Oleh Kelompok 6 :
1. Etika Deskriptif
Etika deskriptif yaitu etika yang berusaha meneropong
secara kritis dan rasional sikap dan prilaku manusia dan apa
yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu
yang bernilai. Etika deskriptif memberikan fakta sebagai dasar
untuk mengambil keputusan tentang prilaku atau sikap yang
mau diambil.
2. Etika Normatif
Etika normatif yaitu etika yang berusaha menetapkan
berbagai sikap dan pola prilaku ideal yang seharusnya dimiliki
oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai.
Etika normatif memberi penilaian sekaligus memberi norma
sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan.
B. Perlindungan profesi
Pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan
Pemberian imbalan yang tidak wajar
Pembatasan dalam menyampaikan pandangan
Pelecehan terhadap profesi
Pembatasan atau pelarangan lain yang dapat menghambat
dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya.
2.9 Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang
diselenggarakan sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi
untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan
mengobati penyakit, serta memulihkan kesehatan perorangan,
kelompok ataupun masyarakat.
Dalam pelayanan kesehatan tentu ada aturan-aturan yang
berkaitan dengan kesehatan yaitu bagaimana menghandle masalah-
masalah itu tidak keluar dari etika dan hukum agar apa yang
dikerjakan tidak menimbulkan efek secara etika dan hukum terhadap
diri sendiri dan orang lain.
Secara lebih luas, etika merupakan norma-norma, nilai-nilai
atau pola tingkah laku kelompok profesi tertentu dalam memberikan
pelayanan jasa kepada masyarakat. Pekerjaan profesi antara lain
dokter, apoteker, ahli kesehatan masyarakat, perawat, wartawan,
hakim, pengacara, akuntan, dan lain-lain.
Etika maupun hukum dalam suatu masyarakat mempunyai
tujuan yang sama, yakni terciptanya kehidupan masyarakat yang
tertib, aman dan damai. Oleh sebab itu, semua masyarakat harus
mematuhi etika dan hukum yang ada. Apabila tidak maka bagi
pelanggar etika sanksinya adalah “moral” sedangkan bagi para
pelanggar hukum, sanksinya adalah hukuman (pidana atau perdata).
Petugas kesehatan dalam melayani masyarakat, juga akan
terkait pada etika dan hukum, atau etika dan hukum kesehatan.
Dalam pelayanan kesehatan masyarakat, perilaku petugas
kesehatan harus tunduk pada etika profesi (kode etik profesi) dan
juga tunduk pada ketentuan hukum, peraturan. Perudangan-
undangan yang berlaku. Apabila petugas kesehatan melanggar kode
etik profesi akan memperoleh sanksi etika dari organisasi profesinya,
dan mungkin apabila juga melanggar ketentuan peraturan atau
perudangan-undangan, juga akan memperoleh sanksi hukum
(pidana atau perdana).
Seiring dengan kemajuan zaman, serta kemudahan dalam
akses informasi, era globalisasiatau kesejagatan membuat akses
informasi tanpa batas, serta peningkatan ilmupengetahuan dan
tekhnologi membuat masyarakat semakin kritis. Disisi lain
menyebabkantimbulnya berbagai permasalahan etik. Selain itu
perubahan gaya hidup, budaya dan tatanilai masyarakat, membuat
masyarakat semakin peka menyikapi berbagai persoalan, termasuk
memberi penilaian terhadap pelayanan yang diberikan petugas
kesehatan. Perkembangan ilmu dan tekhnologi kesehatan yang
semakin maju telah membawa manfaat yang besar untuk
terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
Perkembangan ini juga diikuti dengan perkembangan hukum di
bidang kesehatan, sehingga secara bersamaan, petugas kesehatan
menghadapi masalah hukum terkait dengan aktivitas, perilaku, sikap
dan kemampuannya dalam menjalankan profesi kesehatan.Ketika
masyarakat merasakan ketidakpuasan terhadap pelayanan atau
apabila seorang petugas kesehatan merugikan pasien, tidak
menutup kemungkinan untuk di meja hijaukan.
Bahkan didukung semakin tinggi peran media, baik media
massa maupun elektronik dalammenyoroti berbagai masalah yang
timbul dalam pelayanan kesehatan, merupakan hal yangperlu
diperhatikan dan perlu didukung pemahaman petugas kesehatan
mengenai kode etikprofesi dan hukum kesehatan, dasar kewenangan
dan aspek legal dalam pelayanan kesehatan. Untuk itu dibutuhkan
suatu pedoman ynag komprehensif dan integratif tentang sikap dan
perilaku yang harus dimiliki oleh seorang petugas kesehatan,
pedoman tersebut adalah kode etik profesi. Kode etik profesi penting
diterapkan, karena semakin meningkatnya tuntutan terhadap
pelayanan kesehatan dan pengetahuan serta kesadaran hukum
masyarakat tentang prinsip dan nilai moral yang terkandung dalam
pelayanan profesional. Kode etik profesi mengandung karakteristik
khusus suatu profesi. Hal ini berarti bahwa standar profesi harus
diperhatikan dan mencerminkan kepercayaan serta tanggung jawab
yang diterima oleh profesi dalam kontrak hubungan profesional
antara tenaga kesehatan dan masyarakat. Masyarakat memberi
kepercayaan kepada tenaga kesehatan untuk melaksanakan
kewajibannya dalam memutuskan dan melakukan tindakan
berdasarkan pada pertimbangan terbaik bagi kepentingan
masyarakat (penerima layanan kesehatan) yang mengacu pada
standar praktik dan kode etik profesi. Kode etik adalah seperangkat
prinsip etik yang disusun atau dirumuskan oleh anggota-anggota
kelompok profesi, yang merupakan cermin keputusan moral dan
dijadikan standar dalam memutuskan dan melakukan tindakan
profesi.
2.6 Informasi
Bagian yang terpenting dalam Informed Consent adalah
mengenai informasi atau penjelasan yang perlu disampaikan kepada
pasien atau keluarga. Yaitu informasi mengenai apa (what) yang
harus disampaikan, tentulah segala sesuatu yang berkaitan dengan
penyakit pasien. Tindakan apa yang akan dilakukan tentunya
prosedur tindakan yang akan dijalani baik diagnostik maupun terapi
dan lain-lain sehingga pasien atau keluarga dapat memahaminya. Ini
mencakup bentuk, tujuan, resiko, manfaat dari terapi yang akan
dilaksanakan dan alternatif terapi.
Mengenai kapan (when) disampaikan, tergantung pada waktu
yang tersedia setelah dokter akan memutuskan akan melakukan
tindakan invasif dimaksudkan. Pasien/keluarganya harus diberi waktu
yang cukup untuk menentukan keputusannya.
Siapa (who) yang menyampaikan, tergantung dari jenis tindakan
yang akan dilakukan. Dalam Permenkes dijelaskan dalam tindakan
bedah dan tindakan invasif lainnya harus diberikan oleh dokter yang
akan melakukan tindakan. Dalam keadaan tertentu dapat pula oleh
dokter lain atas sepengetahuan dan petunjuk dokter yang
bertanggung jawab. Bila bukan tindakan bedah atau invasif sifatnya,
dapat disampaikan oleh dokter atau perawat.
Mengenai informasi yang mana (which) yang harus disampaikan,
dalam Permenkes dijelaskan haruslah yang selengkap–lengkapnya,
kecuali dokter menilai informasi tersebut dapat merugikan
kepentingan kesehatan pasien atau pasienmenolak memberikan
informasi. Bila perlu informasi dapat diberikan kepada keluarga pasien
(Amri, 1999).
Dalam Permenkes No.585/MENKES/PER/IX/1989 menyatakan
bahwa dokter harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada
pasien/keluarga diminta atau tidak diminta, jadi informasi harus
disampaikan. Informasi harus diberikan sebelum dilakukannya suatu
tindakan operasi atau yang bersifat invasif, baik yang berupa
diagnostik maupun terapeutik.
Menurut Kerbala (1993), fungsi informasi dokter kepada pasien
sebelum pasien memberikan consent-nya, dapat dibedakan atas :
a. Fungsi Informasi bagi pasien
Berfungsi sebagai perlindungan atas hak pasien untuk
menentukan diri sendiri. Dalam arti bahwa pasien berhak penuh
untuk diterapkannya suatu tindakan medis atau tidak.
b. Fungsi Informasi bagi dokter
Dilihat dari pihak dokter maka informasi dalam proses
Informed consent pun mempunyai fungsi yang tidak kecil. Azwar
(1991) mengemukan ada 5 hal pentingnya fungsi informasi bagi
dokter :
1. Dapat membantu lancarnya tindakan kedokteran
Dengan penyampaian informasi kepada pasien mengenai
penyakit, terapi, keuntungan, risiko, dan lain-lain. Dari tindakan
medis yang akan dilakukan maka terjalin hubungan yang baik
antara dokter dan pasien. Sementara pasien pun akan
menentukan hal yang terbaik dengan landasan informasi dokter
tadi, sehingga tindakan-tindakan medis pun akan lancar dijalani
oleh kedua pihak karena keduanya telah memahami kegunaan
semua tindakan medis itu.
2. Dapat mengurangi timbulnya akibat sampingan dan komplikasi
Dengan penyampaian informasi yang baik akan memberi
dampak yang baik dalam komunikasi dokter pasien terutama
dalam menerapkan terapi. Misal dokter sebelum menyuntik
pasien dengan penisilin bertanya, apakah pasien alergi
terhadap penisilin? Bila pasien memang alergi maka
akibat/risiko yang besar jika terjadi anafilaktik shock dapat
dihindari. Betapa risiko besar itu akan menimpa pasien bila
dokter tidak bertanya kepada pasien.
3. Dapat mempercepat proses pemulihan dan penyembuhan
penyakit
Sama halnya dengan kelancaran tindakan, maka sebagai
akibat adanya pengetahuan dan pemahaman yang cukup dari
pasien terhadap tindakan kedokteran yang akan dilakukan,
maka proses pemulihan dan penyembuhan penyakit akan lebih
cepat. Keadaan yang demikian juga jelas akan menguntungkan
dokter, karena dapat mengurangi beban kerja.
4. Dapat meningkatkan mutu pelayanan
Keberhasilan meningkatkan mutu pelayanan disini adalah
sebagai akibat dari lancarnya tindakan kedokteran,
berkurangnya akibat sampingan dan komplikasi serta cepatnya
proses pemulihan dan penyembuhan penyakit.
5. Dapat melindungi dokter dari kemungkinan tuntutan hukum
Perlindungan yang dimaksudkan disini adalah apabila
disuatu pihak, tindakan dokter yang dilakukan memang tidak
menimbulkan masalah apapun, dan dilain pihak, kalaupun
kebetulan sampai menimbulkan masalah, misalnya akibat
sampingan dan atau komplikasi, sama sekali tidak ada
hubungannya dengan kelalaian dan ataupun kesalahan
tindakan (malpractice).
2.7 Persetujuan
Inti dari persetujuan adalah persetujuan harus didapat sesudah
pasien mendapat informasi yang adekuat. Berpedoman pada
PERMENKES no. 585 tahun 1989 tentang persetujuan tindakan
medik maka yang menandatangani perjanjian adalah pasien sendiri
yang sudah dewasa (diatas 21 tahun atau sudah menikah) dan dalam
keadaan sehat mental. Dalam banyak perjanjian tindakan medik yang
ada selama ini, penandatanganan persetujuan ini sering tidak
dilakukan oleh pasien sendiri, tetapi lebih sering dilakukan oleh
keluarga pasien. Hal ini mungkin berkaitan dengan kesangsian
terhadap kesiapan mental pasien untuk menerima penjelasan
tindakan operasi dan tindakan medis yang invasif tadi serta
keberanian untuk menandatangani surat tersebut, sehingga beban
demikian diambil alih oleh keluarga pasien.
Tindakan medis yang diambil oleh dokter tanpa persetujuan
pasien terlebih dahulu, meski untuk kepentingan pasien tetap tidak
dapat dibenarkan secara etika kedokteran dan hukum, sebagaimana
telah ditegaskan oleh fatwa IDI tentang Informed Consent (dokter
tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan
kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien itu sendiri).
Namun terhadap ketentuan tersebut terdapat pengecualian, yaitu
dalam keadaan gawat darurat dan terjadinya perluasan operasi yang
tidak dapat diduga sebelumnya serta dilakukan dalam rangka life
saving. Dalam keadaan-keadaan seperti ini dokter dapat melakukan
tindakan medis tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu.
Persetujuan dalam tindakan medik terdiri dari dua bentuk, yaitu :
1. Persetujuan Tertulis
Bentuk persetujuan tertulis ini harus dimintakan dari
pasien/keluarganya jika dokter akan melakukan suatu tindakan
medik invasif yang mempunyai resiko besar. Hal ini dinyatakan
dengan jelas dalam pasal 3 (1) Permenkes No.585 tahun 1989.
Persetujuan–persetujuan tertulis itu dalam bentuk formulir–formulir
persetujuan bedah, operasi dan lain-lain yang harus diisi
(umumnya) dengan tulisan tangan. Dan dari sudut hukum positif,
formulir persetujuan ini sangat penting sebagai bukti tertulis yang
dapat dikemukan oleh para pihak kepada hakim bila terjadi kasus
malpraktek. Oleh karena itu, pengisian data pada formulir itu
haruslah tepat dan benar sehingga tidak akan menimbulkan
masalah dikemudian hari bagi para pihak.
2. Persetujuan Lisan
Terhadap tindakan medik yang tidak invasif dan tidak
mengandung resiko besar maka persetujuan dari pasien dapat
disampaikan secara lisan kepada dokter. Segi praktis dan
kelancaran pelayanan medis yang dilakukan oleh dokter
merupakan alasan dari penyampaian persetujuan itu secara tertulis.
Meski persetujuan lisan itu diperbolehkan untuk tindakan,
dokter membiasakan diri untuk menulis/mencatat persetujuan lisan
pasien itu pada rekam medis/rekam kesehatan, karena segala
kegiatan yang dilakukan oleh dokter harus dicatat dalam rekam
medis termasuk persetujuan pasien secara lisan.