlaku dalam pelayanan kesehatan
masih kurang maksimal, bahkan seringkali kaku terhadap norma-
norma moralitas yang sudah ada tanpa melihat perubahan jaman.
Kita juga masih membiarkan diri kita didikte oleh pihak luar sehingga
belumterjadi otonomi beretika.
Kadang-kadang, kita juga masih membiarkan diri kita untuk
mendahulukan kepentingan tertentu tanpa memperhatikan konteks
atau dimana kita bekerja atau berada. Mendahulukan orang-orang
elit atau suku sendiri merupakan tindakan tidak terpuji bila itu
diterapkan dalam konteks organisasi masyarakat yang menghendaki
perlakuan yang sama kepada semua suku. Mungkin tindakan ini
tepat dalam organisasi swasta, tapi tidak tepat dalam organisasi
masyarakat terutama dalam pelayanan kesehatan.
Berdasarkan hal sudah dikemukakan diatas, maka kita akan
melihat apakah benar puskesmas menjadi sarana kesehatan yang
tidak bermutu lagi dimasyarakat. Dalam hal ini, puskesmas dibawah
tanggung jawab Dinas Kesehatan menjadi ujung tombak pelayanan
masyarakat, mulai dari preventif, kuratif, promotif dan rehabilitatif.
Program Dinkes yang telah ada tidah sepenuhnya berjalan dengan
lancar, dapat dilihat dari masih adanya masalah kesehatan yang
ditemui dalam masyarakat, misalnya ditemukan wabah gizi buruk
pada balita dibeberapa tempat di Indonesia.Hal ini tidak bisa
sepenuhnya diserahkan pertanggung jawaban dari pihakpuskesmas
setempat. Mungkin saja dikarenakan peran serta masyarakat
yangkurang terhadap lingkungan, dalam hal ini para ibu yang tidak
memperhatikan gizianaknya mulai dari lahir sampai dewasa.Konsep
puskesmas seharusnya menjemput bola. Perannya bukan hanya
sepertirumah sakit yang menunggu pasien berkunjung. Untuk daerah
terpencil yang sulitdijangkau, puskesmas harus mendekat ke
masyarakat agar mereka tidak terlanjursakit. Bila masyarakat tidak
dibina, dari 4 program puskesmas yang harus ada,mereka rentan
jatuh sakit, sehingga puskesmas akan dinilai gagal karena
pasienyang akan berobat akan semakin banyak, dan yang lebih
parah apabila merekamengeluh dengan penyakit yang itu-itu saja.
2.11 Cara Mengatasi Permasalahan Etika Pelayanan Kesehatan
Lebih berkenaan dengan lingkungan di dalam birokrasi
yang memberikan pelayanan kesehatan itu sendiri. Desakan untuk
memberi perhatian kepada aspek kemanusiaan dalam organisasi
(organizational humanism) telah disampaikan oleh Denhardt. Dalam
literatur tentang aliran human relations dan human resources, telah
dianjurkan agar manajer harus bersikap etis, yaitu memperlakukan
manusia atau anggota organisasi secara manusiawi. Alasannnya
adalah bahwa perhatian terhadap manusia (concern for people) dan
pengembangannya sangat relevan dengan upaya peningkatan
produktivitas, kepuasan dan pengembangan kelembagaan.
Dalam konteks ini, yang lebih penting adalah bahwa kode etik
itu tidak hanya sekedar ada, tetapi juga dinilai tingkat
implementasinya dalam kenyataan. Bahkan berdasarkan penilaian
implementasi tersebut, kode etik tersebut kemudian dikembangkan
atau direvisi agar selalu sesuai dengan tuntutan perubahan jaman.
Kita mungkin perlu belajar dari negara lain yang sudah memiliki
kedewasaan beretika. Di Amerika Serikat, misalnya, kesadaran
beretika dalam pelayanan kesehatan telah begitu meningkat
sehingga banyak profesi pelayanan kesehatan yang telah memiliki
kode etik.
Dalam praktek pelayanan kesehatan saat ini di Indonesia,
seharusnya kita selalumemberi perhatian terhadap berbagai dilema
di atas. Atau dengan kata lain, parapemberi pelayanan kesehatan
harus mempelajari norma-norma etika yang bersifatuniversal, karena
dapat digunakan sebagai penuntun tingkah lakunya. Akan tetapi
norma-norma tersebut juga terikat situasi sehingga menerima norma-
norma tersebut sebaiknya tidak secara kaku. Bertindak seperti ini
menunjukan suatu kedewasaan dalam beretika. Dialog menuju
konsensus dapat membantu memecahkan dilema tersebut. Harus
ada kedewasaan untuk melihat dimana kita berada dan tingkatan
hirarki etika manakah yang paling tepat untuk diterapkan.
BAB III
TINJAUAN KASUS

2.1 Kasus Pelanggaran Etika Profesi


Etika kesehatan di Indonesia sudahlah baik. Namun ada beberapa
kasus yang mengenai etika dunia kesehatan di Indonesia yang sering kali
menjadi buah bibir masyarakat di Indonesia. Seperti pelayanan tenaga
kesehatan yang kuramg ramah dan terkesan jutek dimata pasien. Hal ini
terdengar sepele, namun pada kenyataannya banyak pasien yang
mengeluhkan masalah ketidak ramahan para tenaga kesehatan di rumah
sakit. Sikap petugas yang tidak ramah dan terkesan jutek membuat pasien
merasa terganggu dan tidak leluasa dalam menyampaikan keluhan.
Selain kasus diatas terrdapat pula salah satu contoh kasus dari
kelalaian seorang analis kesehatan ialah kasus mengenai seorang
wanita bernama Prita Mulyasari yang kasusnya saat itu marak
diberitakan di media. Kasus yang menimpa Ibu Prita Mulyasari yang
dituntut oleh Omni International Hospital Tangerang atas dasar
pencemaran nama baik dan sempat ditahan di LP Wanita Tangerang
sebelum akhirnya mendapat penangguhan penahanan, menjadi berita
hangat yang memicu timbulnya simpati masyarakat sampai politisi di
tanah air.
Kasus ini bermula dari tersebarnya email yang berisi keluhan Ibu
Prita di internet yang oleh pihak RS Omni dianggap merugikan dan
mencemarkan nama baik RS dan dua orang dokternya. Dalam email
yang tersebar luas tersebut, Ibu Prita dengan gamblang menyatakan
bahwa RS Omni International telah melakukan penipuan atas dirinya
karena menggunakan hasil laboratorium yang hasilnya tidak valid
untuk memutuskan rawat inap.
Hasil lab yang dimaksud adalah hitung trombosit yang dilakukan
dua kali yang hasilnya 27.000/mikroliter. Keesokan harinya dokter
spesialis yang merawat mengatakan ada revisi tentang hasil lab yang
dilakukan semalam, dan hasil yang benar adalah 181.000/mikroliter.
Inilah yang kemudian dianggap sebagai penipuan oleh Ibu Prita. Dari
keterangan yang ada didalam email tersebut berupa gejala klinis dan
hasil pemeriksaan trombosit awal, memang seorang dokter segera
akan berpikir bahwa itu demam berdarah sebelum terbukti yang lain,
karena Indonesia termasuk daerah endemik demam berdarah.
Trombosit yang 27.000/mikroliter tersebut sudah termasuk
membahayakan karena potensi terjadinya perdarahan cukup besar.
Jadi berdasarkan pemeriksaan awal, saya kira memang sudah
seharusnya Ibu Prita dirawat segera. Perlu dicatat bahwa nilai normal
hitung trombosit adalah 150.000-300.000/mikroliter (ada variasi nilai
normal antar laboratorium/RS). Nilai kritis pemeriksaan trombosit
adalah 50.000/mikroliter. Potensi terjadinya perdarahan sangat besar
bila nilainya sudah dibawa 20.000/mikroliter.
Namun yang mencengangkan adalah revisi hasil lab yang
dimaksud keesokan harinya. Apakah revisi tersebut dilakukan dengan
sampel yang sama? Apakah dua kali pemeriksaan awal (sesuai email
Ibu Prita) tersebut dua-duanya salah? Ini sangat kontras dengan apa
yang dijelaskan pihak RS Omni dalam klarifikasinya seperti yang
diberitakan oleh Kompas. Pihak RS dari berita itu hanya melakukan
dua kali pemeriksaan hitung trombosit, dan menyatakan bahwa
pemeriksaan pertama tidak valid karena banyak gumpalan darah.
Disinilah letak kompetensi laboratorium RS Omni yang harus
dipertanyakan. Kenapa bisa terjadi banyak gumpalan darah? Darah
yang telah diberi anticoagulan atau antibeku tidak akan membeku,
oleh karena itu pihak RS Omni harus dapat menjelaskan kepada
masyarakat mengapa terdapat banyak gumpalan darah di sampel
darah Ibu Prita yang menjadi alasan tidak validnya pemeriksaan
pertama.
Di dalam kasus pertama, tertuliskan “Dokter harus ramah
terhadap pasien”, hal ini sepele namun apabila seorang dokter tidak
menerapkan keramahan pada pasiennya maka apa yang akan
terjadi? Tentu pasien akan tidak leluasa dalam menyampaikan
keluhannya. Begitu juga dengan pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Setiap pasien mendapatkan hak dan kewajiban yang sama untuk
memperoleh pelayanan yang maksimal.
Kemudian di dalam kasus ke dua, secara keseluruhan kasus ini
sebenarnya hanya karena kurangnya komunikasi antara dokter dan
pasien. Setiap tindakan yang diberikan kepada pasien seharusnya
memang mesti sepegentahuan pasien. Disinilah letak pentingnya
informed consent.
Kasus Prita tersebut adalah salah satu contoh pembelajaran bagi
seorang analis agar nantinya mereka harus memiliki keterampilan dan
tanggung jawab yang besar agar nantinya mereka dapat berhati-hati
dalam megerjakan suatu sampel sehingga mereka dapat
mempertanggung jawabkan sampel tersebut. Sehingga tidak ada lagi
kasus yang sama seperti kasus ibu Prita dikemudian hari. Hal ini juga
sudah sepatutnya menjadi pelajaran bagi profesi analis kesehatan
untuk lebih berhati-hati dan lebih teliti. Sama halnya dengan rumah
sakit atau Laboratorium, rumah sakit atau Laboratorium adalah
kehidupan ideal bagi orang-orang yang punya jiwa kemanusiaan, rasa
sosial dan kemasyarakatan yang tinggi. Oleh karena itu profesi di
bidang pelayanan jasa medis apapun bentuk profesinya (Rumah Sakit
padat profesi) baik yang berprofesi sebagai staf medis (dokter), staf
paramedis (perawat / bidan) dan staf penunjang medis lainnya seperti
analis kesehatan, apoteker, analis gizi, fisioterapi, radiographer adalah
salah satu dari sekian banyak jenis pekerjaan yang dianggap mulia.
Begitu banyak pengetahuan medis yang telah disumbangkan
ilmuwannya dalam rangka upaya penyembuhan, penyelamatan dan
pemulihan kesehatan umat manusia. Dan hal ini seringkali klimaks
dan atau antiklimaksnya berakhir di Rumah Sakit, berhasil atau
sebaliknya gagal. Namun alangkah naifnya jika profesi dibidang
kesehatan lebih banyak muatan komersialnya dari pada muatan
pelayanan sosial kemasyarakatan, simplenya dua-duanya harus
seimbang antara pelayanan sosial kemasyarakatan dengan bisnis dan
keuntungan.

2.2 Etika profesi Analis Kesehatan


Untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam menganalisa
sesuatu, adapun etika profesi analis kesehatan :
Etika profesi Analis Kesehatan memiliki tiga dimensi utama, yaitu :
A. Keahlian (pengetahuan, nalar atau kemampuan dalam asosiasi
dan terlatih)
B. Profesionalisme (tahu apa yang harus dilakukan dan yang
sebaiknya dilakukan)
C. Keterampilan dalam komunikasi (baik verbal & non verbal)

2.3 Cara Berkomunikasi yang Baik dengan Pasien


Tata cara seorang Analis Kesehatan berkomunikasi yang baik
dengan pasien:
1. Courtesy and raport
 Perkenakan diri (percakapan pertama) : “Selamat pagi pak/ibu,
saya analis laboratorium disini, saya akan membantu bapak,
nama saya....., apa yang dapat saya bantu....”
 Respek kepada hal-hal pasien yang besifat pribadinya.
 Menanyakan/mengetahui nama pasien sebelum memulai
pembicaraan : ”Maaf bapak/ibu, nama bapak siapa?”. Oke bapak
.... ada yang bisa saya bantu sekarang”.
 Menggunakan bahasa tubuh yang baik : ekspresi muka (smile),
kontak mata, postur yang baik, menontrol jarak, dan mengatur
intonasi suara.
 Menjaga kepercayaan dan rahasia-rahasi pasien.
 Menjaga rahasia dan menyimpan kondisi-kondisi pasien yang
anda hadapi.
 Memberikan informasi dengan baik.
 Dalamkondisi yang kurang baik dalam diri kita,komunikasi
dengan orang lain tetapharus dijagaagar tetapbaik.
2. Persepsi
 Pendapat/pandangan yang terjadi atas komunikasi yang harus
diperhatikan
 Memahami komunikasi
 Bisa berubah setiapsaat
 Berbeda-beda tiap individu
3. Basic Skills
Listening : Persepsi, jangan menghakimi,menjadi pendengar yang
aktif,menggunakan bahas tubuh yang baik dan menjadi pendengar
yang baik.
4. Informasi
 Secukupnya infomasidan tidak terlalu singkat.
 Tidak boleh menggunakan jargon tertentu yang sulit dipahami.
 Hindariinformasi yang berlebihan (singkat,jelas dan to the point).
5. Assesment
 Memverifikasi komunikasi yang telah terjadi/diberikan.
 Menginformasikan kembali informasi yang diberikan : “Jadi
bapak besok puasa ya 10 jam dan pagi-pagi jam 7.30 ke
laboratorium untuk diambil darah”.
6. Empathy
 Mengerti bagaimana kondisi/keadaan pasien yang datang.
7. Questions
 Bila melemparkan pertanyaan ada respon dari pendengar, maka
terjadi pertukaran informasi.
 Komunikasi terjalin bila terjadi interaksi antara pemberi dan
penerima informasi.

Kesalahan yang sering dilakukan oleh petugas lab dalam


berkomunikasi terhadap pasien :
1. Tidakmengenalkan diri sebelum membuka percakapan
2. Tidak respek dengan hal-halyang pribadi pasien.
3. Minimnya pengetahuan tentang ilmu klinis, ilmu teknis lab dan
keterkaitan keduanya.
4. Mambawa permasalahan keluarga dan masalah lainnya ke dalam
ruang lingkup kerja sehingga pasien ikut terkena imbasnya.
5. Tidak menanyakan dahulu nama pasien sebelum memulai
percakapan.
6. Tidak menggunakan bahasa tubuh yang baik dan benar. Bahasa
tubuh yang dimaksud : ekspresi muka,kontak mata, postur yang
baik, jarak dan intonasi suara.
7. Kurang memberikan informasi yang dibutuhkan pasien
8. Meremehkan pasien, hal ini karena melihat status socialpasien
dan penampilan pasien yang tidak baik, hal ini tidak boleh terjdi.
9. Kondisi keuangan yang menipis dan memburuk terutama diakhir
bulan dapat memicu brkomunikasi buruk, sedangkan diawalbulan
berakibat petugas acuh tak acuh dengan pasien, yang ada
dipikiran cuma menghitung keuangan dan kebutuhan rumah
tangga kedepan.
10. Informasi yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan pasien
dan melempar tanggung jawab bahwa dokter yang lebih tahu.
11. Kurang menjaga kerahasiaan pasien.
12. Mencaci dan menjelekkan kesalahan petugas kesehatan lain di
hadapan pasien dan keluarga pasien.
13. Kurang menjelaskan tentang cara dan aturan pemeriksaan
laboratorium yang didapat pasien.
14. Berkomunikasi dengan pasien tidakmunculsikap asertifnya.
15. Tidaktanggap dengan sikap pasien yang mengalamikesulitan atau
bingung terhadap resep yang diterimai oleh dia.
16. Tidak menjaga atau menyimpan kondisi-kondisi pasien yang
sedang dihadapi.
17. Ingat, jika bersikap kasar tehadap pasien, maka pasien yang
hatinya dongkolakan mendoakan anda tidak baik bahkan
mengumpat anda nantinya.

Berdasarkan tata cara komunikasi yang baik diatas, maka


diharapkan agar setiap laboratorium memiliki system komunikasi yang
baik dan efektif. Sudah saatnya kita dalam bekerja di laboratorium
meniru system perbankan dengan pelayanan yang baik, komunikatif
dan ramah.

2.4 Informed Consent


Informed Consent adalah istilah yang telah diterjemahkan dan
lebih sering disebut dengan Persetujuan Tindakan Medik. Secara
harfiah, Informed Consent terdiri dari dua kata, yaitu : Informed dan
Consent. Informed berarti telah mendapat informasi/penjelasan/
keterangan. Consent berarti memberi persetujuan atau mengizinkan.
Dengan demikian Informed Consent itu merupakan suatu persetujuan
yang diberikan pasien/keluarga setelah mendapatkan informasi
(Kerbala, 1993).
Menurut Komalawati (1989) pengertian Informed Consent
sebagai suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis
yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah mendapat
informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan
untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai segala resiko
yang mungkin terjadi.
Informed Consent dalam Permenkes No. 585 tahun 1989
ditafsirkan sebagai Persetujuan Tindakan Medik adalah persetujuan
yang diberikan pasien atau keluarganya atas dasar informasi dan
penjelasan mengenai tindakan medik yang dilakukan terhadap pasien
tersebut (pasal 1).
Dalam pengertian demikian, Persetujuan Tindakan Medik dapat
dilihat dari dua sudut, yaitu pertama membicarakan Persetujuan
Tindakan Medik dari pengertian umum, adalah persetujan yang
diperoleh dokter sebelum melakukan pemeriksaan, pengobatan dan
tindakan medik apapun yang akan dilakukan. Dan kedua
membicarakan Persetujuan Tindakan Medik dari pengertian khusus,
adalah Persetujuan Tindakan Medik yang dikaitkan dengan
persetujuan atau izin tertulis dari pasien/keluarga pada tindakan
operatif, lebih dikenal sebagai Surat Izin Operasi (SIO), surat
perjanjian dan lain–lain, istilah yang dirasa sesuai oleh rumah sakit
tersebut (Amri, 1999).
Ada 2 bentuk Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent)
yaitu :
A. Tersirat atau dianggap telah diberikan (Implied Consent), yaitu bisa
dalam keadaan normal (biasa) atau darurat, umumnya tindakan
yang biasa dilakukan atau sudah diketahui umum misal menyuntik
pasien. Bila pasien dalam keadaan gawat darurat ”Emergency”
memerlukan tindakan segera, sementara pasien dalam keadaan
tidak bisa memberikan persetujuan dan keluarganya pun tidak
ditempat, maka dokter dapat melakukan tindakan edik terbaik
menurut dokter (Permenkes No. 585 tahun 1989, pasal 11).

B. Dinyatakan (Expressed Consent), yaitu persetujuan dinyatakan


secara lisan atau tertulis. Persetujuan secara lisan diperlukan pada
tindakan medis yang tidak mengandung resiko tinggi seperti
pencabutan kuku, sedangkan persetujuan secara tertulis mutlak
diperlukan pada tindakan medis yang mengandung resiko tinggi
seperti tindakan pembedahan perlu surat pernyataan dari
pasien/keluarga. (Amri, 1999).

2.5 Tata Laksana Persetujuan Tindakan Medik


Pada umumnya, keharusan adanya Informed Consent secara
tertulis yang ditandatangani oleh pasien sebelum dilakukannya
tindakan medik tertentu itu, dilakukan di sarana kesehatan yaitu di
Rumah Sakit atau Klinik, karena erat kaitannya dengan
pendokumentasiannya ke dalam catatan medik (Medical Record). Hal
ini disebabkan, Rumah Sakit atau Klinik tempat dilakukannya tindakan
medik tersebut, selain harus memenuhi standar pelayanan rumah
sakit juga harus memenuhi standar pelayanan medik sesuai dengan
yang ditentukan dalam keputusan Menteri Kesehatan No.
436/MENKES/SK/VI/1993 Tentang Berlakunya Standar Pelayanan di
Rumah Sakit. Dengan demikian, Rumah Sakit turut bertanggung
jawab apabila tidak dipenuhinya persyaratan Informed Consent.
Apabila tindakan medik yang dilakukan tanpa adanya Informed
Consent, maka dokter yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi
administratif berupa pencabutan surat izin praktik, sebagaimana
ditentukan dalam pasal 13 Peraturan Menteri Kesehatan
No.585/MENKES/PER/IX/1989. Berarti, keharusan adanya Informed
Consent secara tertulis dimaksudkan guna kelengkapan administrasi
Rumah Sakit yang bersangkutan.
Dengan demikian, penandatanganan Informed Consent secara
tertulis yang dilakukan oleh pasien sebenarnya dimaksudkan sebagai
penegasan atau pengukuhan dari persetujuan yang sudah diberikan
setelah dokter memberikan penjelasan mengenai tindakan medik
yang akan dilakukannya. PERMENKES
No.585/MENKES/PER/IX/1989 Pasal 3 dan 4 menyatakan bahwa
penandatangan Informed Consent secara tertulis dilakukan oleh yang
berhak memberikan persetujuan yaitu baik pasien maupun
keluarganya, setelah pasien atau keluarganya mendapat informasi
yang lengkap.
Oleh karena itu, dengan ditandatanganinya Informed Consent
secara tertulis tersebut, maka dapat diartikan bahwa pemberi tanda
tangan bertanggung jawab dalam menyerahkan sebagian tanggung
jawab pasien atas dirinya sendiri kepada dokter yang bersangkutan,
beserta resiko yang mungkin akan dihadapinya. Untuk itu, tindakan
medik yang ditentukan oleh dokter harus dapat dipertanggung
jawabkan sesuai dengan standar profesinya.(Guwandi, 2004)

2.6 Informasi
Bagian yang terpenting dalam Informed Consent adalah
mengenai informasi atau penjelasan yang perlu disampaikan kepada
pasien atau keluarga. Yaitu informasi mengenai apa (what) yang
harus disampaikan, tentulah segala sesuatu yang berkaitan dengan
penyakit pasien. Tindakan apa yang akan dilakukan tentunya
prosedur tindakan yang akan dijalani baik diagnostik maupun terapi
dan lain-lain sehingga pasien atau keluarga dapat memahaminya. Ini
mencakup bentuk, tujuan, resiko, manfaat dari terapi yang akan
dilaksanakan dan alternatif terapi.
Mengenai kapan (when) disampaikan, tergantung pada waktu
yang tersedia setelah dokter akan memutuskan akan melakukan
tindakan invasif dimaksudkan. Pasien/keluarganya harus diberi waktu
yang cukup untuk menentukan keputusannya.
Siapa (who) yang menyampaikan, tergantung dari jenis tindakan
yang akan dilakukan. Dalam Permenkes dijelaskan dalam tindakan
bedah dan tindakan invasif lainnya harus diberikan oleh dokter yang
akan melakukan tindakan. Dalam keadaan tertentu dapat pula oleh
dokter lain atas sepengetahuan dan petunjuk dokter yang
bertanggung jawab. Bila bukan tindakan bedah atau invasif sifatnya,
dapat disampaikan oleh dokter atau perawat.
Mengenai informasi yang mana (which) yang harus disampaikan,
dalam Permenkes dijelaskan haruslah yang selengkap–lengkapnya,
kecuali dokter menilai informasi tersebut dapat merugikan
kepentingan kesehatan pasien atau pasienmenolak memberikan
informasi. Bila perlu informasi dapat diberikan kepada keluarga pasien
(Amri, 1999).
Dalam Permenkes No.585/MENKES/PER/IX/1989 menyatakan
bahwa dokter harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada
pasien/keluarga diminta atau tidak diminta, jadi informasi harus
disampaikan. Informasi harus diberikan sebelum dilakukannya suatu
tindakan operasi atau yang bersifat invasif, baik yang berupa
diagnostik maupun terapeutik.
Menurut Kerbala (1993), fungsi informasi dokter kepada pasien
sebelum pasien memberikan consent-nya, dapat dibedakan atas :
a. Fungsi Informasi bagi pasien
Berfungsi sebagai perlindungan atas hak pasien untuk
menentukan diri sendiri. Dalam arti bahwa pasien berhak penuh
untuk diterapkannya suatu tindakan medis atau tidak.
b. Fungsi Informasi bagi dokter
Dilihat dari pihak dokter maka informasi dalam proses
Informed consent pun mempunyai fungsi yang tidak kecil. Azwar
(1991) mengemukan ada 5 hal pentingnya fungsi informasi bagi
dokter :
1. Dapat membantu lancarnya tindakan kedokteran
Dengan penyampaian informasi kepada pasien mengenai
penyakit, terapi, keuntungan, risiko, dan lain-lain. Dari tindakan
medis yang akan dilakukan maka terjalin hubungan yang baik
antara dokter dan pasien. Sementara pasien pun akan
menentukan hal yang terbaik dengan landasan informasi dokter
tadi, sehingga tindakan-tindakan medis pun akan lancar dijalani
oleh kedua pihak karena keduanya telah memahami kegunaan
semua tindakan medis itu.
2. Dapat mengurangi timbulnya akibat sampingan dan komplikasi
Dengan penyampaian informasi yang baik akan memberi
dampak yang baik dalam komunikasi dokter pasien terutama
dalam menerapkan terapi. Misal dokter sebelum menyuntik
pasien dengan penisilin bertanya, apakah pasien alergi
terhadap penisilin? Bila pasien memang alergi maka
akibat/risiko yang besar jika terjadi anafilaktik shock dapat
dihindari. Betapa risiko besar itu akan menimpa pasien bila
dokter tidak bertanya kepada pasien.
3. Dapat mempercepat proses pemulihan dan penyembuhan
penyakit
Sama halnya dengan kelancaran tindakan, maka sebagai
akibat adanya pengetahuan dan pemahaman yang cukup dari
pasien terhadap tindakan kedokteran yang akan dilakukan,
maka proses pemulihan dan penyembuhan penyakit akan lebih
cepat. Keadaan yang demikian juga jelas akan menguntungkan
dokter, karena dapat mengurangi beban kerja.
4. Dapat meningkatkan mutu pelayanan
Keberhasilan meningkatkan mutu pelayanan disini adalah
sebagai akibat dari lancarnya tindakan kedokteran,
berkurangnya akibat sampingan dan komplikasi serta cepatnya
proses pemulihan dan penyembuhan penyakit.
5. Dapat melindungi dokter dari kemungkinan tuntutan hukum
Perlindungan yang dimaksudkan disini adalah apabila
disuatu pihak, tindakan dokter yang dilakukan memang tidak
menimbulkan masalah apapun, dan dilain pihak, kalaupun
kebetulan sampai menimbulkan masalah, misalnya akibat
sampingan dan atau komplikasi, sama sekali tidak ada
hubungannya dengan kelalaian dan ataupun kesalahan
tindakan (malpractice).

2.7 Persetujuan
Inti dari persetujuan adalah persetujuan harus didapat sesudah
pasien mendapat informasi yang adekuat. Berpedoman pada
PERMENKES no. 585 tahun 1989 tentang persetujuan tindakan
medik maka yang menandatangani perjanjian adalah pasien sendiri
yang sudah dewasa (diatas 21 tahun atau sudah menikah) dan dalam
keadaan sehat mental. Dalam banyak perjanjian tindakan medik yang
ada selama ini, penandatanganan persetujuan ini sering tidak
dilakukan oleh pasien sendiri, tetapi lebih sering dilakukan oleh
keluarga pasien. Hal ini mungkin berkaitan dengan kesangsian
terhadap kesiapan mental pasien untuk menerima penjelasan
tindakan operasi dan tindakan medis yang invasif tadi serta
keberanian untuk menandatangani surat tersebut, sehingga beban
demikian diambil alih oleh keluarga pasien.
Tindakan medis yang diambil oleh dokter tanpa persetujuan
pasien terlebih dahulu, meski untuk kepentingan pasien tetap tidak
dapat dibenarkan secara etika kedokteran dan hukum, sebagaimana
telah ditegaskan oleh fatwa IDI tentang Informed Consent (dokter
tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan
kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien itu sendiri).
Namun terhadap ketentuan tersebut terdapat pengecualian, yaitu
dalam keadaan gawat darurat dan terjadinya perluasan operasi yang
tidak dapat diduga sebelumnya serta dilakukan dalam rangka life
saving. Dalam keadaan-keadaan seperti ini dokter dapat melakukan
tindakan medis tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu.
Persetujuan dalam tindakan medik terdiri dari dua bentuk, yaitu :
1. Persetujuan Tertulis
Bentuk persetujuan tertulis ini harus dimintakan dari
pasien/keluarganya jika dokter akan melakukan suatu tindakan
medik invasif yang mempunyai resiko besar. Hal ini dinyatakan
dengan jelas dalam pasal 3 (1) Permenkes No.585 tahun 1989.
Persetujuan–persetujuan tertulis itu dalam bentuk formulir–formulir
persetujuan bedah, operasi dan lain-lain yang harus diisi
(umumnya) dengan tulisan tangan. Dan dari sudut hukum positif,
formulir persetujuan ini sangat penting sebagai bukti tertulis yang
dapat dikemukan oleh para pihak kepada hakim bila terjadi kasus
malpraktek. Oleh karena itu, pengisian data pada formulir itu
haruslah tepat dan benar sehingga tidak akan menimbulkan
masalah dikemudian hari bagi para pihak.

2. Persetujuan Lisan
Terhadap tindakan medik yang tidak invasif dan tidak
mengandung resiko besar maka persetujuan dari pasien dapat
disampaikan secara lisan kepada dokter. Segi praktis dan
kelancaran pelayanan medis yang dilakukan oleh dokter
merupakan alasan dari penyampaian persetujuan itu secara tertulis.
Meski persetujuan lisan itu diperbolehkan untuk tindakan,
dokter membiasakan diri untuk menulis/mencatat persetujuan lisan
pasien itu pada rekam medis/rekam kesehatan, karena segala
kegiatan yang dilakukan oleh dokter harus dicatat dalam rekam
medis termasuk persetujuan pasien secara lisan.

2.8 Perilaku Petugas Kesehatan


A. Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan adalah merupakan
hasil dari ”tahu”, dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui pancaindera manusia, yakni indra penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Pengetahuan pada
dasarnya terdiri dari sejumlah fakta dan teori yang memungkinkan
seseorang dapat memecahkan masalah yang dihadapinya.
Pengetahuan tersebut diperoleh baik dari pengalaman langsung
maupun melalui pengalaman orang lain.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Bart (1994) dapat
dikatakan bahwa perilaku yang dilakukan atas dasar pengetahuan
akan lebih bertahan daripada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan. Jadi pengetahuan sangat dibutuhkan agar
masyarakat dapat mengetahui mengapa mereka harus melakukan
suatu tindakan sehingga perilaku masyarakat dapat lebih mudah
untuk diubah kearah yang lebih baik.
Pengukuran pengetahuan dapat diukur dengan wawancara
yang menanyakan sesuatu yang ingin diukur tentang pengetahuan
dari subjek penelitian (Notoatmodjo, 2003). Untuk mengukur
pengetahuan dokter tentang Informed Consent maka perlu
diketahui pengertiannya tentang Informed Consent, manfaat serta
peraturan–peraturan yang terdapat pada permenkes
No.585/MENKES/PER/IX/1989.
B. Sikap
Sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih
tertutup terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2003).
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa sikap adalah tanggapan
atau persepsi seseorang terhadap apa yang diketahuinya. Jadi
sikap tidak dapat langsung dilihat secara nyata, tetapi hanya dapat
ditafsirkan sebagai perilaku yang tertutup. Sikap belum merupakan
suatu tindakan atau aktifitas, tetapi merupakan predisposisi
tindakan.
Allport (1954), seperti yang dikutip dari Notoatmodjo (2003),
menjelaskan bahwa sikap terdiri dari 3 komponen pokok yaitu :
1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu
objek.
2. Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu
objek.
3. Kecendrungan untuk bertindak (trend to behave).

Ketiga komponen ini secara bersama–sama membentuk sikap


yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini
pengetahuan berpikir, keyakinan, dan emosi memegang peranan
penting. Decision Theory (Janis, 1985, dikutip dari Bart, 1994),
menganggap bahwa pasien sebagai seorang pengambil keputusan.
Hal ini juga tercermin dalam Conflict theory dari Janin & Mann
(1997) yang dikutip dari Bart (1994), bahwa pasienlah yang harus
memutuskan apakah mereka akan melakukan suatu tindakan
medis dan oleh petugas kesehatan memberi tahu mengenai
prosedur, risiko, dan efektifitas sehingga mereka bisa mengambil
keputusan yang tepat.

2.9 Pasal-Pasal Yang terkait


 Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional
 Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan
Fungsional
 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan
 Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonomi
 Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1457/Menkes/SK/X/2003
tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di
Kabupaten/Kota;
 Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 004/Menkes/SK/I/2003
tentang Kebijakan dan Strategi Desentralisasi Bidang Kesehatan;
 Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
07/KEP/M.PAN/2/2000 Tahun 2000 Tentang Jabatan Fungsional
Laboratorium Kesehatan dan Angka Kreditnya;
 Kode Etik Ahli Teknologi Laboratorium Kesehatan tercantum
dalam Ketetapan MUNAS V PATELKI Nomor 06/MUNAS-V/05-
2006 tentang Penetapan Kode Etik PATELKI tanggal 22 Mei 2006.
 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor :
370/Menkes/Sk/III/2007 Tentang Standar Profesi Ahli Teknologi
Laboratorium Kesehatan

2.10 Sanksi Pelanggaran Etika Kesehatan


Pelanggaran etika dan norma kesehatan yang terjadi pasti akan
ada sanksi yang dikenakan. Adapun sanksi yang diterapkan
biasanya berupa hukum pidana, ketika pasien / keluarga pasien
menuntut ke pengadilan yang melanggar tersebut. Hal ini akan
dikenai pasal – pasal KUHP yang terkait dengan pelanggaran yang
dilakukan. Namun, ada juga yang berpendapat sanksi pelanggaran
yang dikenakan, yaitu :
a. Sanksi moral. Dapat berupa teguran dari atasan maupun bahan
gunjingan dari masyarakat sekitar.
b. Sanksi dikeluarkan dari organisasi. Tenaga kesehatan yang
melanggar bisa saja dikeluarkan dari organisasi profesi mereka,
tetapi hal ini juga ada pertimbangan dari anggota lain berdasarkan
besarnya pelanggaran yang dilakukan (Isnanto, 2009).

Anda mungkin juga menyukai